• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan interpretasi di suaka margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan interpretasi di suaka margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu DKI Jakarta"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA

Oleh :

Andi Nur Gustiana Syam E34101077

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ANDI NUR GUSTIANA SYAM

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 5 Agustus 1983, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Suryadi Syam dan Ibu Dedeh Dewi Sadiah.

Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah:

1. Taman Kanak-kanak Cangkurileung, Nyantong-Tasikmalaya.

2. Sekolah Dasar Negeri Cikalang I Tasikmalaya lulus pada tahun 1995. 3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tasikmalaya lulus pada tahun

1998.

4. Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Tasikmalaya lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan melalui program Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Sancang-Papandayan BKSDA Garut, KPH Sumedang (BKPH Tomo Utara-BKPH Cadas Ngampar) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan Juli-Agustus 2004. Selanjutnya, pada bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat.

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : PERENCANAAN INTERPRETASI DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA.

Nama Mahasiswa : ANDI NUR GUSTIANA SYAM Nomor Pokok : E34101077

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui, Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

(Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, MSc.) (Dr.E.K.S. Harini Muntasib, MS.)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799

(5)

RINGKASAN

Andi Nur Gustiana Syam (E34101077). Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Kepulauan Seribu, DKI jakarta. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc. dan Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS.

Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970. Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia No. 275/Kpts-II/1999, ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa. Perubahan status kawasan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi alami di Pulau Rambut, sehingga perlu adanya upaya pengelolaan habitat di Pulau Rambut.

Kerusakan habitat di Pulau Rambut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan keanekaragaman hayatinya. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pulau Rambut dipandang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa. Jenis satwa yang memiliki keanekaragaman tinggi dan mendominasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut adalah jenis burung air (15 jenis) (Azhar, 2002). Diantara berbagai jenis burung air, terdapat satu jenis burung air yang sangat dilindungi yaitu burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea). Dalam dokumen Bird to Watch II, spesies ini dimasukkan ke dalam kategori terancam punah secara global dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah berkurangnya habitat di alam.

Namun selain terbuka bagi upaya pengelolaan habitat, perubahan status dari Cagar alam menjadi Suaka Margasatwa mengakibatkan Pulau Rambut terbuka bagi aktivitas lainnya seperti kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang dapat mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan menjadi penuntun kepada siapapun yang melakukan kegiatan di kawasan ini agar dapat lebih memahami Pulau Rambut dan segala potensinya, serta terilhami untuk ikut melestarikannya.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan interpretasi berdasarkan analisis potensi kawasan dan tanggapan pengunjung, bagi kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas yang dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, selama 1 bulan (12 Februari – 13 Maret 2006). Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: buku fieldguide

pengenalan burung, buku identifikasi tumbuhan, peta kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kuesioner untuk pengunjung, pedoman wawancara untuk pengelola, alat tulis-menulis, kamera, Global Positioning System (GPS), Garmin III+ Plus, binokuler dan alat perekam audio.

(6)

Margasatwa Pulau Rambut, kemudian hasilnya diuraikan secara deskriptif. Perencanaan interpretasi yang dilakukan adalah perencanaan satuan interpretasi, yang meliputi perencanaan jalur interpretasi dan fasilitas pendukung interpretasi, dilengkapi dengan pemetaan obyek-obyek interpretasi yang terdapat di dalam jalur interpretasi.

Selama penelitian dilaksanakan ditemukan 13 jenis burung air, diantaranya burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea), burung Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan burung Ibis roko-roko (Plegadis falcinellus). Sedangkan untuk jenis burung lainnya ditemukan 20 jenis burung, diantaranya burung Kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung Kucica kampung (Copysycus saularis) dan burung Pergam laut (Ducula bicolor). Selain jenis burung, ditemukan pula jenis satwa lainnya yaitu dari jenis mamalia kalong (Pteropus vampyrus) serta dari jenis reptilia Ular sanca (Phyton reticulatus), ular Cincin emas (Boiga dendrophila), Biawak air-asia (Varanus salvator), Kadal (Mabuya mabouya), dan Tokek (Gecko gecko).

Satwa-satwa tersebut relatif menempati habitat yang tetap, sehingga dapat dipetakan pada peta penutupan lahan Pulau Rambut. Pemetaan tersebut menunjukkan penyebaran satwa pada bulan Februari-Maret 2006. Pada bulan-bulan ini, burung-burung air lebih banyak tersebar di bagian Tengah Pulau Rambut, tepatnya di hutan sekunder campuran bagian Tengah dan Timur. Hal ini disebabkan adanya tiupan angin barat yang kencang di sekeliling Pulau Rambut, sehingga burung-burung ini berlindung di bagian tengah yang ditumbuhi pepohonan khas hutan sekunder campuran.

Inventarisasi tumbuhan sepanjang jalur interpretasi yang sudah ada (10 m kiri dan kanan jalur) mencatat 34 jenis tumbuhan diantaranya kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Dyxoxylum caulostachyum), mengkudu (Morinda citrifolia ) dan melinjo (Gnetum gnemon). Selain itu, ditemukan juga semak dan tumbuhan bawah seperti Kingkit (Triphasia trifolia), Cabai jawa (Piper retrofractum), Oyot ubi (Dioscorea bulbifera) dan Sundel malam (Ipomoea longiflora). Dari berbagai jenis tumbuhan yang tercatat selama penelitian, diketahui beberapa tumbuhan yang memiliki keunikan/kekhasan seperti vegetasi di hutan magrove, Cabai jawa (Piper retrofractum) dan mengkudu (Morinda citrifolia).

Selama penelitian dihimpun 2 cerita rakyat yang menerangkan sejarah terbentuknya Pulau Rambut menurut kepercayaan masyarakat yaitu: 1) Cerita rakyat versi “Tusuk Konde Puteri (Nyi Roro Kidul)”, 2) Cerita rakyat versi “jawara”. Selain itu terdapat peninggalan sejarah berupa kuburan yang diangap sebagai kuburan nenek moyang sebuah keluarga di Depok.

Interaksi masyarakat dengan Pulau Rambut sangat tinggi, terutama masyarakat yang berasal dari Pulau Untung Jawa dan Tanjung Pasir sebagai daerah yang paling dekat dengan Pulau Rambut. Tujuan masyarakat datang ke Pulau Rambut terutama untuk mencari bahan makanan seperti keong, kerang, rajungan dan ikan serta tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan seperti daun pepaya dan melinjo.

Dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa telah dijadikan sebagai daerah penyangga (buffer zone) untuk menunjang kegiatan pengawasan dan pengamanan kawasan tersebut. Masyarakat turut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan di Pulau Rambut, serta dengan menginformasikan potensi Pulau Rambut kepada wisatawan yang datang.

(7)

berekreasi (23.52%) dan penelitian (25.47%). Kegiatan yang paling disukai pengunjung terutama melihat dan menikmati pemandangan alam (61.76%). Pengunjung lebih banyak datang bersama keluarga (70.58%).

Pengunjung memandang keunikan binatang terutama burung air (73.52%) sebagai potensi utama Pulau Rambut. Pendapat tersebut dikuatkan dengan pilihan binatang yang paling menarik yaitu burung (70.58%). Pengunjung memilih cara untuk melakukan kegiatannya disertai oleh pemandu (88.23%). Sebagian besar pengunjung yang menilai bahwa pemanduan yang ada sudah cukup baik (58.82%). Pengunjung menginginkan adanya penambahan fasilitas pendukung interpretasi seperti pusat informasi pengunjung (67.64%).

Perencanaan interpretasi yang dilaksanakan mencakup perencanaan jalur dan perencanaan fasilitas pendukung interpretasi. Metode interpretasi yang dapat dilaksanakan adalah interpretasi dengan pemanduan (guided interpretation). Meski demikian, pengunjung yang datang dengan tujuan untuk penelitian bisa diberi pengecualian untuk melakukan kegiatannya tanpa pemanduan. Jalur-jalur interpretasi yang direncanakan, ditujukan untuk mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut, baik potensi flora maupun fauna (satwa).

Tiga jalur interpretasi yang direncanakan, yaitu jalur interpretasi Dermaga dengan panjang sekitar 136,78 meter dan obyek utama atraksi burung air yang terbang keluar-masuk Pulau Rambut. Jalur interpretasi Hutan Pantai – Menara Pengamatan dapat dibagi menjadi 3 jalur interpretasi yaitu jalur yang langsung menuju menara pengamatan (373,99 meter), jalur yang melalui percabangan jalur kanan-menara (503,63 meter) dan jalur yang melalui percabangan jalur kiri-menara (451,79 meter) dengan obyek utama perilaku burung air. Jalur interpretasi Menara – Hutan Mangrove dengan panjang sekitar 171,44 meter dan obyek utama vegetasi hutan mangrove dan kerusakannya.

Berbagai Fasilitas pendukung yang sudah dibangun sejak lama, seperti papan nama obyek/papan interpretasi, jalur interpretasi, papan penunjuk arah, papan peringatan dibangun untuk mendukung kegiatan interpretasi yang dilaksanakan di Pulau Rambut, sudah dalam kondisi yang rusak dan perlu segera diperbaiki. Fasilitas pendukung interpretasi yang dapat ditambahkan sesuai dengan keinginan pengunjung adalah pusat informasi pengunjung, buku informasi tentang Pulau Rambut, shelter, dan peta jalur perjalanan. Selain itu perlu dibuat pula tambahan papan peringatan atau larangan untuk pengunjung yang datang terutama yang berhubungan dengan menjaga kelestarian Pulau Rambut dan keanekaragaman hayatinya.

(8)

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 3

2.1.1. Status ... 3

2.1.2. Fungsi ... 3

2.1.3. Iklim ... 4

2.1.4. Flora ... 4

2.1.5. Fauna ... 5

2.1.6. Pengelolaan: Pengelola, Arah Kebijakan dan Fasilitas ... 10

2.2. Interpretasi ... 11

2.2.1. Pengertian ... 11

2.2.2. Tujuan ... 11

2.2.3. Obyek Interpretasi ... 12

2.2.4. Jalur Interpretasi ... 12

2.2.5. Metode Penyampaian Interpretasi ... 13

2.2.6. Perencanaan Interpretasi ... 14

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Alat ... 16

3.3. Metode Pengumpulan data ... 16

3.3.1. Studi Pustaka ... 16

3.3.2. Verifikasi dan Observasi Lapangan ... 17

3.3.3. Wawancara dan Kuesioner ... 17

3.4. Analisis dan Sintesis Data ... 18

(9)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Potensi Satwa ... 20

4.1.1. Pemetaan Potensi Satwa ... 25

4.2. Potensi Flora... 29

4.3. Potensi Budaya... 30

4.4. Interaksi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 32

4.4.1. Pemanfaatan Potensi Kawasan ... 32

4.4.2. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 32

4.5. Karakteristik, Pengetahuan dan Tanggapan Pengunjung ... 33

4.5.1. Karakteristik Pengunjung ... 33

4.5.2. Pengetahuan Tentang Potensi Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 37

4.5.3. Tanggapan Terhadap Kegiatan dan Fasilitas yang Mendukung Interpretasi ... 38

4.6. Perencanaan Interpretasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 40

4.6.1. Perencanaan Jalur Interpretasi ... 42

4.6.2. Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi ... 52

4.7. Keselamatan Pengunjung dan Sumberdaya ... 55

4.7.1. Keselamatan Pengunjung ... 55

4.7.2. Keselamatan Sumberdaya ... 56

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 58

(10)

iii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Bagan Alir Penelitian Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa

Pulau Rambut ... 19

2. Peta Penutupan Lahan Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 25

3. Pemetaan Satwa di Suaka Margasatwa Pulau Rambut pada Bulan Februari-Maret 2006 ... 28

4. Jalur Interpretasi Dermaga ... 45

5. Jalur Hutan Pantai – Menara Pengamatan ... 48

(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Jenis-jenis burung air yang berada di Suaka Margasatwa Pulau

Rambut pada Februari-Maret 2001 (Azhar, 2002) ... 6

2. Kelimpahan burung air di Pulau Rambut berdasarkan penjumlahan burung yang tinggal dan penghitungan sore hari pada bulan Februari-Maret 2001 ... 8

3. Burung-burung air yang ditemukan selama penelitian ... 21

4. Burung terestrial dan burung pantai yang ditemukan selama penelitian ... 23

5. Flora sepanjang jalur interpretasi ... 29

6. Latar belakang pengunjung ... 34

7. Tujuan dan pola kunjungan pengunjung ... 36

8. Pengetahuan pengunjung tentang potensi kawasan ... 37

9. Tanggapan pengunjung terhadap kegiatan dan fasilitas pendukung interpretasi ... 38

10. Potensi interpretasi utama pada setiap jalur interpretasi ... 44

11. Flora di jalur interpetasi mangrove ... 49

12. Fasilitas-fasilitas pendukung interpretasi yang sudah ada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut ... 52

13. Rencana tambahan fasilitas pendukung interpretasi ... 53

(12)

v

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 62 2. Data Kunjungan ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut

pada Tahun 2005 dan Tahun 2006 ... 65 3. Struktur Organisasi BKSDA DKI Jakarta ... 66 4. Satwa yang Ditemukan pada Pukul 06.00-18.00 WIB di Suaka

Margasatwa Pulau Rambut (Februari-Maret 2006) ... 67 5. Pemetaan Satwa yang Ditemukan pada Pukul 06.00-18.00 WIB

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Rambut pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1939 melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970. Kemudian melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia No. 275/Kpts-II/1999, Pulau Rambut ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa. Perubahan status kawasan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi alami di Pulau Rambut, sehingga perlu adanya upaya pengelolaan habitat di Pulau Rambut.

Kerusakan habitat di Pulau Rambut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan keanekaragaman hayatinya. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pulau Rambut dipandang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa. Jenis satwa yang memiliki keanekaragaman tinggi dan mendominasi Suaka Margasatwa Pulau Rambut adalah jenis burung air (15 jenis) (Azhar, 2002). Diantara berbagai jenis burung air, terdapat satu jenis burung air yang sangat dilindungi yaitu burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea). Dalam dokumen Bird to Watch II, spesies ini dimasukkan ke dalam kategori terancam punah secara global dengan penyebab utama ancaman kepunahan adalah berkurangnya habitat di alam.

Namun selain terbuka bagi upaya pengelolaan habitat, perubahan status dari Cagar alam menjadi Suaka Margasatwa mengakibatkan Pulau Rambut terbuka bagi aktivitas lainnya seperti kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata. Kondisi ini dapat menyebabkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati Pulau Rambut bertambah besar, selain dari ancaman faktor-faktor alami, tetapi juga dari manusia. Hal ini dikarenakan satwa di Pulau Rambut terutama jenis burung air merupakan jenis satwa yang sangat sensitif dan mudah stress.

(14)

2 dengan fungsi Pulau Rambut sebagai kawasan perlindungan satwaliar, terutama berbagai jenis burung air.

Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang dapat mengungkapkan potensi Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan menjadi penuntun kepada siapapun yang melakukan kegiatan di kawasan ini agar lebih memahami dan terilhami untuk ikut serta melestarikan Pulau Rambut, serta dapat meminimalisir dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kehadiran manusia.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan interpretasi berdasarkan analisis potensi kawasan dan tanggapan pengunjung bagi kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas, yang dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

1.3. Manfaat

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suaka Margasatwa Pulau Rambut 2.1.1. Status

Pulau Rambut awalnya bernama Pulau Middleburg. Pada tahun 1936 Bass Becking sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan agar Pulau Rambut ditetapkan sebagai cagar alam. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan potensi biologi maupun potensi fisik Pulau Rambut. Pulau Rambut memiliki vegetasi hutan mangrove yang khas dan merupakan habitat dari berbagai jenis burung air yang terdapat dalam jumlah besar (Imanuddin dan Mardiastuti, 2003).

Kemudian pada tahun 1939 Pulau Rambut ditetapkan sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.7/1939. Selanjutnya, pada tahun 1970 pemerintah Indonesia memperkuat status kawasan ini sebagai Cagar Alam melalui Keputusan Pemerintah No.11/I/20 tertanggal 28 Mei 1970 dengan luas areal 45 ha. Adanya status Cagar Alam tersebut berarti, secara resmi tidak diperbolehkan adanya campur tangan manusia di pulau ini.

Meningkatnya pembangunan di sekitar Teluk Jakarta mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Kondisi ini juga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan Pulau Rambut sebagai salah satu pulau di wilayah Teluk Jakarta dengan adanya pencemaran sampah, limbah minyak dan deterjen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengubah status Pulau Rambut menjadi Suaka Margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 dengan luas 90 ha termasuk wilayah perairan di sekitarnya (Ayat, 2002).

2.1.2. Fungsi

(16)

4 lainnya yang menunjang budidaya serta pelestarian potensi sumberdaya alam hayati Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

2.1.3. Iklim

Pulau Rambut termasuk ke dalam daerah dengan tipe iklim C (Schmidt dan Ferguson). Musim kering tiap-tiap tahun dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober, dengan jumlah hari hujan 80 hari dan curah hujan 1152,9 mm per tahun. Bulan-bulan basah dengan rata-rata curah hujan per bulan di atas 100 mm dimulai pada bulan Oktober sampai Maret. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret (278 mm). Suhu maksimum berkisar antara 31,2° - 36,8° C,

sedangkan suhu minimum rata-rata berkisar antara 22,8° - 23,7°C. Selama musim barat (Desember – Februari) dan Musim timur (Juni – Agustus) keadaan laut sekitar Pulau Rambut berbahaya bagi pelayaran karena besarnya angin dan gelombang. Pada musim tersebut, gelombang dapat mencapai ketinggian 1,5 – 2 meter disertai hujan dan angin yang bertiup terus menerus selama 24 jam (Imanudin dan Mardiastuti, 2003).

2.1.4. Flora

Terdapat tiga formasi vegetasi hutan di Pulau Rambut, yaitu hutan pantai, hutan mangrove dan hutan sekunder campuran (Mardiastuti, 1992). Daerah hutan pantai yang berpasir didominasi oleh komunitas Thespesia populneaAcacia auriculiformis. Jenis lain, diantaranya Daun barah (Ipomoea pes-caprae), Rumput lari-lari (Spinifex littoreus), ketapang (Terminalia catappa) dan Waru laut (Thespesia pupolnea).

(17)

2.1.5. Fauna

Jenis satwa yang mendominasi Pulau Rambut adalah jenis burung air, sebanyak 15 jenis (Azhar, 2002). Jenis burung air yang ada di Pulau Rambut diantaranya burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea), Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus), Roko-roko (Plegadis falcinellus), kuntul (Egretta sp) dan Cangak (Ardea sp).

Selain didominasi oleh jenis burung air, di Pulau Rambut terdapat pula 39 jenis burung darat (terestrial) yang populasinya tidak sebanyak burung air. Selain itu, terdapat jenis reptilia: Biawak (Varanus salvator), Ular cincin emas (Boiga dendrophila), Ular phyton (Phyton reticulatus) dan mamalia: Kalong (Pteropus vampyrus) (Imanudin dan Mardiastuti, 2003).

a. Jenis-jenis burung air dan penyebarannya

Spesies utama yang menjadi ciri khas Pulau Rambut adalah burung air, populasinya mencapai lebih dari 24.000 ekor (kelimpahan 530 ekor/ha) pada musim berbiak dan hanya mencapai 4.500 ekor pada musim tak berbiak (Mardiastuti, 1992).

Burung-burung air yang menghuni Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Tabel 1) terdiri dari jenis-jenis burung yang menetap dan tidak menetap. Jenis burung air yang menetap adalah jenis burung yang menetap sepanjang tahun. Sedangkan jenis yang tidak menetap biasanya hanya pada musim berkembangbiak saja tinggal di Pulau Rambut. Burung yang tidak menetap tersebut akan meninggalkan Pulau Rambut setelah selesai berkembangbiak. Jenis burung air yang tidak menetap di Pulau Rambut yaitu Bangau bluwok, Ibis pelatuk besi, dan Kuntul kerbau. Jenis burung air yang menetap yaitu Pecuk ular, Pecuk, Kuntul besar, Kuntul kecil, Kuntul sedang, Kuntul karang, Kowak malam kelabu, cangak abu, Cangak merah dan Roko-roko (Azhar, 2002). Sedangkan menurut Imanudin dan Mardiastuti (2003), burung Kuntul kerbau merupakan burung migran pada awalnya, namun menjadi burung yang menetap di Pulau Rambut.

(18)

6 musim berbiak). Selain itu faktor angin pun mempengaruhi perubahan penyebaran burung tersebut.

Tabel 1. Jenis-jenis burung air yang berada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Februari-Maret 2001 (Azhar, 2002)

No Famili Jenis dan Nomor MacKinnon Nama lokal Nama Inggris 1 Anhingidae Anhinga melanogaster (28) Pecuk ular Oriental Darter 2 Ardeidae Ardea cinerea (33) Cangak abu Grey Heron

Ardea purpurea (34) Cangakmerah Purple Heron Egretta alba (42) Kuntul besar Great Egret Egretta garzetta (44) Kuntul kecil Little Egret Egretta intermedia (43) Kuntul sedang Intermediete

Egret

Egretta sacra (40) Kuntul karang Pacific reef-Egret Bubulcus ibis (39) Kuntul kerbau # Cattle Egret Nycticorax nycticorax (45) Kowak malam

kelabu

Black-crowned night Heron 3 Ciconiidae Mycteria cinerea (54) Bluwok # Milky Stork 4 Phalacrocoracidae Phalacrocorax niger (27) Pecuk belang Little Cormorant

Phalacrocorax sulcirostris (24) Pecuk hitam Little black- Cormorant Phalacrocorax melanoleucus (26) Pecuk kecil Little pied-

Cormorant 5 Threskiornitidae Plegadis falcinellus (63) Roko-roko Glossy Ibis

Threskiornis melanocephalus

(61)

Pelatuk besi (Ibis Cucuk besi) #

Black-headed Ibis

Keterangan: # jenis burung air yang tidak menetap di Pulau Rambut.

Nomor MacKinnon dalam buku Burung-burung di Jawa, Bali dan Kalimantan

Dari hasil penelitian Azhar (2002) pada bulan Februari-Maret, burung-burung air yang berada di Pulau Rambut tersebar di hutan campuran bagian Tengah dan Timur serta hutan mangrove di bagian Utara, Timur laut, dan Barat laut. Jenis-jenis yang menempati hutan campuran adalah Cangak abu, Bluwok, Pecuk dan Pecuk ular. Sedangkan jenis-jenis yang menempati hutan mangrove adalah Pecuk, Pelatuk besi, Roko-roko, Kowak malam kelabu, Kuntul kecil, Kuntul kerbau, Cangak merah, Kuntul perak, Kuntul besar dan Kuntul sedang.

(19)

meluas pada bagian Timur. Sedangkan Pecuk ular mengalami perluasan di bagian Tengah pulau, yaitu pada pohon Kedoya.

Jumlah spesies burung yang menghuni hutan mangrove lebih banyak dari hutan campuran. Hutan mangrove memiliki beberapa komunitas untuk tempat bersarang burung air. Komunitas pada hutan mangrove sebagian rusak karena gangguan alam yang datang yaitu, angin dan arus laut. Hampir semua komunitas hutan mangrove dihuni burung air. Hanya komunitas Rhizophora stylosa saja yang tidak dihuni oleh burung air. Perubahan pola penyebaran biasanya terjadi pada saat akan mulai musim berkembangbiak dan setelah musim berkembangbiak. Hal tersebut disebabkan karena musim berkembangbiak tiap jenis berbeda atau tidak bersamaan. Walaupun burung air tidak menggunakan pohon yang tetap untuk bertengger tetapi relatif memilih jenis yang sama untuk tempat beristirahat dan bersarang.

b. Kelimpahan burung air

Kelimpahan menurut Shaw (1965) dalam Azhar (2002) adalah istilah yang umum digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya, kecenderungan naik turunnya populasi atau keduanya. Terdapat perbedaan kelimpahan burung air yang mencolok pada penghitungan pagi dan sore hari. Jenis pelatuk besi dan bluwok lebih banyak pada pagi hari. Sedangkan jenis pecuk, pecuk ular, cangak merah, cangak abu, kuntul besar, kuntul kecil, kuntul sedang, kuntul kecil, roko-roko dan kowak malam kelabu lebih banyak jumlahnya pada penghitungan sore hari daripada pagi hari (Azhar, 2002).

Menurut Azhar (2002) sebagian besar jenis burung air di Pulau Rambut berjumlah lebih banyak pada penghitungan sore hari dibandingkan dengan hasil penghitungan pada pagi hari. Apabila dua hasil penghitungan antara jumlah burung yang tinggal di pulau dengan penghitungan sore hari digabungkan, maka akan diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 2.

(20)

8 adanya predator (kematian), pengaruh faktor fisik (angin) dan pengaruh aktivitas manusia.

Tabel 2. Kelimpahan burung air di Pulau Rambut berdasarkan penjumlahan burung yang tinggal dan penghitungan sore hari, Februari-Maret 2001.

Jenis Kelimpahan burung (ekor)

Februari Maret

Roko-roko 1320 978 Kowak malam kelabu 2224 1950

Bluwok 33 33

Jumlah 9933 9681

Keterangan: pecuk terdiri dari pecuk belang (Phalacrocorax niger), pecuk kecil (Phalacrocorax melanoleucus) dan pecuk hitam (Phalacrocorax sulcirostris).

c. Perilaku burung air

Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan makanan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya. Sehingga dapat dikenal adanya perilaku makan (ingestif), perilaku membuang kotoran (eliminatif), perilaku seksual, perilaku memelihara (epimeletik), perilaku mendekati yang memelihara (etepimeletik), perilaku menentang/konflik (agonistik), perilaku meniru (alelomimetik), perilaku mencari perlindungan dan perilaku memeriksa (Alikodra, 2002).

(21)

Menurut Berger (1998) dalam Azhar (2002), burung memberi respon negatif terhadap aktivitas manusia di perairan sekitar lokasi bersarang. Adanya gangguan aktivitas manusia juga dapat menyebabkan penurunan jumlah telur dan kematian anakan, premature fledging dan penurunan massa dan ukuran tubuh juga perkembangan anakan.

Mobilitas burung sangat ditentukan oleh kemampuan terbang. Pada prinsipnya burung terbang dengan dua cara yaitu flapping dan soaring. Flapping

adalah cara terbang dengan mengepak-ngepakkan sayap dan menggunakan energi untuk melakukannya. Soaring adalah cara untuk terbang dengan cara melayang dan memanfaatkan kolom udara panas yang diakibatkan oleh sinar matahari atau dorongan angin. Soaring menggunakan energi yang lebih kecil daripada flapping (Azhar, 2002).

Perilaku sosial pada umumnya dijumpai pada satwaliar, terutama dalam upaya untuk memanfaatkan sumberdaya di habitatnya, mengenali tanda-tanda bahaya, dan melepaskan diri dari serangan pemangsa. Perilaku sosial ini berkembang sesuai dengan adanya perkembangan dari proses belajar mereka (Alikodra, 2002). Suatu jenis burung dapat atau tidak dapat berasosiasi dengan jenis lainnya tergantung kepada sumberdaya yang tersedia dan keuntungan yang diperoleh dari asosiasi tersebut. Suatu jenis dapat berasosiasi apabila sumberdaya yang digunakan bersama tersedia dalam jumlah yang mencukupi (Mahmud, 1991).

(22)

10

2.1.6. Pengelolaan: Pengelola, Arah Kebijakan dan Fasilitas.

Pulau Rambut berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu di pulau ini terdapat pula perwakilan instansi Dinas Kehutanan DKI Jakarta, yang berada di bawah naungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Fasilitas yang sudah ada di Pulau Rambut merupakan fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh kedua instansi tersebut. Fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh Dinas Kehutanan adalah, papan informasi satwa di Pulau Rambut, menara pengamatan setinggi 15 m, mess jagawana, ruang pertemuan, dan WC. Sedangkan fasilitas yang dibagun oleh BKSDA adalah papan petunjuk kawasan suaka margasatwa, pos jaga dan WC (Imanuddin dan Mardiastuti, 2003).

Berdasarkan laporan Konsep Pengembangan Lingkungan Suaka Margasatwa Pulau Rambut yang disusun atas kerjasama Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB (2002), ditetapkan arah kebijakan manajemen pengelolaan SMPR di masa yang akan datang adalah mengoptimalkan keseimbangan antara aspek save it

(23)

2.2. Interpretasi 2.2.1. Pengertian

Interpretasi merupakan suatu usaha untuk membantu orang lain menghargai sesuatu yang kita anggap spesial atau penting. Suatu kawasan akan dilestarikan apabila dianggap penting, karenanya interpretasi merupakan jalan untuk membantu orang lain memahami hal tersebut (Carter, 2001). Menurut Veverka (1994) Interpretasi bukanlah suatu benda, tetapi merupakan suatu proses komunikasi.

Tilden (1957) menjelaskan bahwa Interpretasi merupakan aktivitas pendidikan yang mengungkapkan makna dan hubungan dalam penggunaan obyek-obyek alami melalui pengalaman tangan pertama dan dengan media ilustrasi, serta lebih dari sekedar mengkomunikasikan informasi faktual.

Muntasib (2003) menerangkan bahwa Interpretasi lingkungan adalah suatu seni dalam menjelaskan keadaan lingkungan (flora, fauna, proses geologis, proses biotik dan abiotik yang terjadi) oleh pengelola kawasan kepada pengunjung yang datang ke lokasi tersebut, sehingga dapat memberikan inovasi dan menggugah pemikiran untuk mengetahui, menyadari, mendidik dan bila memungkinkan menarik minat pengunjung untuk ikut menjaga lingkungan tersebut atau mempelajarinya lebih lanjut.

2.2.2. Tujuan

Tilden (1957) menegaskan bahwa tujuan Interpretasi bukan hanya mengungkapkan keindahan suatu kawasan pada orang lain. Tapi, interpretasi bertujuan pula untuk meyakinkan pentingnya keberadaan kawasan tersebut dan mendorong mereka untuk ikut serta melestarikannya. Selanjutnya tujuan interpretasi sebagai berikut:

1. tujuan utama interpretasi adalah untuk membantu mengubah tingkah laku

dan sikap untuk memotivasi, memberikan inspirasi, mengambil informasi dan membuatnya berarti dan menarik.

2. tujuan akhir interpretasi adalah untuk membawa pengunjung melalui proses

sensitivitas-kewaspadaan-pemahaman-apresiasi dan akhirnya komitmen. Sharpe (1982) dalam Muntasib (2003) menyebutkan 3 sasaran interpretasi, yaitu:

(24)

12 b. Membantu pihak pengelola mencapai tujuan-tujuan pengelolaan karena: (i)

interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik, (ii) interpretasi dapat memperkecil atau menghindari dampak dari aktivitas manusia.

c. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu institusi/instansi, dengan memasukkan pesan-pesan ke dalam program interpretasi.

2.2.3. Obyek Interpretasi

Veverka (1994) membagi obyek interpretasi kedalam 3 kelompok, yaitu: 1. Area Biologis yang terdiri dari; danau, sungai, tipe habitat, bentukan unik,

spesies langka, fenomena musiman (mekarnya bunga liar, migrasi burung dll), area demonstrasi potensial, area perbaikan habitat, area/ program pengelolaan hidupan liar dan area pengelolaan kayu (tipe manajemen). 2. Sumberdaya Budaya yang terdiri dari: rumah tua atau benteng pertahanan,

puing-puing bangunan tua (penggergajian, dll), medan perang, tapak kejadian sejarah, tapak arkeologi.

3. Sumberdaya Geologis yang terdiri dari: batuan yang muncul di permukaan, taman fosil dan bentukan geologis.

2.2.4. Jalur Interpretasi

Berkmuller (1981) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menentukan panjang jalur adalah berdasarkan pada waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah lapang, jarak aktual dan orang yang berjalan di jalur tersebut. Jalur ideal umumnya tidak melebihi 45 menit waktu berjalan kaki, yang terbaik adalah antara 15 menit sampai 20 menit. Karakteristik jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) adalah:

a. Menyajikan pemandangan alam yang indah seperti air terjun, habitat satwaliar, aliran sungai, gua, pohon besar berumur ratusan tahun dan sebagainya.

b. Jalur yang menyenangkan untuk berjalan (tidak licin, tidak curam, tidak berlumpur atau tergenang).

c. Membuat pengunjung tetap gembira, tidak tegang.

(25)

e. Tidak membahayakan pengunjung.

Menurut Veverka (1994) jalur yang direncanakan dapat berupa :

1. Area yang berhubungan dengan panca indera, seperti: taman bunga, pekarangan, pemandangan yang indah dan air terjun.

2. Fasilitas yang meliputi: pusat pengunjung, jembatan, toko cinderamata, kantor informasi, kios-kios, fasilitas demonstrasi (seperti kebun/ladang tebu) dan lahan pertanian atau taman pekarangan.

3. Kawasan orientasi antara lain:

- Atraksi tapak dan sumberdaya terdekat yang mungkin saja bukan

merupakan bagian dari tapak, tetapi dapat menginterpretasikan tapak yang sama atau berkaitan

- Lokasi kunci untuk orientasi pengunjung seperti persimpangan jalan utama, camping ground, area penambatan kapal/perahu dan area kontak pengunjung lainnya.

2.2.5. Metode Penyampaian Interpretasi

Secara garis besar terdapat dua metode dalam penyampaian interpretasi (Sharpe, 1982 dalam Muntasib, 2003) :

1. Teknik secara langsung (Attended service)

Teknik secara langsung adalah kegiatan interpretasi yang melibatkan pemandu (interpreter) dan pengunjung, langsung bersentuhan dengan obyek interpretasi yang ada, sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau bila mungkin mencium, meraba, dan merasakan obyek-obyek interpretasi tersebut.

2. Teknik secara tidak langsung (Unattended service)

Teknik secara tidak langsung adalah kegiatan interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu (media) dalam memperkenalkan obyek interpretasi.

Sedangkan menurut Veverka (1994), bentuk layanan dan program interpretif disampaikan melalui teknik komunikasi yang terbagi menjadi dua yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Setiap teknik memiliki elemen yang membantu kita mengembangkan isi dan struktur pesan interpretif:

1. Komunikasi Verbal

(26)

14 menyampaikan banyak pesan tersembunyi. Dalam beberapa layanan interpretif (seperti kaset rekaman, swa-panduan untuk auto tour) pesan verbal mencakup semuanya. Baik musik latar, tipe suara laki-laki atau perempuan, muda atau tua, dan jenis aksen adalah semua bagian dari penciptaan gambaran yang diharapkan. Pesan ini juga merupakan komponen penghubung antara pendengar dengan pesan-pesan yang disampaikan.

2. Komunikasi Non-Verbal

Secara umum komunikasi ini memanfaatkan alat indera yang kita miliki. Beberapa elemen komunikasi non-verbal mencakup : suara, aroma, rasa, tekstur, warna, simbol, penggunaan ruang, bahasa tubuh dan waktu. Penyampaian interpretasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media interpretasi yang merupakan suatu cara, metode, rekaman atau peralatan yang bisa menyampaikan pesan interpretasi kepada publik.

2.2.6. Perencanaan Interpretasi

Menurut Bradley (1982) sebagaimana dikutip oleh Sharpe (1982) dalam

Muntasib (2003) menyatakan bahwa, agar sebuah perencanaan interpretasi mencapai tujuannya dengan baik, maka perencanaan tersebut haruslah :

1. Dapat dipergunakan

Dalam interpretasi yang direncanakan, fasilitas interpretasi yang disediakan harus dapat dipergunakan oleh semua orang. Perhatian utama ditujukan pada keselamatan pengunjung.

2. Efisiensi

Fasilitas yang dibuat harus efisien dari segi pelayanan, penggunaan dan pembiayaan serta dapat membantu perencanaan interpretasi.

3. Dapat mengungkapkan keindahan

Menyediakan suatu paket yang bervariasi, tetapi kompak pada sebuah karakteristik yang ada, indah dan peka serta menimbulkan bayangan atau gambaran dari subyek interpretasinya.

4. Fleksibel dan selektif

(27)

5. Dampak kerugian atau kerusakan seminimal mungkin pada sumberdaya alam budaya.

6. Penggunaan sumberdaya yang optimal. 7. Partisipasi publik

(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Waktu yang diperlukan untuk penelitian ini selama 1 bulan (12 Februari – 13 Maret 2006).

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Buku fieldguide pengenalan burung

2. Buku identifikasi tumbuhan

3. Peta kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut 4. Kuesioner untuk pengunjung

5. Pedoman wawancara 6. Alat tulis-menulis 7. Kamera

8. Global Positioning System (GPS), Garmin III+ Plus. 9. Binokuler

10. Alat perekam audio

11. Software OziExplorer, ArcView 3.3, Adobe Photoshop 7.0

3.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer ketika verifikasi dan observasi lapangan. Kemudian menganalisisnya bersama dengan data yang didapat dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner pada pengunjung.

3.3.1. Studi Pustaka

(29)

3.3.2. Verifikasi dan Observasi Lapangan

Kegiatan ini dilakukan untuk verifikasi (mencocokkan) data yang telah dikumpulkan pada tahap studi pustaka dengan kondisi yang ada saat ini, serta menambah dan melengkapi data tersebut dengan data yang didapat dari hasil observasi lapangan, termasuk kegiatan inventarisasi obyek-obyek interpretasi.

Observasi lapangan dilakukan terhadap:

a. Potensi flora, khususnya yang berada di dalam jalur interpretasi dengan jangkauan sejauh 10 meter di kiri dan kanan jalur

b. Potensi fauna, pengamatan dan pemetaan satwa dalam jalur interpretasi dengan jangkauan sejauh 10 meter di kiri dan kanan jalur. Data-data yang dikumpulkan mencakup:

- jenis satwa yang ditemukan

- lokasi (habitat) setiap satwa di dalam jalur - waktu ditemukan

- perilaku satwa serta interaksi dengan lingkungannya c. Potensi budaya dan atau sejarah yang mencakup: obyek sejarah, mitos

atau cerita rakyat tentang Pulau Rambut

d. Fasilitas pendukung interpretasi yang sudah ada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

3.3.3. Wawancara dan Kuesioner

Wawancara langsung dengan pengelola Suaka Margasatwa Pulau Rambut yaitu pihak BKSDA DKI Jakarta, masyarakat sekitar dan pengunjung Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Selain itu, diberikan kuesioner kepada pengunjung yang datang ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

a. Wawancara dengan Pengelola

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui rencana yang telah, sedang maupun yang akan dilakukan pengelola Suaka Margasatwa Pulau Rambut (BKSDA DKI Jakarta) yang berkaitan dengan interpretasi kawasan, sistem pengelolaan kawasan, struktur organisasi serta data penunjang lainnya.

b. Wawancara dengan Masyarakat

(30)

18 Margasatwa Pulau Rambut, serta partisipasi dan interaksi masyarakat terhadap kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

c. Wawancara dengan Pengunjung dan Kuesioner

Wawancara dengan pengunjung dikombinasikan dengan penyebaran kuesioner terstruktur (Lampiran 1). Hal ini untuk mengetahui latar belakang pengunjung, tujuan dan pola kunjungan/kegiatan yang dilakukan, perhatian terhadap sumberdaya/potensi (flora, fauna, sejarah), serta persepsi dan harapan-harapan pengunjung mengenai kegiatan pemanduan dan fasilitas pendukung interpretasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

Kish (1965) dalam Fahruddin (1997) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan survei terhadap populasi yang besar, maka besarnya intensitas sampling berkisar antara 0,1 - 10%, besarnya tergantung dari derajat homogenitas sampel, tingkat ketepatan yang dikehendaki, besarnya biaya, waktu dan tenaga yang tersedia.

Pada penelitian ini, jumlah responden (pengunjung) yang dimintai informasinya dengan wawancara dan pengisian kuesioner adalah sejumlah 60 orang (10% dari jumlah kunjungan tahun 2005). Meskipun begitu, akan dilakukan wawancara secara acak (random) pada pengunjung lain untuk melengkapi informasi yang didapat dari penyebaran kuesioner.

3.4. Analisis dan Sintesis Data

Analisis data merupakan kegiatan pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan. Ide-ide yang muncul berkaitan dengan keadaan kawasan penelitian dan data yang diperoleh, digunakan sebagai bahan untuk melakukan perencanaan interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kemudian hasilnya diuraikan secara deskriptif. Analisis yang dilakukan mencakup:

- Analisis sumberdaya

- Analisis jalur yang ditetapkan untuk kegiatan Interpretasi - Analisis fasilitas pendukung interpretasi

(31)

3.5. Perencanaan Interpretasi

Kegiatan perencanaan ini merupakan tahapan yang dapat menghasilkan suatu perencanaan interpretasi, yang diperoleh dari tahap analisis dan sintesis data yang telah dikumpulkan. Adapun perencanaan yang akan dilakukan adalah rencana satuan interpretasi, yang meliputi perencanaan jalur interpretasi dan fasilitas pendukung interpretasi, dilengkapi dengan pemetaan obyek-obyek interpretasi yang terdapat di dalam jalur interpretasi.

Bagan alir penelitian perencanaan interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut ini disajikan dalam gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Perencanaan Interpretasi di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

Studi Pustaka Verifikasi dan Observasi Lapangan

Analisis dan Sintesis Data

Wawancara dan Kuesioner

(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Potensi Satwa

Suaka Margasatwa Pulau Rambut memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan beragamnya habitat yang terdapat di Pulau Rambut. Satwa-satwa yang sudah teridentifikasi dan mudah ditemukan di kawasan daratan Pulau Rambut mencakup jenis burung, mamalia dan reptilia. Jenis burung merupakan satwa yang mendominasi Pulau Rambut lebih dari jenis satwa lainnya, oleh karena itu, Pulau Rambut dikenal juga sebagai surga bagi burung, terutama jenis burung air.

Burung air yang ditemukan selama penelitian sebanyak 13 jenis (Tabel 3) dari 6 famili burung air yaitu Ciconiidae, Ardeidae, Threskiornitidae, Anhingidae dan Phalacrocoracidae. Diantara jenis burung air tersebut terdapat jenis burung air migran (bukan penetap) yaitu burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea) yang sangat dilindungi dengan status terancam punah (vulnerable) dan Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus). Burung Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) dan Roko-roko (Plegadis falcinellus) pada awalnya merupakan burung migran, akan tetapi sekarang sudah menjadi burung penetap di Pulau Rambut.

Burung-burung migran datang ke Pulau Rambut pada saat musim berkembangbiak terutama pada pertengahan bulan Januari dan Februari-Maret. Hal ini terjadi karena pada bulan-bulan ini sedang terjadi pergeseran musim dari musim barat yang berangin kencang ke musim peralihan yang berangin pelan, sehingga burung-burung ini mempunyai cukup waktu untuk beradaptasi dengan kondisi Pulau Rambut sebelum memasuki masa perkembangbiakan. Burung Bangau bluwok datang pada pertengahan bulan Januari dan meninggalkan Pulau Rambut bersama anakannya pada bulan Juli (Ayat, 2002).

(33)

disebabkan oleh faktor-faktor alami maupun bukan alami. Kelimpahan akan meningkat drastis selama musim berkembangbiak, dan akan menurun secara bertahap selepas musim ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kelimpahan adalah sumber pakan yang berkurang, habitat yang rusak, persaingan antar jenis dalam mencari tempat bersarang, adanya predator (kematian), pengaruh faktor fisik (angin) dan pengaruh aktivitas manusia (Azhar, 2002). Adanya aktivitas manusia di Pulau Rambut, terutama di dalam hutan sekunder campuran menyebabkan burung-burung air yang sedang bertengger, mengerami telur dan anakan stress. Ketergangguan tersebut dapat menyebabkan jatuhnya telur-telur yang sedang dierami dan anakan burung ke lantai hutan, sehingga menyebabkan kematian, baik langsung maupun dimangsa satwa lainnya seperti biawak.

Burung-burung air yang memiliki kelimpahan paling banyak adalah burung Kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax), burung Pecuk (Phalacrocorax sp.) dan Kuntul kecil (Egretta garzetta). Meskipun bulan Februari dan Maret merupakan masa awal perkembangbiakan bagi sebagian besar jenis burung air di Pulau Rambut, tapi ketiga jenis burung air ini sudah lebih dulu memasuki masa perkembangbiakannya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya sarang serta anakan. Jenis lain yang sudah menghasilkan keturunan pada waktu penelitian dilaksanakan adalah burung Cangak merah (Ardea purpurea) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis).

Tabel 3. Burung-burung air yang ditemukan selama penelitian

No.

Nama spesies Perkiraan

kelimpahan (ekor)

Lokal Latin famili

1 Bangau bluwok * Mycteria cinerea Ciconiidae 7 2 Ibis pelatuk besi * Threskiornis melanocephalus Threskiornitidae 10 3 Ibis roko-roko Plegadis falcinellus Threskiornitidae 83 4 Kowak malam kelabu Nycticorax nycticorax Ardeidae 1.958 5 Kuntul besar Egretta alba Ardeidae 125 6 Kuntul kecil Egretta garzetta Ardeidae 1.530 7 Kuntul sedang Egretta intermedia Ardeidae 213 8 Kuntul kerbau Bubulcus ibis Ardeidae 225 9 Cangak abu Ardea cinerea Ardeidae 97 10 Cangak merah Ardea purpurea Ardeidae 75 11 Pecuk # Phalacrocorax sp. Phalacrocoracidae 1.640

12 Pecuk ular Anhinga melanogaster Anhingidae 67 13 Kokokan laut Butorides striatus Ardeidae tak diketahui

jumlah 6.030

Keterangan: * burung air migran

# Pecuk terdiri dari Pecuk kecil (Phalacrocorax niger), Pecuk belang (Phalacrocorax melanoleucus) dan Pecuk hitam (Phalacrocorax sulcirostris).

(34)

22 dengan jenis lainnya seperti burung Pecuk serta burung Cangak abu (Ardea cinerea) pada satu pohon besar. Hal ini disebut dengan asosiasi, yang merupakan bentuk perilaku sosial burung air di Pulau Rambut. Burung-burung air yang dapat berasosiasi adalah dari famili yang berbeda, karena terdapat spesifikasi kebutuhan akan sumberdaya dari masing-masing jenis tersebut yang tidak saling tumpang tindih, sehingga dapat hidup bersama. Burung Kowak malam kelabu dapat berasosiasi dengan hampir seluruh jenis burung air, bahkan dapat berasosiasi dengan jenis mamalia (Kalong).

Burung Bangau bluwok (Mycteria cinerea) merupakan burung yang sangat peka terhadap gangguan, burung ini jarang berkumpul dengan burung air lain pada satu pohon. Hal ini terjadi karena burung bluwok berukuran lebih besar dari burung-burung lain, sehingga membutuhkan ruang yang leluasa untuk bergerak, terutama untuk terbang dengan cara flapping (mengepakkan sayap). Meskipun begitu burung Bangau bluwok kadang ditemukan bersama dengan burung Ibis pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan Cangak abu di pohon-pohon besar seperti pohon kepuh, kedoya dan sawo kecik.

Jenis burung lain yang ditemukan selama penelitian sebanyak 20 jenis burung (Tabel 4) terdiri dari burung terestrial dan burung pantai. Jenis burung-burung selain burung-burung air ini memiliki pergerakan (mobilitas) yang sangat tinggi, sehingga dapat ditemukan kapan saja hampir di seluruh areal Pulau Rambut. Burung terestrial yang paling sering ditemukan adalah burung Kepodang kuduk-hitam (Oriolus chinensis). Burung ini kadang berada di depan pos BKSDA pada pagi hari, dan lebih seringnya melakukan pergerakan di dalam hutan sekunder campuran sampai ke dekat menara pengamatan.

(35)

Tabel 4. Burung terestrial dan burung pantai yang ditemukan selama penelitian

No. Nama spesies Lokal Latin 1 Kerak kerbau Acridotheres javanicus 2 Kepodang kuduk-hitam Orilous chinensis 3 Burung madu sriganti Nectarinia jugularis 4 Gagak hutan Corvus enca 5 Kucica kampung Copysycus saularis 6 Cekakak sungai Halycon cyanoventris 7 Tekukur Streptopelia chinensis 8 Pergam laut Ducula bicolor 9 Remetuk laut Gerygone sulphurea 10 Elang laut perut putih Haliaeetus leucogaster 11 Srigunting gagak Dicrurus hottentottus 12 Kekep babi Artamus leucorhynchus 13 Cikalang kecil Fregata ariel

14 Kutilang Pycnonotus aurigaster 15 Tuwur asia Eudynamys scolopacea 16 Caladi ulam Dendrocopus masei 17 Cabai jawa Dicaeum trochileum 18 Bubut Jawa Centropus nigrorufous 19 Trinil pantai Tringa hypoleucos 20 Gajahan kecil Numenius phaeopus

Jenis mamalia yang berada di Pulau Rambut adalah Kalong (Pteropus vampyrus). Kalong setidaknya menempati 3 lokasi koloninya di dalam hutan sekunder campuran dan bergelantungan di pohon Kedoya, jumlahnya kurang lebih 200 ekor. Kalong-kalong ini keluar mencari makan dari Pulau Rambut pada sore hari bersama burung kowak malam kelabu (nokturnal) dan kembali pada pagi hari. Kesamaan sifat ini mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan burung Kowak malam kelabu mampu berasosiasi dengan kalong. Keberadaan kalong di Pulau Rambut secara umum tidak memberi gangguan berarti pada burung air, tetapi akan sangat mengganggu bila terjadi ledakan populasi, karena satwa ini menggunakan jenis pohon yang sama dengan yang dibutuhkan oleh berbagai jenis burung air sebagi tempat tinggal.

Jenis reptilia yang ditemukan selama penelitian adalah ular Sanca kembang (Phyton reticulatus), ular Cincin emas (Boiga dendrophila), Biawak air-asia (Varanus salvator), Kadal (Mabouya mabouya) dan Tokek (Gecko gecko). Reptil-reptil ini tersebar terutama di hutan sekunder campuran, namun sering pula ditemukan di hutan pantai dan hutan mangrove untuk mencari makan.

(36)

24 Biawak merupakan pemangsa alami untuk burung air di Pulau Rambut. Reptil ini memangsa burung air yang jatuh atau melakukan aktivitas di lantai hutan. Selain itu, memiliki kemampuan untuk menaiki pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi dan memangsa telur-telur burung air. Meskipun begitu, biawak termasuk satwa yang sangat peka terhadap kehadiran manusia, satwa ini akan lari dan bersembunyi dengan cepat bila bertemu dengan manusia.

Pada musim perkembangbiakan burung air di Pulau Rambut, jumlah biawak akan meningkat seiring dengan peningkatan kelimpahan burung air. Hal ini merupakan hubungan yang logis antara mangsa dan pemangsa. Semakin banyak mangsa, maka akan meningkat pula jumlah pemangsa. Selama penelitian dilaksanakan, banyak ditemukan sisa-sisa telur biawak yang telah menetas dan anakannya.

(37)

4.1.1. Pemetaan Potensi Satwa

Hutan sekunder campuran dan hutan mangrove memiliki wilayah paling luas di Pulau Rambut, dan merupakan habitat utama bagi sebagian besar jenis satwa di Pulau Rambut terutama jenis burung air. Burung-burung air menyebar dalam kelompok secara acak di kedua jenis hutan ini, namun penyebarannya sangat dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahan di Pulau Rambut. Secara umum, penutupan lahan Suaka Margasatwa Pulau Rambut diperlihatkan pada Gambar 2.

Sumber: Lab. Analisis Lingkungan dan Data Spasial. DKSHE.

Gambar 2. Peta Penutupan Lahan Suaka Margasatwa Pulau Rambut

Pada bulan Februari-Maret, burung-burung air lebih banyak tersebar di bagian Tengah Pulau Rambut, tepatnya di hutan sekunder campuran bagian Tengah dan Timur. Hal ini disebabkan adanya tiupan angin barat yang kencang di sekeliling Pulau Rambut, sehingga burung-burung ini berlindung di bagian tengah yang ditumbuhi pepohonan khas hutan sekunder campuran.

(38)

26 burung Kuntul kerbau, Cangak abu, Pecuk ular, Ibis pelatuk besi dan Bangau bluwok. Hampir semua jenis burung air yang menempati hutan sekunder campuran di bagian Tengah Pulau Rambut, menempati pula hutan mangrove di sebelah Barat Laut, Utara dan Timur Laut Pulau Rambut kecuali burung Ibis pelatuk besi. Namun, kelimpahan burung air yang menempati hutan sekunder pada bagian Tengah Pulau Rambut pada bulan Februari-Maret lebih banyak daripada yang menempati hutan mangrove. Kondisi ini terjadi karena adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup luas di bagian Timur Laut Pulau Rambut, sehingga burung-burung air terdorong untuk menempati hutan sekunder campuran (selain adanya pengaruh angin barat).

Jenis satwa lainnya (mamalia dan reptilia) menempati hutan sekunder campuran bersama dengan burung air. Reptilia menempati menempati lantai hutan, tetapi memiliki kemampuan naik ke strata yang lebih tinggi, terutama untuk memangsa burung-burung air. Meskipun dapat melakukan mobilitas tinggi, namun sama seperti sebagian besar jenis burung air yang terdapat di hutan sekunder campuran, satwa-satwa ini relatif menempati habitat yang tetap sehingga dapat dipetakan posisinya.

Suaka Margasatwa Pulau Rambut sesuai dengan fungsinya merupakan kawasan perlindungan keunikan atau kekhasan berbagai jenis satwa. Keunikan satwa-satwa tersebut terletak pada berbagai segi diantaranya keanekaragaman jenis, ciri khas setiap jenis, perilaku setiap jenis dan interaksi diantara jenis satwa yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Pulau Rambut memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi terutama jenis burung air. Setiap jenis satwa memiliki ciri-ciri khusus (morfologi) yang membuatnya dapat dikenali dan dibedakan dari jenis lainnya.

Perilaku satwa pun merupakan hal yang sangat menarik untuk diamati. Setiap jenis satwa yang berada di Pulau Rambut memiliki perilaku yang khas, baik perilaku secara individu, kelompok, maupun hasil interaksi dengan individu dan kelompok. Perilaku setiap jenis satwa mulanya berkaitan dengan morfologi yang dipunyai dan terjadi sebagai respon atas kondisi lingkungan di sekitarnya dengan tujuan untuk mempertahankan hidup.

(39)

merupakan atraksi yang sangat menarik untuk diamati karena setiap burung air memiliki cara tersendiri (khas) untuk melakukannya. Pada fase percumbuan, burung (induk) jantan akan melakukan display untuk menarik perhatian burung betina. Fase ini merupakan fase awal, serta upaya sinkronisasi kesiapan pasangan untuk kemudian melakukan perkawinan.

Fase lainnya yang juga menarik adalah fase membuat sarang. Pada sebagian besar burung air, pasangan akan bekerjasama untuk membuat sarang. Hal yang paling menarik adalah ketika burung mencari bahan-bahan untuk membuat sarang dan menyusun sarang. Bahan-bahan untuk sarang sebagian besar terdiri atas ranting-ranting pohon dengan komposisi bahan berbeda untuk setiap jenis burung air. Ranting-ranting hidup didapat langsung dari pohon yang dipatahkan dengan menggunakan paruhnya yang tajam.

Burung-burung air yang menempati hutan sekunder campuran di bagian Tengah Pulau Rambut relatif menetap pada lokasi-lokasi tertentu, terutama bila sudah menempatkan sarangnya pada pohon yang tepat, sehingga mempermudah untuk dilakukan pemetaannya. Selanjutnya, satwa-satwa yang ditemukan di Suaka Margasatwa Pulau Rambut selama penelitian dilaksanakan (bulan Februari-Maret 2006) dipetakan pada peta penutupan lahan dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 3.

(40)

29

4.2. Potensi Flora

Terdapat tiga tipe vegetasi utama di Pulau Rambut yaitu vegetasi hutan pantai, hutan sekunder campuran dan hutan mangrove. Hutan pantai didominasi oleh komunitas Thespelia populnea - Acacia auriculliformis, hutan sekunder campuran didominasi oleh komunitas Sterculia foetida - Dyxoxylum caulostachyum sedangkan pada tingkat semak dikuasai kingkit (Triphasia trifolia) dan hutan mangrove didominasi oleh komunitas Ceriops tagal - Rhizophora mucronata (Imanuddin dan Mardiastuti, 2003).

Inventarisasi tumbuhan yang dilakukan sepanjang jalur interpretasi yang sudah ada di Pulau Rambut (10 m kiri dan kanan jalur), mencatat 34 jenis tumbuhan (Tabel 5) diantaranya kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Dyxoxylum caulostachyum), mengkudu (Morinda citrifolia ) dan melinjo (Gnetum gnemon). Selain itu, ditemukan juga semak dan tumbuhan bawah seperti Kingkit (Triphasia trifolia), Cabai jawa (Piper retrofractum), Oyot ubi (Dioscorea bulbifera) dan Sundel malam (Ipomoea longiflora).

Tabel 5. Flora sepanjang jalur interpretasi (10 meter kanan-kiri jalur pengamatan)

No Nama jenis Bentuk Tumbuhan

(Life form) Lokal Latin

1 Anting-anting - Tumbuhan bawah 2 Api-api Avicenia officinalis Pohon

3 Bakau Rhizophora mucronata Pohon 4 Baniran Neoscarthechinia kingii Pohon

5 Bayam duri Amarantus spinosus Tumbuhan bawah 6 Beringin pencekik Ficus sp Pohon

7 Bola-bola Xylocarpus granatum Pohon

8 Boni-bonian - Tumbuhan bawah 9 Cabai jawa Piper retrofractum Tumbuhan bawah 10 Daun suji Draceana sanderiana Semak

11 Jambu-jambu Eugenia spp Pohon 12 Jati pasir Scaerota frustescens Pohon 13 Kayu hitam Diospyros maritima Pohon 14 Kedoya Dyxoxylum caulostachyum Pohon 15 Kepuh Sterculia foetida Pohon 16 Kesambi Schleichera oleosa Pohon 17 Ketapang Terminallia catappa Pohon

18 Kingkit Triphasia trifolia Tumbuhan bawah 19 Kolang-kaling Cyratia trifolia Tumbuhan bawah 20 Koreak Guettarda speciosa Tumbuhan bawah 21 Kresek Ficus timorensis Pohon

22 Lebar daun - Tumbuhan bawah 23 Melinjo Gnetum gnemon Pohon

24 Mengkudu Morinda citrifolia Pohon 25 Mindi Melia azedirach Pohon

26 Oyot ubi Dioscorea bulvifera Tumbuhan bawah 27 Papasan - Tumbuhan bawah 28 Pepaya Carica papaya -

29 Pereak/imer-imer Breynia racemosa Tumbuhan bawah 30 Petai cina Leucaena leucocepohala Pohon

31 Pulai Alstonia shcolaris Pohon

32 Rotan wowo Rhapidophora minor Tumbuhan bawah 33 Saga pohon Adenanthera pavonina Pohon

(41)

Pohon Kepuh (Sterculia foetida) dan pohon Kedoya (Dyxoxylum caulostachyum) termasuk jenis pohon besar dengan percabangan yang rindang, sehingga digunakan oleh berbagai jenis burung air sebagai tempat meletakkan sarang, maupun sekedar tempat berlindung sementara (shelter). Jenis satwa yang menggunakan pohon Kepuh dan Kedoya sebagai tempat tinggal diantaranya burung Kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax), Pecuk padi (Phalacrocorax niger), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis) dan Bangau bluwok (Mycteria cinerea).

Kingkit (Triphasia trifolia) merupakan tumbuhan semak yang dapat ditemukan hampir di sepanjang jalur interpretasi yang sudah ada di Pulau Rambut dan kadang dililit oleh tumbuhan merambat Oyot ubi (Dioscorea bulvifera). Pertumbuhan kingkit dapat mencapai 3 sampai 4 meter, buahnya merah menyala bila telah masak dan rasanya masam. Kingkit dengan percabangan rindang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi karena baik bila diolah menjadi bonsai.

Mengkudu (Morinda citrifola) dan Cabai jawa (Piper retrofractum) termasuk jenis tumbuhan obat yang sudah sangat dikenal masyarakat. Mengkudu terutama berkhasiat sebagai obat liver dan hipertensi (darah tinggi), dan Cabai jawa digunakan sebagai campuran jamu (termasuk obat peningkat stamina/daya tahan tubuh). Tumbuhan-tumbuhan ini mudah ditemukan di Pulau Rambut, dan tumbuh di sepanjang jalur interpretasi di dalam hutan sekunder campuran. Sedangkan tumbuhan-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan diantaranya papasan (dimanfaatkan buah dan daunnya), kesambi (Schleichera oleosa) daunnya dapat dimakan, melinjo (Gnetum gnemon) buah dan daun dapat dimakan, dan pepaya (Carica papaya) dimanfaatkan daun dan buahnya.

4.3. Potensi Budaya a. Cerita Rakyat

(42)

31 menerangkan sejarah terbentuknya Pulau Rambut menurut kepercayaan masyarakat.

1. Cerita rakyat versi “Puteri”

Dulu ada putri dari daerah selatan Jawa (Nyi Roro Kidul) yang berkunjung ke utara dengan disertai oleh banyak pengawal dan membawa banyak perbekalan pula. Puteri tersebut menggunakan “cemara” atau rambut tambahan konde di kepalanya.

Akan tetapi di tengah perjalanan di laut utara rombongan tersebut terkena angin ribut (badai) dan karam. Kemudian bokor yang karam berubah menjadi Pulau Bokor, damar yang dibawa dan karam berubah menjadi Pulau Damar serta cemara yang dipakai sang puteri terlepas dan berubah menjadi Pulau Rambut.

2. Cerita rakyat versi “Jawara”

Dulu ada seorang jawara yang memiliki kekuatan luar biasa kuat, tak ada yang bisa mengalahkannya karena ia bisa bangkit kembali walaupun telah dibunuh dan dikubur kecuali dipisahkan rambut dari tubuhnya sebelum dikubur terpisah. Akhirnya jawara tersebut dapat dikalahkan dengan memisahkan rambutnya dari tubuhnya dan rambut jawara yang dipisahkan tersebut kemudian berubah menjadi Pulau Rambut.

b. Peninggalan Sejarah

Interpretasi bukan hanya menyampaikan informasi atas obyek-obyek ilmiah saja, tapi juga termasuk informasi budaya atau sejarah. Selain keanekaragaman hayati yang tinggi terutama jenis burung air, terdapat pula suatu peninggalan sejarah di Pulau Rambut. Peninggalan sejarah tersebut berupa dua buah kuburan yang dipercaya merupakan kuburan nenek moyang dari satu keluarga yang tinggal di daerah Depok. Beberapa anggota keluarga tersebut melakukan ziarah ke Pulau Rambut secara rutin pada waktu-waktu tertentu.

(43)

4.4. Interaksi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Suaka Margasatwa Pulau Rambut

4.4.1. Pemanfaatan Potensi Kawasan

Interaksi masyarakat dengan Pulau Rambut sangat tinggi, terutama masyarakat yang berasal dari Pulau Untung Jawa dan Tanjung Pasir sebagai daerah yang paling dekat dengan Pulau Rambut. Selain itu, ada juga yang berasal dari daerah lainnya seperti Rawa Bokor, Tanjung Kait, Pulau Lancang dan Muara Karang yang semuanya masih termasuk wilayah Tangerang dan Jakarta. Selama penelitian tercatat sebanyak 10 kali kunjungan masyarakat sekitar (yang langsung ke Pulau Rambut), rata-rata 5 orang per kunjungan. Sedangkan masyarakat nelayan datang setiap hari dengan menggunakan perahu motor, untuk menjaring ikan di sekeliling Pulau Rambut.

Tujuan masyarakat datang ke Pulau Rambut terutama untuk mencari bahan makanan seperti keong, kerang, rajungan dan ikan serta tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan seperti daun pepaya dan melinjo. Masyarakat nelayan yang mencari ikan datang ke pulau rambut hampir setiap hari dengan menggunakan perahu nelayan yang dilengkapi jaring penangkap ikan.

Masyarakat masih diperbolehkan untuk memasuki kawasan Pulau Rambut, bahkan penetrasinya sampai kedalam hutan sekunder/pada jalur interpretasi. Meski demikian, petugas selalu memberikan himbauan agar masyarakat tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kelestarian Pulau Rambut dan terus melakukan pengawasan.

4.4.2. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut

Pulau Untung Jawa telah dijadikan sebagai daerah penyangga (buffer zone) dalam pengelolaan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, untuk menunjang kegiatan pengawasan dan pengamanan kawasan tersebut. Selain karena jaraknya yang paling dekat dengan Pulau Rambut, masyarakat Pulau Untung Jawa juga merupakan masyarakat yang intensitas hubungannya paling tinggi dengan Pulau Rambut bila dibandingkan dengan masyarakat daerah lainnya. Hal tersebut dikuatkan dengan pencanangan Pulau Untung Jawa sebagai “desa wisata nelayan andalan” pada akhir tahun 2003 (BKSDA, 2005).

(44)

33 pembangunan di Pulau Rambut, seperti pembangunan tanggul beton penahan abrasi di sebelah Timur Pulau Rambut. Hal inilah yang menguatkan rasa memiliki masyarakat Pulau Untung Jawa terhadap Pulau Rambut, ditambah dengan kedekatan yang terjalin sejak lama karena hampir seluruh petugas Pulau Rambut berasal dari Pulau Untung Jawa. Selain itu, banyaknya pengunjung (wisatawan) Pulau Untung Jawa yang berkeinginan meneruskan kunjungannya ke Pulau Rambut secara tidak langsung menjadi tuntutan bagi masyarakat Pulau Untung Jawa untuk menjaga dan mengetahui potensi Pulau Rambut sehingga dapat menginformasikannya pada pengunjung yang datang.

4.5. Karakteristik, Pengetahuan dan Tanggapan Pengunjung

Data mengenai pengunjung didapat dari hasil penyebaran kuisioner yang ditujukan kepada seluruh pengunjung yang datang. Selama penelitian dilaksanakan didapat 34 orang pengunjung yang mengisi kuisioner. Data ini merupakan salah satu acuan dalam melihat karakteristik serta kecenderungan minat dan harapan pengunjung, dalam melaksanakan kegiatannya di Pulau Rambut.

4.5.1. Karakteristik Pengunjung a. Latar Belakang Pengunjung

Latar belakang pengunjung Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Tabel 6) yang dimaksud mencakup asal, jenis kelamin, usia dan pendidikan terakhir. Pengunjung yang datang ke Pulau Rambut (selama penelitian dilaksanakan) sebagian besar berasal dari wilayah yang dekat dengan Pulau Rambut yaitu Jakarta (67,64%), menunjukkan bahwa Pulau Rambut disadari sebagai lokasi yang memiliki keunikan tertentu. Adanya pengunjung yang berasal dari daerah-daerah yang cukup jauh dengan Pulau Rambut (Bogor, Bandung,dll) menunjukkan bahwa kawasan ini telah cukup dikenal oleh masyarakat luas. Pengunjung-pengunjung tersebut kebanyakan tinggal di kota yang dekat dengan Pulau Rambut (Jakarta dan Bekasi) baik untuk bekerja maupun belajar/kuliah.

(45)

Tabel 6. Latar belakang pengunjung

No Karakteristik Pengunjung Jumlah Responden Persentase jawaban

Perempuan 14 41,17 3. Usia 26 – 50 tahun 18 52,94

18 – 25 tahun 16 47,05 12 – 17 tahun 0 0 >50 tahun 0 0 4. Pendidikan terakhir Perguruan tinggi 31 91,17

SMA 3 8,82

Usia pengunjung yang datang didominasi oleh pengunjung yang berumur 26 - 50 tahun (52,94%), hal ini menunjukkan bahwa interpretasi yang disampaikan merupakan interpretasi untuk pengunjung berusia dewasa. Selain itu, penggunaan fasilitas-fasilitas pendukung interpretasi dapat dioptimalkan dengan memberi keterangan secara lengkap/rinci yang dilengkapi dengan nama-nama ilmiah/latin dari obyek yang ada di Pulau Rambut. Penggunaan keterangan-keterangan ilmiah akan tetap dimengerti oleh pengunjung, hal tersebut terkait dengan tingkat pendidikan pengunjung yang tinggi karena sebagian besar sedang mengikuti pendidikan atau sudah lulus dari perguruan tinggi (91,17%).

Pengunjung Pulau Rambut pada tahun 2005 (Lampiran 2), sebagian besar berlatar belakang pendidikan SMU dan datang pada musim liburan (akhir tahun) dengan jumlah yang sangat besar, bahkan pada bulan September 2005 ada sejumlah 100 orang yang datang ke Pulau Rambut dalam satu kali kunjungan. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Rambut masih dipandang sebagai daerah tujuan wisata seperti daerah wisata pada umumnya. Oleh karena itu, peraturan yang ada harus benar-benar diterapkan oleh pihak BKSDA DKI Jakarta mengenai pembatasan aktivitas manusia di Pulau Rambut (jumlah pengunjung, musim kunjungan dan lokasi yang dikunjungi).

(46)

35 Februari-Maret terjadi musim barat dengan air yang bertiup kencang dan ombak yang mencapai ketinggian 1,5 m – 2 m, Suaka Margasatwa Pulau Rambut tetap menajdi daerah tujuan kegiatan pendidikan dan atau penelitian.

Pengunjung yang datang ke Pulau Rambut sebagian besar selama 2 hari (67,64%) dan menginap sehingga harus diperhatikan pengaturan jumlah maksimal pengunjung yang datang, serta fasilitas penginapan. Pengunjung sebaiknya disarankan untuk menginap di Pulau Untung Jawa, baik di penginapan-penginapan yang dimiliki penduduk, penginapan BKSDA ataupun di

camping ground. Sehingga aktivitas yang mungkin dapat mengganggu satwa di malam hari dapat dihindarkan kecuali untuk pengunjung yang berada di Pulau Rambut lebih dari 1 bulan dan melakukan penelitian (5,88%), perlu dibangun pondok khusus peneliti, baik terpisah atau disatukan dengan pos BKSDA yang telah ada.

b. Tujuan dan pola kunjungan

Karakteristik pengunjung pada bagian ini mencakup tujuan kunjungan, kegiatan yang paling disukai dan bentuk kedatangan ke Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Tabel 7). Tujuan pengunjung datang ke Pulau Rambut adalah untuk penelitian (25,47%), hal ini sesuai dengan fungsi Suaka Margasatwa Pulau Rambut yang dititikberatkan pada kegiatan-kegiatan pendidikan dan atau penelitian.

Oleh karena itu, fasilitas interpretasi yang mendukung tujuan ini perlu dioptimalkan dengan memberikan informasi lengkap mengenai Pulau Rambut dan segala potensinya. Selain itu, tujuan pengunjung untuk penelitian akan mempermudah diterimanya pesan-pesan mengenai upaya perlindungan Pulau Rambut. Selain untuk penelitian, sebagian pengunjung datang dengan tujuan berekreasi (23,52%). Hal ini berhubungan dengan asal pengunjung yang sebagian besar dari kota-kota besar yang padat penduduk dan polusi, sehingga pengunjung sengaja mencari daerah-daerah seperti Pulau Rambut yang masih menyajikan kondisi alam yang bisa menyegarkan kembali pikiran.

Gambar

Tabel 1. Jenis-jenis burung air yang berada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Februari-Maret 2001 (Azhar, 2002)
Tabel 2. Kelimpahan burung air di Pulau Rambut berdasarkan penjumlahan burung yang tinggal dan penghitungan sore hari, Februari-Maret 2001
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Perencanaan Interpretasi di Suaka  Margasatwa
Tabel 3. Burung-burung air yang ditemukan selama penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kualitas vegetasi mangrove yang rendah akibat penebangan liar pohon mangrove secara besar-besaran di masa lalu, sehingga hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading

Data kecepatan dan arah arus laut pada Perairan Pulau Pari yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan sedangkan data pasang surut didapatkan dari website resmi Badan

Sedangkan habitat kelompok bukan burung air di Pulau Rambut adalah hutan campuran, hutan pantai, dan hutan mangrove sekunder yang digunakan sebagai tempat bersarang dan

Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke masih memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Tumbuhan terbanyak di SMMA didominasi oleh Pidada (Sonneratia caseolaris) dan

Wilayah Kepulauan Seribu terdiri dari 110 pulau dan memiliki perairan laut seluas 699.750 Ha, dari seratus lebih pulau tersebut hanya sekitar sepuluh pulau yang

Ikan yang tertangkap selama penelitian di Perairan Suaka Margasatwa Muara Angke tepatnya yang berlokasi disekitar pesisir mangrove yang dilakukan pada bulan

Berkaitan dengan hal tersebut, Ekosistem mangrove di Pulau Rambut memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terhadap keberadaan burung air, sehingga perlu adanya kebijakan