• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : ASPEK PERJANJIAN INTERNASIONAL DARI

C. Kedudukan Perjanjian Kerjasama Antar Kota dalam bentuk

Secara historis, konsep tentang kota kembar (sister city) berawal dari munculnya Municipal International Cooperation (MIC) yang merupakan hubungan kerjasama antara dua atau lebih komunitas yang berupa pemerintah kota, distrik, provinsi atau negara bagian.47 Konsep sister city mulai dikembangkan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1950an, konsep sister city ini dilegalkan dengan adanya dukungan dari Presiden Amerika Serikat, Eisenhower, yang mewujudkannya dengan protokol.48 Selanjutnya konsep ini banyak dipraktekkan di berbagai negara, termasuk diadopsi oleh beberapa daerah di Indonesia terlebih setelah terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pasca-Orde Baru. Era otonomi daerah telah menyediakan momentum tepat bagi daerah untuk memaksimalkan segenap potensi sumberdaya yang mereka miliki secara lebih leluasa. Hal ini mengacu pada surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister city) dan Antar Provinsi (sister province) dalam dan luar negeri.

Sister City International adalah jaringan diplomasi yang menimbulkan dan mengkokohkan hubungan antara komunitas-komunitas di Amerika Serikat dan juga di negara-negara lain, khususnya melalui pembentukan "sister cities". Lebih dari 2000 kota, negara bagian dan kabupaten berkerja sama dalam 136 negara di seluruh dunia.

Sister City International sebagai organisasi non-profit yang bertujuan untuk menjalin hubungan global antar kota-kota di seluruh dunia dengan memperhatikan kesamaan demografi, sejarah perekonomian dan kebudayaan merupakan salah satu

47 Jemmy Rumengan, Loc.Cit.

48 Sinaga, O., Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik: Implementasi kerjasama internasional (Bandung: Lepsindo, 2010), hlm. 35.

bentuk perjanjian internasional yang telah diterima oleh hampir seluruh negaranegara di dunia. Khususnya Indonesia telah lbergabung dengan organisasi ini untuk membantu kota-kota di Indonesia agar dapat terdorong dan terinspirasi dengan kemajuan kota-kota di negara maju baik di Amerika Serikat maupun di negara lain.

Jalinan kerjasama bisa berawal dari kesepakatan yang terjadi antar kepala daerah, dan karenanya bersifat top-down, atau sebaliknya melalui proses yang bersifat bottom-up, dimana terdapat kelompok masyarakat, akademisi, kelompok profesi tertentu berinisiatif membentuk kota kembar (sister city) dan mengajukan secara resmi kepada kepala daerah. Sementara kedekatan yang menjadi modal awal kerjasama tersebut juga bisa terjadi karena keduanya memiliki akar budaya yang sama, menyelenggarakan festival-festival yang memiliki tema sentral yang mirip, maupun karena intensitas pertemuan kedua komunitas cukup tinggi. Secara umum, tujuan ideal terjalinnya kota kembar relatif akan dapat lebih mudah tercapai ketika kedua kota atau daerah yang memutuskan untuk membangun kota kembar memiliki kesamaan dalam aspek budaya, karakteristik populasi, serta arah pengembangan pembangunan wilayahnya.

Kerjasama sister city memberikan manfaat bagi kedua kota atau pemerintah daerah antara lain:

1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah;

2) tukar menukar pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan;

3) mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah, masyarakat dan swasta;

4) meningkatkan optimalisasi pengelolaan potensi daerah;

5) mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua pihak;

6) tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan daerah.

Menurut Donal Bell Souder & Shanna Bredel dalam A Study of Sister City Relations, bidang yang meliputi Kerjasama Sister City terbagi kedalam:

1. Budaya, dalam konteks kerjasama budaya ditujukan untuk memahami keanekaragaman budaya yang berbeda sehingga dapat terjalinnya pemahaman mengenai latar belakang budaya, sehingga dapat meningkatkan kerjasama yang lebih mendalam antar kota dalam hubungan internasional, yang biasanya melibatkan unsur seni musik, pertunjukan budaya, dan hal lainnya yang menyangkut kebudayaan.

2. Akademik, dalam bidang akademik biasanya melibatkan pengiriman duta/

delegasi dari suatu kota terhadap kota lainnya yang ditunjukan untuk mempromosikan dan mempelajari budaya lain, untuk mempererat hubungan yang lebih mendalam.

3. Pertukaran informasi, dalam hal ini ditunjukan untuk menanggulangi suatu kesamaan permasalahan yang dihadapi, sehingga dapat terselesaikan dan pengembangan hal ini dapat ditunjukan untuk pembangunan kota yang lebih baik.

4. Ekonomi, merupakan bidang yang terpenting dalam kerjasama Sister City, hal ini berlandaskan pada tujuan peningkatan perdagangan antar Kota, sehingga konteks kerjasama terjalin lebih mendalam.

Amerika Utara, Australia dan Asia menggunakan istilah Kerjasama Sister City/Province untuk menyebutkannya, sedangkan di Eropa lebih sering menggunakan Twin City atau Kerjasama Kota Kembar. Kerjasama Sister City yang pertama kali dalam sejarah adalah di benua Eropa, yaitu antara Keighley, Yorkshire Barat

(sekarang berada di Inggris) dengan Poix-dunord, Nord, Perancis pada tahun 1920 menyusul berakhirnya perang dunia pertama. Akan tetapi, kerjasama tersebut belum resmi karena belum mengadakan penandatanganan perjanjian hingga tahun 1986.

Pada perkembangannya, pada tahun 1956, Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Dwight Eisenhower. Melaksanakan program “American Sister City Program” dimana program tersebut memacu daerah-daerah di AS untuk melakukan kerjasama.49

Dalam Konvensi Wina 1696, perjanjian merupakan sebuah kesepakatan internasional yang dibuat antara Negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik kesepakatan tersebut diwujudkan dalam instrumen tunggal atau dalam dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan dan tidak memandang apapun namanya. 50 Demikian juga di dalam Konvensi Wina 1986 dijelaskan bahwa, perjanjian merupakan sebuah kesepakatan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis; 1) antara Negara dengan Organisasi Internasional; atau 2) antara Organisasi-organisasi Internasional, baik kesepakatan tersebut diwujudkan dalam instrumen tunggal atau dalam dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan dan tidak memandang apapun namanya.51 Makna ini menunjukkan bahwa suatu perjanjian internasional diwujudkan dalam kesepakatan tertulis antara pihak- pihak yang membuat kesepakatan.

Konvensi Wina 1969, tentang Hukum Perjanjian Pasal 26 juga telah meyatakan bahwa dalam hal ini bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Prinsip ini

49 Usmar Salam, “Dinamika Kerjasama Internasional Provinsi di Indonesia dengan Luar Negeri”, dalam Makalah Lokakarya Cara penanganan Kerjasama Internasional. 2004. hlm 7.

50 Vienna Convention on the law of treaties, United Nations, Vol. 1155-I-18232, hal. 333

51 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986, United Nations publication, Sales No. E.94.V.5, hal. 3.

merupakan dasar pokok hukum perjanjian dan telah diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law).52

Pemaparan diatas dapat dijadikan sebagai kerangka dasar dalam terbentuknya kerjasama sister city, terutama sister city antara pemerintah kota medan dan pemerintah kota gwangju korea dimana dalam kerjasama tersebut telah memenuhi unsur-unsur perjanjian sesuai dengan konvensi wina.

Indonesia juga tidak melewatkan kesempatan untuk mengikuti jaringan diplomasi berbentuk sister city atau bisa dikatakan kota kembar/kota bersaudara, bahkan juga yang berbentuk sister province untuk lingkup provinsi. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr.

Agustinus Supriyanto S.H., M.Si tahun 2003, Indonesia pertama kali melakukan kerjasama Sister City pada tahun 1992 yang dilakukan oleh Kota Bandung dengan Kota Berlin, Jerman. Kerjasama yang dilakukan meliputi transportasi, lingkungan hidup, program kota bersih/limbah buangan, kebun binatang, perkotaan dan perdagangan. Dan untuk istilah, yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri adalah Sister City, dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 193/1652/PUOD pada tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (Sister City) dan Antar Provinsi (Sister Province) Dalam dan Luar Negeri.

52 Parthiana, I Wayan. Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2002, Hal.14, sebagaimana dikutip dalam ”Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara (Studi Kasus: Indonesia)”, Penulis: Zulkifli. Hal. 68, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. 2012

BAB III

PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANTAR KOTA DALAM LINGKUP HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Internasional menurut Hukum Internasional

Umumnya di zaman milenial saat ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, baik yang bersifat informal maupun formal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.

Apabila semua itu sudah dipandang memadai, dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah formal dalam merumuskan suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Langkah-langkah formal tersebut adalah, penunjukan wakil-wakil masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan, penyerahan surat kuasa atau pertukaran kuasa penuh (full powers) oleh wakil-wakil masing-masing pihak, dilanjutkan dengan perundingan, yaitu perundingan untuk membahas materi yang akan dimaksukkan dan dirumuskan sebagai pasal-pasal perjanjian, dilanjutkan dengan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty), saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional (entry into force of a treaty); penyimpanan naskah perjanjian (depository of a treaty), serta pendaftaran dan pengumumannya (registration and publication). Waktu atau saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional adalah

merupakan saat perjanjian itu berstatus sebagai kaidah hukum internasional positif yang mengikat para pihak yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian.53

Proses pembuatan perjanjian internasional dalam prakteknya dapat melalui beberapa tahapan yang secara umum diperlukan untuk membuat perjanjian internasional. Berbagai langkah yang ditempuh dalam penciptaan kewajiban perjanjian internasional adalah54 :

1. Menunjuk orang-orang yang melakukan negosiasi-negosiasi atas nama negara-negara peserta perjanjian.

2. Negosiasi-negosiasi dan penerimaan.

3. Pengesahan, penandatanganan dan pertukaran instrumen-instrumen.

4. Ratifikasi.

5. Aksesi dan adhesi.

6. Pemberlakuan.

7. Pendaftaran dan publikasi.

8. Penerapan dan pelaksanaan.

Berikut pembahasan satu persatu dari langkah-langkah ini.

1. Penunjukan para Negosiator; Kuasa Penuh dan Surat-Surat Kepercayaan.

Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi-negosiasi dengan negara atau negara-negara lain untuk pembuatan traktat tertentu, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negosiasi-negosiasi. Para pihak terlebih dahulu menunjuk wakil-wakilnya yang akan mengadakan perundingan tersebut, yang merupakan suatu delegasi dari

53 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm, 93-94

54 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 593.

masing pihak contohnya seperti seorang yang bertindak sebagai ketua, seorang wakil ketua, seorang sebagai sekertaris, dan yang lainnya sebagai anggota.

Dalam praktek wakil suatu negara ditentukan dengan instrument yang sangat resmi baik yang diberikan oleh kepala negara ataupun Menteri Luar Negeri yang memperlihatkan kewenangannya dalam berbagai hal. Instrument ini disebut sebagai Kuasa Penuh (Full Power) atau Pleins Pouvoir.

Menurut praktek Inggris, ada dua jenis Kuasa Penuh yang diterbitkan untuk wakil-wakil yang memperoleh kuasa penuh55 :

a. Apabila perjanjian yang akan dirundingkan itu berbentuk perjanjian-perjanjian kepala-kepala negara, Kuasa Penuh khusus dipersiapkan secara khusus oleh Pemegang Kedaulatan dan dicap dengan Cap Negara.

b. Apabila perjanjian yang akan dirundingkan itu berbentuk perjanjian antar-pemerintah atau antar-negara, Kuasa Penuh Pemerintahlah yang dikeluarkan, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri dan dicap dengan cap resmi Menteri Luar Negeri.

Pengaturan mengenai Kuasa Penuh juga terdapat dalam Konvensi Wina 1969 yang terdapat dalam Pasal 7 dan 8. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil negara dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh. Pasal 8 mengatur tentang orang yang sebenarnya tidak membawa atau tidak mempunyai kuasa penuh tetapi bertindak mewakili negaranya dalam mengadakan suatu perjanjian internasional, yang membutuhkan konfirmasi belakangan dari pemerintah negaranya.

Tentang pengertian dari kuasa penuh itu sendiri, Pasal 2 ayat 1 butir c menyatakan sebagai berikut :

55 Ibid., hlm. 594.

Full powers “ means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or person to represent the State for negotiating, adopting, or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty”.

“Kuasa penuh” berarti sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang berisi penunjukan atas seseorang atau lebih untuk mewakili negara yang bersangkutan untuk merundingkan, mengadopsi, atau mengotentikasi naskah suatu perjanjian internasional, untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, atau untuk melakukan tindakan lainnya yan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

2. Negosiasi dan Adopsi

Negosiasi-negosiasi mengenai suatu perjanjian dilakukan baik melalui pourparlers dalam hal perjanjian-perjanjian bilateral ataupun melalui Konferensi Diplomatik, prosedur ini lebih lazim jika suatu perjanjian multilateral akan diadopsi.

Dalam kedua hal tersebut para delegasi tetap memelihara hubungan dengan pemerintahnya, mereka mendapat instruksi-instruksi sebelumnya yang tidak dikemukakan kepada lain-lain peserta dan pada setiap tahap mereka boleh mengadakan konsultasi dengan pemerintah-pemerintahnya serta, apabila dipandang perlu, meminta instruksi-instruksi baru. Sebagai praktek yang umum, sebelum membubuhkan tanda tangan mereka pada Final Act perjanjian, Para delegasi meminta instruksi-instruksi baru untuk menandatangani instrument tersebut yakni mengenai apakah harus ada reservasi atau tidak.

Tahap perundingan dalam proses pembuatan perjanjian merupakan media untuk memperjuangkan kepentingan nasional terutama yang terkait dengan substansi

materi yang diperjanjikan oleh para delegasi wakil negara. Kemudian selama proses perundingan berlangsung tersebut kemungkinan diamandemen dan kontra amandemen dan kalau semua berjalan baik akan tersusun draft resmi (final draft) perjanjian. Dalam praktek perundingan ini biasanya memakan waktu yang lama terutama untuk perjanjian-perjanjian yang pesertanya banyak (multilateral) karena untuk mekompromikan kepentingan para pihak tentunya tidak mudah. Hal ini bisa dalam hitungan bulan dan bahkan tahunan. Selanjutnya pada tahap perundingan ada tahapan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) terhadap draft resmi perjanjian atau merupakan tindakan formal semua negara peserta yang berpartisipasi dalam perundingan pembuatan perjanjian untuk menerima isi dari perjanjian.56

Pasal 9 ayat 2 Konvensi Wina menentukan bahwa penerimaan atas suatu naskah traktat pada suatu Konferensi Internasional harus dilakukan melalu suara menyetujui dua per tiga negara yang hadir dan memberikan suara, kecuali jika dengan mayoritas yang sama negara-negara tersebut memutuskan untuk memakai aturan yang berbeda.

3. Pengesahan, Penandatanganan dan Pertukaran Instrumen-Instrumen

Apabila rancangan pada tahap perundingan/negosiasi telah disepakati, maka tindakan formal lainnya adalah pengesahan bunyi naskah (authentication of the text), yang diterima sebagai naskah terahir (final draft). Kemudian naskah tersebut siap untuk ditandatangani, naskah tersebut dapat diumumkan untuk jangka waktu tertentu sebelum penandatanganan. Tindakan penandatanganan biasanya lebih merupakan hal formalitas, juga dalam kasus perjanjian-perjanjian bilateral. Mengenai konvensi-konvensi multilateral, penandatanganan pada umumnya dilakukan pada waktu sidang penutupan resmi (séance de cloture) pada saat mana setiap delegasi menghampiri

56 Kholis Roisah, Op.Cit., hlm.26

sebuah meja dan membubuhkan tanda atas nama kepala negara atau kepala pemerintahan yang mengangkat mereka.

Tahapan penandatanganan adalah tahapan dimana para pihak yang terlibat dalam perundingan pembuatan perjanjian melakukan penandatangan sebagai bukti keikutsertaan menjadi pihak atau peserta (Contracting Parties) dalam perjanjian internasional, bukan sebagai pengikatan diri (consent to the bound) terhadap peranjian. Tapi dimungkinkan bahwa penandatangan terhadap perjanjian internasional sebagai salah satu bentuk persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional (consent to be bound of treaty).

Penandatanganan suatu perjanjian mengakibatkan suatu perjanjian itu bergantung pada apakah perjanjian itu tunduk pada ratifikasi, penerimaan atau persetujuan ataukah tidak. Ditetapkan dalam Konvensi Wina bahwa, apabila suatu perjanjian tunduk kepada ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan, negara-negara penandatanganan wajib dengan iktikad baik menahan diri dari tindakan-tindakan yang dinilai dapat menggagalkan tujuan traktat sampai mereka memperlihatkan kehendaknya secara jelas untuk tidak menjadi peserta.57

Pertukaran instrumen instrumen dimaksudkan apabila suatu traktat ditentukan dengan pertukaran instrumen oleh wakil-wakil para peserta, maka pertukaran itu dapat mengakibatkan para peserta terikat perjanjian tersebut jika 58:

a) Instumen-instrumen itu menentukan bahwa pertukaran terserbut menimbulkan akibat ini

b) Sebaliknya dapat ditunjukan bahwa para peserta telah menyepakati bahwa keterikatan ini merupakan akibat dari pertukaran demikian

57 lihat pasal 18 Konvensi Wina

58 lihat pasal 13 Konvensi Wina

Perjanjian dan konvensi konvensi hampir selalu dibubuhi Cap (Sealing), meskipun ini tidak selalu dilakukan pada perjanjian-perjanjian internasional dalam bentuk yang kurang begitu resmi. Pembubuhan Cap saat ini tampak kurang memiliki makna dibandingkan sebelumnya dan tidak diperlukan baik untuk pengesahan ataupun validitas perjanjian. Dahulu, dengan pengecualian pengesahan notaris untuk instrumen-instrumen khusus, pembubuhan Cap merupakan satu-satunya cara untuk mengesahkan naskah traktat yang diakui.

4. Ratifikasi

Tahap selanjutnya adalah para delegasi yang menandatangani perjanjian itu menyerahkan kembali naskah kepada pemerintah-pemerintah mereka untuk persetujuan, apabila tindak lanjut konfirmasi demikian secara tegas atau implisit disyaratkan.

Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada traktat itu oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat sebagaimana mestinya. Namun, dalam praktek modern ratifikasi lebih penting daripada sekedar konfirmasi saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh traktat. Maka dari itu dalam Pasal 2 Konvensi Wina, ratifikasi di definisikan sebagai "tindakan internasional … dengan cara mana suatu negara menetapkan pada taraf internasional persetujuannya untuk terikatn oleh suatu traktat".

Sejalan dengan definisi ini, ratifikasi tidak dianggap mempunyai akibat berlaku surut, dengan maksud mengikatkan perjanjian itu sejak dari tanggal penandatanganan.

Ada kalanya, ratifikasi dipandang sebagai hal yang sangat perlu sehingga tanpa itu suatu traktat dianggap tidak efektif. Hal ini dikemukakan oleh Lard Stowell :59

“Menurut praktek yang berjalan saat ini, ratifikasi merupakan syarat esensial;

dan konfirmasi kuat tentang kebenaran kedudukan ratifikasi demikian itu adalah bahwa hampir setiap traktat modern memuat syarat ratifikasi yang dinyatakan secara tegas; dan karena itu pada saat ini dianggap bahwa wewenang wakil-wakil yang berkuasa penuh dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut. Ratifikasi mungkin merupakan formalitas, namun formalitas yang esensial; karena instrumen terkait, dari segi keefektifan hukum, tidak lengkap tanpa keberadaannya"

Pasal 14 Konvensi Wina menentukan bahwa persetujuan suatu negara untuk terikat oleh suatu perjanjian ditegaskan melalui ratifikasi apabila:

a) traktat itu secara tegas menentukan demikian; atau

b) negara-negara yang merundingkannya menyepakati bahwa ratifikasi diperlukan; atau

c) perjanjian itu ditandatangani tunduk kepada ratifikasi; atau

d) kehendak untuk menandatangani tunduk kepada ratifikasi tampak dari Kuasa Penuh atau secara tegas dinyatakan selama berlangsungnya perundingan-perundingan.

Praktek ratifikasi dilandasi oleh asalan alasan berikut ini :

a) Negara-negara berhak untuk memperoleh kesempatan mempelajari kembali dan meninjau kembali instrumen-instrumen yang ditandatangani oleh

59 lihat Norwegian Loans Case ICJ 1957, 9 dan buku pedoman, The International Court of Justice (1976) hal 38-39. Karena keputusan ini beberapa negara yang telah membuat reservasi

“otomatis” menariknya kembali.

delegasi-delegasi mereka sebelum melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dirinci di dalamnya.

b) Karena alasan kedaulatannya, suatu negara berhak untuk menarik diri dari keikutsertaannya dalam suatu traktat jika negara itu meng hendakinya.

c) Sering suatu traktat harus mengalami perubahan atau penyesuaian-penyesuaian dalam hukum nasional. Jangka waktu antara penandatanganan dan ratifikasi itu memungkinkan negara-negara untuk mengeluarkan atau meminta persetujuan parlemen yang diperlukan, untuk kemudian dilakukan ratifikasi. Pertimbangan ini penting dalam kasus negara-negara federasi, di mana, jika perundang-undangan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan traktat berada dalam wewenang unit-unit anggota federasi itu, ketentuan-ketentuan traktat kemungkinan harus dikonsultasikan oleh pemerintah pusat sebelum traktat dapat diratifikasi.

d) Juga ada prinsip demokrasi yaitu bahwa pemerintah harus memperoleh pendapat umum baik di Parlemen atau dengan cara apapun tentang hal apakah suatu traktat harus disetujuinya atau tidak.

Wewenang untuk menolak ratifikasi dianggap melekat pada kedaulatan negara dan karena itu menurut hukum internasional tidak ada kewajiban hukum maupun kewajiban moral untuk meratifikasi suatu traktat. Lebih lanjut, tidak ada kewajiban selain dari hal kesopansantunan biasa untuk menyampaikan kepada negara-negara lain yang terkait mengenai suatu pernyataan alasan-alasan menolak ratifikasi.

5. Aksesi dan Adhesi

Dalam praktek, apabila suatu negara tidak menandatangani suatu traktat maka negara itu hanya dapat melakukan aksesi (accede) atau adhesi (adhere) pada traktat itu. Menurut praktek saat ini, suatu negara yang bukan penandatanganan juga dapat

mengaksesi atau mengadhesi sebelum traktat itu mulai berlaku. Beberapa penulis mengemukakan pembedaan antara aksesi (accession) dan adhesi (adhesion). Kadang-kadang dikemukakan bahwa aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi berupa penerimaan hanya atas sebagian dari traktat. Juga sebagian penulis menyatakan bahwa aksesi meliputi keikutsertaan dalam traktat dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian. Pembedaan-pembedaan yang dikemukakan ini pada umumnya tidak dukung oleh praktek negara-negara.

Istilah "aksesi" juga diterapkan pada penerimaan oleh suatu negara atas suatu perjanjian setelah sejumlah besar ratifikasi yang disyaratkan untuk mulai berlakunya

Istilah "aksesi" juga diterapkan pada penerimaan oleh suatu negara atas suatu perjanjian setelah sejumlah besar ratifikasi yang disyaratkan untuk mulai berlakunya