• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performances of Cihateup Male Duck Age 1-10 Weeks Fed Beluntas Leaf Meal, Vitamin C and Vitamin E.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performances of Cihateup Male Duck Age 1-10 Weeks Fed Beluntas Leaf Meal, Vitamin C and Vitamin E."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA ITIK CIHATEUP JANTAN UMUR 1-10 MINGGU

YANG DIBERI TEPUNG DAUN BELUNTAS, VITAMIN C

DAN VITAMIN E DALAM RANSUM

SKRIPSI

IKA SARASWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Ika Saraswati. D14086015. 2011. Performa Itik Cihateup Jantan Umur 1-10 Minggu yang Diberi Tepung Daun Beluntas, Vitamin C dan Vitamin E dalam Ransum. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr.Ir.Rukmiasih, MS Pembimbing Anggota : Dr.Ir.Sumiati M.Sc

Itik memiliki potensi sebagai penghasil daging, tetapi kurang disukai oleh sebagian konsumen karena memiliki daging yang berbau amis. Penurunan bau amis telah berhasil dilakukan dengan pemberian 1% beluntas ke dalam ransumnya. Akan tetapi, nilai konversi ransum yang didapat lebih besar dari kontrol. Angka konversi ransum itik kontrol sebesar 4,57, sedangkan yang mendapat beluntas 1% sebesar 5,11. Untuk memperbaiki konversi ransum, dilakukan penurunan penggunaan beluntas menjadi 0,5%. Untuk menutupi kekurangan antioksidan karena penurunan penggunaan beluntas, dicoba ditambahkan vitamin C atau E. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tepung daun beluntas, vitamin C dan vitamin E dalam meningkatkan performa (konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum) itik.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei hingga September 2010 di kandang B bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Ransum yang digunakan pada penelitian ini yaitu ransum komersial sebagai kontrol (K), ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% (KB), ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin C 250 mg (KBC), ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin E 400 IU (KBE). Jumlah itik yang digunakan sebanyak 96 ekor, yang dikelompokkan berdasarkan bobot badan kecil, sedang dan besar. Pengelompokkan tersebut merupakan ulangan dari setiap perlakuan dan tiap ulangan terdiri atas 8 ekor itik. Peubah yang diukur adalah konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum tidak berbeda nyata, sedangkan bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan itik yang diberi tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin E 400 IU paling tinggi sehingga diperoleh konversi ransum paling baik.

(3)

ABSTRACT

Performances of Cihateup Male Duck Age 1-10 Weeks Fed Beluntas Leaf Meal, Vitamin C and Vitamin E.

Saraswati I., Rukmiasih, and Sumiati

Male duck is potential as meat producer, but the ducks meat off-odor limited the consumers preference. Reducing off-odor has success with supplementation beluntas 1% in feed. However the feed conversion were higher than control. To improve feed conversion, using beluntas reduced 0,5%. To covered deficient antioxidant, try added vitamin C and E.The purpose of this research was to study the effect of feeding beluntas leaf meal, vitamin C and vitamin E in improving ducks performances (feed intake, body weight, body weight gain and feed conversion). The diet treatments were commercial diet as control (K), commercial diet+beluntas leaf meal 0.5% (KB), commercial diet+beluntas leaf meal 0.5%+250 mg C vitamin (KBC), commercial diet+beluntas meal 0,5%+400 IU E vitamin (KBE). Ninety six ducks were used for this research and divided into four treatments and three replications. The ducks were reared from one week up to 10 weeks of old. The parameter measured were feed intake, body weight, body weight gain and feed conversion. The results showed that feed intake did not affect. While final body weight and body weight gain of duck feeding beluntas leaf meal 0.5%+vitamin E 400 IU highest obtainable was the best feed conversion.

(4)

PERFORMA ITIK CIHATEUP JANTAN UMUR 1-10 MINGGU

YANG DIBERI TEPUNG DAUN BELUNTAS, VITAMIN C

DAN VITAMIN E DALAM RANSUM

IKA SARASWATI D14086015

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Performa Itik Cihateup Jantan Umur 10 Minggu yang Diberi Tepung Daun Beluntas, Vitamin C dan Vitamin E dalam Ransum

Nama : Ika Saraswati

NIM : D14086015

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rukmiasih, MS.) (Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.)

NIP: 19570405 198303 2 001 NIP: 19611017 198603 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1987 di Klaten, Jawa Tengah. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Bapak Winardi (alm) dan Ibu Sunampi.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1993 di Sekolah Dasar Pondok Rumput II Bogor dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Negeri 8 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah Atas Negeri 8 Bogor pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2005.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Keahlian Teknologi dan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan

kesempatan yang diberikan oleh-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Performa Itik Cihateup Jantan Umur 1-10 Minggu yang Diberi Tepung

Daun Beluntas, Vitamin C dan Vitamin E dalam Ransum . Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Ternak itik memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk membantu memenuhi kebutuhan protein hewani di Indonesia, tetapi itik memiliki kelemahan

yaitu pertumbuhan yang lambat dan konversi ransumnya tinggi. Penulis dengan rekan-rekan dan dosen di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor mencoba melakukan serangkaian penelitian untuk memperbaiki performa itik. Penggunaan tepung daun beluntas (Pluchea indica L), vitamin C dan vitamin E yang ditambahkan

dalam ransum dilakukan sebagai upaya dalam memperbaiki performa itik tersebut. Mengingat terdapat berbagai kandungan bahan aktif dalam tanaman beluntas, penulis menduga akan ada zat anti nutrien yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas itik sebagai sumber daging. Hal inilah yang penulis kaji lebih dalam, sehingga

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian tepung daun beluntas, kombinasi tepung daun beluntas dengan vitamin C dan kombinasi tepung daun beluntas dengan vitamin E terhadap performa (konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum) itik cihateup.

Penelitian mengalami kendala terutama dalam hal penyakit selama pemeliharaan. Namun secara umum kendala yang ada telah mampu penulis dan tim hadapi sehingga penelitian yang dilakukan dapat diselesaikan dengan baik.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca umumnya, Amin.

Bogor, April 2011

(8)

DAFTAR ISI

Persiapan Kandang dan Peralatan ... 14

Pembuatan Tepung Daun Beluntas ... 14

Pembentukan Unit Perlakuan ... 16

Pemeliharaan dan Pengambilan Data ... 16

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Performa Itik Cihateup Jantan Umur 1-10 Minggu ... 19

Konsumsi Ransum ... 19

Bobot Badan ... 21

Pertambahan Bobot Badan ... 22

Konversi Ransum ... 22

KESIMPULAN ... 24

UCAPAN TERIMA KASIH ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Ransum Komersial, Daun Beluntas dan Dedak

Padi (As Fed) ... 14

2. Susunan Ransum, Kandungan Nutrien dan Antinutrien dan Antioksidan

dalam Ransum Itik Perlakuan Umur 1-7 Minggu ... 15

3. Susunan Ransum, Kandungan Nutrien dan Antinutrien dan Antioksidan

dalam Ransum Itik Perlakuan Umur 7-10 Minggu ... 16

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Postur Itik Cihateup Betina dan Jantan Umur 12 Bulan

(Rukmiasih et al.,2008) ... 4

2.Tanaman Beluntas ... 6

3. Struktur Kimia Vitamin C (Levy, 2010) ... 7

4. Struktur Bangun Tokopherol (Colombo, 2010) ... 8

5.Daun Beluntas yang Digunakan ... 11

6. Itik Cihateup Umur 2 Minggu ... 12

7. Kandang Pemeliharaan ... 12

8. Daun Beluntas yang Telah Kering dan Tepung Daun Beluntas ... 15

9. Grafik Konsumsi Ransum per Ekor per Minggu Selama Penelitian ... 20

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Itik Cihateup

Jantan pada Minggu Pertama sampai Kedua ... 29

2. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Itik Cihateup

Jantan pada Minggu Ketiga sampai Keempat ... 29

3. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Itik Cihateup

Jantan pada Minggu Kelima sampai Keenam ... 29

4. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Itik Cihateup

Jantan pada Minggu Keenam sampai Ketujuh ... 29

5. Analisis Sidik Ragam Rataan Konsumsi Ransum Itik Cihateup

Jantan Selama Pemeliharaan ... 30

6. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Kedua ... 30

7. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Ketiga ... 30

8. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Keempat ... 30

9. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Kelima ... 31

10.Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Keenam ... 31

11.Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Ketujuh ... 31

12.Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Kedelapan ... 31

13.Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Kesembilan ... 32

14.Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup

(13)

15.Analisis Sidik Ragam Rataan Pertambahan Bobot Badan

Selama Pemeliharaan ... 33

16.Analisis Sidik Ragam Rataan Konversi Ransum

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Konsumsi protein hewani di Indonesia banyak diperoleh dari produk unggas, seperti ayam broiler sebagai penghasil daging dan ayam ras petelur. Menurut Dirjen

Peternakan (2008), rata-rata konsumsi protein berasal dari produk unggas adalah 3,71 g/kapita/hari. Unggas lokal yang memiliki peran cukup penting untuk membantu memenuhi ketersediaan protein hewani adalah itik. Selain sebagai

penghasil telur, itik juga memiliki potensi sebagai penghasil daging terutama itik jantan. Pada tahun 2008, itik dan entog dapat menyumbangkan daging sebesar 45,2 ton atau 3,22% dari total produksi daging unggas (Dirjen Peternakan, 2008). Daging itik juga mempunyai nilai gizi tinggi sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan

gizi masyarakat. Itik jantan sudah banyak dimanfaatkan oleh para peternak sebagai penghasil daging, tetapi pertumbuhannya lambat dan konversi pakannya tinggi. Untuk memperbaiki penampilan ternak dapat digunakan tanaman obat tradisonal.

Tanaman obat tradisional dapat berfungsi sebagai feed aditive alami untuk

memperbaiki penampilan produksi ternak dan mencegah serangan penyakit. Salah satu tanaman yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu, yaitu tanaman beluntas (Pluchea indica less). Beluntas telah dikenal memiliki banyak kegunaan baik sebagai tanaman pagar maupun tanaman obat dengan menggunakan

seluruh bagian tanamannya baik dalam bentuk segar maupun kering, daun beluntas memiliki bau yang khas aromatis dan rasanya getir. Pada daun tersebut terkandung zat-zat aktif, yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, karoten dan minyak atsiri. Kandungan

flavonoid dan beta-karoten mempunyai efek sebagai antioksidan. Daya kerja

flavonoid sebagai antioksidan adalah mengikat logam dan menangkap oksigen radikal dan radikal bebas (scavenger). Senyawa lain yang terkandung dalam beluntas yaitu tanin yang dikhawatirkan dapat menurunkan performa pada itik. Efek negatif tanin pada hewan monogastrik menyebabkan penekanan pertumbuhan, nafsu makan

berkurang karena rasa pahit dari tanin, merusak dinding mukosa saluran pencernaan, meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino esensial.

(15)

tubuh dan pertumbuhan yang normal. Antioksidan tersebut berfungsi mencegah terjadinya reaksi oksidasi lipid dan diharapkan dapat memperbaiki performa itik.

Penelitian tentang pemanfaatan tepung daun beluntas dalam ransum telah dilaporkan oleh Wahyudin (2006) dan disimpulkan bahwa pemberian tepung daun

beluntas sampai taraf 2% dalam ransum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan, tetapi konversi ransumnya lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol. Untuk memperbaiki

performa dan konversi ransum, maka penambahan tepung daun beluntas pada penelitian ini hanya sebesar 0,5%.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas tepung daun

(16)

TINJAUAN PUSTAKA Itik Cihateup

Itik termasuk dalam kelompok unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut: kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, subfamili

Anatinae, rumpun (tribe) Anatini, genus Anas, spesies Anas platyrhynchos

(Achwanu, 1997). Salah satu contoh itik lokal antara lain itik cihateup yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa

Barat. Selain dikembangkan di daerah asalnya, itik cihateup juga telah dikembangkan di daerah Garut. Daerah Cihateup berada pada ketinggian 378 m di atas permukaan laut (dpl) yang merupakan dataran tinggi, sehingga itik tersebut disebut juga dengan itik gunung. Daya adaptasi terhadap lingkungan dingin baik,

sehingga itik tersebut sangat sesuai dipelihara untuk daerah dingin atau pegunungan (Wulandari, 2005). Itik tersebut merupakan salah satu kebanggaan peternak itik di Propinsi Jawa Barat disamping itik cirebon.

Secara umum ciri-ciri fisik itik cihateup mirip dengan itik-itik jawa lainnya,

seperti itik karawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani, 2005). Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shanknya berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu di sekitar kepala

mengarah kehitaman, akan tetapi betina memiliki warna bulu yang lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya, yakni berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Jika berjalan lebih tegak

dibandingkan dengan itik alabio.

Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada lebih besar dari itik cirebon maupun itik mojosari, hal ini dapat menjadi indikasi bahwa itik cihateup memiliki potensi penghasil daging yang lebih baik daripada itik cirebon dan mojosari

(Muzani, 2005). Itik jantan cihateup lebih efisien dalam memanfaatkan ransum untuk pertumbuhan dibandingkan dengan itik betina, tetapi memiliki konversi ransum yang sama antara itik jantan maupun itik betina cihateup. Kemampuan pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantan terlihat dari bobot potong itik cihateup yang berumur

(17)

6,7 (Wulandari et al., 2005). Postur itik cihateup betina dan jantan umur 12 bulan dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

Gambar 1. Postur Itik Cihateup Betina (a) dan Jantan Umur 12 Bulan

Sumber: Rukmiasih et al. (2008)

Rerata bobot anak itik betina yang baru menetas tidak berbeda nyata dengan bobot anak itik jantan, yaitu masing-masing 42,95±3,35 dan 42,75±3,08 g/ekor. Rerata bobot badan dewasa itik betina dan jantan masing-masing 1.476,09±161,57 dan 1.518,02±164,16 g/ekor (Hardjosworo, 1985).

Manfaat dan Sumber Antioksidan pada Unggas Manfaat Antioksidan

Antioksidan mempunyai aktivitas yang dapat menghambat atau mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Antioksidan yang digunakan dalam bahan pangan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu

tidak beracun, tidak mempunyai efek fisiologis, tidak menimbulkan flavor yang tidak enak, rasa dan warna pada lemak atau bahan pangan, efektif dalam jumlah yang relatif kecil, tidak mahal dan selalu tersedia (Ketaren, 2008). Berdasarkan asal diperolehnya, senyawa antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan alami dan

antioksidan sintetik. Antioksidan alami dapat ditemukan dari jenis tanaman, sedangkan antioksidan sintetik diperoleh dari sintesa reaksi kimia (Winarno, 1991).

Beluntas (Pluchea indica L)

Beluntas merupakan tanaman perdu tegak, berkayu, bercabang banyak

(18)

mencapai 3,8-6,4 cm (Asiamaya, 2003). Tanaman beluntas dalam susunan taksonomi termasuk ke dalam kingdom Platae; subkingdom Tracheobioma; superdivisi

Spermatophyta; divisi Magnoliophyta; kelas Magnoliopsida; subkelas Asteridae; ordo Asterales; famili Asteraceae; genus Pluchea cass; dan spesies Pluchea indica

(L) less.

Selama ini beluntas telah dikenal mempunyai banyak kegunaan baik sebagai tanaman pagar maupun tanaman obat dengan menggunakan seluruh bagian

tanamannya baik dalam bentuk segar maupun kering. Hal ini karena beluntas mengandung asam amino (leusin, isoleusin, triptofan, treonin), alkaloid, flavonoida, minyak atsiri, asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium, fosfor, besi, vitamin A dan C (Asiamaya, 2003). Menurut hasil analisis kualitatif

yang dilakukan Ardiansyah (2002), ekstrak daun beluntas mengandung bahan-bahan aktif seperti tanin dan alkaloid. Kandungan tanin pada beluntas dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang dikandung ransum yang dikonsumsi hewan. Menurut Rukmiasih et al. (2010) kandungan tanin dalam daun beluntas yaitu 1,88%. Tanin terdapat pada

tanaman legum, rumput dan buah yang belum masak. Tanin menyebabkan rasa mengkerut pada lidah karena mampu berikatan dengan cairan saliva dalam mulut (Cannas, 2008). Konsentrasi tanin lebih dari 5% sudah menimbulkan efek negatif pada hewan monogastrik, yaitu penekanan pertumbuhan, penurunan penggunaan

protein, merusak dinding mukosa saluran pencernaan, mengurangi ekskresi beberapa kation dan meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino essensial dan pada level 3-7% dapat menyebabkan kematian (Cannas, 2008).

Menurut Widodo (2002), pemberian ransum yang mengandung tanin sebesar 0,33% tidak membahayakan untuk unggas khususnya ayam. Apabila pemberian kadar tanin mencapai 0,5% atau lebih menyebabkan penurunan pertumbuhan ayam, karena tanin menekan retensi nitrogen dan penurunan daya cerna asam amino yang

seharusnya dapat diserap oleh vili-vili usus yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan bila mengkonsumsi tanin adalah pertumbuhan yang lambat dan nafsu makan berkurang karena rasa pahit dari tanin.

(19)

vitamin C dan beta-karoten masing-masing sebesar 4,47%, 98,25 mg/100 g dan 2.552 mg/100 g yang ketiganya mempunyai efek sebagai antioksidan dan juga mengandung fitokimia (bahan obat). Daya kerja flavonoid sebagai antioksidan adalah mengikat logam dan menangkap oksigen radikal dan radikal bebas

(scavenger).

Kandungan kimia lain pada beluntas yaitu alkaloid. Alkaloid adalah senyawa yang mengandung substansi dasar nitrogen basa, biasanya dalam bentuk cincin

heterosiklik. Alkaloid terdistribusi secara luas pada tanaman. Alkaloid biasanya pahit dan sangat beracun (Widodo, 2002). Tanaman beluntas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tanaman Beluntas

Vitamin C

Menurut Sukmono (2009), vitamin C berperan sebagai antioksidan. Dalam tubuh, vitamin C membantu mengurangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh,

membantu menyembuhkan luka, meningkatkan penyerapan zat besi, dan dapat meningkatkan kesehatan kardiovaskuler. Menurut Widodo (2002), vitamin C diabsorpsi didalam usus. Poedjiadi dan Supriyanti (2006) menjelaskan vitamin C juga berperan menghambat reaksi-reaksi oksidasi dalam tubuh yang berlebihan

dengan bertindak sebagai inhibitor. Kemampuan vitamin ini untuk mentransfer elektron menunjukkan adanya peran yang sangat penting dalam proses metabolisme. Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air yang mampu meredam radikal bebas dengan cara memberikan atom hidrogen dan elektron kepada

(20)

vitamin C juga dilakukan oleh Kusnadi (2006), dan hasilnya adalah pada suhu tinggi, konversi ransum pada pemberian vitamin C 250, 500 dan 750 ppm, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi konversi ransum ketiganya lebih baik dibandingkan konversi ransum pada perlakuan kontrol. Gambar struktur kimia

vitamin C dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Vitamin C

Sumber: Levy, 2010

Vitamin E

Vitamin E juga berfungsi sebagai antioksidan, yaitu mencegah otooksidasi

pada asam-asam lemak tak jenuh serta menghambat timbulnya peroksidasi dari lipida pada membran sel. Selain itu vitamin E juga berfungsi dalam reaksi fosforilasi, metabolisme asam nukleat, sintesis asam askorbat dan sintesis ubiquinon, reproduksi,

mencegah ensefalomalasia dan distorsi otot (Widodo, 2002). Sifat umum vitamin E menurut Surai (2003), antara lain: tahan terhadap panas, mudah dioksidasikan dan rusak apabila terdapat lemak tengik. Jenisjenis vitamin E adalah tokopherol, -tokopherol, -tokopherol dan -tokopherol. Almatsier (2001), mekanisme vitamin E

diserap dibagian usus halus dan dibawa ke hati. Fungsi hati adalah mensekresikan getah empedu, dalam getah empedu terdapat asam empedu yang membantu penyerapan asam lemak, kolesterol dan vitamin larut lemak (Yuwanta, 2004).

Jaringan adiposa pada hewan unggas menurut Surai (2003) juga mengandung vitamin E dalam jumlah yang cukup tinggi. Bahkan konsentrasi vitamin E dalam jaringan adiposa akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pemberian vitamin E tersebut dalam ransum. Menurut Widodo (2002), sumber vitamin E di

(21)

radikal bebas yang terbentuk sehingga dimungkinkan tidak terjadi gangguan fungsi sel. Radikal bebas yang menumpuk mengakibatkan terjadinya stres. Stres merupakan respon suatu makhluk hidup terhadap rangsangan baik berupa fisik, kimia, psikis, psikosial, kultural dan sebagainya yang berasal dari luar maupun dalam organisme

itu sendiri (Winarto, 2010). Menurut Almatsier (2001), vitamin E agak tahan terhadap panas dan asam, namun tidak tahan terhadap oksigen. Vitamin E sebagian besar disimpan di jaringan lemak dan selebihnya di hati. Suplementasi vitamin E

dapat meningkatkan produksi antibodi (terutama imunoglobulin). Gambar struktur bangun tokoferol dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Bangun Tokoferol

Sumber: Colombo, 2010

Konsumsi Ransum

Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam (Anggorodi, 1990). Menurut Tillman et al. (1991) konsumsi ransum atau pakan diperhitungkan sebagai jumlah ransum yang dimakan oleh ternak. Zat makanan yang terkandung di dalamnya akan digunakan untuk

mencukupi kebutuhan baik hidup pokok maupun keperluan produksi ternak. Konsumsi ransum pada unggas dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu jenis unggas, temperatur lingkungan, bobot badan, jenis kelamin, umur, tingkat produksi telur, aktivitas ternak, tipe kandang, palatabilitas ransum, kandungan energi ransum,

kualitas nutrisi ransum, konsumsi air serta kandungan lemak tubuh dan tingkat cekaman (Conn, 2002).

Konsumsi ransum itik yang diberi tepung daun beluntas dalam ransumnya telah dilaporkan oleh Gunawan (2005). Selama 8 minggu pemberian tepung daun

beluntas (dari umur 2-10 minggu) dengan taraf 0%; 0,5% dan 1% tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum yang diperoleh berkisar

O OH

R1

R2

R3

(22)

antara 4.883,2-4.885,9 g/ekor. Hasil penelitian Randa (2007), rataan konsumsi ransum itik lokal yang dipelihara selama 10 minggu dengan suplementasi vitamin E dan C dalam ransum adalah 7.997±42,84 g/ekor.

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan diartikan sebagai pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh

(Anggorodi.1990). Salah satu cara untuk mengetahui pertumbuhan adalah dengan melihat pertambahan bobot badan dalam satuan waktu tertentu. Hardjosworo et al. (1980) menyatakan bahwa sampai umur lima minggu, laju pertambahan bobot badan itik terus meningkat, setelah itu laju pertumbuhannya menurun.

Pertumbuhan merupakan suatu proses yang meliputi pertumbuhan bobot badan dan pertumbuhan semua bagian tubuh secara merata dan proposional. Respon pertumbuhan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu genetik, jenis kelamin, ransum dan manajemen pemeliharaan (Rose,1997).

Gunawan (2005) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan itik akibat pemberian tepung daun beluntas dalam ransum dengan taraf 0,5% dan 1% selama delapan minggu tidak berbeda dengan perlakuan kontrol, begitupun dengan bobot

badan akhir yang dihasilkan setelah itik mencapai umur 10 minggu. Rataan pertambahan bobot badan yang diperoleh berkisar antara 1.126-1.214 g/ekor. Purba (2010), melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan itik MA (Mojosari jantan-Alabio betina) umur 10 minggu dengan suplementasi santoquin dan vitamin E

berkisar antara 1.618,97±58,34 hingga 1.687,23±74,23 g/ekor.

Konversi Ransum

Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan ransum dan kualitas ransum (Fan et al., 2008).

Konversi ransum juga berguna untuk mengukur produktivitas ternak sebab konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai konversi ransum

(23)

memiliki konversi ransum yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Rukmiasih et al. (2002) yang mendapatkan konversi ransum nyata lebih tinggi (P<0,05) pada itik yang diberi ransum mengandung serat kasar 35% dan 20%. Hal ini berhubungan dengan ketidakmampuan saluran pencernaan itik dalam

menyerap nutrien akibat adanya serat kasar tinggi dalam usus karena itik tidak mempunyai enzim pencerna serat kasar yaitu enzim selulase. Serat kasar mengakibatkan cepatnya pergerakan isi saluran pencernaan sehingga menjadi cepat

keluar, sebelum kandungan nutrisinya terserap optimal. Selanjutnya, nutrisi yang lebih sedikit terserap mengakibatkan pertumbuhan bagian-bagian tubuh itik ikut terhambat sehingga pertumbuhan bobot badan yang diperoleh menjadi tidak optimal.

Konversi ransum itik lokal jantan (persilangan itik tegal dengan itik mojosari)

yang diberi penambahan tepung daun beluntas dalam ransum telah dilaporkan oleh Gunawan (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konversi ransum itik yang diberi tepung daun beluntas sampai dengan taraf 1% selama 10 minggu, lebih tinggi 21,93% (4,17 vs 3,42) dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Rataan konversi

ransum itik akibat pemberian tepung daun beluntas 0%, 0,5% dan 1% selama delapan minggu berturut-turut sebesar 3,42; 4,20 dan 4,17.

Rataan konversi ransum dengan suplementasi santoquin dan vitamin E pada itik MA umur 10 minggu berkisar antara 5,04 hingga 5,40 (Purba, 2010). Hasil

penelitiannya memberikan indikasi bahwa suplementasi berbagai level santoquin dan vitamin E tidak berpengaruh negatif terhadap konversi ransum itik pada umur 10 minggu. Randa (2007) telah melaporkan bahwa rataan konversi ransum itik cihateup

(24)

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei hingga September 2010. Penelitian

dilaksanakan di kandang B Ilmu Produksi Ternak unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian Daun Beluntas (Pluchea indica L.)

Daun beluntas (Pluchea indica L.) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sekitar kandang B bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan dilakukan pada pagi hari pukul

08.00 pagi dengan memotong batangnya sepanjang 20-30 cm dari ujung tanaman. Daun beluntas yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Daun Beluntas yang Digunakan

Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik cihateup umur 1 hari (DOD) sebanyak 96 ekor yang dibagi ke dalam 4 perlakuan 3 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri atas 8 ekor itik. DOD ini diperoleh dari salah satu peternak di Bogor. Itik yang dipelihara memiliki bobot badan awal yang beragam, untuk itu pada

(25)

Gambar 6. Itik Cihateup Umur 2 Minggu

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sistem litter

dengan ukuran 1,5 m x 1,5 m, berjumlah 12 buah dengan alas sekam setinggi 10 cm. Setiap kandang diberi lampu pijar dengan daya 60 watt yang berfungsi sebagai penghangat sekaligus penerang. Tempat pakan (feeder tray) berdiameter ± 38 cm

untuk itik yang berumur 1-7 minggu dan bak hitam berdiameter ± 48 cm untuk itik yang berumur 8-10 minggu dan tempat air minum berkapasitas 5 liter yang diletakkan pada masing-masing bagian kandang dengan posisi tempat minum berada

dibagian tengah dalam tempat pakan. Peralatan yang digunakan adalah gunting untuk memotong tanaman beluntas, tempat mengeringkan daun beluntas, plastik untuk mengeringkan dan menyimpan daun beluntas, ember, kertas label, alat tulis, nomor identifikasi, timbangan digital kapasitas 5 kg dan 2 kg untuk menimbang ransum,

vitamin dan itik. Kandang pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7.

(26)

Ransum

Ransum perlakuan yang diberikan pada itik umur 1-7 minggu adalah :

RK=Ransum komersial sebagai kontrol, yaitu jenis BR 11 yang diproduksi oleh PT Charoen Pokphand,

KB=Ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5%, KBC=Ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan

vitamin C 250 mg/kg,

KBE=Ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin E 400 IU/kg.

Pada minggu ke 8-10, ransum perlakuan yang digunakan ditambahkan dengan dedak. Hal ini dilakukan karena pertambahan bobot badan itik sudah

mengalami penurunan sehingga perlu dilakukan penurunan kandungan protein ransum. Perbandingan ransum komersial dan dedak adalah 40:60. Ransum perlakuan pada itik umur 7-10 minggu adalah :

RK=Ransum komersial+dedak

KB=Ransum komersial+dedak yang mengandung tepung daun beluntas 0,5%

KBC=Ransum komersial+dedak yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin C 250 mg/kg

KBE=Ransum komersial+dedak yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin E 400 IU/kg.

Ransum diberikan dalam bentuk mash dengan sedikit dibasahi. Pemberian

ransum diberikan tiga kali per hari yakni pada pukul 07.30 WIB, pukul 12.00 WIB dan pukul 16.00 WIB. Komposisi kimia ransum komersial, daun beluntas dan dedak padi (as fed) disajikan pada Tabel 1 sedangkan susunan ransum, kandungan nutrien, antinutrien dan antioksidan dalam ransum itik perlakuan umur 1-7 minggu disajikan

(27)

Tabel 1. Komposisi Kimia Ransum Komersial, Daun Beluntas dan Dedak Padi (As

Persiapan kandang dilakukan sebelum itik datang yang dimulai dari pembersihan kandang, penyemprotan kandang dengan air, pembersihan daerah sekitar kandang, penyemprotan dengan desinfektan, pengapuran kandang dan pencucian tempat pakan dan tempat air minum.

Pembuatan Tepung Daun Beluntas

Tanaman beluntas diambil daunnya kemudian dikeringkan selama 3-7 hari pada suhu ruangan. Daun yang telah kering kemudian digiling menjadi tepung daun

(28)

Gambar 8. Daun Beluntas yang Telah Kering dan Tepung Daun Beluntas

Tabel 2. Susunan Ransum, Kandungan Nutrien, Antinutrien dan Antioksidan dalam Ransum Itik Perlakuan Umur 1-7 Minggu

(29)

Tabel 3. Susunan Ransum, Kandungan Nutrien, Antinutrien dan Antioksidan dalam ransum komersial + tepung daun beluntas 0,5%; KBC = ransum komersial + tepung daun beluntas 0,5% + vitamin C 250 mg/kg; KBE = ransum komersial + tepung daun beluntas 0,5% + vitamin E 400 IU/kg

Pembentukan Unit Perlakuan

Itik yang digunakan berjumlah 96 ekor, itik diberikan nomor sayap

(wingband) dan ditimbang untuk mendapatkan bobot badan awal dari masing-masing ternak, lalu dihitung rataan dan standar deviasinya. Kemudian itik dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu itik dengan bobot badan kecil, sedang dan besar. Selanjutnya, itik dari setiap kelompok dibagi ke dalam 4 petak kandang (perlakuan) secara acak.

Pemeliharaan dan Pengambilan Data

Itik dipelihara dari umur 1 hari hingga 10 minggu. Pada umur 1-7 minggu itik diberi ransum perlakuan K, KB, KBC dan KBE. Berikut adalah contoh cara pembuatan setiap kg ransum perlakuan. Pada perlakuan K, ransum yang digunakan

(30)

ransum disusun dengan cara mencampur 5 g tepung daun beluntas dengan 995 g ransum komersial. Pada perlakuan KBC, untuk setiap kg, ransum disusun dengan cara mencampur 5 g tepung daun beluntas dengan 0,25 g vitamin C ke dalam ransum komersial 994,75 g. Pada perlakuan KBE, untuk setiap kg, ransum disusun dengan

cara mencampur 5 g tepung daun beluntas kemudian ditambahkan dengan 0,4 g vitamin E ke dalam ransum komersial sebanyak 994,6 g.

Pada minggu 7-10, ransum perlakuan yang diberikan dilakukan penambahan

dedak. Hal ini dilakukan karena pertambahan bobot badan itik sudah mengalami penurunan sehingga perlu dilakukan penurunan kandungan protein ransum. Perbandingan ransum komersial dan dedak menjadi 40:60. Pada perlakuan K, itik diberi ransum yang disusun dengan cara mencampur ransum komersial sebanyak 400

g dan dedak 600 g. Pada perlakuan KB, itik diberi ransum yang disusun dengan cara mencampur 5 g tepung daun beluntas dengan ransum komersial sebanyak 397,5 g dan dedak 597,5 g. Pada perlakuan KBC, itik diberi ransum yang disusun dengan cara mencampur 5 g tepung daun beluntas dan vitamin C 0,25 g ke dalam ransum

komersial sebanyak 375,375 g dan dedak 597,375 g. Pada perlakuan KBE, itik diberi ransum yang disusun dengan cara mencampur 5 g tepung daun beluntas dan vitamin E sebanyak 0,4 g dengan ransum komersial sebanyak 397,3 g dan dedak 597,3 g.

Pencampuran ransum dilakukan dengan cara mencampur bahan-bahan yang

berbobot kecil dengan sebagian kecil ransum komersial dan dedak kemudian pencampuran bahan dilakukan dengan sedikit demi sedikit hingga seluruh ransum tercampur dengan merata. Prosedur penggantian ransum dilakukan secara bertahap

dengan perbandingan 25:75; 50:50; 75:25; 0:100. Sisa ransum itik dikumpulkan, dijemur di bawah sinar matahari sampai kering dan ditimbang setiap hari untuk memperoleh data konsumsi ransum itik. Penimbangan itik dilakukan setiap minggu menggunakan timbangan elektrik selama penelitian untuk memperoleh data bobot

badan sehingga diketahui pertambahan bobot badannya.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah ;

1. Konsumsi ransum setiap minggu dan 10 minggu. Konsumsi ransum setiap

(31)

seminggu. Konsumsi ransum selama 10 minggu penelitian, diperoleh dengan cara menjumlahkan konsumsi ransum setiap minggu selama 10 minggu. 2. Bobot badan per ekor, yang dilakukan setiap minggu, diperoleh dengan cara

menimbang itik setiap minggu selama 10 minggu pengamatan.

3. Pertambahan bobot badan tiap minggu, diperoleh dengan cara mengurangi rata-rata bobot badan minggu ke-n dengan minggu ke n-1 dalam 10 minggu pengamatan.

4. Konversi ransum yang diperoleh dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 perlakuan, setiap perlakuan terdiri atas 3 kelompok dan setiap kelompok terdiri atas 8 ekor itik. Pengelompokkan bobot badan dilakukan karena kofisien keseragaman bobot badan itik tidak homogen sehingga bobot badan dikelompokkan berdasarkan kelompok kecil, sedang dan besar. Model

rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut : Yij = + Pi + Kj + ij

Yij = Nilai pengamatan jenis ransum ke-i dan kelompok ke-j = Nilai tengah

Pi = Pengaruh jenis ransum ke-i (i=1,2,3,4) Kj = Pengaruh kelompok ke-j (j=1,2,3)

ij = Pengaruh galat dari perlakuan jenis ransum ke-i pada kelompok ke- j (j=1,2,3)

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Itik Cihateup Jantan Umur 1-10 Minggu

Performa itik cihateup jantan umur 1-10 minggu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Performa Itik Cihateup Jantan Selama Penelitian

Peubah yang

5976±44,85 5952±1,07 6029±66,60 5959±6,63

Bobot awal (g/ekor)

69,50±11,26 68,61±12,4 68,69±11,33 67,67±15,17

Bobot akhir (g/ekor)

1416,4±143,0a 1376,8±79,49a 1355,4±56,68a 1531,1±24,0b

Pertambahan bobot badan (g/ekor)

1346,9±134,5a 1308,2±71,35a 1286,7±52,4a 1463,4±29,0b

Konversi ransum

Ket:*)K= ransum komersial; KB= ransum komersial+beluntas 0,5%; KBC= ransum

komersial+beluntas 0,5%+vitamin C 250 mg/Kg; KBE= ransum komersial+beluntas 0,5%+vitamin E 400 IU

Superkrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Konsumsi Ransum

Pada Tabel 4, terlihat bahwa rataan konsumsi ransum itik antar perlakuan

memiliki hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung daun beluntas, vitamin C dan vitamin E tidak memberikan perbedaan palatabilitas ransum. Gunawan (2005) melaporkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam ransum sebesar 0%; 0,5% dan 1% selama delapan minggu tidak

mempengaruhi konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum sebesar 4.883,2-4.885,9 g/ekor.

Randa (2007), melaporkan rataan ransum itik lokal yang dipelihara selama 10 minggu dengan suplementasi vitamin E dan C tidak mempengaruhi konsumsi

(33)

tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum berkisar antara 8.272,50±260 hingga 8.780,36±12,29 g/ekor. Hal ini menggambarkan bahwa suplementasi antioksidan dalam ransum tidak berpengaruh negatif terhadap konsumsi ransum. Grafik konsumsi ransum per ekor per minggu selama penelitian

dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Konsumsi Ransum per Ekor per Minggu Selama Penelitian Pada Gambar 8 terlihat bahwa konsumsi ransum dari minggu ke minggu bertambah sejalan dengan makin bertambahnya umur itik cihateup jantan. Pada

minggu 1-10 konsumsi ransum antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena kandungan energi dan protein ransum antar perlakuan relatif sama. (Tabel 2 dan 3). Kandungan energi dan protein dalam ransum menurut Iskandar et al. (2001) akan menentukan besarnya konsumsi ransum. Pemberian daun beluntas dalam

ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, hal ini menunjukkan bahwa tanin yang terkandung dalam beluntas tidak menurunkan palatablititas ransum. Hasil konsumsi ransum yang tidak berbeda atau tidak menurunnya palatabilitas ransum

tersebut diduga karena kandungan tanin dalam ransum masih rendah. Kandungan tanin dalam daun beluntas yaitu 1,88% (Rukmiasih et al., 2010), berdasarkan perhitungan kandungan tanin dalam 1.000 g ransum dengan taraf 0,5% tepung daun beluntas mengandung 0,01% tanin. Jumlah konsumsi ransum itik cihateup jantan

(34)

sebesar 0,33% tidak membahayakan untuk unggas, tetapi pemberian kadar tanin mencapai 0,5% atau lebih menyebabkan penurunan pertumbuhan.

Pada minggu ke 6-8, konsumsi ransum pada penelitian ini menurun, hal ini disebabkan oleh menurunnya kandungan energi dan protein pada ransum itik

perlakuan. Kandungan energi dan protein dalam ransum menurut Iskandar et al.

(2001) akan menentukan besarnya konsumsi ransum.

Bobot Badan

Rataan bobot badan akhir itik cihateup jantan umur 1-10 minggu memiliki hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Itik yang diberi pakan yang mengandung tepung daun beluntas 0,5%+vitamin E 400 IU, memiliki bobot badan akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. hal ini diduga karena kandungan nutrien dalam

ransum vitamin E dapat diserap dengan baik oleh itik. Menurut Almatsier (2006), mekanisme vitamin E diserap dibagian usus halus dan dibawa ke hati. Fungsi hati adalah mensekresikan getah empedu, dalam getah empedu terdapat asam empedu

yang membantu penyerapan asam lemak, kolesterol dan vitamin larut lemak (Yuwanta, 2004). Semakin banyak vitamin E yang terserap di hati maka hati akan bekerja dengan baik dalam metabolisme ransum yang dikonsumsi, sehingga nutrien dalam ransum seperti lemak bisa dikonversikan menjadi daging. Menurut Soeparno

(35)

Gambar 10. Grafik Bobot Badan Itik Cihateup Jantan Selama Penelitian

Pertambahan Bobot Badan

Pada Tabel 4, terlihat bahwa pertambahan bobot badan (PBB) itik yang diberi tepung daun beluntas 0,5%+vitamin E 400 IU (KBE) nyata (P<0,05) memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan daun

beluntas 0,5% (KB) dan perlakuan daun beluntas 0,5%+vitamin C 250 mg (KBC). Hal ini karena bobot badan akhir pada perlakuan KBE lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan KB dan KBC. Hal ini berarti nutrien dalam ransum yang masuk ke dalam tubuh itik terserap lebih baik daripada KB, KBC dan kontrol sehingga

menghasilkan pertumbuhan bagian-bagian tubuh itik dan pertambahan bobot badan yang diperoleh menjadi optimal.

Gunawan (2005) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan itik akibat penambahan tepung daun beluntas dalam ransum dengan taraf 0,5% dan 1% selama

delapan minggu pemberian tidak berbeda dengan perlakuan kontrol, begitupun dengan bobot badan akhir yang dihasilkan setelah itik mencapai umur 10 minggu. Rataan pertambahan bobot badan yang diperoleh berkisar antara 1.126-1.214 g/ekor.

Konversi Ransum

Pada Tabel 4, itik yang diberi ransum komersial yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% (KB) memiliki konversi ransum 1,09% lebih tinggi dari perlakuan Kontrol. Dibandingkan dengan perlakuan Gunawan (2005) konversi

(36)

menunjukkan penurunan pemberian beluntas 0,5% dapat memperbaiki konversi ransum itik.

Pemberian ransum yang mengandung tepung daun beluntas dan vitamin C 250 mg/kg (KBC) dalam ransum menghasilkan konversi ransum lebih rendah 0,22%

lebih rendah dari perlakuan kontrol. Hal ini berarti itik yang diberi ransum yang mengandung tepung daun beluntas 0,5%+vitamin C 250 mg dapat memperbaiki konversi ransum.

Pemberian ransum yang mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan vitamin E 400 IU (KBE) dalam ransum nyata (P<0,05) lebih rendah 10,94% dari perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan karena itik cihateup perlakuan KBE, memilki konsumsi yang tidak berbeda dengan perlakuan lain namun pertambahan bobot badan pada

(37)

KESIMPULAN

Penambahan tepung daun beluntas 0,5%+vitamin E 400 IU dalam ransum menghasilkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan paling tinggi dan

(38)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kehadirat Nabi Muhammad SAW, rasul akhir zaman.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Rukmiasih, MS selaku pembimbing utama serta Dr.Ir. Sumiati MSc. selaku pembimbing anggota

yang tidak bosan dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si., Dr. Despal M.Sc, Agr dan Ir.Lucia Cyrilla ENSD, M.Si. selaku penguji sidang, atas segala saran dan masukannya penulis mengucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Dwi Joko

Setyono, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberi saran dan motivasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Emiritus. Dr.Peni S. Hardjosworo, M.Sc., yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, Procula R. Matatiputty, M.Si dan Eka Koswara S.Pt atas

bantuan dan kerja samanya dari mulai penelitian hingga penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang banyak mencurahkan perhatian dan kasih sayang, juga kepada seluruh keluarga. Kepada

teman seperjuangan, Benny Yedri, Danang Priyambodo, Fetty Mirfat, Fitriani Eka, dan Suci Agustina, teman-teman Diploma III Teknologi dan Manajemen Ternak 1 dan teman-teman Alih Jenis IPT 2008, atas kerjasama dan kekompakkannya,

penulis mengucapkan terima kasih. Semoga amal ibadah yang kita lakukan diterima oleh-Nya. Amin

Bogor, April 2011

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Achwanu. 1997. Ilmu Ternak Itik. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Anim, A. J., T. L, Lin, P.Y. Hester, D. Thiagarajan, B.A. Watkins, & C.C. Wu. 2000. Ascorbic acid supplementation improved antibody response to infectious bursal disease vaccination in chickens. Poult. Sci.79: 680-688.

Ardiansyah. 2002. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Asiamaya. 2003. Beluntas. http://www.asiamaya.com/jamu/isi/beluntas plucheaindicaless. htm[22 Juni 2010].

Blokhina, O. 2000. Anoxia and oxidative stress: Lipid peroxidation, mithocondrial functions in plants antioxidant status and mitocondrial functions in plants. http://ethesis,helsinki.fi/julkaisut/mat/bioti/vk/blokhina/anoxiaan.html.(2Okto ber 2010).

Cannas, A. 2008. Tannins. http://www.cornelluniversity.edu/Cornellpoisonplant/ ToxicAgents/Tannin/.html [2April 2010].

Colombo, M. L. 2010. Review. An update on vitamin E, tocopherol and tocotrienol perspectives. J. Mol.15:2103-2113.

Conn, C. N.2002. Digestion and Metabolism. In: Bell, D. D. & W. D. Weaver. Jr., (Ed). Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th ed. Kluwer Academic Publishers, Norwell.

Dirjen Peternakan. 2008. Statistika Peternakan 2008. Dirjen Peternakan. Jakarta.

Fan, H.P., Xie M., Wang, W.W, Hou S.S & Huang, W.2008. Effect of dietary energy on growth performance and carcass quality of white growing pekin ducks from two to six weeks of age. Poult Sci. 86:2441-2449.

Gunawan, A. 2005. Penampilan itik jantan yang diberi tepung daun beluntas (Pluchea indica L.) dalam pakan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(40)

Hardjosworo, P. S. 1985. Konservasi Ternak Asli. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Iskandar, S., I. A.K. Bintang & Triyantini. 2001. Tingkat energi/protein ransum untuk menunjang produksi dan kualitas daging anak itik jantan lokal. J. Ilmu Ternak Vet. : 300-309.

Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia (UI)-Press, Jakarta.

Kusnadi, E. 2006. Suplementasi vitamin C sebagai penangkal cekaman panas pada ayam broiler. JITV. 11: 249-253.

Leeson, S & J. D. Summers. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd

. Edition. University Books. Ontario. Canada.

Levy, T. E. 2010. Curing the Incurable: Vitamin C, Infectious Deasease and Toxins. 3rd Edition. The Health Journal Club.

Mattjik, A. A. & I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press, Bogor.

Muzani, A. 2005. Pendugaan jarak genetik pada Itik cihateup, cirebon dan mojosari. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Panovskai, T. K., S. Kulevanova, & M. Stefova. 2005. In vitro antioxidant activity of some Teucrium species Lamiaceae. Acta Pharm. 55:207-214.

Poedjiadi, A. & F. M. T. Supriyanti. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia (UI)-Press, Jakarta.

Purba, M. 2010. Penurunan intensitas off-odor pada daging itik lokal dengan suplementasi santoquin dan vitamin E dalam ransum. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Randa, S. Y. 2007. Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta serta kombinasi komposisi antioksidan (vitamin A, C dan E) dalam pakan. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rose, S.P. 1997. Principle of Poultry Science. Center for Agriculture and Biosciences International, London.

(41)

Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: 256-259.

Rukmiasih, P.S. Hardjosworo & R.R. Noor. 2008. Upaya peningkatan produktivitas itik cihateup sebagai itik unggulan Jawa Barat melalui perbaikan mutu genetik produksi telur dan daging serta pemanfaatannya. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rukmiasih, P. S. Hardjosworo, W. G. Pilliang, J. Hermanianto, & A. Apriyantono. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off odor daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung beluntas (Pluchea indica. L.Less). Med. Pet.33 (2): 68-75.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University (UGM)-Press. Yogyakarta.

Sukmono, R. 2009. Mengatasi Aneka Penyakit Dengan Terapi Herbal. ArgoMedia Pustaka, Jakarta.

Surai, P. F. 2003. Natural Antioxidant in Avian Nutrition and Reproduction. Nottingham University Press. Thrumpton.

Tillman. A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo & Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyudin, 2006. Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap komposisi karkas itik lokal jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan ke-5. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarto, D. 2010. Pemanfaatan vitamin C dan E sebagai antioksidan untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas spermatozoa. Universitas Muhammadiyah Purworejo, Purworejo.

Wulandari, W. A. 2005. Kajian karakteristik biologi Itik Cihateup. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wulandari, W. A, Peni S. H., & Gunawan. 2005. Kajian karakteristik biologis itik Cihateup dari Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 795-802.

(42)

(43)
(44)

Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Itik Cihateup Jantan Selama

Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu Kedua

Sumber

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu Ketiga

(45)

Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu Kelima

Kelompok 2 29143,57 14571,78 3,864

Galat 6 22628,13 3771,35

Total 11 82022,33

(46)

Lampiran 13. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu

Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam Bobot Badan Itik Cihateup pada Minggu Ke 10

(47)

Lampiran 15. Analisis Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Itik Cihateup Selama

Lampiran 16. Analisis Sidik Ragam Rataan Konversi Ransum Selama Pemeliharaan

(48)

Gambar

Gambar 1.  Postur Itik Cihateup Betina (a) dan Jantan Umur 12 Bulan
Gambar 6.  Itik Cihateup Umur 2 Minggu
Tabel 1. Komposisi Kimia Ransum Komersial, Daun Beluntas dan Dedak Padi (As
Gambar 8. Daun Beluntas yang Telah Kering dan Tepung Daun Beluntas
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dilihat dari faktor pendidikan lansia yang tidak hadir ke posyandu lansia di desa Rubaru kecamatan Rubaru kabupaten

BAB III SISTEM PENGAWASAN INTERNAL GAJI DAN UPAH PEGAWAI PADA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN LANGKAT. Pada bab ini, penulis akan menguraikan pengertian

Peningkatan aktivitas serta hasil belajar dan pembelajaran ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keterampilan guru dalam merencanakan dan melaksanakan proses

Mengetahui hubungan kondisi lingkungan rumah (kepadatan hunian, ventilasi, bahan bakar memasak, jenis lantai, dan kelembaban) terhadap kejadian ISPA pada balita

obtained that Bimanese on Kesra VIII PerumnasAmpenan always use “ Kalembo Ade” as their expression during the conversation, obtained through informal interview of

Hum, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang telah member izin pada penulis untuk mengadakan penelitian.. Sutan syahrir Zabda,

Dan diperoleh nilai 18,908 &gt; 3,07 yang berarti bahwa variabel display toko dan motivasi belanja hedonic secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

Dalam hal ini penulis akan menguraikan tentang Gambaram Umum Pembangunan Gedung Rumah sakit &amp; Sejarah Rumah sakit Ortopedi (Prof. Soeharso) Surakarta, Bagaimana Proses