• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang sistematis dan mempermudah pemahaman, maka diperlukan penguraian yang teratur dan secara garis besar mengandung pokok-pokok dari setiap bab yang terangkai dalam karya ilmiah tersebut. Dalam sistematika penulisan ini terdapat ringkasan yang menunjukkan jawaban atas rumusan permasalahan agar lebih terarah menjadi satu kesatuan yang berkaitan. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab pertama menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini seperti alasan mengapa penelitian ini penting, kemudian persoalan apa yang muncul untuk dijadikan perumusan masalah diikuti dengan tujuan dan manfaat penulisan serta pernyataan keaslian penulisan, penjabaran tinjauan kepustakaan dan metode penulisan yang digunakan sampai kepada sistematika penulisan.

Bab kedua terdiri dari 3 subbab yang menguraikan hal-hal berkaitan dengan perjanjian internasional yaitu dimulai dari ruang lingkup perjanjian internasional, dilanjutkan dengan Perjanjian Internasional dalam Era Otonomi Daerah, dan kedudukan perjanjian kerjasama antar kota dalam bentuk kota bersaudara (Sister City) menurut perspektif hukum internsional sebagai bagian akhir dari bab ini

Dalam bab ketiga ini akan terdapat pembahasan mengenai mekanisme pembuatan suatu perjanjian internasional menurut lingkup hukum internasional dan hukum nasional serta diakhiri dengan membahas tata cara pembuatan perjanjian kerjasama antara kota medan dengan kota gwangju menurut hukum nasional dan internasional.

Bab keempat akan menjabarkan beberapa perjanjian kerjasama antar kota yang ada di Kota Medan serta hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antar kota dan diakhiri dengan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama kota bersaudara (Sister City) antara Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Gwangju.

Bab kelima yang merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini merupakan rangkuman intisari seluruh bab dari hasil penelitian yang sudah dilakukan sebagai bagian akhir dari skripsi. Dalam bab ini terdapat kesimpulan yang diikuti dengan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II

ASPEK PERJANJIAN INTERNASIONAL DARI KERJASAMA ANTAR KOTA

A. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional

Saling ketergantungan antara negara yang satu dengan negara yang lainnya dalam era global sekarang ini, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan.

Tidak ada satupun negara atau subyek hukum internasional yang tidak terikat oleh perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional adalah instrument yuridis yang menampung kehendak maupun tujuan bersama negara/subyek hukum internasional untuk mencapai tujuan tertentu.23

Hukum perjanjian internasional menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional antar negara. Perjanjian internasional juga berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerjasama internasional, peran perjanjian internasional dewasa ini dapat dikatakan menggantikan hukum kebiasaan internasional. Satu kelebihan perjanjian internasional dibandingkan dengan hukum kebiasaan adalah sifatnya tertulis, memudahkan dalam pembuktian dibandingkan dengan hukum kebiasaan yang tidak tertulis sehingga kadang cukup sulit untuk membuktikannya atau menemukannya.24

Hal tersebut disadari oleh masyarakat internasional dengan munculnya upaya-upaya untuk mengkodifikasikan kaidah-kaidah hukum internasional ke dalam perjanjian internasional seperti yang dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa (the League

23 Boermauna (ketua Tim Penyusun): Naskali Akademis Peraturan Perundang-perundangan Tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional, kerjasama BPHN dengan Departemen Luar Negeri, Jakarta,1979-1980, hlm.7

24 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.28.

of Nations) pada tahun 1924 dengan membentuk Komisi Ahli (Committee of Expert) berdasarkan Resolusi Majelis Liga Bangsa-bangsa tanggal 22 September 1924.25

Dengan dibubarkannya Liga Bangsa-Bangsa dan dilakukannya pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations, selanjutnya disebut sebagai PBB) pada tahun 1945 kembali menegaskan peranan perjanjian internasional dalam hukum internasional. Pasal 13 ayat (1) butir a Piagam PBB menyatakan maksudnya untuk mendorong pengembangan progresif hukum internasional dan pengkodifikasiannya.

Ketentuan tersebut mendorong dibentuknya Komisi Hukum Internasional (Internasional Law Commission) yang berhasil menyiapkan naskah-naskah konvensi dalam berbagai bidang hukum internasional seperti Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (Convention on the Law of the Sea), Konvensi tentang Hubungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations) 1961, Konvensi tentang Hubungan Konsuler (Convention on Consular Relations) 1963, Konvensi tentang Hukum Perjanjian (Convention on the Law of Treaties) 1969, dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional (Convention on the Law of Treaties between States and International Organisation and between International Organisation and International Organisation) 1986.26

Kedua konvensi yang disebutkan terakhir merupakan dua konvensi bersejarah yang memiliki arti penting dalam perkembangan perjanjian internasional sebagai hukum internasional, terutama Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 atau yang kita kenal sebagai Konvensi Wina 1969. Konvensi ini memiliki peranan yang penting mengingat substansi pembahasannya yang terkait dengan perjanjian

25 I Wayan Parthiana, Op.Cit.. hlm 3-4

26 Ibid., hlm. 5 – 6.

internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.

Perjanjian internasional yang dalam bahasa Inggris disebut Treaty. Pengertian yuridis perjanjian internasional dapat dilihat dalam Vienna Convention on The Law of Treaties tahun 1969 adalah :”An international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Bagi Konvensi Wina, Treaty mencakup semua perjanjian tanpa memperhatikan nama yang diberikan, asal yang dibuat oleh satu atau dua lebih negara-negara diatur oleh hukum internasional baik dalam instrument tunggal atau lebih dan dalam bentuk tertulis.27

Pengertian perjanjian internasional menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah dengan satu negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat publik.28

Menurut O’Connel, perjanjian internasional adalah an agree-ment between states, governed by international law as district form municipal law, the form and manner of which is material legal consequences of the act.29

Beberapa pengertian perjanjian internasional yang mengatakan bahwa perjanjian tidak hanya dibuat oleh negara, tetapi subyek hukum internasional yang lebih luas, Herman Mosler mengatakan :

27 Pasal 2 ayat 1 huruf a Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional

28 Pasal 1 ayat 1 dan Penjelasannya UU No.24 Tahun 2000, lihat juga pasal 1 ayat 3 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

29 O’connel DP : International Law, Volume I, Stevens, London : Stevens 1965, hlm.146

Treaties are contractual angangement between subject of international law destined to create rights and obligation for the parties.30

Demikian juga dikatakan oleh Malcom Show, A treaty is basically an agreement between parties on the international scene. Although may be concluded, or made, between states and international organization, they are primarily concerned with relation between state.

Sedangkan menurut Moctar Kusumaadmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian-perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek-subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.31

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus dipenuhi suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu:32

a. Kata sepakat,

b. Subyek-subyek hukum, c. Berbentuk tertulis,

d. Obyek tertentu internasional,

e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.

Akan tetapi mengingat hukum perjanjian internasional yang mengatur perjanjian antar negara berbeda atau diatur dalam bentuk yang berbeda dengan perjanjian antara negara dan organisasi internasional atau perjanjian antara organisasi

30 Herman Mosler : The International Society As A Legal Community, The Nederland: Sjnoff and Nor doff, 1980, hlm.95, bandingkan Maryan Green NA : International Law, Law of Peace, Second Edition, Mac Donald and Evans 1982

31 Mochtar Kusumaatmadja : Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Rosda Offset, Bandung 1982, hal.109-110 6 Malcom N Shaw: International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press 2003, hlm.811

32I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm, 14-17

dan organisasi internasional, akan lebih baik lagi jika pengertian perjanjian internasional tersebut di atas dibedakan lagi menjadi dua macam.

Pertama adalah perjanjian internasional antara negara dan negara, yaitu sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut :

Treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.

Perjanjian artinya suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum nasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.

Kedua adalah perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi intenasional, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986, sebagai berikut:

Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written form:

(i) between one or more States and one or international organisations; or (ii) between international organisations, whether that agreement is

embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.

Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis

(i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, atau

(ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.

Kedua macam pengertian perjanjian internasional tersebut mengandung unsur atau kualifikasi yang sama seperti kualifikasi perjanjian internasional sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hanya saja sesuai dengan masing-masing namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit. Dapat dikatakan bahwa kedua pengertian perjanjian internasional itu merupakan pemisahan dari pengertian perjanjian internasional berdasarkan pada subyek-subyek hukum yang dapat membuat ataupun dapat terikat pada suatu perjanjian. Selanjutnya, baiklah dibahas secara lebih mendalam masing-masing unsur atau kualifikasi perjanjian internasional itu.

a. Kata Sepakat

Kata sepakat adalah merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian, Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak aka nada perjanjian. Kata sepakat inilah yang dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal perjanjian. Pasal-pasal naskah perjanjian itulah mencerminkan kata sepakat dari para pihak

b. Subyek subyek hukum

Subyek-subyek hukum dalam hal ini adalah subyek-subyek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian-perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan

(negotiating states) adalah juga pihak-pihak yang terikat pada perianjian. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah yang bersifat umum, antara pihak-pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian internasional tersebut belum tentu sama. Tegasnya negara-negara yang terlibat secara aktif dalam proses perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian belum tentu akan menjadi pihak atau peserta pada perjanjian yang bersangkutan, misalnya karena negara itu tidak atau menolak menyatakan persetujuannya untuk terikat. Sedangkan negara-negara yang tidak terlibat dalam proses perundingan, boleh jadi akan menjadi pihak atau peserta pada perianjian yang bersangkutan oleh karena negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat.

Subyek-subyek hukum internasional yang dapat membuat atau terikat sebagai pihak pada suatu perjanjian internasional adalah negara (termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang bersangkutan memungkinkannya); tahta suci;

organisasi internasional; kaum belligerensi: dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.

c. Berbentuk tertulis

Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Ada pula perjanjian-perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.

Sedangkan tulisan atau huruf yang dipergunakan adalah huruf Latin, meskipun tidak dilarang menggunakan huruf lain, misalnya huruf resmi yang dianut pihak yang terikat pada perjanjian tersebut, seperti huruf Thailand, huruf Arab, huruf Cina, huruf Jepang, dan lain-lain. Dengan bentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya

ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juga bagi pihak ketiga yang mungkin pada suatu waktu tersangkut pada perjanjian itu.

d. Obyek tertentu

Obyek dari perjanjian internasional itu adalah obyek atau hal yang diatur di dalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung obyek tertentu. Tidak ada perjanjian yang tanpa obyek yang pasti. Obyek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut, misalnya konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut. Perjanjian tentang garis batas wilayah yang berarti obyeknya adalah garis batas wilayah dari para pihak; demikian pula perjanjian tentang kerjasama hukum; kerjasama ekonomi dan perdagangan;

kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi; dan lain-lain.

e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional

Tunduk yang dimaksudkan hukum internasional dalam hal ini adalah, baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum perjanjian internasional pada khususnya. Sebagaimana secara umum sudah dipahami, bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Demikian pula dari sejak perundingan untuk merumuskan naskah pejanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional maupun hukm perjanjian internasional. Hal ini menunjukkan atau mencirikan, bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional.

Dalam praktek hubungan antar negara perjanjian-perjanjian internasional mempunyai beberapa istilah, yaitu Treaty, Convention, Statute, Charter, Convertant, Agreement, Protocol, Arrangement, Declaration, dan lain sebagainya. Pada umumnya

bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa substansi/materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya. Penggunaan nama dan istilah perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak serta dampak politiknya bagi para pihak. Namun demikian secara yuridis perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak seperti yang tertuang dalam perjanjian tersebut.

Berikut beberapa penguraian singkat tentang pengertian dari beberapa istilah perjanjian-perjanjian internasional yang sudah umum dipergunakan yang dikutip dari Christine S.T Kansil33 :

a. Traktat (Treaty)

Istilah treaty dimengerti sebagai perjanjian internasional, yaitu mencakup seluruh perangkat/instrument yang dibuat oleh para subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional. Secara khusus, istilah treaty dikenal sebagai traktat.

Hingga saat ini, tidak terdapat pengaturan yang konsisten atas penggunaan terminology traktat tersebut. Umumnya, traktat digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil misalnya yang menyangkut persahabatan, perdamaian dan lain-lain tergantung dari kebiasaan masing-masing negara. Umumnya traktak memerlukan adanya pengesahan/ratifikasi.34

b. Konvensi (Convention)

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya

33 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta : Djambatan, 2002), hlm 46-50

34 Kholis Roisah, hukum perjanjian internasional; teori dan praktik, (Malang : Setara press, 2015), hlm.6

bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Istilah ini saat ini lebih banyak digunakan untuk perjanjian multilateral.

c. Protokol (protocol)

Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak seresmi traktat atau konvensi, dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini, protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.

d. Persetujuan (agreement)

Agreement atau persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Agreement lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi.

e. Proses Verbal (Process-Verbal)

Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik, atau dapat pula merupakan catatan suatu permufakatan.

f. Piagam (Statute)

Statute atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam juga digunakan sebagai alat tambahan pada konvensi untuk pelaksanaan suatu konvensi.

g. Deklarasi (declaration)

Deklarasi adalah perjanjian internasional yang adakalanya berbentuk traktat, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi.

h. Modus vivendi

Modus vivendi biasa digunakan sebagai instrument kesepakatan yang bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen.35

i. Pertukaran nota

Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi, namun belakangan ini banyak digunakan. Negera-negara yang melakukannya mengakui adanya kewajiban yang mengikat akibat pertukaran nota itu. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.

j. Ketentuan penutup (final act)

Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam suatu dokumen yang disebut “Ketentuan Penutup”.

k. Ketentuan umum (general act)

Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional.

35 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; kajian teori dan praktik Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010) hlm.45

l. Charter

charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.

m. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) Memorandum saling pengertian atau MoU pada prakteknya dapat merupakan perjanjian yang sifatnya kesepakatan dasar atau induk dan perjanjian yang bersifat implementatif.36

Perjanjian internasional pada dasarnya terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu yang tidak tertulis atau perjanjian internasional lisan (unwritten agreement or oral agreement) dan perjanjian internasional tertulis (written agreement).37 Sebagaimana I Wayan Parthiana menjelaskan bahwa perjanjian internasional tidak tertulis adalah :

“... pada umumnya adalah pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintah ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya masing- masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak... pernyataan sepihak oleh pejabat negara ... yang diterima secara positif oleh pejabat atau organ pemerintahan negara lain..”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional dengan jenis ini merupakan perjanjian yang non-formal, berbeda dengan perjanjian tertulis, di mana perjanjian terjadi akibat pernyataan verbal perwakilan negara terhadap perwakilan negara lainnya.38

36 Kholis Roisah, op.cit , hlm.11

37 I Wayan Parthiana, op.cit., hlm, 35

38 Contoh bentuk perjanjian ini adalah ucapan Presiden Philipina Ferdinand E. Marcos dalam sidang Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kualalumpur pada tanggal 8 Agustus 1977 yang menyatakan bahwa sejak saat itu Philipina mencabut klaimnya atas Sabah dan mengakui Sabah sebagai bagian dari wilayah Malaysia, dikutip dari I Wayan Parthiana, Ibid., hlm. 36.

Berbeda dengan bentuk sebelumnya, perjanjian internasional yang tertulis adalah perjanjian yang merupakan bentuk perjanjian yang secara umum digunakan dalam hukum internasional dan praktik hubungan diplomatik setiap negara di dunia.

Perjanjian internasional yang berbentuk tertulis mendominasi hukum internasional maupun hubungan-hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena memang perjanjian internasional yang berbentuk tertulis ini memiliki beberapa keunggulan seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum. Perjanjian ini dapat dibedakan ke dalam beberapa macam diantaranya39 :

1. Perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu : a. Perjanjian antar negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya

banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan saling klasik.

b. Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional atau dengan vatikan.

c. Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain, misalnya negara-negara yang tergabung dalam ACP (African, Carriban and Pacific) dengan MEE.

2. Perjanjian dilihat dari para pihak yang membuatnya. Penggolongan perjanjian ini dibedakan dalam dua macam yaitu :

a. Perjanjian bilateral, suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak. Misalnya perjanjian mengenai batas negara.

39 Rosmi Hasibuan, Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional, USU digital library : 2002, (diakses tanggal 8 desember 2017 16:20)

b. Perjanjian multilateral, merupakan perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag) dimana hal-hal yang diaturnya pun lajimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian “law making treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum 3. Perjanjian ditinjau dari bentuknya, yaitu :

a. Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari perjanjian disebut “High Contracting State (pihak peserta Agung)”.

Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada

Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada