• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANTAR

A. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional menurut

Umumnya di zaman milenial saat ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, baik yang bersifat informal maupun formal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.

Apabila semua itu sudah dipandang memadai, dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah formal dalam merumuskan suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Langkah-langkah formal tersebut adalah, penunjukan wakil-wakil masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan, penyerahan surat kuasa atau pertukaran kuasa penuh (full powers) oleh wakil-wakil masing-masing pihak, dilanjutkan dengan perundingan, yaitu perundingan untuk membahas materi yang akan dimaksukkan dan dirumuskan sebagai pasal-pasal perjanjian, dilanjutkan dengan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty), saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional (entry into force of a treaty); penyimpanan naskah perjanjian (depository of a treaty), serta pendaftaran dan pengumumannya (registration and publication). Waktu atau saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional adalah

merupakan saat perjanjian itu berstatus sebagai kaidah hukum internasional positif yang mengikat para pihak yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian.53

Proses pembuatan perjanjian internasional dalam prakteknya dapat melalui beberapa tahapan yang secara umum diperlukan untuk membuat perjanjian internasional. Berbagai langkah yang ditempuh dalam penciptaan kewajiban perjanjian internasional adalah54 :

1. Menunjuk orang-orang yang melakukan negosiasi-negosiasi atas nama negara-negara peserta perjanjian.

2. Negosiasi-negosiasi dan penerimaan.

3. Pengesahan, penandatanganan dan pertukaran instrumen-instrumen.

4. Ratifikasi.

5. Aksesi dan adhesi.

6. Pemberlakuan.

7. Pendaftaran dan publikasi.

8. Penerapan dan pelaksanaan.

Berikut pembahasan satu persatu dari langkah-langkah ini.

1. Penunjukan para Negosiator; Kuasa Penuh dan Surat-Surat Kepercayaan.

Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi-negosiasi dengan negara atau negara-negara lain untuk pembuatan traktat tertentu, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negosiasi-negosiasi. Para pihak terlebih dahulu menunjuk wakil-wakilnya yang akan mengadakan perundingan tersebut, yang merupakan suatu delegasi dari

53 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm, 93-94

54 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 593.

masing pihak contohnya seperti seorang yang bertindak sebagai ketua, seorang wakil ketua, seorang sebagai sekertaris, dan yang lainnya sebagai anggota.

Dalam praktek wakil suatu negara ditentukan dengan instrument yang sangat resmi baik yang diberikan oleh kepala negara ataupun Menteri Luar Negeri yang memperlihatkan kewenangannya dalam berbagai hal. Instrument ini disebut sebagai Kuasa Penuh (Full Power) atau Pleins Pouvoir.

Menurut praktek Inggris, ada dua jenis Kuasa Penuh yang diterbitkan untuk wakil-wakil yang memperoleh kuasa penuh55 :

a. Apabila perjanjian yang akan dirundingkan itu berbentuk perjanjian-perjanjian kepala-kepala negara, Kuasa Penuh khusus dipersiapkan secara khusus oleh Pemegang Kedaulatan dan dicap dengan Cap Negara.

b. Apabila perjanjian yang akan dirundingkan itu berbentuk perjanjian antar-pemerintah atau antar-negara, Kuasa Penuh Pemerintahlah yang dikeluarkan, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri dan dicap dengan cap resmi Menteri Luar Negeri.

Pengaturan mengenai Kuasa Penuh juga terdapat dalam Konvensi Wina 1969 yang terdapat dalam Pasal 7 dan 8. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil negara dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh. Pasal 8 mengatur tentang orang yang sebenarnya tidak membawa atau tidak mempunyai kuasa penuh tetapi bertindak mewakili negaranya dalam mengadakan suatu perjanjian internasional, yang membutuhkan konfirmasi belakangan dari pemerintah negaranya.

Tentang pengertian dari kuasa penuh itu sendiri, Pasal 2 ayat 1 butir c menyatakan sebagai berikut :

55 Ibid., hlm. 594.

Full powers “ means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or person to represent the State for negotiating, adopting, or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty”.

“Kuasa penuh” berarti sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang berisi penunjukan atas seseorang atau lebih untuk mewakili negara yang bersangkutan untuk merundingkan, mengadopsi, atau mengotentikasi naskah suatu perjanjian internasional, untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, atau untuk melakukan tindakan lainnya yan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

2. Negosiasi dan Adopsi

Negosiasi-negosiasi mengenai suatu perjanjian dilakukan baik melalui pourparlers dalam hal perjanjian-perjanjian bilateral ataupun melalui Konferensi Diplomatik, prosedur ini lebih lazim jika suatu perjanjian multilateral akan diadopsi.

Dalam kedua hal tersebut para delegasi tetap memelihara hubungan dengan pemerintahnya, mereka mendapat instruksi-instruksi sebelumnya yang tidak dikemukakan kepada lain-lain peserta dan pada setiap tahap mereka boleh mengadakan konsultasi dengan pemerintah-pemerintahnya serta, apabila dipandang perlu, meminta instruksi-instruksi baru. Sebagai praktek yang umum, sebelum membubuhkan tanda tangan mereka pada Final Act perjanjian, Para delegasi meminta instruksi-instruksi baru untuk menandatangani instrument tersebut yakni mengenai apakah harus ada reservasi atau tidak.

Tahap perundingan dalam proses pembuatan perjanjian merupakan media untuk memperjuangkan kepentingan nasional terutama yang terkait dengan substansi

materi yang diperjanjikan oleh para delegasi wakil negara. Kemudian selama proses perundingan berlangsung tersebut kemungkinan diamandemen dan kontra amandemen dan kalau semua berjalan baik akan tersusun draft resmi (final draft) perjanjian. Dalam praktek perundingan ini biasanya memakan waktu yang lama terutama untuk perjanjian-perjanjian yang pesertanya banyak (multilateral) karena untuk mekompromikan kepentingan para pihak tentunya tidak mudah. Hal ini bisa dalam hitungan bulan dan bahkan tahunan. Selanjutnya pada tahap perundingan ada tahapan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) terhadap draft resmi perjanjian atau merupakan tindakan formal semua negara peserta yang berpartisipasi dalam perundingan pembuatan perjanjian untuk menerima isi dari perjanjian.56

Pasal 9 ayat 2 Konvensi Wina menentukan bahwa penerimaan atas suatu naskah traktat pada suatu Konferensi Internasional harus dilakukan melalu suara menyetujui dua per tiga negara yang hadir dan memberikan suara, kecuali jika dengan mayoritas yang sama negara-negara tersebut memutuskan untuk memakai aturan yang berbeda.

3. Pengesahan, Penandatanganan dan Pertukaran Instrumen-Instrumen

Apabila rancangan pada tahap perundingan/negosiasi telah disepakati, maka tindakan formal lainnya adalah pengesahan bunyi naskah (authentication of the text), yang diterima sebagai naskah terahir (final draft). Kemudian naskah tersebut siap untuk ditandatangani, naskah tersebut dapat diumumkan untuk jangka waktu tertentu sebelum penandatanganan. Tindakan penandatanganan biasanya lebih merupakan hal formalitas, juga dalam kasus perjanjian-perjanjian bilateral. Mengenai konvensi-konvensi multilateral, penandatanganan pada umumnya dilakukan pada waktu sidang penutupan resmi (séance de cloture) pada saat mana setiap delegasi menghampiri

56 Kholis Roisah, Op.Cit., hlm.26

sebuah meja dan membubuhkan tanda atas nama kepala negara atau kepala pemerintahan yang mengangkat mereka.

Tahapan penandatanganan adalah tahapan dimana para pihak yang terlibat dalam perundingan pembuatan perjanjian melakukan penandatangan sebagai bukti keikutsertaan menjadi pihak atau peserta (Contracting Parties) dalam perjanjian internasional, bukan sebagai pengikatan diri (consent to the bound) terhadap peranjian. Tapi dimungkinkan bahwa penandatangan terhadap perjanjian internasional sebagai salah satu bentuk persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional (consent to be bound of treaty).

Penandatanganan suatu perjanjian mengakibatkan suatu perjanjian itu bergantung pada apakah perjanjian itu tunduk pada ratifikasi, penerimaan atau persetujuan ataukah tidak. Ditetapkan dalam Konvensi Wina bahwa, apabila suatu perjanjian tunduk kepada ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan, negara-negara penandatanganan wajib dengan iktikad baik menahan diri dari tindakan-tindakan yang dinilai dapat menggagalkan tujuan traktat sampai mereka memperlihatkan kehendaknya secara jelas untuk tidak menjadi peserta.57

Pertukaran instrumen instrumen dimaksudkan apabila suatu traktat ditentukan dengan pertukaran instrumen oleh wakil-wakil para peserta, maka pertukaran itu dapat mengakibatkan para peserta terikat perjanjian tersebut jika 58:

a) Instumen-instrumen itu menentukan bahwa pertukaran terserbut menimbulkan akibat ini

b) Sebaliknya dapat ditunjukan bahwa para peserta telah menyepakati bahwa keterikatan ini merupakan akibat dari pertukaran demikian

57 lihat pasal 18 Konvensi Wina

58 lihat pasal 13 Konvensi Wina

Perjanjian dan konvensi konvensi hampir selalu dibubuhi Cap (Sealing), meskipun ini tidak selalu dilakukan pada perjanjian-perjanjian internasional dalam bentuk yang kurang begitu resmi. Pembubuhan Cap saat ini tampak kurang memiliki makna dibandingkan sebelumnya dan tidak diperlukan baik untuk pengesahan ataupun validitas perjanjian. Dahulu, dengan pengecualian pengesahan notaris untuk instrumen-instrumen khusus, pembubuhan Cap merupakan satu-satunya cara untuk mengesahkan naskah traktat yang diakui.

4. Ratifikasi

Tahap selanjutnya adalah para delegasi yang menandatangani perjanjian itu menyerahkan kembali naskah kepada pemerintah-pemerintah mereka untuk persetujuan, apabila tindak lanjut konfirmasi demikian secara tegas atau implisit disyaratkan.

Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada traktat itu oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat sebagaimana mestinya. Namun, dalam praktek modern ratifikasi lebih penting daripada sekedar konfirmasi saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh traktat. Maka dari itu dalam Pasal 2 Konvensi Wina, ratifikasi di definisikan sebagai "tindakan internasional … dengan cara mana suatu negara menetapkan pada taraf internasional persetujuannya untuk terikatn oleh suatu traktat".

Sejalan dengan definisi ini, ratifikasi tidak dianggap mempunyai akibat berlaku surut, dengan maksud mengikatkan perjanjian itu sejak dari tanggal penandatanganan.

Ada kalanya, ratifikasi dipandang sebagai hal yang sangat perlu sehingga tanpa itu suatu traktat dianggap tidak efektif. Hal ini dikemukakan oleh Lard Stowell :59

“Menurut praktek yang berjalan saat ini, ratifikasi merupakan syarat esensial;

dan konfirmasi kuat tentang kebenaran kedudukan ratifikasi demikian itu adalah bahwa hampir setiap traktat modern memuat syarat ratifikasi yang dinyatakan secara tegas; dan karena itu pada saat ini dianggap bahwa wewenang wakil-wakil yang berkuasa penuh dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut. Ratifikasi mungkin merupakan formalitas, namun formalitas yang esensial; karena instrumen terkait, dari segi keefektifan hukum, tidak lengkap tanpa keberadaannya"

Pasal 14 Konvensi Wina menentukan bahwa persetujuan suatu negara untuk terikat oleh suatu perjanjian ditegaskan melalui ratifikasi apabila:

a) traktat itu secara tegas menentukan demikian; atau

b) negara-negara yang merundingkannya menyepakati bahwa ratifikasi diperlukan; atau

c) perjanjian itu ditandatangani tunduk kepada ratifikasi; atau

d) kehendak untuk menandatangani tunduk kepada ratifikasi tampak dari Kuasa Penuh atau secara tegas dinyatakan selama berlangsungnya perundingan-perundingan.

Praktek ratifikasi dilandasi oleh asalan alasan berikut ini :

a) Negara-negara berhak untuk memperoleh kesempatan mempelajari kembali dan meninjau kembali instrumen-instrumen yang ditandatangani oleh

59 lihat Norwegian Loans Case ICJ 1957, 9 dan buku pedoman, The International Court of Justice (1976) hal 38-39. Karena keputusan ini beberapa negara yang telah membuat reservasi

“otomatis” menariknya kembali.

delegasi-delegasi mereka sebelum melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dirinci di dalamnya.

b) Karena alasan kedaulatannya, suatu negara berhak untuk menarik diri dari keikutsertaannya dalam suatu traktat jika negara itu meng hendakinya.

c) Sering suatu traktat harus mengalami perubahan atau penyesuaian-penyesuaian dalam hukum nasional. Jangka waktu antara penandatanganan dan ratifikasi itu memungkinkan negara-negara untuk mengeluarkan atau meminta persetujuan parlemen yang diperlukan, untuk kemudian dilakukan ratifikasi. Pertimbangan ini penting dalam kasus negara-negara federasi, di mana, jika perundang-undangan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan traktat berada dalam wewenang unit-unit anggota federasi itu, ketentuan-ketentuan traktat kemungkinan harus dikonsultasikan oleh pemerintah pusat sebelum traktat dapat diratifikasi.

d) Juga ada prinsip demokrasi yaitu bahwa pemerintah harus memperoleh pendapat umum baik di Parlemen atau dengan cara apapun tentang hal apakah suatu traktat harus disetujuinya atau tidak.

Wewenang untuk menolak ratifikasi dianggap melekat pada kedaulatan negara dan karena itu menurut hukum internasional tidak ada kewajiban hukum maupun kewajiban moral untuk meratifikasi suatu traktat. Lebih lanjut, tidak ada kewajiban selain dari hal kesopansantunan biasa untuk menyampaikan kepada negara-negara lain yang terkait mengenai suatu pernyataan alasan-alasan menolak ratifikasi.

5. Aksesi dan Adhesi

Dalam praktek, apabila suatu negara tidak menandatangani suatu traktat maka negara itu hanya dapat melakukan aksesi (accede) atau adhesi (adhere) pada traktat itu. Menurut praktek saat ini, suatu negara yang bukan penandatanganan juga dapat

mengaksesi atau mengadhesi sebelum traktat itu mulai berlaku. Beberapa penulis mengemukakan pembedaan antara aksesi (accession) dan adhesi (adhesion). Kadang-kadang dikemukakan bahwa aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi berupa penerimaan hanya atas sebagian dari traktat. Juga sebagian penulis menyatakan bahwa aksesi meliputi keikutsertaan dalam traktat dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian. Pembedaan-pembedaan yang dikemukakan ini pada umumnya tidak dukung oleh praktek negara-negara.

Istilah "aksesi" juga diterapkan pada penerimaan oleh suatu negara atas suatu perjanjian setelah sejumlah besar ratifikasi yang disyaratkan untuk mulai berlakunya perjanjian itu telah disimpan. Dengan demikian; misalnya diperlukan sepuluh ratifikasi untuk berlakunya perjanjian dan kesepuluhnya itu telah masuk tersimpan, maka ratifikasi-ratifikasi atau penerimaan berikutnya dapat disebut "aksesi-aksesi”.

Penggunaan istilah "aksesi" dalam pengertian ini pada umumnya tidak di setujui.

Sesungguhnya, dalam Pasal 2 Konvensi Wina "aksesi" mendapat pengertian sama dengan “ratifikasi”, sementara menurut Pasal 15 aksesi memerlukan untuk persetujuan untuk terikat pada kewajiban perjanjian dengan cara yang sama mutatis mutandis seperti menurut Pasal 14 mengenai ratifikasi. Demikian pula, kecuali perjanjian itu menentukan lain, suatu instrumen aksesi tidak menetapkan persetujuan akhir, sampai dilaksanakan pertukaran atau penyimpanan, atau pemberitahuan mengaksesi kepada negara-negara peserta, atau negara penyimpan.60

60 Pasal 16 Konvensi Wina

6. Mulai Berlakunya Perjanjian

Mulai berlakunya sebuah perjanjian bergantung atas ketentuan-ketentuan perjanjian itu sendiri, atau atas apa yang disepakati negara-negara peserta perjanjian tersebut.61

Seperti telah dikemukakan, banyak perjanjian berlaku sejak tanggal penandatanganannya, tetapi apabila diperlukan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka kaidah umum hukum internasional adalah bahwa traktat yang bersangkutan mulai berlaku hanya setelah pertukaran atau penyimpanan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua negara penandatanganan. Saat ini perjanjian-perjanjian multilateral biasanya menentukan mulai berlakunya bergantung kepada penyimpanan sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang disyaratkan biasanya mulai dari enam sampai tiga puluh lima.62 Namun, kadang-kadang waktu tepatnya tanggal mulai berlaku ditetapkan tanpa memperhatikan jumlah ratifikasi yang diterima. Juga, kadang-kadang traktat itu mulai berlaku hanya didasarkan kepada terjadinya peristiwa tertentu; misalnya, setelah ratifikasi oleh semua negara penandatangan, Traktat Locarno tentang Jaminan Timbal-Balik (Locarno Treaty on Mutual Guarantee) tahun 1925 mulai berlaku hanya setelah masuknya Jerman ke Liga Bangsa-Bangsa (ihat Pasal 10).

Mengenai negara-negara yang menghendaki untuk meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi, biasanya ditentukan bahwa perjanjian akan berlaku bagi setiap negara pada tanggal penyimpanan instrumen persetujuan untuk terikat, atau dalam waktu tertentu biasanya 90 hari setelah penyimpanan.63 Juga kadang-kadang

61 Pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina

62 Lihat Right of Passage Case dan South West Africa Cases, Preliminary Objections ICJ, 1962,319

63 ICJ 1966, 6-18, 36, 37.

disebutkan secara khusus bahwa traktat itu tidak akan berlaku bagi suatu negara tertentu sampai perundang-undangan yang diperlukan dikeluarkan oleh negara itu.

7. Pendaftaran dan Publikasi

Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pasal 102 menentukan bahwa semua traktat dan perjanjian internasional yang dibentuk oleh anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus “sesegera mungkin" didaftarkan kepada Sekretariat Organisasi dan dipublikasikan oleh Sekretariat. Tidak satu peserta pun dari traktat atau perjanjian yang tidak didaftarkan dengan cara ini "boleh mengemukakan traktat atau perjanjian tersebut di muka suatu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa". Hal ini berarti bahwa suatu negara pada traktat atau perjanjian yang tidak didaftrakan dapat menyandarkan argumen pada traktat itu pada waktu berperkara di hadapan Internasional Court of Justice atau dalam pertemuan-pertemuan Majelis Umum atau Dewan Keamanan. Tampaknya ketentuan itu tidak menyatakan tidak sahnya suatu traktat yang tidak didaftarkan, atau mencegah suatu traktat demikian diajukan ke hadapan badan-badan ataupun pengadilan-pengadilan selain dari organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tujuan dari Pasal 102 itu adalah untuk mencegah praktek perjanjian-perjanjian rahasia antara negara-negara dan untuk memungkinkan rakya dari negara-negara demokratis menolak traktat-traktat demikian pada waktu diumumkan.

Diperkirakan bahwa Pasal 102 tersebut memberikan kepada negara-negara anggota suatu kebijaksanaan dalam memutuskan apakah akan mendaftarkan traktat-traktatnya atau tidak dan, dengan memilih untuk tidak mendaftarkan, maka negara itu secara sukarela memikul hukuman yaitu tidak dapat dilaksanakannya instrumen tersebut, tapi yang lebih tepat adalah, yang diterima oleh Sixth Committee (Legal) of

the United Nations General Assembly pada tahun 1947, bahwa Pasal tersebut membebankan kewajiban mengikat untuk melakukan pendaftaran.

8. Pemberlakuan dan Pelaksanaan

Tahap akhir dari proses traktat adalah memasukan secara nyata, apabila perlu, ketentuan-ketentuan traktat itu dalam hukum nasional dari negara peserta dan pemberlakuan ketentuan-ketentuan ini oleh negara tersebut serta, juga, administrasi dan pengawasannya oleh organ-organ internasional yang ditentukan. Seperti telah dikemukakan di atas, di sini mungkin ada ketentuan pemberlakuan traktat sebelum mulai dilaksanakan, apabila traktat itu sendiri mengatur demikian dan disetujui oleh para pesertanya. Dalam praktek, diperlukan kesiapan tugas "tindak lanjut" untuk menjamin bahwa negara-negara peserta benar-benar memberlakukan instrumen yang mengikat mereka tersebut. Beberapa organisasi internasional (misalnya, ILO dengan organnya Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations, dan Komite Konferensi tripartid mengenai pemberlakuan instrumen-instrumen ini) memiliki Komite-Komite khusus untuk menjalankan fungsi ini, yang tugasnya dapat dilengkapi dengan pengiriman misi-misi peninjau resmi. Hal yang merupakan metode penemuan baru adalah dengan merancang kode-kode model khusus untuk pemberlakuan legislatif terhadap konvensi-konvensi.

Struktur konvensi dan Traktat Traktat

Bagian-bagian pokok dari konvensi atau traktat biasanya adalah:

1. Mukadimah (Pembukaan) atau kata-kata pendahuluan, yang mengemukakan nama-nama para peserta (kepala negara, negara-negara atau pemerintah-pemerintah), tujuan dibentuknya instrumen tersebut, "hasrat" para peserta untuk ikut serta dan nama-nama serta pengangkatan wakil-wakil berkuasa penuh.

2. Klausula klausula substantive, kadang-kadang disebut sebagai "ketentuan-ketentuan dispositive”.

3. Klausula klausula formal (atau akhir) atau "klausula-klausula protokoler” yang menguraikan hal hal teknis atau formal atau masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberlakuan atau mulai berlaku nya instrumen tersebut.

Biasanya klausula klausula demikian secara terpisah berkaitan dengan hal-hal berikut:

i. tanggal instrumen;

ii. cara penerimaan (penandatanganan, aksesi dan sebagainya);

iii. pembukuan penandatanganan instrumen;

iv. mulai berlakunya;

v. masa berlakunya;

vi. pengunduran diri para peserta;

vii. pemberlakuan oleh perundang-undangan nasional;

viii. pemberlakuan terhadap wilayah-wilayah dan sebagainya;

ix. bahasa-bahasa dengan mana instrumen itu dirancang;

x. penyelesaian sengketa;

xi. amandemen-amandemen atau revisi;

xii. pendaftaran

xiii. pemeliharaan dan tugas penyimpanan instrumen asli.

4. Penegasan resmi atau pengakuan tanda tangan dan tanggal serta tempat penandatanganan.

5. Penandatanganan oleh wakil-wakil berkuasa penuh.

B. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional menurut Hukum Nasional Menurut perspektif hukum internasional maka yang menjadi pihak pada perjanjian internasional adalah suatu negara, dalam hal ini yang dibahas adalah Indonesia. Untuk itu, Pasal 11 UUD 1945 secara tepat telah menempatkan pembuatan perjanjian sebagai kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.

Namun Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internaional, khususnya Pasal 3, selanjutnya mengelaborasi bahwa pembuatan perjanjian internasional termasuk pengikatan diri terhadap perjanjian itu dilakukan oleh Pemerintah RI. Dalam hal ini undang-undang ini tidak membedakan Pemerintah RI yang dikepalai oleh Presiden dengan negara yang juga dikepalai oleh Presiden (Kepala Pemerintahan dengan Kepala Negara). Konsisten dengan UUD 1945, seyogianya, pengikatan diri kepada perjanjian dilakukan bukan oleh Pemerintah RI melainkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara.

Kebingungan tentang pembedaan wewenang Presiden sebagai Kepala Negara dengan sebagai Kepala Pemerintahan pada undang-undang ini memang dipicu oleh ketidakjelasan UUD 1945, yang sekalipun menyebut kedua istilah ini namun tidak memberi arti tentang apa wewenangnya.64

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, proses pembuatan perjanjian internasional dapat dibagi atas beberapa tahapan proses, yaitu :65

1. Penjajakan;

2. Perundingan;

3. Perumusan Naskah Perjanjian;

64 Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, Bina Ilmu, 1999, hlm.62

65 Sejak Tahun 2006, Kementrian Luar Negeri telah memilih buku pedoman teknis dan referensi pembuatan perjanjian internasional yang menguraikan secara rinci dan teknis tahapan-tahapan pembuatan perjanjian internasional sesuai dengan Undang-Undang N0.24 Tahun 2000, berikut dengan contoh-contoh klausul yang harus diperhatikan oleh Delegasi RI.

4. Penerimaan;

5. Penandatanganan.

Penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut66 :

Penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut66 :