• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyinaran Radioterapi Terhadap Nilai Hemoglobin dan Limfosit Pada Karsinoma Nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyinaran Radioterapi Terhadap Nilai Hemoglobin dan Limfosit Pada Karsinoma Nasofaring"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Demiza.radioterafi Dalam: Hilma,Soetjipto.Hemaglobin dan prognosis. jakarta : FK UI, 1989.p.71-8

Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Referat.Medan :FK USU, 1998.h. 1-20.

Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93.

Kentjono.A,Rasmi lautan. Efek samping radioterafi pada pengobatan carcino nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2000.h.1-16

Kentjono A,W,2003: perkembanan Terkini penatalaksanaan kkarsinoma Nasofaring.

Pearce, Evelyn C. 2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ramsi Lutan, dkk. Tinjauan tumor ganas nasofaring di poliklinik THT RS.Dr. Pirngadi Medan tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional VII Perhati., Surabaya, 21-23 Agustus 1983.h. 771-8

R. Susworo, 2007. Dasar - dasar Radio Terapi

Slonane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi.EGC. Jakarta. Stewar, C.C and Perez, C. Aeffectof Irradiation on

Radiology

Suhartono.1990.Teknik Radio Terapi

T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi.

Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan : FK USU, 1996. h. 15-20.

Soetipto D. D.karsinoma nasofaring dalam tumor telinga dan tenggorokan. Diagnosis penantalaksanaan Jakarta 1989 F.UI

Soepardi, Efiaty aisyad dan nurbaiti iskandar (2000),Buku Ajaran ilmu kesehatan THT Edisi Empat. FK UI :Jakarta

Witte And Nell 1998 : Lin,2006 Buku tentang anatomi Fisiologi.

(2)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibagian Radiotrapi. RS Murni Teguh Medan dengan menggunakan alat pesawat radioterapi LINAC (linear accelerator)

Penelitian ini adalah observasional analitik dengan jumlah sampel 25 penderita karsinoma nasofaring.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang di gunakan pada penelitian ini adalah pesawat radioterapi LINAC (Linear accelerator)

1. UNIT TELETERAPI (LINEAR ACCELERATOR)

Type : Multy synergi dengan MLC Treatmenttype unit : Synergi

Radiation type : Photon

Energi : 6 MV

Merk : Electa

(3)

Gambar 3.0 pesawat radioterapi LINAC (linear accelerator) 2. HASIL LABORATORIUM

Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini ada lah pasien dengan kasus karsinoma nasofaring sebanyak 6 orang.

3. DATA REKAM MEDIS.

(4)

3.3 Flow Chart Penelitian

Adapun diagram Alir pada penelitiaan ini adalah Sebagai berikut:

Selesai Fraksinasi

Analisa

(5)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL

Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan dirumah sakit Umum Murni Teguh bagian radioterapi. maka di peroleh hasil fraksinasi dalam terapi radiasi ditujukan untuk meningkatkan efek radiasi pada jaringan karsinoma nasopharing/kanker dan untuk menurunkan efek radiasi pada jaringan normal. Efek samping pada jaringan normal dapat terjadi, baik akut ataupun lanjut (kronis). Efek samping akut terkait dengan singkatnya waktu fraksinai, semakin singkat waktu total radiasi semakin tinggi efek samping akut radiasi. Sedangkan efek samping lanjut berkaitan dengan besarnya dosis dalam tiap fraksi, semakin tinggi sosis per fraksi semakin tinggi efek samping lanjut. Dalam penerapannya, system fraksinasi dibuat dengan skema yang bervariasi, yang didasarkan pada skema dosis per fraksi, jumlah fraksi, interval waktu fraksi, ataupun berdasarkan perubahan dosis totalnya.

- Fraksinasi dengan jumlah fraksi 5 kali perminggu. Dosis per fraksi yang diberikan 1 x setiap hari biasanya berkisar antara 1,8 Gy – 2 Gy (minggu pertama)

- Fraksinasi dengan jumlah fraksi lebih sedikit dari konvensional (1-4 kali perminggu) tetapi dosis per fraksi yang diberikan lebih besar (3-5 Gy) untuk mencapai dosis total yang sama dengan faksinasi sebelumnya.

- Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif atau paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 – 30 kali, diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali yang diberikan : 1,8 – 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis perkali yang diberikan 2-5 Gy.

(6)

berlangsung. Dengan pemberian secara fraksinasi diharapkan secara optimal dapat tercapai sehinggga prinsip dalam radioterapi untuk mematikan sebanyak mungkin sel tumor/kanker dapat dicapai tetap melindungi semaksimal mungkin jaringan sehat disekitarnya.

Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan dirumah sakit Umum Murni Teguh bagian radioterapi maka diperoleh data pasien sebanyak 6 orang yang memenuhi metode pengamatan yaitu :

4.1.1 Tabel Dan Hubungan Nilai Hemoglobin Dan Limfosit Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

Hubungan Jumlah Hemoglobin dan Limfosit Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi. Sebagai berikut ini :

(7)

Dan pada table 4.2 adalah nilai normal dari hemoglobin sebagai berikut ; Tabel 4.2 Nilai Normal Hemoglobin (figo)

No Jenis Nilai Normal Hb

1 Baru lahir 17-24 gm/dl

2 Umur Satu Minggu 15-20 gm/dl

3 Umur Satu Bulan 11-15gm/dl

4 Anak-anak 11-13 gm/dl

5 Lelaki dewasa 14-18 gm/dl

6 Wanita dewasa 12-16 gm/dl

7 Lelaki separuh usia 12.4-14.9 gm/dl 8 Wanita separuh usia 11.7-13.8 gm/dl

Dan pada table 4.3 adalah nilai normal dari limfosit sebagai berikut ini :

Tabel 4.3 Nilai Normal Limfosit (Figo)

Jenis Nilai normal

Basofil 0,4-1%

Eosinofil 1-3%

Neutrofil

55-70%

Bayi Baru Lahir 61% Umur 1 tahun 2%

Limfosit

20-40% BBL 34% 1 th 60% 6 th 42% 12 th 38% Monosit

(8)
(9)

12,8

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien A terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Grafik Nilai Limfosit Pasien A terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

32 Jumlah Penyinaran Limfosit

(10)

13,3

Hubungan antara dosis radiasi dan reproduksi hemoglobin pada karsonoma nasofaring produksi hemoglobin dilakukan penyinaran pasein A hemoglobinnya 12,8 gm/dl setelah itu menurun hemoglobinnya menjadi 8,6 gm/dl di penyinaran ke 32 kali di sebabkan berkurangnya produksi hemoglobin dan limfosit dapat disebabkan beberapa faktor yaitu variasi individu sehingga menyebabkan kemampuan produksi darah berkurang pada penderita karsinoma nasofaring.

Pada grafik pasien limfosit sebelum dilakukan penyinaran limfosit pasein A 28,0 setelah penyinaran dilakukan beberapa kali sampai mencapai 32 kali penyinaran limfosit menurun sampai 10,0 akan berkurang dan mengakibatkan infeksi bakteri dan virus didalam tubuh.

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien B terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

32

8.9

(11)

25,9

Grafik Nilai Limfosit Pasien B terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Hubungan antara dosis radiasi dan reproduksi hemoglobin pada karsonoma nasofaring produksi hemoglobin dilakukan penyinaran pasein A hemoglobinnya 13,3 gm/dl setelah itu menurun hemoglobinnya menjadi 8,9 gm/dl di penyinaran ke 32 kali. Hemoglobin dan limfosit antara sebelum pemberian radioterapi dan sesudah pemberian dosis fraksinasi radioterapi memiliki perbedaan yang signifikan sedangkan limfosit dan hemoglobin tergolong resisten terhadap radiasi. Di grafik limfosit di fraksinasi ke 10 limfosit semakin menurun menjadi 11,0 setelah diperiksa limfosit naik menjadi 17,1 di karenakan pasien kondisinya membaik, mungkin factor makanan dan dibantu obat-obat.

17.1

11.9

(12)

13,5

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien C terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Grafik Nilai Limfosit Pasien C terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

(13)

12,7

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien D terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Grafik Nilai Limfosit Pasien D terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

(14)

13,4

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien E terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Grafik Nilai Limfosit Pasien E terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

(15)

13,1 13,8

Grafik Nilai Hemoglobin Pasien F terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

Grafik Nilai Limfosit Pasien F terhadap Dosis Penyinaran Radiotrapi

(16)

4.2 PEMBAHASAN

Analisis data hubungan hemoglobin dan limfosit terhadap penyinaran Radioterapi disebut juga penyinaran dan dipilih sebagai salah satu metode pengobatan pada pasien karsinoma nasofaring. Dengan pemberian secara fraksinasi diharapkan kondisi pasien semakin membaik karena pemberian fraksinasi secara optimal sudah dapat dicapai. Sehingga prinsip dalam Radioterapi untuk mematikan sebanyak mungkin sel-sel karsinoma/kanker dapat dicapai dengan tetap melindungi semaksimal mungkin jaringan sehat disekelilingnya. Bila hal ini menjadi semakin parah, biasanya akan ada efek rasa ingin muntah yang muncul dan tak jarang pasien membutuhkan obat penahan rasa sakit dan membutuhkan suplemen gizi yang lebih.

Pada kasus ini produksi Hb naik 4,24 % dan pada penderita ini Hb turun 4,07 %. Peningkatan Hb pada kasus ini dapat disebabkan oleh variasi individu atau injeksi obat eritropoetin selama penyinaran sehingga produksi Hb meningkat. Radiasi pengion mengganggu sistem nilai hemoglobin dan menyebabkan penurunan jumlah total sel darah. Peningkatan produksi Hb pada penderita setelah mendapat radiasi dapat disebabkan Gangguan sistem nilai hemoglobin akibat penyinaran radioterapi pada kedua kasus yang diteliti memiliki peluang yang sama besar. Besarnya penurunan sel darah tergantung dari besarnya dosis radiasi yang diterima, jumlah sel sumsum tulang yang terkena radiasi dan kemampuan sel sumsum tulang melakukan regenerasi.

(17)

Kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan sesudahmendapatkan radioterapi belum pernah diteliti sehingga pengamatan kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring di bangsal Telinga Hidung Tenggorok Kepala-Leher Rumah Sakit Murni Teguh Medan sangat penting, karena akan berdampak pada asupan makanan dan status gizi pasien yang mendapat radioterapi. Penelitian kadar hemoglobin pasien karsinoma nasofaring dapat mengetahui sejauh mana radioterapi berefek pada kadar hemoglobin pasien. Penelitian lebih lanjut akan mengarah pada kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi.

Trombosit berfungsi dalam mekanisme pembekuan darah. Trombositopenia adalah suatu kondisi dimana jumlah trombosit kurang dari normal yang disebabkan oleh reaksi awal obat-obatan, malignansi sumsum tulang, atau radiasi pengion yang merusak sumsum tulang. Keadaan sebaliknya disebut trombositosis, yaitu peningkatan jumlah trombosit karena pendarahan, terutama anemia karena kehilangan darah yang kronis, infeksi, pascabedah, keganasan dan penyakit inflamasi (Campbell, dkk, 2002).

(18)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di rumah sakir umum Murni Teguh Medan bagian radioterapi, fraksinasi yang diberikan pada penderita karsioma nasofaring mempengaruhi nilai hemoglobin dan sel darah putih limfosit. Dimana data analisis nilai hemoglobin dan limfosit pasien penderita karsinoma nasofaring menunjukkan adanya penurunan jumlah nilai hemoglobin baik itu jumlah limfosit maupun sel darah (hemoglobin) peranan hemoglobin menjadi berkurang. Anemia membuat penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hemoglobin letaknya di dalam sel darah merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah dan tampak pucat. Dan berdasar penelitian di Murni Teguh Medan, Fraksinasi yang di berikan pada penderita karsinoma nasofaring dapat mempengaruhi jumlah hemoglobin dan limfosit pasien

5.2 Saran

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hemoglobin

Hemoglobin adalah dala

ke seluruh t

pengusung

Mutasi pada menurun yang disebut adal

Hb merupakan molekul protin di dalam dengan memberikan warna merah pada mengandungi 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen.

(20)

Pada hemoglobin biasanya ditentukan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram (gm) bagi setiap dekaliter (100 mililiter). Aras hemoglobin normal

bergantung kepada usia, awal remaja, dan jantina seseorang itu. Normal adalah :-

Tabel 2.1 Nilai Normal Hemaglobin

No Jenis Nilai Normal HB

1 Baru lahir 17-24 gm/dl

2 Umur Satu Minggu 15-20 gm/dl

3 Umur Satu Bulan 11-15gm/dl

4 Anak-anak 11-13 gm/dl

5 Lelaki dewasa 14-18 gm/dl

6 Wanita dewasa 12-16 gm/dl

7 Lelaki separuh usia 12.4-14.9 gm/dl 8 Wanita separuh usia 11.7-13.8 gm/dl

Pada hemoglobin yang rendah merupakan satu keadaan yang dikenali sebagai biasanya kehilangan darah (pendaraan yang terus menerus, operasi, pendarahan kanker kolon), kekurangan vitamin (besi, vitamin B12, folate), masalah sum-sum tulang tulang belakang (penggantian sum-sum tulang oleh darah, pemendaman oleh rawatan dadah chemotherapy, kegagalan buah pinggang (ginjal)), dan hemoglobin tidak normal (anemia sel sabit).

Darah merupakan bagian yang penting dalam sistem sirkulasi di dalam tubuh manusia.Darah terdiri dari atas dua bagian yaitu bagian cair (Plasma darah) dan sel darah.Sel darah meliputin : Eritrosit,Leukosit dan Trombosit.

Limfosit adalah jenis sel darah putih, yang merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Limfosit dapat mempertahankan tubuh terhadap infeksi karena mereka dapat membedakan sel-sel tubuh sendiri dari yang asing.

(21)

Setelah dewasa, mereka menyebar ke seluruh tubuh dan berkonsentrasi dalam limpa dan kelenjar getah bening. T limfosit, atau sel T, meninggalkan sumsum tulang dan matang dalam timus, kelenjar ditemukan di dada. Hanya limfosit matang dapat melaksanakan respon imun.

Semua limfosit mampu memproduksi bahan kimia untuk melawan molekul asing. Setiap molekul diakui oleh tubuh sebagai benda asing yang disebut antigen. Limfosit A, apakah B atau T, adalah khusus hanya untuk satu jenis antigen. Hanya ketika antigen yang tepat ditemui apakah sel menjadi dirangsang.

Ada dua jenis utama limfosit T dan masing-masing memainkan peran yang terpisah dalam sistem kekebalan tubuh. Sel pembunuh T mencari tubuh untuk sel yang terinfeksi oleh antigen. Ketika sel T pembunuh mengenali antigen yang melekat pada sel tubuh, menempel pada permukaan sel yang terinfeksi. Kemudian mengeluarkan bahan kimia beracun ke dalam sel, membunuh kedua antigen dan sel yang terinfeksi.

Sel T helper melepaskan bahan kimia yang disebut sitokin, ketika diaktifkan oleh antigen. Bahan kimia ini kemudian merangsang limfosit B untuk memulai respon kekebalan tubuh mereka. Ketika sel B diaktifkan, menghasilkan protein yang melawan antigen, yang disebut antibodi. Antibodi spesifik hanya untuk satu antigen, sehingga ada banyak jenis sel B dalam tubuh.

Pertama kali antigen yang dihadapi, respon imun primer, reaksi lambat. Setelah dirangsang oleh sel T helper, sel B mulai meniru dan menjadi baik sel plasma atau sel memori. Sel plasma menghasilkan antibodi untuk melawan antigen, tetapi antigen juga memiliki waktu untuk berkembang biak. Pengaruh antigen pada sel-sel tubuh yang menyebabkan gejala penyakit. Awalnya, itu dapat mengambil hari atau bahkan berminggu-minggu untuk antibodi yang cukup untuk diproduksi untuk mengalahkan materi menyerang.

(22)

waktu seminggu. Sel memori tetap dalam tubuh lebih lama dari sel plasma dan antibodi, seringkali tahun. Mereka adalah penting untuk memberikan kekebalan.

Gambar 2.0 Limfosit

Keterangan Gambar :

a. Sel T Matang dalam Timus. b. Sel T Sitotoksik secara langsung. c. Menyerang sel-sel asing.

d. Sel T Helper merangsang sel B. e. Sel B berubah menjadi sel Plasma.

f. Melepaskan antibody kedalam aliran darah. g. Sel B berdiferensiasi menjadi sel Memori

(23)

2.2 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Defenisi

Kanker Nasofaring adalah sejenis kanker atau tumor ganas yang tumbuh pada nasofaring. Nasofaring adalah bagian sistem pernafasan yang terdiri dari dua kata Naso yang berarti hidung dan Faring yang berarti tenggorokan. Jadi Nasofaring adalah hidung bagian dalam (bagian belakang) hingga ke tenggorokan.

2.2.2 Gejala Karsinoma Nasofaring

Gejala Kanker Nasofaring Ciri-ciri atau Tanda-tanda kanker nasofaring yang dapat kita amati yaitu kesulitan bernapas karena penyempitan pada daerah nasofaring, tentunya juga gangguan berbicara dengan produksi suara yang terdengar sengau, selain itu bisa juga terdapat gangguan pendengaran. Selain gejala utama kanker nasofaring diatas, cermati juga tanda-tanada berikut ini yang mengharuskan Anda untuk periksa ke dokter: Terdapat benjolan di hidung atau leher. Sakit tenggorokan. Kesulitan bernapas atau berbicara termasuk suara serak Mimisan atau keluar darah dari hidung (epistaksis) Gangguan pendengaran Infeksi telinga yang terus datang kembali Nyeri pada telinga atau telinga berdenging Sakit kepala Pandangan kabur atau ganda Wajah nyeri atau mati rasa Hidung tersumbat

2.2.3 Epidomologi

Kurang lebih, lima dari 100.000 penduduk Indonesia adalah pengidap penyakit kanker nasofaring. Kanker nasofaring masuk dalam kelompok lima besar tumor ganas yang sering dijumpai di Indonesia, bersama-sama dengan kanker payudara, leher rahim, paru dan kulit. Kanker ini ditemukan dua kali lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Di Indonesia perbandingan jumlah penderita etnis tionghoa 3 kali lebih sering terjadi dibandingkan etnis melayu. Umumnya (sekitar 60%) kanker ini mengenai pasien yang berusia antara 25 sampai 60 tahun. Meskipun usia bertahan hidup 5 tahun dari pasien KNF menurut perpustakaan-50%, namun angka kematian kanker ini di Indonesia cukup tinggi. Hal ini disebabkan sebagaian besar penderita datang dalam stadium lanjut.

(24)

gangguan pada penglihatan akibat kelumpuhan otot-otot kelopak mata. Penderita menjadi sukar atau tidak bisa membuka kelopak mata secara normal. Bisa juga pandangan penderita mejadi ganda atau dobel. Selain itu bias juga terjadi nyeri kepala yang menelan, tidak bisa bersuara, dan lain-lain. Secara tidak langsung hal-hal ini mengakibatkan kondisi fisik dan sosial penderita akan menurun secara dratis.

Yang paling berat, adalah jika melalui darah dan aliran darah limfe sel-sel kanker menyebar (matastase) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh seperti tulang, paru dan hati. Gejala yang timbul adalah sesuai dengan gejala akibat kerusakan organ-organ tersebut. Apabila didapati gejala penyerta seperti nyeri tulang, sesak, asites, dan lain-lain, umumnya merupakan tanda suatu bahwa saat itu penyakit sudah jauh menyebar (stadium lanjut) dan sukar diobati lagi. Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat meringankan penderita baik semasa hidup maupun meninggalnya.

Infeksi virus Epstein Barr memegang peranan penting dalam timulnya kanker nasofaring ini. Virus ini dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di orofaring, nasofaring kelenjar parotis dan kelenjar ludah tanpa menimbulkan gejala. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.

2.2.4 Etiologi

Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :

1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.

(25)

- benzopyrenen - benzoanthracene - gas kimia

- asap industri - asap kayu

- beberapa ekstrak tumbuhan 4. Ras dan keturunan

5. Radang kronis daerah nasofaring 6. Profil HLA.

2.3 Anatomi Nasopharing

Nasofaring adalah celah sempit berbentuk tabung yang di lapisin mukosa dan berfungsi untuk menghubungkan rongga hidung ke orofaring. Sisi anterior di batasin oleh koana posterior dan septum hidung, pada bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole dan berhubungan dengan orofaring di setinggi uvula.Dinding posterior nasofaring terbentudi anterior vertebra servikal I –II, pre vertebra dan bukofaringengeal, superior dari otot konstriktor faringeus serta aponeurosis faringeal. Atap dari nasofaring di bentuk oleh tulang basis- sfenoid dan basis oksipital dari basis cranii. Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku d atas nya belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk ke bagian faring.pada dingding nasofaring melengkung kearah superior anterior dan terletak di bawah os sfenoid sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofiring otot otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat ORIFISIUM TUBA EUSTAKIUS dan akan menggangu pendengaran ke arah postero superior dari torus tubarius terdapat fossa rosenmuller yang merupakan lokasih tersering karsinoma nasofaring.pada atap nasofaring sering terlihat lipatan – lipatan dinding mukosa yang di bentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia mudadinding postero –superion nasofaring umum nya tidak rata. Hal ini sebab kan karena ada nya jaringan adenoid.

(26)

yang paling sering adalah rongga hidung, sinus orofaring,ruang parafaring, dan basis cranii. Struktur orbita, vertebra servikal dan struktur pterygoid pada stadium lanjut dapat terlibat.

Tumor dapat meluas melalui foramen laserum,ovale, atao spinosum yang berfotensi melibat kan saraf kranial II hingga VI. Tumor dapat mencapai cranium melalui kanalis korotikus, foramen jugularis atau kanalis hipoglosus pada kasus yang lebih jarang.

(27)

2.4 Patologi

Kira kira 90% karsinoma yang terdiferensi sedang 10% sebagian besar merupakan limpoma tetapi juga bias berupa plasmacytoma. Sedang tumor yang berasal dari kelenjar liur berupa melanoma. Rhabdomyosarcoma dan chordoma. Karsinoma adenoid cystic pada nasofaring jarang terjadi,sedang sarcoma kadang muncul dari embrional atau jaringan ikat. Kebanyakan limpoma nasofaring bersifat limpoma sel mayor nonhodgkin.

Karsinoma nasofaring juga di kenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi mengadakan metastasis regional mau pun jauh. Karsinoma nasofaring sensitive terhadap radioterapi mau pun kemoterapi. Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan di bagi menjadi 3 tipe yaitu Tipe 1 : dengan Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi, tipe ini dapat dibagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. Tipe 2 Karsinoma sel skuomosa tampa keratinisasi. Pada tipe ini di jumpai ada nya diferensiasi, tetapi tidak ada inter sel.Pada umum nya batas sel cukup jelas. Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,berbentuk oval atau bulat dengan nucleoli yang jelas.pada umum nya batasan sel tidak terlihat dengan jelas.

Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa deferensiasi mempunyai sifat radiosensitive dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-barr, sedangkan jenis karsinoma selskuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitifdan tidak menunjukkan hubungan dengan anti virus Epstein-barr.

2.5 Radang Kronis di Daerah Nasofaring.

Peradangan menyebabkan mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

(28)

Gejala dan tanda pada penderita karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu Gejala dini dan Gejala hidung . Berupa epistaksis (mimisan) ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada namun tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). Tumor yang terus tumbuh menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Pertumbuhan tumor yang berlanjut akan meluas ke dalam rongga nasofaring, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang menetap. Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul . Karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa penyumbatan muara tuba, telinga tengah akan terisi cairan, cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga, penderita mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.

Gejala lanjut, gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan belakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan adalah penglihatan dobel, mati rasa di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot yang terkena tumor. Gejala Metastasis Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh, sering terjadi pada tulang, hati dan paru. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.

2.6 Diagnosa

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu carsinoma pasti serta stadium tumor : Anamnesis

(29)

keadaan umum, pembesaran hati atau nyeri ketok pada tulang belakang. Pemeriksaan lokal menilai kelainan neurologik seperti mata juling, lidah dan mulut yang mencong, baal di wajah. Pemeriksaan regional dengan melihat pembesaran kelenjar getah bening leher. Biopsi untuk menentukan tumor primer atau berasal dari metastasis.Pemeriksaan patologi anatomi untuk menentukan jenis histopatologi tumor primer. Pemeriksaan radiologi polos untuk menilai adanya invasi intrakranial atau destruksi tulang-tulang tengkorak. CT Scan (computerized tomography) dan MRI (Magnetic Resonance imaging) merupakan pemeriksaan yang mutlak dilakukan untuk menentukan stadium dan tindakan. Sedang pemeriksaan USG untuk mencari kemungkinan metastasis pada hati. Foto Thoraks rutin dilakukan untuk kemungkinan metastasis paru. Pemeriksaan kedokteran nuklir atas indikasi stadium lanjut dan bila ada keluhan tulang-tulang panjang atau tulang belakang.

2.7 Stadium ( NN 2008)

Sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofaring (KNF) yang dipakai saat ini ada beberapa macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada tahun 1997 AJCC (American Joint Committee on Cancer) AJCC mengeluarkan sistem klasifikasi stadium terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4 (1988). Berikut ini adalah sistem klasifikasi stadium menurut AJCC 1997 :

Stadium T (Ukuran luas tumor) T4 Tumor meluas ke intrakranial dan atau melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa infratemporal atau orbita.

Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun sebagai berikut seperti pada tabel 2 berikut ini :

T0 Tak ada kanker di lokasi primer

T1 Tumor terletak atau terbatas di daerah nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke kavum nasi. T2a Tanpa perluasan ke ruang parafaring

T2b Dengan perluasan ke parafaring

T3 Tumor menyeberang struktur tulang dan atau sinus paranasal

(30)

Tabel 2.2 Stadium KNF Stadium KNF

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas pada satu batas saja

T2

Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga

nasofaring

T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring

T4

Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah masuk tulang tengkorak atau saraf saraf otak

Tx Tumor tidak jelas besarnya karena

pemeriksaan tidak lengkap

REGIONAL LIMFE NODES (N)

N0 Tidak ada pembesaraan

N1 Terdapat pembesaraan tetapi homolateral

dan masih bisa digerakkan

N2 Terdapat pembesaraan kontralateral/

bilateral dan masih dapat digerakkan

N3

Terdapat pembesaraan, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar

METASTASE JAUH (M)

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

- Stadium I : T1 No dan Mo

- Stadium II : T2 No dan Mo

- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 atau T3 dan No dan Mo

- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo

atau T1/T2/T3/T4 dan No/N1/N3/N4 dan M

2.8 Pengobatan Karsinoma Nasofaring.

(31)

atau pada keadaan kambuh. Operasi, Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

Radioterapi, sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.

(32)

2.9 Konsep Dasar Radioterapi 2.9.1 Definisi Radioterapi

Terapi radiasi merupakan terapi yang menggunakan radiasi ionisasi tinggi yang digunakan untuk mengganggu pertumbuhan selular. Terapi ini merupakan terapi local yang digunakan sendiri atau kombinasi dengan terapi lain (Otto, 2005).

Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-sel kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat (Tjkronagoro,2001).

2.9.2 Tujuan Radioterapi

Pengobatan secara radikal, sebagai terapi paliatif yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman akibat kanker dan sebagai adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko kekambuhan dari kanker.

Dengan pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak sel-sel kanker yang mati dan tumor akan mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi.

2.9.3 Jenis Radioterapi

Dikenal beberapa jenis radioterapi, yaitu radioterapi eksternal dimana terdapat jarak antara sumber radiasi dengan kulit penderita dengan Cobalt 60 atau linear accelerator. Lapangan operasi digambar lebih dahulu sebelumnya atau

(33)

Radioterapi merupakan suatu jenis pengobatan yang menggunakan atau memanfaatkan sinar pengion (sinar-x,sinar gamma) dan partikel lain (neutron,proton) untuk mematikan sel – sel kanker.Penggunaan sinsr-x untuk terapi kanker kulit sudah di rintis oleh J.E. Gilman ilmuwan eropa sejak akhir abad 19.Cara – cara penyinaran kanker tergantung pada letak kanker dan jenis pesawat yang digunakan saat ini adalah pesawat linear accelerator (LINAC).Metode radioterapi di sesuaikan dengan tujuan yaitu tujuannya yaitu pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar keseluruh tubuh yang lain atau bermetastasis ke kelenjar getah bening dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin jaringan sehat di sekitar nya.Radioterapi dengan dosip kuratif diberikan pada kanker stadium 1 sampai III B.Sedangkan radioterapi dengan tujuan paliatif bertujuan untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik dan radioterapi ini diberikan secara selektif pada stadium IV A.

Sejarah Radioterapi penemuan sinar-x Wilhelm Conrad Rontgen (Bulan nopember tahun 1895) merupakan suatu revolusi baru dalam dunia kedokteran.Wilhelm Conrad Rontgen dalam penyelidikannya menemukan hampir semua sifat sinar rontgen yaitu adalah sifat – sifat fisika dan kimianya.Namun ada satu sifat yang tidak sampai diketahuiannya yaitu sifat biologik yang dapat merusak sel – sel hidup.Sejalan dengan berjalannya waktu itu belum sampai terpikirkan bahwa sinar ini dapat membahayakan dan merusak sel hidup manusia.Namun pada abad ke-20 ternyata banyak pioneer menjadi korban sinar ini.Kelainan biologic yang di akibatkan sinar-x adalah merupakan kerusakan pada sel – sel hidup yang merupakan dalam tingkat diri nya hnya sekedar perubahan warna sampai menghitamnya kulit bahkan rambut menjadi rontok .Dosis sinar yang terlalu tinggi dapat mengkibatkan terjadinya iritasi kulit kadang sampai nekrosis bahkan bila dilanjutkan penyinaran bias menjadi tumor kulit.

(34)

radiasi sinar-x kilovolt menjadi radiasi gamma Co 60 di mulai.Perkembngan teknologi didunia kedokteran talah membantu penderita penyakit kanker untuk sembuh dari sakit yang dideritanya. Cukup banayak penderita kanker yang berobat kerumah sakit menerima terapi radiasi. Radiasi yang diterima dapat berupa terapi tunggal dan kadang dikombinasikan. Terapi radiasi umumnya bertujuan untuk : kuratif yakni, secara langsung mencegah terjadinya metatase yang jauh. Mengecilkan tumor, mengatasi pendarahan, menghilangkan gejala neulogik akibat metatase ( Suhartono,1990 ).

Radioterapi atau disebut juga terapi radiasi adalah terapi menggunakan radiasi yang bersumber dari energi radioaktif.

Terapi radiasi yang juga disebut radioterapi, irradiasi, terapi sinar-x, atau istilah populernya "dibestral" ini bertujuan untuk menghancurkan jaringan kanker. Paling tidak untuk mengurangi ukurannya atau menghilangkan gejala dan gangguan yang menyertainya.

Tidak hanya sel kanker yang hancur oleh radiasi. Sel normal juga. Karena itu dalam terapi radiasi dokter selalu berusaha menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin, sambil sebisa mungkin menghindari sel sehat di sekitarnya. Tetapi sekalipun terkena, kebanyakan sel normal dan sehat mampu memulihkan diri dari efek radiasi. Radiasi bisa digunakan untuk mengobati hampir semua jenis tumor padat termasuk kanker otak, payudara, leher rahim, tenggorokan, paru-paru, pankreas, prostat, kulit, dan sebagainya, bahkan juga leukemia dan limfoma. Cara dan dosisnya tergantung banyak hal, antara lain jenis kanker, lokasinya, apakah jaringan di sekitarnya rawan rusak, kesehatan umum dan riwayat medis penderita, apakah penderita menjalani pengobatan lain, dan sebagainya.

Radioterapi disebut sebagai prosedur utama penanganan kanker otak. Buat teman teman yang sedang menimbang pengobatan kanker otak yang mau dipilih, maka mungkin info tentang alat/teknik radioterapi ini bisa bermanfaat :

Brachytherapy adalah radioterapi yang bersifat internal. Partikel radioaktif (yang berbentuk biji kecil) dimasukkan lewat kateter ke dalam organ tubuh tempat lokasi tumor berada.

(35)

Brachytherapy bisa dilakukan pada kanker: prostat, payudara, usus, paru, serviks, rektum, sarkoma, serta kanker leher dan kepala.

Teknik bedah dengan memanfaatkan sinar laser ini memungkinkan para penderita kanker, khususnya kanker otak, tidak perlu melakukan operasi pembedahan kepala (buka tempurung kepala) demi mengobati tumornya.

Operasi ini melibatkan penggunaan robot canggih dan sinar laser yang diarahkan tepat ke daerah tumor tuk membakar tumornya.

Istilah lain adalah Cyberknife. Cyberknife digunakan untuk memperlambat pertumbuhan tumor otak yang masih kecil ukurannya, tetapi posisinya sulit dijangkau (jauh di dalam otak).

Jenis jenis tumor yang dapat diatasi dengan Cyberknife ini antara lain: • Kanker yang telah metastase ke otak (dari organ lain)

• Tumor syaraf yang pertumbuhannya lambat (accoustic neuroma) • Tumor pituitari

• Tumor saraf belakang (spinal cord tumor)

2.9.4 Efek Samping Radioterapi

Efek samping radioterapi bervariasi pada tiap pasien. Secara umum efek samping tersebut tergantung dari dosis terapi, target organ dan keadaan umum pasien. Beberapa efek samping berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah, nyeri, perubahan warna dan ulserasi), penurunan sel-sel darah, kehilangan nafsu makan, diare, mual dan muntah bisa terjadi pada setiap pengobatan radioterapi. Kebotakan bisa terjadi tetapi hanya pada area yang terkena radioterapi. Radiasi tidak menyebabkan kehilangan rambut yang total. Pasien yang menjalani radiasi eksternal tidak bersifat radioaktif setelah pengobatan sehingga tidak berbahaya bagi orang di sekitarnya. Efek samping umumnya terjadi pada minggu ketiga atau keempat dari pengobatan dan hilang dua minggu setelah pengobatan selesai.

(36)

diinginkan, makan dalam jumlah kecil tetapi sering, hindari memakan makanan yang kering, minum banyak air, bisa diberikan makanan suplemen untuk meningkatkan nafsu makan. Perubahan kulit yang terjadi bisa dikurangi dengan tidak menggunakan produk-produk pada kulit sebelum radioterapi, menggunakan baju yang tidak terlalu sempit, menggunakan sabun yang lembut dan air hangat pada saat membasuh tubuh, dilarang menggosok terlalu keras pada area yang terkena radioterapi, hindari temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin serta hindari sinar matahari langsung.

Pada umumnya efek samping dari radioterapi akan hilang dengan sendirinya setelah pengobatan dihentikan. Tetapi pada beberapa kasus yang jarang akan terjadi efek samping yang berkepanjangan karena radiasi menyebabkan kerusakan pada organ dalam yang berhubungan atau berdekatan dengan tempat tumor.

Sedangkan radiasi pascabedah pada umumnya sama dengan diatas dengan kelebihan tidak menghilangkan pola gambaran histopatologik sehingga dapat diperoleh diagnosis patologik anatomik dn stadium yang akurat.

Radiasi eksterna ini terutama diperlukan pada kasus dengan gradiasi diferensiasi tinggi. Salah stu dari banyak penelitian melaporkan bahwa tumor dengan gradiasi diferensiasi tinggi mempunyai kecenderungan yang tinggi pula untuk terjadinya invasi miometrium yang dalam serta keterlibatan kelenjar getah bening parailiakal dan dalam presentase yang lebih rendah ke paraaortal.

Brakhiterapi harus diberikan setelah radiasi eksterna pada kasus pascabedah yang masih dijumpai sel tumor pada margin operasi.

(37)

2.10 Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.

Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy untuk T1-T2 dan 70-75 Gy untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan 2 Gy perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa supraklavikula dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy perfraksi

2.11 Teknik Radioterapi Dapat Dilakukan Dengan Cara : a. Radiasi Eksterna

Pengobatan kanker dengan menggunakan teknik radioterapi dapat dilakukan dengan cara radiasi ekterna. Sumber sinar berupa sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari : Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi Jarak antara sumber energi dan tumor, Kepadatan massa tumor.

(38)

b Radiasi Interna

Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Adapun tujuan pemberian brakhiterapi pada karsinoma nasofaring antara lain :

Untuk memberikan dosis boster pada tumor primer yang telah memperoleh radiasi eksterna. Untuk menghindari kelenjar parotis serta jaringan sehat sekitarnya memperoleh dosis berlebihan dari radiasi eksterna.

Ada beberapa jenis radiasi interna : a. Interstitial

Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium.

b. Intracavitair

Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :After loading Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.

Instalasi Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.

c. Intravena

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 (Radioisotop yang penting dari unsure iodium) yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.

2.12 Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Mental dan fisik penderita perlu dipersiapkan demikian pula keluarganya diberikan penjelasan mengenai tindakan pengobatan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan

(39)

1) Stadium I :

Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher.

Stadium II : 1) Kemoradiasi, atau

Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilatik di daerah leher.

Stadium III : 1) Kemoradiasi

2) Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada).

3) Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan, misalnya pada tumor leher persisten atau renkuren asalkan tumor primer di nasofaring terkontrol.

Stadium IV : 1) Kemoradiasi

2) Radioterapi dosis tinggi atau teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positif)

3) Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol.

4) Kemoterapi untuk karsinoma nasofaring untuk stadium IV C

Pada stadium ini, terdapat tiga tahapan selanjutnya, yang terbagi menjadi tahapan IVA,IVB dan IVC

• Stadium IVA. Pada stadium IVA karsinoma nasofaring sudah menyebar kebagian saraf cranial,dan tersebar di sekitaran tengkork dn tulang dagu.karsinoma nasofaring juga kemungkinan sudah menyebar ke bagian getah bening lainnya yang terdapat di bagian tubuh pasien.

• Stadium IVB. Dengan ukuran yang lebih besar dari 6 cm. karsinoma sudah menyebar ke area collarbonie dan juga, pada bagian atas bahu pasiennya. • Stadium IVC. Pada stadium IVC ini karsinoma sudah tersebar ke kelenjar

(40)

2.13 Teknik Radioterapi Karsinoma Nasofaring 1. Persiapan

Salah satu langkah dalam tahapan penatalaksanaan radioterapi adalah menentukan batas-batas lapangan radiasi. Tindakan ini merupakan langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. Untuk menentukan batas-batas lapangan radiasi serta perhitungan dosis karsinoma nasofaring, maka perlu adanya persiapan penyinaran. Adapun persiapan tersebut meliputi :

2. Alur Radioterapi

(41)

radiasi yang akan dilakukan. Pada kebanyakan tipe kanker, radiasi biasanya diberikan dalam dosis terbagi, 5 hari berturut-turut (Senin s.d. Jum’at), sehari sekali, kurang lebih selama 6-7 minggu.

Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi (kuratif atau paliatif) dan jenis histopatotoginya. Dosis kuratif umumnya 25 – 30 kali, diberikan 5 kali dalam satu minggu (Senin s.d. Jumat), dengan dosis perkali yang diberikan : 1,8 – 2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali, dengan dosis perkali yang diberikan 2-5 Gy.

Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran, sampai pasien kembali ke luar ruang radiasi. Dalam ruang pengobatan radiasi, anda akan diposisikan persis sama sewaktu menjalani simulator. Anda diharuskan diam selama pengobatan berlangsung.

3. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup\ penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.3,12

4. Penentuan batas-batas lapangan radiasi

(42)

kelenjar-kelenjar getah bening regional.3,12 Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :

1. Seluruh nasofaring

2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput 3. Sinus kavernosus

4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral.

5. Setengah belakang kavum nasi 6. Sinus etmoid posterior

7. 1/3 posterior orbit

8. 1/3 posterior sinus maksila 9. Fossa pterygoidea

10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar 11. Kelenjar retrofaringeal

12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan supraklavikular.3

Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar

tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. 3 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :

- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi. - Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana

(43)

5. Prosedur radioterapi

Proses radio terapi melibatkan sejumlah dokter spesialis bedah onkologi, dokter radiasi ongkologi, dokter ginekologi ongkologi, dekter hematologi ahli ongkologi akan merekomendasikan prosedur dan bekerjasama dengan fisikawan medik, Radiografer radioterapi dan teknik medis . yang betanggung jawab penuh terhadapa pasien adalah dokter spesialis radiologi. Setelah dokter memutuskan pasien untuk menjalani terapiradiasi maka dokter akan membuat jadwal, untuk pelaksaan terapiradiasi.tahap selanjutkan akan dilakukan penggambaran lokasi penyinaran atau sering disebut simulator.

6. Simulator.

Simulasi penyinaran radioterapi pada dasarnya adalah proses pencitraan sinar-x secara fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti dengan pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar teknik penyinaran yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran secara optimal dan akurat.

Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran, seperti; luas lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade area yang harus dilindungi, teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi.

(44)

Terapi radiasi karsinoma nasofaring harus mencakup Clinical Target Volume (CTV) meliputi daerah yang berpotensi terjadi infiltrasi local 1-2 cm

diluar Gross Tumor volume (GTV) yaitu tumor nasofaring itu sendiri dan semua perluasan tumor di sekitar nasofaring termasuk kelenjar getah bening di leher yang membesar. Sementara Planning Treatment Volume (PTV) ditentukan kurang lebih 1 cm diluar CTV. Pada karsinoma nasofaring volume target utama lapangan radiasi meliputi (Perez C.A, 2004) :

(45)

Gambar 2.2 Lapangan opposing lateral (Susworo,2007)

Dosis diberikan 1,8 Gy – 2 Gy perfraksi yang diberikan 5 kali dalam seminggu sehingga dosis mencapai 66 – 70 Gy dengan memperhatikan lapangan radiasi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi, berarti batas belakang maju ke arah anterior. Dengan lapangan yang terbatas ini dosis dilanjutkan sampai mencapai 66 – 70 Gy tergantung pada keadaan umum pasien serta reaksi lokal.

(46)

Selanjutnya radiasi pada rantai kelenjar getah bening leher serta klavikula dilakukan dari arah anterior dengan batas-batas sebagai berikut : Batas atas berada 0,5 cm caudal dari batas bawah lapangan nasofaring. Batas bawah dan lateral mencakup seluruh fosa klavikula kiri dan kanan. Dilakukan penutupan bagian tengah leher guna melindungi sebagian kelenjar gondok, laring dan trachea serta medulla spinalis. Kedua sudut bawah lapangan ini ditutup guna melindungi apex paru. Dosis diberikan dengan fraksi yang sama sehingga mencapai 40 Gy – 45 Gy yang dihitung Pada karsinoma nasofaring dengan pembesaran getah bening leher, tidak mungkin diberikan radiasi dengan metode lapangan supraklavikula dan lapangan oppossing kanan kiri. Pada 20 Gy pertama dapat diberikan dengan lapangan anteroposterior dan posteroanterior dengan rentang lapangan dari sinus frontalis sampai dengan fosa supraklavikula dengan megindahkan daerah daerah yang perlu dilindungi. Setelah itu lapangan diubah sesuai dengan stadiumnya dengan harapan bahwa dosis 20 Gy tersebut dapat memperkecil kelenjar sehingga dimungkinkan pemberian radiasi laterolateral. Setelah medulla spinalis mendapat dosis 40 Gy dilakukan pengecilan lapangan radiasi. Kelenjar yang berada di luar lapangan radiasi setelah dilakukan pengecilan diberikan dosis kompensasi sebesar 10 Gy. (Susworo, 2007).

Upaya untuk melindungi organ-organ vital dalam lapangan radiasi merupakan salah satu perhatian utama terapi radiasi. Hal ini bukan hanya untuk melindungi organ-organ penting, tetapi juga menghindari radiasi yang tidak perlu pada jaringan normal di sekitarnya.

(47)

Ruang cetak (Mould room) (Susworo R, 2007)

Di ruang cetak ini dilakukan pembuatan berbagai peralatan bantu, seperti pembuatan masker sebagai alat fiksasi pada saat radiasi eksterna kepala dan leher. Dilakukan pula pembuatan kompensator (bolus) yang terbuat dari lilin atau wax. TPS ( Treatment Planning System ) ( Jauhari, 2007)

Treatment Planning System atau dapat pula disebut dengan sistem perencanaan radiasi merupakan suatu proses yang sistematik dalam membuat rencana strategi terapi radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi dan mengandung deskripsi fisik, serta distribusi dosis berdasar pada informasi geometrik/topografi yang ada pada pencitraan (imajing) agar terapi radiasi dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam tampilannya bisa 2D bisa juga 3D.

Tujuan sistem perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah untuk menyesuaikan dosis pada volume target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal atau organ beresiko yang ada di sekitarnya.

Sistem perencanaan terapi radiasi meliputi : Posisi pasien terapi.

Imobilisasi.

Mengumpulkan data pencitraan pasien.

Menetapkan volume target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data bentuk-bentuk sinar yang didesain secara grafis dan orientasi sinar.

Bentuk lapangan yang dipilih menggunakan Biological Efek Volume (BEV) Distribusi dosis 3 dimensi.

(48)

TPS terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

Hardware. Komponen hardware terdiri dari Central Prosesor Unit (CPU), High

resolution graphics, mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard & mouse, high resolution graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup storage facility, network connections.

Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, bentuk dari anatomi,

beam geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram, digital recontruction radiographic.

Image Acquisition.

Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain: Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi

Pelaksanaan simulasi ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien dilakukan radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus sama, baik itu di ruang simulator maupun diruang cobalt 60 /linac.

Computer Tomografi (CT) Planning/CT Simulator

CT.Scan/CT.Planning penting untuk perencanaan terapi dan merupakan kebutuhan utama data imajing untuk 3 Dimention Radiation Therapy Treatment Planning (3D RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan

ádalah melokalisasi tumor dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin tipis irisan maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas pencitraan dapat meningkat.

(49)

Penatalaksanaan radioterapi eksterna karsinoma nasofaring

Upaya untuk mendapatkan ketepatan lapangan radiasi adalah dengan posisioning dan imobilisasi yang tepat. Posisi pasien telentang di atas meja pemeriksaan, dengan mengatur posisi tubuh pasien selurus mungkin dengan bantuan laser sebagai langkah awal untuk posisioning

Gambar 2,5. Posisi anatomi (Bente G.C 1996)

Teknik imobilisasi untuk pengobatan radiasi di daerah kepala dan leher membutuhkan reproduksibilitas set-up yang sangat tepat, karena dekat dengan mata, chiasma opticum, jalinan saraf dan otak, terutama jika dosis untuk daerah sasaran melebihi toleransi organ-organ didekatnya (Bentel G.C,1996).

(50)

Gambar 2.6 Bantalan Kepala dan Leher (Bentel G.C 1996)

Gambar 2.7 Masker/Imobilisasi Kepala-Supraclavikula (Susworo, 2009) Pasien biasanya sangat nyaman jika dalam posisi telentang dengan kepala posisi netral (yaitu kening dan dagu terletak pada posisi horizontal).

Kenyamanan bantal kepala yang pas dengan ketebalan memadai dapat membantu pasien dalam mempertahankan posisi tanpa ketegangan

(51)

Namun jika bantal daerah leher lebih tinggi dan daerah kepala terdapat ruang untuk bergerak maka pasien akan tidak nyaman. Meninggikan dada dengan bantal akan membantu ekstensi kepala pasien sehingga spinal lurus dan terletak baik dalam lapangan radiasi.

2.14 Linear accelerator (LINAC)

Linear accelerator (LINAC) adalah instrumen radioterapi yang digunakan untuk mematikan sel tumor maupun kanker pada penderita penyakit tersebut. Ide pengembangan linac diawali oleh eksperimen Wilhelm Conrad Rontgen (1845 -1923) yang merujuk pada ditemukannya radiasi energi tinggi yang selanjutnya beliau namai sinar – X. Kemudian pada tahun 1899, sinar -X diaplikasikan pada bidang kesehatan berupa terapi penyakit karsinoma untuk pertama kalinya. Hal ini mendorong ilmuwan lain salah satunya Gebbert dan Schall untuk melakukan inovasi baru dan berhasil meningkatkan energi sinar -X yang cukup tinggi yaitu sekitar 150 kV. Barulah pada tahun 1930 linac pertama diperkenalkan oleh Rolf Wideroe. Pada tahun- tahun berikutnya perkembangan linac semakin pesat hingga saat ini setidaknya sudah terdapat 3 generasi dari linac.

(52)

Gambar 2.9 Skematik prinsip kerja linac

Keterangan Gambar :

a. Mempercepat pratikel bermuatan sampai ke energi b. Setelah energi yang dibutuhkan tercapai

c. Energi kinetic tinggi digunakan untuk menabur lempengan target d. Sehingga terjadilah peristiwa bremstrahlung

e. Hasil foton menjadi energi tertentu

f. Dari proses tabrakan ini pancaran sinar-X berenergi sangat tinggi

g. Mempercepar electron hingga energinya mencapai 20 Mega Electron Volt Untuk dapat menghasilkan foton yang selanjutnya digunakan untuk terapi radiasi, setidaknya sebuah linac membutuhkan sumber gelombang mikro, sumber elektron yang akan dipercepat, serta lempengan target yang akan ditumbuk.

Sumber gelombang mikro disuplai oleh komponen Magnetron ataupun Klystron. Magnetron berfungsi sebagai osilator frekuensi yang mampu menghasilkan gelombang mikro dengan frekuensi tinggi. Gelombang mikro tersebut digunakan untuk menghasilkan medan magnet statis yang selanjutnya digunakan untuk mempercepat elektron yang dihasilkan oleh elektron gun.

(53)

Khusus magnetron, pada umumnya digunakan untuk menghasilkan energi radiasi rendah yaitu 4 – 6 MeV. Untuk rentang energi yang lebih tinggi digunakan kylstron.

Selanjutnya, elektron gun merupakan sumber elektron yang akan dipercepat. Sebuah elektron gun dilengkapi dengan filamen tungsten yang dipanaskan. Akibat pemanasan tersebut maka akan tejadi proses emisi termionik yang mengakibatkan munculnya arus elektron yang terlepas dari tungsten tersebut. Besarnya intensitas elektron berbanding lurus dengan besarnya suhu pemanasan pada tungsten tersebut.

Setelah elektron dihasilkan maka berkas elektron tersebut akan diarahkan ke tabung pemercepat (accelerating tube) untuk dipercepat sehingga energi kinetiknya meningkat.

Gambar 2.10 Komponen pada accelerator tube

Keterangan Gambar :

a. Tabung kaca hampa udara berbentuk cincin raksasa. b. Di antara dua kutub magnet yang sangat kuat. c. Penyuntikan berupa filamen panas.

d. Pemancar electron di pasang untuk menginjeksi aliran electron ke dalam tabung pada sudut sudut tertentu.

e. Setelah elekron di suntikan ke dalam tabung terjadi dua gaya yang berkerja pada electron tersebut.

f. Pertama membuat electron bergerak mengikutin lengkungan tabung. g. Medan magnet partikel akan bergerak melingkar.

(54)

2.15 Prinsip Kerja Linear Accelerator

LINAC dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan positif seperti proton. Namun, setelah berbagai modifikasi, mesin dapat pula dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan negatif seperti elektron. Dalam hal ini, elektron yang dipercepat mampu bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya (elektron dengan energi 2 MeV bergerak dengan kecepatan 0,98 c, dengan c adalah kecepatan cahaya). Jika elektron berenergi tinggi itu ditabrakan pada target dari logam berat maka dari pesawat LINAC akan dipancarkan sinar-X berenergi tinggi.

Radioterapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan elektron berenergi tinggi. Elektron yang dipercepat dalam LINAC dapat langsung di manfaatkan untuk radioterapi tanpa harus ditabrakan terlebih dahulu dengan logam berat. Jadi, LINAC dapat juga berperan sebagai sumber radiasi partikel berupa elektron cepat yang dapat dimanfaatkan untuk radioterapi tumor. Akselerator Linear dalam aplikasinya menggunakan teknologi gelombang mikro yang juga digunakan untuk radar. Gelombang mikro ini dimanfaatkan untuk mempercepat elektron dalam akselerator yang disebut “wave guide”.

LINAC menggunakan teknologi microwave (teknologi yang sama seperti yang digunakan dalam radar) untuk mempercepat electron digunakan suatu alat yang disebut sebagai “wave guide”, hal tersebutlah yang kemudian mengizinkan elektron bertumbukan dengan heavy metal target. Hasil dari tumbukan antara elektron dan metal adalah high-energy x-rays yang dihasilkan oleh metal target. High energy x-rays tersebut kemudian akan diatur untuk kemudian diberikan pada pasien tumor dan diatur keluarannya dari mesin yang disesuaikan dengan keadaan dari pasien. Sinar yang keluar dari bagian accelerator disebut sebagai gantry yang berotasi di sekeliling pasien.

(55)

perbedaan maka perlu dilakukan penyesuaian energi dengan memutar tombol pengatur.

Pengecekan energi foton yang dihasilkan pesawat Linac, perlu dilakukan pengukuran dosis pada kedalaman 10 dan 20 cm dalam fantom air. Dari hasil pengukuran ini ditetapkan nilai perbandingan D10/D20 -nya, lalu dicari energi fotonnya melalu kurva D10/D20 vs energi foton. Pasien ditempatkan pada kursi pengobatan yang dapat bergerak kesegala arah, agar dapat dipastikan pemberian radiasi dalam posisi yang tepat. Radiasi dikirim melalui kursi pengobatan. Akselerator Linear yang merupakan akselerator dengan partikel lurus mangandung unsure-unsur :

1. Sumber partikel.

Tergantung pada partikel yang sedang bergerak. Proton yang dihasilkan dalam sumber ion memiliki desain yang berbeda. Jika partikel lebih berat harus dipercepat, misalnya ion uranium.

a. Sebuah sumber tegangan tinggi untuk injeksi awal partikel. b. Sebuah ruang hampa pipa vakum.

Jika perangkat digunakan untuk produksi sinar-X untuk pemeriksaan atau terapi pipa mungkin hanya 0,5 sampai 1,5 meter, sedangkan perangkat yang akan diinjeksi bagi sebuah sinkrotron mungkin sekitar sepuluh meter panjangnya, serta jika perangkat digunakan sebagai akselerator utama untuk investigasi partikel nuklir, mungkin beberapa ribu meter.

1. Dalam ruang, elektrik elektroda silinder terisolasi ditempatkan, yang panjangnya bervariasi dengan jarak sepanjang pipa.

Panjang elektroda ditentukan oleh frekuensi dan kekuatan sumber daya penggerak serta sifat partikel yang akan dipercepat, dengan segmen yang lebih pendek di dekat sumber dan segmen lagi dekat target.

(56)

sesuai dengan jenis partikel dipercepat untuk mendapatkan daya perangkat maksimum.

2. Sebuah sasaran yang tepat. Pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya, peningkatan kecepatan tambahan akan menjadi kecil, dengan energi yang muncul sebagai peningkatan massa partikel. Dalam bagian-bagian dari akselerator hal ini terjadi, panjang elektroda tabung akan hampir berjalan konstan.

3. Tambahan elemen lensa magnetis atau elektrostatik Untuk memastikan bahwa sinar tetap di tengah pipa dan elektroda nya.

4. Akselerator yang sangat panjang Akan menjaga keselarasan tepat komponen mereka melalui penggunaan sistem servo dipandu oleh sinar laser

Tabung pemercepat dilengkapi dengan pengendali arus/ drift tube yang berfungsi membalik polarisasi dari medan listrik. Dengan adanya proses ini akan terjadi lompatan partikel sehingga menambah kecepatan partikel akibat pembalikan polarisasi tersebut. Semakin banyak dan panjang drift tube yang digunakan, semakin besar pula kecepatan akhir / energi kinetik partikel yang dihasilkan. Namun , tentunya akan dibutuhkan konstruksi tabung yang panjang untuk menghasilkan energi yang lebih tinggi.

Apabila energi kinetik yang dibutuhkan sudah tercapai, maka berkas elektron dengan kecepatan tinggi ini akan arahkan untuk menumbuk lempengan logam. Karena energi yang menumbuk lempengan logam sanagat tinggi, maka akan dihasilkan berkas foton dari proses ini. Berkas tersebut diarahkan keluar melalui kepala linac yang disebut gantri untuk selanjutnya di arahkan menuju target. Setelah dihasilkan foton dengan energi tertentu, perlu diadakan pengkondisian akan berkas tersebut dikarenakan berkas yang dihasilkan tidak menghasilkan intensitas foton yang seragam yang artinya energinya juga tidak seragam. Selain itu, dalam aplikasinya, geometri berkas yang dibutuhkan akan beragam, sehingga diperlukan komponen yang bisa mengatasi kedua permasalahan tersebut.

(57)

berkurang dan sama dengan bagian lainnya sehingga semua bagian memiliki intensitas energi yang merata. Berikut ilustrasinya.

(a)

(b)

Gambar 2.11 a)Profil energi tanpa FF, b) Profil energi dengan FF

Sedangkan untuk memodifikasi geometri berkas, digunakan kolimator. Prinsip kerjanya adalah dengan meloloskan berkas foton uniform pada sebuat kerangka sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

(58)

Dari kombinasi komponen flattening filter dan colimator akan dihasilkan berkas foton dengan intensitas seragam dan sesuai dengan geometri yang dibutuhkan.

2.16 Besaran dan Satuan Dasar dalam Dosimetri

Dosimetri merupakan kegiatan pengukuran dosis radiasi dengan teknik pegukurannya didasarkan pada pengukuran ionisasi yang disebabkan oleh radiasi dalam gas, terutama udara. Dalam proteksi radiasi, metode pengukuran dosis radasi ini dikenal degan sebutan dosimetri radiasi. Selama perkembangannya, besaran yang dipakai dalam pengukuran jumlah radiasi selalu didasarkan pada jumlah ion yang terbentuk dalam keadaan tertentu atau pada jumlah energi radiasi yang diserahkan kepada bahan.

(59)

radiasi pengion yang merugikan kesehatan dapat ditekan serendah mungkin atau bahkan dihindari sama sekali.

Dalam bidang industri, irradiasi terhadap berbagai jenis komoditas memerlukan dosis radiasi yang berbeda-beda. Penguasaan terhadap teknik dosimetri radiasi dosis tinggi berpengaruh sangat besar terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerja, dosimetri juga memiliki peran yang sangat besar. Daerah kerja harus selalu dimonitor tingkat radiasinya agar keselamatan dan kesehatan kerja di tempat tersebut tetap terjamin. Setiap pekerja radiasi harus mendapatkan pelayanan pemantauan dosis perorangan sehingga terimaan dosis radiasi selama menjalankan tugas tetap terkontrol dan tidak melampauai Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Uraian di atas menunjukkan bahwa pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar dalam dosimetri merupakan kunci utama untuk mencapai suksesnya pemanfaatan iptek nuklir dalam berbagai bidang. Setiap kegiatan pemanfaatan teknik nuklir harus didukung dengan penguasaan terhadap teknik dosimetri dan standardisasi radiasi. Sebagai langkah awal, pemahaman terhadap besaran dan satuan dasar untuk dosimeteri radiasi pun perlu diperkenalkan kepada setiap personil yang terlibat dalam pemanfaatan teknik nuklir. Ada beberapa besaran dan satuan dasar yang berhubungan dengan radiasi pengion disesuaikan dengan kriteria penggunaannya. Berikut ini akan dibahas besaran-besaran dan satuan-satuan dasar dalam dosimetr radiasi.

1. Dosis Serap

(60)

semula didifinisikan untuk penggunaan pada suatu titik tertentu, namun untuk tujuan proteksi radiasi digunakan pula untuk menyatakan dosis rata-rata pada suatu jaringan. Secara matematis, dosis serap (D) dirumuskan dengan :

D = dE / dm

dengan dE adalah energi yang diserap oleh medium bermassa dm. Jika dE dalam Joule (J) dan dm dalam kilogram (kg), maka satuan dari D adalah : J.kg-1. Dalam sistim SI besaran dosis serap diberi satuan khusus, yaitu Gray dan disingkat dengan Gy.Sebelum satuan SI digunakan, dosis serap diberi satuan erg/gr, dan diberi nama satuan khusus rad (radiation absorbed dose), dimana 1 rad setara dengan 100 erg/gr.

Dalam proteksi radiasi, dosis serap merupakan besaran dasar. Turunan dosis serap terhadap waktu disebut laju dosis serap yang mempunyai satuan dosis serap persatuan waktu. Dalam sistim SI, laju dosis serap dinyatakan dalam Gy.s-1. Sedang satuan-satuan lain yang juga sering digunakan adalah : Gy. jam-1, Gy. menit-1, mGy.menit-1, mGy.s-1 dan sebagainya.

2. Dosis ekivalen

(61)

terhadap jaringan tertentu. Dalam hal ini ada suatu faktor yang ikut menentukan dalam perhitungan dosis ekivalen, yaitu kualitas radiasi yang mengenai jaringan. Kualitas radiasi ini mencakup jenis dan energi dari radiasi yang bersangkutan. Untuk menunjukkan kualitas dari radiasi dalam kaitannya dengan akibat biologi yang dapat ditimbulkannya, Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi atau International Commission on Radiological Protection (ICRP) melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990, memperkenalkan faktor bobot radiasi, wR.

Sebelumnya, melalui Publikasi ICRP Nomor 26 Tahun 1977, ICRP menggunakan istilahfaktor kualitas, Q.

Dosis ekivalen pada prinsipnya adalah dosis serap yang telah dibobot, yaitu dikalikan dengan faktor bobotnya. Faktor bobot radiasi ini dikaitkan dengan kemampuan radiasi dalam membentuk pasangan ion persatuan panjang lintasan. Semakin banyak pasangan ion yang dapat dibentuk persatuan panjang lintasan, semakin besar pula nilai bobot radiasi itu. Dosis ekivalen dalam organ T yang menerima penyinaran radiasi R (HT,R) ditentukan melalui persamaan :

HT,R = wR . DT,R

dengan DT,R adalah dosis serap yang dirata-ratakan untuk daerah organ atau jaringan T yang menerima radiasiR, sedang wR adalah faktor bobot dari radiasi R. ICRP melalui Publikasi ICRP Nomor 60 Tahun 1990 menetapkan nilai wR berdasarkan pada jenis dan energi radiasinya. Mengingat faktor bobot tidak

Gambar

Gambar 3.0 pesawat radioterapi LINAC (linear accelerator)
Tabel 4.1 Nilai Jumlah Hemoglobin Setiap Pasien terhadap Dosis
Tabel 4.3 Nilai Normal Limfosit (Figo)
Tabel 4.4 Jumlah Limfosit Setiap Pasien terhadap Dosis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat perbedaan nilai MEV rata-rata tiap lokasi pemeriksaan disebabkan karena kulit di bagian frontalis lebih tipis dibandingkan dengan di daerah lain serta posisi

Data yang didapat adalah jumlah leukosit dan kadar hemoglobin sebelum radioterapi (kelompok 1), sesudah mendapat dosis radioterapi sebesar 2000 rad (kelompok 2),

Berangkat dari masalah diatas maka peneliti hendak meneliti tentang perbandingan dosis dengan pengaruh variasi luas lapangan penyinaran dalam bentuk bidang persegi dengan

Hasil perhitungan menunjukkan sudut penyinaran memberikan pengaruh terhadap terimaan dosis radiasi pada permukaan fantom, namun dosis radiasi pada permukaan yang diterima

Penyinaran pada radioterapi dengan LINAC pada kasus kanker serviks akan mengenai sumsum tulang yang sensitif terhadap radiasi, dimana pada jaringan hemopetik salah satu

Hasil perhitungan menunjukkan sudut penyinaran memberikan pengaruh terhadap terimaan dosis radiasi pada permukaan fantom, namun dosis radiasi pada permukaan yang diterima

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan ekspresi protein p53 ( wild type ) dan Hsp70 pada sel punca KNF yang resisten terhadap radioterapi.. Terungkapnya mekanisme

waktu pemeriksaan, dibandingkan dengan nilai MEV rata-rata praradioterapi terdapat perubahan nilai yang sangat bermakna (p<0,001), kecuali nilai MEV rata-rata