INVENTARISASI KARET ( Hevea brasiliensis )
PADA BERBAGAI KETINGGIAN
DI SUMATERA UTARA
SIKRIPSI
Oleh :
NATANAEL SIMANJUNTAK 091201154 / BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventory of Rubber (Hevea brasiliiensis) In the
Different Altitude in North Sumatra . Under Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
Rubber (Hevea brasiliensis) is one of the important agricultural commodity, both as a source of revenue, driving economic growth and preservation of the environment and biological resources. The purpose of this research is to inventory the distribution of rubber (H.brasiliensis) in North Sumatra in relation to climate differences and altitude. This study used a descriptive method of determining location based on the difference in height between 0-800 meters above sea level with the criteria that the village has a rubber plant where sampling method was done by Purposive Sampling which sampling deliberately chosen.
The results showed that low productivity of smallholder rubber plantations in North Sumatra is mainly caused by the application of rubber technology and farm management are not as recommended. Rubber Development in North Sumatra with the extension in a cold climate region has the potential to increase the productivity of smallholder rubber such as is found in some villages which have cold climates Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit with rubber areas of 10 hectares, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting with rubber areas of 30 hectares, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu with rubber areas of 25 hectares, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae with rubber areas of 38 hectares, and Desa Simirik, Kecamatan Sipirok with rubber areas of 36 hectares.
ABSTRAK
NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara. Dibawah Bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, pendorong pertumbuhan ekonomi serta pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi sebaran karet (H.brasiliensis) di Sumatera Utara dalam hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi berdasarkan perbedaan ketinggi anantara 0-800 mdpl dengan kriteria desa yang memiliki tanaman karet yang dimana metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih.
Hasil penelitian menunjukkan Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan kebun yang belum sesuai rekomendasi. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan putra dari Ayahanda Alm.Mesrea Simanjuntak dan
Ibunda Tetti Br.Siahaan yang dilahirkan pada tanggal 26 Desember 1991 di Panti.
Penulis putra ke empat dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 27 Panti pada
tahun 2003, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama dari SMP Negeri 1
Panti tahun 2006 dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas dari SMA
Negeri 1 Panti tahun 2009 dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian
USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian dan pada semester
VII memilih minat studi Budidaya Hutan.
Selama kuliah penulis merupakan anggota pada organisasi Himpunan
Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Gunung Barus dan
Hutan Pendidikan USU Kabupaten Karo selama 10 hari.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang di Taman Nasional Baluran,
Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dari tanggal
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Hasil penelitian ini
yang berjudul Inventarisasi Karet (Hevea brasiliensis) di Sumatera Utara. Hasil
penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di Program
Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa menghaturkan terimakasih
kepada Ibunda Tetti Br.siahaan dan Kakanda Priston Simanjuntak, Perniwati
Simanjuntak, Flora Simanjuntak dan Adinda Nissa Simanjuntak atas segala
curahan cinta kasih, pengorbanan dan doanya. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Dr. Budi Utomo SP, MP dan Afifuddin Dalimunthe SP, MP
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan saran
dalam menyelesaikanhasil penelitian ini. Selanjutnya penulis mengucapkan
terimakasih kepada seluruh Dosen, Staf Pegawai dan Teman-teman Khususnya
angkatan 2009 Program Studi KehutananUniversitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna sebagai
DAFTAR ISI
Daerah Asal dan Penyebaran Karet... 7
Kesesuaian Tempat Tumbuh. ... 8
Budidaya Karet. ... 11
Jenis-Jenis Klon Kret ... 12
Pembibitan Karet. ... 13
Produktivitas Karet Rakyat ... 14
Manfaat Tanaman Karet ... 15
Gambaran Umum Sumatera Utara ... 16
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. ... 19
Bahandan Alat Penelitian. ... 19
Metode Penelitian. ... 20
Pengumpulan Data. ... 20
Analisis Data. ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Sebaran Karet Wilayah Studi ... 23
Sebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 26
Sebaran Karet Berdasarkan Iklim ... 27
Sebaran Karet Berdasarkan Jenis Klon ... 28
Sebaran Karet Berdasarkan Umur Pohon ... 29
Sebaran Karet Berdasarkan Budidaya ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 37
Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA. ... 38
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Pengelompokan Luas Karet Berdasarkan Ketinggian ... 20
2. Lokasi Penyebaran Karet Berdasrkan Ketinggian dan Luas
Karet (ha) ... 22
3. Luas Tanaman Karet Rakyat pada Berbegai Ketinggian ... 25
4. Luas Tanaman Karet Berdasarkan Suhu ... 26
5. Persentase Penggunaan Klon Karet Unggul Oleh Petani
Karet Rakyat ... 27
6. Persentase Kelas Umur Karet yang Dimiliki Responden ... 28
7. Persentase Budidaya Karet yang Digunakan Responden ... 30
8. Persentase Kendala yang Menghambat Pertumbuhan Karet
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Peta Rencana Studi Lapangan ... 19
2. Peta Penyebaran Kebun Karet Rakyat ... 24
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Foto-foto Penelitian ... 39
2. Titik Koordinat Lokasi Penelitian ... 41
ABSTRACT
NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventory of Rubber (Hevea brasiliiensis) In the
Different Altitude in North Sumatra . Under Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
Rubber (Hevea brasiliensis) is one of the important agricultural commodity, both as a source of revenue, driving economic growth and preservation of the environment and biological resources. The purpose of this research is to inventory the distribution of rubber (H.brasiliensis) in North Sumatra in relation to climate differences and altitude. This study used a descriptive method of determining location based on the difference in height between 0-800 meters above sea level with the criteria that the village has a rubber plant where sampling method was done by Purposive Sampling which sampling deliberately chosen.
The results showed that low productivity of smallholder rubber plantations in North Sumatra is mainly caused by the application of rubber technology and farm management are not as recommended. Rubber Development in North Sumatra with the extension in a cold climate region has the potential to increase the productivity of smallholder rubber such as is found in some villages which have cold climates Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit with rubber areas of 10 hectares, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting with rubber areas of 30 hectares, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu with rubber areas of 25 hectares, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae with rubber areas of 38 hectares, and Desa Simirik, Kecamatan Sipirok with rubber areas of 36 hectares.
ABSTRAK
NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara. Dibawah Bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.
Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, pendorong pertumbuhan ekonomi serta pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi sebaran karet (H.brasiliensis) di Sumatera Utara dalam hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi berdasarkan perbedaan ketinggi anantara 0-800 mdpl dengan kriteria desa yang memiliki tanaman karet yang dimana metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih.
Hasil penelitian menunjukkan Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan kebun yang belum sesuai rekomendasi. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan
penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, dan
pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar
perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Selain
itu, tanaman karet ke depan akan merupakan sumber kayu potensial yang dapat
mensubstitusi kebutuhan kayu yang selama ini mengandalkan hutan alam.
Berkurangnya luas hutan sekarang akibat konversi hutan menjadi kelapa
sawit telah menyebabkan rusaknya fungsi hutan. Oleh sebab itu pemerintah
membuat solusi dengan menggantikan kelapa sawit dengan karet. Karet telah
dikenal sebagai salah satu tanaman kehutanan yang diusulkan sebagai tanaman
penghijauan karena memiliki kambium yang mampu menyerap karbon
dibandingkan kelapa sawit. Upaya ini diharapkan dapat mengembalikan salah satu
fungsi kawasan hutan.
Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia.
Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3,2 juta ha, disusul
Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India(0,6 juta
ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari areal tersebut diperoleh produksi karet
Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah
Thailand dengan produksi sekitar 2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati
Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton), dan Vietnam
Untuk mengembangkan perkaretan nasional, pengembangan karet di
Indonesia terutama ditujukan pada perkebunan karet rakyat. Hal ini karena
perkebunan karet rakyat mempunyai peran yang sangat penting, tetapi masih
banyak menghadapi masalah dan kendala. Produktivitas karet rakyat masih relatif
rendah, yaitu 700−900 kg/ha/tahun atau rata-rata 892 kg/ha/ tahun. Produktivitas
ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan produk swasta 1.542
kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2008), atau produktivitas karet rakyat di negara lain.
Sebagai contoh, produktivitaskaret rakyat di Malaysia telah mencapai 1.100
kg/ha/tahun, di Thailand 1.600 kg/ha/tahun, di India 1.334 kg/ha/ tahun, dan di
Vietnam 1.358 kg/ha/tahun. Penyebab rendahnya produktivitas karet Indonesia
adalah masih luasnya tanaman karet tua yang perlu diremajakan, yaitu lebih dari
300.000 ha dan penggunaan bahan tanam klonal yang relatif rendah. Sebagai
gambaran, penggunaan tanaman klonal Indonesia sekitar 40%, Malaysia 90%,
Thailand 95%, India 99%, dan Vietnam 100% (Ditjenbun, 2008).
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk
penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi sebagai penghasil karet yang cukup
baik dan signifikan. Oleh karena itu Provinsi Sumatera Utara salah satunya
diklasifikasikan dalam klaster industri karet. Hal ini terbukti pada tahun 2009,
Sumatera Utara telah menghasilkan produksi karet mencapai 382.073 ton, dimana
yang berasal dari produksi Perkebunan Rakyat sebesar 201.026 ton, Perkebunan
Negara Sebesar 68.751 ton dan Perkebunan Swasta Sebesar 112.296 ton
Peningkatan produksi karet di Indonesia dapat dilakukan melalui
ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi merupakan pengembangan areal
baru yang sebelumnya dianggap tidak sesuai untuk karet maupun peningkatan
produktivitas dengan meremajakan areal tanaman karet tua, rehabilitasi tanaman.
Sedangkan intensifikasi merupakan penggantian/peremajaan karet rakyat yang tua
dengan klon-klon unggul terbaru.
Tujuan Penelitian
1. Untuk menginventarisasi sebaran karet di Sumatera Utara dalam
hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
produktifitas karet rakyat
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang sebaran
karet di Sumatera Utara dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang
TINJAUAN PUSTAKA
Karet (Hevea brasiliensis)
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon dengan ke
tinggiannya dapat mencapai 30-40 m. Sistem perakarannya padat/kompak akar
tunggangnya dapat menghujam tanah hingga kedalaman 1-2 m, sedangkan akar
rateralnya dapat menyebar sejauh 10 m. Batangnya bulat/silindris, kulit kayunya
halus, rata, berwarna pucat hingga kecoklatan, sedikit bergabus
(Syamsulbahri,1996).
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan Menurut Cahyono
(2010) dalam ilmu tumbuhan, tanaman karet diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)
Kelas : Dycotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiales
Genus : Hevea
Spesies : Hevea bransiliensis
Bagian-bagian karet terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji.
Secara morfologi, karakteristik bagian-bagian karet tersebut adalah sebagai
a. Akar
Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar
tunggang, akar ini mampu menampang batang tanaman yang tumbuh
tinggi dan besar.
b. Batang
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya
tumbuh lurus dan memiliki perimbangan yang tinggi di atas. Di bebrapa
perkebunan karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring
ke utara. Batang ini mengandung getah yang dikenal dengan nama Lateks
c. Daun
Daun karet berwarna hijau apabila akan rontok berubah warna menjadi
kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal”
kerontokan daun pada setiap musim kemarau. Dimusim rontok ini kebun
karet menjadi indah karena daun-daun karet berubah warna dan jatuh
berguguran. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai daun.
Panjang tangkai daun berukuran 3-20 cm. Panjang tangkai arakan daun
antara 3-10 cm, dan pada ujungnya terdapat kelenjar anak daun disebut
eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tepinya serta dan gundul
tidak terjun.
d. Bunga
Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang terdapat
dalam mali payung tambahan yang jarang, pangkal tenda bunga berbentuk
bunga 4-8 mm, bunga betina berambut vil, ukurannya lebih besar sedikit
dari yang jantan yang mengandung bakal buah yang beruang tinggi.
Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga
buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersususun
menjadi satu liang. Kepala sari terbagi dalam dua karangan, tersusun satu
lebih tinggi dari yang lain. Paling ujungnya adalah suatu bakal buah yang
tidak tumbuh sempurna.
e. Buah
Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas, masing-nasing ruangan
berbentuk wilayah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang
sampai enam ruang. Garis tengah buah 3-5 cm. Apabila buah sudah masak
maka akan pecah dengan sendirinya. Pecahannya terjadi dengan kuat
menurut ruang-ruangnya. Pecahan biji ini berhubungan dengan
pengembang biakan tanaman karet secara alami, biji yang terlontar
kadang-kadang sampai jatuh, maka akan tumbuh dalam lingkungan yang
medukung.
f. Biji
Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya tiga
kadang sampai enam sesuai dengan jumalah ruang. Ukuran biji besar
dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak
berpoin yang khas. Biji yang sering menjadi mainan anak-anak sebenarnya
Daerah Asal dan Penyebaran Karet
Sejak berabad-abad yang lalu, karet telah dikenal dan digunakan secara
tradisional oleh penduduk asli di daerah asalnya, yakni Brasil-Amerika Selatan.
Karet tumbuh secara liar di lembah-lembah sungai Amazone dan secara
tradisional diambil getahnya oleh penduduk setempat untuk digunakan dalam
berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan untuk menyalakan api dan bola
untuk permainan. Akan tetapi meskipun telah diketahui penggunaannya oleh
Colombus dalam pelayarannya ke Amerika Selatan pada akhir abad ke-15 dan
bahkan oleh penjelajah-penjelajah berikutnya pada awal abad ke-16, sampai saat
itu karet masih belum menarik perhatian orang-orang Eropa (Setyamidjaja, 1995).
Tanaman karet atau Hevea brasiliensis. termasuk famili Euphorbiaceae.
Tanaman karet ini dalam beberapa bahasa, antara lain rubber (Inggris), Chauco
(Spanyol), Para-rubber (Belanda), Caoutchouc (Perancis), Kautschuk (Jerman),
Seringueira (Portugis), Karet (Indonesia) (Sianturi, 2001).
Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di
Indonesia yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Mula-mula karet ditanam di
Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi, karet
selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan
komersil. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba
penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama
kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah species Ficus elastica atau karet
rembung. Jenis karet Hevea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur
Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang
beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya.
Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 150 Lintang Utara
sampai 100 Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap
menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet
rata – rata 25 – 30 0C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata
kurang dari 20 0C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut.
Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak
optimal (Setiawan, 2000).
Iklim
Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS
dan 150 LU. Pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai
produksinya juga terlambat. Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25 °C
sampai 35 °C dengan suhu optimal rata-rata 28 °C, dalam sehari tanaman karet
membutuhkan intensitas matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam
(Suhendry, 2002).
Menurut Endert (1949), dalam Djikman, (1951) tanaman karet
(Hevea brasiliensis) paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim
dengan kriteria bulan kering antara 0-3 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal
adalah 2.500-5.000 mm, maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah
wilayah yang mempunyai tipe iklim Schimidth-Ferguson A-B, artinya kalau
Curah Hujan
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai
4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai dengan 150
hari/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan
berkurang.
Ketinggian Tempat
Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan
ketinggian 200 m – 400 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari
permukaan laut dan suhu harian lebih dari 30 °C, akan mengakibatkan tanaman
karet tidak dapat tumbuh dengan baik (Nazaruddin dan Paimin, 2006).
Angin
Angin juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Angin yang
kencang dapat mengakibatkan kerusakan tanaman karet yang berasal dari
klon-klon tertentu dalam berbagai jenis tanah, baik pada tanah latosol, podsolik merah
kuning, vulkanis bahkan pada tanah gambut sekalipun (Maryadi, 2005).
Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk
penanaman karet Untuk lahan kering/darat tidak susah dalam mensiasati
penanaman karet, akan tetapi untuk lahan lebak perlu adanya trik-trik khusus
untuk mensiasati hal tersebut. Trik-trik tersebut antara lain dengan pembuatan
petak-petak guludan tanam, jarak tanam dalam barisan agar lebih diperapat.
Metode ini dipakai berguna untuk memecah terpaan angin
Tanah
Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih
mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini
disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman
karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan
sifat fisiknya (Aidi dan Daslin, 1995).
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet
baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah
vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, btekstur,
sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara
umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya
cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik.
Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 – pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0
dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya
antara lain :
- Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air
- Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir
- Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro
- Reaksi tanah dengan pH 4,5 – pH 6,5
- Kemiringan tanah < 16% dan
- Permukaan air tanah < 100 cm
Budidaya Karet
Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering beriklim basah.
Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas
lainnya, yaitu: (1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta
masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, (2)
mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah
lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi
lahan kritis, (3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang
mengusahakannya, dan (4) memiliki prospek harga yang cukup baik, karena
kebutuhan karet dunia semakin meningkat setelah China membuka pasar baru
bagi karet Indonesia (Anwar, 2001).
Delapan faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan karet
berkelanjutan yaitu: ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani,
dukungan kebijakan, luas kebun petani, ketrampilan petani, kelembagaan petani,
produksi dan produktivitas. Empat faktor strategis yaitu ketersediaan teknologi,
tenaga pembina, pelatihan petani dan dukungan kebijakan dikategorikan sebagai
faktor penentu (input) dalam sistem agribisnis karena faktor-faktor tersebut
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap faktor lainnya, tetapi ketergantungannya
kepada faktor lain relatif lemah (Herman et al, 2009).
pengembangan usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan
salah satu upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani
karet. Selain pola wanatani penanaman karet juga banyak diusahakan masyarakat
Jenis-Jenis Klon Karet
Tanaman karet yang ditumbuhkan seragam di lapangan, sangat bergantung
pada penggunaan bibit hasil okulasi yang entresnya diambil dari kebun entres
yang memiliki klon yang murni. Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia sendiri
telah menghasilkan klon-klon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil
kayu. Klon‐klon unggul baru generasi‐4 pada periode periode tahun 2006 – 2010,
yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 104, dan IRR 118. Klon‐klon tersebut
menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi
memiliki variasi karakter agronomi dan sifat‐sifat sekunder lainnya. Klon‐klon
lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261, PR 300, PR
303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260,
RRIC 100masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan
secara hati‐hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya.
Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami gangguan
penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1, PR 255,
PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan lateksnya
terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka
terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena
itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat (Anwar, 2001).
Jenis Klon karet unggul yang dianjurkan untuk sistem pertanian karet di
daerah Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM
1 dan RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis
tersebut mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap penyakit daun
Colletotrichum kecuali BPM 24 dan toleran terhadap penyadapan yang kasar
(Purwanto, 2001).
Pembibitan Karet
Menurut Djoehana (2004).Pembibitan tanaman karet dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
a. Secara Vegetatif
Pembibitan secara vegetatif yaitu dengan menggunakan okulasi atau
penempelan bertujuan untuk menyatukan sifat-sifat baik yang dimiliki oleh
batang bawah (stock) dengan batang atas (scion) yang ditempelkan
kepadanya. Untuk maksud tersebut, dalam pelaksanaan okulasi harus
tersedia pembibitan batang bawah dan kebun entres atau tanaman bahan
okulasi.
• Okulasi adalah penempelan mata tunas dari tanaman batang atas ke tanaman batang bawah yang keduanya bersifat unggul. Dengan cara
ini akan terjadi penggabungan sifat-sifat baik dari dua tanaman dalam
waktu yang relatif pendek dan memperlihatkan pertumbuhan yang
seragam. Tujuan utama membuat bibit okulasi adalah agar produksi
lebih tinggi
b. Secara Generatif
Pembibitan secara generatif yaitu pembibitan yang menggunakan biji,
Produktivitas Karet Rakyat
Produktivitas adalah perbandingan antara jumlah produksi dengan luas
lahan dalam suatu kegiatan usaha tani yang dinyatakan dalam satuan kg/ha atau
ton/ha. Secara umum permasalahan utama dalam perkebunan karet rakyat adalah
produktivitas yang rendah, hanya sekitar 610 kg/ha/tahun, padahal produktivitas
perkebunan besar negara atau swasta masing-masing mencapai 1.107 kg dan1.190
kg/ha/tahun (Ditjenbut, 2002). Rendahnya produktivitas karet rakyat tersebu
tantara lain disebabkan oleh luasnya areal karet yang menggunakan bahan tanam
non unggul (seedling), dan tanaman umumnya sudah tua atau rusak sehingga
perlu diremajakan. Upaya peremajaan oleh petani dengan menerapkan teknologi
maju secara swadaya berjalan relatif lambat dan tingkat keberhasilannya rendah
karena adanya berbagai kendala, antara lain terbatasnya dana, kurangnya
ketersediaan informasi dan sumber dayamanusia yang handal, serta lemahnya
kelembagaan finansial (Supriadi et al.1999).
Perkebunan rakyat dicirikan oleh produksi yang rendah, keadaan kebun
yang kurang terawat, serta rendahnya pendapatan petani. Rendahnya produktivitas
perkebunan karet rakyat juga disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki
oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan teknik-teknik
budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat teknis yang diperlukan dan rendahnya
produksi tnaman karet juga disebabkan oleh usia pohon yang sudah sangat tua
(Soekartawi, 1995).
Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan peluang jangka
panjang produksi karet nasional mencapai 3,80−4,00 juta ton pada tahun 2025.
Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan penggunaan klon unggul menjadi
lebihdari 85%, dengan produktivitas rata-rataminimal 1.500 kg/ha
(Badan Litbang Pertanian, 2005)
Manfaat Tanaman Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai
sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun
pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai
prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.
Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi
kedua terbesar di dunia (Boerhendhy et al, 2002).
Indraty (2005), menyebutkan bahwa tanaman karet juga memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian
lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar
hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan
seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi
perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir,
pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan
bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan
Gambaran Umum Sumatera Utara
Kondisi Geografis
Provinsi Sumatera Utara terletak di antara 10-40 Lintang Utara dan
980-1000 Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68
km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara
memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai Timur dan 156 pulau di Pantai Barat.
Batas wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi Provinsi Aceh di sebelah Utara,
Provinsi Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan, Samudera Hindia di sebelah
Barat, serta Selat Malaka di sebelah Timur. Letak geografis Provinsi Sumatera
Utara berada pada jalur strategis pelayaran Internasional Selat Malaka yang dekat
dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Topografis
Wilayah Sumatera Utara terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan
dataran tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur di tengah-tengah
dari Utara ke Selatan. Kemiringan tanah antara 0-12% seluas 65,51% seluas
8,64% dan di atas 40% seluas 24,28%, sedangkan luas Wilayah Danau Toba
112.920 ha atau 1,57%.
Berdasarkan topografinya, Sumatera Utara dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu
bagian Timur dengan keadaan relatif datar, bagian tengah bergelombang sampai
berbukit dan bagian Barat merupakan dataran bergelombang. Wilayah Pantai
Timur yang merupakan dataran rendah seluas 24.921,99 km2 atau 34,77% dari
luas wilayah Sumatera Utara adalah daerah yang subur, kelembaban tinggi dengan
dan dataran tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat
berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim
kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang
kritis.
Wilayah dataran tinggi dan wilayah Pantai Barat seluas 46.758,69 km2
atau 65,23% dari luas wilayah Sumatera Utara, yang sebagian besar merupakan
pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan
kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau, sungai, air
terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya
tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik.
Iklim
Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh
angin Passat danangin Muson. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan
(800-4000) mm/ tahun dan penyinaran matahari 43%.
Batas Administrasi
Wilayah Sumatera Utara berada pada jalur perdagangan internasional,
dekat dengan dua negara Asean, yaitu Malaysia dan Singapura serta diapit oleh 3
(tiga) provinsi, dengan batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh
- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera
Barat
Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan
Seiring dengan laju perkembangan pemekaran wilayah kabupaten/kota di
wilayah Sumatera Utara yang begitu pesat, sampai tahun 2008 jumlah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara telah bertambah jumlahnya menjadi 28
kabupaten/kota yang terdiri dari 21 kabupaten dan7 kota, 383 kecamatan, desa
kelurahan 5736 dengan ibukota provinsinya di Kota Medan dengan luas 265 km2
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sumatera Utara dan dilaksanakan pada bulan
Juni-juli 2013. Topografi cukup beragam dari dataran rendah, berbukit dan
bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 0-800 mdpl.
Dalam penelitian ini rencana studi dilapangan dapat dilahat pada gambar dibawah
ini :
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Sumatera Utara,
lokasi topografi karet pada masing-masing kelas ketinggian 0-1200 mdpl (meter
di atas permukaan laut) yang diacak tiap kelompok topografi. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: peralatan survey seperti GPS. Peralatan
lain yang digunakan adalah peralatan tulis dan kamera digital.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi
berdasarkan perbedaan ketinggian antara 0-1200 mdpl dengan kriteria desa yang
memiliki karet. Luas karet di hitung berdasarkan ketinggian yang disajikan dalam
bentuk tabel seperti dibawah ini.
Tabel 1. Pengelompokan Luas Berdasarkan ketinggiaan
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
1. Data Primer
a. Kuisioner
Merupakan suatu daftar pertanyaan yang ditunjukkan kepada para
petani pemilik tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebaran kuisoner ini dilakukan untuk memperoleh data-data primer
b.Wawancara
Wawancara ditujukan untuk melengkapi data lainnya yang berkaitan
dengan penelitian untuk memperoleh data-data yang lebih akurat
c. Pengamatan
Survey langsung dengan melihat karet berdasarkan ketinggian tempat
2. Data Sekunder
a. Studi Pustaka
Data yang dikumpulkan dalam studi pustaka antara lain adalah : kondisi
umum penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah
pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Analisis Data
1. Data analisis adaptasi jumlah dan jenis karet berdasarkan ketinggian
tempat disajikan dalam bentuk tabulasi
2. Data hasil perhitungan jumlah tegakan dalam bentuk tabulasi berdasarkan
ketinggian
3. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling
yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih. Pemilihan kelompok
subyek berdasarkan atas ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Dalam menentukan ukuran sampel maka digunakan rumus
penentuan sampel menurut Slovin:
n=
�1+��2
Keterangan :
N = Ukuran populasi
e
= Persen kelonggaran ketidaktelitian yang masih dapat ditolerir karenakesalahan pengambilan sampel, ditetapkan sebesar 10 %.
Rumus di atas digunakan untuk mendapatkan jumlah masyarakat yang dijadikan
sebagai sampel. Berdasarkan data BPS jumlah seluruh penduduk dari desa yang
diuji yaitu 45.563 orang. Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah responden
sebanyak 99,7 orang, digenapkan menjadi 100 orang, dengan ketentuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Sebaran Karet Wilayah Studi
Perbedaan jumlah tanaman karet yang ditemukan pada lokasi wilayah
studi, pada hasil pengamatan perbedaan jumlah sangat bervariasi pada ketinggian
0-1200 mdpl. Pertumbuhan tanaman karet di berbagai ketinggian dapat di sajikan
pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Lokasi Penyebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Luas Karet (ha).
2 Parsikkaman Adiankoting Tapanuli Utara 692 30
3 Onan Hasang Pahae Julu Tapanuli Utara 684 25
4 Marisi Angkola
Timur Tapanuli Seatatan 618 28
5 Simirik Sipirok Tapanuli Selatan 554 36
6 Perdamean
Nainggolan Pahae Jae Tapanuli Utara 501 38
7 Aek Puli Pahae Jae Tapanuli Utara 470 40
8 Simangumban
julu Simangumban Tapanuli Utara 462 45
9 Purba lama Lembah Sorik
Merapi Mandailing Natal 447 60
10 Laru Tambangan Mandailing Natal 439 90
11 Sipolu-polu Penyabungan Mandailing Natal 239 130
12 Aek Badak Sayur
Matinggi Tapanuli Selatan 219 160
13 Simangambat Siabu Mandailing Natal 195 185
14 Bandar Nagori Silau Kahean Simalungun 167 130
15 Paranginan Padang Bolak Padang Lawas
Utara 154 220
18 Batang Baruhar Padang Bolak Padang Lawas
Utara 119 100
No Desa Kecamatan Kabupaten
Ketinggian 0-800 mdpl
20 Pegajahan Hulu Bintang Bayu Serdang Bedagai 85 120
21 Siamporit Kualuh
Selatan
Labuhanbatu
Utara 44 80
22 Hesa Air
Genting Air Batu Asahan 37 40
23 Kandangan Sei Suka Batubara 18 20
Berdasarkan tabel di atas pertumbuhan karet yang terbesar ditemukan pada
Desa Paranginan Kecamatan Padang Bolak dengan ketinggian 119 mdpl dengan
luas 220 ha dan jumlah pertumbuhan karet terkecil terdapat pada Desa Siteluhen
Kecamatan Sibolangit dengan ketinggian 796 dengan luas 8 ha. Ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan tanaman karet dipengaruhi oleh ketinggian tempat.
Hasil pengamatan dan survey di lapangan penyebaran kebun karet rakyat
di beberapa ketinggian di Sumatera Utara yang terdiri atas Kabupaten Asahan,
Batubara, Deliserdang, Labuhan Batu Utara, Langkat, Mandailing Natal, Padang
Lawas Utara, Simalungun, Tapanuli selatan, Tapanuli Utara, dan Serdang Bedagai
dengan kriteria ketinggian 0 – 1200 mdpl. Untuk jumlah pertumbuhan karet
masing-masing kawasan desa sangat berbeda-beda seperti disajikan dalam peta
Sebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat
Pertumbuhan karet serta penyebarannya tedapat pada berbagai ketinggian
yang ada. Karet menyebar luas pertumbuhannya sesuai dengan lokasi yang dipilih
secara acak berdasarkan ketinggian. Dari hasil pengamatan dan analisis kuisioner
pada masyarakat dilapangan sebaran tanaman karet yang ditemukan pada
ketinggian 0-800 mdpl luasnya berbeda-beda. Luas sebaran tanaman karet pada
berbagai ketinggian dapat disaji
kan pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Luas Tanaman Karet Rakyat Pada Berbagai Ketinggian
Berdasarkan tabel diatas sebaran karet paling banyak terdapat pada
ketinggian 0-200 mdpl dan paling sedikit terdapat pada ketinggian 600-800 mdpl
sedangkan pada ketinggian 800-1200 mdpl tidak ada ditemukan pertumbuhan
karet. Ini menunjukkan bahwa pada ketinggian 200-600 mdpl antusias masyarakat
masih kurang dalam menanam karet sehingga produktivitas karet rakyat rendah.
Dimana pada ketinggian 200-600 mdpl masih syarat tumbuh yang cocok untuk
karet seperti dikatakan Nazaruddin dan Paimin (2006) bahwa karet dapat tumbuh
optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 0 - 400 mdpl dengan produktifitas
yang tinggi dengan suhu harian 30°C dengan topografi beragam, dataran,
berbukit, dan bergelombang dengan kelerengan < 16 %. Sedangkan pada
ketinggian > 600 mdpl akan mengakibatkan tanaman karet tidak dapat tumbuh
Sebaran Karet Berdasarkan Iklim
Suhu udara memiliki hubungan yang erat dengan ketinggian tempat dari
permukaan laut. Pengaruh suhu udara juga terlihat pada sebaran karet di Sumatera
Utara seperti disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4. Luas Tanaman Karet Rakyat Berdasarkan Suhu
No Suhu (°C) Luas (ha)
Berdasarkan tabel di atas sebaran karet paling banyak terdapat pada suhu
26-28 °C dengan luas lahan 820 ha, diikuti suhu 28-30 °C luas lahan 428 ha, suhu
24-26 °C luas lahan 365 ha, suhu 22-24 °C luas lahan 224 ha, dan suhu >22 luas
lahan 148 ha. Ini menunjukkan suhu yang cocok untuk mengembangkan tanaman
karet terdapat pada 24-30 °C. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Suhendry
( 2002) Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25 °C sampai 35 °C dengan
suhu optimal rata-rata 28 °C, dalam sehari tanaman karet membutuhkan intensitas
matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam. Namun kenyataan di lapangan
antusias masyarakat diberbagai daerah berbeda-beda untuk mengembangkan
tanaman karet. Masih banyak daerah dengan suhunya yang sesuai belum
dimanfaatkan petani dan ini mempengaruhi terhadap produksi karet rakyat.
Berdasarkan data curah hujan di Sumatera Utara yaitu 800-4.000
mm/tahun, dengan rata-rata hujan tahunan 2.900 mm hampir semua wilayah
cocok ditanam dengan karet kecuali beberapa daerah yang relative kecil yang
Sebaran Karet Berdasarkan Jenis Klon
Perkembangan karet pada desa yang diteliti berbeda-beda, dimana
pemakaian klon karet unggul belum dikenal luas di kalangan petani rakyat.
Berdasarkan pegamatan dan analisis kuisioner di lapangan jenis karet yang paling
banyak ditemukan yaitu jenis karet kampung. Karet kampung didefenisikan karet
yang sudah tumbuh selama puluhan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan bibit unggul oleh petani karet rakyat di Sumatera Utara masih rendah
dapat dilahat pada hasil analisa kuisioner pada tabel 5sebagai berikut:
Tabel 5. Penggunaan Klon Karet Unggul Oleh Petani Karet Rakyat
Berdasarkan tabel di atas jenis klon karet yang paling banyak digunakan
petani karet rakyat adalah bibit kampung jumlah responden 70 orang dengan
persentase 70,0 %, klon GT1 15 orang dengan persentase 15,0 %, klon PB260 10
orang dengan persentase 10,0 % serta klon BPM24 5 orang dengan persentase
5,0 %. Dari hasil di atas penggunaan bibit dari klon unggul seperti PB260 dan
BPM24 masih kecil dibandingkan dengan bibit kampung, ini menunjukkan bahwa
rendahnya produktivitas karet rakyat dipengaruhi penggunaan bibit kampung yang
berkualitas rendah yang belum teruji produktivitasnya masih mendominasi yaitu
70% pada kebun karet rakyat, sehingga untuk meningkatkan produktivitas karet
rakyat perlu dilakukan penggatian bibit kampung dengan klon-klon unggul yang
sesuai dengan kondisi agriekosistim setempat. Seperti dikatakan Purwanto (2001)
Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM 1 dan
RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis klon
karet tersebut memberikan hasil yang baik, pertumbuhan batang yang cepat, dan
dapat diadaptasikan ke dalam kondisi perkebunan rakyat.
Sebaran Karet Berdasarkan Umur Pohon
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat
kelas umur karet yang ditemukan berbeda-beda dapat dilihat pada hasil analisa
kuisioner pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6. Persentase Kelas Umur Karet Yang Dimiiliki Responden
Berdasarkan tabel diatas umur tanaman karet yang paling banyak dimiliki
masyarakat adalah umur > 25 tahun jumlah responden 55 orang dengan persentase
55,0 %, jumlah umur < 5 tahun 8 orang dengan persentase 8 %, dan umur 5 – 15
tahun 12 orang dengan persentase 12 % serta umur 15 – 25 tahun 25 orang dengan
persentase 25 %. Ini menunjukkan bahwa kenapa produktivitas karet rakyat kita
rendah karena masih didominansi tanaman karet tua yang sudah tidak produktiv
lagi. Beberapa alasan yang juga mempengaruhi peremajaan karet enggan
dilakukan petani karet yaitu: karena tidak adanya anggaran untuk melakukan
peremajaan tersebut, karena tanaman karetnya masih bisa dipanen dan hasilnya
masih mencukupi keluarga, dan karena kebun karet yang dimulikinya sedikit.
Dari alasan petani dapat kita simpulkan penyebab peremajaan karet tidak
dilakukan dikarenakan faktor ekonomi dari petani karet yang tidak mempunyai
anggaran seperti dikatakan Jenahar (2003) dalam penelitiannya tentang
peremajaan optimum karet menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat
menghambat dan memengaruhi peremajan optimum dari karet. Faktor-faktor
tersebut yaitu faktor teknik, faktor ekonomi, dan faktor administrasi. Faktor teknik
yang dapat memengaruhi dan menghambat pelaksanaan yaitu dari adanya
ketersediaan bibit yang terjamin mutunya untuk digunakan petani.
Faktor ekonomi yang dapat memengaruhi peremajaan optimum yaitu dari
segi harga faktor produksi yang berfluktuasi. Harga yang berfluktuasi tersebut
mengakibatkan biaya yang akan dikeluarkan tidak dapat atau tidak sesuai dengan
yang sudah dianggarkan dan direncanakan. Ketidaksesuaian anggaran biaya yang
direncanakan dan dianggarkan dengan realisasi biaya yang dikeluarkan menjadi
salah satu hal yang menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Hal
tersebut dikarenakan petani dapat menjadi kekurangan modal akibat dari biaya
yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang sudah diperhitungkan
sebelumnya.
Waktu peremajaan suatu kebun perlu diubah. Sebelumnya, peremajaan
dilaksanakan setelah tanaman berumur 25−30 tahun, kemudian bergeser menjadi
umur 25 tahun. Patokan umur 25 tahun sebagai batas pelaksanaan peremajaan
tidak selalu tepat karena kenyataannya banyak kebun yang tidak produktif lagi
sebelum mencapai umur 25 tahun. Santoso (1994) menyatakan, beberapa kebun di
Sumatera Utara sudah tidak produktif lagi pada umur 15−18 tahun karena
kehabisan cadangan kulit akibat penyadapan berat, melebihi norma sadap yang
Sebaran Karet Berdasarkan Budidaya
Hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat mengunakan
tehnik silvikultur yang sangat sederhana yaitu dengan memindahkan anakan karet
yang akan ditanam dapat dilihat pada hasil analisa kuisioner pada tabel 7 sebagai
berikut:
Tabel 7. Persentase Budidaya Karet yang Digunakan Responden
Budidaya yang paling banyak digunakan petani karet adalah dengan
pencabutan anakan karet jumlah responden 40 orang dengan persentase 40,0 %,
jumlah okulasi 30 orang dengan persentase 30,0 %, dan anakan liar 25 orang
dengan persentase 25,0 % serta semaian biji 5 orang dengan persentase 5,0 %. Ini
menunjukkan rendahnya produktifitas karet rakyat dikarenakan jenis budidaya
yang digunakan masyarakat untuk tanaman karetnya masih sangat sedeerhana
yaitu 40% masih diperoleh dari pencabutan dari anakan liar yang kemudian
dipindahkan keareal penanaman. Hal ini sama dengan yang dikatakan Firdaus
(2008) Salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet adalah penerapan
teknologi budidaya yang belum sesuai dengan rekomendasi. Komponen penting
dalam teknologi budidaya karet adalah penggunaan benih bermutu. Namun,
sebagian besar perkebunan karet yang ada saat ini masih menggunakan benih asal
Perkebunan karet yang biasanya dikelola oleh petani rakyat berbentuk
perkebunan karet seperti hutan. Hal ini dapat dikarenakan kebiasaaan atau adat
petani pada derah tersebut ataupun dikarenakan adanya kelebihan dengan pola
penanaman karet yang dibiarkan tumbuh liar seperti di hutan. Pola tanam karet
yang seperti itu dinamakan pengembangan karet dengan pola atau sistem
wanatani. Pola wanatani atau sering juga disebut dengan sistem agroforestri
merupakan salah satu upaya petani untuk meningkatkan pendapatan petani karet.
Hal ini sesuai dengan yang dikatan Suhatini et.al (2003) bahwa pengembangan
usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan salah satu upaya
meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani karet. Selain pola
wanatani penanaman karet juga banyak diusahakan masyarakat dengan sistem
monokultur. Sistem wanatani yang dijumpai di lapangan yaitu penggabungan
tanaman karet dengan tanaman kakao, seperti terlihat pada gambar dibawah ini:
Sebaran Karet Berdasarkan Produksi Perketinggian
Berdasarkan analisis kuisioner pada petani karet rakyat di lapangan
produksi karet yang dikelola masyarakat pada berbagai ketinggian berbeda-beda
seperti terlihat pada tabel 8 sebagai berikut:
Tabel 8. Sebaran Karet Berdasarkan produksi Perketinggian
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi karet pada tiap
ketinggian berbeda-beda. Produksi karet yang paling banyak dihasilkan pada
ketinggian 0-200 mdpl yaitu 800-1200 kg/ha/tahun, diikuti ketinggian 200-400
mdpl yaitu 600-1200 kg/ha/tahun, ketinggian 400-600 mdpl yaitu 500-900
kg/ha/tahun, dan ketinggian 600-800 tmdpl yaitu 500-700 kg/ha/tahun. Ini
menunjukkan ketinggian tempat mempengaruhi produktivitas karet karena,
semakin tinggi tempat tumbuh karet produktivitasnya semakin menurun. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan Darmandono (1996) bahwa elevasi mempengaruhi
produktivitas melalui pengaruhnya terhadap peningkatan frekuensi hujan. Pada
ketinggian 380-700 m dimana jumlah hari hujan > 175 hari, sudah memberikan
pengaruh yang kurang baik terhadap produktivitas tanaman karet.
Rendahnya produktivitas karet rakyat tersebut disebabkan beberapa faktor
seperti sistem budidaya yang masih kurang, kualitas bibit yang masih rendah,
tingginya serangan hama penyakit dan kondisi ekonomi petani karet rakyat. Hal
ini sama dengan yang dikatakan Soekartawi (1995) bahwa rendahnya
yang dimiliki oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan
teknik-teknik budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat teknis yang diperlukan
dan rendahnya produksi tnaman karet juga disebabkan oleh usia pohon yang
sudah sangat tua.
Untuk meningkatkan produktivitas karet di Indonesia dilakukan beberapa
upaya sepereti ekstensifikasi yaitu pengembangan areal baru yang sebelumnya
dianggap tidak sesuai untuk karet maupun peningkatan produktivitas dengan
meremajakan areal tanaman karet tua, rehabilitasi tanaman, dan intensifikasi yaitu
meremajakan karet rakyat dengan klon-klon unggul terbaru.
Sebaran Karet Berdasarkan Harga Karet/kg
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat
harga karet/kg yang ditemukan pada berbagai daerah berbeda-beda dapat dilihat
pada hasil analisa kuisioner pada tabel 8 sebagai berikut:
23 Kandangan Sei Suka Rp.6.000
Berdasarkan tabel di atas harga karet rakyat dipasaran yang paling
dominan berada pada kisaran harga Rp.7.000/kg, diikuti harga Rp.6.000/kg, harga
Rp.7.000/kg, dan harga Rp.5.000/kg. Rendahnya harga karet dipasaran
mempengaruhi pendapatan petani karet, seperti pada usahatani lainnya petani
karet sangat berespon terhadap harga jualnya. Harga yang layak membuat petani
lebih bergairah dalam meningkatkan produktivitasnya agar dapat meningkatkan
pendapatannya. Sebaliknya jika harga rendah petani cenderung kurang merawat
tanamannya karena memperhitungkan biaya yang dikeluarkan.
Pendapatan petani merupakan ukuran penghasilan yang diterima oleh
petani dari usahataninya. Dalam analisis usahatani, pendapatan petani digunakan
sebagai indikator penting karena merupakan sumber utama dalam mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Hernanto (2005), pendapatan merupakan
suatu bentuk imbalan untuk jasa pengelolaan yang menggunakan lahan, tenaga
kerja, dan modal yang dimiliki dalam berusahatani. Kesejahteraan petani akan
lebih meningkat apabila pendapatan petani menjadi lebih besar apabila petani
dapat menekan biaya yang dikeluarkan serta diimbangi dengan produksi yang
tinggi dan harga yang baik. Pengaruh harga dan produktivitas yang berubah-ubah
mengakibatkan pendapatan petani yang ikut
Rendahnya harga karet rakyat juga dipengaruhi rantai pemasaran karet,
sebab kenyataan menunjukkan bahwa begitu banyaknya lapisan pedagang yang
terlibat, sehingga menjadikan rantai tataniaga karet di sini cukup panjang, dan
kondisi demikian sudah merupakan suatu fenomena lama. Petani tidak pernah bisa
eksportir. Paling kurang mereka harus melalui dua atau tiga orang pedagang
perantara yaitu pedagang ditingkat desa dan pedagang ditingkat kecamatan.
Panjangnya rantai tataniaga itu berakibat kepada rendahnya harga jual di tingkat
petani, karenanya petani hanya bisa menerima harga karet apa adanya.
Penanganan Panen dan Pasca Panen
Pada perkebunan karet rakyat umumnya menggunakan bibit
lokal/kampung yang baru menghasilkan getah dan disadap pada umur 6-7 tahun.
Penyadapan yang dilakukan di daerah penelitian kebenyakan adalah dengan sistim
4 hari sadap dan 1 hari untuk mengumpilkan hasil. Jadi penyadapan dilakukan 4
hari dalam seminggu pada hari normalnya. Tetapi ada juga yang tidak sampai 4
hari dalam seminggu, bisa saja 2 atau 3 hari penyadapan dalam seminggu, ini
disebabkan oleh faktor cuaca misalnya musim penghujan atau hari kurang cerah,
sehingga petani tidak bisa atau sulit mengadakan penyadapan.
Penyadapan dilakukan dengan mengiris kulit batang tananman karet
dengan dalam irisan ± 2 mm. Penyadapa dilakukan 4 hari dalam seminggu dan
biasanya petani menyadap pada pagi hari yaitu antara jam 6-7 wib dengan waktu
penyadapan 3-4 jam, dan setelah 4 hari melakukan penyadapan dalam ukuran
normalnya selanjutnya 1 hari untuk pengumpulan hasil cup lump. Penampungan
dilakukan jika mangkuk penampung getah terisi penuh. Sebelum pengumpulan
dilakukan terlebih dahulu diberikan cuka para supaya mempercepat pembekuan
cara ini merupakan cara yang sudah turun temurun bagi petani karet rakyat. Selain
itu juga masih ditemukan dalam proses pengolahannya petani masih melakukan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah
iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet
rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu
Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman,
Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan
Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae
Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.
2. Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara
terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan
kebun yang belum sesuai rekomendasi seperti peremajaan karet yang
sudah tua, penggunaan klon unggul dan pemupukan yang kurang.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai luasan areal karet
produktif milik rakyat sehingga dapat diketahui potensi produktivitas karet rakyat
DAFTAR PUSTAKA
Aidi dan Daslin. 1995. Pengelolaan Bahan Tanam Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.
Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Apriyantono, A, Dr. Ir. MS. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Agro Inovasi. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta
Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2002. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. Warta Penelitian Pusat Karet 21(1−3): 58−66
BPS. 2011. Karet Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia. Buku Statistik Perkebunan 2009-2011 Direktorat Jendral Perkebunan. http://www. deptan.go.id/ infoeksekutif/bun/ EIS-bun2010 /karet. html[19 Januari 2012]
Cahyono. 2010. Karet. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Darmandono. 1996. Pengaruh Elevasi Terhadap Produktivitas Karet. Jurnal Penelitian Karet 14 (1):56-59
Ditjenbun. 2008. Sambutan Direktur Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) pada Lokakarya Nasional Agribisnis Karet, Yogyakarta. 20−21 Agustus 2008. 7 hlm.
Djikman, M. J. 1951. Hevea, Thirty Years of Research in the Far East. University of Miami Press. Coral Gables, Florida.
Djoehana. 2004. Karet Budidaya dan Pengolahanya. Kanisius. Yogyakarta.
Herman dan S. Damanik. 2009. Laporan Hasil Penelitian, Lembaga Riset Perkebunan (LRPI) 19 hlm.
Indraty, I.S. 2005. Tanaman Karet Menyelamatkan Kehidupan dari Ancaman Karbondioksida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(5): 10−12.
Jenahar TJ. 2003. Analisis Peremajaan Optimum Karet (Studi Kasus di Kebun Musi Landas Sumatera Selatan).
Maryadi. 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nazaruddin dan F.B. Paimin. 1998. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta
Pawirosoemardjo,S., Syafiuddin dan Sujatno. 1998. Resistensi Klon Harapan terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet, Lokakarya Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam Abad 21.Pusat Penelitian Karet.Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. Hal 224.
Purwanto, E. 2001. Berbagai Klon Karet Pilihan Untuk Sistem Wanatani. International Centre For Research In Agroforestry at website www. icraf.cgiar. org/sea. http://www.worldagroforestry. org/SEA /Publications /files/leaflet/ LE0005-4.PDF [03 April 2008].
Setiawan, D. H. Ir dan Andoko, A. Drs. 2000. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta
Santoso, B. 1994. Perbaikan Pola Produktivitas Tanaman Karet Melalui Komposisi Klon Berimbang di Perkebunan. Warta Perkaretan13(1): 31−42.
Setyamidjaja, D. 1995. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta.
_____________. 2000. Budidaya dan pengolahan karet, Kanisius, Yogyakarta
Sianturi, H. S. D. 2001. Budidaya Tanaman Karet. Universitas Sumatera Utara Press. Medan
Soekartawi,1995. Pembangunan Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suhatini R, Yudiono s, dolorosa E, Ilahang. 2003. Karakteristik Usahatani Pada Sistem Wanatani Berbasis Karet di Kabuapaten Sanggau.
Supriadi, M., G. Wibawa, dan C. Nancy. 1999. Percepatan Peremajaan Karet Melalui Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat Perkebunan. hlm. 45−69. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet Rakyat Secara Swadaya. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Syamsulbahri.1996. Bercocok Tanam-Tanaman Perkebunan Tahunan. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakrta.
Lampiran 1. Foto Penelitian
Karet Umur 1 Tahun Karet Umur 6 Tahun
Karet Umur 15 Tahun Karet Umur 30 Tahun
Bibit Karet Okulasi Pemberian Cuka
Karet Umur 15 Tahun Karet Umur 30 Tahun
Lanjuntan Lampiran 1
Wawancara Petani Karet Wawancara Petani Karet
Titik Koordinat Lokasi Penelitian
No Nama Desa Titik Koordinat
Lintang Utara Bujur Timur
1 Siteluhen 03°15'34,2" 098°34'12,4"
2 Onan Hasang 01°53'18,6" 099°02'55,2"
3 Marisi 01°28'38,3" 099°20'12,4"
4 Simirik 01°38'36,8" 099°11'10,9"
5 Perdamean Nainggolan 01°47'27,9" 099°05'55,2"
6 Aek Puli 01°45'46,8" 099°08'04,2"
7 Simangumban julu 01°44'15,9" 099°08'54,2"
8 Purba lama 00°45'30,9" 099°34'25,5"
9 Laru 00°43'50,9" 099°37'53,7"
10 Sipolu-polu 00°49'59,4" 099°34'13,3"
11 Aek Badak 01°07'46,2" 099°26'45,0"
12 Simangambat 01°01'58,6" 099°29'00,6"
13 Bandar Nagori 03°14'40,2" 098°53'39,6"
14 Paranginan 01°32'13,8" 099°38'53,3"
15 Sipupus 01°24'29,9" 099°31'17,2"
16 Kuala Bali 03°17'30,6" 098°55'24,8"
17 Batang Baruhar 01°33'15,4" 099°41'03,6"
18 Hutaimbaru 01°34'41,9" 099°44'15,1"
19 Pegajahan Hulu 03°21'52,6" 098°56'07,2"
20 Siamporit 02°25'56,0" 099°40'07,2"
21 Hesa Air Genting 02°54'34,3" 099°40'08,3"
KUISIONER PENELITIAN
INVENTARISASI KARET (Hevea brasiliensis) PADA BERBAGAI KETINGGIAN di SUMATERA UTARA
Nama :
Jenis kelamin :
Agama :
Umur : Tahun
Jmlah Anggota Keluarga : Orang
Alamat :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten :
PENELITI
NAMA : NATANAEL SIMANJUNTAK
PROGRAM STUDI : BUDIDAYA HUTAN
Tujuan dari pengisian kuisioner ini adalah untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan selama penelitian. Oleh karenanya diharapkan Bapak/ibu/saudara/i
untuk memberikan informasi yang sebenarnya demi keakuratan dari hasil
penelitian ini.Terimakasih
DAFTAR PERTANYAAN
I. Tingkat Budidaya Karet
1. Sejak kapan anda menanam karet?
2. Umur berapa karet yang anda miliki sekarang?
3. Berapa jumlah populasi/ luas karet yang anda miliki sekarang?
4. Apakah karet yang Anda miliki sudah menerapkan budidaya khusus?
(Ya/Tidak)
5. Jenis budidaya apakah yang Anda lakukan untuk karet ?
a. Okulasi b. Pencabutan c. Anakan liar d. Semaian biji
6. Jenis klon apa yang anda miliki?
7. Bagaimana Sistim penanaman yang anda terapkan?
a. Monokultur b. Agroforestry/Wanatani
8. Berapa jarak tanamnya?
9. Bagaimana cara pemanenan yang anda lakukan?
10.Berapakali penyadapan dilakukan dalam sehari?
11.Berapakali anda melakukan ngetrel?
12.Apakah anda melakukan pemupukan?(Ya/Tidak)
13.Jenis pupuk apa yang anda gunakan?
14.Kendala apa saja yang anda jumpai dalam pembudidayaan karet?
II. Manfaat dan Peranan karet di Masyarakat
1. Apa alasan Anda untuk memilih karet?
2. Pada umur berapa karet dapat dipanen?
3. Apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan dari karet?
III. Tingkat Pendapatan Karet
1. Berapa penghasilan Bapak/Ibu dalam satu bulan?
2. Apakah penghasilan tersebut sudah mencukupi anggota keluarga?
3. Berapa Kg hasil panen getah yang di dapat per hektar ?
4. Berapa harga per Kg karet?
5. Apakah tanaman karet membantu perekonomian anda?