• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY)

ANTARA PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DELISKA ANWAR NIM : 140200531

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA

PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DELISKA ANWAR NIM : 140200531

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

Abdul Rahman, S.H.,M.Hum.

NIP : 19510301984031002

Pembimbing I Pembimbing II

Abdul Rahman, S.H., M.Hum. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.

NIP : 19510301984031002 NIP: 197308012002121002

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya lah Penulis bisa mempunyai kesempatan dan kesehatan dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Tak lupa salawat dan salam Penulis berikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan telah menjadi penerang bagi seluruh ummatnya.

Penelitian yang Penulis angkat dalam penulisan skripsi ini berjudul

“PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA

PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL” penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kesulitan dan hambatan dalam prosesnya, namun berkat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, dalam kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ok Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. dan juga merupakan Dosen Pembimbing II yang sangat banyak membantu penulis dengan ilmu dan motivasinya, baik selama masa perkuliahan ataupun dalam setiap program ILSA sampai kepada penulisan skirpsi ini.

5. Bapak Abdul Rahman, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan Dosen Pembimbing I yang sangat berjasa dan sudah banyak membantu penulis, baik dalam perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang telah banyak memberikan arahan dan nasihat selama Penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

8. Seluruh dosen dan staf pegawai FH USU dengan karakter dan kenangannya masing-masing, atas ilmu, diskusi, dan bimbingan akademik, serta atas seluruh nasihat, motivasi, harapan dan kepercayaan yang tidak terhenti kepada Penulis, yang membangun Penulis agar menjadi manusia yang lebih baik.

Terutama kepada seluruh dosen Departemen Hukum Internasional.

9. Untuk yang terutama dan yang menjadi motivasi tertinggi dalam penulisan skripsi ini adalah kedua orangtua saya tersayang, Ayah saya, Danil Anwar dan Ibu saya, Ihdina Nida Marbun, rasa terima kasih dirasakan tidak cukup untuk membalas segala dukungan baik moral dan materil, doa dan kasih sayang

(5)

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Saudara-saudara kandung saya tersayang, Kak Dinda Anwar SH, Dandi Daffa Anwar, dan Deby Liana Anwar yang sedikit banyak telah membantu dan menjadikan depempo lebih akrab disaat sulit.

11. Kepada Irwanda Lubis yang selalu menemani dan memotivasi dari mulainya penulisan skripsi ini sampai pada pencapaian Goals yang menjadi penyemangat dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

12. Kepada Sahabat melebihi saudara saya, Vhara Diva Wijaya, yang selalu ada dimasa-masa up and down saya dan menjadi orang yang selalu tau segalanya dan menjadi tempat paling aman untuk saya datangi setiap waktu sedari SMA.

13. Kepada Shella Dwi Aulina, yang menjadi sahabat terdekat dan juga sebagai penyelamat saya di fakultas hukum USU dan selalu membantu saya dimasa perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

14. Kepada sahabat-sahabat fakultas terbaik saya dari awal dimulainya perkuliahan bahkan pada masa orientasi Iqbal Dasma Dear Saragih, Fauzan Akbar Lubis, Kharisma Leo, Rafif Adib Prakoso dan T.M. Furqan Anshari yang telah menerima segala kekurangan dan selalu sabar dalam menghadapi saya dari awal hingga akhir perkuliahan ini.

15. Kepada Nabhila Nasution, Siti Afrah Afifah dan Siti Dyara Aisha Alcaff yang menjadi sahabat serta penghibur saya dan selalu aktif kapanpun saya membutuhkan dan menyemangati hari-hari saya terutama dalam penulisan skripsi ini.

(6)

16. Kepada ikiwciw yang request untuk masuk di kata pengantar dengan nama samaran sebagai sahabat dan orang yang selalu ada pada masa sulit saya di fakultas dan selalu sabar dalam menemani saya.

17. Sahabat-sahabat saya semenjak SMP Marissa Aprillia Asri, Meutia Ayu Pratisa, Mahfira Ramadhani, Hana fairuz Prikania, dan Vira Melfiza yang telah menyemangati dalam pembuatan skripsi ini.

18. Teman-teman sepermainan Filza Fahira, Sesha, Rey, dan Dio yang selalu mengganggu dalam pengerjaan skripsi saya.

19. Teman-teman saya selama perkuliahan, teman-teman HI , teman-teman grup F, dan juga seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2014

20. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2018

Penulis

Deliska Anwar

(7)

ABSTRAK Deliska Anwar*

Abdul Rahman, SH, M.Hum**

Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum***

Perjanjian kerjasama antar kota sudah sangat meluas di era otonomi daerah ini tidak terkecuali antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah diluar negeri.

Sister City sudah cukup terkenal di dunia internasional dalam hal hubungan bilateral antar negara terutama untuk daerah-daerah. Kota Medan dalam hal ini tidak melewatkan kesempatan tersebut dan salah satunya telah melakukan kerjasama dengan Kota Gwangju di Korea. Selain menjelaskan mengenai kedudukan perjanjian kerjasama antar kota juga dijelaskan mengenai bagaimana mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama serta hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian internasional yang dilakukan antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Gwangju tersebut.

Penulisan ini dilakukan dengan metode penelitian yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier serta dengan melakukan tinjauan langsung ke Kantor Walikota Medan di bagian Hubungan Kerjasama Luar Negeri Kota Medan yang mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Sister City dapat dikatakan mempunyai potensi yang besar dalam mencapai kemajuan daerah di Indonesia. Dengan adanya Sister City ini dapat menjembatani hubungan luar negeri antar kota bernegara dalam segala bidang. Hubungan ini haruslah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah sebaik-baiknya dan mengikuti ketentuan serta prosedur yang berlaku sehingga dalam melakukan perjanjian kerjasama internasional dapat diakui oleh negara. Hubungan yang erat antara Kota Medan dengan Kota Gwangju diharapkan dapat terus terjalin dan dapat meluas dengan hal dan tujuan yang baik demi perkembangan masing-masing kota.

Kata kunci : Sister City, Perjanjian Internasional, Otonomi Daerah

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Penulis

**) Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I

***) Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing II

(8)

ABSTRACT Deliska Anwar*

Abdul Rahman, SH, M.Hum**

Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum***

Inter-city cooperation agreement has been very widespread in the era of regional autonomy is no exception between the local government and local governments abroad. Sister City is well known internationally in terms of bilateral relations between countries, especially for the regions. The city of Medan in this case does not miss the opportunity and one of them has cooperated with Gwangju City in Korea. In addition to explaining the status of inter-city cooperation agreement also explained about how the mechanism of cooperation agreement and the rights and obligations of the parties in the international agreement made between the Government of Medan City and Gwangju City Government.

This writing is done by research method which is done by library research by collecting secondary data covering primary law material, secondary law material and tertiary law material and by conducting direct review to Medan Mayor Office in Foreign Relations Department of Medan City support the process of making this thesis.

Sister City can be said to have great potential in achieving regional progress in Indonesia. With the existence of Sister City can bridge the foreign relations between cities in all countries. This relationship should be utilized by the Regional Government as well as possible and follow the prevailing rules and procedures so that in making international cooperation agreements can be recognized by the state.

The close relationship between Medan City and Gwangju City is expected to continue to be established and can be expanded with good things and goals for the development of each city.

Keywords: Sister City, International Agreement, Regional Autonomy

*) Student Faculty of Law University of North Sumatra / Author

**) Lecturer / Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra, Supervisor I

***) Lecturer / Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra, Supervisor II

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 12

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Metode Penulisan ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : ASPEK PERJANJIAN INTERNASIONAL DARI KERJASAMA ANTAR KOTA ... 21

A. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional ... 21

B. Perjanjian Internasional dalam Era Otonomi Daerah ... 36

C. Kedudukan Perjanjian Kerjasama Antar Kota dalam bentuk Kota Bersaudara (Sister City) menurut Perspektif Hukum Internasional ... 44

BAB III : PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANTAR KOTA DALAM LINGKUP HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL ... 49

A. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional menurut Hukum Internasional ... 49

(10)

B. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional menurut

Hukum Nasional ... 63

C. Tata Cara Pembuatan Perjanjian Kerjasama antara Kota Medan dengan Kota Gwangju menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional ... 67

BAB IV : TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU ... 78

A. Beberapa Perjanjian Kerjasama Antar Kota yang ada di Kota Medan ... 78

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerjasama Antar Kota ... 83

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju ... 84

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia tidak dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang lain karena hakekatnya manusia sebagai makhluk sosial. Aristoteles memberikan istilah Zoon Politicon1 yang artinya manusia adalah makhluk sosial. Manusia sebagai individu tidak akan dapat bertahan hidup apabila tidak bersosialisasi dengan manusia lain. Dikatakan sebagai makhluk sosial karena ada dorongan untuk berhubungan dengan orang lain yaitu kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok dengan orang lain, kebutuhan untuk berteman dengan orang lain yang biasanya didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan dan banyak kebutuhan lain yang bahkan tidak pernah disadari bahwa segala kepentingan tersebut tidak bisa dilakukan atau dipenuhi seorang diri. Manusia tidak akan bisa hidup sebagai manusia jika tidak hidup di antara manusia lainnya yang biasa disebut dengan masyarakat. Pada setiap tahap perkembangannya manusia itu mempunyai kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dilaksanakannya sendiri, dan karena itu mereka membentuk kelompok-kelompok sosial.2

Begitupun halnya dengan manusia dalam masyarakat, sebuah negara tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya partisipasi dari negara lain. Salah satu syarat berdirinya suatu negara adalah adanya pengakuan dari negara lain. Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru.3

1 Sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan kesepuluh, PT.Ichtiar Baru, Jakarta 1983, hal. 2. Menyatakan bahwa seorang filsuf bangsa Yunani, yaitu Aristoteles, berkata manusia itu “zoon politicon”, mahluk yang bergaul.

2 Joseph Frankel, Hubungan internasional, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), hlm.1

3 Oppenheim-Lauterpacht, International law, Vol.1: Peace, Longmans: 8th.ed., 1967, hlm.148.

Beliau menyatakan bahwa “Recognition is a declaration of capacity”

(12)

Untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain, maka diperlukan adanya hubungan baik antar negara yang selanjutnya disebut hubungan internasional.

Pembentukan dan pelaksanaan hubungan baik antar negara yang bertetangga memang diperlukan untuk mencegah timbulnya konflik diantara kedua negara yang berbatas.

Selain itu, dengan mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dikawasan perbatasan disertai upaya promosi dan optimalisasi potensi yang ada juga dapat meminimalisir terjadinya masalah.

Dalam hal ini suatu negara juga harus memiliki kemampuan untuk mengadakan Hubungan Internasional dengan negara-negara lainnya. Hubungan internasional merupakan suatu sistem hubungan antar negara yang berdaulat dalam pergaulan internasional menjadikan kegiatan diplomasi sebagai suatu elemen utama bagi suatu negara sebagai faktor penentu eksistensi sebuah negara dalam hubungan internasional. Diplomasi merupakan proses politik untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lain.4

Proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang sedang berlangsung dewasa ini telah mendorong peningkatan intensitas komunikasi dan interaksi antar bangsa- bangsa, termasuk antar kota-kota/daerah dan masyarakat di negara yang berbeda.

Dalam hal ini hubungan persahabatan dan saling pengertian antar bangsa-bangsa semakin dirasakan dalam mendukung kepentingan nasional. Keadaan tersebut sudah barang tentu memberi peluang yang baru dan luas kepada negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif.5

Hubungan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Dari perjanjian internasional yang dilakukan tentu akan membawa perubahan bagi sebuah

4 Sumaryo Suryokusumo, 2004, Praktik Diplomasi, STIH IBLAM : Jakarta, Hal.1

5 Damos Dumoli Agusman, Makalah : “Kerjasama Sister City/Sister Province” (Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Deplu, 2006)

(13)

negara, baik perubahan dalam hubungannya dengan negara lain dalam dunia internasional dan juga dalam menentukan kebijakan nasional yang dibuat.

Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjian-perjanjian tersebut merupakan hukum yang harus dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan, bahwa selama masih tetap berlangsungnya hubungan-hubungan antara bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia ini, selama itu pula masih tetap akan muncul perjanjian- perjanjian internasional. Pasang surutnya perjanjian-perjanjian internasional itu tergantung pula pada pasang surutnya hubungan-hubungan antar bangsa atau negara.6

Semakin besarnya dan semakin meningkatnya saling ketergantungan antara umat manusia di dunia ini, mendorong diadakannya kerjasama internasional yang dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan dalam falsafah dan pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama atau kepercayaan, dan lain-lainnya, tidak lagi merupakan faktor penghalang dalam mengadakan hubungan dan kerjasama. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala dampak positif maupun negatifnya, mendorong perlunya pengaturan- pengaturannya secara lebih tegas dan pasti yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian- perjanjian internasional. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan bahkan pada masa-masa yang akan datang akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian-perjanjian internasional.7

Hukum internasional pada era globalisasi ini sebagian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum

6 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag.: 1, Penerbit Mandar Maju, 2002.

hlm, 1

7 Ibid, hlm, 2

(14)

kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama.8

Kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian internasional tersebut telah meluas dan tidak hanya sebatas antara pemerintah negara saja, namun mulai melibatkan pemerintah daerah suatu negara. Apalagi sejak diterapkannya otonomi daerah oleh pemerintah pusat, hal ini makin mendesak pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama antar daerah dengan daerah dalam negeri dan luar negeri.

Otonomi daerah semakin membuka gerbang bagi dunia luar kepada Local Government to Local Government, bahkan Person to Person untuk berinteraksi dan berdiplomasi secara langsung.

Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri, pelaksanaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukanya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan jaman yang bergerak cepat. Dengan terjadinya paradigma baru ini, tentu mengubah pemahaman yang selama ini ada bahwa hubungan luar negeri merupakan monopoli negara.9

Perkembangan otonomi daerah telah membawa peluang sekaligus tantangan pada pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) untuk lebih proaktif dan kreatif dalam membangun daerahnya masing-masing. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengisyaratkan perlu dilakukannya penyesuaian kewenangan pelaksanaan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. Pada prinsipnya

8 Ibid, hlm, 3

9 Noer Indriati, Perjanjian Internasional oleh Daerah Sebagai Kewenangan Otonomi Daerah, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, (Januari 2010), hlm.37

(15)

pelaksanaan politik Luar Negeri merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi seiring dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah tersebut, kebijakan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh Pemerintah Pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi Daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).10

Adapun kerjasama internasional antar kota yang dilaksanakan daerah dapat merupakan suatu inovasi ataupun sebagai alternatif terkait pada upaya pencapaian efisiensi dan efektifitas serta saling menguntungkan dalam pembangunan daerah yang dulunya bersifat sentralistis (top down), menjadi desentralisasi/otonomi (bottom up).

Namun demikian, hal yang penting dicermati adalah bahwa Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat perlu menangani masalah perbatasan dan pengelolaan batas terluar Indonesia dengan baik dan tepat.11

Mencermati otonomi daerah sebagaimana Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah pada Pasal 1 angka 5 didefinisikan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengingat perkembangan dan potensi yang dapat dijalankannya penting untuk menegaskan kembali prinsip otonomi yang nyata, secara prinsip otonomi diadakan untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.12

10 Ibid.

11 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007. hlm. 185

12 Barkah Syahroni, “Analisis Jabatan, Implementasi dan Prospek Dalam Era Otonomi Daerah di Llingkungan Pemerintah Provinsi DIY”, Makalah dalam Bimtek Analisis Jabatan Pemerintah Provinsi DIY, 2005, hlm. 13

(16)

Potensi hubungan internasional dapat dimanfaatkan pemerintah daerah mengingat landasan hukum yang diperlukan sudah ada seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Kerjasama tersebut tidak hanya antar daerah dalam negeri saja melainkan juga bisa dilakukan dengan daerah di manca negara, terkait dengan kedudukan pemerintah daerah dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menyebutkan bahwa: ”Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional ynag dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara indonesia.”.13

Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional yang menyatakan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri, Namun, dari kedua Undang-Undang tersebut, terkait dengan kedudukan pemerintah daerah pengaturannya terlalu singkat dan tidak jelas bagaimana posisi atau peran pemerintah daerah dalam perjanjian kerjasama internasional.14

Ditambah dengan memperhatikan beberapa ketentuan teknis lainnya, seperti, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar Negeri. Diantaranya menetapkan

13 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No.37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional.


14 Novianti, kedudukan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kerjasama internsional : studi terhadap perjanjian kerjasama sosek-malindo, Jurnal Negara Hukum Vol.3 No.2 (Desember 2012), hlm. 182

(17)

prinsip-prinsip kerjasama khusus yang dilakukan dengan pihak luar negeri sebagaimana yang terdapat pada pasal 2, menjadi suatu keharusan untuk memperhatikan hal-hal diantaranya, persamaan kedudukan, memberikan manfaat dan saling menguntungkan, tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan perekonomian, menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahankan keberlanjutan lingkungan, mendukung pengutamaan gender, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu pula, agar terwujudnya kebijakan one door policy dalam Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Indonesia, dan untuk mencegah timbulnya masalah dalam pelaksanaan kerjasama antara daerah dan pihak asing. Sebagaimana kerjasama dimaksud dipandang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional maka hal dapat dijalankan. Sebelumnya juga telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Luar Negeri Peraturan Menteri Luar Negeri nomor 09/A/KP/XII/2006/01, pada bagian lampiran terkait tujuan yang menjelaskan dari ditetapkannya peraturan menteri tersebut yang merupakaan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama daerah, pasal 2 yaitu: Efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan, dan kepastian hukum.15

Kehadiran pemerintah lokal (local government) merupakan salah satu aktor baru dalam arena internasional di tengah globalisasi saat ini. Melihat banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dilakukan antar pemerintah-pemerintah lokal/daerah diberbagai negara didunia dimana satu sama lain saling berhubungan.

15 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri nomor 09/A/KP/XII/2006/01 Tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Bagian Tujuan Pembentukan pelaksanaan

(18)

Berawal dari hal tersebut maka muncullah berbagai jaringan-jaringan kerjasama antar kota diberbagai belahan dunia yang terus meningkat mulai dari kota-kota, provinsi, diberbagai negara-negara maju, negara-negara berkembang, bahkan negara-negara kecil.

Konsep hubungan kemitraan antar kota mulai berkembang pada tahun 1960-an, hal ini sejalan dengan ide dari Presiden Eisenhower untuk meningkatkan diplomasi diantara masyarakat atau dikenal dengan people to people diplomacy. Perkembangan hubungan kerjasama tersebut selain antar kota juga antar provinsi atau negara bagian di dua negara yang berlainan, adapun di Amerika Serikat kerjasama antar kota/antar provinsi lebih dikenal dengan sebutan sister city/sister province. Penggunaan konsep seperti itu juga meluas seperti kota di Kanada, Kota di Jepang dengan kota di Amerika Serikat, kota di Republik Rakyat Cina (RRC) hingga berkembang dikawasan Asia. 16

Kerjasama luar negeri antar pemerintah daerah tersebut muncul pula berbagai terminologi yang digunakan diberbagai belahan dunia sebagaimana uraian sebelumnya, seperti istilah yang digunakan Perancis (Jumelage), Amerika Serikat, Mexico (sister city), Rusia dan inggris (Twinn Cities), Jepang dan Cina (Friendship city), Jerman (Partnerstadt). Adapun semua istilah tadi menggambarkan konsep yang sama tentang kerjasama dua kota sebagai suatu kominitas secara internasional.

Penggunaan istilah tersebut di Indonesia sendiri, kerjasama antar provinsi dan atau Kabupaten/kota dengan kota luar negeri lainnya menggunakan sebutan kota kembar. Hal ini terdapat pada Peraturan menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar

16 Sayid Fadhil, 2007. Kerjasama Luar Negeri oleh Daerah dalam rangka Kerjasama Sister City dan Kerjasama Sub-Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle. Makalah disampaikan pada Lokakarya “Aktualisasi Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah” , kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Fakultas Hukum USU. Medan. Hlm. 12

(19)

Negeri, bagian bentuk kerjasama (pasal 3), kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar negeri berbentuk kerjasama provinsi dan kabupaten/kota kembar.

Sister city merupakan salah satu kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah kota atau provinsi. Persamaan antara kedua kota atau provinsi merupakan dasar dari kerjasama ini, seperti keadaan geografis dan aktivitas kota. Hubungan kerjasama sister city semakin terfokus dan terjalin dengan baik ketika dikeluarkannya UU No.

22 Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. UU tersebut memberikan gerak dan kewenangan yang lebih kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi dan sumber daya dalam hubungan kerjasama internasional. Pada dasarnya pelaksanaan politik luar negeri merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun seiring dengan berlakunya undang- undang otonomi daerah tersebut, kebijakan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh pemerintah pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.17

Melihat peluang yang begitu besar pagi pemerintah daerah dalam menjalin kerjasama luar negeri terutama dalam hal perjanjian kerjasama yang salah satunya adalah bentuk Kota Bersaudara atau Sister City, Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia dan Ibukota Provinsi Sumatera Utara turut memanfaatkan bentuk kerjsama ini.

Pemerintah Kota Medan sudah 33 tahun menjalin kerjasama kota bersaudara dengan mitra kota luar negeri, hingga saat ini Kota Medan telah menjalin kerjasama Kota Bersaudara dengan Pulau Pinang (George Town) Malaysia (1984), Kota

17 Supriyanto dan Sandi A.T.T., Pengembangan Potensi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Kejasama Sister Province, (Yogyakarta: 2002) dalam Mimbar Hukum 41 Halaman 127-130

(20)

Ichikawa, Jepang (1989), Kota Gwangju, Korea (1997) dan Kota Chengdu, RRC (2002) serta Bandaraya Ipoh, Malaysia (2009) sebagai Kota Bersahabat (Friendship City). Saat ini Kota Medan sedang proses untuk menjalin hubungan Kota Bersaudara dengan kota Burgas, Bulgaria.18

Ada beberapa negara yang menjalin kerjasama Sister City dengan Kota Medan, namun penelitian ini memilih untuk membahas perjanjian kerjasama Kota Medan dengan Kota Gwangju karena beberapa hal diantaranya :

a. Kota Gwangju Korea merupakan salah satu kota yang masih aktif menjalin kerjasama dan tetap melaksanakan program tahunan dengan Kota Medan

b. Tahap perjanjian antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju telah mencapai bentuk Memorandum Of Understanding (MoU) c. Merupakan kota yang telah cukup lama menjalin hubungan kerjasama

dengan Kota Medan yaitu pada Tahun 1997 setelah Pulau Pinang (George Town) Malaysia (1984) dan Kota Ichikawa, Jepang (1989)

d. Pulau Pinang (George Town) Malaysia sudah diambil sebagai salah satu judul penelitian baik bentuk kerjasama maupun status perjanjiannya begitu pula Kota Ichikawa, Jepang sedangkan beberapa kota lainnya masih ada yang hanya berupa Letter Of Intent (LoI)

Sehingga karena alasan-alasan tersebut diatas, penting untuk meneliti lebih lanjut mengenai perjanjian kerjasama sister city antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju Korea baik dari pembuatan perjanjian hingga pengimplementasiannya termasuk membahas perjanjian dari lingkup hukum internasional dan nasional.

18Bagian Hubungan Kerjasama Setda Kota Medan Asosiasi Kota Bersaudara Kota Medan, Kerjasama Kota Bersaudara (Sister City Cooperation), 2010 hlm. i

(21)

B. Rumusan Masalah

Mengingat Pemerintah Kota Medan sebagai salah satu Kota Metropolitan dengan mobilitas penduduk yang cukup tinggi maka semakin banyak pula upaya yang dilakukan pemerintah dalam perkembangannya salah satunya adalah banyaknya perjanjian antar kota yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan baik itu berupa perjanjian dalam maupun luar negeri sehingga penulis merasa penting untuk meneliti beberapa hal.

Dari pemaparan latar belakang dan alasan-alasan tersebut diatas, muncul beberapa persoalan yang menarik untuk diteliti dari berbagai sudut pandang. Agar tidak terjadi pembahasan yang meluas karena berbagai persoalan yang muncul diseputar masalah penelitian dan begitu panjangnya waktu yang berjalan sejak kerjasama Sister City Kota Medan dengan Kota Gwangku berlangsung maka dari itu peneliti membatasi permasalahan yang akan diteliti yaitu dari sudut perspektif hukum internasional.

Seperti dari lingkup hukum perjanjian internasional, apakah sudah sesuai perjanjian kerjasama sister city yang dibuat oleh kedua negara tersebut dimana baik Kota Medan dan Kota Gwangju memiliki banyak perbedaan dari segala aspek serta tentunya membahas perjanjian antar kota yang telah dilakukan pemerintah kota medan dengan kota-kota lainnya dan jenis-jenis perjanjian yang telah dibuat dengan perjanjian internasional, kemudian mekanisme pembuatan dan implementasinya, serta tinjauan mengenai perjanjian tersebut. oleh pemerintah kota medan hingga manfaat serta program-program apa yang telah terlaksana dari masing-masing kota tersebut.

Maka dapat dirumuskan beberapa persoalan yang menjadi pokok pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

(22)

1. Bagaimana kedudukan perjanjian kerjasama antar kota (sister city) menurut perspektif hukum internasional ?

2. Bagaimana mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama antar Kota Medan dengan Kota Gwangju menurut hukum nasional dan hukum internasional ?

3. Bagaimana Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama Sister City antara pemerintah Kota Medan dengan pemerintah Kota Gwangju ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan perjanjian kerjasama antar kota (sister city) menurut perspektif hukum internasional.

2. Untuk melihat seperti apa mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama antar kota Medan dengan Kota Gwangju menurut hukum nasional dan hukum internasional.

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dari perjanjian kerjasama kota bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif baik dari segi teoritis maupun dari segi praktisnya, yaitu :

(23)

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan literature sebagai pembuatan perjanjian antar kota khususnya di Kota Medan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya.

b. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pihak yang diantaranya sebagai berikut :

1) Pemerintah pusat dan daerah

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan sebagai masukan untuk pemerintah pusat dan daerah dalam pembuatan perjanjian kerjasama yang melibatkan daerah

2) Masyarakat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran tentang mekanisme pembuatan perjanjian kerjasama antar kota

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan kepustakaan yang ditelusuri dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul penelitian “PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA MEDAN DENGAN PEMERINTAH KOTA GWANGJU KOREA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL” ini belum pernah dikemukakan dalam sebuah penulisan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti dalam sudut pandang dan titik fokus yang sama.

Namun terdapat beberapa penelitian dari mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul :

(24)

a Saudari Kathy Carissa Bangun, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 110200056, dengan Judul “Status Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang Dibuat Oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa”. Dalam rumusan masalah :

a. Bagaimana pengaturan tentang perjanjian internasional dalam hukum internasional dan dalam hukum nasional ?

b. Bagaimana kesepakatan kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa ?

c. Bagaimana status perjanjian internasional dalam kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Ichikawa ?

b Saudara Erdiansyah Rendy, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 100200166, dengan Judul “Kerjasama Kota Kembar Pemerintah Kota Medan Dengan Pemerintah Kota Penang Dalam Hubungan Diplomatik Menurut Perspektif Hukum Internasional”. Dalam rumusan masalah :

a. Bagaimana kerjasama Kota Kembar antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Penang?

b. Bagaimanakah konsep dan teori hukum mengenai perjanjian internasional dalam hubungan diplomasi ?

c. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam hubungan diplomasi pada kerjasama Kota Kembar antara Pemerintah Kota Medan Dan Pemerintah Kota Penang?

(25)

Dalam pemaparan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang ditulis saat ini.

Skripsi ini ditulis berdasarkan ide,gagasan serta pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi yang dalam prosesnya, Penulis memperoleh data- data dari segala sumber seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal- jurnal ilmiah, media cetak, hingga media elektronik. Sehingga di era globalisasi ini tidak menutup kemungkinan jika terdapat kesamaan pendapat ataupun kutipan dengan banyaknya penulisan yang berhubungan ataupun berkaitan dengan judul tersebut diatas.

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini bukan merupakan hasil penggandaan karya tulis orang lain dan oleh sebab itu penulisan skripsi ini dapat ditanggung jawabkan.

F. Metode Penulisan

Metode penelitian adalah prosedur dan cara dalam pengumpulan dan analisis agar kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan berpikir sistematis. Untuk memberikan kemudahan dalam melakukan penelitian, penulis akan menguraikan penelitian yang digunakan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif.

Metode Deskriptif (mendeskripsikan), yaitu metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu fenomena. Metode ini dimulai dengan mengumpulkan data, mengaanalisis data dan menginterprestasikannya. Metode

(26)

deskriptif dalam pelaksanaannya dilakukan melalui: teknik survey, studi kasus (bedakan dengan suatu kasus), studi komparatif, studi tentang waktu dan gerak, analisis tingkah laku, dan analisis dokumenter.19 Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memaparkan tentang perjanjian internasional khususnya yang terkait dengan judul skripsi ini.

Pendekatan yuridis normatif yaitu mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang undangan yang berlaku, dokumen- dokumen dan berbagai teori.20 Metode pendekatan yuridis normative digunakan dengan maksud untuk penulisan terhadap asas-asas hukum yang terdapat dalam perangkat hukum internasional maupun nasional yang dilakukan dengan penelitian pada kepustakaan terutama yang berkaitan dengan judul penulisan skripsi ini.

2. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur- literatur yang berhubungan dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif yang bersumber pada data sekunder.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan ataupun peraturan lainnya yang berkaitan. Data dari pemerintah yang berupa dokumen- dokumen tertulis yang bersumber pada perundang-undangan, di antaranya:

1) Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian.

19 Buku Ajar Perkuliahan, METODOLOGI PENELITIAN Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Oleh: Prof.Dr. Suryana, M.Si UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, 2010

20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal 11

(27)

2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

6) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

7) Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia No. 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.

8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bisa merupakan hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, makalah, skripsi, tesis, bahan ajar maupun disertasi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang isinya tidak mengikat dan berhubungan dengan skripsi ini. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, dokumen dan hasil olahan yang diperoleh dari berbagai sumber.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, bahan tersebut dapat berupa kamus dan ensiklopedia dan bahan bahan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan studi kepustakaan (Library Research) yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Serta dengan melakukan

(28)

wawancara dengan pihak-pihak terkait. Teknik pengumpulan data ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang objektif.

4. Analisis Data

Di dalam penulisan skripsi ini untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran di lapangan dan studi pustaka (Library Research) maka dilakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif yaitu merupakan analisis data yang tidak membutuhkan populasi dan sampel dengan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh gambaran permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Kemudian selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Keseluruhan data yang diperoleh baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dianalisis secara kualitatif yaitu “analisis data yang tidak menggunakan angka-angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata- kata atas temuan-temuan, dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data bukan kuantitas.”21 Melalui proses data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.22

21 H.Salim,HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm,19.

22 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001, Hal. 195-196

(29)

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang sistematis dan mempermudah pemahaman, maka diperlukan penguraian yang teratur dan secara garis besar mengandung pokok-pokok dari setiap bab yang terangkai dalam karya ilmiah tersebut. Dalam sistematika penulisan ini terdapat ringkasan yang menunjukkan jawaban atas rumusan permasalahan agar lebih terarah menjadi satu kesatuan yang berkaitan. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab pertama menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini seperti alasan mengapa penelitian ini penting, kemudian persoalan apa yang muncul untuk dijadikan perumusan masalah diikuti dengan tujuan dan manfaat penulisan serta pernyataan keaslian penulisan, penjabaran tinjauan kepustakaan dan metode penulisan yang digunakan sampai kepada sistematika penulisan.

Bab kedua terdiri dari 3 subbab yang menguraikan hal-hal berkaitan dengan perjanjian internasional yaitu dimulai dari ruang lingkup perjanjian internasional, dilanjutkan dengan Perjanjian Internasional dalam Era Otonomi Daerah, dan kedudukan perjanjian kerjasama antar kota dalam bentuk kota bersaudara (Sister City) menurut perspektif hukum internsional sebagai bagian akhir dari bab ini

Dalam bab ketiga ini akan terdapat pembahasan mengenai mekanisme pembuatan suatu perjanjian internasional menurut lingkup hukum internasional dan hukum nasional serta diakhiri dengan membahas tata cara pembuatan perjanjian kerjasama antara kota medan dengan kota gwangju menurut hukum nasional dan internasional.

(30)

Bab keempat akan menjabarkan beberapa perjanjian kerjasama antar kota yang ada di Kota Medan serta hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antar kota dan diakhiri dengan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama kota bersaudara (Sister City) antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju.

Bab kelima yang merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini merupakan rangkuman intisari seluruh bab dari hasil penelitian yang sudah dilakukan sebagai bagian akhir dari skripsi. Dalam bab ini terdapat kesimpulan yang diikuti dengan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.

(31)

BAB II

ASPEK PERJANJIAN INTERNASIONAL DARI KERJASAMA ANTAR KOTA

A. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional

Saling ketergantungan antara negara yang satu dengan negara yang lainnya dalam era global sekarang ini, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan.

Tidak ada satupun negara atau subyek hukum internasional yang tidak terikat oleh perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional adalah instrument yuridis yang menampung kehendak maupun tujuan bersama negara/subyek hukum internasional untuk mencapai tujuan tertentu.23

Hukum perjanjian internasional menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional antar negara. Perjanjian internasional juga berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerjasama internasional, peran perjanjian internasional dewasa ini dapat dikatakan menggantikan hukum kebiasaan internasional. Satu kelebihan perjanjian internasional dibandingkan dengan hukum kebiasaan adalah sifatnya tertulis, memudahkan dalam pembuktian dibandingkan dengan hukum kebiasaan yang tidak tertulis sehingga kadang cukup sulit untuk membuktikannya atau menemukannya.24

Hal tersebut disadari oleh masyarakat internasional dengan munculnya upaya- upaya untuk mengkodifikasikan kaidah-kaidah hukum internasional ke dalam perjanjian internasional seperti yang dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa (the League

23 Boermauna (ketua Tim Penyusun): Naskali Akademis Peraturan Perundang-perundangan Tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional, kerjasama BPHN dengan Departemen Luar Negeri, Jakarta,1979-1980, hlm.7

24 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.28.

(32)

of Nations) pada tahun 1924 dengan membentuk Komisi Ahli (Committee of Expert) berdasarkan Resolusi Majelis Liga Bangsa-bangsa tanggal 22 September 1924.25

Dengan dibubarkannya Liga Bangsa-Bangsa dan dilakukannya pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations, selanjutnya disebut sebagai PBB) pada tahun 1945 kembali menegaskan peranan perjanjian internasional dalam hukum internasional. Pasal 13 ayat (1) butir a Piagam PBB menyatakan maksudnya untuk mendorong pengembangan progresif hukum internasional dan pengkodifikasiannya.

Ketentuan tersebut mendorong dibentuknya Komisi Hukum Internasional (Internasional Law Commission) yang berhasil menyiapkan naskah-naskah konvensi dalam berbagai bidang hukum internasional seperti Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (Convention on the Law of the Sea), Konvensi tentang Hubungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations) 1961, Konvensi tentang Hubungan Konsuler (Convention on Consular Relations) 1963, Konvensi tentang Hukum Perjanjian (Convention on the Law of Treaties) 1969, dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional (Convention on the Law of Treaties between States and International Organisation and between International Organisation and International Organisation) 1986.26

Kedua konvensi yang disebutkan terakhir merupakan dua konvensi bersejarah yang memiliki arti penting dalam perkembangan perjanjian internasional sebagai hukum internasional, terutama Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 atau yang kita kenal sebagai Konvensi Wina 1969. Konvensi ini memiliki peranan yang penting mengingat substansi pembahasannya yang terkait dengan perjanjian

25 I Wayan Parthiana, Op.Cit.. hlm 3-4

26 Ibid., hlm. 5 – 6.

(33)

internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.

Perjanjian internasional yang dalam bahasa Inggris disebut Treaty. Pengertian yuridis perjanjian internasional dapat dilihat dalam Vienna Convention on The Law of Treaties tahun 1969 adalah :”An international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Bagi Konvensi Wina, Treaty mencakup semua perjanjian tanpa memperhatikan nama yang diberikan, asal yang dibuat oleh satu atau dua lebih negara-negara diatur oleh hukum internasional baik dalam instrument tunggal atau lebih dan dalam bentuk tertulis.27

Pengertian perjanjian internasional menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah dengan satu negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat publik.28

Menurut O’Connel, perjanjian internasional adalah an agree-ment between states, governed by international law as district form municipal law, the form and manner of which is material legal consequences of the act.29

Beberapa pengertian perjanjian internasional yang mengatakan bahwa perjanjian tidak hanya dibuat oleh negara, tetapi subyek hukum internasional yang lebih luas, Herman Mosler mengatakan :

27 Pasal 2 ayat 1 huruf a Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional

28 Pasal 1 ayat 1 dan Penjelasannya UU No.24 Tahun 2000, lihat juga pasal 1 ayat 3 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

29 O’connel DP : International Law, Volume I, Stevens, London : Stevens 1965, hlm.146

(34)

Treaties are contractual angangement between subject of international law destined to create rights and obligation for the parties.30

Demikian juga dikatakan oleh Malcom Show, A treaty is basically an agreement between parties on the international scene. Although may be concluded, or made, between states and international organization, they are primarily concerned with relation between state.

Sedangkan menurut Moctar Kusumaadmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian-perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.31

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus dipenuhi suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu:32

a. Kata sepakat,

b. Subyek-subyek hukum, c. Berbentuk tertulis,

d. Obyek tertentu internasional,

e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.

Akan tetapi mengingat hukum perjanjian internasional yang mengatur perjanjian antar negara berbeda atau diatur dalam bentuk yang berbeda dengan perjanjian antara negara dan organisasi internasional atau perjanjian antara organisasi

30 Herman Mosler : The International Society As A Legal Community, The Nederland: Sjnoff and Nor doff, 1980, hlm.95, bandingkan Maryan Green NA : International Law, Law of Peace, Second Edition, Mac Donald and Evans 1982

31 Mochtar Kusumaatmadja : Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Rosda Offset, Bandung 1982, hal.109-110 6 Malcom N Shaw: International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press 2003, hlm.811

32I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm, 14-17

(35)

dan organisasi internasional, akan lebih baik lagi jika pengertian perjanjian internasional tersebut di atas dibedakan lagi menjadi dua macam.

Pertama adalah perjanjian internasional antara negara dan negara, yaitu sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut :

Treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.

Perjanjian artinya suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara- negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum nasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.

Kedua adalah perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi intenasional, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986, sebagai berikut:

Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written form:

(i) between one or more States and one or international organisations; or (ii) between international organisations, whether that agreement is

embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.

Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis

(36)

(i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, atau

(ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.

Kedua macam pengertian perjanjian internasional tersebut mengandung unsur atau kualifikasi yang sama seperti kualifikasi perjanjian internasional sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hanya saja sesuai dengan masing-masing namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit. Dapat dikatakan bahwa kedua pengertian perjanjian internasional itu merupakan pemisahan dari pengertian perjanjian internasional berdasarkan pada subyek-subyek hukum yang dapat membuat ataupun dapat terikat pada suatu perjanjian. Selanjutnya, baiklah dibahas secara lebih mendalam masing- masing unsur atau kualifikasi perjanjian internasional itu.

a. Kata Sepakat

Kata sepakat adalah merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian, Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak aka nada perjanjian. Kata sepakat inilah yang dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal perjanjian. Pasal-pasal naskah perjanjian itulah mencerminkan kata sepakat dari para pihak

b. Subyek subyek hukum

Subyek-subyek hukum dalam hal ini adalah subyek-subyek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian-perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan

(37)

(negotiating states) adalah juga pihak-pihak yang terikat pada perianjian. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah yang bersifat umum, antara pihak-pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian internasional tersebut belum tentu sama. Tegasnya negara- negara yang terlibat secara aktif dalam proses perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian belum tentu akan menjadi pihak atau peserta pada perjanjian yang bersangkutan, misalnya karena negara itu tidak atau menolak menyatakan persetujuannya untuk terikat. Sedangkan negara-negara yang tidak terlibat dalam proses perundingan, boleh jadi akan menjadi pihak atau peserta pada perianjian yang bersangkutan oleh karena negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat.

Subyek-subyek hukum internasional yang dapat membuat atau terikat sebagai pihak pada suatu perjanjian internasional adalah negara (termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang bersangkutan memungkinkannya); tahta suci;

organisasi internasional; kaum belligerensi: dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.

c. Berbentuk tertulis

Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Ada pula perjanjian-perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.

Sedangkan tulisan atau huruf yang dipergunakan adalah huruf Latin, meskipun tidak dilarang menggunakan huruf lain, misalnya huruf resmi yang dianut pihak yang terikat pada perjanjian tersebut, seperti huruf Thailand, huruf Arab, huruf Cina, huruf Jepang, dan lain-lain. Dengan bentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya

(38)

ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juga bagi pihak ketiga yang mungkin pada suatu waktu tersangkut pada perjanjian itu.

d. Obyek tertentu

Obyek dari perjanjian internasional itu adalah obyek atau hal yang diatur di dalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung obyek tertentu. Tidak ada perjanjian yang tanpa obyek yang pasti. Obyek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut, misalnya konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut. Perjanjian tentang garis batas wilayah yang berarti obyeknya adalah garis batas wilayah dari para pihak; demikian pula perjanjian tentang kerjasama hukum; kerjasama ekonomi dan perdagangan;

kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi; dan lain-lain.

e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional

Tunduk yang dimaksudkan hukum internasional dalam hal ini adalah, baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum perjanjian internasional pada khususnya. Sebagaimana secara umum sudah dipahami, bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Demikian pula dari sejak perundingan untuk merumuskan naskah pejanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional maupun hukm perjanjian internasional. Hal ini menunjukkan atau mencirikan, bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional.

Dalam praktek hubungan antar negara perjanjian-perjanjian internasional mempunyai beberapa istilah, yaitu Treaty, Convention, Statute, Charter, Convertant, Agreement, Protocol, Arrangement, Declaration, dan lain sebagainya. Pada umumnya

(39)

bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa substansi/materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya. Penggunaan nama dan istilah perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak serta dampak politiknya bagi para pihak. Namun demikian secara yuridis perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak seperti yang tertuang dalam perjanjian tersebut.

Berikut beberapa penguraian singkat tentang pengertian dari beberapa istilah perjanjian-perjanjian internasional yang sudah umum dipergunakan yang dikutip dari Christine S.T Kansil33 :

a. Traktat (Treaty)

Istilah treaty dimengerti sebagai perjanjian internasional, yaitu mencakup seluruh perangkat/instrument yang dibuat oleh para subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional. Secara khusus, istilah treaty dikenal sebagai traktat.

Hingga saat ini, tidak terdapat pengaturan yang konsisten atas penggunaan terminology traktat tersebut. Umumnya, traktat digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil misalnya yang menyangkut persahabatan, perdamaian dan lain-lain tergantung dari kebiasaan masing-masing negara. Umumnya traktak memerlukan adanya pengesahan/ratifikasi.34

b. Konvensi (Convention)

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya

33 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta : Djambatan, 2002), hlm 46-50

34 Kholis Roisah, hukum perjanjian internasional; teori dan praktik, (Malang : Setara press, 2015), hlm.6

(40)

bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Istilah ini saat ini lebih banyak digunakan untuk perjanjian multilateral.

c. Protokol (protocol)

Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak seresmi traktat atau konvensi, dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini, protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.

d. Persetujuan (agreement)

Agreement atau persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Agreement lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi.

e. Proses Verbal (Process-Verbal)

Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik, atau dapat pula merupakan catatan suatu permufakatan.

f. Piagam (Statute)

Statute atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam juga digunakan sebagai alat tambahan pada konvensi untuk pelaksanaan suatu konvensi.

Referensi

Dokumen terkait

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi 0.. Pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba

Analisis Dampak Teknik Penerjemahan Terhadap Fungsi Experiential Serta Nilai Keakuratan dan Keberterimaan Nominal Group dalam Terjemahan Cerpen “The Adventure of

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilakuan yang dirasakan terhadap niat diet rendah lemak

Universitas Negeri

Perlakuannya adalah dengan pemberian yoghurt kedelai hitam (black soyghurt), sedangkan keluarannya (outcome) adalah kadar profil lipid serum tikus hiperkolesterolemia

Analisis akan digunakan pada masing-masing indikator untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat mahasiswa untuk bekerja di kantor akuntan publik,

[r]

Tujuan yang diharapkan dari penelitian tindakan kelas (PTK) ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan memahami persamaan kuadrat dengan metode kerja