• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan negara : pemikiran Abu Bakar Ba'asyir tentang negara Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Islam dan negara : pemikiran Abu Bakar Ba'asyir tentang negara Islam"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DAN NEGARA

PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR TENTANG NEGARA ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Praga Adidhatama NIM: 104033201141

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ISLAM DAN NEGARA; PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR TENTANG NEGARA ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 11 Desember 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Hendro Prasetyo, MA. Joharatul Jamilah, M.Si. NIP: 19640719 199003 1 001 NIP: 19680816 199703 2 002

Anggota,

Dr. Sirodjudin Ali, MA. A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 19540605 200112 1 001 NIP: 19720412 200312 1 214

Pembimbing,

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Oktober 2009

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam”

Peneliti telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., yang telah meluangkan waktu, pikiran serta memberikan saran dan dukungan kepada peneliti.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.

(5)

7. Teruntuk Ayah dan Ibuku, Mulyadi Muhayar dan Haning Romdiati, yang tidak pernah berhenti berdoa dan telah memberikan dukungan moril dan materil selama ini. Kepada Adik penulis, Dinhar Wicaksana, juga patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan dukungannya. Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini.

8. Mas Nono dan Mas Anto, yang telah menemani penulis selama di Surakarta sehingga dapat menemui narasumber untuk penulisan skripsi ini. 9. Untuk kawan-kawan 348; Aco, Sidik, Osfred, Lala, Iid, Agus, Tedy,

Firman, Dito, Bpk. Faisal, Bpk. Dadang, Bpk. Carsalim.

10. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Gusti Ramli, Irwansyah, Sucilawati, Yudi, Husni, Jabar, Ikbal, Rifki, Baasit, Iin, Zubeir, dan kawan-kawan PPI angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas diskusi, dukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini.

11. Last but not least, kepada My Lovely Giri Meraksa Yusuf, yang selalu memotivasi penulis serta pengertiannya sepanjang penyusunan karya ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga Allah menerima usaha ini sebagai ‘amal jariyah dan mengampuni kesalahan dalam karya ini.

Jakarta, 8 November 2009 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 8

D. Metode Penulisan……….... 8

E. Sistematika Penulisan….………. 9

BAB II KONSEP NEGARA ISLAM A. Hubungan Agama dan Negara……… 11

B. Relasi Agama dan Negara dalam Islam……….. 14

1. Pandangan Tokoh Kontra Negara Islam………... 17

2. Pandangan Tokoh Pro Negara Islam………. 23

BAB III ABU BAKAR BA’ASYIR DAN NEGARA ISLAM A. Riwayat Hidup……… 48

B. Latar Belakang Pendidikan………. 50

C. Aktifitas Sosial, Dakwah dan Politik……….. 51

1. Hubungan Ba’asyir dengan Negara Islam Indonesia dan Jamaah Islamiyah……… 61

2. Ba’asyir Bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia……… 67

3. Keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia……….. 69

D. Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir……….. 72

E. Profil Singkat Pesantren Al-Mukmin,……….. 74

BAB IV ISLAM DAN NEGARA; PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’SYIR TENTANG NEGARA ISLAM a. Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam……..81

1. Negara Islam Dalam Pandangan Ba’asyir………82

2. Kritik Terhadap Sistem Sekuler……….. 84

3. Kritik Terhadap Sistem Demokrasi………. 85

4. Kritik Terhadap HAM………. 89

(7)

1. Aturan Penegakkan Dinul Islam………. 94

2. Muamalah Golongan Mukmin dan Muamalah Golongan Kafir………. 96

3. Cara Pelaksanaan Sistem Syariat………. 98

C. Usaha Abu Bakar Ba’asyir Dalam Memperjuangkan Implementasi Syariat Islam & Negara Islam……….101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… 105

B. Saran-saran……….106

DAFTAR PUSTAKA... 108

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdebatan tentang relasi agama dan negara masih menjadi satu pembahasan panjang sampai saat ini dan belum ada kesepakatan akan hubungan tersebut. Berbagai teori ditawarkan atas relasi agama dan negara yang ditawarkan masing-masing kelompok, dan mereka akan mempertahankan teori tersebut.

Kelompok-kelompok yang menawarkan konsep ini dibagi menjadi 2 paham kelompok, paham teokrasi serta paham sekuler. Paham teokrasi berpendapat bahwa negara menyatu dengan agama karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Sedangkan paham Sekuler berpendapat, norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan Tuhan.

Di dalam lingkup tema Islam sendiri masih terdapat perdebatan tentang relasi agama, yang dalam hal ini tentang tema Islam dan negara itu sendiri. Berbagai pendapat itu datang dari kalangan tokoh Islam maupun dari tokoh di luar Islam yang memiliki persepsi tentang hubungan relasi tersebut.

(9)

beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan sama, melainkan juga sebagai suatu masyarakat yang total1.

Tokoh Islam seperti Ibnu Khaldun, seperti yang dikutip oleh Munawir Sjadzali, menawarkan bahwa peraturan-peraturan politik yang mengatur ke- tatanegara-an dapat dilakukan oleh cendekiawan, orang ahli dalam negara tersebut, tetapi dapat juga berasal dari agama. Menurutnya peraturan yang berasal dari agama melalui utusannya yaitu Rasul-RasulNya dianggap yang terbaik. Oleh karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia, tetapi juga di akhirat2.

Melihat dari sisi historis Islam, pada saat Islam dipimpin oleh Nabi Muhammad, perannya bukan hanya sebagai pemimpin agama melainkan juga pemimpin negara, pendapat Ibnu Taimiyah berbeda. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Dengan kata lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama3.

Sedangkan menurut pemikir Islam al-Maududi mempunyai persepsi sendiri tentang hubungan Islam dan negara dengan disebutnya sistem teo demokrasi. Teo demokrasi, yaitu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi, karena di

1

Nurcholish Madjid, “Kata pengantar” dalam Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam & Masalah

Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 1996), h. ix. 2

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara;Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI

Press, 1995), h.102.

3

Tim ICCE, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani

(10)

bawah naunganNya kaum Muslim telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan4.

Pendapat ini adalah gambaran dari banyak perbedaan pendapat lainnya tentang relasi Islam dan negara, yang terjadi di negara-negara Islam tidak terkecuali di Indonesia. Sejak lengser-nya Soeharto pintu demokrasi terbuka dalam menjalankan pemerintahan selanjutnya, bagi kalangan Islamis yang melihat hal ini merupakan suatu kesempatan dalam memperjuangkan idenya untuk membentuk suatu negara Islam. Banyak gerakan bersifat gerakan Islam non politik maupun politik di Indonesia yang mengiginkan konsep negara Islam di aplikasikan di Indonesia melalui pelaksanaan Syariat Islam di dalam peraturan tata negara Indonesia.

Sejak berdirinya Indonesia, usaha-usaha untuk mendirikan suatu negara berlandaskan Islam sudah ada. Diawali oleh organisasi yang dinamakan Darul Islam di Jawa Barat. Gagasan mendirikan Darul Islam, suatu pemerintahan negara Islam murni secara terang-terangan dengan hukum Islam, sudah dicetuskan oleh sejumlah pemimpin Islam Jawa Barat selama beberapa waktu. Namun demikian, baru setelah Perjanjian Renville yang disponsori PBB ditandatangani pada bulan Januari 1948, lingkungan memberi angin kepada pelaksanaan praktis gagasan mereka ini5.

Organisasi ini kemudian masuk ke ruang lingkup politik praktis melalui Partai Sarekat Islam Indonesia. Namun di dalam partai ini pun terjadi perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh partai yang berimbas pada perpecahan tubuh

4

Abul A’la Al-Maududi, Hukum & Konstitusi; Sistem Politik Islam. Terj. Asep Hikmat

(Bandung: Mizan, 1993), h. 160.

5

George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik

(11)

partai, PSII Hijrah yang dipimpin oleh S. M. Kartosuwiryo dan PSII Penyadar yang dipimpin oleh Agus Salim.

Sampai pada saat ini, isu pembentukan negara Islam (negara yang didasarkan atas peraturan Islam) belum juga hilang di Indonesia. Banyak organisasi massa yang tetap menginginkan Islam masuk ke dalam ke-tata negara- an Indonesia seperti organisasi Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (FKAWJ), Hizbut Tahrir Indonesia sampai Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Tidak hanya organisasi massa saja melainkan juga organisasi politik Islam, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang secara terang-terangan memperjuangkan syariat Islam pada pemilihan umum 2004 lalu.

Gerakan organisasi tersebut memiliki suatu landasan tersendiri. Terdapat berbagai landasan teologis atau filosofis di balik keputusan para aktivis politik Islam untuk memperjuangkan kaitan formalistik atau legalistik antara Islam dan negara. Sebagian besar, landasan teologis itu dibentuk dan dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang Islam6.

Beberapa kelompok Islam ada yang merasa perlu Indonesia dibentuk sebagai negara Islam atas dasar perjuangan kembali tujuh kata pada Piagam Jakarta yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para

pemeluknya.” yang dihapus dari perumusan pancasila.

Salah satu tokoh ulama di Indonesia yang mempunyai cita-cita mendirikan suatu negara Islam adalah KH. Abu Bakar Ba’asyir, pendiri pondok pesantren Al- Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ba’asyir pernah menjadi pimpinan

6

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

(12)

atau Amir Majelis Mujahidin Indonesia sebelum mendirikan organisasi sendiri bernama Jamaah Ansharut Tauhid. Banyak usaha yang dilakukan Ba’asyir dalam menawarkan konsep negara Islam sampai keluar masuk penjara oleh pemerintah sejak zaman Soeharto berkuasa karena dinilai mengingkari konsep Pancasila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia dan kental ketika orde baru berkuasa.

Sepak terjang Ba’asyir tidak hanya ditanggapi oleh pemerintah Indonesia saja melainkan dari luar negeri seperti Amerika yang menuduh Ba’asyir telah mendirikan gerakan radikal Jamaah Islamiyah yang terkait dengan gerakan teroris Al-Qaeda ketika berada di Malaysia.

Abu Bakar Ba’asyir dikenal sangat tajam dalam menyampaikan idenya tentang negara Islam. Semasa menjadi pimpinan MMI, Ba’asyir dengan kegigihannya terus menghendaki suatu negara Islam. Syariat Islam menjadi suatu keharusan di dalam formalitas peraturan negara. Hal itu dipahami tidak saja sebagai kewajiban asasi setiap muslim, tapi sekaligus sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil7. Ba’asyir menolak sistem demokrasi yang dianut oleh negara yang dinilainya tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Namun demokrasi yang sudah diterapkan di Indonesia harus mau tidak mau diikuti oleh masyarakat. Ba’asyir pun tidak memungkiri hal tersebut.

Menyadari kondisi tersebut, dalam seruannya ketika Ba’asyir berstatus sebagai tahanan di Rutan Salemba untuk menghadapi pelaksanaan pemilu tahun 2004, Ba’asyir menyatakan perlunya umat Islam memilih partai yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Seruan ini dikeluarkan oleh Ba’asyir dan Habib Moh. Rizieq Syihab dalam bentuk selebaran, intinya menyerukan “wajib

7

Jamhari & Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT Raja

(13)

bagi umat Islam untuk memanfaatkan Pemilu secara optimal bagi pemenangan Syariat Islam, dengan memilih parpol Islam, memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki komitmen terhadap pemberlakuan Syariat Islam. Untuk itu, haram memberikan suara kepada partai yang anti penegakkan Syariat Islam”8. Syariat

Islam sangat diperlukan untuk diterapkan di negara yang penduduknya mayoritas Islam, karena Syariat Islam yang diterapkan secara kaffah

di masyarakat dapat meneguhkan kedudukan dienul Islam dan kaum muslimin, membuahkan keamanan bagi rakyat umum, memurnikan pengamalan tauhid, menjaga kebersihan harta dari barang haram, menjaga keamanan harta, menjaga kesehatan akal sehingga tidak terjadi kerusakan akhlak, menjaga kemurnian keturunan sehingga tidak terjadi kelahiran anak yang tidak jelas ayahnya, mencegah adanya pemaksaan untuk masuk Islam, orang-orang kafir (non muslim), yang tidak menghalangi berlakunya syari’at Islam secara kaffah mendapat perlakuan baik dan adil, mencegah permutadan dari Dinul Islam, menjaga keamanan jiwa dan menumbuhkan kemakmuran ekonomi yang membawa ketentraman dan perbaikan moral9.

Di dalam praktiknya, Ba’asyir juga tidak menggunakan cara-cara yang radikal seperti dengan cara pemberontakan, intimidasi dengan fisik atau sejenisnya, walaupun di mata Barat khususnya Amerika menilai bahwa Ustadz Ba’asyir merupakan aktor utama atas tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia (contoh terhadap pengeboman di Bali) yang mereka sebut teroris itu. Pada akhirnya Ba’asyir menolak tuduhan tersebut dan dengan tegas mengatakan bahwa

8

Irfan S. Awwas, “Nasihat Politik Abu Bakar Baasyir,” Sabili, No. 16, Th XI, 27

Februari 2004, h. 32. 9

Irfan S Awwas, Dakwah & Jihad Abu Bakar Ba’asyir (Jogjakarta: Wihdah Press,

(14)

penggunaan senjata di wilayah yang aman dan bukan di medan perang adalah tidak dibenarkan.

Ba’asyir memang memiliki cita-cita menegakkan Dinul Islam. Sebab, ia merupakan perjuangan untuk menegakkan al haq (kebenaran), keadilan, kebebasan, kemerdekaan, keselamatan, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Semua bentuk perjuangan di luar itu adalah bathil, menyia-siakan umur,

waktu, tenaga pikiran dan harta10.

Dari pemikiran Ba’asir tersebut untuk mewujudkan cita-citanya tidaklah mudah, Indonesia memiliki berbagai macam agama, suku dan kebudayaan yang masing-masing memiliki identitas tersendiri. Namun, Ba’asyir tetap memiliki idealisme dan harapan yang tinggi dengan memanfaatkan situasi di alam demokrasi ini negara Islam akan dapat terwujud, walau dari kalangan yang kontra dengan pembentukan negara Islam seperti tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla mengkritik Ba’asyir yang justru menikmati alam demokrasi di Indonesia sebagai peluang untuk merealisasikan cita-citanya itu.

Berdasarkan dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengangkat skiripsi dengan judul “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian ini, maka penulis membatasi masalah pada pemikiran Abu Bakar Ba’asyir dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadikan Indonesia menjadi suatu negara Islam.

10

Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara; Untuk Mengamalkan dan Menegakkan

(15)

Adapun rumusan masalahnya dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pemikiran Abu Bakar Ba’asyir tentang Islam dan negara? 2. Usaha apa yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir dalam mewujudkan cita-

cita negara Islam di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui cara pemikiran apa yang ditawarkan oleh Abu Bakar

Ba’asyir tentang negara Islam.

2. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia

D. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus yang penelaahannya dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Penulisan ini menggunakan data kualitatif yang berwujud kata-kata, gambar dan bukan angka-angka11. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan studi pustaka, selain itu juga dilakukan wawancara langsung dengan objek yang diteliti dan berbagai sumber yang bersangkutan dengan objek penelitian.

Selanjutnya penelitian ini menggunakan metode pembahasan deskriptif analitis, yaitu menguraikan, mengklasifikasikan data-data yang terkumpul sesuai

11

P. Joko Syubagya, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka

(16)

dengan tema penelitian dan memaparkannya secara sistimatis disertai dengan membuat analisis.

Metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.12

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami dari isi skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini dari lima bab, tiap bab yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama berisi pendahuluan meliputi, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Bab Kedua berisi mengenai bahasan umum konsep negara Islam. Dalam pembahasan umum ini membahas tentang teori Islam serta teori negara. Dalam pembahasan ini juga aka dipaparkan tentang kontroversi relasi agama dan negara yang juga terjadi pada lingkup Islam dimana terjadi pendapat pro dan kontra dari pengaruh agama terhadap negara.

Bab Ketiga berisi tentang Profil Abu Bakar Ba’asyir. Dimulai dari riwayat hidup serta latar belakang pendidikannya yang membentuk karakter dalam pemikiran Ba’asyir. Dalam bab ini juga akan dibahas aktifitas sosial

12

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)

(17)

politiknya sampai dengan hasil pemikiran Ba’asyir sebagai penjelasan posisi agama terhadap negara.

Bab Keempat merupakan inti dan fokus dari skripsi yang membahas mengenai agama dan negara dalam pemikiran Abu Bakar Ba’asyir. Pembahasan yang akan diangkat adalah mengenai kritik Ba’asyir terhadap beberapa sistem negara yang ada seperti sistem sekuler, demokrasi dan nasionalis serta implementasi hak dan kewajiban di dalam sistem tersebut. Selain itu, akan dibahas juga bagaimana cara menegakkan dan mendakwahkan dinul Islam serta usaha Ba’asyir sendiri dalam memperjuangkan dan mengenalkan syariat Islam khususnya di Indonesia.

(18)

BAB II

KONSEP NEGARA ISLAM

A. Hubungan Agama dan Negara

Sebelum masuk ke dalam pembahasan agama dan negara, serta perdebatan diantara tokoh yang menginginkan penyatuan agama terhadap negara dengan tokoh yang mengkehendaki adanya pemisahan agama dari urusan kenegaraan, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari agama serta negara itu sendiri.

Agama yang berasal dari bahasa Sanskrit, selalu hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak hanya ada di dalam satu individu namun agama juga hadir di dalam ruang lingkup kemasyarakatan tak terkecuali juga hadir di dalam ruang politik.

Agama tersusun dari dua kata, a yang artinya tidak dan gama artinya pergi. Jadi tetap diam di tempat, diwarisi turun-temurun. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci13. Jadi bisa ditarik kesimpulan disini agama adalah suatu ikatan spiritual serta yang dinamakan agama memiliki suatu pedoman hidup tersendiri secara tekstual.

Sedangkan di dalam tekstual semit sendiri agama merupakan terjemahan dari kata din yang artinya undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini

mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan14. Jadi agama disini adalah suatu peraturan yang dimana orang-orang

13

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press 1985), h. 9.

14

(19)

yang mengikuti ajarannya harus patuh terhadap aturan yang ada dengan kata lain terikat oleh hukum agama tersebut.

Sedangkan negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut15.

Masih dari sumber Wikipedia, negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini16.

Negara ini merupakan suatu wilayah yang dalam menjalankannya seperti bentuk organisasi yang bertujuan untuk mengakomodir cita-cita anggotanya yang dalam hal ini adalah rakyat sehingga sampai kepada tujuan bersama. Tujuan bersama ini kemudian dicantumkan dalam sebuah konstitusi yang disebut juga dengan undang-undang.

Dalam lingkup perpolitikan, negara adalah satu komunitas politik tersusun yang menaklukan suatu kawasan dan mempunyai kedaulatan luar dan dalam yang dapat menguasai monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang secara wajar17.

Menurut Robert M. Mac Iver, yang dikutip dalam buku Ilmu Negara, yang ditulis oleh Mohammad Kusnadi dan Bintan R Saragih, negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu

15

“Negara”, artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Negara.

16 Ibid.

17

“Negara (Politik)”, artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari

(20)

wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa18.

Masuk ke dalam pembahasan, dalam teori politik yang sudah ada pada saat ini, hubungan agama dan negara, seperti yang terdapat pada pendahuluan terdapat dua konsep menurut beberapa aliran, yaitu paham teokrasi, dan paham sekuler.

Agama dan negara menurut konsep teokrasi. Dalam paham ini, agama dan negara tidak dapat dipisahkan dan senantiasa harus bersatu, kebijakan publik sepenuhnya ditentukan oleh denominasi agama. Paham ini berawal ketika masa kekuasaan gereja di Eropa ketika ruang publik diatur oleh gereja melalui para pimpinan gereja atau pastur-pastur. Pemimpin Gereja ini merupakan wakil-wakil Tuhan untuk mengatur kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan gereja. Berbagai alasan dikemukakan bahwa pada dasarnya agama selain membawa peraturan-peraturan bersifat moral yang berisi tuntunan hidup disamping itu agama juga mengatur tentang cara mengelola suatu masyarakat yang disini bisa diartikan juga sebagai negara. Menurut Peter Berger yang dikutip oleh Mun’im A. Sirry, mengatakan bahwa agama sebagai kekuatan “world maintaining” dan

world shaking”. Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau

menentang kekuasaan dan privilege19.

Teori selanjutnya adalah yang dikemukakan oleh paham sekuler. Paham ini mengatakan bahwa agama tidak dapat mencampuri urusan negara. Paham ini juga menjelaskan bahwa negara merupakan urusan manusia dengan manusia lain atau segala urusan keduniaan, sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan

18

Moh Kusnadi & Bintan R Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),

h. 57. Cet IV.

19

Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat

(21)

Tuhan. Dari teori tersebut sudah dapat dijelaskan bahwa segala urusan dunia merupakan urusan manusia tidak dapat disatukan oleh agama.

Pemisahan ini dimaksudkan untuk menjaga keutuhan nilai-nilai agama itu sendiri sebagai penjaga moral manusia. Apabila agama masuk dalam urusan negara maka dikhawatirkan akan tejadi suatu gesekan dari agama minoritas terhadap agama mayoritas yang menginginkan adanya pelaksanaan hukum yang sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Namun walaupun adanya pemisahan antara agama dan negara di dalam paham ini, negara sekuler tetap membebaskan warga di negara tersebut memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan negara tidak mengintervensi hal tersebut.

Dari kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa ada posisi yang tegas terhadap posisi agama dan negara. Namun diluar kedua teori itu ada teori yang menyatakan bahwa agama dan negara saling berhubungan. Teori ini adalah teori agama dan negara yang simbiotik. Kelompok ini menolak terdapatnya aturan- aturan di agama yang dapat diselaraskan ke dalam sistem pemerintahan. Namun kelompok ini juga menolak pemahaman bahwa agama hanya suatu hubungan personal antara Tuhan dan makhlukNya secara individu.

Agama memerlukan negara untuk berkembangnya agama itu sendiri demikian juga negara yang memerlukan agama yang dapat berkembang dalam ruang etika dan moral.

B. Relasi Agama dan Negara dalam Islam

(22)

argumen sendiri dalam mengeluarkan ide tentang relasi agama dan negara yang dalam hal ini bisa dikatakan juga tentang relasi Islam dan politik.

Berbagai ragam pemikiran ini jika dilihat memiliki satu tujuan yaitu bagaimana Islam dapat berkembang dengan baik di dalam kehidupan masyarakat yang di aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari baik itu pada lingkup sosial, politik, hukum dan sebagainya. Namun cara untuk mencapai tujuan tersebut masing-masing pemikir Islam memiliki pandangan tersendiri, ada yang memiliki pendapat bahwa kehidupan Islami dapat berjalan jika Islam masuk ke dalam tatanan politik atau negara sehingga negara dapat berjalan sesuai dengan ajaran- ajaran Islam.Kehidupan negara yang diatur oleh Islam ini masuk ke dalam suatu aturan yang disebut syariah, dengan masuknya syaiah ke dalam politik maka diaharuskan berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang sudah diatur oleh Islam.

(23)

sistem ke-tata negara-an tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara20.

Pemikir yang kontra terhadap pendapat tersebut memiliki alasan tersendiri bahwa Islam tidak boleh ikut masuk ke dalam sistem ke-tata negara-an karena jika Islam masuk ke dalam wilayah itu dikhawatirkan Islam hanya dijadikan alat legitimasi untuk mencapai kekuasaan tertentu dengan mengabaikan aturan ke-tata negara-an yang sudah baku, hal ini dikhawatirkan apabila Islam dipaksakan masuk ke dalam lingkup politik maka akan terjadi konflik sosial yang tidak dapat dihindarkan, dan hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan di dalam suatu negara.

Khusus pengikut paham Modernis, Marxis, atau Sekularis menyatakan bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling bertentangan. Agama merupakan bersumber dari Tuhan dimana bersifat sakral dan suci, sedangkan politik bersumber dari manusia yang sifatnya kotor dan kejam.

Alasan tersebut adalah untuk memisahkan agama yang dasarnya saling melengkapi. Mereka menginginkan berjalannya akidah tetapi tanpa adanya syariat, ibadah tanpa adanya muamalah, atau dunia tanpa agama. Hal ini membuat dampak negatif bahwa politik yang berkembang sesuai zaman secara tidak langsung melihat juga bahwa agama bersifat stagnan yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, dengan alasan bahwa adanya pembaharuan merupakan bid’ah yang sesat.

20

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

(24)

1. Pandangan Tokoh Kontra Negara Islam

Pemisahan agama dan negara terjadi di dunia Islam untuk pertama kalinya terjadi pada saat Revolusi Turki 1920-1924. Pada saat revolusi itu, generasi muda Turki mulai mengambil alih pemerintahan Ustmani serta memaksa Raja Abdulhamid untuk memulihkan konstitusi serta membentuk parlemen.

Pergerakan yang disebut sebagai nasionalisme Turki kemudian membuat para pendukung Ustmani mulai berfikir sekuler. Dasar pemikiran ini pertama kali dikemukakan oleh Ziya Gokalp. Dia mengusulkan pemisahan agama dari negara atas dasar teori Durkheim tentang evolusi sosial21.

Gokalp tidak sepenuhnya berpikiran sekuler, menurutnya agama masih memiliki peran penting untuk mempersatukan patriotisme yang mempersatukan umat manusia. Walaupun syariat tidak perlu diubah peraturan sosial haruslah berkembang sesuai dengan perkembangan masyarkat.

Turki kemudian mulai mengalami pemindahan kekuasaan dari kedaulatan Sultan-Khalifah menjadi perwakilan terpilih negara Turki. Kemenangan peperangan Turki ini tidak lain adalah karena dari kesuksesan militer Mustafa Kemal. Saat itu legitimasi politik kemudian dialihkan dari Sultan ke Dewan.

Kemal dan pendukungnya kemudian ingin membuat satu tatanan baru di dalam negeri Turki dimana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat Turki. Namun, hal ini mendapat suatu hambatan karena pada saat itu masih ada Mehmet VI, yang walaupun dalam posisi lemah tetapi Khalifah ini memiliki perkenalan yang cukup luas di imperium Ustmani dan juga pemimpin agama umat Islam yang sah. Para kelompok konservatif agama juga memberikan tumpuan dukungan

21

Anthony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj,

(25)

dalam suatu ijtihad. harus sesuai dengan

kepada Mehmet VI untuk menghindari adanya cita-cita baru yaitu membentuk pemerintahan republik.

Namun, atas dasar pendeklarasian Majelis di Turki menyatakan bahwa kedaulatan berada di negara dan menjadi satu-satunya wakil yang sebenarnya memegang kekuasaan legislatif serta eksekutif. Kemal melandasi aksinya sebagian atas prinsip bahwa legitimasi pada akhirnya tergantung pada kekuasaan

de facto22. Pada saat itu Majelis menghapus kesultanan dan kemudian menjadi

suatu negara yang republik.

Kekhalifahan dihapus karena menurut Majelis Nasional, kekhalifahan ini bukanlah terbentuk atas dasar inisiatif nabi, melainkan hanya disimpulkan dari usulan-usulan individu yang terdapat Majelis juga mengatakan bahwa bentuk pemerintahan perkembangan zaman. Hal ini banyak mendapatkan pertentangan dari banyak ulama bahwa pemisahan agama dari wilayah politik merupakan suatu sifat yang bid’ah. Menurut ulama kekhalifahan merupakan kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.

Banyak pendapat yang kontra terhadap masuknya Islam pada lingkup politik atau negara. Ziauddin Sardar mengatakan bahwa apabila negara-negara Muslim berusaha menerapkan atau memaksakan pelaksanaan syariah, maka kontradiksi yang secara inherent melekat dalam proses formulasi dan perkembangan fiqh akan muncul ke permukaan23.

Sardar mengkhawatikan bahwa bila syariah dipaksakan masuk maka yang terjadi adalah adanya pemaksaan dalam hal kekuasaan dengan menggunakan

22

Ibid., h. 563.

23

Ziauddin Sardar, Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi (Jakarta:

(26)

tameng syariah tersebut. Pemberlakuan ini dijadikan oleh penguasa tertentu untuk menjalankan negara secara totaliter yang memungkinkan penguasa melakukan kontrol penuh atau melakukan arbitrasi terhadap rakyatnya. Pemahaman syariah yang baku ini akan menjadikan rakyat memiliki pemikiran yang sempit dan tidak dapat melakukan suatu kajian ulang terhadap syariah ini yang seharusnya syariah dapat dijadikan suatu sumber untuk mengkaji lebih dalam lagi terhadap kajian Al- Quran dengan pandangan yang baru yang sesuai dengan kehidupan yang plural ini.

Sama halnya dengan pendapat dari pemikir Islam kontemporer Ali Abdul Raziq, seperti yang dikutip oleh Saidiman, Menurut Raziq, tidak ada satupun ayat Al-Qur’an yang menyatakan satu bentuk pemerintahan atau sistem politik Islam. Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan mengenai posisi Muhammad sebagai pembawa risalah. Raziq kemudian mengutip sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa Muhammad hanyalah pembawa risalah, dan tidak memiliki otoritas untuk melakukan pemaksaan. Dengan tidak adanya paksaan, maka sesungguhnya Muhammad tidak menunjukkan otoritas politik yang ada dalam doktrin agama. Kekuatan pemaksa hanya milik otoritas politik dan bukan otoritas agama24.

Abdul Raziq mengkritik sistem pemerintahan Islam yang dalam hal ini adalah sistem khilafah. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an tidak ada peraturan yang mengharuskan negara didirikan dengan sistem khilafah dan Raziq kemudian memberikan contoh bahwa Nabi Muhammad di masanya juga tidak mengharuskan pengikut setelahnya menggunakan sistem pemerintahan sesuai apa yang dilakukan olehnya, karena kondisi pada saat itu berbeda pada kondisi ketika

24

(27)

masa sepeninggal Nabi Muhammad terutama pada saat ini. Nabi Muhammad bukanlah sebagai penyebar risalah negara Islam, melainkan hanya pembawa risalah agama.

Khilafah adalah skenario dari politik bukan dari agama. Agama tidak menentang atau mendukung berbagai sistem pemerintahan melainkan sebagai peninggalan untuk kita untuk mengatur sesuai dengan kaidah politik. Kenegaraan diserahkan kepada kita yang dikembangkan melalui akal dan rasionalitas serta pengalaman manusia untuk mencari jalan yang terbaik.

Ide tentang negara Islam juga di kritik oleh Munawir Sjadli. Menurutnya tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mendirikan negara Islam. Memperjuangkan politik Islam, menurutnya hanyalah untuk memformalkan agama dalam birokrasi kenegaraan dan hal itu justru akan menimbulkan ketegangan yang panjang antara umat Islam dan pemerintah.

Pemaksaan agama (Islam) di dalam pemerintahan justru akan membawa dampak buruk terhadap agama itu sendiri. Hakikat agama untuk membawa keharmonisan hidup justru tidak ada sama sekali melainkan adanya perselisihan dari pihak lain untuk melegalkan pahamnya juga masuk ke dalam lingkup birokrasi.

(28)

keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah. Sesuai pada kondisi saat ini di dunia yang didalamnya terdapat berbagai macam karakter individu dengan latar belakangnya baik itu suku, ras agama seharusnya umat Islam memikirkan bagaimana mengakomodasi semua pihak untuk dapat hidup secara bersama dengan menggunakan asas yang disepakati semua pihak.

Hal ini dapat terwujud jika umat Muslim terbuka. Menurut Nurcholish seperti yang dikutip Bahtiar Effendi, mengatakan usaha ini hanya dapat dicapai apabila kaum Muslim memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan- gagasan itu, untuk dikemukakan dan dikomunikasikan secara bebas25.

Kensep negara Islam, dalam pandangan Nurcholis, adalah suatu distorsi hubungan proposional antara negara dan agama. Negara, menurutnya, adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang berdimensi spiritual dan pribadi26.

Nurcholis secara tegas mengatakan, walaupun agama dan negara dapat disatukan namun hal itu harus dibedakan dalam dimensinya serta pendekatannya. Agama tidak dapat masuk ke ruang politik jika kondisinya tidak memungkinkan untuk hal itu.

Pemikir terkemuka dari Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im, memiliki pendapat tentang pemisahan agama (yang lebih membicarakan tentang syariat)

25

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 137.

26

Nurcholish Madjid, Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam

(29)

terhadap negara. Alasan An-Na’im memisahkan disini bukanlah untuk meletakan posisi agama atau syariat ke ruang publik yang sempit. Pemisahan ini dilakukan dengan diiringi pengawasan terhadap politik Islam sehingga syariat dapat di usulkan menjadi suatu undang-undang yang An-Naim sebut melalui public reason

(pemikiran umum).

An-Naim menolak syariat hadir di dalam negara yang dipaksakan. Syariat harus dijalankan oleh umat Muslim secara sukarela tanpa ada pemaksaan untuk menerapkannya. Pemaksaan dikhawatirkan akan membawa dampak buruk terhadap nilai kesucian terhadap syariat tersebut disamping juga pemaksaan sama saja tidak menghormati terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.

An-Naim mengatakan, ingin mengadvokasi prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebut sebagai public

reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam

kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ke- tata negara-an yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi27.

Bagi An-Naim, pemisahan agama atau syariat ini semata-mata untuk memberikan kebebasan kepada umat untuk mendukung, menolak, mendiskusikan atas prinsip-prinsip agama.

27

(30)

2. Pandangan Tokoh Pro Negara Islam

Lain pemikir Islam yang kontra terhadap ide tentang negara Islam lain juga alasan bagi pemikir Islam yang pro terhadap ide negara Islam. Pemikir Islam yang pro terhadap negara Islam memiliki alasan tersendiri bahwa mendirikan negara Islam merupakan suatu kewajiban bagi kaum Muslim, karena dengan mendirikannya akan membawa suatu rahmatan lil alamin bagi masyarakatnya sesuai dengan hakikat Islam itu sendiri.

Tokoh pemikir Islam yang juga pada masa klasik yaitu Ibnu Taimiyah adalah salah satu yang mempunyai gagasan mengenai penyatuan agama di dalam lingkup negara. Bagi Ibnu Taimiyah, perihal pemimpin negara, seseorang yang diangkat sebagai pemimpin harus betindak amanah terhadap pihak yang berhak atasnya dan bagi rakyatnya harus bersikap patuh selain kepada pemimpin juga patuh terhadap Allah serta Rasul. Ibnu Taimiyah juga mengharuskan negara untuk melaksanakan hukum-hukum pidana hak Tuhan, seperti hukuman bagi pencuri, penzina dan sebagainya. Jika di dalamnya terdapat perbedaan pendapat diantara mereka maka segala permasalahan tersebut dikembalikan kepada al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu para pemimpin negara. Seperti yang dikutip oleh Munawir Sjadli, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, para penguasa harus menegakkan dan melaksanakan hukuman hak Allah itu, meskipun tidak ada pengaduan dari siapa pun, oleh karena hukuman tersebut telah jelas digariskan dalam Al-Quran28.

Pengaruh agama terhadap negara yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut juga menyinggung posisi dari kepala negara. Menurut Ibnu Taimiyah,

28

(31)

kepala negara adalah perwakilan dari Tuhan, pemimpin negara memerintah dengan kewenangannya yang diberikan oleh Tuhan.

Ibnu Taimiyah sangat menginginkan keadilan pada suatu negara, menurut Ibnu Taimiyah, masih dalam buku tulisan Bahtiar Effendi, beranggapan, bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam29.

Tokoh filsuf Muslim besar yang juga hidup pada zaman klasik, al-Ghazali, berpendapat bahwa negara tidak terlepas dari agama. Ghazali lebih menyorot masalah pemimpin dalam suatu negara. Menurut Ghazali, bahwa pemimpin itu merupakan kembaran dari Tuhan. Keberadaan pemimpin harus ada untuk mengharmoniskan hidup negara. Pemimpin merupakan titah dari Tuhan yang dimana para pengikutnya tidak boleh menentang atau melawan.

Al-Maududi memiliki pendapat dimana agama harus masuk ke dalam lingkup politik. Tokoh yang juga salah satu pendiri negara Pakistan ini mengharuskan umat Muslim untuk kembali kepada dua sumber Al-Qur’an dan Hadis, termasuk dalam menjalankan kenegaraan. Maududi melihat bahwa umat Muslim harus menjalankan pemerintahannya sesuai dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad memimpin Yastrib. Sesuai apa yang dikutip oleh Munifah Syanwani, Maududi tidak menerima sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada zaman modern ini, ia selalu memperjuangkan simbol Islam, bahwa Islam harus diterapkan sebagai dasar negara karena menurutnya didirikannya suatu negara adalah sebagai manifestasi dan misi besar Islam dan ia pun menolak demokrasi yang berpaham kedaulatan rakyat, maka sebagai

29

(32)

alternatifnya ia menawarkan sistem kekhalifahan dengan paham kedaulatan Tuhan, manusia harus tunduk pada aturan Tuhan karena manusia hanya merupakan wakil Allah di muka bumi30.

Terkait dengan kepemimpinan, bagi Maududi pemimpin harus dapat menjalankan negaranya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, hukum negara atau undang-undang harus sesuai dengan syariat Islam secara utuh tanpa ada Ijtihad lagi. Maududi menilai bahwa Islam memberikan sistem yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Maududi menawarkan sistem pemerintahan yang disebut dengan “Teo- demokrasi”, yaitu sistem pemerintahan demokrasi ilahi. Eksekutif yang terbentuk berdasarkan sistem pemerintahan semacam ini dibentuk berdasarkan kehendak umum kaum Muslim yang juga berhak untuk menumbangkannya31.

Dari sistem Teo-demokrasi itu, segala macam masalah pemerintahan yang tidak diatur dalam syariah dapat diselesaikan dengan cara konsensus, jadi bagi umat Muslim yang memiliki ilmu yang tinggi dan dapat berfikir sehat diberikan wewenang untuk menafsirkan hukum Tuhan jika dianggap perlu.

Juga Teokrasi dalam arti bahwa apabila terdapat perintah-perintah atau hukum yang telah jelas dan terang-terangan dari Tuhan atau Rasul-Nya, maka tak seorang pun, atau tak satupun lembaga legislatif, yang berhak untuk

30

Munifah Syanwani, “Perbandingan Pemikiran Politik Islam Abul A'la Al-Maududi dengan Pemikiran dan Gerakan Partai Bulan Bintang di Indonesia (Politik dan Hubungan

Internasional di Timur Tengah),” artikel diakses pada 3 Maret 2009 dari

http://www.digilib.ui.ac.id/abstrakpdf/78204.pdf?file=abstrak-78204.pdf.

31

Abul A’la al-Maududi, Hukum & Konstitusi: Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat

(33)

melaksanakan pertimbangan secara mandiri, sekalipun seluruh Muslim disegenap penjuru dunia mencapai sepakat bulat untuk mengubahnya32.

Allah memberikan batasan-batasan terhadap ruang gerak manusia, bukan untuk mengekang dan menciptakan diskrimanasi terhadap hak-hak manusia, melainkan batasan-batasan ini yang Maududi sebut sebagai ‘Batas-Batas Ilahi’

(Hudud-Allah), memberikan binaan kepada manusia untuk berlegislasi dengan

peraturan-peraturan bagi kegiatannya.

Maududi menjelaskan tujuan negara Islam yang berasal dari konsepsi Allah melalui Al-Qur’an bersifat positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara ini juga bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah diketengahkan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an33.

Jelas menurut Maududi bahwa negara Islam secara menyeluruh bertujuan untuk melindungi masyarakat yang dinaunginya baik dari konflik internal diantara masyarakat maupun dari serangan-serangan musuh diluar masyarakat yang dinaungi cahaya Islam itu.

Islam juga memberikan hak-hak tertentu bagi non-Muslim. Hak-hak non Muslim merupakan salah satu hak yang harus diperhatikan bagi umat Islam. Non Muslim yang hidup di negara muslim harus diberikan perlindungan. Non Muslim itu sendiri adalah bagi mereka yang telah memberikan perjanjian kepada negara Islam. Hak-hak non Muslim itu sendiri harus dihormati dan sama kedudukannya di muka hukum.

32

Ibid., h. 160.

33

Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam Hukum dan Konstitusi, terj. Asep Hikmat

(34)

Negara Islam tidak boleh mencapuri hak-hak pribadi non-Muslim, yang memiliki kemerdekaan penuh untuk menganut dan meyakini serta memiliki kebebasan untuk melakukan ritual-ritual serta upacara-upacara keagamaan mereka menurut caranya sendiri34. Maududi juga mengatakan bahwa non-Muslim tidak hanya diberikan kebebasan untuk beribadah di wilayah Islam, melainkan mereka berhak untuk mengkritik Islam dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum dan kesusilaan.

Oleh karena itu negara Islam ini bersifat universal tidak hanya berlaku bagi masyarakat Muslim. Negara Islam ini menghapus kebebasan pribadi dan sifatnya yang rahasia. Negara Islam memberikan solusi bagi sektor kehidupan dan kegiatan masyarakat sehingga tercipta suatu kehidupan yang sejalan dengan norma-norma moral. Negara Islam dengan ciri menghapus hal-hal privat bukanlah persamaan dari sifat negara fasis ataupun komunis, negara Islam juga bukan negara yang otoriter. Pada perjalanannya negara Islam dengan batasan-batasannya ini akan dapat menghapus sifat kediktatoran. Sehingga akan sejalan dengan cita- cita membangun suatu kesejahteraan dan keseimbangan hidup yang mencakup semua sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Dalam negara Islam, al-Maududi mengatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan Tuhan. Dengan tetap mengingat prinsip-prinsip ini jika kita mengamati posisi orang-orang yang diturunkan untuk menegakkan Hukum Tuhan di bumi, wajar jika dinyatakan mereka dianggap sebagai wakil-wakil dari penguasa tertinggi35.

34

Abul A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Bambang Iriana

Djaatmadja (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), h. 98. Cet. I

35

(35)

Maududi beralasan bahwa Islam sendiri menggunakan istilah kekhalifahan bukan kedaulatan, oleh karena itu, bagi siapapun yang memegang kekuasaan dan siapapun yang memerintah dengan berpegang teguh pada hukum Tuhan pasti merupakan khalifah dari penguasa tertinggi, yang dalam hal ini Allah, dan berwenang pada kekuasaan-kekuasaan yang telah dipercayakan rakyat kepadanya. Kekhalifahan inilah yang Maududi sebut demokrasi Islam, karena semua individu dapat menikmati hak-hak dan kekuasaan kekhalifahan dari Tuhan. Oleh karena itu setiap individu berhak memimpin sebagai khalifah atas rakyat yang dipimpinnya, pemimpin disini bukanlah yang berdaulat melainkan sebagai wakil Tuhan. Maududi membedakan demokrasi Islam dengan demokrasi Barat. Dalam demokrasi Barat, rakyatlah yang berdaulat, dalam Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan dan rakyat adalah khalifah-Nya atau wakil-Nya. Dalam demokrasi Barat rakyat yang membuat hukumnya sendiri, dalam demokrasi Islam rakyat harus mentaati dan mematuhi hukum (syari’ah) yang diberikan Tuhan melalui Rasul-Nya36.

Masih banyak lagi Maududi membahas akan adanya hak-hak manusia yang diperhatikan oleh Islam. Negara Islam memberikan hak-hak yang luas kepada setiap individu, tidak ada hak istimewa bagi siapapun untuk menjadi penguasa. Siapapun dengan prestasinya berhak atas kekuasaan yang dicapainya. Bagi pemegang kekuasaan akan diminta pertanggung jawabannya yang telah mendelegasikan sebagai khalifah bagi rakyat. Di dalam negara Islam hak-hak manusia juga diperhatikan secara baik, seperti bagi pria dan wanita yang telah cukup umur diberikan kebebasan berpendapat karena pada dasarnya bahwa setiap

36

(36)

individu adalah penjelasan dari kekhalifahan. Artinya setiap individu berhak untuk menyuarakan pendapatnya terhadap jalanya kekhalifahan sebagai salah satu berjalannya sifat kontrol sosial.

Sebagai tokoh politik di Indonesia, Muhammad Natsir memiliki gagasan bahwa umat Islam haruslah ikut terjun ke dunia politik, karena dalam menjayakan Islam menurut Natsir tidak terlepas dari memperjuangkan masyarakat, negara dan memperjuangkan kemerdekaan.

Natsir menggunakan kekuatan politik dan dakwahnya secara berimbang dalam mensyiarkan Islam. Bagi Natsir, menyebarkan dakwah Islam tidak akan mungkin berjalan tanpa ada kekuatan dan kemauan politik yang dalam hal ini adalah kekuasaan, karena antara kekuasaan dan dakwah tidak dapat dipisahkan.

Natsir dengan tegas menolak asas Pancasila, seperti kritiknya terhadap Soekarno yang menolak mendirikan negara yang didasarkan Islam, Natsir mengatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan,

yaitu sekularisme (la diniyah) atau paham agama (Dini)37.

Menurut Dhiauddin Rais, mendirikan negara Islam adalah sutau kewajiban karena mendirikan negara Islam merupakan hak Allah dan juga hak umat, karena pada hakikatnya Islam mencakup urusan-urusan materi dan ruhani serta manusia dalam perbuatannya di dunia dan akhirat.

Rais mengkonsepkan pendirian negara Islam dengan istilah khalifah sama dengan konsep imamah. Pendirian negara Islam ini merupakan hal yang fundamental dilakukan oleh mayoritas umat Islam, menegakkan imamah ini

37

Muhammad Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II (Jakarta: Pustaka Pendis,

(37)

merupakan hal yang paling penting dan merupakan penerapan hukum yang sangat mulia.

Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara Islam dan menjaga kebersinambungannya. Negara Islam adalah negara yang berdiri atas dasar agama Islam, negara yang melaksanakan syariat Islam yang bertugas menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam dan berusaha

menyebarkan misi Islam di dunia38.

Umat dalam sistem Islam adalah suatu kumpulan yang disatukan bukan oleh ikatan kesatuan tempat, darah atau bahasa. Tujuan sistem Islam disamping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga membidik tujuan-tujuan rohani, bahkan tujuan-tujuan rohani itu adalah tujuan yang utama dan mendasar, serta yang paling tinggi39.

Dhiauddin Rais mengatakan bahwa dalam suatu keimamahan, pemimpin tidak dapat menjalankan pemerintahannya secara sendiri-sendiri. Bukan hanya adanya ada satu kontrak di dalam suatu negara. Adanya suatu imam yaitu berperan dalam menciptakan kontrak lain untuk membantu tugas dari kepemimpinan.

Tugas suatu negara tidak dapat dilakukan secara sendirian, harus ditunjuk wakil pelaksana dengan kontrak juga. Kontrak-kontrak ini haruslah mempunyai dasar hukum yang kuat, memiliki kedudukan yang sama, memiliki tujuan tersendiri. Oleh karena itu pentingnya kontrak-kontrak ini disamping kontrak pertama.

Cet. I

38

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 163.

39

(38)

Pada dasarnya sebuah negara adalah terdiri dari beberapa kontrak yang berjalan bersama dalam menjalani aktifitas pemerintahan. Pemimpin dan kontrak sosial ini haruslah ada hubungan langsung dengan rakyat. Dengan adanya hal tersebut, pemimpin dapat memberikan tanggung jawab kepada masyarakat sebagai penghubung dengan lembaga-lembaga lainnya yang menjalankan pemerintahan.

Mengenai hak dan kewajiban, hak privat harus tunduk kepada hak-hak umum. Semua hak seseorang pasti berkaitan dengan hak Allah. Oleh karena itu, hak yang menggabungkan kepentingan umum ini sejalan dengan kemashlahatan pribadi. Menurut Dhiauddin, yang memberlakukan hak-hak dalam Islam ini hanyalah Allah. Di dalam Islam kewajiban berporsi lebih banyak daripada hak. Barangsiapa yang tidak menjalankan kewajiban ini dipandang tidak taat kepada Allah yang selanjutnya dinamakan oleh Islam sebagai dosa besar, namun secara prinsip tidak keluar dari ke Islamannya.

Selanjutnya menurut Dhiaudin, Islam juga memandang kesamaan hukum bagi masyarakat umumnya. Persamaan di sini terletak dalam kata “adil”. Makna asli dari kata “adil” dalam tinjauan etimologinya berarti: persamaan dalam bermuamalah. Secara tidak langsung seruan Islam pada prinsip keadilan dan

berkonsekuensi melaksanakannya adalah menyeru pada “persamaan”40.

Adil menurut Dhiauddin adalah persamaan orang di mata hukum, secara muamallah, orang Islam harus sama dimata hukum, terkecuali oleh orang-orang non Islam yang memiliki aturan tertentu dalam menjatuhkan suatu hukuman. Untuk menjalankan suatu keadilan ini, semua orang harus dipandang sama,

40

(39)

sederajat dalam pandangan, berkeadilan di dalam majelis sehingga tidak ada orang-orang yang berkedudukan meminta suatu keringanan hukuman.

Mengenai kepemimpinan, unsur tanggung jawab harus dijadikan dasar dalam pemerintahan Islam. Selama pemimpin selalu berpegang teguh kepada aturan Islam dan perintah Allah, menjaga keadilan, melaksanakan proses hukum secara adil, serta menjaga amanat kepemimpinannya, maka selama itu pemimpin bisa dikatakan sebagai imam yang adil, dan selama itu juga rakyat harus patuh dan taat serta mendukung kepada imam tersebut.

Rakyat yang memberontak terhadap imam yang adil, Islam mengkategorikan sebagai perbuatan makar. Makar atau al-bagyu adalah, tindakan sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang pemerintah, dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan41.

Jika masyarakat ingin mengkritik imam yang tidak lagi menjalankan amanahnya sebagai pemimpin, rakyat dapat melakukannya dengan cara memberi masukan berupa nasihat. Memberikan nasihat adalah salah satu kewajiban rakyat terhadap pemimpinnya, setidaknya itulah pendapat dari Dhiauddin Rais tentang bagaimana cara rakyat menyampaikan kritikan kepada pemimpin yang tidak lagi menjalankan apa yang diamanahkan untuk menjalankan pemerintahan.

Yang terakhir, Dhiauddin menyampaikan perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan sistem demokrasi. Pertama, perbedaan mengenai arti rakyat. Dalam sistem demokrasi, yang dimaksud rakyat hanya terbatas kepada satu wilayah, satu ras yang cenderung berada di dalam kelompok kecil yang memiliki fanatisme sempit. Berbeda dengan rakyat dalam arti Islam, rakyat memiliki arti yang lebih

41

Fatchul Barri, “Sanksi bagi Pelaku Makar dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif,” artikel diakses pada tanggal 22 Juli 2009 dari http://digilib.uin-

(40)

luas yang tidak hanya dibatasi oleh wilayah kecil saja, kesatuan rakyat ini diikat dalam satu akidah. Walau itu berbeda ras, suku, namun memiliki pandangan akidah yang sama, maka ia adalah warga negara Islam.

Kedua, Dhiauddin mengkritik sistem demokrasi yang hanya mementingkan dunia atau materi. Tujuan dari sistem demokrasi diwujudkan dalam memberikan kebutuhan-kebutuhan bagi rakyat dengan materi, menambah pendapatan dan berbagai macam lainnya yang memiliki sifat dalam pemenuhan fisik saja. Berbeda dengan Islam, disamping dalam pemenuhan kebutuhan duniawi, Islam juga memiliki tujuan memenuhi kebutuhan rohani dan kebutuhan ini menjadi kebutuhan yang utama.

Ketiga, rakyat memiliki kekuasaan mutlak, rakyat berhak dengan sepenuhnya membuat dan menghapus undang-undang, keputusan-keputusan dari mejelis harus dilaksanakan walau secara menyeluruh hal tersebut dapat membahayakan kelangsungan nilai-nilai moral maupun manusia.

Berbeda dengan Islam, kekuasaan rakyat tidak bisa dijalankan penuh karena ada syariat yang ikut mengaturnya. Syariat ini bertujuan untuk membatasi gerak rakyat bila ada suatu keputusan yang melebihi nilai-nilai norma sosial dan agama secara keseluruhan. Rakyat tidak dapat melampaui batas dari ajaran Allah yang tertuang di dalam Al-Quran maupun hadits. Umat dalam Islam - atau jika mau dapat dikatakan dalam demokrasi Islam - harus berpegang pada aturan akhlak, dan terikat dengan perinsip-prinsipnya42. Bisa ditarik kesimpulan jika Islam memberikan kebebasan bagi umat untuk menjalankan pemerintahan dengan melihat kepada batasan-batasan dari ajaran Allah, yang tidak lain untuk menjaga

42

(41)

penyimpangan yang mungkin dilakukan dan semua keputusan yang melampaui batas etika kemanusiaan.

Pentingnya mendirikan negara Islam adalah karena di dalam negara Islam hak-hak rakyat akan terpenuhi dan terlindungi, karena jalannya pemerintahan Islam terjalin antara dua unsur yang saling bersatu, yaitu hubungan antara umat dan syariat. Umat menjalankan syariat dan syariat akan mengawasi perjalanan umat dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, sistem Islam adalah sistem yang khusus dengan menggunakan istilah yang murni yaitu ‘Sistem Pemerintahan Islam”. Jika umat ingin mengartikan dengan istilah yang sesuai dengan perkembangan zaman ini, maka bisa dikatakan bahwa sistem Islam dapat dikatakan sebagai sistem ‘demokrasi Islam’

Tujuan mendirikan pemerintahan Islam harus diiringi dengan keimanan kepada Allah SWT, setidaknya inilah pendapat dari Muhammad Husein Heikal dalam bukunya yang berjudul Al-Hukumatul Islamiyah. Dengan adanya iman ini maka dengan sendirinya akan memunculkan rasa persamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Pada prinsipnya semua manusia di mata Allah adalah sama tidak ada keutamaan antara Arab dan non-Arab terkecuali dilihat dalam kadar keimanannya. Setiap manusia memiliki kebebasan dalam segala hal termasuk kebebasan dalam memilih akidah. Semua harus dilindungi dalam pemerintahan Islam.

(42)

menempatkan budak pada sisi yang mulia43. Setidaknya itulah yang terjadi pada masa pemerintahan Islam berkuasa.

Dalam peradaban dunia, banyak hak-hak wanita tidak ditempatkan pada yang seharusnya, hak-hak mereka terabaikan. Menurut Islam, hak kaum wanita harus dipenuhi dengan baik sesuai dengan kewajiban-kewajibannya. Sedangkan derajat kaum lelaki berada setingkat di atas kaum wanita karena beban dan tanggung jawab yang harus mereka pikul44. Wanita memiliki hak kebebasan yang sama seperti laki-laki dalam bergaul di masyarakat sepanjang itu tidak merugikan masyarakat dan keluarga sendiri.

Atas dasar itu maka peradaban Islam dilakukan atas prinsip persamaan, masing-masing mempunyai hak serta kewajiban yang sama, tidak ada paksaan bagi muslim memaksa orang non muslim untuk memeluk Islam. Kewajiban membayar jizyah atau pajak terhadap orang yang tidak mau memeluk Islam tidak lain hanya untuk memberikan keamanan bagi mereka dari setiap musuh untuk mempertahankan eksistensi negara.

Mengenai hak dan kewajiban individu dan masyarakat, Muhammad Heikal menjelaskan bahwa Islam menjamin hak individu namun bukan berarti Islam menggunakan asas indvidualime. Islam mengakui adanya hak milik, keluarga serta warisan. Mengakui adanya paham individualisme merupakan suatu kekeliruan. Anggapan ini tentu saja keliru, biarpun mengakui paham ini, Islam juga menetapkan bahwa di dalam harta orang kaya terdapat bagian tertentu yang menjadi hak orang miskin45.

43 Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1993), h. 28. Cet. II

44

Ibid., h. 29

45

(43)

Kewajiban negara adalah menjamin kehidupan individu, baik untuk menjaga dari mengikisnya moral, menjamin pendidikan serta menjamin kesehatan. Kewajiban ini juga merupakan suatu kewajiban terhadap Allah karena hal itulah yang kemudian akan diminta pertanggung jawaban pertama kali sebelum hal lainnya.

Heikal juga membahas bahwa Islam juga menjamin adanya suatu kebebasan, kebebasan itu ialah kebebasan dalam akidah, kebebasan dalam berfikir, bebas dari kemiskinan serta bebas dari rasa takut.

Mengenai masalah kebebasan dalam berakidah, dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama, semua bebas dalam meyakini apa yang menjadi akidahnya. Memang ada hukuman bagi orang yang murtad, namun di dalam agama lain juga terdapat akan hal ini. Melihat contoh dari masa kejayaan Islam, telah dibuktikan bahwa wilayah yang diduduki oleh Islam tidak ada paksaan bagi penduduk asli wilayah itu untuk masuk ke dalam Islam, bahkan hal sebaliknya, mereka diberikan kebebasan dalam melaksanakan ritual menurut kepercayaannya dan pemerintah justru memproteksi masyarakat yang ada di dalamnya. Begitu juga halnya dalam perjanjian damai yang dilakukan Islam, tidak ada satu butir pun di perjanjian tersebut yang mengharuskan penduduk asli negeri yang ditaklukan mengikuti agama Islam.

Apabila kebebasan akidah sudah dapat membuat manusia saling menghormati, membuat mereka mencari kesempurnaan dengan cara toleransi, persaudaraan dan saling mencintai, semuanya merupakan faktor penting yang mendorong ke arah kemajuan dan membuat dunia menjadi aman dan damai46.

46

(44)

Yusuf Qardhawi juga menyatakan suatu keharusan bagi Islam untuk menyatu dengan politik, hal ini dapat dijalankan dengan pendirian negara Islam. Melalui ruang sejarah Islam, Muhammad berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran di bawah lindungan wahyu Allah, untuk membangun negara Islam yang merupakan sarana untuk menyukseskan dakwahnya serta mensejahterakan rakyatnya. Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuasaan kecuali kekuasaan yang berdasarkan syariat Islam47.

Qardhawi menyetujui bahwa agama tidak terlepas dari politik dan politik tidak terlepas dari agama. Sepanjang sejarah, umat Islam tidak mengenal adanya pemisahan agama dengan negara, mereka menyatu dalam lingkup negara besar ke Islaman di bawah kekhalifahan.

Qardhawi mengkritik sikap sekularis yang memisahkan agama dari negara, mengatakan bahwa agama tidak lain hanya mengatur urusan pribadi saja. Islam tidak ada keterkaitannya dalam mengatur fungsi sosial terhadap negara, memperbaiki kondisi moral masyarakat. Qardhawi juga mengkritik pernyataan sekularis yang mengatakan para pendukung negara Islam tidak lain hanya untuk pernyataan kefanatikan dari kaum mayoritas belaka dan mengesampingkan hak- hak minoritas.

Qardhawi menyatakan bahwa negara Islam adalah suatu negara yang demokratis sesuai dengan negara yang berperadaban lainnya, yang didasarkan pada demokrasi, pembaiatan dan juga suara mayoritas. Negara Islam didirikan atas dasar nasehat dari agama yang memiliki sifat amar makruf, dan nahi

47

Yusuf Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, terj. Khoirul Amru

(45)

mungkar. Oleh karena itu negara Islam adalah negara yang juga berperadaban dan negara yang syura yang juga selaras dengan inti dari demokrasi.

Mengenai pemimpin negara dalam suatu negara Islam, Qardhawi menolak jika negara Islam dipimpin oleh orang yang tidak mentaati Islam, hal ini dapat dilihat dalam baiat pimpinan negara. Baiat yang dimaksudkan sebagai baiat yang bisa melepaskan kita dari perbuatan dosa adalah membaiat seorang pemimpin

yang menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah48. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah)49. Baiat ini adalah salah satu cara penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi pemimpin atau khalifah. Tata cara baiat ini juga dilakukan dalam pengangkatan ke empat Khalifatul Rasyidin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Qardhawi menilai bahwa anggapan politik itu kotor, keji serta banyak intrik-intrik sehingga agama terlalu murni untuk ikut masuk ke dalamnya merupakan satu hal yang tidak mendasar, hanya untuk dijadikan alasan supaya agama tidak mencampuri politik. Politik yang dijalankan oleh manusia yang memiliki tujuan menjaga kemashlahatan umat, menjaga keadilan serta sepenuhnya dijalankan sesuai dengan syariat maka dengan sendirinya akan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dan Allah akan memakmurkan negara tersebut.

48

Ibid., h. 147

49

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap parameter umur panen, jumlah buah, bobot 1000 butir dan produksi benih per hektar, serta memberikan pengaruh yang

(WP), dan Profile Matching. Semua metode tersebut hasil akhirnya berupa perangkingan dari proses perhitungan yang telah ditentukan. Metode optimasi yang digunakan untuk

Dengan demikian, kedudukan Public Relations dalam suatu lembaga atau perusahaan adalah sebagai suatu organisasi yang berfungsi sebagai metode untuk membangun kepercayaan

Benih ikan gabus hasil pemijahan di luar habit at asli ( ex sit u ) dari po pulasi Bo go r menunjukkan perfo rma pert umbuhan dan sintasan lebih t inggi dibandingkan benih ikan

Penelitian dilakukan dengan mengintegrasikan kedua model atenuasi gelombang berdasarkan karakteristik vegetasi mangrove yang meliputi tinggi pohon, kerapatan serta persen

saponaria memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap FMA lokal, Disarankan bahwa untuk memastikan jenis FMA yang mana yang efektif meningktakan pertumbuhan tanaman

Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dengan

Palembang setelah mendapat dengan model pembelajaran Picture and picture.. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan; 1 ) dengan penambahan Ulat Hongkong pada pakan ikan