• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kontrol Sosial Perilaku Remaja Berisiko Penyalahgunaan Napza di Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kontrol Sosial Perilaku Remaja Berisiko Penyalahgunaan Napza di Sekolah"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

MODEL KONTROL SOSIAL PERILAKU REMAJA BERISIKO

PENYALAHGUNAAN NAPZA DI SEKOLAH

Eny Purwandari, S.Psi.,M.Si.

NIDN. 06-1507-7501

Dibiayai oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor: 007/K6/KL/SP/PENELITIAN/2014, tanggal 8 Mei 2014

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)

iii

masyarakat. Kompleksitas masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor individu, keluarga, teman sebaya di sekolah, dan di komunitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji model kontrol sosial yang menunjukkan keterkaitan antara faktor-faktor eksternal, yang terdiri dari komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan teman sebaya, keterlibatan kegiatan waktu luang, juga perilaku merokok terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja

Subjek terdiri dari 241 remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA yang memiliki orang tua lengkap dan aktif sebagai siswa di tahun ajaran 2013/2104. Model teoritis yang dibangun untuk menguji model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahguna NAPZA menggunakan structural equation modeling (SEM).

Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1) kesamaan antara model teoritik dan empirik bahwa model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dapat dijelaskan dari faktor-faktor eksternal yang terdiri dari komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok, 2) perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA muncul karena kontrol sosial lemah; 3) komitmen sekolah mampu mengontrol keterlibatan kegiatan waktu luang remaja, 4) pembeda antara remaja yang berisiko dan yang tidak berisiko penyalahgunaan NAPZA terletak pada keterlibatan kegiatan waktu luang dan perilaku merokok, 5) risk factor adalah keterlibatan kegiatan waktu luang dan perilaku merokok, sedangkan protective factor adalah komitmen sekolah,

(4)

iv PRAKATA

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia tak terhingga pada

kita semua. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah pada Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada rasa syukur dari seorang peneliti melebihi saat

terselesainya tugas yang telah direncanakan. Alhamdulillah, selesainya sebuah penelitian selalu menjadi awal kerja keras penelitian-penelitian berikutnya yang sudah menanti. Insya Allah. Amin.

Penelitian tentang penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu penelitian yang berat. Berat dalam arti tingkat kompleksitas fenomena yang diteliti tidak hanya semata-mata pada subjek yang bersangkutan saja, tetapi juga terkait dengan pihak-pihak lain yang banyak berhubungan dengan mereka, seperti keluarga, sekolah, pertemanan, dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu terselesaikannya penelitian ini merupakan buah kerjasama tim yang solid. Dengan demikian perlu kiranya peneliti mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terima kasih pada pihak-pihak terkait yang tidak dapat kami sebut satu persatu.

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam hal ini Lembaga Penelitian

dan Pengabdian Masyarakat yang telah memfasilitasi penelitian.

2. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen dan Kepala Kankemenag Kabupaten

Sragen yang telah memberi perijinan untuk mengambil data di wilayah Sragen. 3. Kepala sekolah dan Bapak Ibu Guru di 13 sekolah, yang telah memberi ijin dan

bapak ibu guru yang membantu proses pengambilan data dalam penelitian.

4. Adik-adik SMA di 13 sekolah yang sudah bersedia untuk berpastisipasi dalam penelitian ini di tengah-tengah persiapan ujian kenaikan kelas.

5. Teman-teman tim peneliti PDS3 Erina Rahmadjati, Mahasri, Afi, Ida, Anggi,

Zulfa, Hesti, Faruq, Tomi, Farhan, Nanik, Laela, Aroasih, Herlina, Adi, Farida, yang telah membantu terlaksananya penelitian.

Surakarta, November 2014

(5)

v

A. Kategori penyalahgunaan NAPZA………...

B. Pengertian Risiko ...

C. Teori Perilaku Risiko Penyalahgunaan NAPZA ...

(6)

vi

D. Pengukuran ………..……….

E. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ….………

F. Analisis Data ………

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...

A. Deskripsi Subjek …..………...

B. Analisis Faktor Konfirmatori dan Reliabilitas Konstruk ..……….

C. Hasil Analisis ………..

D. Pembahasan ………..

BAB V. KESIMPILAN DAN SARAN ….………..

A. Kesimpulan………

B. Saran………..

DAFTAR PUSTAKA………

30

47

49

55

55

59

61

64

69

69

70

(7)

vii

1. Tabel 1. Konstruksi model teori kontrol sosial dari Hirschi (1969,

2002) ………..………

2. Tabel 2. Rincian jumlah siswa untuk tiap sekolah ………

3. Tabel 3. Spesifikasi Skala Risiko Penyalahgunaan NAPZA (Catatan Diri) Uji CVI ……….………….…….

4. Tabel 4. Spesifikasi Skala Kelekatan Teman Sebaya Uji CVI …….

5. Tabel 5. Spesifikasi Skala Komitmen Sekolah Uji CVI ..………….

6. Tabel 6. Spesifikasi Skala Keyakinan adanya Aturan Uji CVI …..

7. Tabel 7. Spesifikasi Skala Keterlibatan Mengisi Waktu Luang Uji

CVI ………..

8. Tabel 8. Spesifikasi DAST (Skala Refleksi Diri) Uji CVI ………..

9. Tabel 9. Daya Beda Aitem & Reliabilitas DAST (Drug Abused Screening Test, atau Skala Refleksi Pengalaman) ……….

10. Tabel 10. Hasil Uji Daya Beda Aitem Skala Risiko Penyalahgunaan NAPZA (Catatan Diri, Catatan Diri Temanku, Dan

15. Tabel 15. Karakteristik Subjek Berisiko Penyalahguna NAPZA (N =

(8)

viii

18. Tabel 18. Hasil uji konfirmatori model perilaku risiko

penyalahgunaan lengkap ………..………….

19. Tabel 19. Estimasi pengaruh langsung antar variable ……….

63

(9)

ix

2. Gambar 2. Model Pengukuran Fit Konstruk Kelekatan Teman

Sebaya……….

3. Gambar 3. Model Pengukuran Fit Konstruk Komitmen

Sekolah………

4. Gambar 4. Model Pengukuran Fit Konstruk Keyakinan Andanya

Aturan………..

5. Gambar 5. Model Pengukuran Fit Konstruk Keterlibatan Mengisi

Waktu Luang………

6. Gambar 6. Model alur pikir perilaku risiko penyalahgunaan

NAPZA……….

7. Gambar 7. Analisis konfirmatori faktor ………..

8. Gambar 8. Model Struktural Perilaku Remaja Berisiko

Penyalahgunaan NAPZA………

43

44

45

46

51

60

(10)

x

DAFTAR GRAFIK

Halaman

1. Grafik 1. Kategori perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA………….

2. Grafik 2. Kategori kelekatan teman sebaya………

3. Grafik 3. Kategori komitmen sekolah……….

4. Grafik 4. Kategori keyakinan aturan luar………

5. Grafik 5. Kategori keterlibatan kegiatan waktu luang……….

6. Grafik 6. Kategori perilaku merokok……….

57

57

58

58

59

(11)

xi

Napza ………...

2. Model Pengukuran Fit Skala Kelekatan Teman Sebaya ………..

3. Model Pengukuran Fit Skala Komitmen Sekolah ……….

4. Model Pengukuran Fit Skala Keyakinan Adanya Aturan Luar ……….

5. Uji Model Pengukuran Fit Skala Keterlibatan Mengisi Waktu

Luang ………

6. Daya Beda Aitem Dan Reliabilitas ……….

7. Uji Daya Beda Aitem Dan Reliabilitas Setelah Confirmatory Factor

Analysis (CFA) ……….

8. Model Konfirmatori Secara Struktural ……….

9. Model Kontrol Sosial Setting Sekolah ……….

86

90

94

98

102

106

120

124

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus penyalahgunaan NAPZA menjadi pemberitaan setiap hari yang menunjukkan peningkatan secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas ditunjukkan oleh hasil survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai badan pemerintah setingkat menteri, pada tahun 1997 – 2008 mengalami kenaikan sebesar 50,1% pertahun, prevalensi 2,8% (http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/ konten.php?nama=DataKasus&op=detail_data_kasus&id=30&mn=2&smn=e). Survei tersebut dilakukan pada tahun 2009, dengan pengklasifikasian narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Hasil survei pada tahu 2010 sudah mencapai angka 1,99% dan prediksi pada tahun 2015 mencapai 2,8% dari jumlah penduduk. Apabila

dilihat secara kualitas, kejadian penyalahgunaan NAPZA sudah sangat rapi dan terintegrasi dalam sebuah sistem, yang membutuhkan sistem pula untuk memberantas.

Korban penyalahgunaan NAPZA saat ini usianya beragam. Delapan puluh persen dari penyalahguna NAPZA adalah usia sekolah, SLTP dan SLTA (http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=DataKasus&op=detail_d ata_kasus&id=30&mn=2&smn=e). Apabila dilihat berdasarkan usia dan masa depan yang akan terus dijalani oleh remaja, menunjukkan kekhawatiran. Pada usia tersebut, seseorang berada pada badai dan topan. Secara lebih terperinci data penyalahgunaan NAPZA yang dituliskan oleh http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?

(13)

Sekolah pada saat ini merupakan rumah kedua bagi anak. Apabila dilihat berdasarkan waktu yang dihabiskan di sekolah hampir seimbang antara di rumah dan sekolah. Kurang lebih 7 – 10 jam waktu anak dihabiskan di sekolah (proses belajar mengajar dan kegiatan ekstra-kurikuler), waktu tidur kurang lebih 6 jam, sisanya waktu anak di rumah dalam kondisi tersadar (kurang lebih 8 jam). Oleh karena itu sekolah mempunyai peranan terhadap perilaku anak. Apabila dalam lingkungan sekolah terdapat kejadian penyalahgunaan NAPZA, maka perlu dikaji sekolah sebagai kontrol sosial dalam memerankan fungsinya.

Di sekolah, terdapat komponen yang membentuk organisasional, yaitu murid, guru, karyawan, aturan sekolah, iklim sekolah, dan kegiatan sekolah.. Komponen-komponen tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Keterkaitan yang terbentuk dari kelekatan dengan guru dan teman sebaya di sekolah, komitmen terhadap sekolah, keterlibatan murid dan guru dalam aktifitas kewajibannya, serta keyakinan adanya aturan yang ada. Social Control Theory (SCT) yang dikemukakan oleh Travis Hirschi akan dipakai dalam mengkaji fenomena perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA dalam setting sekolah. Keempat elemen yang terdapat di dalam SCT yaitu,

kelekatan, komitmen, keterlibatan, dan keyakinan akan dikaji lebih detil dalam model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA.

B. Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan model yang fit kelekatan guru-murid, kelekatan teman sekolah, komitmen dengan kegiatan sekolah, keterlibatan kegiatan ekstrakurikuler, dan keyakinan adanya aturan dengan perilaku risiko tinggi penyalahgunaan NAPZA berdasarkan kajian Social Control Theory

dengan data empiris yang diperoleh.

Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka akan diturunkan dalam tujuan khusus, yaitu:

1. Mengetahui seberapa besar pengaruh langsung dan tidak langsung kelekatan

(14)

3

2. Mengetahui perbedaan pengaruh kelekatan guru murid, kelekatan dengan

teman, komitmen, keterlibatan, dan keyakinan adanya aturan dilihat berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui perbedaan pengaruh kelekatan guru murid, kelekatan dengan

teman, komitmen, keterlibatan, dan keyakinan adanya aturan dilihat berdasarkan wilayah, urban dan rural.

C. Urgensi Penelitian

Penelitian penyalahgunaan NAPZA sudah banyak dikaji, bahkan terdapat sebuah lembaga pemerintah yang khusus menangani masalah tersebut, yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dibentuk secara resmi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2002, pada tanggal 22 Maret. Jadi sudah terbentuk hampir 10 tahun. Namun jumlah penyalahgunaan NAPZA menunjukkan angka peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa BNN perlu melibatkan berbagai pihak/sektor untuk menekan laju pertambahannya.

BNN selama ini sudah bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk menghambat suplay atau ketersediaan barang. Hal ini menunjukkan prestasi yang

luar biasa. Berdasarkan hukum ekonomi apabila permintaan tinggi (dalam hal ini terus meningkatnya jumlah pemakai NAPZA), apabila ketersediaan barang rendah, maka harga akan naik. Apabila harga barang tinggi, anak usia sekolah akan sulit menjangkau, sehingga akan mampu mengurangi perluasan pemakaianNAPZA. Namun yang terjadi justru semakin bertambahnya jumlah pemakai NAPZA pada usia sekolah tersebut. Oleh karena itu melibatkan sektor strategis sangat diperlukan, selain kepolisian, yang dekat dengan anak adalah sekolah.

(15)

dengan prosentase tinggi usia SLTP dan SLTA. Apa yang terjadi dengan anak ketika di sekolah? Mengapa bisa terjadi demikian?

Sekolah sebagai sebuah lembaga tempat berkumpulnya individu dengan struktur dan sistem tertentu. Oleh karena itu akan dapat dilihat iklim yang terjadi, yang berkaitan dengan semua elemen yang terlibat di dalamnya. Beberapa penelitian di Amerika menyatakan bahwa iklim sekolah mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung pada munculnya perilaku berisiko, seperti merokok, minuman beralkohol, penyalahgunaan NAPZA, tawuran, kriminal dengan persenjataan (Catalano, dkk., 2004; Coker and Borders 2001; Kuperminc, dkk., 1997, 2001; Loukas and Robinson 2004; Maddox and Prinz 2003; Roeser and Eccles 1998; Roeser dkk., 2000; Simons-Morton, dkk., 1999; Welsh 2001, dalam LaRusso, dkk., 2007).

Fenomena tersebut secara fakta juga sudah terjadi di lingkungan kita. Pemberitaan media masa, baik cetak,maupun elektronik hampir setiap hari menjadi

top issue. Namun belum ada kajian mendalam tentang kontrol sosial di sekolah pada

(16)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kategori penyalahgunaan NAPZA

Jenis NAPZA pada http://www.ncert.nic.in/programmes/aep/pdfs/ menyebutkan lima kategori, yaitu : 1) yang diterima secara sosial, seperti kafein, alkohol, nikotin, 2) penenang, seperti barbiturate, analgesic, anabolic steroid; 3) solvent, seperti lem, bensin, benzene, iodex, tinta; 4) obat bebas, seperti campuran obat batuk, aspirin, gutka, liquor, dan 5) illegal, seperti : heroin, kokain, marijuana, dan ganja. Poin 1, 3, dan 4 juga sesuai dengan budaya Indonesia. Rokok dan minuman keras lebih mudah diterima masyarakat, solvent juga mudah didapatkan, serta obat bebas biasanya dengan dilakukan

peng”oplosan”.

Jenis obat-obat terlarang menurut National Institute on Drug Abuse (NIDA dikutip dari http://www.drugabuse.gov/drugs-abuse) yaitu : alkohol,

club drug (yaitu yang biasa dikonsumsi ketika di klub malam, pesta, atau tempat-tempat hiburan), kokain, fentany, heroin, inhalant, LSD, marijuana, MDMA, methamphetamine, PCP, prescription drug, steroids, dan nikotin. Jenis-jenis tersebut sama dengan yang disebutkan oleh DSM-5 (APA, 2013).

NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk didal

amnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim dan petugas Pemasyarakatan. Pada tulisan ini memakai istilah NAPZA, dimana masing-masing kategori dari narkotika psikotropika, dan zat psikoaktif mempunyai berbagai jenis.

(17)

kokain, morfin, opium, MDMA/ekstasi, LSD dan STP. Sedangkan golongan II dan III pada narkotika (benzetidin, betametadol, petidin dan turunannya, kodein dan turunannya, metadon, naltrexon) dan golongan II, III, dan IV pada psikotropika (amfetamin, metilfenidat atau ritalin , lumibal, buprenorsina, pentobarbital, Flunitrazepam, nitrazepam (BK,mogadon, dumolid), diazepam ) boleh digunakan dalam pengobatan. Pada konsumsi jenis zat adiktif seperti rokok, minum-minuman keras, lem, tinner, cat, bensin akan menimbulkan adiktif (www.bnn.go.id/portal/). Konsumsi zat adiktif ini sebagai pintu gerbang pada penyalahgunaan narkotika dan psikotropika (Scheier, et al., 2001; Siebenbruner, et al, 2006).

Cooper, et al. (2009) dalam risetnya membagi tiga jenis NAPZA ke dalam soft drug yang terdiri dari pot, halusinogen, amphetamine, barbiturate;

hard drug yang terdiri dari heroin, kokain, crack; dan alkohol. Sedangkan Dishion, et al. (1999); Sobeck, et al (2000); Bahr, et al. (2005); Rumpold, et al. (2006); Mayberry, et al. (2009) disebut penyalahgunaan NAPZA, apabila

remaja sudah mengkonsumsi jenis alkohol, dan/atau rokok, dan/atau marijuana, dimana marijuana tergolong pada jenis illicit. Banyaknya jenis NAPZA akan

berkaitan erat dengan efek dari jenisnya masing-masing. Oleh karena itu penyalahgunaan jenis NAPZA menjadi kriteria yang ditentukan terlebih dahulu.

Jenis-jenis NAPZA dari hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kesamaan, namun pengkategorian dan pengelompokan berbeda-beda, tergantung berdasarkan negara atau lembaga yang membuat pengelompokan, misalnya NIDA, SAMSHA, dan BNN. Pada kajian ini jenis-jenisnya dikelompokkan menjadi tiga golongan, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Disebut sebagai penyalahgunaan NAPZA apabila mengkonsumsi satu jenis atau lebih.

(18)

7

Terdapat 4 kelompok, yaitu : (a) abstainers, kelompok yang tidak menggunakan NAPZA, (b) experimenters, penggunaan alkohol/ganja sesekali, namun tidak memakai obat lain yang tergolong lebih keras selama 6 bulan terakhir, (c) at risk, penggunaan alkohol, ganja, dan atau jenis obat-obat yang tergolong lebih keras, juga sudah menunjukkan satu symptom gangguan penyalahgunaan NAPZA (substance ude disorder/SUD). Frekuensi penggunaan NAPZA ini selama 6 bulan terakhir, dan (d) abusers, penggunaan NAPZA sudah menunjukkan masalah dan beberapa symptom gangguan penyalahgunaan NAPZA, seperti adiksi, tolerance atau withdrawl. Pada penelitian longitudinalnya ini diperoleh kejadian penyalahgunaan NAPZA dengan kategori tidak memakai 10,8%, mulai coba-coba 36,9%, dalam resiko 35,8%, dan pemakai 16,5%. Dengan kata lain berdasarkan data tersebut kurang lebih 70% remaja beresiko terhadap penyalahgunaan NAPZA. Jumlah yang besar pada bentuk penyimpangan perilaku.

Zapert, et al. (2002) menyatakan kejadian penyalahgunaan NAPZA

adalah klasifikasi pengelompokkan berdasarkan jenis konsumsi, yaitu tembakau, alkohol, ganja, LSD. amphetamine, barbiturates, heroin, inhalants

atau kokain dan usia pemakaian, mulai level 6-7, level 8-9, dan 10-11 (remaja awal – remaja akhir). Kejadian penyalahgunaan NAPZA terbagi menjadi 6 kelompok sebagai berikut : a) nonusers (34,4%), adalah kelompok yang tidak mengindikasikan pemakaian NAPZA; b) alcohol experimenters (25,3%), adalah kelompok yang menunjukkan konsumsi alkohol dalam taraf sedang pada level 6-7 dan menunjukkan peningkatan pada level selanjutnya. Konsumsi alkohol yang semula hanya beberapa kali dalam setahun, menjadi lebih sering beberapa kali dalam sebulan; c) low escalators (5,2%), kelompok yang menunjukkan peningkatan pemakaian NAPZA pada usia remaja akhir. Konsumsi alkohol dan tobacco beberapa kali dalam sebulan dan ganja beberapa kali dalam setahun; d)

(19)

ganja dan obat-obat yang tergolong lebih keras pada level 6-7 sampai 10-11; dan f) high escalators (8,3%), kelompok yang menunjukkan peningkatan secara tajam konsumsi rokok, alkohol, dan ganja, beberapa kali dalam seminggu dan penggunaan obat-obatan yang tergolong lebih keras beberapa kali dalam sebulan.

Kejadian penyalahgunaan NAPZA menurut hasil survei berdasarkan

cohort yang dilakukan oleh Wills, et al. (1996) mengidentifikasikan adanya kelompok tidak pemakai NAPZA (nonusers), minimal experimenters, late staters, dan escalators. Yang membedakan pada masing-masing kelompok kejadian penyalahgunaan NAPZA adalah kehidupan yang stress, koping yang nonadaptif, sikap yang kurang baik, orang tua dan teman yang menyalahgunakan NAPZA.

Kejadian penyalahgunaan NAPZA pada usia remaja merupakan sebuah

proses. Proses ini disampaikan oleh Kandel’s dalam penelitiannya yang dimulai pada tahun 1975 (dikutip dari Scheier, et al., 2001) yang menyatakan bahwa penyalahgunaan NAPZA dimulai dari konsumsi alkohol (meliputi beer dan anggur), merokok atau minum-minuman keras, diikuti oleh konsumsi ganja dan

zat-zat yang lebih keras lainnya (pills, heroin, kokain,dan psikotropik, seperti LSD). Dikuatkan oleh Sobeck, et al. (2000) membagi menjadi tiga, yaitu tidak memakai, pemakai awal/berisiko, pemakai.

(20)

9

bulan terakhir, dan c) berat (high, 18,4%), apabila individu merokok mencapai ½ pak/hari dan 10 kali/hari konsumsi alkohol dan atau ganja.

Berdasarkan usia kemunculannya yang terukur secara longitudinal, pada usia level 7-8 dan level 11, yaitu : a) tidak memakai (nonusers, 36%), tidak menunjukkan pemakaian NAPZA pada usia level 7-8 sampai level 11; b) inisiator (initiators, 21,8%), apabila pada usia level 7-8 tidak menunjukkan sebagai pemakai, namun pada usia level 11 menunjukkan pemakaian NAPZA;

c) desistors, menunjukkan angka 13,5%, merupakan individu yang

menunjukkan gejala memakai NAPZA pada usia level 7-8 dan berhenti pada usia level 11; d) pemakai (users, 27,9%), individu yang menunjukkan pemakaian NAPZA pada usia level 7-8, dan sebagai pemakai tetap pada usia level 11.

Berdasarkan paparan di atas kategori kejadian penyalahgunaan NAPZA dapat dilihat berdasarkan frekuensi, jenis NAPZA yang dipakai, dan usia kemunculan. Penyalahgunaan NAPZA merupakan sebuah tahapan perilaku, dari mulai yang tidak memakai, ringan sampai yang berat. Tahapan yang lebih mudah dipahami dalam tulisan ini adalah tidak memakai NAPZA, berisiko

menyalahgunakan NAPZA dan pemakai NAPZA. Kategori tidak menyalahgunakan NAPZA apabila dalam 6 bulan terakhir sama sekali tidak menunjukkan perilaku pemakaian jenis NAPZA apapun. Risiko penyalahgunaan NAPZA apabila dalam 30 hari terakhir menunjukkan perilaku rokok dan atau minuman-minuman keras (McNally, et al., 2003). Sedangkan pemakai NAPZA apabila 6 bulan terakhir sudah mengkonsumsi jenis narkotika dan psikotropika.

B. Pengertian Risiko

(21)

tahapan menuju pada suatu tahapan yang lebih berbahaya, dan beberapa cara untuk mencapai hasil.

Risiko yang berbentuk peluang seperti paparan sebelumnya dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak sesederhana itu. Risiko juga melibatkan kepribadian dan sosial. Kecenderungan seseorang untuk mencari dan menghindari peluang dalam konteks risiko berkaitan dengan karakterisitik kepribadian, situasional, dan pengaruh kelompok (Cohen & Hansel, 1956; Kogan & Wallach, 1964, 1967, dan Slovic, 1965 dikutip dari Pollatsex & Trevrsky,1970).

Menurut Slovic & Peter (2006) menyatakan bahwa risiko adalah proses memahami dan bertindak yang berdasarkan pada dua konsep, yaitu : (1) proses penilaian yang mengacu pada naluri individu dan reaksi terhadap sesuatu yang berbahaya, dan (2) penilaian berdasarkan berpikir logis, rasional, dan ilmiah yang berdasar pada manajemen risiko. Namun hampir semua peristiwa kehidupan menguatkan bahwa risiko adalah reaksi individu yang cepat dan otomatis yang berasal dari pengalaman yang tersimpan di dalam pola pikiran.

Finucane, Alhakami, Slovic, & Johnson (2000); Taylor-Gooby & Zinn (2006) dalam studinya membuat sebuah formula mengenai risiko, pengalaman

yang tersimpan dan keuntungan. Formula tersebut dapat tergambar pada alur sebagai berikut :

A. Informasi “Keuntungan tinggi” -- Afeksi positif -- Risiko rendah B. Informasi “Risiko rendah” -- Afeksi positif -- Keuntungan tinggi C. Informasi “Keuntungan rendah” -- Afeksi negatif -- Risiko tinggi D. Informasi “Risiko tinggi” -- Afeksi negatif -- keuntungan rendah

Hasil dari studi ini adalah persepsi terhadap risiko hampir sama dengan hallo effect, yaitu kecenderungan penilaian yang konsisten, penilaian keseluruhan dari objek, baik positif maupun negatif.

(22)

11

penilaian bahwa jika seorang remaja bisa menghindar dari perilaku penyalahgunaan NAPZA dengan alasan bahwa keuntungannya akan lebih baik menghindar,diyakini dari pengalaman yang diperoleh (minimal dari informasi), maka akan menurukan risiko. Dan sebaliknya, apabila menghindari NAPZA badan menjadi tidak nyaman, dengan afeksi yang negatif, maka akan meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA.

Perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan remaja apabila mencermati DSM-5 (APA, 2013) berada di kategori ringan, dari ke-11 kriteria yang muncul 2-3. Standar lain untuk mengklasifikasikan berisiko dan tidak berisiko penyalahgunaan NAPZA dengan Drug Abused Screening Test (DAST). DAST mempunyai beberapa versi, yaitu DAST-10, DAST-20, dan DAST-28 (Yudko, Lozkhina, & Fouts, 2007).

Berdasarkan paparan tentang risiko, maka untuk penilaian perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA menggunakan standar yang sudah ditetapkan yaitu dengan Drug Abused Screening Test (DAST)-10 yang dimodifikasi. Pada pengisian DAST berdasarkan persepsi remaja terhadap pengalaman mengenai obat. DAST digunakan di dalam seleksi awal pemilihan subjek berisiko.

Sedangkan risiko penyalahgunaan NAPZA pada pola keterkaitan kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-ayah-anak,komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok menggunakan standar yang berupa ciri-ciri perilaku yang tampak di sekolah yang dinilai oleh teman dan guru kelas.

C. Teori Perilaku Risiko Penyalahgunaan NAPZA

Fenomena perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA banyak dikaji dengan berbagai teori. Social control theory oleh Travis Hirschi pada tahun 1969 yang dipakai dalam penelitian Bahr, et al. (2005); Begue & Roche. (2008); Chriss (2007); Durkin, et al. (1999); Giodarno (2012); Krohn & Massey (1980); Lin & Dembo (2008); Liska & Reed (1985); Marcos, et al. (1986); Nakhaie, et al.

(23)

1977, yang dipakai dalam penelitian Akers & Lee (1996); Akers & Lee (1999); Akers, et al. (1979); Cooper, et al. (2009); Dielman, et al. (1987); Ingram, et al.

(2007); Kaplow, et al. (2002); Kuntsche & Stewart (2009); Lee, et al. (2004);

social ecological theory oleh Urie Bronfrennbrener pada tahun 1979 yang dipakai dalam penelitian DeWit, et al. (2000); Dishion, et al (1999); Lopez, et al.

(2010); Noyori-Corbett & Moon (2010).

Kajian Hirschi mengenai teori kontrol sosial dimulai sejak awal tahun 1900-an. Dikenal juga sebagai teori bonding sosial yang dikemukakan pertama kali oleh Travis Hirschi pada tahun 1969 sebagai paradigma utama dalam kajian kriminologi modern. Secara histori Hirschi sangat prihatin dengan kondisi Amerika dengan meledaknya jumlah penduduk dan iklim politik yang berpengaruh pada kondisi sosial, khususnya perilaku kriminal. Pencetus lainnya adalah pindahnya Hirschi dari Utah ke San Fransisco. Ia mengalami cultural shock, yang terbiasa dengan kehidupan di daerah pedesaan pindah ke kota. Hirschi menganggap bahwa di San Fransisco kondisinya sudah di luar kontrol

(Hirschi, 1969). Kondisi tersebut, pada saat ini asumsinya sedang terjadi di Indonesia. Iklim sosial dan politik sudah berada pada kondisi di luar kontrol,

sehingga banyak bentuk penyimpangan perilaku.

TKS pada dasarnya merupakan penyempurnaan gagasan Durkheim (1951, dikutip dari Chriss, 2007) bahwa seseorang lebih cenderung untuk menyimpang perilakunya ketika mereka masuk dalam hubungan kelompok kurang baik. Semakin melemahnya kelompok yang menjadi tempat bergabungnya seseorang, semakin sedikit ia tergantung pada kelompok tersebut. Kondisi ini menjadikan seseorang bergantung pada dirinya sendiri dan mengakui ada aturan lain yang mengarahkan pada kepentingan bersama.

(24)

13

cara agar terhindar dari tekanan sosial tersebut (Merton, 1938 dikutip dari Regoli & Hewitt, 2003). Selain itu adanya teori asosiasi diferensial, yang menyatakan bahwa perilaku kriminal itu dapat dipelajari, khusunya dari teman (Marcos, et al., 1986; Bahr, et al., 2005).

Hirschi menyampaikan premis yang berbeda, yaitu bahwa pada dasarnya manusia dimulai sejak lahir, memiliki drive hedonistik untuk bertindak secara egois dan agresif yang mengarah pada perilaku kriminal. Namun Hirschi juga berpendapat bahwa secara pembawaan pula terdapat bagian individu yang mampu mengendalikan kondisi yang mendesak (Hirschi, 1969). Dan untuk pertama kali pada tahun 1969 itulah Hirschi mengemukakan teorinya dengan

pertanyaan kepada pelaku kriminal dan kenakalan “mengapa melakukannya”.

Berdasarkan pertanyaan tersebut, Hirschi (2002) dengan TKS mampu

mengarahkan pada keingintahuan ”mengapa seseorang tidak melakukan perilaku

tersebut” (melakukan dan tidak melakukan merupakan sebuah pasangan). Jadi

seseorang yang kuat kontrol sosialnya akan cenderung tidak terlibat pada perilaku antisosial (Young & Bucklen, 2011). Kontrol tersebut dapat berupa bentuk prososial pada nilai-nilai hidup, prososial dengan orang lain, dan

prososial dengan lembaga.

(25)

yang bersifat konvensional. Penekanan TKS ini adalah faktor eksternal pada remaja resiko penyalahgunaan NAPZA dengan fokus dimensi dalam TKS.

Hirschi (1969) menunjukkan bahwa orang-orang lebih terikat untuk menjadi bagian dari masyarakat, semakin percaya pada nilai-nilai masyarakat, dan banyak waktu terlibat dalam kegiatan masyarakat, maka semakin kecil kemungkinan mereka menyimpang. Pengujian teori telah menghasilkan bermacam-macam hasil kajian mendukung atau mengkritik, misalnya kaitan

locus of control dengan rasa bersalah (Hindelang 1973), ketaatan pada referendum (Hagan & Simpson 1977), model kenakalan (Wiatrowski, et al.,

1981), dukungan teori asosiasi diferensial terhadap TKS (Matsueda 1982), penyanggahan TKS, karena lebih cocok dengan teori belajar sosial atau asosiasi differensial (Thompson, Mitchell, & Dodder 1984), penambahan kontrol diri (Greenberg 1985), menguatkan TKS (Fried & Rosenbaum 1988), integrasi TKS dengan kontrol diri (LaGrange dan Silverman 1999); pentingnya TKS (Geis 2000), integrasi kontrol sosial dengn kontrol diri ((Marcus 2004; Nakhaie,

Silverman, & LaCrange. 2000).

Kontrol sosial dalam penelitian Bahr, et al (2005); Booth, et al (2008);

Chapple, McQuillan, & Berdahl, (2005); Chriss (2007); Drapela (2006); Durkin,

et al. (1999); Giordano (2012); Hirschi, (1969); Hoeve, et al. (2007); Ingram, et all. (2007); Krohn & Massey (1980); Nakhaie, Silverman, & LaGrange, (2000); Ozbay & Ozcan, (2006); Pittaro (2007); Quensel, et al (2002); Traag, Marie, & Velden (2006); Vogt (2009); Wallace & Fisher (2007); Warr (1993); Wester, et al (2008); Wiatrowski, et al. (1981) menggunakan keseluruhan dimensi atau hanya mengambil satu atau dua dimensi dalam teori tersebut. Dimensi dalam TKS, yaitu :

1) Attachment atau kelekatan.

Kelekatan mengacu pada bentuk afeksi sehingga seseorang prososial.

“… pada individu yang mempunyai kecenderungan psikopat mempunyai kecenderungan tidak adanya kelekatan dengan orang lain” (Hirschi, 2002, hal.

(26)

15

2009; Krohn & Massey, 1980; Marcos, Bahr, & Johnson, 2001; Sokol-Kazt, Dunham, & Zimmerman, 1997; Stacy, 2006). Kelekatan dipasangkan dengan superego. Esensi dari internalisasi norma, hati nurani atau superego terletak pada lekatnya seseorang dengan orang lain. Hirschi (2002) menyatakan bahwa

“… konsep kelekatan ini mampu menjelaskan variasi perilaku, misalnya orang

yang bercerai mungkin akan melakukan perilaku yang menyimpang seperti bunuh diri atau pemalsuan identits sebagai pria lajang atau perilaku menyimpang lainnya” (hal 10). Pada kondisi ini berarti hati nuraninya hilang.

Pada konsep ini orang tua menunjukkan posisi penting di dalam kelekatan. Selain orang tua, objek kelekatan juga dapat terjadi di sekolah, yaitu dengan guru dan teman sebaya. Seseorang memiliki kecenderungan untuk melekatkan diri pada orang lain. Anak melakukan kelekatan ini dengan orang tua, sekolah dan teman sebayanya, di dalamnya termasuk supervisi orang tua, kualitas komunikasi, kebersamaan, pemahaman orang tua tentang pertemanan anaknya dan kepercayaan yang terbentuk.

2) Commitment atau komitmen terhadap aturan.

Hirschi (2002) menyatakan bahwa ”... komitmen berawal dari formula

yang dikemukakan oleh Becker (1960), yaitu : Pertama, individu berada dalam posisi di mana keputusannya dalam bertindak memiliki konsekuensi untuk kepentingan dan kegiatan tertentu berkaitan dengan hal itu; kedua, ia telah menempatkan dirinya dalam posisi itu dengan konsekuensi tindakan sebelumnya; dan ketiga adalah hadirnya seseorang yang harus diakui mempunyai kewenangan sebagai pengambil keputusan dengan segala konsekuensinya. Seseorang sudah menginvestasikan banyak waktu dan energi, seperti memperoleh pendidikan, membangun sebuah bisnis, mengakuisisi reputasi, ketika tergoda untuk melakukan perilaku menyimpang, maka harus mempertimbangkan besarnya kerugian dan risiko akan kehilangan investasi (hal 20).

(27)

kelekatan dipasangkan dengan super ego, komitmen dipasangkan dengan ego (Hirschi, 1969, dikutip dari Chriss, 2007). Becker (1960) menunjukkan jika seseorang mampu menghitung biaya sebagai konsekuensi, ia juga mampu menghitung kesalahan dan kebodohannya, yang akan menjadi kontrol baginya untuk selalu berkomitmen.

Paparan Hirschi (1969, 2002) yang didukung oleh Krohn & Massey (1980), komitmen di dalam organisasi masyarakat akan membuat seseorang untuk menghindari ketidaknyamanan apabila ia terlibat dalam penyimpangan perilaku atau kriminalitas. Kebanyakan orang hanya menikmati proses hidup dalam masyarakat yang teratur, mendapatkan barang, reputasi, prospek bahwa mereka tidak ingin mengambil risiko untuk kehilangan. Hal ini akumulasi dari masyarakat yang akan mematuhi aturan. Banyak hipotesis tentang anteseden perilaku nakal didasarkan pada premis ini.

Seseorang akan mampu menahan diri untuk tidak terlibat dengan bentuk penyimpangan perilaku apabila perilakunya tersebut akan mengancam keberadaannya di dalam kelompok tertentu (lembaga pendidikan dan pekerjaan). Hirschi (2002) menemukan bahwa komitmen siswa dengan

pendidikan dapat ditunjukkan dengan nilai akademik yang akan meminimalkan kenakalan dan atau penyimpangan perilaku. Giodarno (2012) menambahkan dimensi komitmen keberagamaan di dalam kontrol sosial.

(28)

17

pengguna NAPZA dan sulit untuk melepaskan diri. Kajian Ardila merupakan studi yang tidak sama dengan Durkin, et all (1999) dan Durkin, et al (2007).

Komitmen (Hirschi, 1969 dan Livingston, 1996, dikutip dari Chriss, 2007) merupakan komponen rasional dari suatu ikatan. Hal ini mengacu pada sejauh mana remaja terlibat dalam kegiatan konvensional suatu kelompok. Komitmen seseorang dengan tidak melakukan suatu tindakan pelanggaran dikarenakan mereka tahu akan mendapatkan masalah yang akan menghambat kesempatan mereka untuk menjadi sukses. Hal ini dapat terbentuk jika remaja berada kelompok dimana anak melekatkan dirinya. Contohnya seperti menghormati tradisi, dan percaya pada norma-norma dan nilai-nilai hidup yang berlaku di masyarakat.

3) Involvement atau keterlibatan.

Hirschi (2002) menyatakan “… keterlibatan berkaitan dengan

kesempatan bagaimana seseorang menghabiskan waktu. Secara filosofi apabila seseorag mempunyai waktu, tidak terlibat dalam kegiatan yang prososial, maka

akan terjadi penyesalan, bukan karena ketidakmampuan, akan tetapi karena waktu dan energi yang terbatas. Keterlibatan dalam kegiatan konvensional

menjadi bagian dari teori kontrol. Asumsinya adalah bahwa seseorang sudah terlalu sibuk melakukan hal-hal konvensional, tidak ada waktu lagi untuk terlibat dalam perilaku menyimpang. Orang terlibat dalam kegiatan konvensional terkait dengan janji, tenggat waktu, jam kerja, rencana, dan sejenisnya” (hal. 22), sehingga kesempatan untuk melakukan tindakan menyimpang jarang muncul, apalagi berpikir tentang tindakan menyimpang.

(29)

Marcos, et al (2001) mengemukakan alasan yang berbeda mengapa tidak memasukkan dimensi keterlibatan ke dalam TKS, karena keterlibatan di dalam keluarga dan sekolah sudah masuk dalam kelekatan. Traag, et al (2006) justru meniadakan dimensi keterlibatan. Kontrol sosial dapat dilihat dengan performansi anak di sekolah yang ditunjukkan oleh ketrampilan dalam memproses informasi, sikap dalam menerima tugas dan hasil balajar secara menyeluruh.

Bersumber dari berbagai acuan yang ada, keterlibatan anak berhubungan dengan seberapa banyak waktu yang dihabiskan seorang anak untuk berinteraksi dengan individu lain dalam suatu kegiatan. Jika interaksi yang tepat dengan kegiatan maupun seseorang, seperti olah raga, kesenian dan lainnya merupakan kegiatan yang secara dominan dilakukan anak maka akan mendapat kontrol dalam pembentukan perilaku yang menyimpang, termasuk penyalahgunaan NAPZA. Namun sebaliknya jika interaksi dan kegiatan yang kurang tepat seperti bolos, tawuran, melawan orang tua , mencuri dan lainnya merupakan hal yang sering dilakukan anak maka keterlibatan pada perilaku tersebut

menjadikan anak lebih rentan mengalami penyimpangan perilaku. 4) Belief atau keyakinan.

Dimensi terakhir dalam kontrol sosial ini dengan keyakinan adanya aturan yang terdapat di sekitar individu Berbeda dengan cultural deviance

theory, keyakinan dalam TKS mengasumsikan adanya pelanggaran keberadaan

dari sistem nilai dalam masyarakat atau kelompok. Jika penyimpangan sistem nilai tersebut merupakan bentuk komitmen, tidak dijelaskan dalam TKS. Contoh dari kondisi itu adalah "Mengapa seseorang melanggar aturan yang ia percaya?" Penjelasan pertanyaan tersebut tidak terdapat dalam TKS.

(30)

19

Mooney, et al (2008) dalam penelitian pada 100 narapidana NAPZA wanita yang berkaitan dengan belief, stress, dan impulsif yang lebih mempunyai pengaruh terhadap penyalahgunaan NAPZA adalah belief, yaitu sebesar

β = 0,52 ; p < 0,01. Keyakinan bahwa penggunaan NAPZA tidak merupakan

jaminan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Belief dalam penelitian ini secara lebih spesifik mengungkap bagaimana efikasi terhadap NAPZA.

Jadi sejauh mana seseorang menganut nilai-nilai yang terkait dengan konsekuensi apabila melanggar peraturan, norma, nilai-nilai hidup, dan hukum. Oleh karena itu aplikasi dimensi ini di beberapa penelitian dengan menggunakan istilah yang tidak sama, seperti Marcos, et al (1986); Begue & Roche (2008) memakai istilah conventional values/belief bukan belief;

Giordano (2012) memecah belief dalam dua aspek, yaitu mengakui kepemimpinan dan penerimaan terhadap nilai, aturan, dan norma yang berlaku.

Dimensi keterlibatan dan keyakinan dalam perkembangan kajian TKS bersumber dari kajian yang ada terlihat bahwa tidak sering digunakan, namun dimensi kelekatan dan komitmen yang banyak dikaji. Dimensi keyakinan pada

semua studi dalam TKS merupakan moderator dan atau mediator yang mengantarai kelekatan, komitmen, dan keterlibatan. Keempat dimensi dalam

TKS bersumber dari luar individu, lingkungan sosial di sekitar individu, termasuk belief, meskipun secara sepintas merupakan kontrol internal. Namun

belief yang dimaksud Hirschi disini tidak sama dengan dengan kontrol internal, seperti kesadaran dan internalisasi nilai-nilai.

D. Kerangka Pemikiran

(31)

penyalahgunaan NAPZA. Kondisi berisiko harus diketahui agar mampu dilakukan usaha preventif agar tidak berlanjut menjadi penyalahguna NAPZA.

Berdasarkan kajian teori dan penelitian relevan yang telah dipaparkan maka model risiko penyalahgunaan NAPZA akan dikaji melalui teori kontrol sosial. Individu sebagai makhluk sosial akan terikat dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial remaja sebagai makhluk sosial tersebut meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan dalam komunitas secara luas. Di dalam lingkungan sosial tersebut remaja tidak sendiri. Oleh karena itu mengumpulnya lebih dari satu orang akan membentuk iklim tersendiri (ekologi), yang dapat dilihat karakteristiknya, perilakunya, atmosfirnya, norma yang berlaku, dan episodiknya (Benzent, 1993).

Lembaga-lembaga sekolah dengan karakteristiknya berdasarkan teori kontrol sosial diharapkan sebagai kontrol sosial yang berpengaruh pada risiko penyalahgunaan NAPZA. Teori kontrol sosial merupakan kondisi yang mampu mengontrol adanya bentuk penyimpangan perilaku. Dengan empat dimensi dalam teori kontrol sosial, seorang remaja yang mempunyai kelekatan, komitmen, keterlibatan dan keyakinan akan terhadang untuk berperilaku

menyimpang termasuk penyalahgunaan NAPZA (Hirschi, 1969; 2002).

Tabel 1. Konstruksi model teori kontrol sosial dari Hirschi (1969, 2002)

Komponen Deskripsi Bentuk operasional

Komitmen yang dibangun oleh sekolah menurut penilaian individu sehingga individu merasa nyaman untuk terlibat semua kegiatan dan turut menjaga citra baik sekolah.

Keterlibatan Terlibat dengan kegiatan di waktu luang

Frekuensi kegiatan yang diikuti berkaitan dengan ketersediaan sarana prasarana dan keberlanjutan mengikuti kegiatan tersebut.

Keyakinan Adanya peraturan dari luar individu yang disadari

(32)

21

mampu mengevaluasi.

Sumber : Dikembangkan peneliti di dalam penulisan disertasi ini dari Hirschi, 1969, 2002

Pada usia remaja hubungan pertemanan menjadi kebutuhan yang sangat penting. Hal ini karena pada usia remaja mempunyai kebutuhan yang tinggi terhadap pemenuhan informasi yang tidak bisa lagi diimbangi oleh orang tuanya. Selain itu pertemanan yang terjalin pada usia remaja akan mampu mengembangkan identitas diri dengan membandingkan nilai-nilai dan pendapat orang lain, termasuk teman (Laghi, et al., 2011). Kondisi ini akan membawa dampak yang besar pada diri remaja apabila kelekatan terbentuk dengan teman yang perilakunya tidak baik.

Lembaga sosial lainnya adalah sekolah, selain dari keluarga dan kelompok pertemanan. Remaja yang mempunyai komitmen terhadap kegiatan sekolah akan mampu mengarahkan perilakunya untuk mencapai sukses belajar. Jadi komitmen terhadap sekolah mampu menjadi prediktor perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA dan masalah-masalah perilaku lain (Dornbusch, et al., 2001; Li, et al., 2011). Untuk memunculkan jiwa komitmen terhadap kegiatan sekolah, maka lembaga sekolah tersebut harus mampu membangun persepsi remaja sebagai siswa agar merasa nyaman dan tempat yang tepat untuk

membangun diri.

Remaja dengan orientasi pertemanan yang tinggi dan dengan daya

ekplorasi yang dimiliki, membutuhkan aktifitas dengan sarana prasarananya untuk mengisi waktu luang. Siswa di Taiwan kebanyakan melakukan tiga hal untuk mengisi waktu luang, yaitu bermain dengan komputer, minum teh atau kopi dan mendengarkan musik atau mengirim pesan singkat dengan broadcast (Lin & Pao, 2011). Kondisi ini terjadi karena pemerintah tidak mengembangkan aktifitas yang disertai sarana prasarana yang memadai dan menumbuhkan minat remaja untuk mengisi waktu luangnya.

(33)

Keberhasilan menekan angka risiko penyalahgunaan NAPZA berarti akan berkurang angka penyalahgunaan NAPZA. Pada penelitian ini usaha untuk menekan peningkatan tersebut dengan memfokuskan vaktor eksternal. Verweij,

et al. (2009) menguatkan bahwa kajian biologis ini membutuhkan energy tinggi dalam penelitiannya, namun memberi kontribusi yang ditunjukkan tidak sebesar lingkungan, yaitu genetis hanya menyumbang sebesar 25% dan lingkungan menyumbang sebesar 48% pada perilaku penyalahgunaan NAPZA. Lingkungan dalam penelitian ini melibatkan keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan

komunitas secara lebih luas.

Support teori kontrol sosial dalam kajian risiko penyalahgunaan NAPZA sudah dikaji sangat jelas oleh Hirschi (1969, 2002) juga melakukan penelitian penyalahgunaan NAPZA dengan subjek siswa laki-laki setingkat SMP dan SMA dan yang mendapat hukuman dari sekolah dan kepolisian. Selain itu dengan subjek yang dilaporkan oleh kepolisian yang mengkonsumsi rokok. Meskipun dalam perkembangannya dimensi teori kontrol sosial di

beberapa penelitian tidak eksplisit dan terpisah satu dengan yang lain, serta tidak memunculkan keempat dimensi teori kontrol sosial (Akers & Lee, 1999;

Bahr, et al., 2005; Krohn & Massey, 1980; Marcos, et al., 1986; Traag, et al.,

2006).

Teori kontrol sosial menitikberatkan pada faktor eksternal dalam memprediksi perilaku, seperti kelekatan orang tua anak, kelekatan dengan sekolah, kelekatan dengan teman yang terikat dalam lembaga tertentu, keterlibatan dengan kegiatan kelembagaan, komitmen dengan tujuan yang terikat dalam kelembagaan, dan mengadopsi keyakinan sosial (Cam, 2010; Giodarno, 2012; Vogt, 2009). Faktor-faktor eksternal tersebut sudah mencakup secara struktur dan proses sosial (Siegel & Senna, 1988). Faktor-faktor eksternal tersebut dapat mengubah seseorang. Pada awal eksperimen seseorang (mahasiswa sebagai relawan) yang semula baik menjadi tidak baik terdapat pada hasil yang dikemukakan Zimbardo setelah akhir eksperimen di

penjara Universitas Stanfort pada tahun 1971.

(34)

23

Untuk memprediksi fungsi kontrol sosial terhadap penyalahgunaaan NAPZA Marcos et al., (1986) merumuskan empat model yang berbeda antara pengkonsumsi alkohol, perokok (yang tergolong risiko penyalahgunaan NAPZA), pemakai ganja, pemakai amphetamine dan anti depresan. Pada keempat kategori tersebut terdapat variabel kelekatan orang tua, kelekatan keberagamaan, teman yang memakai NAPZA, dan kelekatan dengan sekolah. Semua model pada dasarnya hampir sama (lihat gambar 6, gambar 7, gambar 8, dan gambar 9), namun berbeda hubungan langsung pada variabel eksogen dengan variabel endogennya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bahr, et al.

(2005) dengan membedakan model pada perokok, pemakai alkohol, pemakai ganja, dan illicit drug, Giordano (2012) membedakan antara pemakai alkohol dan pemakai ganja, dan Kaguchi (2004) membedakan antara perokok, pemakai alkohol, dan pemakai ganja.

Hasil kajian lain dilakukan oleh Durkin, et al. (1999) dengan menunjukkan korelasi dimensi teori kontrol sosial dengan perilaku konsumsi

alkohol sebesar 25%; Krohn & Massey (1980) menyumbang sebesar 20%. Pada kajian berikutnya Durkin, et al. (2007) menemukan bahwa komitmen dan

keyakinan berhubungan signifikan dengan perilaku konsumsi alkohol pada mahasiswa, sedangkan dimensi kelekatan dan keterlibatan tidak menunjukkan signifikansi dengan perilaku konsumsi alkohol. Dengan kajian tersebut menunjukkan bahwa masih pentingnya dimensi dalam teori kontrol sosial, dikaji berdasarkan kategori risiko penyalahgunaan NAPZA.

Pada berbagai subjek penelitian konstruk teori kontrol sosial ini sudah dipakai untuk mengkaji hubungannya dengan penyalahgunaan NAPZA. Pada remaja (Akers & Lee, 1999; Ford, 2009: Gilmore et al., 2005; Hadaway, et al.,

(35)

Teori kontrol sosial menekankan perilaku pro-sosial. Indonesia adalah salah satu negara kolektivistik (Basaba & Ros, 2005; Hofstede, 1980 dikutip dari Goodwin & Giles 2003). Negara kolektivistik mempunyai karakteristik : identitas budaya berdasarkan pada jaringan sosial, anak-anak belajar untuk berpikir dengan kata "Kami", kepentingan kelompok adalah hal yang terpenting, pemeliharaan harmoni sosial sangat dihargai, tidak adanya privasi dalam kelompok, terbentuk ketergantungan dalam tujuan bersama, interdependensi dan ketaatan tanggung jawab bersama, loyalitas terhadap kelompok, melanggar aturan menyebabkan malu dan kehilangan muka (Tu, et al., 2011).

Teori Hirschi (1969, dikutip dari Krohn & Massey, 1980) tidak pernah menunjukkan secara eksplisit korelasi masing-masing dimensi dalam model dan dimensi mana yang paling berpengaruh paling besar terhadap kenakalan. Namun demikian hasil penelitian Marcos, et al.(2001); Akers & Lee (1999); Ford (2009): Gilmore et al. (2005); Hadaway, et al. (1984);

Krohn et al. (1983); Marcos et al. (1986); Massey & Krohn (1986) dapat menjadi acuan dan tetap disarankan untuk membuat model yang saling

berhubungan antar dimensi dalam teori kontrol sosial.

E. Hipotesis

Berdasarkan paparan kajian teori dan kajian penelitian-penelitian terdahulu, hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada keterkaitan antara komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar,

keterlibatan kegiatan waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok dengan perilaku remaja berisiko penyalahguna NAPZA berdasarkan model kontrol sosial

2. Ada pengaruh langsung dan tidak langsung antara komitmen sekolah,

(36)

73

184

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, D., Candra, F., Novitasari, D., Widjaja, I. R., & Kurniawan, L. (2009). Tingkat penyalahgunaan obat dan faktor risiko di kalangan siswa sekolah menengah umum. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 59 (6) Juni 2009 : 266 – 271.

Akers, R. L. & Lee, G. (1996). A Longitudinal test of social learning theory : Adolescent smoking. Journal of Drug Issues, 26(2), 317 – 343.

Akers, R. L. & Lee, G .(1999). Age, Social Learning, and Social Bonding in Adolescent Substance Use. Deviant Behavior : An Interdisciplinary Journal, 20(1), 1 – 25. doi: 10.1080/016396299266579

Akers, R. L., Krohn, M. D., Lanza-Kaduce, L, Radosevich, M. (1979). Social Learning and Deviant Behavior: A Specific Test of a General Theory. American Sociological Review, 44(4), 636 - 655. doi: 10.2307/2094592

Akers, R. L., & Jensen, G. F. (2006). The empirical status of social learning theory of crime and deviance: The past, present, and future. In F. T. Cullen, J. P. Wright, & K. R. Blevins (Eds.), Taking stock: The status of criminological theory, 37–76. New Brunswick: Transaction Publishers.

Arbuckle, J. L. & Wothke, W. (1999). Amos users’ guide, Version 4.0. Chicago: SmallWaters.

Ardila, R. (2009). Komitmen terhadap kelompok sebagai penyebab kontinuitas penyalahgunaan NAPZA. Skripsi. Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Astuti. K. (2010). Model Kognitif Sosial Perilaku Merokok pada Remaja. Disertasi. Program Doktor Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada.

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Bahr, S. J., Hoffmann, J. P.,& Yang, X. (2005). Parental and Peer Influences on the Risk of Adolescent Drug Use. The Journal of Primary Prevention, 26(6),529 – 551. doi: 10.1007/s10935-005-0014-8

Bandura, A. (1977). Self-efficacy : Towards a unifying theory of behavior change. Psychological Reviu, 8(2), 191-215. doi: 10.1037//0033-295X.84.2.191

Barker, S. (2006). Environmental communication in context. Frontiers in Ecology and the Environment, 4(6), 328–29. doi: 10.1890/1540-9295(2006)4%5B328:ECIC%5D2.0.CO;2

(37)

Barnes, G. M., Hoffman, J.H., Weltw, J.W., Farrell, M.P., & Dintcheff, B.A. (2006). Effetcs of parental monitoring and peer deviance on substance use and delinquncy. Journal of Marriage and Family, 68(4), 1084 – 1105.

Basaba, N & Ros, M. (2005). Cultural dimensions and social behavior correlates: Individualism-collectivism and power distance. Revue Internationale de Psychologie Sociale. 18(1), 189-225.

Becker, H. S. (1960). Notes on the Concept of Commitment. American Journal of Sociology, 66(1), 32-40. doi: 10.1086/222820.

Begue, L. & Roche, S. (2008). Multidimensional social control variables as predictors of drunkenness among French adolescents. Journal of Adolescence, 32(2), 171-191. doi:10.1016/j.adolescence.2008.04.001

Benzent, W. R. (1993). Seing Young Children : A Guide to Observing and Recording Behavior. Second Edition. New York : Delmas Publisher

BNN. (2012). Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 16 Provinsi di Problem Behavior: Are Youth Always Better Off in Two-Parent Families?. Journal of Family Issues, 31(5), 585–605. doi: 10.1177/0192513X09351507

Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological model of human development. International Encyclopedia of education, 3, 2nd, Ed. Oxford: Elsevier. Cam, T. (2010). Explaining marijuana use among Turkish Juveniles : A test of

Hirschi’s Social Bonding Theory. Disertation. University of Nort Texas : Doctor of Philosophy.

Chapple, C. L., McQuillan, J. A., & Berdahl, T. A. (2005). Gender, social bond,

and delinquency : A compaeison of boys’ and girls’s models. Social Science Research 34 (2) 357–383. doi: 10.1016/j.ssresearch.2004.04.003

Chriss, J. J. (2007). The function of the social bond. Sociological Quarterly. 48 (4), 687 – 712. doi:10.1111/j.1533-8525.2007.00097.x

(38)

75 Behavioural Problems: SelfEsteem, Attachment to Learning, and Peer Approval of Deviance as Mediating Mechanisms. Canadian Journal of School Psychology. 16(1), 15-38. doi: 10.1177/082957350001600102

Dielman, T.E., Campanelli, P.C., Shope,J.T., & Butchart,A.T. (1987). Susceptibility to Peer Preassure, Self-Esteem, and Health Locus of Control as Correlates of Adolescent Substance Abuse. Health Education Quarterly, 14(2), 207 – 221. doi: 10.1177/109019818701400207

Dishion, T. J., Capaldi, D. M., & Yoerger, K. (1999). Middle Childhood Antecedents to Progressions in Male Adolescent Substance Use : An Ecological Analysis of Risk and Protection. Journal of Adolescent Research,14(2), 175 – 205. doi: 10.1177/0743558499142003

Dolcini, M.M & Adler, N,E. (1994). Perceived competencys, peer group affiliation, and risk behavior among early adolescents. Health Psychology, 13(6), 496 – 506. doi: 10.1037/0278-6133.13.6.496

Dornbusch, S., Erickson, K., Laird, J., & Wong, C. (2001). The relation of family and school attachment to adolescent deviance in diverse groups and behavior among high school students participating in the 2009 youth risk behavior survey. Psychological Reports: Disability & Trauma, 114(3), 675-685.

Durkin, K., Wolfe, S. E., & Clark, G. (1999). Social bond theory and binge drinking among college students: A multivariate analysis. College Student Journal, 33, 450-462.

(39)

Elgar, F. J., Knight, J., Worrall, G. J., Sherman, G. (2003). Attachment Characteristics and Behavioural Problems in Rural and Urban Juvenile Delinquents. Child Psychiatry and Human Development, 34(1), 35 – 48.

Fisher, S. (2003). Bridges primary and high-school survey. In Pluddermann et al. (Eds.). Monitoring alcohol and drug abuse trends in South Africa. Proceedings of SACENDU Report Back Meetings, October 2002: January

– June 2002. Analysis of the use of Leisure time and the use or abuse of drugs. Health and Addictions, 12(2), 193-226.

Gatins, D. E. & White, R. M. (2006). School-based Substance Abuse Programs: Can They Influence Students' Knowledge, Attitudes, and Behaviors Related to Substance Abuse?. North American Journal of Psychology, 2006, 8(3), 517-532.

Ghozali, I. (2008). Model persamaan struktural: Konsep dan aplikasi dengan program AMOS 16.0. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gilmore, A. S., Rodriguez, N., & Webb, V. J. (2005). Substance abuse and drug courts: The role of social bonds in juvenile drug courts. Youth Violence and JuvenileJustice, 3(4), 287-315. doi: 10.1177/1541204005278803

Giodarno, A. L. (2012). Social interest and social bonding : Understanding collegiate hazardous drinking and marijuana use. Dissertation. University of North Carolina.

Goodwin, R. & Giles, S. (2003). Social support provision and cultural values in Indonesia and Britain. Journal of Cross-Cultural Psychology. 34(10), Month 2003, 1-6. doi: 10.1177/0022022102250227

(40)

77

Hadaway, C. K., Elifsom, K.W., & Petersen, D. M. (1984). Religious involvement and drug use among urban adolescents. Journal for Scientist Study of Analysis. Seventh Edition. Pearson Prentice Hall.

Hartwell, S. (2003). Deviance over the life course: The case of homeless substance abusers. Substance Use and Misuse, 38(3-6), 475-502. doi: 10.1081/JA-120017383

Herman, R. M. J. (2005). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan.RI, Jakarta. www.kalbe.co.id/...

Hindelang, M. J. (1973). Perceived locus of control and guilth arousal following norm transgressions, May 1973, 11(1) : 49–60.

Hirschi, T. (2002). Cause of Delinquency. New Jersey: New Brunswick.

Hirschi, T. (1969). Cause of Delinquency. Berkeley : University of California.

Hoeve, M, Dubas,J.S., Eichelsheim, V.I., Laan, P.H., Smeenk, W., & Gerris, G.R.M. (2009). The Relationship Between Parenting and Delinquency: A Meta-analysis. Journal Abnormal Child Psychology, Aug 2009, 37(6), 749–775. doi: 10.1007/s10802-009-9310-8

Holmbeck, G.N., Li, S.T., Schurman, J.V., Friedman, D., & Coakley, R.M. (2002). Colleting and Managing Multisource dan Multimethod Data in Studies of Pediatrics Populations. Journal of Pediatrics Psychology, 27(1) : 5 – 18.

Hoyle, C. (1998). Negotiating domestic violence: Police, criminal justice and victims. Oxford: Clarendon Press.

Ingram, J. R, Patchin, J. W, McCluskey, J. D., & Bynum, T. S. (2007). Parents, Friends, and Serious Delinquency : An Examinationof Direct and Indirect Effect Among At-Risk Early Adolescents. Criminal Justice Review, December 2007, 32(4), 380 – 400. doi: 10.1177/0734016807311436

(41)

Johansson, P. & Kempf-Leonard, K. (2009). A Gender-Specific Pathway to Prevention, and Policy, 5(1), 11-17. doi: 10.1186/1747-597X-5-11

Joreskog, K.G. & Sorbom, D. (1989). LISREL 7: A guide to the program an SPSS, Inc.

Kaplow, J. B., Curran, P. J., Dodge, K. A., & The Conduct Problems Prevention Research Group. (2002). Child, Parent, and Peer Predictors of Early-Onset Substance Use: A Multisite Longitudinal Study. Journal Abnormal Child Psychology, 2002 June, 30(3), 199–216.

Kidder, J.L. (2013). Parkour: Adventure, Risk, and Safety in the Urban Environment. Qual Sociol (2013) 36:231–250. DOI 10.1007/s11133-013-9254-8

Krohn, M. B. & Massey, J. L. (1980). Social Control and Delinquent Behavior: An Examination of the Elements of the Social Bond. The Sociological Quarterly, Autumn 1980, 21(4), 529-543. doi: 10.1111/j.1533-8525.1980.tb00634.x

Kumar, R., O’Malley, P. M., Johnston, L. D., Schulenberg, J. E., & Bachman, J.

G. (2002). Effects of school-level norms on student substance use. Prevention Science, 3(2), 105–124.

Kuntsche, E. & Stewart, S.H. (2009). Drinking Motives of Classroom Peers as Predictors of Individual Drinking Motives and Alcohol Use in Adolescence-a MediAdolescence-ationAdolescence-al Model. Journal of Healthy Psychology, 14(4), 526 – 546.

Laghi, F., Liga, F., Baumgartner, E., & Baiocco, R. (2012). Time perspective and psychosocial positive functioning among Italian adolescent who binge eat and drink. Journal of Adolescent, 35(50, 1277-1284. doi: 10.1016/j.adolescence.2012.04.014

LaGrange, T. C. & Robert A. A. (1999). Low Self-Control and Opportunity: Testing the General Theory of Crime as an Explanation for Gender Differences in Delinquency. Criminology, 37(1), 41-72. doi: 10.1111/j.1745-9125.1999.tb00479.x

La Greca, A.M. & Lemanek, K.L. (1996). Assessment as a process in pediatric psychology. Journal of Pediatnc Psychology, 21(2), 137-151. doi: 10.1093/jpepsy/21.2.137

(42)

79

Larson, R. W., and Verma, S. (1999). How children and adolescents spend time across the world: Work, play, and developmental opportunities.Psychol. Bull. 25: 701–736.

LaRusso, M.D., Romer, D., Selman, R. L. (2008). Teachers as Builders of Respectful School Climates: Implications for Adolescent Drug Use Norms and Depressive Symptoms in High School. Journal Youth Adolescence, 37(4), 386–398. doi: 10.1007/s10964-007-9212-4

Lei, P. & Wu, Q. (2007). Introduction to Structural Equation Modeling : Issues and Practical Considerations. International Topics in Educational Measusrement (ITEMS), 26(3), 33–43. doi: 10.1111/j.1745-3992.2007.00099.x

Li, Y., Zhang, W., Liu, J., Arbeit, M., Schwartz, S., Bowers, E., et al. (2011). The role of school engagement in preventing adolescent delinquency and substance use: a survival analysis. Journal of Adolescence, 34(6), 1181–1192. doi: 10.1016/j.adolescence.2011.07.003

Lin, T. & Pao, T. (2011). Leisures Actvities’ Selection and Motivation. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, October 2011, 1(3), 308 – 320.

Liska, A., & Reed, M. (1985). Ties to conventional institutions and delinquency: Estimating reciprocal effects. American Sociological Review, 50(4), 547-560. doi: 10.2307/2095438

Lopez, B., Huang, S., Wang, W., Prado, G., Brown, C.H., Zeng, G., Flavin, K., & Pantin, H. (2010). Intrapersonal and Ecodevelopmental Factors Associated with Smoking in Hispanic Adolescents. Journal Child Family Study, 19(4), 492 – 503. doi: 10.1007/s10826-009-9321-7

Ludden, A.B. & Accles, J. S. (2007). Psychosocial, Motivational, and Contextual Profiles of Youth Reporting Different patterns of Substance Use During Adolescence. Journal of Research Adolescence, 17(1), 51 – 88.

Lynn, M. R. (1986). Determination and Quantification of Content Validity. Nursing Research, 35(6), 382 – 386. doi: 10.1097/00006199-198611000-00017

Mancini, J. A. & Huebner, A. J. (2004). Adolescent Risk Behavior Patterns: Effects of Structured Time-Use, Interpersonal Connections,

Self-System Characteristics, and Socio-Demographic Influences. Child and

Adolescent Social Work Journal, December 2004, 21 (6), 647-668.

doi: 10.1007/s10560-004-6409-1

(43)

Marcus, B. (2004). Self-Control in the General Theory of Crime: Theoretical Implications of a Measurements Problem. Theoretical Criminology, 8(1), 33-55. doi: 10.1177/1362480604039740

Martino, S., Grilo, C.M., Fehon, D.C. (2000). Development of the drug abuse screening test for adolescents (DAST-A). Addictive Behaviors, 25(1), 57 – 70. doi: 10.1016/S0306-4603(99)00030-1

Matsueda, R. L. (1982). Testing Control Theory and Differential Association: A Causal Modeling Approach. American Sociological Review, 47(4), 489 -504. doi: 10.2307/2095194

Mayberry, M. L., Espelage, D, L., & Koening, B. (2009). Multilevel Modeling of Direct Effects and interactions of Peers, parents, School, and Community Influneces on Adolescent Substance Use. Journal Youth Adolescence, 38(8), 1038 – 1049. doi: 10.1007/s10964-009-9425-9

McCabe, S. E., Boyd, C.J., Cranford, J.A., Morales, M., & Slaiden, J. (2006). A modified version of the Drug Abuse Screening Test among undergraduate students. Substance Abuse Treat, 2006 October, 31(3), 297–303. doi: 10.1016/j.jsat.2006.04.010

Mcleod, K., White, V., Mullins, R., Davey, C. (2008). How do friends influence smoking uptate? Finding from qualitative interviews with identical twins. The Journal of Genetic Psychology, 169(2), 117 -132.

McNally, A. M., Palfai, T. P., Levine, R. V., & Moore, B. M. (2003). Attachment Dimensions and Drinking-Related Problems among Young Adults The Mediational Role of Coping Motives. Addictive Behaviors, 28(6), 1115 – 1127. doi: 10.1016/S0306-4603(02)00224-1

Minuchin, P. (1985). Family and individual development: Provocations from the field of family therapy. Child Development, 56(2), 289-302. doi: 10.1111/j.1467-8624.1985.tb00106.x

Moon, B., Blurton, D., McCluskey, J. D. (2008). General strain theory and delinquency : Focuing on the influences of Key Strain Characteristics on delinquency. Crime & Delinquency, 54(4), 582–613. doi:

(44)

81

NIDA (National Institute on Drug Abuse). Drug of Abuse. http://www.drugabuse.gov/drugs-abuse

Noyori-Corbett, C. & Moon, S.S. (2010). Multifaceted Reality of Juvenile Delinquency : An Empirical Analysis Structural Theories and Literature. Child Adolescence Social Work Journal, 27(4), 245–268. doi: 10.1007/s10560-010-0205-x

Noom, M. J., Dekovi´c, M., & Meeus, W. H. J. (1999). Autonomy, attachment and psychosocial adjustment during adolescence: A double-edged sword?

Journal of Adolescence, 22(6), 771–783. doi: 10.1006/jado.1999.0269

Nunnally, J.C. & Bernstein, I.H. (1999). Psychometric Theory. New York : McGraw-Hill.

Ozbay,O dan Ozcan, Y.Z. (2006). A Test of Hirschi’s Social Bonding Theory : Juvenile Delinquency in The High School of Ankara, Turkey. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, 50(6), December 2006, 711 – 726. doi: 10.1177/0306624X05283525

Ozbay, O., & Ozcan, Z. Y. (2007). A test of Hirschi’s social bonding theory: A comparison of male and female delinquency. International Journal of Offender Therapy & Comparative Criminology, 52(2), 134-157. doi: 10.1177/0306624X07309182

Piko, B.F., & Vazsonyi, A.T. (2004). Leisure activities and problem behaviours among Hungarian youth. Journal of Adolescence, 27(6), 717-730. doi: 10.1016/j.adolescence.2004.02.004

Pilgrim, C.C., Schulenberg, J. E., Malley, P. M.O., Bachman, J. G., & Johnston, L. D. (2006). Mediators and Moderators of Parental Involvement on Substance Use : A national Study of Adolescents. Prevention Science, 7(1), 75 – 89. doi: 10.1007/s11121-005-0019-9

Pittaro, M. L. (2007). School violance and social control theory : An evaluation of the Columbia massacre. International Journal of Criminal Justice Science. 2(1), 1 – 12.

Pollatsex, A & Trevrsky, A. (1970). A Theory of Risk. Journal of Mathematical Psychology. 7(3), 540 - 553. doi: 10.1016/0022-2496(70)90039-8

Prawitasari, J.E. (2012). Psikologi terapan melintas batas disiplin ilmu. Jakarta : Erlangga.

Purwandari, E. (2005). Memori emosional remaja yang sedang menjalani rehabilitasi NAPZA. Jurnal Penelitian Humaniora, 6(2), Agustus 2005, 130 – 143.

Gambar

Tabel 1. Konstruksi model teori kontrol sosial dari Hirschi (1969, 2002)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hal ini disebabkan karena semakin besar ukuran mesh partikel, maka semakin kecil ukuran diameter adsorben, sehingga polutan yang teradsorpsi semakin banyak, karena

Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran likuiditas yang diukur dengan current ratio dan gambaran return saham pada perusahaan di Jakarta Islamic Index,

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dengan perancangan media pembelajaran berbasis TIK dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran yang menarik,

Dari perspektif praktis, hubungan antara kompetensi fleksibilitas manufaktur, kapabilitas fleksibilitas manufaktur, kompetensi fleksibilitas jangkauan, kapabilitas

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai literasi keuangan dan pengelolaan keuangan untuk masyarakat yang berada di wilayah kota

Jika dilihat dari rata-rata hasil belajar masing masing kelompok siswa (Grafik 1.3), terlihat bahwa nilai rata-rata siswa yang diajarkan dengan model PBL untuk siswa