• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM

KAITANNYA DENGAN KERJASAMA SISTER CITY (KOTA

BERSAUDARA) YANG DIBUAT OLEH PEMERINTAH KOTA

MEDAN DAN PEMERINTAH KOTA ICHIKAWA

S K R I P S I

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KATHY CARISSA BANGUN 110200056

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STATUS PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM

KAITANNYA DENGAN KERJASAMA SISTER CITY (KOTA

BERSAUDARA) YANG DIBUAT OLEH PEMERINTAH KOTA

MEDAN DAN PEMERINTAH KOTA ICHIKAWA

S K R I P S I

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KATHY CARISSA BANGUN 110200056

Departemen Hukum Internasional

Diketahui/Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Internasional

(Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum) NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum.) (Arif, S.H., M.H NIP. 19562101986012001 NIP. 1964033019931002

)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Kathy Carissa Bangun* Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.

)

Melihat semakin maju dan berkembangnya kota-kota yang ada di seluruh negara di dunia, membuat Indonesia semakin terpacu pula dalam merintis “Kota Idaman” di setiap daerah di Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi pemacu untuk diadakannya kerjasama antar kota di Indonesia bahkan dengan kota-kota yang ada di luar Indonesia. Dengan hal ini, Indonesia akan menjadi lebih berkembang dan dapat turut serta memberi andil dalam pembangunan nasional ke arah globalisme yang diidam-idamkan.

Sister City bukanlah hal baru dalam hubungan bilateral antar negara di dunia. Sudah banyak bentuk-bentuk kerjasama Sister City yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia dengan kota-kota yang tersebar di seluruh dunia. Tidak terkecuali Kota Medan sendiri, yang dalam hal ini melakukan kerjasama dengan Kota Ichikawa di Jepang sejak tahun 1989. Selain menjelaskan mengenai apa itu Sister City secara mendalam, turut dijelaskan pula mengenai bagaimana bentuk perjanjian internasional yang dilakukan antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa Jepang.

Dalam proses penulisan ini, ada berbagai cara yang Penulis lakukan. Selain melakukan tinjauan langsung ke Kantor Walikota Medan, juga tinjauan kepustakaan mengenai Sister City serta kaitannya dengan Hukum Perjanjian Internasional guna mendapatkan data-data yang diperlukan untuk mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Kesimpulannya adalah, Sister City merupakan salah satu cara terbaik dalam pelaksanaan kerjasama antar kota di seluruh dunia demi mencapai suatu target globalisasi yang baik. Dan juga dapat memberikan suatu pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam hal-hal yang mengacu pada pembangunan nasional. Saran dari penulis, kerjasama yang baik haruslah didasari dengan hal dan tujuan yang baik pula. Diharapkan setiap kerjasama yang terjalin antar Pemerintah Kota Medan dan Kota Ichikawa, Jepang, benar-benar merupakan suatu kerjasama yang bisa memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Jepang pada umumnya dan khususnya untuk kedua kota tersebut.

Kata kunci : Perjanjian Internasional, Pemerintah Daerah, Sister City

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011 **

Dosen Pembimbing I ***

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Juga tidak lupa shalawat beriringan salam penulis hadiahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Pada skripsi ini, penulis mengangkat judul mengenai “Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota

Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah

Kota Ichikawa”. Dimana skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana hukum di Fakultas Hukum USU. Judul ini diangkat karena ketertarikan penulis mengenai Status Perjanjian Sister City (Kota Bersaudara) sebagai salah satu bagian dari pariwisata yang mempunyai hubungan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah di luar Indonesia.

(5)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan Dosen Pembimbing I yang sangat berjasa dan sudah banyak membantu baik itu dalam perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak berjasa dalam membantu Penulis menyelesaikan masa perkuliahan dengan meluangkan waktu, tenaga serta pikiran demi terselesaikannya penulisan skripsi serta memberi nasihat-nasihat dan jalan keluar selama proses perkuliahan Penulis dari kampus tercinta.

4. Seluruh dosen Departemen Hukum Internasional, Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum. (Makasih Pak, atas segala ilmu, nasihat dan jalan keluar yang selalu bapak berikan), Bapak Deni Amsari Purba, S.H., L.LM. (Best lecturer I ever had. All I can say just thankyou so much, Sir!) dan kepada Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum. (Terimakasih, Pak!)

5. Seluruh dosen pengajar serta pegawai administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan telah membantu Penulis selama menjalani perkuliahan.

(6)

cinta dan kasih sayang yang takkan bisa tergantikan. Terimakasih Ma, Pa untuk perhatian, dukungan, nasihat serta doa yang tak pernah putus sehingga mengantarkan penulis seperti sekarang ini. I love both of you with all my heart, Ma, Pa.. Buat adik-adikku tersayang, Nefertari Ferina Bangun, Trisha Dianita Bangun dan Rindy Artika Bangun, terimakasih untuk semangat dan doa kalian selama ini. (Kalian harus lebih dari kakak. Harus!) I love you all more than you know, for sure..

7. Special untuk seseorang yang selalu ada di sisi Penulis, motivator bagi Penulis, sosok yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah Penulis, yang selalu memberi dukungan serta semangat dan selalu membuat Penulis jatuh hati, Syaid Mustafa Siregar (Thankyou for all the things you’ve done for me, Dut!)

8. Untuk Qintari Ayu Aninditha, “Psikolog Pribadi” yang selalu menemani dan setia mendengarkan curhatan Penulis sejak bangku sekolah dan teruntuk Mila Lailyana, “Penasihat Pribadi” yang selalu mengalah dalam perdebatan segala keadaan dan selalu ada dalam suka maupun duka (Akhirnya tamat juga kita, Tek! :’] Hahaha…)

(7)

sekolah yang tergabung dalam “Pocin” Ade Liany Putri, Hafiz Nurdiansyah, Posma Renato Simanjuntak, T. Omar Azfar Haqqani, Ary Okrizal Mazid, Abdul Hamid Amir Lubis, Abdul Razaak Harahap, Fahmi Alfiando, M. Agusto Safardin Pane, dan banyak lagi teman-teman luar biasa di luar sana yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu.

10.Kepada keluarga besar ILSA (International Law Student Association) 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat luar biasa memberikan kesan, especially untuk “Alumni Beijing” dan kepanitiaannya (Gonna miss you, guys!!)

11.Dan juga kepada teman-teman Penulis lainnya yang berada di dalam maupun di luar wilayah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Februari 2015 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional ... 20

B. Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional ... 30

C. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional .... 36

BAB III LATAR BELAKANG PERJANJIAN KERJASAMA SISTER CITY (KOTA BERSAUDARA) A. Pengertian Sister City (Kota Bersaudara) ... 39

B. Perkembangan Sister City (Kota Bersaudara) di Indonesia ... 44

(9)

BAB IV STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL SISTER

CITY (KOTA BERSAUDARA) YANG DIBUAT OLEH

PEMERINTAH KOTA MEDAN DAN PEMERINTAH KOTA

ICHIKAWA

A. Bentuk-bentuk Kerjasama antar Pemerintah Daerah yang Berbeda Negara ... 59 B. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional oleh Pemerintah

Daerah ... 66 C. Status Hukum Perjanjian Internasional Sister City (Kota

Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 82

(10)

ABSTRAKSI

Kathy Carissa Bangun* Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.

)

Melihat semakin maju dan berkembangnya kota-kota yang ada di seluruh negara di dunia, membuat Indonesia semakin terpacu pula dalam merintis “Kota Idaman” di setiap daerah di Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi pemacu untuk diadakannya kerjasama antar kota di Indonesia bahkan dengan kota-kota yang ada di luar Indonesia. Dengan hal ini, Indonesia akan menjadi lebih berkembang dan dapat turut serta memberi andil dalam pembangunan nasional ke arah globalisme yang diidam-idamkan.

Sister City bukanlah hal baru dalam hubungan bilateral antar negara di dunia. Sudah banyak bentuk-bentuk kerjasama Sister City yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia dengan kota-kota yang tersebar di seluruh dunia. Tidak terkecuali Kota Medan sendiri, yang dalam hal ini melakukan kerjasama dengan Kota Ichikawa di Jepang sejak tahun 1989. Selain menjelaskan mengenai apa itu Sister City secara mendalam, turut dijelaskan pula mengenai bagaimana bentuk perjanjian internasional yang dilakukan antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa Jepang.

Dalam proses penulisan ini, ada berbagai cara yang Penulis lakukan. Selain melakukan tinjauan langsung ke Kantor Walikota Medan, juga tinjauan kepustakaan mengenai Sister City serta kaitannya dengan Hukum Perjanjian Internasional guna mendapatkan data-data yang diperlukan untuk mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Kesimpulannya adalah, Sister City merupakan salah satu cara terbaik dalam pelaksanaan kerjasama antar kota di seluruh dunia demi mencapai suatu target globalisasi yang baik. Dan juga dapat memberikan suatu pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam hal-hal yang mengacu pada pembangunan nasional. Saran dari penulis, kerjasama yang baik haruslah didasari dengan hal dan tujuan yang baik pula. Diharapkan setiap kerjasama yang terjalin antar Pemerintah Kota Medan dan Kota Ichikawa, Jepang, benar-benar merupakan suatu kerjasama yang bisa memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Jepang pada umumnya dan khususnya untuk kedua kota tersebut.

Kata kunci : Perjanjian Internasional, Pemerintah Daerah, Sister City

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011 **

Dosen Pembimbing I ***

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan internasional merupakan suatu sistem hubungan antar negara yang berdaulat dalam pergaulan internasional yang menjadikan kegiatan diplomasi sebagai suatu elemen utama bagi suatu negara sebagai faktor penentu eksistensi sebuah negara dalam hubungan internasional. Diplomasi merupakan proses politik untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lain.1 Diplomasi kekinian juga tidak hanya menyangkut kegiatan politik saja tapi juga menjadi suatu senjata multi-dimensional yang digunakan dalam situasi dan lingkungan apapun dalam hubungan antar bangsa.2

Dalam era globalisasi

Sehingga dapat dikatakan, hubungan internasional saat ini ditandai oleh aktivitas-aktivitas diplomasi yang sangat kompleks.

3

1

Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, STIH IBLAM : Jakarta, 2004, hlm.1.

ini, interaksi dan intensitas hubungan antar negara menjadi semakin meningkat yang antara lain ditandai dengan dicapainya berbagai kesepakatan kerjasama baik yang bersifat regional, bilateral dan multirateral. Berbagai kesepakatan tersebut lazimnya dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional yang meliputi berbagai bidang, baik itu politik, ekonomi,

2

Ibid., hlm. 3. 3

(12)

perdagangan, hukum, pertahanan, sosial budaya dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perjanjian internasional sebagai suatu dokumen hukum telah menjadi bagian dari keseharian kegiatan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai catatan, berdasarkan data yang ada pada Treaty Room Kementerian Luar Negeri, saat ini tercatat sekitar 3596 (tiga ribu lima ratus sembilan puluh enam) perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain termasuk dengan subjek hukum internasional lainnya.4

Meskipun demikian, disadari bahwa sekalipun Indonesia telah menjadi pihak dalam ribuan perjanjian internasional dan telah memiliki seperangkat perundang-undangan nasional yang mengatur atau merujuk pada dokumen perjanjian internasional, Indonesia masih belum memiliki politik dan sistem hukum nasioanl yang jelas tentang perjanjian internasional. Dalam kaitan ini, terdapat tiga permasalahan yang menjadi faktor utama yaitu pertama, adalah tentang pengertian atau definisi perjanjian internasional dalam perspektif hukum nasional yang masih belum baku. Kedua, adalah tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Ketiga adalah tentang konsep ratifikasi/pengesahan yang berkembang dan yang dikenal dalam hukum nasional.5

Masalah definisi perjanjian internasional dalam teori dan praktiknya menimbulkan ketidakseragaman konsepsional. Parameter untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional sering luput dari perhatian sehingga acapkali menimbulkan kerancuan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Pandangan umum mengenai perjanjian internasional adalah seluruh

4

Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional (Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi), PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 1.

(13)

perjanjian yang bersifat lintas negara baik yang bersifat perjanjian publik maupun perjanjian perdata antar negara maupun antar perusahaan multinasional. Black’s Law Dictionary mendefinisikan kontrak sebagai6 “An agreement between two or more parties creating obligations that are enforcable or otherwise recognizable at

law”.7

Globalisasi menjadi alasan dan faktor utama bagi berbagai negara di dunia untuk saling bekerja sama. Hal ini didasarkan pada saling bergantung dan saling membutuhkannya tiap-tiap negara terhadap negara lain, baik itu dalam hal sumber daya alam, energi, informasi, teknologi maupun perdagangan. Hal ini kemudian lambat laun membawa globalisasi semacam yang dinamakan dengan penyatuan, yang semakin dekat antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat di dunia yang disebabkan oleh pengurangan biaya transportasi dan komunikasi yang begitu besar, dan dapat meruntuhkan berbagai penghalang artifisial bagi arus barang, jasa, modal, pengetahuan dan (dalam jumlah yang sedikit) orang-orang di perbatasan.

Sehingga definisi ini cukup mengarahkan opini bahwa perjanjian internasional adalah identik dengan kontrak.

8

Proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang sedang berlangsung dewasa ini telah mendorong peningkatan intensitas komunikasi dan interaksi antar

6

Bryan A. Garner (Editor). Black’s Law Dictionary Second Pocket Edition. West Group, 2011, hlm. 139.

7

Kontrak secara umum dapat juga diartikan sebagai : an agreement which binds the parties concerned. In other words, a contract is an agreement which is enforceable by law. To have an agreement, there must be an offer and an acceptance of that offer. Baca : Catherine Tay Swee Kian-Tang See Chim, Time Business : Contract Law, a laymans’s guide, Times Books International, Singapore-Kuala Lumpur, 2001, hlm. 19.

8

(14)

bangsa, termasuk antar kota/daerah dan masyarakat di negara yang berbeda. Dalam hal ini hubungan persahabatan dan saling pengertian antar bangsa-bangsa semakin dirasakan dalam mendukung kepentingan nasional. Keadaan tersebut sudah pasti memberi peluang yang baru dan luas kepada negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif.9

Melihat semakin meluasnya peran yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk mendukung otonomi daerah, ini menjadikan daerah-daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk menjalin kerjasama antar kota di seluruh dunia. Undang-undang otonomi daerah merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia atau dapat juga disebut payung hukum pelaksanaannya terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah undang-undang otonomi daerah seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.

Undang-undang otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.”

9

(15)

Selanjutnya, Undang-undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”

Ketentuan tersebut di atas menjadi payung hukum bagi pembentukan undang otonomi daerah di Indonesia, sementara undang-undang otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya undang-undang ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.10

Maka dari itu, Sister City merupakan implementasi dari perluasan hak yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengurus sendiri urusan pemerintahannya dalam arti tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang merupakan salah satu dari beberapa bentuk kerjasama yang dijalin pemerintah daerah di Indonesia dengan

10

(16)

kota-kota yang ada di luar negeri. Dalam konteks Perjanjian Internasional, kedua pihak harus membuat sesuatu yang dapat mengikat keduanya. Misalnya, adanya Memorandum of Understanding (MoU)11

Ada berbagai informasi dan hal-hal yang bisa dijadikan suatu pembelajaran bagi setiap orang untuk lebih memahami bagaimana cara melakukan kerjasama internasional. Dengan melakukan diplomasi internasional seperti apakah suatu kerjasama Sister City ini dapat terjalin dan bagaimana cara Pemerintah Daerah membuat kerjasama Sister City ini apakah sudah sesuai dengan proses dan mekanisme yang ada di Indonesia.

yang dibuat kedua pihak dalam menjalin kerjasama antar kota atau Sister City.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting untuk meneliti bentuk serta status perjanjian internasional yang dibuat dalam kerangka kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) antara pemerintah daerah dari negara yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tentang perjanjian internasional dalam hukum internasional dan dalam hukum nasional ?

2. Bagaimana kesepakatan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa ?

11

(17)

3. Bagaimana status perjanjian internasional dalam kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan pembahasan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang perjanjian internasional dalam hukum internasional dan dalam hukum nasional.

b. Untuk mengetahui kesepakatan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa.

c. Untuk mengetahui status hukum perjanjian internasional dalam kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa.

2. Manfaat Penulisan

(18)

Secara praktis, pembahasan terhadap masalah dalam penulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Republik Indonesia (RI) dalam memahami norma-norma serta aspek-aspek hukum internasional dan hukum nasional yang terkait dengan perjanjian internasional dalam kaitannya dengan hubungan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penulisan sebelumnya dengan judul “Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa”.

Namun pernah ada penulisan dari mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul :

1. Saudara Sondang br. Simanjuntak, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 830711247, Judul “Azas Reservasi dalam Perjanjian Internasional Wujud Kedaulatan Suatu Negara”. Dalam rumusan masalah : a. Dapatkah Negara yang mengadakan persyaratan menjadi peserta konvensi

dan tetap mempertahankan persyaratan jika persyaratannya tersebut tidak disetujui oleh satu atau lebih peserta konvensi ?

(19)

c. Bagaimana Negara mengajukan persyaratan dan hubungannya dengan kedaulatan ?

2. Saudara Indra R. Muswar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 930200105, Judul “Ratifikasi Perjanjian Internasional menurut Sistem Hukum Indonesia”. Dalam rumusan masalah :

a. Bagaimana pelaksanaan ratifikasi dan sistem yang diberlakukan di Indonesia?

b. Bagaimana penyusunan perundang-undangan dari ratifikasi perjanjian internasional tersebut ?

c. Bagaimana tata cara dan ketentuan ratifikasi perjanjian internasional yang dapat dipedomani ?

d. Peraturan-peraturan apa saja yang diperlakukan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ratifikasi perjanjian Internasional terutama yang berhubungan dengan kepentingan nasional Indonesia ?

3. Saudara Imran Rinaldin, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 950221019, Judul “Kedudukan Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional”. Dalam rumusan masalah :

a. Apa segi positif dan negatif apabila ketentuan-ketentuan perjanjian internasional diberlakukan terhadap pohak ketiga yang bukan peserta perjanjian tersebut ?

(20)

c. Secara praktis, kebiasaan-kebiasaan internasional dapat diterima menjadi hukum kebiasaan. Bagaimana bila suatu negara menolak diberlakukannya hukum kebiasaan tersebut ?

Dalam permasalahan beberapa penulisan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang ditulis saat ini. Oleh karena itu, penulisan ini adalah asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam tinjauan kepustakaan, dikemukakan beberapa pengertian dan batasan-batasan yang menjadi sorotan dalam membuat studi kepustakaan. Hal ini tentunya akan sangat berguna untuk membantu melihat ruang lingkup penulisan agar tetap berada di dalam koridor topik yang diangkat dalam permasalahan yang telah disebutkan di atas dan akan dijelaskan secara bertahap sehingga memudahkan pembaca untuk dapat lebih memahami apa-apa saja yang dituangkan dalam skripsi di bawah ini.

(21)

mewujudkan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.12

Pada saat yang sama, dalam pelaksanaan hubungan antar negara yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia haruslah didasarkan pada Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara dan sumber dari segala sumber hukum.13

Hukum Nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu negara yang terdiri atas prinsip-prinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pada suatu

negara. Hukum Nasional

proses penemuan, pengembangan, penyesuaian dari beberapa sistem hukum yang telah ada.

Hukum Nasional di Indonesia adalah hukum yang terdiri atas campuran dari sistem hukum agama, hukum Eropa, dan karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka syari’at Islam lebih mendominasi terutama pada bidang kekeluargaan, perkawinan dan warisan. Sistem hukum Eropa kontinental baik itu hukum perdata maupn hukum pidana. Hukum Eropa yang diikuti khususnya dari Belanda itu karena di masa lampau Indonesia merupakan negara jajahan Belanda. Sistem Hukum Adat juga merupakan bagian dari hukum nasional, karena di Indonesia masih kental dengan aturan-aturan adat setempat dari masyarakat serta budaya yang ada di wilayah Indonesia.14

12

Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen keempat), Bagian Pembukaan. 13

Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 23. 14

(22)

Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa prinsip kedaulatan negara (state sovereignity) merupakan prinsip umum hukum internasional yang bersifat internasional.15

Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.

Hubungan internasional sebagaimana tersebut di atas, diatur dalam tatanan yang disebut sebagai hukum internasional. Hukum internasional yang dimaksud disini adalah hukum internasional publik atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.

Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).

Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lain (sesuai dengan definisi yang diberikan

15

(23)

Prof. Charles Cheney Hyde dalam bukunya “International Law”).16

Hukum Internasional Regional

Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :

Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (Conservation of The Living Resources of The Sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi Hukum Internasional Umum.

Hukum Internasional Khusus

Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berberbeda-beda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.

Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

a. Negara dengan negara

b. Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.17

16

Drs. C. S. T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 461.

17

(24)

Dalam konteks kemampuan melakukan hubungan internasional, diperlukan kemampuan agent diplomatic Indonesia dakam proses negosiasi suatu draft konvensi. Kemampuan itu sendiri tidak dilahirkan melainkan dipelajari dan dilaksanakan secara benar. Treaty, adalah perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.18

Cara mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu negara baik itu civil law system19 atau common law system20. Bagi Indonesia yang menganut sistem hukum civil law, pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi21

Dalam hal melakukan perjanjian internasional oleh pemerintah daerah suatu negara haruslah pula sesuai dengan hukum nasional dari negara tersebut. Seperti Indonesia misalnya, hak ini diberikan kepada pemerintah daerahnya

DPR. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

18

Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000, TLN No. 4012., ps. 1 angka (1).

19

Civil Law diartikan sebagai the body of law imposed by the state, as opposed to moral law. Bryan A Garner (Editor), Black’s Law Dictionary Second Pocket Edition, Op. Cit., hlm. 101.

20

Common Law diartikan sebagai the body of law derived from judicial decisions, rather than from the statutes or constitutions. Ibid., hlm. 114.

21

(25)

sebagai hak otonomi daerah untuk bisa memperluas jaringan serta mengembangkan daerahnya. Pengertian Pemerintahan Daerah disini adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantun dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.22 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.23

Salah satu contoh yang dari bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah yang akan Penulis bahas disini yaitu Sister City (Kota Bersaudara). Pengertian Sister City adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antar penduduk. Kota bersaudara pada umumnya memiliki

persamaan keada

kembar bisa diumpamakan sebagai kembar sangat bermanfaat bagi program bidang budaya dan perdagangan.24

Dan seperti yang diketahui pula, konsep kerjasama Sister City ini sudah berkembang di Indonesia dan sudah dilakukan oleh banyak daerah, termasuk Kota Medan sendiri. Dan disini penulis mengambil fokus membahas hubungan kerjasama Sister City antara Kota Medan dan Kota Ichikawa.

22

Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1 angka (2).

23

Ibid., ps. 1 angka (3). 24

(26)

F. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan adalah : 1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan status atas hukum perjanjian internasional, khususnya mengenai hubungan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) antara Pemerintah Kota Medan, Indonesia dengan Pemerintah Kota Ichikawa, Jepang. Sedangkan pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penulisan ini yaitu penulisan mengenai norma hukum yang berhubungan dengan pokok masalah yang diteliti yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan25

2. Teknik Pengumpulan Data

di bidang hubungan luar negeri, perjanjian internasional dan pemerintahan daerah yang berlaku dan mengikat masyarakat dengan cara meneliti bahan pustaka.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder karena penulisan ini merupakan penelitian kepustakaan. Adapun data sekunder tersebut mencakup :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan mengikat, seperti norma-norma dasar, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Bahan hukum primer dalam penulisan ini, yaitu :

- Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian.

25

(27)

- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahan-perubahannya.

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler.

- Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

- Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. - Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia No.

09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.

- Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder yang digunakan disini adalah buku-buku, artikel, majalah, jurnal dan makalah dari berbagai seminar yang berhubungan yang membahas mengenai hukum internasional terutama yang terkait dengan perjanjian internasional dan mengenai kerjasama Sister City.

(28)

kajian ini, bahan hukum tersier ang digunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia yang digunakan untuk menyamakan definisi dari istilah-istilah yang terkait.

Teknik pengumpulan data bagi penulisan ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber yang terkait dengan penulisan ini, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, surat kabar, majalah, kamus, ataupun artikel-artikel terkait dari internet.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, diuraikan latar belakang penulisan skripsi ini, rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam penulisan skripsi ini, tujuan serta manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan dalam penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam rangka pencarian data untuk penulisan skripsi ini serta bagaimana sistematika penulisan skripsi ini.

(29)

BAB III LATAR BELAKANG PERJANJIAN KERJASAMA SISTER CITY (KOTA BERSAUDARA)

Dalam bab ini, diuraikan permasalahan yang terkait dengan Sister City (Kota Bersaudara) melalui pengertiannya, manfaat dan tujuan diadakannya Sister City (Kota Bersaudara), serta perkembangannya di Indonesia. Pada akhir bab ini juga akan dibahas bagaimana hubungan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) antara Pemerintah Kota Medan, Indonesiadan Pemerintah Kota Ichikawa, Jepang. BAB IV STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL SISTER CITY (KOTA BERSAUDARA) YANG DIBUAT OLEH PEMERINTAH KOTA MEDAN DAN PEMERINTAH KOTA ICHIKAWA

Dalam bab ini, diuraikan mekanisme pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah daerah dan membahas tentang status hukum perjanjian internasional mengenai Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan, Indonesia dan Pemerintah Kota Ichikawa, Jepang.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL

DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional

Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara dengan organisasi internasional, maupun antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations or

between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.

(31)

pengertian hukum itu sendiri. Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.26 Merujuk pada Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie27

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

adalah :

Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional dengan rumusan yang lebih luas28

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.

, yaitu :

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu29

26

ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol. III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231.

:

27

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.

28

(32)

a. an international agreement;

b. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara); c. in written form;

d. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);

e. whatever form.

Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang digunakan sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional, yaitu :

a. An International Agreement

Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau permasalahan lintas negara.

Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral, multilateral, regional ataupun universal.

b. Subject of International Law

Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.

29

(33)

Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat dibuat di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah :

1. Negara;

2. Organisasi Internasional; 3. Palang Merah Internasional; 4. Tahta Suci/Vatican;

5. Pemberontak/Belligerent. c. In Written Form

Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969.30

d. Governed by International Law

Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan

30

Pasal 3 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa :

The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between states and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect :

a. The legal force of such agreements;

b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention;

(34)

rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah memenuhi dua elemen, yaitu :

1. Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum (Intended to create obligations and legal relations).

There may be agreements whilst concluded between states but create no obligations and legal relations. They could be in the form of a Joint Statement, or MoU, depends on the subject-matter and the intention of the parties.

2. Tunduk pada rezim hukum internasional (Under international law).

There may be agreements between States but subject to the local law of the one of the parties or by a private law system/conflict of law such as agreements for the acquisition of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions.

e. Whatever Forms

Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain, penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969.

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.31

31

Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention), kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli. Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 41.

(35)

akibat-akibat tertentu. Apabila dijabarkan lebih lanjut, perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh dan diantara : (1) Negara dengan negara; (2) Negara dan kesatuan bukan negara; (3) Kesatuan bukan negara satu sama lain.

Perjanjian Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain itu, banyak sumber hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional.

Seperti yang terlihat dari definisinya, suatu instrumen dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional tanpa bergantung pada nomenklatur atau penamaannya. Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, pengelompokkan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak relevan dan tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Berikut beberapa istilah Perjanjian Internasional yang sering digunakan32

1. Traktat (Treaty)

:

Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang pada umumnya bersifat multilateral. Meskipun demikian, kebiasaan

negara-32

(36)

negara di masa lampau cenderung menggunakan istilah ini untuk perjanjian bilateral.

2. Konvensi (Convention)

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat law making treaty dengan pengertian yang meletakkan norma-norma hukum bagi masyarakat internasional.

3. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat bilateral dengan substansi lebih kecil lingkupnya.

4. Piagam (Charter)

Istilah ini digunakan untuk instrumen internasional yang dijadikan sebagai dasar pembentukan suatu organisasi internasional.

5. Protokol (Protocol)

Protokol merupakan instrumen tunggal yang memberikan amandemen, turunan, atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya. 6. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding/MoU)

Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat berlaku segera setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.

7. Pertukaran Nota Diplomatik (Exchange of Notes)

(37)

8. Modus Vivendi

Istilah ini digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal.

9. Agreed Minutes atau Summary Records atau Record of Discussion

Istilah ini digunakan untuk suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintah tentang hasil akhir atau hasil sementara (seperti draft suatu perjanjian bilateral) dari suatu pertemuan teknis.

Secara garis besar, bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi33

1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini, perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara;

:

2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai untuk perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis;

3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara (inter-states). Perjanjian ini dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negara-negara;

4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing; 5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara

wakil-wakil departemen pemerintah khusus.

33

(38)

Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara pesertanya dibedakan menjadi Perjanjian Internasional Bilateral yang hanya terdiri dari dua pihak atau dua negara saja serta Perjanjian Internasional Multilateral yang jumlah pesertanya lebih dari dua negara peserta.

Suatu penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan isi perjanjian multilateral dalam treaty contract (traite-contract) dan law making treaties (traite-lois).34 Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh treaty contract demikian misalnya perjanjian mengenai dwi-kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian pemberantasan penyelundupan. Dengan law making treaties atau traite-lois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh perjanjian demikian ialah Konvensi Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, Konvensi Tahun 1958 mengenai Hukum Laut, Konvensi Vienna Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.35

Mengutip pendapat Ketut Mandra36

34

Pembedaan ini diikuti juga oleh para sarjana hukum Inggris dan Amerika. Misalnya J.G. Starke, Introduction to International Law, 1967. Lihat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja S.H. LLM., Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Bandung, 1977, hlm. 86.

, yang mengatakan bahwa peranan atau fungsi perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum internasional dapat diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni :

35

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 122.

36

(39)

a. Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law);

b. Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts);

c. Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya.

Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melaksanakan tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional. Tahapan pembuatan pejanjian internasional tersebut terdiri dari :

1. Perundingan (Negotiation)

(40)

pembuatan perjanjian dengan membuat Surat Kuasa Penuh (Full Power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.

2. Penandatanganan (Signature)

Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan atau menteri luar negeri. Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila konferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 3. Pengesahan (Ratification)

Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.

B. Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional

(41)

faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran instrumen asing seperti perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang sedang bereformasi.37

Di kalangan pakar hukum Indonesia sendiri, persoalan yang lebih teknis-yuridis juga belum mencapai titik kesepakatan. Apakah berlakunya perjanjian internasional di level internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di hukum nasional ? Pro dan kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di perdebatan publik antara para pakar hukum dari berbagai bidang. Kementerian Luar Negeri yang paling terkena dampak akibat ketidakseragaman pemahaman publik tentang perjanjian internasional telah berusaha mempertemukan berbagai kelompok pakar dari berbagai disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum internasional di dalam rangkaian Focussed Group Discussion (FGD)38

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan , guna memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan referensi. Diskusi ini setidaknya berhasil menginventarisasi berbagai pemikiran yang hidup di kalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.

37

Makalah disampaikan oleh Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH, MA pada seminar “Status Perjanjian Internasional menurut Pandangan Mahkamah Konstitusi RI – Kajian Kritis terhadap Keputusan MK tentang Piagam ASEAN”, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm. 1.

38

(42)

dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundang-undangan yang jelas pula.

Pada konteks Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan hanya melihat perjanjian internasional terbatas sebagai perjanjian antara subjek hukum internasional negara dengan negara. Dengan demikian, rumusan awal dari UUD 1945 tersebut tidak mencakup perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional.39

Hukum, doktrin dan praktik Indonesia tentang status perjanjian

internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia belum berkembang dan

acap kali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian

internasional di dalam kerangka ketidakjelasan. Ini merupakan akibat dari

ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan

hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam

dunia praktik dalam menjawab tentang status perjanjian internasional dalam

sistem hukum Republik Indonesia.40

Menurut Damos Dumoli Agusman, dalam tataran praktis, di kalangan

pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pemikiran yang dapat

dipetakan sebagai berikut :

39

Rumusan Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen dan ayat (1) pasal tersebut setelah amandemen kiranya equivalent dengan pengertian Perjanjian Internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969.

40

(43)

1. Alur pemikiran yang menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan (diratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional.

2. Alur pemikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan suatu perjanjian internasional yang telah disahkan.

Istilah perjanjian internasional dalam UUD 1945 baru muncul setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 pada tahun 2001 yang menambahkan dua ayat baru pada Pasal 11 UUD 1945 dan menjadikan rumusan lama Pasal 11 UUD 1945 sebagai ayat pertama. Rumusan lengkap Pasal 11 UUD 1945 adalah sebagai berikut41

1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;

:

2. Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-undang.

Perumusan Pasal 11 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas, rumusan ayat (2) dan ayat (3) berupaya memberi penjelasan bahwa perjanjian internasional tidak hanya diartikan sebagai perjanjian dengan negara lain, tetapi perjanjian internasional dalam pemahaman perjanjian internasional yang diakui dalam hukum internasional.

Negara di satu sisi masih menjadi subjek hukum yang utama namun di sisi lain peningkatan peran subjek-subjek bukan negara tidak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum internasional.

41

(44)

Sebagai bukti atas hal tersebut, bisa dilihat definisi hukum internasional yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja42

“Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

yang menyatakan bahwa :

1). Negara dengan negara;

2). Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.”

Definisi di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional bukan hanya dapat dibentuk oleh negara namun juga dapat dibuat oleh subjek-subjek yang bukan negara.

Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki sebuah peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Internasional dalam rangka mendukung penyelenggaran hubungan luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih kuat yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mana memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian internasional, yaitu “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.43

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri juga memberikan definisi Perjanjian Internasional, yaitu :

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi

42

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997, hlm. 3.

43

(45)

internasional atau subjek internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.44

Kedua perangkat hukum dimaksud merupakan landasan hukum yang mengikat bagi pemerintah pusat dan pelaku hubungan luar negeri lainnya termasuk unsur-unsur daerah dalam melaksanakan hubungan luar negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi praktik, elemen-elemen perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Konvensi Wina telah dipenuhi. Namun, praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia masih menyisakan kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan Governed by International Law, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat Pemerintah RI dengan subjek hukum internasional dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti loan agreements atau perjanjian pinjaman.45

Dalam tatanan teoritis maupun praktik-praktik termasuk Indonesia, ditemukan pula jenis perjanjian yang bersifat administratif yang dibuat antara lembaga pemerintah/negara Indonesia dengan lembaga pemerintah/negara asing misalnya perjanjian antara Kementerian Indonesia dengan Kementerian negara sahabat, termasuk perjanjian antara Pemerintah Daerah seperti MoU Sister City/Sister Province. Perjanjian ini (pada umumnya dalam bentuk MoU) masih menimbulkan kontraversi terkait statusnya sebagai suatu perjanjian internasional (treaty).46

44

Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 LN No. 156 Tahun 1999, TLN 3882, Pasal 1 ayat 3.

45

Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 94. 46

(46)

C. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Kedudukan hukum internasional sebagai salah satu bagian dari hukum secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian, hukum internasional sebagai suatu hukum yang berlaku efektif dapat berperan dalam kenyataan hidup dan memiliki keterikatan atau hubungan dengan bidang hukum lainnya.

Perkembangan hukum internasional yang cepat dewasa ini merupakan konsekuensi dari hubungan internasional yang intensif dan luas antar bangsa telah melahirkan berbagai macam norma hukum internasional dalam format perjanjian internasional seperti traktat, konvensi dan perjanjian internasional lainnya. Sementara itu, keberadaan hukum kebiasaan internasional (customary international law) menjadi semakin penting mengingat semakin luas upaya untuk mengkodifikasi dan mengunifikasi hukum kebiasaan internasional ke dalam bentuk perjanjian internasional. Keadaan ini menumbuhkan positivisme baru di ranah hukum internasional dan negara sebagai subjek hukum internasional perlu untuk memperhatikan perkembangan tersebut. Dengan perkembangan ini, masyarakat internasional masih merupakan subjek hukum internasional yang utama. Namun, tentunya hal yang perlu diperhatikan adalah peran dan status negara sebagai subjek hukum internasional mengalami penipisan pengaruh.

(47)

Hubungan yang terpenting adalah dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam lingkup nasional yang mengatur kehidupan manusia dalam negaranya masing-masing, yang disebut dengan Hukum Nasional.

The problem of relationship between international law and municipal law has become the subject of much derate with the protagonist of various being much influenced by a desire to strengthen either municipal law or a state’s sovereignity or a world community.47

Rebecca M.M. Wallace mengemukakan bahwa persoalan mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional adalah perluasan dimana pengadilan nasional akan memberikan pengakuan dalam sistem hukum setempat terhadap hukum internasional yang bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum nasional.

Secara teoritis, persoalannya berakar dari ketidakjelasan aliran yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Di negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam constitutional provisions atau undang-undang nasional yang secara tegas membuat kaidah tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sistem hukum di Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini, sehingga jangankan suatu constitutional legal provision, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.48

Dalam teorinya, terdapat beberapa pilihan politik hukum, yaitu : • Aliran Dualisme

Menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah

dari hukum nasional, dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua

47

Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction 2nd Ed, Westview Press, Boulder-Colorado, 1991, hlm. 22.

48

(48)

sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga

hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasional ke dalam

hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

prosedur konversi ini. Pengikatan-pengikatan diri suatu negara ke suatu perjanjian

(misalnya melalui ratifikasi) harus dilanjutkan dengan proses transformasi melalui

pembuatan legislasi nasional. Dengan dikonversikannya kaidah hukum

internasional ini ke dalam hukum nasional, maka kaidah tersebut akan berubah

karakter menjadi produk hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan

perundang-undangan nasional. Karena sistem yang terpisah maka tidak

dimungkinkan adanya konflik di antara kedua hukum ini.

• Aliran Monisme

Menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian

dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang

lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Pengikat diri

suatu negara kepada suatu perjanjian (misalnya dengan ratifikasi) merupakan

inkorporasi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional dan tidak dibutuhkan

legislasi nasional yang sama untuk memberlakukannya dalam hukum nasional.

Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama, maka legislasi

yang dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional.

Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional

akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional. Mengingat ini

merupakan kesatuan sistem maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara

(49)

BAB III

LATAR BELAKANG PERJANJIAN KERJASAMA SISTER CITY

(KOTA BERSAUDARA)

A. Pengertian Sister City (Kota Bersaudara)

Sister City sering juga disebut Twining City atau dalam bahasa Indonesia disebut Kota Bersaudara atau Kota Kembar, dimana kerjasama antar kota bersifat luas, disepakati secara resmi dan bersifat jangka panjang. Pengertian seperti itu lebih disukai oleh kota-kota di Amerika Serikat yang tergabung dalam “Sister Cities International/SCI” yang berpusat di Washington D.C.

Oleh karena itu, istilah Sister City lebih banyak digunakan di Amerika Serikat (USA) dan kota-kota aliansinya. SCI didirikan pada 1956 sebagai bagian dari “The National League of Cities” yang kemudian memisahkan diri menjadi semacam NGO atau korporasi non-profit pada 1967.

Sedangkan Twining City lebih banyak digunakan oleh negara-negara Eropa yang tergabung dalam “Council of European Municipalities and Regions/CEMR” di bawah Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan aliansinya. CEMR tersebut didirikan sejak 1951 untuk mempromosikan kerjasama antar kota dan komunitas Eropa sebagai driving force untuk pertumbuhan dan pembangunan.

Sister City49

49

Sister city adalah suatu konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antar penduduk

(50)

Kota Seattle, Washington D.C. dengan Kota Kobe, Jepang.50 Kerjasama ini kemudian berkembang menjadi 1992 kerjasama yang dilakukan oleh 694 kota di Amerika.51

Sementara di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Agustinus Supriyanto S.H., M.Si tahun 2003, Indonesia pertama kali melakukan kerjasama Sister City pada tahun 1992 yang dilakukan oleh Kota Bandung dengan Kota Berlin, Jerman. Kerjasama yang dilakukan meliputi transportasi, lingkungan hidup, program kota bersih/limbah buangan, kebun binatang, perkotaan dan perdagangan. Dan untuk istilah, yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri adalah Sister City, dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 193/1652/PUOD pada tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (Sister City) dan Antar Provinsi (Sister Province) Dalam dan Luar Negeri.

Dari kerjasama Sister City yang dilakukan oleh kota-kota di Amerika ini akhirnya diikuti oleh kota-kota lain yang ada di Asia dan Eropa.

Kerjasama Sister City52

dari kedua kota tersebut. Umumnya, Sister City diadakan oleh pemerintah daerah satu negara dengan pemerintah daerah dari yang lain.

atau hubungan kerjasama antar kota, antar daerah di dua negara adalah hubungan kemitraan yang diakui resmi dan bersifat jangka panjang antar dua komunitas, atau antar dua daerah dalam dua negara. Kerjasama ini membuka kemungkinan pengembangan berbagai macam kegiatan atau

50

Adam Macinnis, What is a Sister City ?, Pro Quest Documents, Washington, 2014, hlm. 1.

51 Ibid. 52

Referensi

Dokumen terkait