• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

INVENTARISASI KARET ( Hevea brasiliensis )

PADA BERBAGAI KETINGGIAN

DI SUMATERA UTARA

SIKRIPSI

Oleh :

NATANAEL SIMANJUNTAK 091201154 / BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRACT

NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventory of Rubber (Hevea brasiliiensis) In the

Different Altitude in North Sumatra . Under Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Rubber (Hevea brasiliensis) is one of the important agricultural commodity, both as a source of revenue, driving economic growth and preservation of the environment and biological resources. The purpose of this research is to inventory the distribution of rubber (H.brasiliensis) in North Sumatra in relation to climate differences and altitude. This study used a descriptive method of determining location based on the difference in height between 0-800 meters above sea level with the criteria that the village has a rubber plant where sampling method was done by Purposive Sampling which sampling deliberately chosen.

The results showed that low productivity of smallholder rubber plantations in North Sumatra is mainly caused by the application of rubber technology and farm management are not as recommended. Rubber Development in North Sumatra with the extension in a cold climate region has the potential to increase the productivity of smallholder rubber such as is found in some villages which have cold climates Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit with rubber areas of 10 hectares, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting with rubber areas of 30 hectares, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu with rubber areas of 25 hectares, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae with rubber areas of 38 hectares, and Desa Simirik, Kecamatan Sipirok with rubber areas of 36 hectares.

(3)

ABSTRAK

NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara. Dibawah Bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, pendorong pertumbuhan ekonomi serta pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi sebaran karet (H.brasiliensis) di Sumatera Utara dalam hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi berdasarkan perbedaan ketinggi anantara 0-800 mdpl dengan kriteria desa yang memiliki tanaman karet yang dimana metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih.

Hasil penelitian menunjukkan Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan kebun yang belum sesuai rekomendasi. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan putra dari Ayahanda Alm.Mesrea Simanjuntak dan

Ibunda Tetti Br.Siahaan yang dilahirkan pada tanggal 26 Desember 1991 di Panti.

Penulis putra ke empat dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 27 Panti pada

tahun 2003, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama dari SMP Negeri 1

Panti tahun 2006 dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas dari SMA

Negeri 1 Panti tahun 2009 dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian

USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian dan pada semester

VII memilih minat studi Budidaya Hutan.

Selama kuliah penulis merupakan anggota pada organisasi Himpunan

Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan

Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Gunung Barus dan

Hutan Pendidikan USU Kabupaten Karo selama 10 hari.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang di Taman Nasional Baluran,

Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dari tanggal

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Hasil penelitian ini

yang berjudul Inventarisasi Karet (Hevea brasiliensis) di Sumatera Utara. Hasil

penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di Program

Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa menghaturkan terimakasih

kepada Ibunda Tetti Br.siahaan dan Kakanda Priston Simanjuntak, Perniwati

Simanjuntak, Flora Simanjuntak dan Adinda Nissa Simanjuntak atas segala

curahan cinta kasih, pengorbanan dan doanya. Penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada Dr. Budi Utomo SP, MP dan Afifuddin Dalimunthe SP, MP

selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan saran

dalam menyelesaikanhasil penelitian ini. Selanjutnya penulis mengucapkan

terimakasih kepada seluruh Dosen, Staf Pegawai dan Teman-teman Khususnya

angkatan 2009 Program Studi KehutananUniversitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna sebagai

(6)

DAFTAR ISI

Daerah Asal dan Penyebaran Karet... 7

Kesesuaian Tempat Tumbuh. ... 8

Budidaya Karet. ... 11

Jenis-Jenis Klon Kret ... 12

Pembibitan Karet. ... 13

Produktivitas Karet Rakyat ... 14

Manfaat Tanaman Karet ... 15

Gambaran Umum Sumatera Utara ... 16

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. ... 19

Bahandan Alat Penelitian. ... 19

Metode Penelitian. ... 20

Pengumpulan Data. ... 20

Analisis Data. ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Sebaran Karet Wilayah Studi ... 23

Sebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 26

Sebaran Karet Berdasarkan Iklim ... 27

Sebaran Karet Berdasarkan Jenis Klon ... 28

Sebaran Karet Berdasarkan Umur Pohon ... 29

Sebaran Karet Berdasarkan Budidaya ... 31

(7)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA. ... 38

(8)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Pengelompokan Luas Karet Berdasarkan Ketinggian ... 20

2. Lokasi Penyebaran Karet Berdasrkan Ketinggian dan Luas

Karet (ha) ... 22

3. Luas Tanaman Karet Rakyat pada Berbegai Ketinggian ... 25

4. Luas Tanaman Karet Berdasarkan Suhu ... 26

5. Persentase Penggunaan Klon Karet Unggul Oleh Petani

Karet Rakyat ... 27

6. Persentase Kelas Umur Karet yang Dimiliki Responden ... 28

7. Persentase Budidaya Karet yang Digunakan Responden ... 30

8. Persentase Kendala yang Menghambat Pertumbuhan Karet

(9)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta Rencana Studi Lapangan ... 19

2. Peta Penyebaran Kebun Karet Rakyat ... 24

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Foto-foto Penelitian ... 39

2. Titik Koordinat Lokasi Penelitian ... 41

(11)

ABSTRACT

NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventory of Rubber (Hevea brasiliiensis) In the

Different Altitude in North Sumatra . Under Supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Rubber (Hevea brasiliensis) is one of the important agricultural commodity, both as a source of revenue, driving economic growth and preservation of the environment and biological resources. The purpose of this research is to inventory the distribution of rubber (H.brasiliensis) in North Sumatra in relation to climate differences and altitude. This study used a descriptive method of determining location based on the difference in height between 0-800 meters above sea level with the criteria that the village has a rubber plant where sampling method was done by Purposive Sampling which sampling deliberately chosen.

The results showed that low productivity of smallholder rubber plantations in North Sumatra is mainly caused by the application of rubber technology and farm management are not as recommended. Rubber Development in North Sumatra with the extension in a cold climate region has the potential to increase the productivity of smallholder rubber such as is found in some villages which have cold climates Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit with rubber areas of 10 hectares, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting with rubber areas of 30 hectares, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu with rubber areas of 25 hectares, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae with rubber areas of 38 hectares, and Desa Simirik, Kecamatan Sipirok with rubber areas of 36 hectares.

(12)

ABSTRAK

NATANAEL SIMANJUNTAK : Inventarisasi Karet (Hevea brasiliiensis) pada berbagai Ketinggian di Sumatera Utara. Dibawah Bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, pendorong pertumbuhan ekonomi serta pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi sebaran karet (H.brasiliensis) di Sumatera Utara dalam hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi berdasarkan perbedaan ketinggi anantara 0-800 mdpl dengan kriteria desa yang memiliki tanaman karet yang dimana metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih.

Hasil penelitian menunjukkan Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan kebun yang belum sesuai rekomendasi. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditi perkebunan

penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, dan

pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar

perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Selain

itu, tanaman karet ke depan akan merupakan sumber kayu potensial yang dapat

mensubstitusi kebutuhan kayu yang selama ini mengandalkan hutan alam.

Berkurangnya luas hutan sekarang akibat konversi hutan menjadi kelapa

sawit telah menyebabkan rusaknya fungsi hutan. Oleh sebab itu pemerintah

membuat solusi dengan menggantikan kelapa sawit dengan karet. Karet telah

dikenal sebagai salah satu tanaman kehutanan yang diusulkan sebagai tanaman

penghijauan karena memiliki kambium yang mampu menyerap karbon

dibandingkan kelapa sawit. Upaya ini diharapkan dapat mengembalikan salah satu

fungsi kawasan hutan.

Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia.

Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3,2 juta ha, disusul

Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India(0,6 juta

ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari areal tersebut diperoleh produksi karet

Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah

Thailand dengan produksi sekitar 2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati

Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton), dan Vietnam

(14)

Untuk mengembangkan perkaretan nasional, pengembangan karet di

Indonesia terutama ditujukan pada perkebunan karet rakyat. Hal ini karena

perkebunan karet rakyat mempunyai peran yang sangat penting, tetapi masih

banyak menghadapi masalah dan kendala. Produktivitas karet rakyat masih relatif

rendah, yaitu 700−900 kg/ha/tahun atau rata-rata 892 kg/ha/ tahun. Produktivitas

ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan produk swasta 1.542

kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2008), atau produktivitas karet rakyat di negara lain.

Sebagai contoh, produktivitaskaret rakyat di Malaysia telah mencapai 1.100

kg/ha/tahun, di Thailand 1.600 kg/ha/tahun, di India 1.334 kg/ha/ tahun, dan di

Vietnam 1.358 kg/ha/tahun. Penyebab rendahnya produktivitas karet Indonesia

adalah masih luasnya tanaman karet tua yang perlu diremajakan, yaitu lebih dari

300.000 ha dan penggunaan bahan tanam klonal yang relatif rendah. Sebagai

gambaran, penggunaan tanaman klonal Indonesia sekitar 40%, Malaysia 90%,

Thailand 95%, India 99%, dan Vietnam 100% (Ditjenbun, 2008).

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk

penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi sebagai penghasil karet yang cukup

baik dan signifikan. Oleh karena itu Provinsi Sumatera Utara salah satunya

diklasifikasikan dalam klaster industri karet. Hal ini terbukti pada tahun 2009,

Sumatera Utara telah menghasilkan produksi karet mencapai 382.073 ton, dimana

yang berasal dari produksi Perkebunan Rakyat sebesar 201.026 ton, Perkebunan

Negara Sebesar 68.751 ton dan Perkebunan Swasta Sebesar 112.296 ton

(15)

Peningkatan produksi karet di Indonesia dapat dilakukan melalui

ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi merupakan pengembangan areal

baru yang sebelumnya dianggap tidak sesuai untuk karet maupun peningkatan

produktivitas dengan meremajakan areal tanaman karet tua, rehabilitasi tanaman.

Sedangkan intensifikasi merupakan penggantian/peremajaan karet rakyat yang tua

dengan klon-klon unggul terbaru.

Tujuan Penelitian

1. Untuk menginventarisasi sebaran karet di Sumatera Utara dalam

hubungannya dengan perbedaan iklim dan ketinggian tempat.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya

produktifitas karet rakyat

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang sebaran

karet di Sumatera Utara dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon dengan ke

tinggiannya dapat mencapai 30-40 m. Sistem perakarannya padat/kompak akar

tunggangnya dapat menghujam tanah hingga kedalaman 1-2 m, sedangkan akar

rateralnya dapat menyebar sejauh 10 m. Batangnya bulat/silindris, kulit kayunya

halus, rata, berwarna pucat hingga kecoklatan, sedikit bergabus

(Syamsulbahri,1996).

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan Menurut Cahyono

(2010) dalam ilmu tumbuhan, tanaman karet diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)

Kelas : Dycotyledonae (biji berkeping dua)

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiales

Genus : Hevea

Spesies : Hevea bransiliensis

Bagian-bagian karet terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji.

Secara morfologi, karakteristik bagian-bagian karet tersebut adalah sebagai

(17)

a. Akar

Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar

tunggang, akar ini mampu menampang batang tanaman yang tumbuh

tinggi dan besar.

b. Batang

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup

besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya

tumbuh lurus dan memiliki perimbangan yang tinggi di atas. Di bebrapa

perkebunan karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring

ke utara. Batang ini mengandung getah yang dikenal dengan nama Lateks

c. Daun

Daun karet berwarna hijau apabila akan rontok berubah warna menjadi

kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal”

kerontokan daun pada setiap musim kemarau. Dimusim rontok ini kebun

karet menjadi indah karena daun-daun karet berubah warna dan jatuh

berguguran. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai daun.

Panjang tangkai daun berukuran 3-20 cm. Panjang tangkai arakan daun

antara 3-10 cm, dan pada ujungnya terdapat kelenjar anak daun disebut

eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tepinya serta dan gundul

tidak terjun.

d. Bunga

Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang terdapat

dalam mali payung tambahan yang jarang, pangkal tenda bunga berbentuk

(18)

bunga 4-8 mm, bunga betina berambut vil, ukurannya lebih besar sedikit

dari yang jantan yang mengandung bakal buah yang beruang tinggi.

Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga

buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersususun

menjadi satu liang. Kepala sari terbagi dalam dua karangan, tersusun satu

lebih tinggi dari yang lain. Paling ujungnya adalah suatu bakal buah yang

tidak tumbuh sempurna.

e. Buah

Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas, masing-nasing ruangan

berbentuk wilayah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang

sampai enam ruang. Garis tengah buah 3-5 cm. Apabila buah sudah masak

maka akan pecah dengan sendirinya. Pecahannya terjadi dengan kuat

menurut ruang-ruangnya. Pecahan biji ini berhubungan dengan

pengembang biakan tanaman karet secara alami, biji yang terlontar

kadang-kadang sampai jatuh, maka akan tumbuh dalam lingkungan yang

medukung.

f. Biji

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya tiga

kadang sampai enam sesuai dengan jumalah ruang. Ukuran biji besar

dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak

berpoin yang khas. Biji yang sering menjadi mainan anak-anak sebenarnya

(19)

Daerah Asal dan Penyebaran Karet

Sejak berabad-abad yang lalu, karet telah dikenal dan digunakan secara

tradisional oleh penduduk asli di daerah asalnya, yakni Brasil-Amerika Selatan.

Karet tumbuh secara liar di lembah-lembah sungai Amazone dan secara

tradisional diambil getahnya oleh penduduk setempat untuk digunakan dalam

berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan untuk menyalakan api dan bola

untuk permainan. Akan tetapi meskipun telah diketahui penggunaannya oleh

Colombus dalam pelayarannya ke Amerika Selatan pada akhir abad ke-15 dan

bahkan oleh penjelajah-penjelajah berikutnya pada awal abad ke-16, sampai saat

itu karet masih belum menarik perhatian orang-orang Eropa (Setyamidjaja, 1995).

Tanaman karet atau Hevea brasiliensis. termasuk famili Euphorbiaceae.

Tanaman karet ini dalam beberapa bahasa, antara lain rubber (Inggris), Chauco

(Spanyol), Para-rubber (Belanda), Caoutchouc (Perancis), Kautschuk (Jerman),

Seringueira (Portugis), Karet (Indonesia) (Sianturi, 2001).

Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di

Indonesia yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Mula-mula karet ditanam di

Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi, karet

selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan

komersil. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba

penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama

kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah species Ficus elastica atau karet

rembung. Jenis karet Hevea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur

(20)

Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet

Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang

beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya.

Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 150 Lintang Utara

sampai 100 Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap

menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet

rata – rata 25 – 30 0C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata

kurang dari 20 0C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut.

Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak

optimal (Setiawan, 2000).

Iklim

Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS

dan 150 LU. Pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai

produksinya juga terlambat. Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25 °C

sampai 35 °C dengan suhu optimal rata-rata 28 °C, dalam sehari tanaman karet

membutuhkan intensitas matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam

(Suhendry, 2002).

Menurut Endert (1949), dalam Djikman, (1951) tanaman karet

(Hevea brasiliensis) paling cocok ditanam pada wilayah yang mempunyai iklim

dengan kriteria bulan kering antara 0-3 dan jumlah curah hujan tahunan yang ideal

adalah 2.500-5.000 mm, maka untuk wilayah Sumatera Utara yang cocok adalah

wilayah yang mempunyai tipe iklim Schimidth-Ferguson A-B, artinya kalau

(21)

Curah Hujan

Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai

4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai dengan 150

hari/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan

berkurang.

Ketinggian Tempat

Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan

ketinggian 200 m – 400 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari

permukaan laut dan suhu harian lebih dari 30 °C, akan mengakibatkan tanaman

karet tidak dapat tumbuh dengan baik (Nazaruddin dan Paimin, 2006).

Angin

Angin juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Angin yang

kencang dapat mengakibatkan kerusakan tanaman karet yang berasal dari

klon-klon tertentu dalam berbagai jenis tanah, baik pada tanah latosol, podsolik merah

kuning, vulkanis bahkan pada tanah gambut sekalipun (Maryadi, 2005).

Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk

penanaman karet Untuk lahan kering/darat tidak susah dalam mensiasati

penanaman karet, akan tetapi untuk lahan lebak perlu adanya trik-trik khusus

untuk mensiasati hal tersebut. Trik-trik tersebut antara lain dengan pembuatan

petak-petak guludan tanam, jarak tanam dalam barisan agar lebih diperapat.

Metode ini dipakai berguna untuk memecah terpaan angin

(22)

Tanah

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih

mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini

disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman

karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan

sifat fisiknya (Aidi dan Daslin, 1995).

Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet

baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah

vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, btekstur,

sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara

umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya

cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik.

Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 – pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0

dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya

antara lain :

- Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air

- Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir

- Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro

- Reaksi tanah dengan pH 4,5 – pH 6,5

- Kemiringan tanah < 16% dan

- Permukaan air tanah < 100 cm

(23)

Budidaya Karet

Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering beriklim basah.

Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas

lainnya, yaitu: (1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta

masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, (2)

mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah

lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi

lahan kritis, (3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang

mengusahakannya, dan (4) memiliki prospek harga yang cukup baik, karena

kebutuhan karet dunia semakin meningkat setelah China membuka pasar baru

bagi karet Indonesia (Anwar, 2001).

Delapan faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan karet

berkelanjutan yaitu: ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani,

dukungan kebijakan, luas kebun petani, ketrampilan petani, kelembagaan petani,

produksi dan produktivitas. Empat faktor strategis yaitu ketersediaan teknologi,

tenaga pembina, pelatihan petani dan dukungan kebijakan dikategorikan sebagai

faktor penentu (input) dalam sistem agribisnis karena faktor-faktor tersebut

mempunyai pengaruh yang kuat terhadap faktor lainnya, tetapi ketergantungannya

kepada faktor lain relatif lemah (Herman et al, 2009).

pengembangan usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan

salah satu upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani

karet. Selain pola wanatani penanaman karet juga banyak diusahakan masyarakat

(24)

Jenis-Jenis Klon Karet

Tanaman karet yang ditumbuhkan seragam di lapangan, sangat bergantung

pada penggunaan bibit hasil okulasi yang entresnya diambil dari kebun entres

yang memiliki klon yang murni. Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia sendiri

telah menghasilkan klon-klon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil

kayu. Klon‐klon unggul baru generasi4 pada periode periode tahun 2006 – 2010,

yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 104, dan IRR 118. Klon‐klon tersebut

menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi

memiliki variasi karakter agronomi dan sifat‐sifat sekunder lainnya. Klonklon

lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261, PR 300, PR

303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260,

RRIC 100masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan

secara hati‐hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya.

Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami gangguan

penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1, PR 255,

PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan lateksnya

terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka

terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena

itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat (Anwar, 2001).

Jenis Klon karet unggul yang dianjurkan untuk sistem pertanian karet di

daerah Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM

1 dan RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis

(25)

tersebut mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap penyakit daun

Colletotrichum kecuali BPM 24 dan toleran terhadap penyadapan yang kasar

(Purwanto, 2001).

Pembibitan Karet

Menurut Djoehana (2004).Pembibitan tanaman karet dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu :

a. Secara Vegetatif

Pembibitan secara vegetatif yaitu dengan menggunakan okulasi atau

penempelan bertujuan untuk menyatukan sifat-sifat baik yang dimiliki oleh

batang bawah (stock) dengan batang atas (scion) yang ditempelkan

kepadanya. Untuk maksud tersebut, dalam pelaksanaan okulasi harus

tersedia pembibitan batang bawah dan kebun entres atau tanaman bahan

okulasi.

• Okulasi adalah penempelan mata tunas dari tanaman batang atas ke tanaman batang bawah yang keduanya bersifat unggul. Dengan cara

ini akan terjadi penggabungan sifat-sifat baik dari dua tanaman dalam

waktu yang relatif pendek dan memperlihatkan pertumbuhan yang

seragam. Tujuan utama membuat bibit okulasi adalah agar produksi

lebih tinggi

b. Secara Generatif

Pembibitan secara generatif yaitu pembibitan yang menggunakan biji,

(26)

Produktivitas Karet Rakyat

Produktivitas adalah perbandingan antara jumlah produksi dengan luas

lahan dalam suatu kegiatan usaha tani yang dinyatakan dalam satuan kg/ha atau

ton/ha. Secara umum permasalahan utama dalam perkebunan karet rakyat adalah

produktivitas yang rendah, hanya sekitar 610 kg/ha/tahun, padahal produktivitas

perkebunan besar negara atau swasta masing-masing mencapai 1.107 kg dan1.190

kg/ha/tahun (Ditjenbut, 2002). Rendahnya produktivitas karet rakyat tersebu

tantara lain disebabkan oleh luasnya areal karet yang menggunakan bahan tanam

non unggul (seedling), dan tanaman umumnya sudah tua atau rusak sehingga

perlu diremajakan. Upaya peremajaan oleh petani dengan menerapkan teknologi

maju secara swadaya berjalan relatif lambat dan tingkat keberhasilannya rendah

karena adanya berbagai kendala, antara lain terbatasnya dana, kurangnya

ketersediaan informasi dan sumber dayamanusia yang handal, serta lemahnya

kelembagaan finansial (Supriadi et al.1999).

Perkebunan rakyat dicirikan oleh produksi yang rendah, keadaan kebun

yang kurang terawat, serta rendahnya pendapatan petani. Rendahnya produktivitas

perkebunan karet rakyat juga disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki

oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan teknik-teknik

budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat teknis yang diperlukan dan rendahnya

produksi tnaman karet juga disebabkan oleh usia pohon yang sudah sangat tua

(Soekartawi, 1995).

Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan peluang jangka

(27)

panjang produksi karet nasional mencapai 3,80−4,00 juta ton pada tahun 2025.

Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan penggunaan klon unggul menjadi

lebihdari 85%, dengan produktivitas rata-rataminimal 1.500 kg/ha

(Badan Litbang Pertanian, 2005)

Manfaat Tanaman Karet

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai

sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan

ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun

pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai

prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.

Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi

kedua terbesar di dunia (Boerhendhy et al, 2002).

Indraty (2005), menyebutkan bahwa tanaman karet juga memberikan

kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian

lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar

hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan

seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi

perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir,

pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan

bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan

(28)

Gambaran Umum Sumatera Utara

Kondisi Geografis

Provinsi Sumatera Utara terletak di antara 10-40 Lintang Utara dan

980-1000 Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68

km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara

memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai Timur dan 156 pulau di Pantai Barat.

Batas wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi Provinsi Aceh di sebelah Utara,

Provinsi Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan, Samudera Hindia di sebelah

Barat, serta Selat Malaka di sebelah Timur. Letak geografis Provinsi Sumatera

Utara berada pada jalur strategis pelayaran Internasional Selat Malaka yang dekat

dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Topografis

Wilayah Sumatera Utara terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan

dataran tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur di tengah-tengah

dari Utara ke Selatan. Kemiringan tanah antara 0-12% seluas 65,51% seluas

8,64% dan di atas 40% seluas 24,28%, sedangkan luas Wilayah Danau Toba

112.920 ha atau 1,57%.

Berdasarkan topografinya, Sumatera Utara dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu

bagian Timur dengan keadaan relatif datar, bagian tengah bergelombang sampai

berbukit dan bagian Barat merupakan dataran bergelombang. Wilayah Pantai

Timur yang merupakan dataran rendah seluas 24.921,99 km2 atau 34,77% dari

luas wilayah Sumatera Utara adalah daerah yang subur, kelembaban tinggi dengan

(29)

dan dataran tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat

berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim

kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang

kritis.

Wilayah dataran tinggi dan wilayah Pantai Barat seluas 46.758,69 km2

atau 65,23% dari luas wilayah Sumatera Utara, yang sebagian besar merupakan

pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan

kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau, sungai, air

terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya

tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik.

Iklim

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh

angin Passat danangin Muson. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan

(800-4000) mm/ tahun dan penyinaran matahari 43%.

Batas Administrasi

Wilayah Sumatera Utara berada pada jalur perdagangan internasional,

dekat dengan dua negara Asean, yaitu Malaysia dan Singapura serta diapit oleh 3

(tiga) provinsi, dengan batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh

- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera

Barat

(30)

Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan

Seiring dengan laju perkembangan pemekaran wilayah kabupaten/kota di

wilayah Sumatera Utara yang begitu pesat, sampai tahun 2008 jumlah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara telah bertambah jumlahnya menjadi 28

kabupaten/kota yang terdiri dari 21 kabupaten dan7 kota, 383 kecamatan, desa

kelurahan 5736 dengan ibukota provinsinya di Kota Medan dengan luas 265 km2

(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sumatera Utara dan dilaksanakan pada bulan

Juni-juli 2013. Topografi cukup beragam dari dataran rendah, berbukit dan

bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 0-800 mdpl.

Dalam penelitian ini rencana studi dilapangan dapat dilahat pada gambar dibawah

ini :

(32)

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Sumatera Utara,

lokasi topografi karet pada masing-masing kelas ketinggian 0-1200 mdpl (meter

di atas permukaan laut) yang diacak tiap kelompok topografi. Alat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah: peralatan survey seperti GPS. Peralatan

lain yang digunakan adalah peralatan tulis dan kamera digital.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif yaitu penentuan lokasi

berdasarkan perbedaan ketinggian antara 0-1200 mdpl dengan kriteria desa yang

memiliki karet. Luas karet di hitung berdasarkan ketinggian yang disajikan dalam

bentuk tabel seperti dibawah ini.

Tabel 1. Pengelompokan Luas Berdasarkan ketinggiaan

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah

1. Data Primer

a. Kuisioner

Merupakan suatu daftar pertanyaan yang ditunjukkan kepada para

petani pemilik tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penyebaran kuisoner ini dilakukan untuk memperoleh data-data primer

(33)

b.Wawancara

Wawancara ditujukan untuk melengkapi data lainnya yang berkaitan

dengan penelitian untuk memperoleh data-data yang lebih akurat

c. Pengamatan

Survey langsung dengan melihat karet berdasarkan ketinggian tempat

2. Data Sekunder

a. Studi Pustaka

Data yang dikumpulkan dalam studi pustaka antara lain adalah : kondisi

umum penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah

pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan desa.

Analisis Data

1. Data analisis adaptasi jumlah dan jenis karet berdasarkan ketinggian

tempat disajikan dalam bentuk tabulasi

2. Data hasil perhitungan jumlah tegakan dalam bentuk tabulasi berdasarkan

ketinggian

3. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling

yakni pengambilan sampel dengan sengaja dipilih. Pemilihan kelompok

subyek berdasarkan atas ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya. Dalam menentukan ukuran sampel maka digunakan rumus

penentuan sampel menurut Slovin:

n=

1+��2

Keterangan :

(34)

N = Ukuran populasi

e

= Persen kelonggaran ketidaktelitian yang masih dapat ditolerir karena

kesalahan pengambilan sampel, ditetapkan sebesar 10 %.

Rumus di atas digunakan untuk mendapatkan jumlah masyarakat yang dijadikan

sebagai sampel. Berdasarkan data BPS jumlah seluruh penduduk dari desa yang

diuji yaitu 45.563 orang. Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah responden

sebanyak 99,7 orang, digenapkan menjadi 100 orang, dengan ketentuan

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Sebaran Karet Wilayah Studi

Perbedaan jumlah tanaman karet yang ditemukan pada lokasi wilayah

studi, pada hasil pengamatan perbedaan jumlah sangat bervariasi pada ketinggian

0-1200 mdpl. Pertumbuhan tanaman karet di berbagai ketinggian dapat di sajikan

pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Lokasi Penyebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Luas Karet (ha).

2 Parsikkaman Adiankoting Tapanuli Utara 692 30

3 Onan Hasang Pahae Julu Tapanuli Utara 684 25

4 Marisi Angkola

Timur Tapanuli Seatatan 618 28

5 Simirik Sipirok Tapanuli Selatan 554 36

6 Perdamean

Nainggolan Pahae Jae Tapanuli Utara 501 38

7 Aek Puli Pahae Jae Tapanuli Utara 470 40

8 Simangumban

julu Simangumban Tapanuli Utara 462 45

9 Purba lama Lembah Sorik

Merapi Mandailing Natal 447 60

10 Laru Tambangan Mandailing Natal 439 90

11 Sipolu-polu Penyabungan Mandailing Natal 239 130

12 Aek Badak Sayur

Matinggi Tapanuli Selatan 219 160

13 Simangambat Siabu Mandailing Natal 195 185

14 Bandar Nagori Silau Kahean Simalungun 167 130

15 Paranginan Padang Bolak Padang Lawas

Utara 154 220

18 Batang Baruhar Padang Bolak Padang Lawas

Utara 119 100

(36)

No Desa Kecamatan Kabupaten

Ketinggian 0-800 mdpl

20 Pegajahan Hulu Bintang Bayu Serdang Bedagai 85 120

21 Siamporit Kualuh

Selatan

Labuhanbatu

Utara 44 80

22 Hesa Air

Genting Air Batu Asahan 37 40

23 Kandangan Sei Suka Batubara 18 20

Berdasarkan tabel di atas pertumbuhan karet yang terbesar ditemukan pada

Desa Paranginan Kecamatan Padang Bolak dengan ketinggian 119 mdpl dengan

luas 220 ha dan jumlah pertumbuhan karet terkecil terdapat pada Desa Siteluhen

Kecamatan Sibolangit dengan ketinggian 796 dengan luas 8 ha. Ini menunjukkan

bahwa pertumbuhan tanaman karet dipengaruhi oleh ketinggian tempat.

Hasil pengamatan dan survey di lapangan penyebaran kebun karet rakyat

di beberapa ketinggian di Sumatera Utara yang terdiri atas Kabupaten Asahan,

Batubara, Deliserdang, Labuhan Batu Utara, Langkat, Mandailing Natal, Padang

Lawas Utara, Simalungun, Tapanuli selatan, Tapanuli Utara, dan Serdang Bedagai

dengan kriteria ketinggian 0 – 1200 mdpl. Untuk jumlah pertumbuhan karet

masing-masing kawasan desa sangat berbeda-beda seperti disajikan dalam peta

(37)
(38)

Sebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat

Pertumbuhan karet serta penyebarannya tedapat pada berbagai ketinggian

yang ada. Karet menyebar luas pertumbuhannya sesuai dengan lokasi yang dipilih

secara acak berdasarkan ketinggian. Dari hasil pengamatan dan analisis kuisioner

pada masyarakat dilapangan sebaran tanaman karet yang ditemukan pada

ketinggian 0-800 mdpl luasnya berbeda-beda. Luas sebaran tanaman karet pada

berbagai ketinggian dapat disaji

kan pada Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Luas Tanaman Karet Rakyat Pada Berbagai Ketinggian

Berdasarkan tabel diatas sebaran karet paling banyak terdapat pada

ketinggian 0-200 mdpl dan paling sedikit terdapat pada ketinggian 600-800 mdpl

sedangkan pada ketinggian 800-1200 mdpl tidak ada ditemukan pertumbuhan

karet. Ini menunjukkan bahwa pada ketinggian 200-600 mdpl antusias masyarakat

masih kurang dalam menanam karet sehingga produktivitas karet rakyat rendah.

Dimana pada ketinggian 200-600 mdpl masih syarat tumbuh yang cocok untuk

karet seperti dikatakan Nazaruddin dan Paimin (2006) bahwa karet dapat tumbuh

optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 0 - 400 mdpl dengan produktifitas

yang tinggi dengan suhu harian 30°C dengan topografi beragam, dataran,

berbukit, dan bergelombang dengan kelerengan < 16 %. Sedangkan pada

ketinggian > 600 mdpl akan mengakibatkan tanaman karet tidak dapat tumbuh

(39)

Sebaran Karet Berdasarkan Iklim

Suhu udara memiliki hubungan yang erat dengan ketinggian tempat dari

permukaan laut. Pengaruh suhu udara juga terlihat pada sebaran karet di Sumatera

Utara seperti disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4. Luas Tanaman Karet Rakyat Berdasarkan Suhu

No Suhu (°C) Luas (ha)

Berdasarkan tabel di atas sebaran karet paling banyak terdapat pada suhu

26-28 °C dengan luas lahan 820 ha, diikuti suhu 28-30 °C luas lahan 428 ha, suhu

24-26 °C luas lahan 365 ha, suhu 22-24 °C luas lahan 224 ha, dan suhu >22 luas

lahan 148 ha. Ini menunjukkan suhu yang cocok untuk mengembangkan tanaman

karet terdapat pada 24-30 °C. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Suhendry

( 2002) Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25 °C sampai 35 °C dengan

suhu optimal rata-rata 28 °C, dalam sehari tanaman karet membutuhkan intensitas

matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam. Namun kenyataan di lapangan

antusias masyarakat diberbagai daerah berbeda-beda untuk mengembangkan

tanaman karet. Masih banyak daerah dengan suhunya yang sesuai belum

dimanfaatkan petani dan ini mempengaruhi terhadap produksi karet rakyat.

Berdasarkan data curah hujan di Sumatera Utara yaitu 800-4.000

mm/tahun, dengan rata-rata hujan tahunan 2.900 mm hampir semua wilayah

cocok ditanam dengan karet kecuali beberapa daerah yang relative kecil yang

(40)

Sebaran Karet Berdasarkan Jenis Klon

Perkembangan karet pada desa yang diteliti berbeda-beda, dimana

pemakaian klon karet unggul belum dikenal luas di kalangan petani rakyat.

Berdasarkan pegamatan dan analisis kuisioner di lapangan jenis karet yang paling

banyak ditemukan yaitu jenis karet kampung. Karet kampung didefenisikan karet

yang sudah tumbuh selama puluhan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa

penggunaan bibit unggul oleh petani karet rakyat di Sumatera Utara masih rendah

dapat dilahat pada hasil analisa kuisioner pada tabel 5sebagai berikut:

Tabel 5. Penggunaan Klon Karet Unggul Oleh Petani Karet Rakyat

Berdasarkan tabel di atas jenis klon karet yang paling banyak digunakan

petani karet rakyat adalah bibit kampung jumlah responden 70 orang dengan

persentase 70,0 %, klon GT1 15 orang dengan persentase 15,0 %, klon PB260 10

orang dengan persentase 10,0 % serta klon BPM24 5 orang dengan persentase

5,0 %. Dari hasil di atas penggunaan bibit dari klon unggul seperti PB260 dan

BPM24 masih kecil dibandingkan dengan bibit kampung, ini menunjukkan bahwa

rendahnya produktivitas karet rakyat dipengaruhi penggunaan bibit kampung yang

berkualitas rendah yang belum teruji produktivitasnya masih mendominasi yaitu

70% pada kebun karet rakyat, sehingga untuk meningkatkan produktivitas karet

rakyat perlu dilakukan penggatian bibit kampung dengan klon-klon unggul yang

sesuai dengan kondisi agriekosistim setempat. Seperti dikatakan Purwanto (2001)

(41)

Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM 1 dan

RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis klon

karet tersebut memberikan hasil yang baik, pertumbuhan batang yang cepat, dan

dapat diadaptasikan ke dalam kondisi perkebunan rakyat.

Sebaran Karet Berdasarkan Umur Pohon

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat

kelas umur karet yang ditemukan berbeda-beda dapat dilihat pada hasil analisa

kuisioner pada tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6. Persentase Kelas Umur Karet Yang Dimiiliki Responden

Berdasarkan tabel diatas umur tanaman karet yang paling banyak dimiliki

masyarakat adalah umur > 25 tahun jumlah responden 55 orang dengan persentase

55,0 %, jumlah umur < 5 tahun 8 orang dengan persentase 8 %, dan umur 5 – 15

tahun 12 orang dengan persentase 12 % serta umur 15 – 25 tahun 25 orang dengan

persentase 25 %. Ini menunjukkan bahwa kenapa produktivitas karet rakyat kita

rendah karena masih didominansi tanaman karet tua yang sudah tidak produktiv

lagi. Beberapa alasan yang juga mempengaruhi peremajaan karet enggan

dilakukan petani karet yaitu: karena tidak adanya anggaran untuk melakukan

peremajaan tersebut, karena tanaman karetnya masih bisa dipanen dan hasilnya

masih mencukupi keluarga, dan karena kebun karet yang dimulikinya sedikit.

Dari alasan petani dapat kita simpulkan penyebab peremajaan karet tidak

dilakukan dikarenakan faktor ekonomi dari petani karet yang tidak mempunyai

(42)

anggaran seperti dikatakan Jenahar (2003) dalam penelitiannya tentang

peremajaan optimum karet menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat

menghambat dan memengaruhi peremajan optimum dari karet. Faktor-faktor

tersebut yaitu faktor teknik, faktor ekonomi, dan faktor administrasi. Faktor teknik

yang dapat memengaruhi dan menghambat pelaksanaan yaitu dari adanya

ketersediaan bibit yang terjamin mutunya untuk digunakan petani.

Faktor ekonomi yang dapat memengaruhi peremajaan optimum yaitu dari

segi harga faktor produksi yang berfluktuasi. Harga yang berfluktuasi tersebut

mengakibatkan biaya yang akan dikeluarkan tidak dapat atau tidak sesuai dengan

yang sudah dianggarkan dan direncanakan. Ketidaksesuaian anggaran biaya yang

direncanakan dan dianggarkan dengan realisasi biaya yang dikeluarkan menjadi

salah satu hal yang menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Hal

tersebut dikarenakan petani dapat menjadi kekurangan modal akibat dari biaya

yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang sudah diperhitungkan

sebelumnya.

Waktu peremajaan suatu kebun perlu diubah. Sebelumnya, peremajaan

dilaksanakan setelah tanaman berumur 25−30 tahun, kemudian bergeser menjadi

umur 25 tahun. Patokan umur 25 tahun sebagai batas pelaksanaan peremajaan

tidak selalu tepat karena kenyataannya banyak kebun yang tidak produktif lagi

sebelum mencapai umur 25 tahun. Santoso (1994) menyatakan, beberapa kebun di

Sumatera Utara sudah tidak produktif lagi pada umur 15−18 tahun karena

kehabisan cadangan kulit akibat penyadapan berat, melebihi norma sadap yang

(43)

Sebaran Karet Berdasarkan Budidaya

Hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat mengunakan

tehnik silvikultur yang sangat sederhana yaitu dengan memindahkan anakan karet

yang akan ditanam dapat dilihat pada hasil analisa kuisioner pada tabel 7 sebagai

berikut:

Tabel 7. Persentase Budidaya Karet yang Digunakan Responden

Budidaya yang paling banyak digunakan petani karet adalah dengan

pencabutan anakan karet jumlah responden 40 orang dengan persentase 40,0 %,

jumlah okulasi 30 orang dengan persentase 30,0 %, dan anakan liar 25 orang

dengan persentase 25,0 % serta semaian biji 5 orang dengan persentase 5,0 %. Ini

menunjukkan rendahnya produktifitas karet rakyat dikarenakan jenis budidaya

yang digunakan masyarakat untuk tanaman karetnya masih sangat sedeerhana

yaitu 40% masih diperoleh dari pencabutan dari anakan liar yang kemudian

dipindahkan keareal penanaman. Hal ini sama dengan yang dikatakan Firdaus

(2008) Salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet adalah penerapan

teknologi budidaya yang belum sesuai dengan rekomendasi. Komponen penting

dalam teknologi budidaya karet adalah penggunaan benih bermutu. Namun,

sebagian besar perkebunan karet yang ada saat ini masih menggunakan benih asal

(44)

Perkebunan karet yang biasanya dikelola oleh petani rakyat berbentuk

perkebunan karet seperti hutan. Hal ini dapat dikarenakan kebiasaaan atau adat

petani pada derah tersebut ataupun dikarenakan adanya kelebihan dengan pola

penanaman karet yang dibiarkan tumbuh liar seperti di hutan. Pola tanam karet

yang seperti itu dinamakan pengembangan karet dengan pola atau sistem

wanatani. Pola wanatani atau sering juga disebut dengan sistem agroforestri

merupakan salah satu upaya petani untuk meningkatkan pendapatan petani karet.

Hal ini sesuai dengan yang dikatan Suhatini et.al (2003) bahwa pengembangan

usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan salah satu upaya

meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani karet. Selain pola

wanatani penanaman karet juga banyak diusahakan masyarakat dengan sistem

monokultur. Sistem wanatani yang dijumpai di lapangan yaitu penggabungan

tanaman karet dengan tanaman kakao, seperti terlihat pada gambar dibawah ini:

(45)

Sebaran Karet Berdasarkan Produksi Perketinggian

Berdasarkan analisis kuisioner pada petani karet rakyat di lapangan

produksi karet yang dikelola masyarakat pada berbagai ketinggian berbeda-beda

seperti terlihat pada tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 8. Sebaran Karet Berdasarkan produksi Perketinggian

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi karet pada tiap

ketinggian berbeda-beda. Produksi karet yang paling banyak dihasilkan pada

ketinggian 0-200 mdpl yaitu 800-1200 kg/ha/tahun, diikuti ketinggian 200-400

mdpl yaitu 600-1200 kg/ha/tahun, ketinggian 400-600 mdpl yaitu 500-900

kg/ha/tahun, dan ketinggian 600-800 tmdpl yaitu 500-700 kg/ha/tahun. Ini

menunjukkan ketinggian tempat mempengaruhi produktivitas karet karena,

semakin tinggi tempat tumbuh karet produktivitasnya semakin menurun. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan Darmandono (1996) bahwa elevasi mempengaruhi

produktivitas melalui pengaruhnya terhadap peningkatan frekuensi hujan. Pada

ketinggian 380-700 m dimana jumlah hari hujan > 175 hari, sudah memberikan

pengaruh yang kurang baik terhadap produktivitas tanaman karet.

Rendahnya produktivitas karet rakyat tersebut disebabkan beberapa faktor

seperti sistem budidaya yang masih kurang, kualitas bibit yang masih rendah,

tingginya serangan hama penyakit dan kondisi ekonomi petani karet rakyat. Hal

ini sama dengan yang dikatakan Soekartawi (1995) bahwa rendahnya

(46)

yang dimiliki oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan

teknik-teknik budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat teknis yang diperlukan

dan rendahnya produksi tnaman karet juga disebabkan oleh usia pohon yang

sudah sangat tua.

Untuk meningkatkan produktivitas karet di Indonesia dilakukan beberapa

upaya sepereti ekstensifikasi yaitu pengembangan areal baru yang sebelumnya

dianggap tidak sesuai untuk karet maupun peningkatan produktivitas dengan

meremajakan areal tanaman karet tua, rehabilitasi tanaman, dan intensifikasi yaitu

meremajakan karet rakyat dengan klon-klon unggul terbaru.

Sebaran Karet Berdasarkan Harga Karet/kg

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kuisioner pada masyarakat

harga karet/kg yang ditemukan pada berbagai daerah berbeda-beda dapat dilihat

pada hasil analisa kuisioner pada tabel 8 sebagai berikut:

(47)

23 Kandangan Sei Suka Rp.6.000

Berdasarkan tabel di atas harga karet rakyat dipasaran yang paling

dominan berada pada kisaran harga Rp.7.000/kg, diikuti harga Rp.6.000/kg, harga

Rp.7.000/kg, dan harga Rp.5.000/kg. Rendahnya harga karet dipasaran

mempengaruhi pendapatan petani karet, seperti pada usahatani lainnya petani

karet sangat berespon terhadap harga jualnya. Harga yang layak membuat petani

lebih bergairah dalam meningkatkan produktivitasnya agar dapat meningkatkan

pendapatannya. Sebaliknya jika harga rendah petani cenderung kurang merawat

tanamannya karena memperhitungkan biaya yang dikeluarkan.

Pendapatan petani merupakan ukuran penghasilan yang diterima oleh

petani dari usahataninya. Dalam analisis usahatani, pendapatan petani digunakan

sebagai indikator penting karena merupakan sumber utama dalam mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Hernanto (2005), pendapatan merupakan

suatu bentuk imbalan untuk jasa pengelolaan yang menggunakan lahan, tenaga

kerja, dan modal yang dimiliki dalam berusahatani. Kesejahteraan petani akan

lebih meningkat apabila pendapatan petani menjadi lebih besar apabila petani

dapat menekan biaya yang dikeluarkan serta diimbangi dengan produksi yang

tinggi dan harga yang baik. Pengaruh harga dan produktivitas yang berubah-ubah

mengakibatkan pendapatan petani yang ikut

Rendahnya harga karet rakyat juga dipengaruhi rantai pemasaran karet,

sebab kenyataan menunjukkan bahwa begitu banyaknya lapisan pedagang yang

terlibat, sehingga menjadikan rantai tataniaga karet di sini cukup panjang, dan

kondisi demikian sudah merupakan suatu fenomena lama. Petani tidak pernah bisa

(48)

eksportir. Paling kurang mereka harus melalui dua atau tiga orang pedagang

perantara yaitu pedagang ditingkat desa dan pedagang ditingkat kecamatan.

Panjangnya rantai tataniaga itu berakibat kepada rendahnya harga jual di tingkat

petani, karenanya petani hanya bisa menerima harga karet apa adanya.

Penanganan Panen dan Pasca Panen

Pada perkebunan karet rakyat umumnya menggunakan bibit

lokal/kampung yang baru menghasilkan getah dan disadap pada umur 6-7 tahun.

Penyadapan yang dilakukan di daerah penelitian kebenyakan adalah dengan sistim

4 hari sadap dan 1 hari untuk mengumpilkan hasil. Jadi penyadapan dilakukan 4

hari dalam seminggu pada hari normalnya. Tetapi ada juga yang tidak sampai 4

hari dalam seminggu, bisa saja 2 atau 3 hari penyadapan dalam seminggu, ini

disebabkan oleh faktor cuaca misalnya musim penghujan atau hari kurang cerah,

sehingga petani tidak bisa atau sulit mengadakan penyadapan.

Penyadapan dilakukan dengan mengiris kulit batang tananman karet

dengan dalam irisan ± 2 mm. Penyadapa dilakukan 4 hari dalam seminggu dan

biasanya petani menyadap pada pagi hari yaitu antara jam 6-7 wib dengan waktu

penyadapan 3-4 jam, dan setelah 4 hari melakukan penyadapan dalam ukuran

normalnya selanjutnya 1 hari untuk pengumpulan hasil cup lump. Penampungan

dilakukan jika mangkuk penampung getah terisi penuh. Sebelum pengumpulan

dilakukan terlebih dahulu diberikan cuka para supaya mempercepat pembekuan

cara ini merupakan cara yang sudah turun temurun bagi petani karet rakyat. Selain

itu juga masih ditemukan dalam proses pengolahannya petani masih melakukan

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pengembangan karet di Sumatera Utara dengan ekstensifikasi di wilayah

iklim dingin memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas karet

rakyat seperti ditemukan dibeberapa desa yang memiliki iklim dingin yaitu

Desa Martelu, Kecamatan Sibolangit seluas 10 ha, Desa Parsikkaman,

Kecamatan Adiankoting seluas 30 ha, Desa Onan Hasang, Kecamatan

Pahae Julu seluas 25 ha, Desa Perdamean Nainggolan, Kecamatan Pahae

Jae seluas 38 ha, dan Desa Simirik, Kecamatan Sipirok seluas 36 ha.

2. Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara

terutama disebabkan oleh penerapan teknologi perkaretan dan pengelolaan

kebun yang belum sesuai rekomendasi seperti peremajaan karet yang

sudah tua, penggunaan klon unggul dan pemupukan yang kurang.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai luasan areal karet

produktif milik rakyat sehingga dapat diketahui potensi produktivitas karet rakyat

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Aidi dan Daslin. 1995. Pengelolaan Bahan Tanam Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.

Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.

Apriyantono, A, Dr. Ir. MS. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Agro Inovasi. Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2002. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. Warta Penelitian Pusat Karet 21(1−3): 58−66

BPS. 2011. Karet Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia. Buku Statistik Perkebunan 2009-2011 Direktorat Jendral Perkebunan. http://www. deptan.go.id/ infoeksekutif/bun/ EIS-bun2010 /karet. html[19 Januari 2012]

Cahyono. 2010. Karet. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Darmandono. 1996. Pengaruh Elevasi Terhadap Produktivitas Karet. Jurnal Penelitian Karet 14 (1):56-59

Ditjenbun. 2008. Sambutan Direktur Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) pada Lokakarya Nasional Agribisnis Karet, Yogyakarta. 20−21 Agustus 2008. 7 hlm.

Djikman, M. J. 1951. Hevea, Thirty Years of Research in the Far East. University of Miami Press. Coral Gables, Florida.

Djoehana. 2004. Karet Budidaya dan Pengolahanya. Kanisius. Yogyakarta.

Herman dan S. Damanik. 2009. Laporan Hasil Penelitian, Lembaga Riset Perkebunan (LRPI) 19 hlm.

(51)

Indraty, I.S. 2005. Tanaman Karet Menyelamatkan Kehidupan dari Ancaman Karbondioksida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(5): 10−12.

Jenahar TJ. 2003. Analisis Peremajaan Optimum Karet (Studi Kasus di Kebun Musi Landas Sumatera Selatan).

Maryadi. 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Nazaruddin dan F.B. Paimin. 1998. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta

Pawirosoemardjo,S., Syafiuddin dan Sujatno. 1998. Resistensi Klon Harapan terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet, Lokakarya Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam Abad 21.Pusat Penelitian Karet.Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. Hal 224.

Purwanto, E. 2001. Berbagai Klon Karet Pilihan Untuk Sistem Wanatani. International Centre For Research In Agroforestry at website www. icraf.cgiar. org/sea. http://www.worldagroforestry. org/SEA /Publications /files/leaflet/ LE0005-4.PDF [03 April 2008].

Setiawan, D. H. Ir dan Andoko, A. Drs. 2000. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta

Santoso, B. 1994. Perbaikan Pola Produktivitas Tanaman Karet Melalui Komposisi Klon Berimbang di Perkebunan. Warta Perkaretan13(1): 31−42.

Setyamidjaja, D. 1995. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta.

_____________. 2000. Budidaya dan pengolahan karet, Kanisius, Yogyakarta

Sianturi, H. S. D. 2001. Budidaya Tanaman Karet. Universitas Sumatera Utara Press. Medan

Soekartawi,1995. Pembangunan Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Suhatini R, Yudiono s, dolorosa E, Ilahang. 2003. Karakteristik Usahatani Pada Sistem Wanatani Berbasis Karet di Kabuapaten Sanggau.

(52)

Supriadi, M., G. Wibawa, dan C. Nancy. 1999. Percepatan Peremajaan Karet Melalui Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat Perkebunan. hlm. 45−69. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet Rakyat Secara Swadaya. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.

Syamsulbahri.1996. Bercocok Tanam-Tanaman Perkebunan Tahunan. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakrta.

(53)
(54)

Lampiran 1. Foto Penelitian

Karet Umur 1 Tahun Karet Umur 6 Tahun

Karet Umur 15 Tahun Karet Umur 30 Tahun

Bibit Karet Okulasi Pemberian Cuka

Karet Umur 15 Tahun Karet Umur 30 Tahun

(55)

Lanjuntan Lampiran 1

Wawancara Petani Karet Wawancara Petani Karet

(56)

Titik Koordinat Lokasi Penelitian

No Nama Desa Titik Koordinat

Lintang Utara Bujur Timur

1 Siteluhen 03°15'34,2" 098°34'12,4"

2 Onan Hasang 01°53'18,6" 099°02'55,2"

3 Marisi 01°28'38,3" 099°20'12,4"

4 Simirik 01°38'36,8" 099°11'10,9"

5 Perdamean Nainggolan 01°47'27,9" 099°05'55,2"

6 Aek Puli 01°45'46,8" 099°08'04,2"

7 Simangumban julu 01°44'15,9" 099°08'54,2"

8 Purba lama 00°45'30,9" 099°34'25,5"

9 Laru 00°43'50,9" 099°37'53,7"

10 Sipolu-polu 00°49'59,4" 099°34'13,3"

11 Aek Badak 01°07'46,2" 099°26'45,0"

12 Simangambat 01°01'58,6" 099°29'00,6"

13 Bandar Nagori 03°14'40,2" 098°53'39,6"

14 Paranginan 01°32'13,8" 099°38'53,3"

15 Sipupus 01°24'29,9" 099°31'17,2"

16 Kuala Bali 03°17'30,6" 098°55'24,8"

17 Batang Baruhar 01°33'15,4" 099°41'03,6"

18 Hutaimbaru 01°34'41,9" 099°44'15,1"

19 Pegajahan Hulu 03°21'52,6" 098°56'07,2"

20 Siamporit 02°25'56,0" 099°40'07,2"

21 Hesa Air Genting 02°54'34,3" 099°40'08,3"

(57)

KUISIONER PENELITIAN

INVENTARISASI KARET (Hevea brasiliensis) PADA BERBAGAI KETINGGIAN di SUMATERA UTARA

Nama :

Jenis kelamin :

Agama :

Umur : Tahun

Jmlah Anggota Keluarga : Orang

Alamat :

Desa :

Kecamatan :

Kabupaten :

PENELITI

NAMA : NATANAEL SIMANJUNTAK

PROGRAM STUDI : BUDIDAYA HUTAN

(58)

Tujuan dari pengisian kuisioner ini adalah untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan selama penelitian. Oleh karenanya diharapkan Bapak/ibu/saudara/i

untuk memberikan informasi yang sebenarnya demi keakuratan dari hasil

penelitian ini.Terimakasih

DAFTAR PERTANYAAN

I. Tingkat Budidaya Karet

1. Sejak kapan anda menanam karet?

2. Umur berapa karet yang anda miliki sekarang?

3. Berapa jumlah populasi/ luas karet yang anda miliki sekarang?

4. Apakah karet yang Anda miliki sudah menerapkan budidaya khusus?

(Ya/Tidak)

5. Jenis budidaya apakah yang Anda lakukan untuk karet ?

a. Okulasi b. Pencabutan c. Anakan liar d. Semaian biji

6. Jenis klon apa yang anda miliki?

7. Bagaimana Sistim penanaman yang anda terapkan?

a. Monokultur b. Agroforestry/Wanatani

8. Berapa jarak tanamnya?

9. Bagaimana cara pemanenan yang anda lakukan?

10.Berapakali penyadapan dilakukan dalam sehari?

11.Berapakali anda melakukan ngetrel?

12.Apakah anda melakukan pemupukan?(Ya/Tidak)

13.Jenis pupuk apa yang anda gunakan?

14.Kendala apa saja yang anda jumpai dalam pembudidayaan karet?

(59)

II. Manfaat dan Peranan karet di Masyarakat

1. Apa alasan Anda untuk memilih karet?

2. Pada umur berapa karet dapat dipanen?

3. Apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan dari karet?

III. Tingkat Pendapatan Karet

1. Berapa penghasilan Bapak/Ibu dalam satu bulan?

2. Apakah penghasilan tersebut sudah mencukupi anggota keluarga?

3. Berapa Kg hasil panen getah yang di dapat per hektar ?

4. Berapa harga per Kg karet?

5. Apakah tanaman karet membantu perekonomian anda?

Gambar

Tabel 1. Pengelompokan Luas Berdasarkan ketinggiaan
Tabel 2. Lokasi Penyebaran Karet Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Luas Karet (ha).
Gambar 2. Peta Penyebaran Kebun Karet rakyat
Tabel 3. Luas Tanaman Karet Rakyat Pada Berbagai Ketinggian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sri Vernita : Analisis Produktivitas Sektoral di Propinsi Sumatera Utara, 2007... UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sementara Peta klasifikasi iklim Schmidth-Fergusson Sumatera Utara selama ini belum ada, padahal di Sumatera Utara mempunyai potensi sumberdaya alam hutan yang sangat besar

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Studi Potensi Biomassa dan Massa Karbon Pohon Karet ( Hevea brasiliensis Muell Arg) di Hutan Karet Rakyat

Data serangga lain yang ditemukan pada lokasi sampling tanaman karet yang terserang Captotermes curvignathus (Holmgren) di Sumatera Selatan.. Serangga yang ditemukan

Hama dan penyakit yang sering menimbulkan kerugian pada perkebunan karet di Provinsi Sumatera Utara adalah rayap, jamur akar putih (JAP), jamur upas dan

Potensi biomassa atau cangkang sawit di Sumatera Selatan cukup besar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif pada industri karet. Penggunaan biomassa di industri

Pengaruh Komposisi Tegakan Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah Pada Lahan Agroforestri Karet Di Desa Manjanji Asih, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara..

Pengaruh Komposisi Tegakan Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah Pada Lahan Agroforestri Karet Di Desa Manjanji Asih, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara..