• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL

TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM

PENGELOLAAN IKAN LARANGAN

Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak

Kota Pariaman

IFTITAHUL FAJRIYAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan: Studi Kasus Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)
(5)

ABSTRAK

IFTITAHUL FAJRIYAH. Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan masyarakat di Desa Sungai Pasak Sumatera Barat. Pengelolaan sumberdaya ikan tersebut dikenal dengan sebutan Ikan Larangan. Ikan larangan adalah sebuah sistem pengelolaan ikan melalui sistem tutup untuk beberapa waktu yang dilakukan di sungai atau kanal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan ikan larangan, biaya transaksi, dan mendeskripsikan manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Metode yang purposive sampling terhadap responden dan snowball sampling terhadap informan kunci. Metode lain yang mendukung hasil wawancara adalah observasi lapang dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa area Ikan Larangan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat secara umum melalui pemerintah desa dan kelembagaan adat setempat yang berperan sebagai pengawas. Biaya pengelolaan ikan larangan terdiri dari biaya operasional (Rp 12 000 000) dan biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun). Observasi lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan daerah ikan larangan memiliki dampak positif bagi masyarakat. Beberapa manfaat dari pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum adalah menjaga keberlanjutan, menjaga persaudaraan antara masyarakat, dan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat desa.

(6)

ABSTRACT

IFTITAHUL FAJRIYAH. Analysis of The Role of Local Institutional Economic to Waterworks Utilization about Ikan Larangan Management (Case study Ikan Larangan in Sungai Pasak Village, Pariaman City). Supervised by RIZAL BAHTIAR

This research based on management of fisheries resources by community Desa Sungai Pasak in West Sumatera. Management of fisheries resources is known as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system that applies closing seasons to fishing in a portion of river or canal for a certain period. The purpose of this study was to indentify management of fisheries institutional, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan larangan Desa Sungai Pasak. The research method are purposive sampling and snowball sampling. Another method of supporting the result interview are observations and documentation. The result of research showed that Ikan larangan areas is under the management of community from village government and local comunity representative. Management cost for ikan larangan include operational cost (IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually). Field observation shows that the management of the ikan larangan areas has a positive impact on the villagers. Some of the benefits from the system are fisheries resources in the open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among the villagers, and generating income for villagers.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL

TERHADAP AKSES PEMANFAATAN LINGKUNGAN

DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN

Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak

Kota Pariaman

IFTITAHUL FAJRIYAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

JudulSkripsi : Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman)

Nama : Iftitahul Fajriyah NIM : H44090051

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing

Diketahuioleh

Dr. Ir. AcengHidayat, MT Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Analisis Peran Ekonomi Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota

Pariaman)” dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu langkah dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

 Kedua orang tua tercinta yaitu Ibu Asrida Kasim dan Bapak Izhar Idham, beserta ketiga kakak dan adik saya atas doa, kasih sayang dan perhatiannya.  Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah

membimbing penulis serta Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skiripsi ini.

 Kantor Kesbangpolinmas Kota Pariaman, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman dan warga Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman yang telah membantu selama pengumpulan data.

 Seluruh Rekan-rekan ESL 46, terutama rekan sebimbingan Aulia Putri Adniey, Sri Kuncoro, Khoirunnisa Cahya, Nur Cahaya, Lungit, dan Sarah yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis selama proses penulisan karya tulis ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait dan para pembaca.

Bogor, Agustus 2013

(11)

Halaman

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Hak Kepemilikan (Property Right) ... 8

2.2. Teori Kelembagaan ... 9

2.3. Kinerja Kelembagaan ... 10

2.4. Biaya Transaksi ... 11

2.4.1. Biaya Transaksi Manajerial ... 12

2.5. Ekosistem Sungai ... 13

2.5.1. Pengertian Sungai ... 13

2.5.2. Fungsi dan Manfaat Sungai ... 13

2.6. Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan ... 14

2.7. Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan ... 15

2.8. Penelitian Terdahulu ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1. Kerangka Teoritis ... 18

3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan... ... 18

3.2. Kerangka Operasional... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 22

4.1. Lokasi dan Waktu ... 22

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 22

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 22

4.4. Metode dan Prosedur Analisis Data ... 22

4.4.1. Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan ... 24

4.4.2. Analisis Kinerja Kelembagaan ... 25

4.4.3. Analisis Biaya Transaksi ... 25

4.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan ... 25

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 28

5.1.Kondisi Togografi ... 28

(12)

5.4.Mata Pencaharian ... 31

5.5. Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak... 31

5.6.Karakteristik Responden ... 35

5.6.1. Jenis Kelamin ... 35

5.6.2. Tingkat Umur ... 35

5.6.3. Tingkat Pendidikan ... 36

5.6.4. Jenis Pekerjaan ... 36

5.6.5. Tingkat Pendapatan... 37

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

6.1.Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Larangan ... 38

6.1.1. Pengaruh dan Kepentingan Aktor... 40

6.2.Aturan Pengelolaan Ikan Larangan ... 45

6.2.1. Boundary Rule, Sanksi dan Monitoring terhadap Aturan... 45

6.2.2.Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik... 48

6.2.3.Aturan Ikan Larangan yang Berdampak terhadapPembangunan Desa ... 48

6.2.3.1.Aturan Musim Tutup Wilayah Ikan Larangan... 49

6.2.3.2.Aturan Penetapan Musim Buka Ikan Larangan... 50

6.2.3.3.Aturan Aturan Kegiatan Pemancingan Saat Musim buka Ikan Larangan ... 51

6.2.4.Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan Perikanan Melalui Pengetahuan Lokal... 52

6.3.Analisis Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan ... 53

6.3.1.Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan ... 53

6.3.1.1. Kejelasan Struktur Kelembagaan ... 53

6.3.1.2. Kejelasan Aturan Kelembagaan ... 56

6.3.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan ... 57

6.3.2.1. Partisipasi dalam Kelembagaan ... 57

6.3.2.2. Efektivitas Kelembagaan ... 59

6.4.Analisis Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ... 61

6.4.1.Komponen Biaya Pengelolaan Ikan Larangan ... 61

6.4.2.Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ... 62

6.4.3.Biaya Operasional Pengelolaan Ikan Larangan ... 63

6.5. Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan ... 64

(13)

Halaman

1 Jumlah Lubuk Larangan yang tercatat hingga tahun 2009 ... 6

2 Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Aktor ... 18

3 Matriks Keterkaitan antara Tujuan Penelitian, Parameter atau indikator, dan Analisis data ... 23

4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan ... 27

5 Data penduduk Desa Sungai Pasak... 29

6 Jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut Mata Pencaharian ... 31

7 Identifikasi Aktor dan Peran ... 40

8 Nilai Skor Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan ... 41

9 Peraturan mengenai Pengakuan Pengelolaan Perikanan berdasarkan Pengetahuan Lokal... 52

10Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Kelengkapan Pengurus Kelembagaan ... 54

11 Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Peran dari Susunan Kelembagaan ... 55

12 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Periode Pergantian Pengurus ... 56

13 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Partisipasi dalam Kelembagaan ... 58

14 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Transaparansi Kelembagaan ... 59

15 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Hasil Panen ... 60

16 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat dari Kegiatan Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan ... 60

(14)

Halaman

1 Matriks analisis aktor (Aktor grid) ... 19

2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 21

3 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

4 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Umur ... 35

5 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36

6 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 37

7 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 37

8 Pemetaan Aktor Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak ... 41

9 Hubungan antar Aktor Pengelolaan Desa Sungai Pasak ... 44

10 Analisis Usaha Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak ... 61

11 Persentase persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan ... 65

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner Key Person ... 72

2 Kuisioner Responden ... 75

3 Panduan scoring Penilaian Tingkat Pengaruh dan Kepentingan Aktor terhadap Pengelolaan Ikan Larangan ... 79

4 Panduan scoring Analisis Kinerja Kelembagaan ... 81

(15)

I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Luas perairan umum daratan di Indonesia diperkirakan mencapai 54 juta hektar yang merupakan perairan umum yang terluas di wilayah ASEAN. Dari luasan perairan umum daratan tersebut, 71.63% terdiri dari perairan rawa dan sungai, perairan lebak sebesar 22.13% dan danau (danau alam dan danau buatan) sebesar 3,89%. Sebagian besar perairan tersebut berada di Pulau Kalimantan (60%), Pulau Sumatera (30%) dan sisanya di Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Pulau Nusa Tenggara Barat, Pulau Jawa dan Pulau Bali (Badan Riset Kelautan dan Perikanan 2009). Dari hasil riset mengenai luasan perairan umum daratan di Indonesia, menunjukan bahwa secara garis besar sumberdaya perairan umum daratan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, salah satunya bagi pengembangan dan pemanfaatan sektor perikanan (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya).

Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia mulai mendapat perhatian sekitar tahun 1985. Pengelolaan perikanan yang sebelumnya bersifat tersentralisasi berubah menjadi desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 3 UU No.22/1999 disebutkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Lebih lanjut, pasal 10 UU No.22/1999 menyebutkan kewenangan daerah kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut provinsi. Selain itu kebijakan perikanan yang ada saat ini, UU No.45/2009 yang merupakan perubahan dari UU No.31/2004 diharapkan dapat membangun perikanan Indonesia sesuai dengan perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan yang dimiliki.

(16)

biaya transaksi yang cukup tinggi, kewenangan yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga pemerintahan, data dan informasi yang diperoleh kurang benar atau kurang akurat, dan kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen dalam mengatasi masalah-masalah di lapangan. Hal ini mengakibatkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang menjadi tidak efisien, baik secara ekonomi, sosial dan teknis.

Berdasarkan kelemahan tersebut, pemerintah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat tradisional merupakan suatu rumusan yang perlu dikembangkan terutama dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan ada baiknya dilakukan dengan memandang situasi dan kondisi lokal daerah yang di kelola. Menurut Nikijuluw (2002) dalam Wahyudin (2004), pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat tradisional dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikelola oleh masyarakat melalui adat istiadat lokal yaitu sasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Provinsi Maluku, tradisi Awig-awig di Nusa Penida, Bali dan adanya Lubuk Larangan yang dilakukan masyarakat disekitar sungai di daerah Muaro Bungo, Jambi.

Lubuk larangan adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang merupakan tradisi turun temurun dimasyarakat seperti beberapa daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Pemanfaatan sumberdaya perairan umum bersifat serba guna seperti pola pemanfaatan masyarakat yang memanfaatkan aliran sungai sebagai lahan untuk mengembangkan sumberdaya ikan. Sungai merupakan perairan mengalir dari tingkatan lebih atas yang menunjukkan bagian hulu dan kemudian mengarah ke bawah yang menunjukkan bagian hilir. Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan makluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia.

(17)

dan lainnya. Sungai merupakan sumberdaya air yang kaya dengan keanekaragaman ikan yang selama ini telah banyak dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan bagi manusia. Menurut Naditia (2011) menyatakan bahwa sungai memiliki nilai ekonomi sebesar Rp 53 601 669 968.11 per tahun. Nilai ekonomi total (total economic value) dari sungai terdiri dari nilai ekonomi kegunaan (use value) dan nilai ekonomi bukan kegunaan (non-use value). Hal ini menggambarkan bahwa pengelolaan sungai yang baik akan memberikan manfaat besar bagi kehidupan masyarakat terutama dalam mengembang sumberdaya ikan.

Pengembangan sumberdaya perikanan inilah yang diadopsi untuk dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat di beberapa daerah di Sumatera. Salah satunya bentuk pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Ikan larangan bagi masyarakat Sumatera Barat sama halnya dengan lubuk larangan yang dilakukan masyarakat di Muaro Jambi. Kegiatan ini sudah dilakukan turun-temurun, dimana berdasarkan kesepakatan bersama seluruh masyarakat menetapkan sungai, rawa, atau sumber air lainnya selama kurun waktu tertentu ikan yang ditebar tidak boleh di panen. Komitmen ini dipegang teguh seluruh masyarakat sampai waktu yang ditentukan karena jika dilanggar mereka percaya ada konsekuensi yang akan diterima seperti sakit.

Mengelola sumberdaya yang terdapat di sungai tidaklah mudah, karena sungai merupakan salah satu common-pool resources layaknya laut. Menurut karakteristik fisiknya, common pool resources (sumberdaya milik bersama), yaitu sumberdaya alam yang bersifat tidak bisa dikecualikan (non-excludable), sangat beresiko persoalan penunggang gratis. Common pool resources (CPR) cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin 1968 dalam Yustika 2006). Namun, menurut Ostrom (1990) dan Bromley (1992) dalam Yustika (2006) melaporkan bahwa para pemanfaat CPR mengembangkan kelembagaan yang mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki bersama secara sukses dalam jangka waktu yang lama.

(18)

temurun. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat karena memberikan manfaat yang besar disamping dapat memenuhi kebutuhan pangan, lubuk larangan dapat menjaga keutuhan masyarakat serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan karena terpeliharanya kebersihan sungai dengan adanya ikan tersebut. Lebih lanjut Surma, dkk (2008) menambahkan bahwa secara sosial ekonomi keberlanjutan pengelolaan lubuk larangan tidak lepas dari kemampuan komunitas pengelola lubuk larangan dalam menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam sistem pengelolaan lubuk larangan, sehingga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menciptakan nilai dan aturan baru.

1.2 Perumusan Masalah

Tradisi ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Pengelolaan ikan di perairan umum ini memiliki dua kategori yaitu ikan diniatkan dan ikan larangan. Ikan diniatkan adalah ikan yang berada di perairan yang telah dituahi atau didoakan terlebih dahulu oleh salah seorang pemuka adat agar ikan-ikan yang dilepas di wilayah tersebut aman. Menurut Pahlevi (2002), ikan-ikan diniatkan merupakan aturan yang dibuat masyarakat sehingga mereka patuh terhadap ketentuan yang telah diputuskan bersama dan memperlihatkan bahwa mereka sangat percaya terhadap pemimpin adat yang telah menuahi/mendoakan ikan-ikan tersebut saat pembukaan tradisi pengelolaan ikan tersebut. Hal ini lebih pada kepercayaan dimana ketika pemimpin yang menuahi ikan-ikan tersebut meninggal, masyarakat tidak ada yang berani untuk mengambil ikan tersebut sehingga membiarkan ikan tersebut terus tumbuh di sungai.

(19)

dijadikan daerah ikan larangan. Sebenarnya, ikan larangan termasuk dalam daerah ikan diniatkan karena tidak ada perbedaan dalam pengelolaannya.

Informasi mengenai kegiatan ikan diniatkan dan ikan larangan sangat terbatas. Hal ini membuat sulit untuk mengetahui kapan asal mulanya ikan diniatkan dan ikan larangan dimulai. Menurut Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat (1998) dalam Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan diniatkan telah menurun selama beberapa tahun terakhir, sementara sejumlah daerah ikan larangan telah meningkat. Penurunan jumlah daerah ikan diniatkan mungkin karena jumlah pemimpin desa dengan supranatural kekuasaan telah menurun. Selain itu, pemimpin desa enggan untuk melatih kekuatan untuk membuka daerah baru ikan diniatkan. Mereka khawatir tentang keselamatan penduduk desa yang ingin membuktikan kebenaran dari kemampuan mereka.

Tradisi ikan larangan hampir punah pada masa pembangunan. Berkurangnya wibawa surau dan ninik mamak sebagai institusi kultural akibat sentralisasi bentuk pemerintahan orde baru menjadi faktor utama ditinggalkannya tradisi lubuk larangan. Berdasarkan catatan Dinas Perikanan Propinsi Sumatra Barat, jumlah daera ikan larangan yang pernah menjadi sumberdaya perikanan lokal di wilayah-wilayah bersungai Sumatra Barat, tinggal beberapa saja pada tahun 1993 (Pahlevi 2002). Namun, tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan kembalinya propinsi Sumatra Barat menerapkan bentuk pemerintahan nagari setelah pemerintah membuka peluang itu berdasarkan UU No 32 tahun 2004. Di sisi lain, daerah Ikan Larangan telah meningkat karena dua alasan. Pertama, kepala desa/nagari bersedia untuk membudidayakan ikan mas (Cyprinus carpio) di daerah ikan larangan. Kedua, mengelola daerah ikan larangan jauh lebih mudah karena pemerintah daerah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan pemberian benih ikan dan ikut membantu melestarikan tradisi tersebut.

(20)

Tabel 1 Jumlah lubuk larangan yang tercatat hingga tahun 2009

No Kabupaten/Kota Jumlah Lubuk Larangan

1 Kota Padang 9

2 Kabupaten Pasaman Barat 191

3 Kabupaten Pesisir Selatan 11

4 Kabupaten Padang Pariaman 79

5 Kabupaten Tanah Datar 33

6 Kabupaten Solok 6

13 Kabupaten Solok Selatan 39

14 Kabupaten Pasaman 130

15 Kota Sawahlunto 8

16 Kota Bukittinggi 3

17 Kota Padang Panjang 2

Total 734

Sumber : Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat dalam angka 2009

Tabel di atas menunjukan bahwa kearifan lokal seperti ikan larangan telah diakui oleh pemerintah. Kearifan lokal suku Minangkabau yang dikenal dengan petitih alam takambang manjadi guru (alam terkembang menjadi guru), yang menganggap alam sebagai guru dalam melakukan tindak tanduk kehidupan. Kearifan lokal telah menuntun masyarakat untuk mengambil manfaat dari SDA tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan ekologisnya. Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut tercermin pada pengelolaan ikan larangan seperti yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Pasak. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1 Bagaimana bentuk kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak?

2 Bagaimana efektifitas kinerja kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak?

3 Berapakah biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak?

4 Bagaimana persepsi masyarakat mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1 Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak.

2 Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak.

3 Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak melalui pendekatan biaya transaksi.

4 Mendeskripsikan manfaat pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah: 1 Manfaat pengelolaan ikan larangan pada penelitian ini berdasarkan analisis

deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan.

2 Penelitian ini hanya menganalisis bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.

3 Kelembagaan yang diidentifikasi merupakan kelembagaan lokal pengelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.

(22)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan (property right) adalah klaim yang sah terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilikan hak (Hartwick dan Olewiler, 1998) dalam Fauzi (2006). Selain itu, menurut Bromley (1989) dalam Fauzi (2006) juga menyebutkan bahwa di dalam sumberdaya alam terdapat sumberdaya dan rezim pemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan jelas. Satu sumberdaya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan.

Hak pemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari : (1) State property dimana klaim pemilikan berda di tangan pemerintah; (2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi); (3) Common property atau Communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumberdaya seperti ini dikatakan sebagai open access. Terbukanya akses untuk memiliki sumberdaya ini sering dikenal dengan common resources. Masalah common resources dititikberatkan pada alokasi dan penggunaan sumberdaya alam serta efek yang ditimbulkannya. Common resources atau common-pool resources adalah sumberdaya alam atau sumberdaya buatan manusia (man-made) yang karena besarnya akses terhadap sumberdaya tersebut sulit dikontrol dan pemanfaatan oleh seseorang bersifat mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan sumberdaya tersebut.

(23)

antara suatu komponen, katakanlah jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungan alam. Sifat indivisibilitas artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-bagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat indivisibilitas muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat subtraktabilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu lain (Nikijuluw 2005).

2.2 Teori Kelembagaan

Ostrom (1985) dalam Suhana (2008a) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Sementara itu, Rutherford (1994) dalam Suhana (2008a) menyatakan bahwa kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar. Hal ini juga dijelaskan North (1994) dalam Suhana (2008a) dengan memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan sosial.

(24)

seseorang atau kelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain(kebolehan), bagaimana mereka mampu mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya (ketidakmampuan atau exposure). Menurut Bromley (1989) dalam Arifin (2005), kelembagaan dapat digambarkan sebagai rangkaian hubungan keteraturan antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban serta kewajiban menghargai hak orang lain, dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut.

Menurut Pejovich (1999) dalam Suhana (2008a), kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni : (1) Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi); (2) Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan (3) Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

2.3 Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan yang relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson 2003 dalam Syahyuti 2004). Menurut Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004) ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan yaitu :

(25)

(stakeholder), infrastruktur, serta kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Seluruh komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan.

Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut.

Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini yang dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur melalui lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers dan external donor.

Keempat, kinerja kelembagaan. Ada tiga pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan, efisisensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan luarnya. Pada dimensi ini lebih pada kalkulasi secara ekonomi untuk mengukur keefektifan dan efisiensi suatu kelembagaan.

2.4 Biaya Transaksi

Biaya transaksi biasanya digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi (transaksi), maka semakin tidak efisien kelembagaan yang dibentuk, demikian sebaliknya. Semakin rendah biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, maka akan lebih efisien kelembagaan tersebut. Namun, teori biaya kelembagaan belum memiliki makna definitif, yang artinya terkait dengan sudut pandang para ahli ekonomi kelembagaan.

(26)

maka sangat sulit untuk menetapkan hak kepemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Namun, jika biaya transaksi nol maka hak kepemilikan terpenuhi. Dengan kata lain, biaya transaksi nol disebabkan oleh hak kepemilikan akan terkukuhkan karena kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik untuk memiliki aset), memiliki pengetahuan yang penuh atas nilai dari aset tersebut.

Menurut Furobotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya melakukan hak untuk memberi pesanan di dalam perusahaan. Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan. Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi tersebut dapat dibedakan menurut dua tipe: (1) biaya transaksi tetap, yaitu investasi spesifik yang dibuat didalam menyusun kesepakatan kelembagaan; dan (2) biaya transaksi variabel, yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan volume transaksi.

Pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi. Keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu membedakan biaya tetap dan biaya variabel dalam biaya transaksi tidak semudah membandingkannya dalam biaya produksi. 2.4.1 Biaya Transaksi Manajerial

Furubotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan terdapat dua tipe biaya taransaksi manajerial, yaitu :

Biaya penyusun, pemeliharaan atau perubahan desain organisasi. Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas, yang biasanya secara tipikal masuk ke dalam biaya transaksi tetap.

(27)

2.5Ekosistem Sungai

2.5.1 Pengertian Sungai

Sungai merupakan jalan air alami, mengalir menuju samudera, danau atau laut, atau ke sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir meresap ke dalam tanah sebelum menemukan badan air lainnya. Selain itu, sungai juga tempat air hujan turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama. Aliran air biasanya berbatasan dengan kepada saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri dan kanan. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.1

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

2.5.2 Fungsi dan Manfaat Sungai

Pemanfaatan sumberdaya alam seperti sungai, masyarakat dituntut untuk memperhatikan tiga aspek secara menyeluruh, yaitu aspek sosial budaya, aspek kelestarian lingkungan, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut akan menjadi satu kesinambungan yang penting terjaga bagi pemanfaatan fungsi sungai yang tepat. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai menyatakan bahwa bahwa sungai sebagai sumber air yang sangat penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pembangunan nasional.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dalam Naditia (2011), manfaat sungai bagi manusia adalah sebagai berikut:

1

(28)

a Sumber air baku air minum (PDAM).

b Sumber air bagi pengairan wilayah pertanian atau irigasi.

c Sumber tenaga listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). d Tempat untuk mengembangbiakkan dan menangkap ikan guna memenuhi

kebutuhan manusia akan protein hewani. e Tempat rekreasi, melihat keindahan air terjun.

f Tempat berolahraga, seperti berperahu pada arus deras, lomba dayung. g Tempat untuk memenuhi kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan

penduduk yang tinggal di tepi sungai, seperti mencuci, mandi, dsb. h Sarana pendidikan dan penelitian.

i Sumber plasma nutfah (keanekaragaman hayati). j Tempat ritual kebudayaan.

k Air baku industri dan pertambangan. l Sumber tambang galian C (pasir, kerikil). m Penggelontoran.

n Transportasi air. o Pengendali banjir. p Pasar terapung.

2.6Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan

(29)

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 1 ayat 35 menyatakan kearifan lokal adalah gagasan-gagasan masyarakat setempat yang bersifat bijaksan, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertana dan diikuti oleh anggota masyarakat.

Pengetahuan lokal masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang hal-hal-hal yang terkait dengan lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan geografis. Menurut Ruddle (2000) dalam Adrianto, et al (2011) menyatakan bahwa praktik pengelolaan perikan berbasis pengetahuan lokal/adat paling tidak memiliki empat ciri. Pertama, praktek ini sudah berlangsung lama, empiris dan dilakukan di suatu tempat (spesifik terhadap lokasi tertentu), mengadopsi perubahan-perubahan lokal, dan dalam beberapa hal sangat detil. Kedua, berorientasi pada perilaku masyarakat, tidak jarang spesifik untuk tipe sumberdaya dan jenis ikan tertentu yang dianggap sangat penting. Ketiga, bersifat struktural, memiliki perhatian yang kuat terhadap sumberdaya dan lingkungan sesuai konsep ekologis dan biologis. Keempat, sangat dinamik sehingga adaptif terhadap perubahan dan tekanan-tekanan ekologis dan kemudian mengadopsi adaptasi terhadap perubahan tersebut ke dalam inti dari pengetahuan lokal yang menjadi pengetahuan lokal yang menjadi basis pengelolaan perikanan.

2.7Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan

(30)

dan T. soro (kancera). Ikan tambra dan semah dapat mencapai panjang sekitar satu meter, walaupun tangkapan yang dijual biasanya berukuran maksimum 30 cm.2

Ikan ini hidup di sungai-sungai beraliran deras di pegunungan dan populasi sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat adalah semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi menurun. Bahkan telah dilaporkan pula penangkapan di beberapa taman nasional. Pihak berwenang di Indonesia (Balai Benih Ikan lokal), seperti di Jawa Tengah, Padang Pariaman, dan beberapa kabupaten pedalaman Jambi telah mulai mengembangkan teknologi pembiakan menggunakan pemijahan buatan dan paket budidaya.

Selain itu, di Padang Pariaman aturan adat setempat juga ditegakkan dengan pemberlakuan zona larangan, penyangga, dan penangkapan. Penangkapan hanya dilakukan apabila terdapat izin dari kerapatan adat. Pengembangan pengelolaan ikan larangan saat ini tidak hanya pada jenis ikan garing tetapi jenis ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila juga dikembangkan.

2.8Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil kajian mengenai pengelolaan ikan larangan. Beberapa penelitian sebagai berikut :

Pahlevy (2002), dengan hasil penelitian berjudul “Ikan Diniatkan and Ikan

Larangan : Areas of Traditional Fish Cultivation in Districs of Pasaman and

Padang Pariaman, West Sumatera Province”. Penelitian ini menyatakan bahwa adanya peran lembaga adat, kelembagaan informal dan lembaga desa yang ada di masyarakat Pasaman dan Padang Pariaman dalam mengembangkan ikan larangan. Kesinambungan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan ditentukan oleh desa-desa melalui lembaga pemimpin adat. Penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan membentuk batas-batas wilayah yang jelas yang diakui oleh desa. Pengelolaan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan didukung oleh masyarakat karena memiliki dampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sistem manajemen di kedua daerah telah diberlakukan untuk waktu yang lama dan telah lulus dari satu generasi ke generasi yang lain. Sistem ini

2

(31)

efisien dan efektif serta masih ada. Pemerintah daerah juga telah memberikan bantuan teknis yang sama untuk meningkatkan manajemen di dua daerah.

Suhana (2008b), dengan judul penelitian “Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup”. Penelitian ini menyampaikan bahwa sistem pengelolaan perikanan di perairan umum dipengaruhi oleh adanya peranan masyarakat hukum adat yaitu kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Dalam makalah ini, tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum.

Parwati, et al (2012), dengan penelitian berjudul “Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang

Surau, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi Sumatera Barat”. Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi nilai-nilai pelestarian lingkungan yang terkandung dalam kearifan lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung tersebut. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Lubuk Larangan Ngalau Agung memiliki batas areal tidak boleh diganggu masyarakat memberikan dampak positif pada pelestarian lingkungan; (2) Nilai pelestarian lingkungan dalam pelaksanaan kearifan lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung berupa tidak boleh menyakiti ikan, tidak boleh mengambil ikan,kecuali hari tertentu yang ditetapkan bersama, tidak boleh menganggu ikan, tidak boleh berkata tidak baik (takabur) disekitar lokasi lubuk larangan, dan tidak boleh berlaku tidak baik di lokasi lubuk larangan.

(32)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan

Aktor merupakan kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freeman, 1984). Analisis aktor digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (terkait dengan pengaruh dan kepentingan) dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak.Analisis aktor merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu sistem melalui identifikasi aktor kunci atau stakeholder pada suatu sistem dan menduga peranannya pada sistem tersebut (Grimble dan Chan 1995 diacu dalam Haswanto 2006). Identifikasi dan pemetaan aktor dilakukan melalui wawancara dengan panduan wawancara. Pengolahan data kualitatif dari hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima (Tabel 1).

Tabel 2 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor

Skor Nilai Kriteria Keterangan

Kepentingan Aktor

5 17-20 Sangat tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya

4 3-16 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan

sumberdaya

3 9-12 Cukup tinggi Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya

2 5-8 Kurang tinggi Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya

kecil

1 0-4 Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya

Pengaruh Aktor

5 17-20 Sangat tinggi Jika responnya berpengaruh nyata terhadap

aktivitas aktor lain

4 13-16 Tinggi Jika respon berpengaruh besar terhadap aktivitas

aktor lain

3 9-12 Cukup tinggi Jika responnya cukup berpengaruh terhadap

aktivitas aktor lain

2 5-8 Kurang tinggi Jika responnya berpengaruh kecil terhadap

aktivitas aktor lain

1 0-4 Rendah Jika responnya tidak berpengaruh terhadap

aktivitas aktor lain Sumber : Abbas (2005) dalam Haswanto (2006)

Langkah-langkah dalam melakukan analisis aktor adalah: 1 Identifikasi aktor

(33)

3 Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor 4 Membuat aktor grid

Setelah diketahui nilai dari tingkat kepentingan dan pengaruh yang dimiliki masing-masing aktor maka dapat dipetakan ke dalam matriks analisis aktor pada Gambar 1.

Gambar 1 Matriks analisis aktor (Aktor grid)

Kuadran I (subjek) menunjukan kelompok aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran II (pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan. Kuadran III (penonton) merupakan kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Kepentingan mereka dibutuhkan untuk memastikan kepentingan nya tidak terpengaruh dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kuadran IV (aktor) merupakan aktor yang terpengaruh tapi rendah kepentingan dalam tujuan dan hasil kebijakan (Suhana 2008). Tabel parameter dan indikator analisis aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Ikan larangan adalah sebuah komitmen bersama untuk memelihara sungai sebagai pusat kegiatan masyarakat. Komitmen bersama masyarakat untuk memelihara sungai tersebutlah yang menjadikan ikan larangan terus berkembang hingga saat

(34)

ini. Hal terpenting yang bisa dipelajari dari tradisi ini adalah kemampuan masyarakat sebuah jorong (wilayah hunian di bawah nagari) dalam menjaga nilai-nilai musyawarah dan keajegan ekosistem perairan di wilayah mereka. Sebab dalam proses pembukaan ikan larangan, mufakat dan kesediaan mematuhi aturan nagari merupakan unsur yang utama.

(35)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional Memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya perairan umum melalui

perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan melalui kearifan lokal

Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak

Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak

Aturan pengelolaan ikan larangan

Identifikasi aktor

Kepentingan dan pengaruh aktor

Kinerja kelembagaan pengelolaan ikan

larangan

Manfaat ikan larangan Biaya

transaksi

(36)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja karena Desa Sungai Pasak memiliki kawasan ikan larangan. Masyarakat Desa Sungai pasak masih memelihara kultur pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Waktu yang digunakan untuk pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2013.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (key informant) dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung dilapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari instansi pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang terkait dengan ikan larangan.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data primer. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi memberikan informasi mengenai objek penelitian. Teknik pemilihan informan menggunakan snowball sampling sebanyak 7 orang. Sedangkan responden adalah masyarakat Desa Sungai Pasak. Selain itu, teknik pemilihan responden dengan teknik purposive sampling dengan responden sebanyak 40 responden. Responden berasal dari masyarakat yang tinggal dekat dengan area ikan larangan.

4.4Metode dan Prosedur Analisis

(37)

melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk penyeragaman data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan dalam bentuk analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007 dan aplikasi Graph. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 3 Matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, parameter atau indikator, dan analisis data

No Tujuan Penelitian Parameter atau indikator Metode Analisis Data 1 Menganalisis

a. Identifikasi aktor dan peranannya dalam

(38)

4.4.1 Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan

Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dan aturan masyarakat dalam mengelola sumberdaya ikan di sungai seperti ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. Analisis ini meliputi beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antara fenomena yang diselidiki.

Kelembagaan dalam pengelolaan ikan larangan dalam konteks penelitian ini merupakan kelembagaan yang mengatur aktivitas dalam mengelola sumberdaya ikan yang terdapat dalam area sungai dan aliran irigasi yang telah ditetapkan sebagai area ikan larangan. Selain itu, kelembagaan ini berperan dalam mengawasi pemeliharaan ikan, mengatur waktu yang tepat untuk mengambil ikan, serta mengatur hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan di area ikan larangan.

Beberapa atribut yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan ikan larangan adalah: Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang ada pada ikan larangan Desa Sungai Pasak. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasikan peran dimiliki dalam kelembagaan.Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu: (1) boundary rule mengenai tata aturan yang terdapat dalam kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola bersama-sama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan; serta (4) aturan dalam setiap penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan.

(39)

4.4.2 Analisis Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003) dalam Syahyuti (2004). Analisis kinerja kelembagaan teori keempat dari teori Mackay et al (1998) dalam Syahyuti(2004). Penelitian ini hanya melihat kinerja kelembagaan berdasarkan kejelasan kelembagaan dalam mencapai outcome dan efektivitas kinerja kelembagaan. Penilaian ini ditujukan untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Tabel parameter analisis kinerja kelembagaan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.4.3 Analisis Biaya Transaksi

Dalam pengelolaan ikan larangan secara umum memiliki biaya transaksi berupa biaya pemeliharaan ikan larangan, biaya pada saat pembukaan atau pemanenan ikan larangan dan lain-lain. Biaya transaksi tersebut termasuk kedalam biaya transaksi manajemen. Menurut Furubotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008a) biaya transaksi secara umum mencakup biaya transaksi manajemen dan biaya transaksi politik.

Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak adalah:

TrC=∑Sij...(1)

Keterangan:

TrC : Total Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan Sij : Komponen Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan

Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya menjalankan organisasi seperti biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama yang meliputi biaya tutup untuk penetapan lokasi ikan larangan serta biaya pada waktu ikan larangan dibuka atau dipanen.

4.4.4 Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan

(40)

memadukan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk itu diperlukan mengidentifikasi manfaat apa yang terkait pengelolaan ikan larangan tersebut melalui penilaian persepsi responden. Data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari pengelolaan ikan larangan adalah data primer melalui observasi dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert.

Skala Likert merupakan metode untuk mengukur luas/dalamnya persepsi dan pendapat dari responden. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan jawaban (Gumilar, 2012). Urutan untuk skala Likert menggunakan lima angka penilaian, yaitu (1) sangat setuju (SS, bobot 5), (2) setuju (S, bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot 3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2), dan (5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1).

Menurut Riduwan dan Sunarto (2007) cara menghitung skor dari pernyataan yang dinilai menggunakan skala likert adalah setiap skor jawaban yang dijawab responden dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab pernyataan tersebut. Misalkan dari 70 responden yang digunakan dalam menilai suatu aspek, berikut rangkuman hasil penilaian menjawab (5) = 2 orang, menjawab (4) = 8 orang, menjawab (3) = 15 orang, menjawab (2) = 25 orang, dan menjawab (1) = 20 orang. Maka jumlah skor untuk yang menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan seterusnya hingga jawaban skala 1.

Interpretasi skor perhitungan dilakukan dengan menghitung skor ideal yaitu 5 x 70 = 350 dan skor terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total skor penilaian di peroleh angka 157, maka penilaian responden adalah : (157/350) x 100% = 44.86%, atau bisa dikategorikan sebagai cukup. Berikut kriteria interpretasi skor : - Angka 0% – 20% = Sangat lemah

- Angka 21% – 40% = Lemah - Angka 41% – 60% = Cukup - Angka 61% – 80% = Kuat

(41)

Berikut matriks analisis manfaat dari pengelolaan ikan larangan dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan:

Tabel 4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan

Aspek Indikator

1. Ekonomi

2. Sosial

3. Lingkungan

Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat dari pengelolaan ikan larangan adalah:

a. Meningkatkan pendapatan masyarakat

b. Menjaga ketersediaan sumberdaya ikan untuk konsumsi

c. Sebagai sumber pendanaan desa d. Sebagai alternatif wisata/hiburan

Manfaat sosial yang dirasakan oleh masyarakat dari pengelolaan ikan larangan adalah:

a. Terbinanya kerukunan bermasyarakat b. Meningkatkan kedisiplinan di masyarakat c. Sebagai warisan budaya

d. Mendorong terwujudnya kemandirian ekonomi Manfaat ikan larangan dari aspek lingkungan meliputi:

a. Mencegah kerusakan lingkungan b. Menjaga kelestarian jenis ikan lokal c. Menjaga sumber air bersih

d. Sebagai salah satu bentuk pelestarian lingkungan e. Sebagai sarana melindungi spesies ikan lokal (ikan

(42)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Kondisi Topografi

Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Secara georafis Desa Sungai Pasak terletak antara 100°9'12'' BT dan 1°24'13'' LS. Desa ini berada pada ketinggian 5 mdpl dengan luas wilayah sebesar 165 Ha. Suhu rata-rata Desa Sungai Pasak berada sekitar 30 derajat celcius. Secara administrasi Desa Sungai Pasak berbatasan dengan 4 desa, yaitu:

- Sebelah Utara : Desa Talago Sarik, Kecamatan Pariaman Timur. - Sebelah Selatan : Desa Kajai, Kecamatan Pariaman Timur.

- Sebelah Barat : Desa Sungai Sirah, Kecamatan Pariaman Timur. - Sebelah Timur : Desa Air Santok, Kecamatan Pariaman Timur.

Desa Sungai Pasak terletak pada dataran rendah yang terdiri dari wilayah daratan bukan pantai. Secara umum, kondisi lingkungan di Desa Sungai Pasak relatif masih alami. Terlihat dari ketersediaan kawasan (tata ruang desa) dimana kawasan pemukiman yang digunakan sebesar 65 ha dan kawasan pertanian sebesar 85 ha. Desa ini berjarak 5 km dari Kota Pariaman dengan waktu tempuh 15 menit. Sedangkan untuk menempuh Kota Padang, ibukota provinsi membutuhkan waktu selama 1 jam 30 menit dengan jarak sekitar 50 km.

Akses lalu lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Kendaraan yang banyak digunakan untuk menempuh desa ini adalah ojek. Hal ini dikarenakan belum adanya trayek angkutan desa yang melalui desa ini, walaupun kondisi jalan telah layak untuk dilalui angkutan. Jalan menuju desa ini baik dan telah diaspal.

5.2 Kondisi Demografi

(43)

Sungai Pasak Utara, Dusun Sungai Pasak Selatan, Dusun Sungai Pasak Timur dan Dusun Sungai Pasak Barat. Posisi desa dikelilingi oleh lahan sawah pertanian, sungai, serta saluran (banda) irigasi untuk pengairan sawah.

Berikut gambaran jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut tingkat usia dan jenis kelamin, kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5 Data penduduk Desa Sungai Pasak

No Penduduk Desa Sungai Pasak Jumlah (dalam Jiwa) Persentase (%)

1 Rasio Jenis Kelamin

(44)

Berdasarkan data monografi desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa Sungai Pasak sekitar 1.072 jiwa yang terbagi dalam 268 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 510 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 562 jiwa. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap dusun hampir merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan seimbang. Dalam profil Desa Sungai Pasak tahun 2012 penduduk terbagi berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin, kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan.

Berdasarkan kategori tingkatan usia penduduk Desa Sungai Pasak dikelompokkan menjadi 13 kelompok usia. Sebaran terbanyak berada pada kelompok usia 35-49 tahun. Hal ini menandakan bahwa penduduk Desa Sungai Pasak memiliki jumlah penduduk dewasa produktif cukup tinggi yang juga berkaitan dengan kelompok usia tenaga kerja. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 33,23% penduduk Desa Sungai Pasak telah mengenyam pendidikan sekolah menengah atas. Penduduk Desa Sungai Pasak 100% menganut agama Islam.

5.3 Sarana dan Prasarana Desa

Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Akses terhadap desa sudah cukup baik karena jalan-jalan menuju desa telah di aspal. Namun, untuk kendaraan angkutan umum ke desa memang tidak ada, masyarakat desa terbiasa untuk menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda, sepeda motor ataupun ojek. Meskipun demikian, kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak mencukupi maka secara swadaya masyarakat desa dapat membantu mencukupi pembangunan sarana desa.

(45)

5.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokokDesaSungaiPasak terbesar yaitu di bidang pertanian dan peternakan karena daerah ini sangat cocok untuk bertani dan ternak. Selain itu, terdapat mata pencaharian lain di berbagai sektor. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

Tabel 6 Jumlah Penduduk Desa Sungai Pasak Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah(Jiwa) Persentase

1 Petani 68 23,94

2 Peternak 83 29,23

3 Buruh Tani 14 4,93

4 Wiraswasta 38 13,38

5 Pertukangan 15 5,28

6 Pegawai negeri sipil 25 8,80

7 Swasta 36 12,68

8 Nelayan 1 0,35

9 Pensiunan 4 1,41

Total 284 100

Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Sungai Pasak 2012

Terdapat 284 jiwa (36,45%) dari usia produktif 779 jiwa jumlah penduduk berusia 15-57 penduduk Desa Sungai Pasak yang mempunyai pekerjaan seperti pada Tabel 5. Sebagian besar penduduk Desa Sungai Pasak mempunyai pekerjaan sebagai petani dan peternak.

5.5 Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak

(46)

budidaya ikan dimana adanya kegiatan penebaran benih, pemeliharaan dalam beberapa waktu kemudian dipanen.

Pengelolaan ikan larangan di Kota Pariaman masih dikelola oleh masyarakat secara umum dibawah pengawasan pimpinan nagari/desa. Pimpinan nagari adalah ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Di ranah Minangkabau termasuk Kota Pariaman pola kepemimpinan masih menganut sistem Tungku Tigo Sajarangan yang merupakan sebuah kesatuan dari kepemimpinan ninik mamak (adat istiadat), alim ulama (agama), dan cadiak pandai (ilmu pengetahuan/pemerintahan). Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri.

Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman merupakan salah satu desa yang memiliki ikan larangan. Desa Sungai Pasak memiliki satu sungai dengan panjang 1000 meter. Sejak tahun 1970 melalui musyawarah adat ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai beserta masyarakat desa telah menetapkan sungai tersebut sebagai wilayah terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu yang ditetapkan. Keputusan ini menjadikan ikan yang ada di sungai desa sebagai ikan larangan. Sistem pengelolaan ikan larangan yang telah diterapkan oleh masyarakat Desa Sungai Pasak merupakan sebuah kearifan masyarakat yang partisipatif, adaptif dan berkelanjutan dalam pelestarian sumberdaya perikanan sungai khususnya ikan lokal yaitu ikan garing (Tor sp).

(47)

kegiatan keagamaan seperti maulid nabi atau menjelang bulan ramadhan. Pada awalnya pemanenan ikan yang dilakukan Desa Sungai Pasak terjadi satu kali dalam setahun.

Menurut masyarakat desa, ikan larangan memiliki banyak manfaat disamping untuk pembangunan desa, ikan larangan berdampak bagi lingkungan dan dapat menjadi hiburan di desa. Besarnya manfaat yang diterima dari ikan larangan tersebut membuat desa melakukan penambahan daerah untuk ikan larangan tersebut. Hal ini dikarenakan Desa Sungai Pasak memiliki banda (aliran air untuk irigasi pertanian) yang akhirnya dimanfaatkan juga sebagai daerah ikan larangan. Ide memanfaatkan banda tersebut di awali dari wakaf yang diberikan oleh seorang warga Desa Sungai Pasak. Pemberi wakaf tersebut memberikan wakaf dalam bentuk semen untuk pembangunan mesjid Raya Sungai Pasak setiap tahunnya.

Saat itu, mesjid dalam keadaan baik sehingga timbullah masukan dari kepala desa untuk mengembangkan wakaf tersebut untuk ke pembangunan lain namun dapat berkembang terus-menerus yang hasilnya masih dapat digunakan untuk kepentingan Desa Sungai Pasak. Ide tersebut disambut baik oleh ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat desa. Selain untuk menyalurkan wakaf dari warga, penggunaan banda sebagai banda larangan untuk mengembangkan ekonomi produktif di Desa Sungai Pasak. Ekonomi produktif yang dimaksud adalah bagaimana cara masyarakat dapat memikirkan perekonomian desa dan juga mengembangkan potensi desa. Setelah dimusyawarahkan maka ditetapkan oleh ninik mamak bahwa banda irigasi desa digunakan sebagai daerah ikan larangan (banda larangan). Kesepakatan tersebut ditetapkan tahun 1987.

(48)

melanggar. Dimensi spiritual (agama dan kepercayaan) serta kepatuhan terhadappemuka/kepala adat yang selalu menekankan tentang hubungan antara manusia dan pencipta serta makhluk hidup lain sebagai bagian dari alam menjadipijakan dalam pengelolaan ikan larangan. Sistem yang ada pada masyarakat tradisional tersebut tidak lain adalah diperuntukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki agar tetap lestari dan dapat dimanfaatkanuntuk generasi penerus selanjutnya.

Berdasarkan keputusan bersama antara pemangku adat dan masyarakat beserta perangkat pemerintahan desa, setelah tiga kali pembukaan ikan larangan di Banda Larangan Desa Sungai Pasak maka dilakukan perubahan pola pengelolaan. Dahulu ikan yang terdapat di banda dikelola sesuai dengan pengelolaan ikan di sungai, yaitu ikan diniatkan. Namun, dilihat dari hasil yang diperoleh maka diputuskan bahwa ikan yang ada di perairan umum Desa Sungai Pasak baik sungai maupun banda tidak lagi diniatkan. Walaupun tidak diniatkan melalui dimensi spiritual wilayah perairan umum desa masih ditetapkan sebagai Lubuk dan Banda Larangan.

Keputusan tersebut diambil agar ikan yang berada di wilayah tersebut dapat berkembang dengan baik. Dalam hal ini, pemuka adat hanya menyampaikan bahwa wilayah tersebut dilarang menangkap ikan dengan cara apapun mulai dari batasan wilayah yang telah ditetapkan serta bagi siapa yang menangkap ikan di wilayah tersebut, maka akan mendapatkan resiko tersendiri. Aturan ini masih berlaku hingga sekarang sehingga ikan larangan desa ini tetap terjaga.Ikan yang berada dalam wilayah lubuk dan banda larangan Desa Sungai Pasak dibuka setiap enam bulan sekali. Hal ini telah ditetapkan oleh pemuka adat dan masyarakat desa. Keputusan musim buka dilakukan enam bulan sekali dengan alasan ikan yang berada di lubuk dan banda biasanya telah besar dan layak untuk dipanen.

(49)

hari yang sama juga pemuka adat akan mengumumkan hasil panen ikan larangan dan peruntukannya. Kegiatan ini berlangsung hingga sekarang.

5.6 Karakteristik Responden Mengenai Ikan Larangan Desa Sungai Pasak

5.6.1 Jenis Kelamin

Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 40 responden. Responden merupakan penduduk Desa Sungai Pasak yang bertempat tinggal disekitar lokasi ikan larangan dan mengetahui pengelolaan ikan larangan tersebut. Persentase jumlah responden laki-laki dan perempuan sebanding. Sebaran jenis kelamin responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 3 Sebaran jumlah responden berdasarkan jenis kelamin

5.6.2 Tingkat Umur

Tingkat umur responden antara 20-73 tahun. Berdasarkan aturan Sturges (Sunyoto 2011) tingkat umur dapat dibagi menjadi 6 kelas yaitu (1) 20-28 tahun, (2) 29-37 tahun, (3) 38-46 tahun, (4) 47-55 tahun, (5) 56-64 tahun, dan (6) 65-73 tahun. Berikut merupakan sebaran penduduk Desa Sungai Pasak berdasarkan tingkat umur dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Sumber: Data primer diolah (2013)

(50)

Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dijelaskan bahwa sebaran umur responden paling banyak berada pada selang 38-46 tahun sebesar 33 persen. Sedangkan sebaran umur responden paling kecil pada selang 65-73 tahun sebesar 3 persen.

5.6.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan sebuah gambaran umum untuk melihat kualitas sumberdaya manusia disuatu tempat. Pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi terhadap teknologi dan perubahan. Keragaan pendidikan pada masyarakat Desa Sungai Pasak adalah seperti yang terdapat pada Gambar 5 di bawah ini.

Sumber : Data Primer diolah (2013)

Gambar 5 Sebaran tingkat pendidikan responden Desa Sungai Pasak

Masyarakat Desa sungai Pasak sekitar 55% telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA dan sederajat. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Desa Sungai Pasak telah sadar akan pentingnya pendidikan. Selain faktor fasilitas pendidikan yang dapat ditempuh dari desa, fasilitas pendukung lainnya seperti jalan raya pun telah baik.

5.6.4 Jenis Pekerjaan

Gambar

Tabel di atas menunjukan bahwa kearifan lokal seperti ikan  larangan telah
Tabel 2 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 3 Matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, parameter atau indikator,
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan sebagainya; kedua, kitab suci yakni teks-teks yang dianggap suci dan diyakini berisi ajaran-ajaran ilahi yang disampaikan kepada penganut agama yang ber- sangkutan dan

Subjek atau peserta didik yang di tangani pada PPL II berusia 10 tahun dengan kemampuan akademik membaca masih sangat kurang (belum memahami huruf dan tulisan),

Busur api merupakan fenomena percikan api yang timbul akibat adanya arus gangguan hubung singkat, oleh sebab itu dengan adanya analisa terhadap busur api ini nantinya

Untuk melakukan kegiatan pembelajaran, Saudara sebaiknya mulai dengan membaca petunjuk dan pengantar modul ini, menyiapkan dokumen yang diperlukan, mengikuti tahap

3) Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak,

Pada alat pencernaan ikan, plankton yang paling banyak ditemukan berasal dari kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Crustaceae, dari 43 genus plankton hanya 11

Bagi menyekat amalan salah laku, mempastikan pematuhan dan pemantauan prinsip-prinsipnya ialah dengan wujudnya mekanisme untuk menghalang risiko pada integriti ketika urusan perolehan

Daerah yang dilalui oleh bagian penumbra-dalam, penumbra yang dekat dengan daerah umbra pada saat gerhana matahari sebagian mencapai maksimum akan disaksikan bagian