ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN PERGESERAN
(SHIFTS) PADA TEKS KONTRAK
AXA-LIFE INDONESIA
TESIS
Oleh
P A N T A S
097009011/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN PERGESERAN
(SHIFTS) PADA TEKS KONTRAK
AXA-LIFE INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
P A N T A S
097009011/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN PERGESERAN (SHIFTS) PADA TEKS KONTRAK
AXA-LIFE INDONESIA
Nama Mahasiswa : P a n t a s Nomor Pokok : 097009011 Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Dr. Syahron Lubis, M.A) (Dr. Roswita Silalahi, M.Hum) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A
ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN PERGESERAN (SHIFTS) PADA TEKS KONTRAK AXA-LIFE INDONESIA
ABSTRAK
Untuk memperoleh hasil terjemahan yang baik dan ekivalen, dibutuhkan strategi serta penerapan beberapa teknik dan pergeseran (shifts), sehingga akan diperoleh hasil dengan tingkat keterbacaan dan keberterimaan yang memadai. Penelitian ini menganalisis penerapan teknik penerjemahan serta pergeseran bentuk sebagai bahagian dari pergeseran kategori (category shifts) dalam suatu produk legal teks.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif – kualitatif atas data terpancang merujuk pada teori analisis data kualitatif Seiddel melalui pemrosesan data yang dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni penyuntingan, identifikasi, dan tabulasi. Hasilnya mengindikasikan bahwa ada 13 jenis teknik penerjemahan yang diimplementasikan, yakni teknik amplifikasi (37%), teknik peminjaman (2%), teknik calque (2%), teknik kompensasi (1%), teknik diskripsi (2%) teknik kreasi diskursif (5%) teknik generalisasi (5%), penerjemahan harfiah (10%), teknik modulasi (8%), teknik partikularisasi (5%) teknik reduksi (5%) teknik penambahan (4%), dan teknik penghilangan (14%). Sementara pergeseran bentuk yang terjadi dalam proses penerjemahan teks adalah pergeseran intra-system 90 (52,02%), pergeseran unit 46 (26,59%), pergeseran struktur 24 (13,88%), serta pergeseran kelas 13 (7,51%).
Dalam proses analisis teknik dan pergeseran pada penelitian ini, ditemukan ketidakakuratan penerjemahan atas 5 frasa, yang kemudian menghasilkan terjemahan yang tidak ekivalen dalam penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
ANALYZE TECHNICS OF TRANSLATION AND SHIFTS ON AXA-LIFE INDONESIAN CONTRACT TEXT
ABSTRACT
Achieving a readable, acceptable and equivalent translation, appropriate technics of translation, includes the shifts are urgently required. This research analyses the implementation of elictic technics and formed shifts as the part of category-shifts in the process of a translation of a legislative text.
The research was carried out on descriptive – qualitative method on a
legislative text as a product of translation. Data analysis data referred to Seiddel’s
qualitative data analysis where the data processing is conducted by selecting, identification, and tabulating.
The finding indicates that the technic implemented in the entirely translation covered 13 (thirteen) technique, they are amplification (37), borrowing (2%), calque (2%), compensation (1%), description (2%) discursive creation (5%) generalization (5%), literal translation (10%), modulation (8%), particularization (5%) reduction (5%) completion (4%), and dilation (14%).
Meanwhile, the four category shifts are implemented as the following frequence: Intra-system Shifts; 90 (52,02%), followed by Unit Shifts 46 (26,59%), Structural Shifts 24 (13,88%), and then Class Shifts 13 (7,51%).
Other finding was inaccurate translation. It was found that there were imprecise translation for 5 phrases, and resulted inaccurate translation in rendering the source language into the target language.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya yang tidak
terhingga, telah menganugerahi penulis kesehatan serta ketekunan dalam
mengerjakan proses penyelesaian tesis ini.
Tesis berjudul Analisis Teknik Penerjemahan dan Pergeseran pada Teks
Kontrak AXA Life Indonesia ini membahas tentang hasil penerjemahan sebagai
produk yang merupakan perjanjian antara suatu perusahaan asuransi/lembaga
keuangan (unit link) internasional yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk
salah satunya di Indonesia.
Tesis ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dan dorongan dari berbagai
pihak. Secara khusus Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, MA dan Ibu Dr. Roswita Silalahi,
M.Hum sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
akademik yang konstruktif dalam berbagai aspek kepada penulis, sejak awal hingga
penyelesaian penulisan tesis ini.
Atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan Program
Magister Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan
ketersediaan fasilitas yang sangat mendukung, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM &
H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K).
2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang,
MSIE.
3. Ketua Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Prof.
Tengku Silvana Sinar, Ph.D, MA.
4. Sekretaris Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Dr.
5. Segenap Dosen Pengajar serta staf administrasi pada Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kontribusi,
baik selama penulis mengikuti program perkuliahan hingga selama proses
penyelesaian penulisan tesis ini.
Harapan penulis, kiranya hasil penelitian ini akan memberi manfaat bagi
kalangan yang membutuhkan pengayaan referensi dalam bidang linguistik terapan,
dan pada bidang penerjemahan khususnya.
Medan, 23 Juni 2011 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
1. Identitas Diri
Nama Lengkap : Pantas Simanjuntak
NIM : 097009011
Program Studi : Linguistik
Tempat Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 10 Juli 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tenaga Edukatif Politeknik Negeri Medan
Alamat : Jl. Nusa Indah I/171, Komplek Pemda I,
Tanjung Sari, Medan - 20135.
Telepon : 061-8365544
2. Riwayat Pendidikan
No. Nama Institusi/Sekolah Tahun Lulus Keterangan
1 SD Negeri No. 4 Kerasaan 1970 Ijazah
2 SMP Satrya Budi Perdagangan 1973 Ijazah
3 SMA Negeri Perdagangan 1976 Ijazah
4 S1 IKIP Negeri Medan 1984 Ijazah
5 Pelatihan Bidang Metodologi Pengajaran di PEDC Bandung.
1986 Sertifikat
6 Bridging English Course for Academic English Communication, Curtin University, Australia
2006 Cerificate
3. Riwayat Pekerjaan
DAFTAR ISI
2.10. Teknik Penerjemahan pada Teks Kontrak AXA-Life…………. 44
2.11. Pergeseran Bentuk pada Teks Kontrak AXA-Life……….. 45
2.12. Penelitian Sejenis………. 47
BAB III METODE PENELITIAN... 51
3.1. Pendekatan Penelitian... 51
3.2. Sumber Data... 52
3.3. Pengolahan Data... 52
3.4. Analisis Data... 54
3.5. Tempat dan Waktu Penelitian... 54
BAB IV HASIL DAN ANALISIS... 55
4.1. Hasil Penelitian... 55
4.1.1. Teknik Penerjemahan... 55
4.1.2. Rangkuman... 61
4.1.3. Pergeseran Kategori pada Penerjemahan Teks Kontrak 63 4.1.3.1. Pergeseran struktural (structural shifts)... 64
4.1.3.2. Pergeseran kelas (class shifts)... 65
4.1.3.3. Pergeseran unit (unit shifts)... 65
4.1.3.4. Pergeseran Intra-sistem (intra-system shifts)... 66
4.1.4. Rangkuman... 67
4.2. Pembahasan atas Teknik Penerjemahan dan Pergeseran... 68
4.3. Teknik Amplifikasi sebagai Penerapan dengan Frekuensi Tertinggi... 76
4.4. Pergeseran Kategori (Category Shifts)... 77
4.5. Pergeseran Intra-Sistem sebagai Pergeseran Dominan... 81
4.6. Ketidakakuratan Penerjemahan... 83
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 86
5.1. Simpulan... 86
5.2. Saran... 87
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Frekuensi Penerapan Teknik Penerjemahan……….. 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Frekuensi Penerapan Teknik Penerjemahan……….. 63
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Identifikasi Teknik Penerjemahan……….. 91
ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN PERGESERAN (SHIFTS) PADA TEKS KONTRAK AXA-LIFE INDONESIA
ABSTRAK
Untuk memperoleh hasil terjemahan yang baik dan ekivalen, dibutuhkan strategi serta penerapan beberapa teknik dan pergeseran (shifts), sehingga akan diperoleh hasil dengan tingkat keterbacaan dan keberterimaan yang memadai. Penelitian ini menganalisis penerapan teknik penerjemahan serta pergeseran bentuk sebagai bahagian dari pergeseran kategori (category shifts) dalam suatu produk legal teks.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif – kualitatif atas data terpancang merujuk pada teori analisis data kualitatif Seiddel melalui pemrosesan data yang dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni penyuntingan, identifikasi, dan tabulasi. Hasilnya mengindikasikan bahwa ada 13 jenis teknik penerjemahan yang diimplementasikan, yakni teknik amplifikasi (37%), teknik peminjaman (2%), teknik calque (2%), teknik kompensasi (1%), teknik diskripsi (2%) teknik kreasi diskursif (5%) teknik generalisasi (5%), penerjemahan harfiah (10%), teknik modulasi (8%), teknik partikularisasi (5%) teknik reduksi (5%) teknik penambahan (4%), dan teknik penghilangan (14%). Sementara pergeseran bentuk yang terjadi dalam proses penerjemahan teks adalah pergeseran intra-system 90 (52,02%), pergeseran unit 46 (26,59%), pergeseran struktur 24 (13,88%), serta pergeseran kelas 13 (7,51%).
Dalam proses analisis teknik dan pergeseran pada penelitian ini, ditemukan ketidakakuratan penerjemahan atas 5 frasa, yang kemudian menghasilkan terjemahan yang tidak ekivalen dalam penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
ANALYZE TECHNICS OF TRANSLATION AND SHIFTS ON AXA-LIFE INDONESIAN CONTRACT TEXT
ABSTRACT
Achieving a readable, acceptable and equivalent translation, appropriate technics of translation, includes the shifts are urgently required. This research analyses the implementation of elictic technics and formed shifts as the part of category-shifts in the process of a translation of a legislative text.
The research was carried out on descriptive – qualitative method on a
legislative text as a product of translation. Data analysis data referred to Seiddel’s
qualitative data analysis where the data processing is conducted by selecting, identification, and tabulating.
The finding indicates that the technic implemented in the entirely translation covered 13 (thirteen) technique, they are amplification (37), borrowing (2%), calque (2%), compensation (1%), description (2%) discursive creation (5%) generalization (5%), literal translation (10%), modulation (8%), particularization (5%) reduction (5%) completion (4%), and dilation (14%).
Meanwhile, the four category shifts are implemented as the following frequence: Intra-system Shifts; 90 (52,02%), followed by Unit Shifts 46 (26,59%), Structural Shifts 24 (13,88%), and then Class Shifts 13 (7,51%).
Other finding was inaccurate translation. It was found that there were imprecise translation for 5 phrases, and resulted inaccurate translation in rendering the source language into the target language.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada saat membicarakan perihal bahasa dalam konteks global, berarti kita
sedang membicarakan bahasa yang digunakan oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia
ini. Dalam hal tersebut terlintas dalam pikiran kita suatu pertanyaan klasik, yakni:
“Bagaimana jika bahasa manusia di seluruh dunia ini sama atau seragam?”. Agar
setiap orang dengan suku bangsa dan negara berbeda dapat dengan mudah saling
berkomunikasi. Jika demikian halnya, maka tidak akan ada masalah dengan
penerjemahan atau terjemahan. Singkatnya, dalam kondisi demikian, penerjemahan
tidak diperlukan. Namun kenyataannya adalah bahwa manusia yang mendiami
belahan bumi yang terdiri dari ratusan suku bangsa ini memiliki ratusan bahkan
ribuan jenis bahasa berbeda. Untuk dapat berinteraksi satu dengan lainnya, mutlak
dibutuhkan penerjemahan antar bahasa, dikarenakan bahwa bahasa, baik lisan
maupun tulisan, adalah merupakan media komunikasi yang paling efektif dalam
kehidupan manusia.
Penerjemahan merupakan salah satu cabang dari linguistik terapan sebagai
bagian dari kegiatan dalam komunikasi antar manusia dengan berbagai bahasa
berbeda. Menurut Bassnett (2002: 74) pada tahun 1800 kegiatan penerjemahan atas
berbagai teks sudah dilakukan untuk keperluan terkait dengan harta dan kepemilikan.
daripada produk terjemahannya. “In the 1800, translation and texts become an issue of property and ownership. The original was considered to have significantly more worth than translation”. Dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya, sebagai disiplin ilmu dalam tataran akademis, penerjemahan merupakan suatu cabang ilmu
yang masih tergolong baru yang secara bertahap dikenal dan kemudian berkembang
cukup pesat akhir-akhir ini baik sebagai profesi, untuk keperluan bisnis, maupun untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari perspektif pandangan awam ada anggapan bahwa menerjemahkan teks
adalah pekerjaan yang sangat sederhana, sesederhana yang terlihat di permukaan sebagai
suatu pekerjaan mengartikan kata demi kata dari bahasa sumber (source language) ke
bahasa lainnya sebagai bahasa sasaran (target language). Kenyataannya, penerjemahan
meliputi beberapa aspek, lebih dari sekedar menggantikan fungsi sebuah kamus.
Beberapa aspek dimaksud, seperti penguasaan tata bahasa (grammatical skill),
keterampilan membaca (reading skill), dan analisis wacana (discourse analysis) – yang
jika tidak dimiliki oleh seorang penerjemah akan menjadi penghambat yang kemudian
akan mempengaruhi kualitas hasil terjemahan serta bermuara kepada ketidakpuasan
pengguna (users).
Hal yang melatarbelakangi diadakannya penelitian yang bertemakan teknik
penerjemahan ini, antara lain diawali munculnya suatu kerangka pikir dalam dua
bentuk pertanyaan, yakni: 1) “Apakah yang dimaksud dengan penerjemahan itu?” dan
2) Apakah penerjemahan itu merupakan sesuatu yang sederhana atau kompleks?
penerjemahan sebagai suatu proses pengungkapan suatu bahasa ke bahasa lain
dengan mempertimbangkan faktor semantik dan kesetaraan atau ekivalensi
(Translation as the expression in another language (TL) of what has been expressed
in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences).
Sementara Hatim (2001: 10) menjawab pertanyaan kedua dengan menyatakan
bahwa penerjemahan adalah sesuatu yang kompleks. Dalam proses penerjemahan tidak
hanya menyangkut kosa kata dan tata bahasa semata, akan tetapi juga menyangkut
perihal budaya. (A translation work is a multi-faceted activity; it is not a simple matter of
vocabulary and grammar only but that it can never be separated from the culture). Permasalahan dalam berinteraksi baik secara tulisan (translasi) maupun lisan
(interpretasi) semakin kompleks dikarenakan selain perbedaan bahasa dari sisi
linguistik, juga dikarenakan perbedaan pada sisi budaya. Perlu digaris bawahi bahwa
faktor perbedaan budaya adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
penerjemahan antar bahasa. Bangsa Indonesia sebagai representasi penganut budaya
Timur, misalnya dihadapkan dengan bangsa Inggris sebagai salah satu penganut
budaya Barat (Eropah), maka dalam proses penerjemahan dari bahasa Inggris sebagai
bahasa sumber ke bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran, dalam proses
penerjemahannya faktor wawasan mengenai budaya kedua bangsa akan sangat
berperan dalam pencapaian hasil terjemahan yang ekivalen.
Namun demikian, para pakar linguistik, khususnya mereka yang mendalami
linguistik terapan pada bidang penerjemahan menawarkan solusi untuk pemecahan
di dunia ini, yakni antara lain dengan tersedianya berbagai teori dan metode serta
teknik penerjemahan untuk diaplikasikan.
Sebagai salah satu cabang pada bidang linguistik terapan, penerjemahan
merupakan suatu kebutuhan sebagaimana diuraikan pada bahagian terdahulu. Namun
dalam dinamika perjalanannya, penerjemahan sering memunculkan perdebatan
dikarenakan adanya anggapan bahwa menerjemahkan teks adalah pekerjaan yang sangat
sederhana, sesederhana yang terlihat di permukaan sebagai suatu pekerjaan mengartikan
kata demi kata dari suatu bahasa sebagai sumber (L1) ke bahasa lainnya sebagai bahasa
sasaran (L2). Pendapat lain menyatakan bahwa penerjemahan adalah suatu pekerjaan
seni, dan bahkan ada juga pendapat yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah
sesuatu yang sifatnya suka-suka (arbitrary).
Masalah penerjemahan adalah persoalan pengalihan arti (rendering) baik
secara leksikal, semantik dan atau secara pragmatik dari suatu bahasa ke bahasa
lainnya. Dalam penerjemahan teks bahasa Inggris-Indonesia misalnya, sering
ditemukan berbagai hambatan yang antara lain disebabkan ketidaktersediaan kosa
kata dalam bahasa sasaran untuk mengakomodir kata dan makna pada bahasa sumber
(Inggris) serta perbedaan sistem pada kedua bahasa tersebut.
Ada dua jenis perspektif yang berbeda atas objek yang sama antara ahli
bahasa (linguists) dan penerjemah (translators), di mana pada satu sisi, linguist
memandang teks sebagaimana adanya (how things are); proses penerjemahan terjadi
secara alami (the nature of translation process); serta keterkaitan antara teks dalam
penerjemah memandang bagaimana teks seharusnya disusun (how things ought to
be); susunan seperti apa yang menjadikan teks baik atau efektif (what constitutes good or effective translation) serta faktor apa yang dapat mendukung pencapaian hasil terjemahan yang lebih baik dan efektif (what can help to achieve better or more
effective translation) (Bell, 1991: 54).
Dalam kegiatan penerjemahan, penerjemah berhadapan dengan berbagai varian
corpus teks seperti teks keagamaan, teks hukum, teks sastra dan budaya, teks medis, dan lain sebagainya. Teks hukum (legal texts) misalnya, meliputi teks-teks berita acara
pengadilan, perjanjian kontrak kerja atau Memorandum Of Understanding (MOU) serta
berbagai model teks-teks kontrak yang mengikat lainnya. Adalah merupakan suatu
fenomena bahwa pada umumnya teks-teks kontrak atau yang dikenal dengan legal
texts, sebagai salah satu genre teks yang lazim disebut dengan legislative documents, menggunakan bahasa yang sangat spesifik dan relatif sulit dipahami oleh kaum
awam, bahkan cenderung kaku (awkward). Dalam terminologi penerjemahan, hal ini
dikenal dengan sebutan keterbacaan, di mana legal teks ditandai dengan teks yang
tingkat keterbacaannya tidak sebaik teks ilmiah popular misalnya, sehingga sulit
dicerna. Pemahaman akan bahasa legal teks terkesan lebih tertuju pada sesama
komunitas para profesional di lingkugan mana teks tersebut digunakan.
Pandangan-pandangan dan fenomena terurai di atas merupakan latar belakang
ketertarikan peneliti untuk menjadikan masalah penerjemahan sebagai topik
penelitian dalam penulisan tesis ini. Suatu penelitian mengenai penerjemahan teks
yang memadukan dua jenis bidang jasa, yakni bidang asuransi jiwa dan
keuangan/perbankan (Unit-Link) internasional yang berpusat di Paris, Prancis.
Penelitian dengan judul: “Analisis Teknik Penerjemahan dan Pergeseran
(Shifts) pada Teks Kontrak AXA-Life Indonesia” mengkaji suatu produk terjemahan
atas teks kontrak sebagai genre legal teks dari segi teknik yang diterapkan serta
pergeseran bentuk sebagai bagian dari pergeseran kategori (category shifts) yang
terjadi dalam proses penerjemahan atas teks kontrak (legal text) yang mengikat dua
belah pihak, yakni antara AXA-Life Indonesia sebagai pihak pertama (first party)
dengan para nasabah di Indonesia sebagai pihak kedua (second party).
Pengamatan awal yang dilakukan terkait judul penelitian ini adalah
pengidentifikasian teks kontrak terkait dengan proses penerjemahan, yang pada
umumnya adalah dengan pendekatan-pendekatan word-for-word translation, literal
translation, faithful translation, semantic translation pada sisi bahasa sumber dan adaptation, free translation, idiomatic translation, serta commuicative translation pada sisi bahasa sasaran akan sangat membantu untuk ‘menjembatani’ pemahaman antara dua
bahasa (bahasa sumber dan bahasa sasaran). Untuk memudahkan pekerjaannya, dalam
pencapaian hasil penerjemahan yang diinginkan secara teknis penerjemah menggunakan
beberapa teknik penerjemahan dan pergeseran-pergeseran (shifts) sebagai acuan dalam
proses penerjemahan yang kemudian menghasilkan produk terjemahan yang baik
di mana terdapat kesesuaian makna antara bahasa sumber (source text) dan bahasa
sasaran (sasaran text). Dengan demikian terjemahan akan menjadi sesuatu produk yang
Keakuratan dalam proses penerjemahan perlu untuk menghindari hasil
terjemahan yang buruk yakni distorsi atau bahkan hilangnya makna bahasa sumber pada
teks terjemahan yang dapat mengaburkan makna bahasa sumber dalam bahasa sasaran.
Maka selain dari beberapa kriteria keterampilan yang telah diuraikan di atas, diperlukan
kepiawaian dalam penerapan teknik-teknik spesifik dalam proses penerjemahan. Melalui
paraprhrasing misalnya, dengan memodifikasi, menambah, menghilangkan, dan teknik-teknik penerjemahan yang relevan lainnya yang ada diantara beberapa teknik-teknik
penerjemahan yang lazim digunakan, serta pergeseran-pergeseran (shifts) adalah
opsi-opsi yang dapat membantu dalam kebuntuan demi pencapaian hasil terjemahan yang
ekivalen, terbaca dan berterima.
Penerapan teknik penerjemahan yang tepat atas legal teks adalah suatu
keniscayaan. Apakah penerapan teknik dan aplikasi pergeseran (shifts) yang tepat dan
akurat terjadi atas teks kontrak sebagai data pada penerjemahan teks kontrak
AXA-Life Indonesia?
Perolehan jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi salah satu latar belakang
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan seperti berikut:
a. Teknik penerjemahan apakah yang digunakan pada proses penerjemahan teks
kontrak AXA-Life Indonesia?
b. Pergeseran (shifts) apakah yang terdapat pada proses penerjemahan teks
kontrak AXA-Life Indonesia?
c. Teknik dan Pergeseran apakah yang dominan dalam penerjemahan teks
kontrak AXA-Life Indonesia?
d. Apakah teks kontrak AXA-Life Indonesia diterjemahkan dengan akurat?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan dalam proses
penerjemahan teks kontrak AXA-Life Indonesia.
b. Mendiskripsikan Pergeseran (shifts) yang terdapat pada proses penerjemahan
teks kontrak AXA-Life Indonesia.
c. Mengetahui Teknik dan Pergeseran yang dominan dalam penerjemahan teks
kontrak AXA-Life Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dalam bidang
penerjemahan.
b. Memberi pemahaman mengenai teknik-teknik penerjemahan atas teks
kontrak sebagai legal teks.
c. Memberi pemahaman mengenai pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam
penerjemahan teks kontrak sebagai legal teks.
2. Manfaat Praktis
Sebagai media informasi bagi komunitas nasabah AXA-Life Indonesia untuk
lebih memahami naskah kontrak yang mengikat yang harus ditandatangani.
1.5. Batasan Masalah
Ruang lingkup penelitian yang tercermin dari judul penelitian ini relatif luas
karena mencakup berbagai jenis teknik penerjemahan, jenis pergeseran, serta
berbagai aspek yang terkait dengan kedua variabel tersebut sebagaimana tercantum
pada judul penelitian. Oleh karenanya, untuk menghindari ruang lingkup penelitian
yang terlalu luas dan agar penelitian lebih fokus maka peneliti membuat suatu batasan,
1. Dalam analisis teknik penerjemahan, adalah memungkinkan teknik penerjemahan
berbasiskan frase dan atau klausa dengan teknik dengan frekuensi kuplet, triplet, dan
kwartet (Silalahi, 2010). Namun dalam penelitian ini terbatas hanya pada analisis teknik tunggal; yaitu hanya satu unsur teknik penerjemahan saja pada tiap frase atau
klausa.
2. Analisis pergeseran pada penerjemahan yang terdiri atas dua bagian utama, yakni
Pergeseran Tingkatan (Level Shifts) dan Pergeseran Kategori (Category Shifts),
peneliti membuat batasan kajian hanya pada bidang category shifts yang terdiri atas
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Penerjemahan
Pengertian terjemahan menurut Munday adalah peralihan bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis. “...as changingof an original written text in the original verbal language into a written text in a different verbal language”
(Munday, 2001: 5).
Terkait dengan perihal ekivalensi yang ditetapkan sebagai suatu kata kunci,
Catford mendefinisikan penerjemahan sebagai penempatan (replacement) teks bahasa
sumber dengan teks yang ekivalen dalam bahasa sasaran. “The replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL) and the term equivalent is a clearly a key term” (Catford, 1965: 20-21). Meskipun sangat jarang terdapat padanan suatu kata dalam bahasa sumber yang sama
dengan arti dalam bahasa sasaran, namun keduanya dapat berfungsi secara ekivalen
pada saat keduanya dapat saling dipertukarkan (interchangeable).
Berdasarkan ketiga definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat
adanya kesepakatan bahwa penerjemahan adalah suatu pekerjaan yang menyangkut
keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu
adalah transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran
(sasaran language), dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan
produk (Nababan 2010).
Dari perspektif yang agak berbeda namun masih relevan dengan translasi
sebagai penggunaan interpretatif bahasa (interpretative use of language), Ernst dan
Gutt memberi pengertian penerjemahan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk
pernyataan ulang (restate) apa yang telah dinyatakan atau dituliskan oleh seseorang
dalam suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya. “The translation is intended to restate in one language what someone else said or wrote in another language” (Ernst & Gutt dalam Hickey, 1998: 46).
Terkait dengan perihal makna, Larson mendefinisikan penerjemahan sebagai
pengalihan maknadari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga langkah
pendekatan, yakni: 1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi,
dan konteks budaya dari teks bahasa sumber; 2) menganalisis teks bahasa sumber
untuk menemukan maknanya; dan 3) mengungkapkan kembali makna yang sama
dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa
sasaran (Larson, 1984: 3).
Adakah keterkaitan antara penerjemahan dengan seni? Bell mengemukakan
suatu perdebatan mengenai status proses penerjemahan sebagai suatu ilmu
pengetahuan atau suatu seni. Keduanya mengarah pada dua hal berbeda; di mana ilmu
pengetahuan (science) adalah identik dengan objektivitas, sementara seni (art)
Terlepas dari dikotomi seni dan ilmu pengetahuan, Bell menegaskan pengertian
penerjemahan yang hampir sama dengan Catford, yakni penerjemahan sebagai suatu
bentuk pengungkapan suatu bahasa dalam bahasa lainnya sebagai bahasa sasaran,
dengan mengedepankan semantik dan ekivalensi. “Translation is the expression in another language (or sasaran language) of what has been expressed in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences” (Bell, 1991: 4-5).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas,
terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang
menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang
kemudian adanya transfer makna dari bahasa sumber (SL) ke bahasa sasaran. (TL),
dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan yang akan bermuara pada
produk terjemahan yang baik, sebagaimana dikemukakan Halliday dalam Steiner
bahwa terjemahan yang baik adalah suatu teks yang merupakan terjemahan ekivalen
terkait dengan fitur-fitur linguistik yang bernilai dalam konteks penerjemahan. “A good translation is a text which is a translation (i.e.is equivalent) in respect of those linguistic feautures which are most valued in the given transalation” (2001: 17).
2.2. Jenis-jenis Terjemahan
Pada dasarnya terjemahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis: (1) terjemahan
intralingual atau rewording, yakni interpretasi tanda verbal dengan menggunakan
tanda lain dalam bahasa yang sama; (2) terjemahan interlingual atau translation
(bahasa-bahasa) lain; dan (3) terjemahan intersemiotik atau transmutation, yakni `interpretasi
tanda verbal dengan tanda dalam sistem tanda non-verbal (Jakobson dalam Venuti,
2000: 114). Tipe penerjemahan pertama atau “intralingual” menyangkut proses menginterpretasikan tanda verbal dengan tanda lain dalam bahasa yang sama. Dalam
penerjemahan tipe yang kedua (interlingual translation) tidak hanya menyangkut
mencocokkan/membandingkan simbol, tetapi juga padanan kedua simbol dan tata
aturannya atau dengan kata lain mengetahui makna dari keseluruhan ujaran.
Terjemahan tipe ketiga yakni transmutation, menyangkut pengalihan suatu pesan dari
suatu jenis sistem simbol ke dalam sistem simbol yang lain seperti lazimnya dalam
Angkatan Laut Amerika suatu pesan verbal bisa dikirimkan melalui pesan bendera
dengan menaikkan bendera yang sesuai dalam urutan yang benar (Nida, 1964: 4).
Jenis terjemahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terjemahan interlingual atau
translation proper.
Sementara Larson dalam Choliluddin (2005: 22) mengklasifikasi terjemahan
dalam dua tipe utama, yakni terjemahan berdasarkan bentuk (Form-based
translation) dan terjemahan berdasarkan makna (Meaning-based translation). Terjemahan berdasarkan bentuk, cenderung mengikuti bentuk bahasa sumber yang
dikenal dengan terjemahan harfiah, sementara terjemahan berdasarkan makna
cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber dalam bahasa sasaran
secara alami. Terjemahan tersebut dikenal dengan terjemahan idiomatik.
Teori pembagian jenis terjemahan berdasarkan Larson memiliki persamaan
Form-based translation menjadi pergeseran-pergeseran berdasarkan kategori (category shifts) dalam empat jenis pergeseran, yakni (1) pergeseran struktural (Structural Shifts), (2) pergeseran kelas (Class Shifts), (3) pergeseran unit (Unit Shifts), serta (4) pergeseran intra-sistem (Intra-system Shifts).
2.3. Kompleksitas Penerjemahan
Penerjemahan bukanlah suatu hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang dapat
dikategorikan sebagai sesuatu yang kompleks. Disebut kompleks karena penerjemahan
tidak terlepas dari berbagai faktor lain yang terkait dengan linguistik, seperti faktor
budaya misalnya. Kompleksitas penerjemahan yang telah disinggung pada bahagian latar
belakang sebelumnya ditegaskan oleh Hatim, bahwa dalam proses penerjemahan tidak
hanya menyangkut kosa kata dan tata bahasa semata, melainkan juga menyangkut perihal
budaya. (A translation work is a multi-faceted activity; it is not a simple matter of
vocabulary and grammar only but that it can never be separated from the culture (Hatim, 2001: 10).
Di samping keharusan akan kemahiran dalam bahasa sumber dan bahasa
sasaran, penerjemahan sebagai proses juga mensyaratkan keterampilan lain;
keluwesan, dan kepemilikan wawasan mengenai berbagai disiplin ilmu, tergantung
jenis teks yang sedang diterjemahkan. Pada poin ini, Hatim yang dikutip oleh
Kompleksnya masalah yang dihadapi oleh seorang penerjemah seperti diuraikan
di atas, menuntut keterampilan lebih untuk menerapkan penggunaan dua pilar utama
sebagai penyangga penerjemahan, yakni yang pertama penerapan teknik-teknik
penerjemahan dan penerapan penggeseran-pergeseran pada teks yang diterjemahkan.
Oleh karena kompleksitas proses penerjemahan, maka profesionalisme adalah
sesuatu yang mutlak. Profesionalisme dalam hal ini ditandai dengan beberapa
kompetensi, yakni:
1) Kompetensi dalam dua bahasa (ideal bilingual competence),
2) Memiliki keahlian (expertise) dalam pengetahuan dasar genre teks serta terampil
menyimpulkan (inference), dan
3) Kompetensi dalam komunikasi (Bell, 1991: 38-41).
Kepemilikan keahlian serta kompetensi tersebut di atas merupakan penanda
seorang penerjemah ideal, yang seterusnya akan dapat dengan piawai menerapkan
teknik-teknik penerjemahan dalam pekerjaannya. Dalam melaksanakan kegiatan
penerjemahan, penerjemah tidak terlepas dari permasalahan teknis. Berbagai jenis
teknik penerjemahan tersebut di atas adalah suatu keniscayaan yang harus dimiliki.
Untuk memecahkan permasalahan kompleksitas penerjemahan sebagaimana
dipaparkan pada bahagian terdahulu, maka seorang penerjemah sangat membutuhkan
penerapan berbagai teknik penerjemahan seperti yang telah disebut di atas, yang pada
praktiknya diterapkan secara tentatif. Di samping penerapan berbagai teknik
penerjemahan, hal kedua, yang lazim diterapkan adalah pergeseran-pergeseran
2.4. Ekivalensi dalam Penerjemahan
Bahasa sasaran yang menjadi produk atau hasil suatu proses penerjemahan,
idealnya adalah merupakan hasil yang ekivalen dengan keakuratan pesan dari bahasa
sumber, keterbacaan, dan keberterimaan produk. Ekivalensi tersebut menyangkut
ekivalensi pada tataran leksem (kata), frasa (above word level), gramatikal, tekstual,
maupun pada tataran pragmatik. Namun dalam hal ini, Mona Baker menyatakan
bahwa keseluruhan tataran tersebut digunakan dengan syarat bahwa meskipun
ekivalensi dapat dipraktikkan, hal itu tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor linguistik
dan budaya; yang oleh karena itu sifatnya adalah relatif. “It is used here with the proviso that although equivalence can usually be obtained to some extent, it is influenced by a variety of linguistic and cultural factors and is therefore always relative” (Baker, 1992: 6).
Oleh karena adanya konsep yang menyatakan bahwa penerjemahan
merupakan penempatan atau representasi suatu teks yang ekivalen dari suatu bahasa
ke bahasa lainnya, maka teks bahasa yang berbeda dapat menjadi ekivalen pada
tingkatan yang berbeda; baik secara keseluruhan, maupun sebahagian dalam
kaitannya dengan konteks semantik, sintaksis, leksem, dan lain-lain; serta dalam
tingkatan penerjemahan kata demi kata, frasa demi frasa, dan klausa demi klausa.
Berbeda dengan Baker, Mary Snell dan Hornby menggunakan istilah paralel
teks sebagai pengganti ekivalen. Suatu hasil terjemahan selalu diperoleh dari teks lain; teks paralel, yakni hasil dari dua teks yang independen dari sisi linguistik dan
berasal dari suatu situasi yang sangat identik. “A translation is always derived from another text. Parallel texts are two linguistically independent product arising from identical situation” (Snell, 1998: 86). Namun secara substansi keduanya adalah sama, karena ekivalensi dengan keparalelan adalah dua terminologi yang bersinonim -
yakni bahwa pesan yang dikandung oleh bahasa sumber sampai kepada pembaca
melaui bahasa sasaran.
Ketidakakuratan dalam penerjemahan ditandai dengan ketidakekivalenan
antara bahasa sumber dengan bahas sasaran, yang kemudian disebut sebagai produk
terjemahan yang tidak baik sebab baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran tidak
mengandung ide yang sama, sebagaimana dikemukakan oleh Halliday: “that translation equivalence is define in ideational terms; if a text does not match its source text idetionally, it does not quality as a translation, so the question whether it is a god translation does not arise” (Halliday in Steiner, 2001: 16).
2.5. Teknik Penerjemahan
Menurut Collins English Dictionary, a technique is a practical method, skill,
or art applied to a particular task (Teknik adalah suatu metode, keahlian atau seni praktis yang diterapkan pada suatu tugas tertentu). Dalam definisi ini terdapat dua hal
terhadap tugas tertentu; dalam hal ini tugas penerjemahan yang secara langsung
berkaitan dengan masalah penerjemahan dan pemecahannya (Machali, 2000: 77).
Kompleksitas dalam proses penerjemahan menuntut suatu persiapan holistik.
Sebelum melaksanakan penerjemahan teks, masalah metode, strategi, dan teknik
harus dipersiapkan oleh seorang penerjemah. Molina dan Albir (2002: 507-508)
mengartikan metode penerjemahan sebagai proses penerjemahan yang dilakukan
dalam kaitannya dengan tujuan penerjemah. Metode penerjemahan merupakan
pilihan secara makro, yang mempengaruhi keseluruhan teks.
Sementara teknik penerjemahan adalah prosedur pengolahan teks secara lokal
maupun individual yang beroperasi pada skala kecil (pada unit terjemahan) yang
lebih kecil dari daripada teks dan digunakan untuk mencapai hasil linguistik yang
nyata, misalnya transposisi, parafhrase, dan penghilangan. Baik metode maupun
teknik berorientasi pada tujuan, sedangkan strategi berorientasi pada masalah, yaitu
digunakan ketika penerjemah menyadari bahwa prosedur yang biasa tidak cukup
untuk mencapai tujuan tertentu (Setia, 2010). Hal lain yang menjadi pertimbangan
dalam penerjemahan adalah dua model penekanan yang bersifat teknis dari dua sisi,
yakni penekanan bahasa sumber (Source Language Emphasis) dan penekanan bahasa
sasaran (Target Language Emphasis).
SL Emphasis TL Emphasis
Diagram V Metode Penerjemahan (Newmark, 1998: 45)
Metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber
direpresentasikan oleh metode penerjemahan kata-demi-kata, metode penerjemahan
harfiah, metode penerjemahan setia, dan metode penerjemahan semantik. Metode
penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran direpresentasikan oleh metode
penerjemahan adaptasi, metode penerjemahan bebas, metode penerjemahan
idiomatis, dan metode penerjemahan komunikatif.
Molina dan Albir mengembangkan 20 teknik yang dapat digunakan untuk
menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan
berlangsung yang diterapkan pada berbagai satuan lingual. Pada bagian berikut ini
dikemukakan teknik penerjemahan versi Molina-Albir.
1. Adaptasi (adaptation) adalah teknik penerjemahan di mana penerjemah menggantikan unsur budaya bahasa sumber dengan unsur budaya yang
mempunyai sifat yang sama dalam bahasa sasaran, dan unsur budaya tersebut
akrab bagi pembaca sasaran.
2. Amplifikasi (amplification) adalah teknik penerjemahan yang mengeksplisitkan atau memparafrase suatu informasi yang implisit dalam bahasa sumber.
3. Peminjaman (borrowing). Teknik penerjemahan di mana penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Peminjaman itu bisa bersifat murni (pure
borrowing) atau peminjaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing). 4. Calque adalah teknik penerjemahan di mana penerjemah menerjemahkan frasa
5. Kompensasi (compensation) yaitu teknik penerjemahan di mana penerjemah memperkenalkan unsur-unsur informasi atau pengaruh stilistik teks bahasa
sumber di tempat lain dalam teks bahasa sasaran.
6. Deskripsi (description) merupakan teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan
fungsinya.
7. Kreasi diskursif (discursive creation) dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar dari konteks. Teknik ini
lazim diterapkan dalam menerjemahkan judul buku atau judul film.
8. Kesepadanan Lazim (established equivalent) adalah teknik untuk menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan
sehari-hari). Teknik ini mirip dengan penerjemahan harfiah.
9. Generalisasi (generalization) direalisasikan dengan menggunakan istilah yang lebih umum atau lebih netral.
10. Amplifikasi linguistik (linguistic amplification) yakni teknik penerjemahan dengan menambah unsur-unsur linguistik dalam teks bahasa sasaran. Teknik ini
lazim diterapkan dalam pengalihbahasaan secara konsekutif atau dalam sulih
suara (dubbing).
11. Kompresi linguistik (linguistic compression) merupakan teknik penerjemahan yang dapat diterapkan penerjemah dalam pengalihbahasaan simultan atau dalam
penerjemahan teks film, dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam
12. Penerjemahan harfiah (literal translation) merupakan teknik penerjemahan di mana penerjemah menerjemahkan ungkapan kata demi kata.
13. Modulasi (modulation) merupakan teknik penerjemahan dengan mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan teks
sumber. Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau struktural.
14. Partikularisasi (particularization) adalah teknik penerjemahan dengan menggunakan istilah yang lebih konkrit atau presisi.
15. Reduksi (reduction) merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi. Informasi teks bahasa sumber dipadatkan dalam bahasa sasaran.
16. Substitusi (substitution) merujuk pada pengubahan unsur-unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat).
17. Variasi (variation) adalah dengan mengubah unsur-unsur linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik: perubahan tekstual, gaya
bahasa, dialek sosial, dialek geografis. Teknik ini lazim diterapkan dalam
menerjemahkan naskah drama.
18. Pergeseran atau Transposisi. Transposisi merupakan teknik penerjemahkan
dengan mengubah tataran (level) maupun kategori (category).
19. Penambahan adalah teknik yang lazim diterapkan dalam kegiatan penerjemahan
berupa penambahan informasi yang pada dasarnya tidak ada dalam kalimat
sumber.
20. Penghilangan (deletion) mirip dengan teknik reduksi yang ditandai oleh
penghilangan informasi secara menyeluruh. (Molina-Albir dalam Silalahi, 2010:
4-5).
2.6. Pergeseran dalam Penerjemahan
Ruang lingkup pergeseran-pergeseran dalam penerjemahan meliputi materi
pembahasan yang cukup luas. Disebut pembahasan luas disebabkan adanya dua
bagian besar yang menjadi topik bahasan, yakni pertama, perihal pergeseran makna
(meaning-based) dan yang kedua membahas perihal pergeseran bentuk (form-based).
2.6.1. Pergeseran Makna
Dalam konteks pergeseran makna, kata, frase, klausa adalah tetap; yang
bergeser adalah maknanya. Pergeseran makna tersebut terjadi disebabkan satu kata
memiliki makna primer dan makna sekunder. Penjelasannya terlihat dalam
pergeseran makna pada morfem ‘run’ pada contoh berikut: (1) The deer runs = rusa itu berlari
(2) The river runs = sungai itu mengalir
(3) My nose runs = saya pilek
(4) His firm runs in export-import = perusahaannya bergerak di bidang export-import.
Dalam pergeseran makna, makna dari kata, frase, klausa (bentuk) yang sama
2.6.2. Pergeseran Bentuk
Larson (1984: 3) mengkaitkan kata ‘makna’ dalam mendefinisikan
penerjemahan, yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan pengalihan makna
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Maknalah yang harus dipertahankan,
sedangkan bentuk boleh diubah.
Catford memberi uraian yang lebih lengkap mengenai teori pergeseran bentuk
(Shifts), lebih dari sekedar perubahan dalam konteks tata bahasa (grammatical).
Menurut Catford (1965: 20), penerjemahan berarti mentransfer bahasa sumber ke
bahasa sasaran. Penerjemahan merupakan penggantian materi tekstual pada bahasa
sumber ke bahasa sasaran. Dalam proses penerjemahan, penerjemah selalu berusaha
mendapatkan unsur bahasa sasaran yang sepadan dengan bahasa sumbernya agar
dapat mengungkapkan pesan yang sama dalam teks sasaran.
Dalam suatu proses penerjemahan, masalah yang lazim ditemukan adalah
fakta bahwa tidak adanya kesamaan arti yang mutlak (absolute synonymy) antara
leksem-leksem dalam bahasa yang sama. Dalam hal inilah multak diperlukan praktik
pergeseran (shifts) sebagai suatu alternatif.
“To shifts from one language to another is to alter the forms. Further, the
contrasting forms convey meanings which cannot but fail to coincide totally; there is no absolute synonymy between words in the same language” (Bell, 1991: 6).
Suatu teks dalam bentuk wacana bukanlah murni merupakan suatu
phenomena linguistik semata, akan tetapi harus juga dipandang sebagai suatu alat dari
phenomenon, but also be seen in terms of its communicative function” (Hornby and Snell, 1988: 69) Pandangan Snell dan Hornby menegaskan bahwa sebagai alat
komunikasi (as a means of communication), terkait dengan perihal penerjemahan,
diperlukan berbagai pendekatan untuk menghantar (to render) bahasa sumber ke
bahasa sasaran secara komunikatif, yang dalam hal ini, pergeseran (shifts) merupakan
salah satu pendekatan yang mutlak diperlukan implementasinya.
Newmark (1988: 85) mendefinisikan pergeseran sebagai suatu prosedur yang
melibatkan suatu perubahan pada tata bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
“A translation procedure involving a change in the grammar from source language to target language”. Newmark memberi batasan pergeseran dalam hal tata bahasa saja, yang selanjutnya menguraikannya dalam tiga tipe, yakni: 1) pergeseran dari bentuk
tunggal ke jamak; 2) perubahan yang diakibatkan ketidaktersediaan struktur dalam
bahasa sasaran (SL grammatical structure does not exist in the TL); dan 3) pergeseran
yang diakibatkan memungkinkannya proses penerjemahan literal secara gramatikal
namun tidak selaras dengan penggunaan secara natural dalam bahasa sasaran. “Literal translation is grammatically possible but may not accord with natural usage in the target language” (Newmark, 1988: 85-86).
Teori lainnya yang terkait dengan perihal pergeseran dalam proses
penerjemahan dijelaskan oleh Simatupang (2000: 74) yang menyatakan bahwa setiap
bahasa adalah unik dan memiliki aturan-aturan tersendiri. Karena setiap bahasa
terjadinya pergeseran. Selanjutnya Simatupang (2000: 82) menyebutkan jenis-jenis
pergeseran dalam terjemahan sebagai berikut:
1. Pergeseran pada tataran morfem:
Contoh: Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
Reexamine memeriksa kembali
Impossible tidak mungkin
Recycle daur ulang
2. Pergeseran pada tataran sintaksis kata ke frasa:
Contoh: Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
Girl anak perempuan
Stallion kuda jantan
3. Pergeseran pada tataran frasa ke klausa:
Contoh: Bahasa Sumber:
Not knowing what to say, (he just kept quiet)
Bahasa Sasaran:
(Karena) dia tidak tahu apa yang hendak dikatakannya.
4. Pergeseran pada tataran frasa ke kalimat:
Contoh: Bahasa Sumber:
His misinterpretation of the situation (caused his downfall)
Bahasa Sasaran:
Dia salah menafsirkan situasi (dan itulah yang menyebabkan
5. Pergeseran pada tataran klausa ke kalimat:
Contoh: Bahasa Sumber:
Her unusual voice and singing style thrilled her fans, who reacted by
screaming, crying, and clapping.
Bahasa Sasaran:
Suaranya yang luar biasa dan gayanya bernyanyi memikat para
penggemarnya. Mereka memberikan reaksi dengan cara berteriak-teriak
dan bertepuk tangan.
Selanjutnya, Moentaha (2006: 57) menguraikan permasalahan dengan
substansi yang sama dengan sebutan berbeda. Terminologi pergeseran seperti yang
disebutkan Catford dan Simatupang disebut dengan penggantian (replacements) oleh
Montaha. Selanjutnya Moentaha membagi teknik penggantian dalam proses
penerjemahan dalam lima bagian, yakni: 1) penggantian kelas kata, 2) penggantian
bagian-bagian kalimat, dan 3) penggantian leksikal.
Diantara ketiga bagian tersebut, penggantian kelas kata memiliki persamaan
dengan dua kategori pergeseran versi Catford; yakni pergeseran struktural (structural
shifts) dan pergeseran kelas (class shifts) seperti pada contoh penggantian di tingkat kata berikut ini:
1 2 3 4
Bahasa Sumber: Severe acute respiratory syndrome
4 3 2 1
Pada contoh tersebut di atas terjadi penggantian posisi di tingkat kata di mana
dalam versi Catford fenomena tersebut masuk dalam kategori pergeseran struktural
(structural shifts). Sementara penggantian kelas kata pada contoh berikut, pada
pergeseran versi Catford masuk pada category pergeseran kelas (class shifts).
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
They insist on higher wages, better living conditions and shorter working hours.
Mereka menuntut kenaikan gaji,
perbaikan syarat-syarat kehidupan dan
pengurangan jam kerja.
Pada contoh tersebut di atas, adjektiva higher, better, dan shorter bergeser
menjadi nomina kenaikan, perbaikan dan pengurangan.
Baik Catford maupun Simatupang dan Moentaha memiliki kesamaan
pendapat dalam hal pergeseran bentuk, namun perbedaan ketiganya adalah bahwa
Simatupang dan Moentaha tidak membagi pergeseran secara lebih tegas seperti
pembagian kategori yang dilakukan oleh Catford; structural shifts, unit shifts, class
shifts, serta intra system shifts.
Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh seorang penerjemah seperti diuraikan
pada bagian terdahulu, menuntut keterampilan lebih untuk menerapkan penggeseran.
Pergeseran (shifts) adalah suatu proses formal dalam penerjemahan yang menjembatani
dua konsep dalam dua bahasa berbeda untuk sampai kepada hasil terjemahan yang
ekivalen. “...’departures’ from formal correspondence in the process of going from the
(Catford, 1965: 73). Pergeseran leksikal, frasa, maupun klausa diyakini dapat mengatasi
kebuntuan yang diakibatkan perbedaan-perbedaan diantara dua bahasa berbeda.Untuk
dapat menyampaikan informasi yang terdapat dalam suatu teks atau pesan
implisit dalam bahasa sumber penerjemah sebaiknya juga memperhatikan
prosedur penerjemahan. Catford (1965: 82) mengemukakan pergeseran
bentuk sebagai prosedur penerjemahan yang lazim ditemukan, dan
memperjelasnya dalam tahapan seperti akan diuraikan pada bagian berikut
ini.
Menurut Catford pergeseran dalam proses penerjemahan dibagi dalam dua
bagian utama, yaitu Pergeseran Tataran (Level Shifts) dan Pergeseran Kategori (Category
Shifts).
2.6.2.1. Pergeseran berjenjang (level shifts)
Level Shifts merupakan pergeseran berjenjang; di mana sesuatu yang diungkapkan dengan indikator tata bahasa pada bahasa sumber, kemudian terungkap
dalam leksem pada bahasa sasaran. “Something which is expressed by grammar in one language and lexis in another” (Catford dalam Munday, 2010: 60).
Contoh:
“John swims on Saturdays” “John berenang pada setiap Sabtu”
Simple Present (grammar) yang ditandai dengan ‘s’ pada ‘swims’ tidak dijelaskan pada leksem ‘berenang.
Penggeseran tataran (level shifts) terjadi bila transposisi menghasilkan
unsur bahasa sasaran yang berbeda tatarannya, baik tataran gramatikal,
ataupun tataran leksikal “SL item at one liguistic level has a TL translation
equivalence at a different level” (Catford, 1965: 73).
Misalnya: ”have been waiting” dalam bahasa Inggris (sumber) – pada tataran gramatikal - menjadi “menunggu” dalam bahasa sasaran (Indonesia), di mana.
pergeseran tersebut diakibatkan oleh tata bahasa pada bahasa sumber diterjemahkan
berbeda pada bahasa sasaran.
2.6.2.2.Pergeseran kategori (category shifts)
Dalam konteks pergeseran kategori, Curzan Adams menjelaskan bahwa jika
sebuah bentuk kata yang digunakan dalam suatu kategori leksikal beralih kepada kategori
lain, maka kata tersebut mengalami pergeseran fungsi. “When a word form employed in one lexical category moves into another category, it undergoes a functional shifts”
(Adams dalam Lubis, 2009: 56).
Catford lebih jauh menguraikan empat jenis pergeseran bentuk sebagai bahagian
Shifts, 3) Unit Shifts, dan 4) Intra-system Shifts (Catford, 1965: 73). Teori pergeseran versi Catford lebih sempurna dibandingkan dengan teori Newmark. Oleh sebab itu
peneliti menjadikannya sebagai landasan teoretis utama sebagai ‘pisau bedah’ dalam
penelitian ini, sedangkan teori-teori pergeseran lainnya tetap digunakan sebagai teori
yang memperkuat landasan teori utama.
Dalam teks-teks yang genrenya bukan termasuk genre profesional, dikategorikan
sebagai teks umum. Penjelasan mengenai keempat pergeseran menurut pembagian
Catford pada tahapan pertama berikut ini adalah dengan mengambil contoh-contoh
dalam teks umum atau non-profesional.
2.6.2.2.1. Pergeseran struktur (structural shifts)
Pergeseran struktur adalah pergeseran pada tataran struktur kata dalam frasa atau
klausa pada proses penerjemahan. Pergeseran struktur, misalnya: dari frasa
berstruktur Diterangkan-Menerangkan (DM) menjadi frasa berstruktur
Menerangkan-Diterangkan (MD) “Shifts from MH (Modifier + Head) to MHQ
(Modifier Head Qualifier) (Catford, 1965: 145).
Contoh:
“She stayed in a five-star hotel” “Dia menginap di hotel berbintang
lima”
‘A five star’adalah adjektiva atau modifier yang menerangkan nomina
’hotel’ pada bahasa sumber dan kemudian bergeser strukturnya
diterangkan-menerangkan pada bahasa sasaran.
Pergeseran gramatikal lainnya dapat terjadi pada semua tingkatan. “In
grammar, structure shifts can occur in all ranks” (1965: 78). Dalam hal ini,
Nida menyebutnya dengan penyesuaian struktural (Structural Adjustment)
sebagai strategi untuk mencapai ekivalensi. “Structural adjustment is another
important strategy for achieving equivalence”(1964: 226).
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
“She catches the bus on Mondays” “Dia naik bus setiap hari
‘On Mondays’ dengan penanda gramatikal/kala simple present tense
bergeser menjadi ‘setiap hari Senin’ pada bahasa sasaran.
2.6.2.2.2. Pergeseran kelas (class shifts)
Pergeseran kelas (Class Shifts) terjadi ketika jenis kata tertentu pada bahasa
sumber bergeser menjadi jenis kata lainnya pada bahasa sasaran (Comprise shifts from
one part of speech to another). Pergeseran kelas kata dapat terjadi misalnya dari
nomina menjadi verba atau adjektiva, dan sebaliknya. Penerjemahan klausa
berikut memperjelas pengertian tentang pergeseran kelas.
a. Pergeseran dari Adjektiva ke Nomina:
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
They insisted higher wages Mereka menuntut kenaikan
gaji
b. Pergeseran dari Nomina ke Verba:
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
2.6.2.2.3. Pergeseran unit (unit shifts)
Pergeseran unit (Unit shifts), di mana dalam proses penerjemahan terjadi
perubahan tingkatan (involve change ranks) pada kata playfully misalnya,
diterjemahkan menjadi “cekikikan geli” dalam kalimat the two young lovers are playfully. “They are teasing”. Demikian juga halnya pada contoh berikut: “Teasing”
yang diterjemahkan menjadi “saling menggoda” pada bahasa sasaran; terjadi pergeseran dari kata menjadi frase sebagai reciprocal expression yang tidak
ditemukan pada TL.
Pergeseran Unit (Unit Shifts) atau Pergeseran Tingkatan (Rank Shifts) adalah
pergeseran yang terjadi di mana hasil terjemahan ekivalen pada bahasa sasaran (TL)
berbeda tingkatan dengan bahasa sumber (SL). Tingkatan atau rank dalam hal ini
merujuk pada unit-unit hirarkis linguistik dari kalimat, klausa, kelompok kata dan
morfem. Pergeseran yang terjadi pada pergeseran unit, misalnya dari kata
menjadi frasa, atau frasa menjadi klausa, klausa menjadi frasa, frasa menjadi
kata dan seterusnya.
Misalnya,
Pergeseran pada tataran kata ke frasa:
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
ram domba jantan dewasa
lamb anak domba
Dalam terjemahan dengan pergeseran unit, terlihat pada kata teasing yang
diterjemahkan menjadi saling menggoda. Dengan kata lain, pada proses
penerjemahan terjadi pergeseran dari kata ke frasa reciprocal yang tidak terdapat
pada bahasa sumber. Di samping pergeseran ini dikategorikan sebagai pergeseran unit
(unit shifts), dalam kasus seperti ini, penerjemah juga sekaligus menerapkan
pergeseran struktural (structural shifts) dengan adanya perubahan secara gramatikal
antara struktur bahasa sumber (ST) dan struktur bahasa sasaran (TT). Dalam bahasa
sumber, hanya terdapat satu kata saja, namun dalam bahasa sasaran terdapat dua kata.
Contoh lainnya terlihat pada pergeseran berikut: frasa She had a litlle figure
diterjemahkan menjadi perawakannya kecil, pergeseran yang terjadi adalah
pergeseran dari klausa ke frase.
2.6.2.2.4. Pergeseran intra-sistem (intra-system shifts)
Dalam penerapan pergeseran pada penerjemahan seperti diuraikan pada
pergeseran kategori 1, 2, dan 3 di atas, ada kemungkinan terjadinya perubahan sistem
yang mempengaruhi kategori-kategori fundamental lainnya seperti pada bagian
struktur, kelas dan unit. Perubahan sistem dapat berarti sebuah pergeseran di mana
satu sistem dalam bahasa sumber yang berbeda dengan sistem dalam bahasa sasaran
satu sistem ke sistem lainnya sering terkait dengan pergeseran struktur, unit atau
pergeseran kelas.
Pergeseran intra-sistem (Intra-system Shifts) adalah pergeseran yang terjadi
ketika bahasa sumber dan bahasa sasaran berada dalam satu sistem yang hampir sama
(possess approximately corresponding systems) namun hasil terjemahan tidak menunjukkan kaitan yang terlihat dalam terms pada sistem bahasa sasaran. Misalnya:
sistem penjumlahan dan artikel yang meskipun memiliki sistem yang sama dalam bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, namun keduanya tidak selamanya bermakna sama. Advice
tanpa indikator jamak dalam bahasa Inggris menjadi nasihat-nasihat (jamak) dalam
bahasa Indonesia. Demikian juga dengan artikel the dan a/an yang berarti sebuah dalam
bahasa Indonesia. Artikel ‘a’ dalam bahasa Inggris, dalam klausa ‘He has a broken leg’ tidak diterjemahkan menjadi ‘Dia memiliki sebuah kaki yang patah’ melainkan ‘Dia
mengalamai patah kaki’ atau ‘kakinya patah’ dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (Catford, 1965: 81).
Teori Catford mengenai pergeseran intra sistem mendapat dukungan dari Ernst
dan Gutt yang menegaskan bahwa pada situasi tertentu, pada saat munculnya masalah
dalam proses penerjemahan, penerjemah dimungkinkan untuk mengantisipasinya dengan
mencari makna yang tepat untuk mengatasinya, yang kemungkinan menempuh cara
di luar kebiasaan dalam pelaksanaan penerjemahan atau kemungkinan alternatif lain
dengan strategi yang bertujuan untuk memperluas wawasan kontekstual pembaca.
“Once aware of the problems arising in secondary communication situations,
strategies for widening the contextual knowledge of the sasaran audience by additional means”(Ernst and Gutt in Hickey, 1998: 52).
Contoh lain:
Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
He has his car washed Mobilnya dicuci oleh seseorang
Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
The sun sets in the west Matahari tenggelam di Barat
Menyangkut pergeseran sistem, seperti halnya dalam sistem untuk
menyatakan plural atau singular. Hoed (1993) mengelompokkan pergeseran
makna atau modulasinya ke dalam dua kelompok yaitu: (1) Pergeseran sudut
pandang dan (2) Pergeseran medan makna. Pergeseran sudut pandang
terjadi apabila unsur bahasa sumber memperoleh padanan pada bahasa
sasaran yang berbeda sudut pandangnya, seperti contoh berikut:
Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
Pergeseran medan makna adalah pergeseran yang dihasilkan jika
unsur bahasa sumber memperoleh padanan bahasa sasaran yang medan
maknanya berbeda, seperti contoh berikut:
Bahasa Sumber: Bahasa Sasaran:
Rice Nasi/beras/padi
Pada contoh di atas, unsur bahasa sumber dan bahasa sasaran
memperlihatkan luas cakupan medan makna yang berbeda. Rice memiliki
medan makna yang lebih luas daripada beras. Machali (1996: 72)
mengemukakan dua jenis prosedur penerjemahan, yaitu modulasi wajib dan
modulasi bebas. (1) Modulasi wajib dilakukan apabila suatu kata, frasa, atau
struktur tidak ada padanannya dalam bahasa sasaran, sehingga perlu
dimunculkan yang lain. (2) Modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan