SKRIPSI
ANALISIS KLASTER INDUSTRSI KARET DI
PROVINSI SUMATERA UTARA
OLEH
DINA ALFIRA LUBIS
090501034
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
ANALYSIS OF RUBBER INDUSTRY CLUSTER IN NORTH SUMATERA Cluster phenomenon has attracted the attention of economists to engage in the study of problems that give to a new paradigm of location and economic geography called new economic geography. Rubber industry in North Sumatera that gave an influence on the national contribution to accelerating the growth of the industry it can improve the competitiviness of high, decreasing production cost, and increasing efficiency and productivity. This study aims to analyze the rubber industry cluster in North Sumatera. This study uses secondary data from the Central Statistics Agency from 2003 to 2009. To achieve this goal, this study using GIS (Geographic Information System) methods to identify the location of the rubber industry in North Sumatera. Data distribution skewness and kurtosis value are used to look at clustering in one location and specialties of the region are used to measure the level of concentration of the industry in an industrial cluster. Result from the study showed that the district based workforcein in 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 indicates clustering rubber in North Sumatera. And in 2003, 2004, 2005, 2008, 2009 also indicates clustering rubber industry in North Sumatera and specialization areas showing the concentration rubber industry of the region Labuhan Batu, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Batu Bara, Padang Sidempuan, Medan, Tebing Tinggi.
ABSTRAK
ANALISIS KLASTER INDUSTRI KARET DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Fenomena Cluster telah menarik perhatian para ekonom untuk terlibat dalam studi masalah lokasi yang menimbulkan paradigma baru dan geografi ekonomi yang disebut new economic geography. Klaster industri khususnya industri karet di Sumatera Utara yang mempunyai pengaruh terhadap kontribusi nasional dapat mempercepat pertumbuhan industri karena dapat meningkatkan daya saing yang tinggi, menurunkan biaya produksi serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis klaster industri karet di Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2003 sampai 2009. Untuk mencapai tujuan, penelitian ini menggunakan metode Geographic Information System (GIS) untuk mengidentifikasikan lokasi industri karet di Sumatera Utara, distribusi data nilai skewness dan kurtosis untuk melihat pengklasteran di suatu lokasi serta spesialisasi daerah digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di suatu klaster industri. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota berdasarkan tenaga kerja pada Tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 mengindikasikan adanya pengklasteran industri karet di Sumatera Utara dan pada Tahun 2003, 2004, 2005, 2008, 2009 berdasarkan nilai tambah juga mengindikasikan adanya pengklasteran industri karet di Sumatera Utara dan spesialisasi daerah yang menunujukkan tingkat konsentrasi industri karet terdapat di daerah Labuhan Batu, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Batu Bara, Kota Padang Sidempuan, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang karena dengan berkat dan rahmat-nya, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul : "Analisis Klaster Industri Karet Di Provinsi Sumatera Utara". Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi jurusan Ekonomi Pembangunan dan guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universits Sumatera Utara.
Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skrisi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kepada orang tua penulis, Ayahanda Muhammad Ali Lubis dan Ibunda Fitriani yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik berupa moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara,
5. Bapak Prof. Dr. Lic. reg. reg. Sirojuzilam, SE selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukan, saran yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.
6. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Dosen Pembaca Penilai, yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat membangun bagi penulis.
8. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
9. Seluruh pegawai dan Staff Administrasi Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam penyelesaian kelengkapan administrasi penulis. 10.Pimpinan dan Karyawan Badan Pusat Statistik (BPS) Medan yang telah
menyediakan data penelitian, sehingga memberikan kemudahan bagi Penulis.
11.Teman-teman angkatan 2009 di Ekonomi Pembangunan, terimakasih telah memberikan dukungan, kerja sama, inspirasi dan kebersamaan selama ini. 12.Kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membacanya.
Medan, Januari 2013 Penulis
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Ekonomi...………... 2.2 Pembangunan Industri………..…... 2.3 Perkembangan Industri………... 2.3.1 Pengertian Industri………... 2.3.2 Klasifikasi Industri………... 2.3.3 Penentuan Lokasi Industri……… 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Industri... 2.4 Konsep Aktivitas Industri………... 2.5 Sentra Industri...………... 2.6 Struktur Industri... 2.7 Kinerja Industri... 2.8 Klaster Industri... 2.9 Penelitian terdahulu...
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian……….. 3.2 Jenis Penelitian………... 3.3 Jenis dan Sumber Data………... 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data…... 3.5 Pengolahan Data...……….. 3.6 Metode Analisis...……….. 3.6.1 GIS ( Geographics Information System)... 3.6.2 Distribusi Nilai Skewness dan Kurtosis...
3.6.3 Spesialisasi Daerah... 3.7 Variable Penelitian dan Defenisi Opersaional
Penelitian………
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara…………... 4.1.1 Kondisi Geografis………
4.2.1 Industri Karet Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2003-2009 dengan GIS... 4.2.2 Klaster Industri Karet Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2003-2009 dengan Nilai Skewness dan Kurtosis... 4.2.3 Konsentrasi Klaster Industri Karet Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2003-2009...
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
1.1 Perkembangan Ekspor Getah Karet Alam Provinsi Sumatera Utara... 1.2 Industri Karet dan Barang dari Karet Berdasarkan Nilai Tambah dan Tenaga Kerja... 4.1 Kriteria Tenaga Kerja dan Nilai Tambah... 4.2 Nilai Skewness dan Kurtosis Berdasarkan Tenaga Kerja Dan Nilai Tambah... 4.3 Indeks Spesialisasi...
3
4 51
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Pemilihan Posisi dalam Konsep Generik Klaster Indsutri... 4.1 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non
Industri Karet Tahun 2003... 4.2 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non
Industri Karet Tahun 2006... 4.3 Peta Sumatera Utara Berbasis Industri dan Non
Industri Karet Tahun 2008... 4.4 Histogram Distribusi Tenaga Kerja... 4.5 Histogram Distribusi Nilai Tambah...
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Hasil Uji Skewness dan Kurtosis... 2 Histogram Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah... 3 Hasil Analisis Spesialisasi Daerah... 4 Kriteria Tenaga Kerja di Sumatera Utara...
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi
merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat
menciptakan pemerataan pembangunan yang dirasakan oleh semua masyarakat,
baik meningkatkan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta mampu
mengurangi perbedaan kemampuan antar daerah ( Kuncoro, 2003).
Pada umumnya negara-negara berkembang berkeyakinan bahwa sektor
industri mampu mengatasi masalah perekonomian, dengan asumsi bahwa sektor
industri dapat memimpin sektor-sektor perekonomian lainnya menuju
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, di Indonesia sektor industri dipersiapkan
agar mampu menjadi penggerak dan memimpin (the leading sector) terhadap perkembangan sektor perekonomian lainnya, selain akan mendorong
perkembangan industri yang terkait dengannya (Saragih, 2004)
Klaster industri dapat menjadi suatu kerangka yang powerful dalam pembangunan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan industri dengan
peningkatan daya saing wilayah, sejalan dengan itu menurut Tambunan (2001),
bahwa fenomena klaster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam
studi masalah lokasi sehingga memunculkan paradigma baru serta disebut dengan
geografi ekonomi baru (new economic geography atau geograhical economics).
Klaster industri mencakup hubungan ekonomi dan nonekonomi antar
diterapkan pemerintah untuk dapat memajukan industri yang berusaha
mengoptimalkan pembangunan melalui konsep keterkaitan dalam aktivitas
ekonomi masing-masing dalam mencapai keunggulan kompetitifnya dalam
cakupan wilayah regional atau fungsional ekonomi tertentu. Melalui pendekatan
ini, diharapkan terjadi pola keterkaitan antar kegiatan baik dalam sektor industri
maupun antar sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi yang
terkait dengan industri inti.
Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan
keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh indonesia. Pada
dasarnya industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari
kondisi konsentrasi geografis. Koridor ekonomi Sumatera berfokus pada tiga
kegiatan ekonomi utama yaitu Kelapa Sawit, Karet dan Batubara. Sumatera Utara
memiliki potensi sebagai penghasil karet yang cukup signifikan oleh karena itu
dalam rancangan MP3I, Sumut salah satunya diklasifikasikan dalam klaster
industri karet. Hal ini terbukti bahwa Sumatera menghasilkan sekitar 65 % dari
produksi karet nasional, dimana Sumatera Utara memberikan kontribusi sebesar
16 % dari produksi karet nasional. Dalam produksi karet mentah dari perkebunan,
Sumatera adalah produsen terbesar di Indonesia dan masih memiliki peluang
dalam peningkatan produktivitas. Peningkatan produksi karet di Sumut seiring
dengan pertambahan ekspor karet ke luar negeri yang pada tahun sebelumnya
Tabel 1.1
Perkembangan Ekspor Getah Karet Alam Provinsi Sumatera Utara
Tahun Ekspor Karet (Ton)
Sumber : Badan Pusat Statistik
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ekspor karet di Sumatera Utara mengalami
fluktuasi. Pada tahun 2007 senilai 685.925 Ton dan mengalami penurunan pada
2008 dan 2009. Peningkatan Ekspor pada tahun 2010 seiring dengan mulai
membaiknya kondisi perekonomian global, terutama mulai pulihnya sektor
otomotif dunia. Salah satu pemicu dari peningkatan ini dikarenakan tidak adanya
lagi pembatasan volume ekspor karet yang dilakukan oleh Internasional Tripartite
Rubber Council (ITRC) yang beranggotakan tiga negara yaitu Thailand,
Indonesia, Malaysia. Kebijakan membatasi volume ekspor oleh ITRC sebenarnya
untuk mengontrol fluktuasi harga karet alam dunia yang sempat merosot tajam
seiring dengan krisis global yang mulai merebak di AS pada tahun 2008. AS
merupakan pasar ekspor karet alam diluar Jepang dan Cina.
Produksi Karet di Sumatera Utara tidak selamanya berjalan lancar, adanya
penurunan produksi dapat disebabkan oleh kualitas bibit yang rendah,
pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan tanaman
yang buruk dan berdampak pada penurunan nilai tambah. Kualitas bibit yang
Sumatera Utara, ditunjukkan dengan rentang produktif tanaman karet yang kurang
dari 30 Tahun. Maka perbaikan utama yang dapat dilakukan adalah penanaman
kembali dengan bibit unggul berproduktivitas lebih tinggi dan pengaturan jarak
yang optimal.
Tabel 1.2
Industri Karet Dan Barang Dari Karet Berdasarkan Nilai Tambah Dan Tenaga Kerja Di Sumatera Utara
Tahun Jumlah Perusahaan (unit) Jumlah Tenaga Kerja (orang)
Sumber : Badan Pusat Statistik
Tabel 1.2 Jumlah tenaga kerja tahun 2006 sebesar 25.345 pekerja dan
mengalami penurun pada tahun 2007 sebesar 23.282 pekerja seiring dengan tahun
2008 sebesar 23.138 pekerja dan mengalami peningkatan kembali pada tahun
2009 sebesar 23.965 pekerja. Begitu juga halnya dengan nilai tambah pada tahun
2006 dan mengalami peningkatan pada tahun 2007, kemudian kembali menurun
pada tahun 2008 sebesar 1.889.789.972. Penurunan nilai tambah pada tahun 2008
dikarenakan harga karet sintetik yang terbuat dari minyak bumi akan sangat
berfluktuasi terhadap perubahan harga minyak dunia. Demikian juga harga karet
alami yang tergantung pada harga minyak dunia karena karet alami dan karet
pada tahun 2008 membuat harga minyak dunia melambung tinggi sehingga
terjadinya penurunan produktivitas yang berdampak pada nilai tambah.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang dapat
diambil sebagai dasar dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah klaster industri karet mengelompok (mengklaster) di suatu lokasi?
2. Bagaimana konsentrasi klaster industri karet di Sumantera Utara ?
1.3 Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis lokasi klaster industri karet apakah mengelompok
(mengklaster) di suatu daerah atau tidak
2. Menganalisis konsentrasi klaster industri karet di Sumantera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
Permasalahan diatas menuntut untuk sebuah manfaat dari penelitian ini,
yang mungkin manfaat ini dapat diperoleh, antara lain :
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, terutama bagi mahasiswa
Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian
selanjutnya.
2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman pada penulis tentang Klaster
Industri khususnya industri karet di Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Ekonomi
Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional. Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 merupakan kelanjutan
dan pembaharuan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan
pembangunan yang diamanatkan dalam dalam pembukaan UUD 1945.
Arah Pembangunan Jangka Panjang menuju Indonesia yang maju dan
mandiri menuntut kemampuan ekonomi untuk tumbuh cukup tinggi,
berkelanjutan, mampu meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat
secara luas, serta berdaya saing tinggi didukung oleh penguasaan dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam mengembangkan sumber-sumber daya
pembangunan. Pembangunan ekonomi dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada
pencapain sasaran-sasaran pokok sebagai berikut : (1) Terbentuknya struktur
perekonomian yang kokoh dimana pertanian (dalam arti luas) dan pertambangan
menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien
dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global menjadi motor
penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan ekonomi, (2)
Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$ 6000 dengan tingkat
pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5
dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan
untuk tingkat rumah tangga.
Perekonomian dikembangkan berorientasi dan berdaya saing global
melalui transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif
sumber daya alam melimpah menjadi perekonomian yang berkeunggulan
kompetitif dengan prinsip-pronsip dasar : mengelola secara berkelanjutan
peningkatan produktivitas nasional melalui penguasaan, penyebaran, penerapan,
dan penciptaan (inovasi) ilmu pengetahuan dan teknologi. mengelola secara
berkelanjutan kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan
kepemerintahan yang baik. Daya saing global perekonomian ditingkatkan dengan
mengembangkan klaster industri.
Struktur ekonomi diperkuat dengan sektor industri sebagai motor
penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas dan
pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efesien, modern,
berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif.
2.2 Pembangunan Industri
Pembangunan industri nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Presiden No 28 tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional adalah indonesia
menjadi Negara Industri Tangguh tahun 2025 dengan visi tahun 2020 menjadi
Negara Industri Maju Baru. Untuk menjadi Negara Maju Baru Indonesia harus
memenuhi beberapa kriteria dasar yaitu (1) Memiliki peranan dan kontribusi
tinggi bagi perekonomian Nasional, (2) IKM memiliki kemampuan yang
industri lengkap dan dalam), (4) Teknologi maju telah menjadi tombak
pengembangan dan penciptaan pasar, (5) Telah memiliki jasa industri yang
tangguh yang menjadi penunjang daya saing internasional industri, dan (6) Telah
memiliki daya saing yang mampu menghadapai liberalisasi penuh dengan
negara-negara APEC.
Upaya-upaya untuk mewujudkan target tersebut dapat dilakukan langkah
yang terstruktur dan terukur dengan peta berupa strategic outcomes yang terdiri dari (1) Meningkatnya nilai tambah industri, (2) Meningkatnya penguasaan pasar
dalam dan luar negeri, (3) Kokohnya faktor-faktor penunjang pengembangan
industri, (4) Meningkatnya kemampuan inovasi dan peguasaan teknologi industri
yang hemat energi dan ramah lingkungan, (5) Menguat dan lengkapnya Struktur
industri, (6) Meningkatnya persebaran pembangunan industri, (7) Meningkatnya
peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.
Dalam rangka merealisasikan target-target tersebut Kementrian
Perindustrian menetapkan dua pendekatan guna membangun daya saing industri
nasional yang tersinergi dan terintegrasi antara pusat dan daerah yaitu pertama,
melalui pendekatan top-down dengan pengembangan 35 klaster industri prioritas
yang direncanakan pusat dan diikuti oleh partisipasi daerah yang dipilih
berdasarkan daya saing internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Dan salah satu pengembangan klaster industri prioritas yaitu industri
karet dan barang dari karet. Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan
dimana pusat turut membangun pengembangannya, sehingga daerah memiliki
daya saing.
2.3 Perkembangan Industri
2.3.1 Pengertian Industri
Industri merupakan suatu bentuk kegiatan masyarakat sebagai bagian dari
sistem perekonomian atau sistem mata pencaharian dan merupakan suatu usaha
manusia dalam menggabungkan atau mengolah bahan-bahan dari sumber daya
lingkungan menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia (Hendro, 2000:20-21).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan industri pengolahan
(termasuk jasa industri) adalah suatu kegiatan pengubahan barang jadi/setengah
jadi atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya
dengan maksud untuk dijual. Perusahaan/usaha industri adalah suatu unit
(kesatuan) produksi yang terletak pada suatu tempat tertentu yang melakukan
kegiatan untuk mengubah barang-barang (bahan baku) dengan mesin atau kimia
atau dengan tangan menjadi produk baru, atau mengubah barang-barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dengan maksud untuk
mendekatkan produk tersebut dengan konsumen akhir.
Industri sebagai suatu sistem terdiri dari unsur fisik dan unsur perilaku
manusia. Unsur fisik yang mendukung proses produksi adalah komponen tempat
meliputi kondisinya, peralatan, bahan mentah/baku dan sumber energi. Sedangkan
unsur perilaku manusia meliputi komponen tenaga kerja, keterampilan, tradisi,
fisik dan manusia tersebut akan mengakibatkan terjadinya aktivitas industri yang
melibatkan berbagai faktor (Hendro, 2000: 21-22).
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pemerintah
mengundang modal swasta asing dan dalam negeri untuk terlibat dalam berbagai
kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk kegiatan industri yang
membutuhkan lahan yang luas (Parlindungan, 1992: 36; Saragih, 1993: 2).
2.3.2 Klasifikasi Industri
Industri secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Kristanto, 2004:156):
a) Industri dasar atau hulu
Industri hulu memiliki sifat: padat modal, berskala besar, menggunakan
teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan
baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi
ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu
membutuhkan perencanaan yang matang, dan membutuhkan pengaturan
tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan kehidupan perekonomian,
dan pencegahan kerusakan lingkungan. Karena pembangunan industri ini
dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosial
ekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan
sosial, pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas
b) Industri hilir
Industri ini merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya
industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya
selalu diusahakan dekat pasar, menggunakan teknologi madya dan teruji,
dan padat karya.
c) Industri kecil
Industri kecil banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, memiliki
peralatan sederhana. Walaupun hakekat produksinya sama dengan industri
hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik
maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini
padat karya. Selain pengelompokan di atas, industri juga diklasifikasikan
secara konvensional, sebagai berikut (Kristanto, 2004: 156-157):
1. Industri primer, yaitu industri yang mengubah bahan mentah menjadi
bahan setengah jadi, misalnya pertanian dan pertambangan.
2. Industri sekunder, yaitu industri yang mengubah barang setengah jadi
menjadi barang jadi.
3. Industri tersier, yaitu industri yang sebagian besar meliputi industri
jasa dan perdagangan atau industri yang mengolah bahan industri
sekunder.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan industri menjadi empat
kategori berdasarkan jumlah tenaga kerja.
1. Industri besar : 100 orang lebih
3. Industri kecil : 5 – 19 org
4. Industri rumah tangga : < 5 org.
2.3.3 Penentuan Lokasi
Pada hakikatnya penentuan lokasi suatu industri tidak terlepas dari proses
produksi maupun lokasi pasar yang akan dilayani perusahaan. Proses produksi
mencakup penentuan jenis bahan baku dan faktor produksi lainnya maupun
perbandingan dalam mempergunakannya. Jumlah bahan baku ditentukan oleh
skala produksi yang ada pada dirinya. Banyaknya produksi dipengaruhi oleh luas
pasar yang akan dilayani (Wibowo, 2004:85).
Dalam buku yang sama, Rudi Wibowo dan Soetriono menyebutkan bahwa
unsur yang ikut menentukan pertimbangan lokasi suatu industri atau perusahaan
adalah schedule permintaan (demand schedule) dan teknologi produksi. Pemenuhan schedule permintaan pasar mengharuskan wirausahawan untuk memproduksi dan menawarkan barang atau komoditas yang diminta pasar. Proses
pemenuhan permintaan pasar dengan produksi tersebut menghendaki berbagai
masukan sumber daya untuk memperlancar proses produksi, dimana masukan
produksi tersebut dapat berbentuk bahan mentah, tenaga dan modal. Intensitas
penggunaan bahan mentah, tenaga dan modal tersebut dalam proses produksi
sangat ditentukan oleh masalah teknologi produksi. Beberapa variabel penting
yang dianggap sebagai faktor yang ikut menentukan proses penentuan lokasi
industri, antara lain: limpahan sumber daya, permintaan pasar, aglomerasi,
kebijakan pemerintah dan wirausaha (Wibowo, 2004:112-129). Yang dimaksud
sebagai faktor produksi, terdiri dari sumber daya lahan, sumber daya modal,
sumber daya manusia, bahan baku dan sumber energi. Sedangkan permintaan
pasar yang dimaksud adalah luas pasar suatu barang dan jasa yang ditentukan oleh
tiga unsur, yaitu (1) jumlah penduduk, (2) pendapatan perkapita, dan (3) distribusi
pendapatan. Penduduk yang relatif sedikit membuat pasar lekas jenuh. Daerah
yang memiliki pendapatan tinggi merupakan pasar yang efektif. Bila distribusi
yang merata terjadi bersamaan dengan pendapatan perkapita yang rendah maka
kondisi demikian bukanlah pasar potensial untuk memasarkan barang dan jasa
yang relatif mewah atau setengah mewah. Jika variabel biaya angkutan cenderung
semakin rendah, maka industri akan semakin bebas dalam menentukan lokasinya.
Keadaan ini mengakibatkan daerah perkotaan dengan pasarnya yang luas semakin
menarik sebagai lokasi industri dan perusahaan. Pasar mempengaruhi lokasi
melalui tiga unsur, yaitu (1) ciri pasar, (2) biaya distribusi, dan (3) harga yang
terdapat di pasar bersangkutan.
Faktor lain yang menentukan penentuan lokasi industri adalah Aglomerasi,
yaitu adanya kecenderungan dalam memilih lokasi industri mendekati atau
berkelompok dengan industri-industri sejenis. Terkumpulnya berbagai jenis
industri mengakibatkan timbulnya penghematan ekstern (eksternal economies), yang dalam hal ini merupakan penghematan aglomerasi. (Rudi Wibowo, 2004:
127). Malecki (dalam Mudrajat, 2002; 23) menyebutkan bahwa industri
cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan
akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan
berbagai kelebihan dalam bentuk produktifitas dan pendapatan yang lebih tinggi,
yang menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam
jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding pedesaan. Kebijakan pemerintah terhadap
industri khususnya yang menyangkut penyediaan lahan industri merupakan faktor
penting dalam menentukan perkembangan industri. Kemudahan memperoleh
tanah bagi penanam modal dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
5 tahun 1974 tentang Industrial Estate. Yang dimaksud dengan Industrial Estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan
pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha industri, yang merupakan
lingkungan pabrik yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum yang
diperlukan (Parlindungan, 1992: 36).
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai pengembangan dari peraturan
penyediaan tanah untuk industri ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun
1989 tentang Kawasan Industri. Dalam Keputusan Presiden tersebut, pemberian
lokasi untuk kawasan industri diberikan petunjuk sebagai berikut: 1) Sejauh
mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah yang subur; 2) Sedapat
mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; 3)
Dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; 4) Diperhatikan
persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran / pencemaran bagi lingkungan
2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri
Studi empiris dari Chenery dan Syrquin menunjukkan bahwa perubahan
struktur ekonomi yang meningkatkan peranan sektor industri dalam perekonomian
tidak hanya sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang terjadi di
suatu negara, tetapi juga berkaitan erat dengan peningkatan sumber daya manusia
dan akumulasi kapital (Tambunan, 2001: 16).
Perubahan struktur ekonomi terjadi akibat perubahan dari sejumlah faktor
yang menurut sumbernya dapat dibedakan antara faktor-faktor dari sisi
permintaan agregat dan faktor-faktor dari sisi penawaran agregat, dan juga
dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh intervensi pemerintah dalam
kegiatan ekonomi dalam negeri. Dari sisi permintaan agregat, faktor yang sangat
dominan adalah perubahan permintaan domestik yang disebabkan kombinasi
antara pendapatan riil per kapita dan perubahan selera konsumen. Peningkatan
pendapatan riil per kapita yang dibarengi dengan perubahan selera pembeli, selain
memperbesar pasar bagi barang-barang yang ada atau memperluas segmentasi
pasar yang ada, juga menciptakan pasar baru bagi barang-barang baru (non
makanan). Perubahan ini menggairahkan pertumbuhan industri-industri baru di
satu pihak, dan meningkatkan laju pertumbuhan output di industri-industri yang sudah ada.
Di sisi penawaran agregat, faktor-faktor penting diantaranya adalah
pergeseran keunggulan komparatif, perubahan (perkembangan) teknologi,
material-material baru untuk produksi, dan akumulasi barang modal (Tambunan,
2001: 16).
2.4 Konsep Aktivitas Industri
Aktivitas industri didefenisikan sebagai usaha pengubahan komoditi agar
menjadi lebih bermanfaat dan selalu berorientasi pada suatu bentuk pengolahan.
Aktivitas industri merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan berbagai faktor
produksi sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas industri adalah sistem
produksi yang bekerja saling berkaitan. Terdapat tiga hal dalam setiap kegiatan
industri yaitu pengumpulan bahan mentah, proses pembuatan, dan kemudian
finishing. Oleh karena itu sebuah aktivitas industri akan bergantung pada faktor
industri yang berkaitan satu sama lain dalam satu sistem produksi. Faktor
produksi yang terlibat dalam proses produksi antara lain berupa bahan mentah,
tenaga kerja, modal, dan kemampuan manajerial ( Daljoeni,1998).
Aktivitas industri dapat memeberikan pengaruh terhadap unit ekonomi
lainnya. Menurut Glasson dan Fujiani ( 2006 ). Terdapat tiga konsep dasar
ekonomi dan pengembangan lingkungan geografisnya sebagai berikut :
1. Konsep Leading Industries
Konsep ini kutub pertumbuhannya yang didalamnya terdapat perusahaan
propulsif yang mendominasi unit ekonomi lain, dapat berbentuk sebuah
perusahaan polpusif saja atau dapat berupa kawasan industri. Lokasi
industri tersebut secara geografis disebabkan oleh adanya sumber daya
infrastuktur dan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan
antara sektor industri dengan unit ekonomi lainnya.
2. Konsep Polarisasi
Konsep polarisasi menyatakan bahwa leading industries yang tumbuh cepat dan mengakibatkan adanya polarisasi unit ekonomi yang lain ke
dalam kutub pertumbuhan yang menimbulkan keuntungan aglomerasi
ekonomi yang akan memicu pemusatan aktivitas melalui aktivitas
ekonomi dan aliran sumber daya.
3. Konsep Spread Effect
Konsep ini menyatakan bahwa ketika mencapai keadaan yang dinamik,
maka kualitas propulsif suatu kutub pertumbuhan menyebar ke daerah
sekitarnya.
2.5 Sentra Industri
Sentra merupakan unit usaha kecil kawasan yang memiliki ciri tertentu
dimana di dalamnya terdapat kegiatan proses produksi dan merupakan area yang
lebih khusus untuk suatu komoditi kegiatan ekonomi yang telah terbentuk secara
alami yang ditunjang oleh sarana untuk berkembanganya produk atau jasa yang
terdiri dari sekumpulan pengusaha makro, menegah dan kecil. Di area sentra
tersebut terdapat kesatuan fungsional secara fisik : lahan, geografis, infrastruktur,
kelembagaan dan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berkembanganya
kegiatan ekonomi di bawah pengaruh pasar dari suatu produk yang mempunyai
2.6 Struktur Industri
Struktur dalam konteks ekonomi adalah sifat permintaan dan penawaran
barang dan jasa yang dipengaruhi oleh jenis barang yang dihasilkan, jumlah dan
ukuran distribusi penjual ( perusahaan ) dalam industri, jumlah dan ukuran
distribusi pembeli, differensiasi produk, mudah tidaknya masuk ke dalam negeri.
Struktur industri merupakan cerminan dari struktur pasar suatu industri.
Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari
lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan
kinerja pasar ( Koch, 1997 ). Struktur pasar adalah bahasan penting untuk
mengetahui perilaku dan kinerja industri. Struktur pasar menunjukkan atribut
pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Struktur pasar biasa dinyatakan dalam
ukuran distribusi perusahaan pesaing. Elemen struktur pasar adalah pangsa pasar (
market share ), konsentrasi ( concentration ), dan hambatan ( barrier ) ( Jaya, 2001 ).
Struktur industri merupakan bentuk atau tipe keseluruhan pasar industri.
Adapun jenis-jenis industri utama struktur pasar adalah :
1. Pasar Monopoli
Pasar monopoli didefenisikan sebagai struktur pasar dimana penjual
tunggal ( single firm producer ) memproduksi suatu komoditas yang tidak memiliki barang subtutusi yang dekat (Blair dan Kaserman, 1985 : 25).
Menurut Hasibuan 1993:76-78 beberapa penyebab yang mendorong
hadirnya struktur pasar monopoli, terutama dalam sektor pengolahan,
efisiensi, (3) efisiensi dan inovasi, (4) fasilitas pemerintah, (5) terjadi
persaingan yang tidak sehat serta (6) perusahaan memperoleh hak-hak
istimewa dalam mengelola input yang sukar dikelola dari perusahaan lain.
2. Pasar Oligopoli
Oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya ada beberapa perusahaan
yang menguasai pasar. Samuelson dan Nordhaus (2005) membagi pasar
oligopoli menjadi dua tipe. Tipe pertama yaitu seorang oligopoli
merupakan salah seorang dari beberapa penjual yang memproduksi barang
identik sehingga bila terdapat perubahan harga sekecil apa pun maka akan
dapat menyebabkan konsumen beralih pada produsen lainnya. Tipe kedua
yaitu seorang oligopoli merupakan salah seorang dari beberapa penjual
yang memproduksi barang dengan differensiasi produk. Oleh karena itu
oligopoli merupakan persaingan antara beberapa penjual tapi
persaingannya lebih tajam.
3. Pasar persaingan Monopolistik
Sebuah industri dikatakan memiliki struktur persaingan monopolistik jika
memiliki syarat-syarat sebagai berikut ( Baye 2000,301) : (1) Adanya
banyak penjual dan pembeli, (2) setiap perusahaan di industri
menghasilkan produk yang terdifferensiasi, (3) adanya kebebasan untuk
keluar masuk indusri.
4. Pasar persaingan sempurna
Karakteristik pasar persaingan sempurna menurut Permono, 1990; Baye,
2000:269; Blair dan Kaserman,1985:4-5 yaitu:
Produknya homogen, jumlah penjulan dan pembeli banyak, informasi
sempurna, tidak adanya halangan yang signifikan untuk memasuki atau
keluar pasar.
2.7 Kinerja Industri
Kinerja merupakan hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku
industri dimana hasil biasa diidentikkan dengan besarnya penguasaan pasar atau
besarnya keuntungan suatu perusahaan di dalam suatu industri. Hal – hal yang
termasuk dalam kinerja yaitu efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar),
kesempatan kerja, prestise profesional, kesejahteraan personalia, serta kebanggaan
kelompok.
Dalam hal ini kinerja suatu industri dapat diamati melalui nilai tambah
(value added), produktivitas dan efisiensi. Nilai tambah merupakan selisih antara
nilai input dengan nilai output. Nilai input terdiri dari biaya bahan baku, biaya
bahan bakar, jasa industri, biaya sewa gedung, mesin dan alat-alat serta jasa
industri. Semetara itu nilai output adalah nilai yang dihasilkan.
Produktivitas merupakan hasil yang dicapai pertenaga kerja atau unit
faktor produksi dalam jangka waktu tertentu. Tingkat produkstivitas dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi, alat produksi, dan keahlian yang dimiliki tenaga
kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan antara nilai output
dengan tenaga kerja. Efisiensi adalah perbandingan seberapa besar kita dapat
sebanyak-banyaknya. Untuk mengukur suatu efisiensi dapat menggunakan perbandingan
nilai tambah dan nilai input.
2.8 Klaster Industri
Industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari
kondisi konsentrasi geografis. Klaster merupakan cerminan konsentrasi geografis
suatu kelompok industri yang sama ( Kuncoro,2002). Klaster industri pada
dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara
spasial dan umumnya berspesialisasi hanya pada satu atau dua industri.
Sedangakan Porter (1990) mendefenisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan
dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis
dan saling terkait karena kebersamaan
Menurut teori Marshall (1920), klaster industri muncul karena perusahaan
yang ada dalam suatu industri menemukan segala keuntungan yang bisa mereka
dapatkan bila mereka mengelompok di dalam suatu area geografis. Ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya proses klaster industri yaitu:
a. Adanya proses klaster membuat perusahaan yang ada dapat berspesialisasi
lebih baik dari pada bila perusahaan-perusahaan tersebut terklaster.
Peningkatan spesialisasi nantinya akan membawa ke peningkatan efisiensi
produksi
b. Dapat memfasilitasi perusahaan untuk meningkatkan penelitian dan
inovasi dalam sebuah industri
c. Proses klaster perusahaan-perusahaan sejenis akan mengurangi resiko bagi
Proses klaster identik dengan industri manufaktur baik IBM (Industri besar
dan menengah) atau IKRT (Industri kecil dan rumah tangga). Klaster secara
umum didefenisikan sebagai konsentrasi geografis subsektor-subsektor
manufaktur yang sama. Dalam hal ini terbentuknya jaringan yang disebut sebagai
industrial district. Usaha kecil dan rumah tangga sebagian besar mengelompok
secara spasial. Kawasan menjadi fokus untuk bagaimana dan di mana
industri-industri berlokasi dan mengelompok. Alfred Marshall merupakan ekonom
pertama yang meneliti kecenderungan jenis industri tertetu untuk berlokasi di
daerah-daerah tertentu di Inggris, Jerman, dan negara-negara lain ( Becattini,
1990; Belandi, 1989). Marshall (1999) mendefenisikan industrial district sebagai
satu kluster produksi yang terspesialisasi secara geografis. Kluster tersebut
mewakili daerah industri ‘tradisional’ dan Marshallian Industrial District yang
umumnya ditemukan di daerah pedesaan dan company towns.
Klaster mampu mempengaruhi kompetisi global yang dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu : (1) peningkatan produktivitas perusahaan-perusahaan dalam
wilayah tertentu; (2) klaster mendorong arah dan langkah inovasi; (3) klaster
menciptakan stimulus untuk penciptaan formasi bentuk bisnis baru yang pada
gilirannya akan memperkuat kluster (Porter, 1998). Porter menekankan
pentingnya peranan teknologi, strategi dan organisasi, dan geografi ekonomi
dalam proses inovasi dan upaya menjaga keunggulan kompetitif perusahaan
secara berkelanjutan ( Porter dan Sovell ,1998).
Porter menganalisis klaster industri dengan pendekatan diamond model.
(factor/input condition), (2) kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy). Berikut penjelasan untuk masing-masing elemen :
a. Faktor input
Faktor input dalam analisis porter adalah variable-variable yang sudah ada
dan dimiliki oleh suatu klaster industri seperti sumber daya manusia
(human resource), modal (capital resource), infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur informasi (information Structure), infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific and technological infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative infrastructure) serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas input, maka semakin
besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas.
b. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan
sophisticated and demanding local customer. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau
melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal yang tinggi.
Namun dengan adanya globalisasi, kondisi permintaan tidak hanya berasal
c. Industri Pendukung dan Terkait
Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan
sinergi dalam Clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam
transaction cost, sharing teknologi, informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain
industri pendukung dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan
produtivitas yang meningkat.
d. Strategi Perusahaan dan Pesaing
Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu
meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi
baru. Dengan adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu
mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan
efisiensi. Terkait dengan permintaan, Dong Sung Cho (2000)
menyempurnakan Model Diamond Cluster dari Porter menjadi Double
Diamond Concept, yang merupakan degeneralisasi dari Model Diamond
Cluster terkait dengan permintaan, dimana permintaan dibagi menjadi
permintaan domestic, permintaan internasional, dan permintaan global.
Sementara itu, Dong-Sung Cho (2000) menambahkan faktor-faktor yang
dapat menentukan daya saing khususnya untuk negara yang sedang
berkembang. Selain Pemerintah (birokrat), juga diperlukan kemampuan
dan kesinergian dari para pelakunya, yaitu usahawan/pengusaha,
Gambar 2.1
Pemilihan Posisi dalam Konsep Generik Klaster Industri
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa para pelaku yang terlibat dalam suatu
klaster industri dapat dikelompokkan menjadi industri inti (core industry), industri pemasok (supplier industry), industri pendukung (supporting industry), dan pengguna/pembali (user/buyer). Pengelompokkan posisi atau fungsi berdasarkan peran di atas, maka sebuah klaster industri dapat menjadi suatu kerangka yang
powerful dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan daya saing wilayah. Hal ini dikarenakan klaster industri mencakup hubungan ekonomi dan hubungan non
ekonomi antarindustri yang spesifik dan menyediakan seperangkat alat untuk
membantu merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan ekonomi suatu
wilayah, termasuk kebijakan pengembangan sektoral. Klaster industri dapat
meningkatkan usaha-usaha kegiatan industri jangka pendek melalui identifikasi Industri Terkait
Industri Pendukung
Pengguna Industri Inti
Industri Pemasok
kesenjangan industri dan pendefenisian daya saing yang spesifik. Klaster industri
sangat bermanfaat dalam menentukan strategi-strategi jangka menengah untuk
memelihara, menetapkan, dan menumbuhkan industri, kawasan serta dalam
mengorganisasikan strategi-strategi jangka panjang untuk mempertahankan
pertumbuhan industri dalam suatu wilayah.
Adapun manfaat dari klaster industri bagi suatu wilayah menurut Alkadri,
2004 diantaranya adalah :
• Memperkuat keterkaitan yang saling menguntungkan diantara para pelaku
industri di dalam klaster industri di suatu wilayah maupun dengan para
pelaku lain di wilayah lainnya, baik tingkat nasional maupun tingkat
internasional
• Meningkatkan efisiensi (skala ekonomi), produkstivitas, dan nilai tambah
yang akan diraih para pelaku dalam industri tersebut.
• Menghimpun berbagai sumberdaya secara kolektif, baik sumber daya
alam, sumber daya manusia, sumber daya kapital, maupun sumber daya
buatan.
• Dapat melakukan pemasaran bersama, berbagai informasi dan
memperbaiki perangkat lunak maupu perangkat keras yang dimiliki oleh
para pelaku dalam di dalam klaster industri tersbut.
• Meningkatkan kapasitas inovasi, kompetensi, daya saing dan kesejahteraan
sebuah wilayah yang memiliki klaster industri.
• Memfasilitasi penyesuain-penyesuian sistem administrasi di antara para
• Menyediakan seperangkat peralatan yang powerful untuk analisis,
formulasi kebijakan, dan organisasi wilayah untuk meningkatkan
efektivitas strategi-strastegi pengembangan industri.
• Membantu mengurangi kekhawatiran dalam bersaing karena adanya kerja
sama dan rasa saling percaya diantara para pelaku di dalam klaster
industri.
• Mendatangkan pengakuan dan aliansi strategis di tingkat nasional maupun
internasional.
2.9 Penelitian Terdahulu
Adapun hasil-hasil penelitian pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu
dapat dijadikan dasar dan bahan pertimbangan dalam mengkaji penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro tahun 2007, dengan judul
penelitian Analisis Struktur, Kinerja, dan Klaster Industri Elektronika Indonesia.
Variable yang digunakan yaitu jumlah tenaga kerja dan nilai tambah, Metodenya
berupa GIS, Skala, Indeks Diversifikasi, dan Spesialisasi. Hasil penelitiannya
adalah analisa GIS memperlihatkan betapa industri tenaga kerja dan distribusi
nilai tambah industri elektronika untuk seluruh kabupaten atau kota di Indonesia
memiliki kecondongan positif (positif skewness) dan tidak normal secara statistik,
Daerah-daerah industri elektronika pada tahun 1999 ternyata memperlihatkan
keanekaragaman berbeda, yang terlihat dari indeks HHI. Daerah Jabotabek
merupakan daerah yang memiliki rata-rata nilai HHI kecil (0,24) kemudian
dilanjutkan oleh daerah Batam (0,27). Rata-rata HHI ynag kecil di Jabotabek
beragam di pulau Jawa. Pada tahun 1990, Pada tingkat industri tahun 1999
daerah Bandung memiliki rata-rata nilai spesialisasi di atas satu, namun hanya
memiliki keunggulan komparatif pada subsektor industri alat komunikasi dan
subsektor industri komponen.
Peneliti yang dilakukan oleh Thitu Laksono Handito tahun 2011 dengan
judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keuntungan Usaha pada
Klaster Industri Pengolahan Kopi di Temanggung. Variable yang digunakan yaitu
modal usaha, pengalaman usaha, tenaga kerja, tingkat pendidikan, kemitraan
usaha, teknologi, dan jangkauan pemasaran. Metode penelitiannya yaitu analisis
regresi linier berganda, Analisis Uji Beda Dua Mean. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel modal usaha, pengalaman usaha, teknologi, dan
jangkauan pemasaran secara bersama-sama mempengaruhi keuntungan usaha
pada tingkat signifikansi 10 persen. Variabel modal usaha, pengalaman usaha,
teknologi, dan jangkauan pemasaran berpengaruh positif terhadap keuntungan
usaha, namun variabel tenaga kerja, pendidikan, dan kemitraan usaha tidak
berpengaruh terhadap keuntungan usaha. Terdapat perbedaan produksi, biaya, dan
keuntungan usaha antara pengusaha dengan jangkauan pemasaran domestik dan
pengusaha dengan jangkauan pemasaran ekspor. Pengusaha dengan jangkauan
pemasaran ekspor lebih besar dalam jumlah produksi, biaya, dan keuntungan
usaha dari pada pengusaha dengan jangkauan pemasaran domestik.
Penelitian yang dilakukan oleh Rika Choirunnisa tahun 2012 dengan judul
penelitian yaitu Analisis Pola Klaster dan Orientasi Pasar (Sentra Industri
adalah tenaga kerja, pelatihan usaha, umur perusahaan, teknologi peralatan,
jaringan pembeli, jaringan pemasok, keaktifan. Metode yang digunakan yaitu
analisis klaster dan analisis regresi logistik. Hasil penelitiannya adalah Pola
klaster pada sentra industri kerajinan logam di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali mengikuti pola klaster Marshalli dan Hub dan Spoke dan
hasil analisis model binary logistic regression dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa dari tujuh variabel independen, terdapat empat variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap orientasi pasar ekspor yaitu variabel tenaga kerja, umur,
jaringan pembeli terbesar, keaktifan berpromosi. Sedangkan variable pelatihan,
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian tentang klaster industri
karet di 25 kabupaten atau kota Sumatera Utara dengan melihat apakah klaster
industri karet tersebar atau mengelompok dan melihat konsentrasi industri di suatu
klaster industri serta mengukur variasi aktivitas antarklaster. Data yang digunakan
dari tahun 2003-2009.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dari penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif,
yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan pembahasan yang
diteliti dalam bentuk data atau angka yang kemudian di analisa dan di
interpretasikan dalam bentuk uraian.
3.3 Jenis Dan Sumber Data
Jenis data bersifat kuantitatif yang berbentuk angka-angka. Sedangkan
sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, dimana data
sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari publikasi resmi yaitu dapat
berasal dari BPS ( Badan Pusat Statistik ) cabang medan ataupun dalam bentuk
buku, jurnal atau website yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Berdasarkan kurun waktunya, data yang digunakan dalam penelitian ini
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penyusunan
skripsi ini menggunakan metode kepustakaan yaitu penelitian yang dilakuan
dengan bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, dan
laporan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubunganya dengan topik yang diteliti.
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan melakukan
pencatatan langsung berupa data times series dalam kurun waktu selama 11 tahun.
3.5 Pengolahan Data
Dalam pengolahan data penulis menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan program SPSS 16 untuk menghitung dan mengolah data dalam penelitian ini.
3.6 Metode Analisis
A. Untuk menjawab permasalahan apakah industri karet mengelompok
(mengklaster) di suatu lokasi, maka metode analisis yang digunakan adalah GIS
(Geographic Information System) dan Distribusi data Skewness dan Kurtosis. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
3.6.1 GIS ( Geographic Information System )
Dalam menganalisis sebaran geografis dan klaster (pengelompokkan)
industri karet di Sumatera Utara metode yang digunkaan adalah GIS. GIS
bertujuan untuk mengidentifikasikan lokasi industri dan mengidentifikasi di
daerah mana mereka cenderung mengelompok (Kuncoro,2001b). GIS
menstransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah
mendukung pengambilan keputusan. GIS adalah suatu tipe informasi yang fokus
pada penyajian dan analisis realitas geografis. Karakteristik pokok GIS menurut
Marthin (1996) sebagai berikut :
a) Geografis, berhubungan dengan pengukuran skala geografi dan
direferensikan oleh beberapa koordinat sistem pada lokasi di atas
permukaan bumi.
b) Informasi, mencakup pengambilan informasi yang spesifik dan bermakna
dari sejumlah data yang beragam, dan ini hanya mungkin karena data telah
diorganisasikan dalam suatu model dunia nyata.
c) Sistem, lingkungan yang memungkinkan data dikelola dan pertanyaan
ditempatkan.
GIS digunakan untuk mengidentifikasikan pola konsentrasi industri karet
secara spasial. Dalam hal ini ada 25 kabupaten dan kota di Sumatera Utara yang
sudah termasuk daerah pemekaran dengan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan
nilai tambah yang dihasilkan oleh industri karet. Data dari jumlah tenaga kerja
dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri karet berbentuk peta guna
menunjukkan lokasi daerah industri dan non industri. Kemudian menetapkan
kriteria tinggi, sedang dan rendah berdasarkan tenaga kerja dan nilai tambah pada
industri karet guna membedakan kabupaten atau kota yang mempunyai industri
karet atau tidak. Adapun kriteria tinggi sedang dan rendah sebagai berikut :
• Kriteria tinggi untuk tenaga kerja sebesar lebih dari 6.000 pekerja, krietria
sedang berkisar antara 1.000-6.000 pekerja dan untuk kriteria rendah lebih
• Kriteria tinggi untuk nilai tambah lebih dari Rp 100 Miliar, kriteria sedang
berkisar antara Rp 15 Miliar sampai Rp 100 Miliar dan kriteria rendah jika
lebih kecil dari Rp 15 Miliar.
3.6.2 Distribusi Data
Pada dasarnya ada dua pembahasan yang berkaitan dengan bentuk suatu
distribusi data yaitu kemencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis). Adapun
penjelasannya yaitu :
1. Kemencengan
Pada aspek ini distribusi akan diuji apakah menceng ke kiri atau, normal
(tidak menceng) atau menceng ke kanan. Suatu distribusi yang tidak
simetris (normal) mungkin berat ke sebelah kanan (ujung sebelah kiri lebih
panjang dari ujung sebelah kanan) yang dinamakan skewness negatif, atau dapat pula berat ke sebelah kiri (ujung sebelah kanan lebih panjang dari
ujung sebelah kiri) yang disebut skewness positif. Penentuan apakah
simetris atau tidak simetris dari sebuah distribusi ialah letak dari nilai
• Distribusi Normal
Gambar 3.1 Bentuk distribusi normal
• Distribusi menceng ke kanan (right skewed)
Gambar 3.2
• Distribusi menceng ke kiri
Gambar 3.3
Bentuk Distribusi yang Left skewed
Adapun rumus untuk koefisien kemencengan (
α
3α
=
Koefisien kemencengan momen3
S = standar deviasi data = momen kemencengan
Sedangkan momen kemencengan (M3) yaitu
M
3=
(
�X = rata-rata hitung xi
n = jumlah data
= data yang ke i (data ke 1, 2 dan seterusnya)
Ketentuan :
• Jika data berdistribusi normal atau distribusi simetris sekitar rata
ratanya, maka M3 adalah 0 atau mendekati 0, sehingga
α
3• Jika
α
pun adalah 0.
• Jika
α
32. Kurtosis
> 2 maka dikatakan data menceng secara berarti ( sangat
menceng)
Jika kemencengan menunjukkan perubahan distribusi secara horizontal
(menceng ke kiri atau ke kanan), maka keruncingan (kurtosis) distribusi
menunujukkan perubahan distribusi secara vertikal (cenderung runcing ke
atas atau gemuk ke bawah). Kurtosis dalam bentuk normal adalah
distribusi berbentuk mesokurtik, jika bentuk distribusi terlalu runcing ke
atas (Leptokurtik), dan sangat landai (Platikurtik) maka data tersebut tidak
bisa dikatakan berdistribusi normal. Adapun ketiga ukuran keruncingan
yaitu :
• Mesokurtik
Mesokurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva normal artinya
tidak runcing ke atas atau gemuk ke bawah.
Gambar 3.4 Mesokurtik • Leptokurtik
Leptokurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva yang agak sempit
frekuensi tertumpuk pada daerah sekitar nilai mean atau menunjukkan
hanya sedikit frekuensi yang tersebar lebih jauh dari nilai tedensi pusat.
• Platikurtik
Platikurtik adalah distribusi frekuensi dengan kurva yang agak
mendatar (tumpul) pada bagian puncaknya yang menunjukkan adanya
frekuensi agak tersebar merata pada seluruh kelas, kecuali pada
beberapa kelas dari bagian pertama dan terakhir.
Gambar 3.6 Paltikurtik
Dimana :
α
4m = momen kemencengan data
=
koefisien momen dari kurtosiss = Standar deviasi data
Ketentuan :
α
4α
4=
Berdistribusi normal jika nilainya nol adalah mesokurtikα
4=
Bernilai negatif maka bentuk distribusi platikurtikB. Untuk menjawab permasalahan konsentrasi klaster industri karet di Sumatera
Utara, maka metode analisis yang digunakan adalah indeks spesialisasi daerah.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
=
Bernilai positif maka bentuk distribusi leptokurtik.3.6.3 Spesialisasi daerah
Spesialisasi digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di
suatu kluster industri. Metode yang dirintis oleh Glaeser, et al. (1992)
menggunakan indeks spesialisasi yang menunjukkan seberapa jauh spesialisasi
industri dalam suatu klaster dibandingkan apabila industri yang tersebar secara
random di seluruh Indonesia.
Studi menggunakan indeks spesialisasi yang dihitung dengan cara sebagai berikut
(Kuncoro,2002 ; Hayter 1997) :
S
irt
= rasio indeks spesialisasi suatu industri
irt
E
= tenaga kerja di industri i dibagi total tenaga kerja di region (area) tersebut
it = tenaga kerja di industri i untuk seluruh region (area) di Indonesia dibagi
Adapaun ketentuannya yaitu :
• Jika nilai Sirt kurang dari 1, maka berarti region tidak spesialisasi dalam
industri tersebut, dimana pangsa tenaga kerjanya lebih rendah dari
rata-rata pangsa tenaga kerja dalam industri di Sumatera Utara Jika terjadi
peningkatan nilai Sirt
• Jika nila S
untuk industri di suatu region maka akan terjadi
peningkatan spesialisasi di region tersebut yang pada akhirnya akan
mempercepat pertumbuhan industri di region tersebut.
irt
3.7 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional
lebih dari 1, maka region berspesialisasi dalam industri
tersebut, dimana pangsa tenaga kerjanya lebih tinggi dari rata-rata pangsa
tenaga kerja dalam industri di Sumatera Utara.
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian. (Suharsimi, 2002).
Variabel dalam penelitian ini adalah Klaster Industri dengan indikator
tenaga kerja, nilai tambah dan PDRB. Defenisi variable penelitian ini adalah :
a) Klaster industri merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat
terkonsentrasi secara spasial dan umumnya berspesialisasi hanya pada satu
atau dua industri (Kuncoro , 2002 : Bab 7).
b) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sebagai jumlah nilai
tambah yang di hasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau
jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang di hasilkan oleh seluruh
c) Tenaga kerja adalah Tenaga kerja adalah penduduk yamg berumur di
dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda antara negara satu
dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia adalah
minimum 15 tahun, tanpa batas umur maksimum. Tenaga kerja
(manpower) dibagi pula ke dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja
(laborforce) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia yang bekerja, atau yang
mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja, dan
yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja
adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja,
tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan.
Selanjutnya, angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subsektor yaitu
kelompok pekerja dan penganggur. Yang dimaksud pekerja adalah
orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai
pekerjaan, dan memang sedang bekerja, serta orang yang mempunyai
pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.
Adapun yang dimaksud penganggur adalah orang yang tidak mempinyai
pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan masih mencari
pekerjaan (Dumairy, 1996).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara
4.1.1 Kondisi Geografis
Provinsi Sumatera Utara berada pada bagian barat Indonesia terletak pada
garis 10- 40 lintang utara dan 980 – 1000
Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah71.680,68 km
bujur timur. Sebelah utara berbatasan
dengan Provinsi Aceh, sebelah timur berbatasan dengan negara Malaysia di Selat
Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan
disebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
2
, sebagian
besar berada dalam daratan pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau
Nias, Pulau-pulau Batu, serta beberapa Pulau kecil, baik dibagian barat maupun
dibagian timur pantai Pulau Sumatera. Berdasarkan luas daerah menurut
kabupaten/kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar Kabupaten Mandailing
Natal dengan luas sebesar 6.620,70 km2 atau sekitar 9,24 % dari total luas
Sumatera Utara diikuti Kabupaten Langkat dengan luas 6.263,29 km2 atau 8,74%
kemudian Kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,20 km2 atau sekitar 6,09 %.
Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau
sekitar 0,02 % dari total luas wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan kondisi letak
dan dan kondisi alam, Sumatera Utara dibagi dalam 3 kelompok wilayah/kawasan
yaitu Pantai Barat, Dataran Tinggi, dan Pantai Timur. Kawasan Pantai Barat
meliputi Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara,
Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten
Nias Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kota Sibolga, Kota Gunung Sitoli.
Kawasan Dataran Tinggi meliputi Tapanuli Utara, Kabupaten Toba samosir,
Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang
Hasudutan, Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Samosir, dan Kota Pematang
Siantar. Kawasan Pantai Timur meliputi Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten
Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Asahan,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Berdagai, Kota
Tanjung Balai, Kota Tebing Tinggi, Kota Medan dan Kota Binjai.
4.1.2 Keadaan Iklim
Menurut badan Pusat Statistik Provinsi terletak dekat garis Khatulistiwa,
Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian
permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya
datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa
mencapai 34,20 C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang melandai,
beriklim sedang, dan sebagian kecil berada pada daerah ketinggian yang suhu
minimalnya bisa mencapai 200
Sama seperti Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara
mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya
terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya
terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim
4.1.3 Kependudukan
Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara merupakan
Provinsi keempat yang terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa tengah. Menurut pencacahan lengkap sensus
penduduk (SP) tahun 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober
1990berjumlah 10,26 juta jiwa. Pada bulan april 2003 dilakukan pendaftaran
pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Dari hasil pendaftaran
tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.980.399 jiwa. Selanjutnya hasil
sensus pendudu pada bulan mei 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara
12.982.204 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143
jiwa per km2
Penduduk di Sumatera Utara tahun 2010 masih banyak yang tinggal di
daerah pedesaan dari pada perkotaan. Jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan
adalah 6,60 juta jiwa atau 50,84 persen dan yang tinggal di daerah perkotaan
sebesar 6,38 juta jiwa 49,16 persen. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara
tahun 1999 meningkat menjadi 16,74 persen dari total penduduk Sumatera Utara
sebanyak 1,97 juta jiwa. Selanjutnya pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin
Sumatera Utara menjadi 1,49 juta jiwa atau 11,31 jiwa.
. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu
1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun dan pada tahun 2000-2010 adalah 1,22
persen.
4.1.4 Perekonomian
Badan Pusat Statistik ( BPS ) mencatat pertumbuhan ekonomi Sumatera
(PDRB) atas harga berlaku meningkat sebesar 6,3 persen dengan nilai mencapai
Rp 170.961 Triliun.
Peningkatan tersebut terjadi pada semua sektor ekonomi, di mana sektor
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan menjadi sektor dengan pertumbuhan
tertinggi dengan capaian 12,67 persen. Sedangkan sektor pengangkutan dan
komunikasi yang tumbuh 9,65 persen. Sektor perdagangan hotel dan restoran
tumbuh 8,52 persen, sektor bangunan tumbuh 8,03 persen, sektor jasa-jasa
tumbuh 7,55 persen, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 6,25 persen,
sektor pertanian tumbuh 3,36 persen, sektor listrik, gas, dan air bersih tumbuh
3,05 persen, dan sektor industri pengolahan tumbuh 2,68 persen serta jasa-jasa
lainnya tumbuh 7,55 persen.
Sektor industri pengolahan memang tumbuh paling lambat namun sampai
dengan semester I-2012 sektor ini menjadi sektor dengan kontribusi terbesar
terhadap PDRB Sumatera Utara yaitu sekira 22,15 persen, diikuti oleh sektor
pertanian sebesar 22,12 persen. Sektor listrik, gas dan air bersih memberi
kontribusi terendah terhadap perekonomian yaitu sebesar 0,91 persen.
4.1.5 Ketenagakerjaan
Menurut Badan Pusat Statistik Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya tampak meningkat. Pada tahun 2000,
TPAK di Sumatera Utara sebesar 57,34 persen, tahun 2008 naik menjadi 68,33
persen kemudian pada tahun 2009 dan 2010 kembali naik masing-masing menjadi
Angkatan kerja di Sumatera Utara sebagian besar masih berpendidikan SD
ke bawah. Persentase angkatan kerja golongan ini mencapai 3,31 persen, angkatan
kerja yang berpendidikan setingkat SLTP dan SLTA masing-masing sekitar 24,13
persen dan 32,6 persen dan 32,6 persen sedangkan di atas SLTA hanya 7,32
persen. Dengan masih rendahnya pendidikan angkatan kerja memungkinkan
produktivitas juga masih belum optimal.
Hampir sepertiga 28,43 persen penduduk yang bekerja di Sumatera Utara
adalah buruh atau karyawan. Penduduk yang berusaha sendiri sekitar 20,24 persen
sedangkan penduduk yang bekerja pada sebagai pekerja keluarga mencapai 20,63
persen . Hanya 3,05 persen penduduk Sumatera Utara yang menjadi pengusaha
yang memperkerjakan buruh tetap/bukan anggota keluarganya. Sektor lain yang
cukup besar peranannya dalam menyerap tenaga kerja adalah sektor jasa-jasa,
baik jasa perorangan, jasa perusahsan dan jasa pemerintahan yaitu sebesar 14,45
persen,sementara penduduk yang bekerja di sektor industri hanya sekitar 7,43
persen. Selebihnya bekerja di sektor penggalian dan pertambangan, sektor listrik,
gas dan air minum, sektor bangunan, sektor angkutan dan komunikasi dan sektor