• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Pemerintah Meminimalisir Aksi Terorisme Melalui Pendekatan Hukum Dan Sosio Kultural Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya Pemerintah Meminimalisir Aksi Terorisme Melalui Pendekatan Hukum Dan Sosio Kultural Di Indonesia"

Copied!
256
0
0

Teks penuh

(1)

Amrullah, Arief M, Politik Hukum Pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan Ekonomi di bidang perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2007.

Arrasjid, Chainur, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1999.

Arief, Nawawi Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 200 Arief, Nawawi Barda, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Arief, Nawawi Barda, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Ekaputra, Mohammad,dan Khair Abul, System Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut konsep KUHP baru, USU Press, Medan, 2010. Hakim, Luqman, Terorisme di Indonesia, Penerbit Forum Studi Surakarta,

Surakarta, 2004.

Harris, Freddy, Pengkajian Hukum Tentang Penyalahgunaan Teknologi Siber Dalam Gerakan Teroris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008.

(2)

Mudzakkir, Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008.

Mulyadi, Lilik, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis dan Praktik, Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2008.

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008.

Prasetyo, Teguh dan Barkatullah Abdul Halim Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2005.

Permana, Heru Is, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2007. Salam, Moch Faisal, Motivasi Tindakan Terorisme, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, 2005.

Santoso, Agus Muhari, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, 2002.

Santoso, Topo dan Zulfa Achjani Eva, Kriminologi, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

(3)

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Zain Al-Abidin Hammad, Suhailah, Bagaimana Mengatasi Terorisme, Penerbit Zikrul Hakim, Jakarta, 2005.

Internet

10.35 WIB

19.45 WIB

<< politik, social, budaya dan gerakan Mahasiswa.htm,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB

terorisme.html,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB

(4)

tgl 18 April 2010, jam 19.35 Wib.

server/node/8406/+upaya+pencegahan+dan+penanggulangan+tindak+pidana+terorisme, diakses tgl 05 Oktober 2010, jam 10.45 Wib.

Nopember 2010, jam 15.30 Wib.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. 15 Tahun 2003.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1994.

(5)

KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

A. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah social termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan social, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.79

b. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;

Amara Raksasataya mengemukakan policy sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu policy memuat 3 (tiga) elemen yaitu:

c. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;

d. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. 80

Menurut Sudarto mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan criminal yaitu:

79

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 148.

80

(6)

a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang diambil dari Jorgen Jepsen) adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.81

Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti, yaitu:

a. Ada keterpaduan (intergralitas) anatara politik criminal dan politik social;

b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”.

Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan

81

(7)

pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur (structur), dan substansia (substansive) hukum. Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.

Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik criminal. Dengan kata lain, dari sudut politik criminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 82

a. Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative.

Ruang lingkup kebijakan pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:

(8)

b. Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrative.

Apabila dilihat dari keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, tahap kebijakan legislative merupakan tahap yang paling penting atau tahap paling strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Mengenai pentingnya landasan legislative bagi suatu kebijakan pemidanaan, menurut G.P. Hoefnagels mengemukakan:

“I agree with the view that effectiveness is prerequisite for lawfulness and even

an element to be taken into account in sentencing, effectiveness alone is no

guarantee of justice. Punishment in criminal law is limited not only by

effectiveness and purposefulnees, but above all by legality”.83

1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;

Secara garis besar, kebijakan legislative (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan meliputi:

(9)

2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang (baik berupa pidana atau tindakan) dan system penerapannya;

3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme system peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.84

Dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi. Masyarakat Indonesia yang heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun vertical (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam menangani masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat sebagai control social untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan.

Untuk menegakkan hukum pidana, maka harus ada keterpaduan dalam persepsi dan penanganan konflik yang timbul dari semua komponen hukum pidana, baik komponen structural, substansial, dan dukungan social. Pada komponen substansial yang bersifat normative dan normal seharusnya berpijak dan mengutamakan keadilan, kemudian kemanfaatan, dan selanjutnyapijakan terakhir adalah kepastian hukum.

84

(10)

Menurut Muladi, pembaharuan hukum pidana bagi penegakan hukum masa mendatang harus mempunyai karakteristik operasional sebagai berikut:

1. Hukum pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.

2. Hukum pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang berkembang pada pergaulan masyarakat beradab.

3. Hukum pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya tindak pidana, karena secara tidak langsung sudah menumbuhkan perasaan takut untuk melanggar hukum pidana.

4. Hukum pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan efektifitas fungsinya didalam masyarakat.85

1. Faktor undang-undang

Menurut Soeryono Soekanto, faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:

Undang-undang (dalam arti materil) yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Factor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut, antara lain:

a. Tidak diikutinya dengan benar asas-asas berlakunya undang-undang yang bersangkutan;

85

(11)

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang yang bersangkutan;

c. Ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Faktor Penegakan Hukum

Penegakan hukum mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum. Ada beberapa factor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum pada unsure penegak hukum ini. Factor-faktor tersebut dapat berasal dari diri penegak hukum itu sendiri atau pun dari lingkungan luar, anatara lain:

a.Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;

b.Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi;

c.Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali membuat suatu proyeksi;

d.Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel;

e.Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

(12)

Sarana atau fasilitas yang dimaksud antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Dan lain-lain. Sarana dan fasilitas ini mempunyai peranan penting dalam proses penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, penegak hukum tidak mungkin dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang senyatanya.

4. Faktor masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kompetensi hukum itu tidak mungkin ada, apabila masyarakatnya:

a.Tidak mengetahui atau tidak menyadari, bahwa hak-hak mereka telah dilanggar atau diganggu;

b.Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingannya;

c.Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena factor-faktor keuangan, psikhis, social atau politik;

d.Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya;

(13)

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Kelima factor ini akan sangat mempengaruhi apakah penegakan hukum tersebut akan berjalan lancer atau akan mengalami hambatan-hambatan tertentu. Akibat adanya berbagai factor yang mengganggu, maka penegakan hukum sulit terwujud dalam bentuknya yang total.86

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menempuh pendekatan kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik criminal dan politik social dan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal. Sebagaimana ditegaskan Hoefnagels bahwa criminal policy as science of policy is part of a larger policy: the law enforcement policy. Jadi, kebijakan criminal bukanlah sebuah kebijakan yang berdiri sendiri, terlepas dengan kebijakn-kebijakan lain, tetapi ia harus dilihat pula dalam hubungannya dengan keseluruhan kebijakan social, sebab sebagai suatu kebijakan penegakan hukum, upaya ini termasuk didalam bidang kebijakan social. Maka dari itu, kebijakan criminal adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum dan kebijakan social.87

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal law policy

atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara

86 Ibid.

87

(14)

menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;

b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan lebih besar. 88

Apabila dipergunakan sarana penal/hukum pidana saja, maka ada keterbatasan didalamnya ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat berfungsi/bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negative), anatara lain:

a. Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam atau keras disebut sebagai ultimum remedium;

b. Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi, anatara lain: berbagai undang-undang organic, lembaga atau aparat pelaksana dan lebih menuntut biaya tinggi.

(15)

c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif atau paradoksal dan memandang unsure/atau efek samping yang negative;

d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum atau sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks diluar jangkauan hukum pidana;

e. Hukum atau sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana control social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);

f. System pemidanaan bersifat fragmentair dan individual atau personal, tidak bersifat structural atau fungsional;

g. Keefektifan pidana masih bergantung kepada banyak factor, karena itu masih sering dipermasalahkan.

(16)

a. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional;

b. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.89

Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, dan social defence.

90

1. Teori Retributif

Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justified” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana.

Niger Walker mengemukakan bahwa aliran retributive ini terbagi menjadi dua macam yaitu teori retributive murni dan teori retributive tidak murni.

Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:

89 Ibid. 90

(17)

a. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku;

b. Retributivst yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah. 91

Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus berancang dengan pandangan pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Teori retributive ini berpandangan, selama kita membatasi sanksi dalam hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar maka harus diperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan bahwa:

“Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tidak menyenangkan pada seseorang yang bertentangan dengan kehendak kecuali bila ia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang”.92

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak Menurut Romli Atmasasmita mempunyai tujuan pembenaran sebagai berikut:

91

Ibid, hlm. 71.

92

(18)

dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alas an untuk memudah tidak menghargai hokum. Tipe aliran retributive ini disebut vindicative;

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran ini disebut fairness;

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini disebut

proportionality.93

4. Teori Deterrence

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene

(1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat. Bentham berpendapat bahwa keberadaan Negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemikirannya dilatarbelakangi oleh rasa ketidak puasan terhadap undang-undang

93

(19)

dasar inggris sehingga ia mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner.

Beccaria dengan konsep kontrak social, mengatakan bahwa tiap individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaan secukupnya kepada Negara agar masyarakat itu dapat hidup. Oleh karena itu hukum seharusnya hanya ada untuk melindungi atau mempertahankan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Alasan untuk penjatuhan pidana untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang dari melakukan kejahatan. Jeremy Bentham, penganut utilitarian hedonist, dengan pernyataan sebagai berikut:

1.)Kebaikan yang terbesar harus untuk jumlah rakyat yang terbesar;

2.)Manusia merupakan ciptaan atau makhluk yang rational yang akan memilih secara sadar kesenangan dan mungkin dari kesusuhan.

3.)Prinsipnya adalah suatu perbuatan tidaklah dinilai oleh hal-hal yang mutlak, yang irrasional, tetapi oleh suatu system yang dapat diuji yaitu kebahagiaan yang terbesar.

Tujuan pidana menurut Bentham yaitu:

a. Mencegah semua pelanggaran;

b. Mencegah pelanggaran yang paling jahat;

(20)

d. Menekan kerugian atau biaya sekecil-kecilnya.94

Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributive. Insur kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan. Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian adalah untuk meningkatkan jumlah kumulatif (cumulative amount) dari kemanfaatan (utility) atau kepuasan hati (satisfaction).

3. Teori Treatment

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. 95

1. Determinisme Biologis

Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu:

Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.

2. Determinisme Cultural

94

R. Abdussalam, 2007, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, hlm. 29.

95

(21)

Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka pada pengaruh social, budaya dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. 96

b. Rejected legal definition of crime;

Secara lebih rinci, Reid mengemukakan cirri-ciri aliran positif ini sebagai berikut:

c. Let the punishment fit the criminal;

d. Doctrin of determinism;

e. Abolition of death penalty;

f. Empirical research, inductive method;

g. Indeterminate sentence.

Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan maka paham ini melihat bahwa system pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi factor yang menyangkut kehidupan natural manusia didunia ini, antara lain factor biologis dan factor lingkungan social. Oleh karena itu aliran positif bersandarkan pada paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh factor-faktor tadi. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut system “indefinite sentence”, yaitu pidana yang dijatuhkan

96

(22)

tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda.

Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol.97

a. Kehendak bebas (free will) adalah suatu ilusi saja karena tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengubahnya;

Herbert L. Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali paham retributive dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali mengkaji aliran klasik dengan tujuan deterrence karena menurutnya lebih berguna sebagai starting point untuk mengkaji secara kejahatan dan pemidanaan secara rasional serta lebih integral. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan aliran klasik yang disebutkan sebagai behavioralisme.

Menurut Helbert L. Packer ada empat pokok pikiran behavioralisme yaitu:

b. Tanggung jawab moral merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk;

c. Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikanny;

d. seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku mereka yang telah melakukan kejahatan (perbuatan anti social) sehingga mereka

97

(23)

tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa yang akan datang, atau jika semua tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka untuk melakukan kejahatan dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan pidana kurungan. 98

4. Teori Social Defence

Social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence ini (setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran yaitu aliran yang radikal (ektrim) dan aliran yang moderat (reformis).

Pendapat yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La

Pena). Gramatica berpendapat bahwa : “hukum perlindungan social harus

menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib social dan bukan pemidanaan te rhadap perbuatannya”.

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Prancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “perlindungan social baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat adanya tertib social, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai

(24)

dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi susai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Beberapa pandangan menurut Moderat yaitu:

a. Pandangan Moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat kedalam konsepsi baru hukum pidana;

b. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri;

c. Dalam menggunakan system hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan social. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.99

Kebijakan penal dalam hukum pidana positif yang masih belum berorientasi pada korban dalam arti konkrit, menunjukkan masih kuatnya pengaruh aliran klasik dan aliran modern, baik terhadap para sarjana hukum asing maupun sarjana hukum kita. Hal itu dapat dibukt ikan, yaitu seperti rumusan mengenai tujuan system sanksi yang ditulis oleh Nigel Walker yang dikutipnya dari pendapat Montero bahwa sanksi pidana itu ditujukan to protect offenders and suspected offenders against unofficial retaliation. Demikian juga, yang ditulis oleh Smith dan Hogan bahwa

much modern penal legislation is directed to the rehabilitation of the offender.

100

Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan kriminal. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa konsep dan

99

Mahmud Mulyadi, Loc. Cit.

100

(25)

defenisinya masih terlalu lemah sehingga orang cenderung untuk membicarakan pencegahan kejahatan dalam kerangka pendekatan model. Secara tradisional, tujuan system peradilan pidana bersifat refresif dan berkait dengan pencegahan kejahatan setelah kejahatan terjadi (after an offence had already occurred). Konsep pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan diri pada campur tangan social, ekonomi, dan berbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah sebelum kejahatan terjadi (to prevent crime before an offence has been committed).

Dengan demikian, pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang tujuan khususnya adalah untuk membatasi meluasnya kekerasan kejahatan, entah melalui pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan masyarakat umum. 101

Dalam peristiwa 11 September 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan secara global. Aksi terjadinya teror Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu No. 1/2002, Perpu No. 2/2002 dan Inpres No. 4/2002. Landasan hukum tersebut di atas, diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam No: Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan terorisme. Hampir semua negara telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengiungkapan kasus bom Bali, terutama dalam proses investigasi untuk menangkap para pelaku teror dan

101

(26)

mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya.

Dengan tertangklapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan multi-agency, multi-internasional dan multi-nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme. 102

Hasil investigasi Kasus bom Bali dan Makasar telah mengungkapkan fakta-fakta yang jelas tentang keterkaitan antara para pelaku dari kelompok radikal militan lokal dengan jaringan terorisme internasional Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba'asyir. PBB telah menetapkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi terorism e internasional dan merupakan bagian dari jaringan Al Qaeda. Al Qaeda memulai infiltrasinya melalui orang-orang radikal Indonesia yang berada di Malaysia. Pada tahun 1992 Abdullah Sungkar mendirikan Jamaah Islamiyah setelah ia bertemu dengan Osaama bin Laden di Afghnistan dan menetapkan secara resmi bahwa Jamaah Islamiyah adalah Assosate Group dari Al Qaeda. Selam a di Malaysia Al Qaeda mengembangkan Jamaah Islamiyah menjadi suatu Pan Asia Network. Jamaah Islamiyah kemudian mengkumandangkan suatu perjuangan jihad untuk membentuk Daulah Islamiyah

102

(27)

yaitu suatu Republik Islam yang mencakup Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam dan Fhilipina Selatan.

Pada tahun 1998 Abu Bakar Ba'asyir menjadi pimpinan Jamaah Islamiyah yaitu suatu organisasi regional dan mengikuti model organisasi Al Qaeda dengan Amir sebagai kepala (Abu Bakar Ba'asyir) dibantu oleh suatu shura regional yang terdiri atas Ridwan Isamudin alias Hambali (Operation Head), Muhammad Iqbal dan Fais Abu Bakar Bafana. Shura regional berpusat di Malaysia (termasuk Singapura), shura Indonesia dan shura Philipina Selatan. Shura regional berpindah ke Indonesia pada tahun 2000 berpusat di Surakarta.

Karakteristik Psikologis dan Sasaran Terorisme

1. Karakteristik Psikologi Terorisme

Berdasarkan hasil studi dan pengalaman empiris dalam menangani terorisme yang dilakukan oleh PBB dapat disimpulkan beberapa karakteristik psikologi dari pelaku-pelaku teroris sbb:

a. Bahwa para teroris umumnya mempunyai persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara nyata atau khayalan.

b. Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut harus diubah.

c. Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh.103

d. Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan yang penting tujuan tercapai.

103

(28)

e. Pilihan tindakan pada hakekatnya berkaitan dengan idiologi yang dianut dan tujuan yang oleh pelaku dirasakan sebagai kewajiban.

f. Oleh karena itu konsep deteren konvensional tidak efektif lagi dalam upaya pemberantasan terorisme.

g. Tanpa upaya resosialisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat, mereka akan lebih radikal dan para pengagum akan berbuat kekerasan lebih lanjut dan menjadikan mereka sebagai pahlawan (dan korban sekaligus).

2. Sasaran Terorisme

Pada umumnya sasaran teroris baik manusia maupun obyek lain dipih secara random bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau dipilih secara seksama untuk menghindari reaksi negatif publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. Sasaran strategis teroris adalah sebagai berikut:

a. Menunjukan kelemahan alat-alat kekuasaan (aparatur pemerintah).

b. Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat.

c. Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris.

d. Menggunakan media massa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris.

(29)

akan pernah dapat dilakukan secara efektif dalam mencegah aksi teror. Dana yang diperlukan untuk itu sangat besar dan dibutuhkan pengalikasian perhatian dan sumber daya yang sangat besar secara terus menerus dan melelahkan. Hal ini disebabkan oleh sulitnya diduga cara atau pilihan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku dengan karakteristik psikologis seperti diuraikan terdahulu yaitu bahwasanya pelaku siap memberikan pengorbanan dan siap menanggung resiko secara pribadi. Pengorbanan bagi mereka adalah kewajiban dan kebanggaan sebagai pengabdian menurut pemahaman ideologi mereka.

Bentuk tindakan teror dapat terjadi dalam berbagai macam namun yang paling populer adalah pengeboman, serangan bersenjata, pembunuhan, penculikan, pembajakan dan penyanderaan dan penggunaan senjata pembunuh massal (kimia, biologi, radioaktif, nuklir/CBRN). Sasaran teror dapat berupa individu, organisasi, komuitas tertentu maupun negara. Selain itu teror dapat ditujukan secara external misalnya sebagai bentuk balas dendam, delegitimasi pemerintahan, perjuangan mencapai tujuan ideologi dan politik, atau hanya sekedar menciptakan keresahan meluas dikalangan masyarakat. Latar belakang atau motif yang mendasari aksi teror di Indonesia dapat bersumber dari beberapa hal sebagai berikut :

1. Extrimisme ideology keagamaan.

(30)

Mereka meyakini dirinya paling benar dan paling dekat dengan ambang pintu Tuhan. Berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian adalah

take off menuju rumah primordial, rumah surgawi. Sikap radikalisme seperti

inilah yang setiap saat bisa melahirkan bencana sosial politik. Dan sikap seperti ini pula yang mendasari aksi kekerasan yang mereka sebut sebagai jihad dalam aksi teror bom Bali, Makasar dan berbagai aksi teror sebelumnya seperti bom Natal 2000 serta tindakan anarkis seperti sweeping warga negara Amerika, perusakan tempat hiburan dan sebagainya. Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk Islam terbesar dimana diantaranya terdapat kelompok-kelompok radikal dengan motifasi seperti di atas. Ini berarti bahwa potensi terjadinya aksi teror di masa depan sangat besar terlebih – lebih dengan proses transformasi kemasyarakat demokratis yang penuh dengan konflik kepentingan. Diperlukan upaya keras dalam memerangi terorisme untuk menjamin keselamatan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. 104

2. Nasionalisme kesukuan yang mengarah pada separatisme. Kelompok ini melakukan aksi teror dengan tujuan memperoleh kemerdekaan politik. Hal ini terutama didorong oleh keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas atau keinginan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pembagian hasil sumber daya yang berada di wilayah yang bersangkutan. Disamping itu perasaan diperlukan tidak adil oleh pemerintah pusat, ketimpangan ekonomi dan sosial

104

(31)

adalah merupakan penyebab salah satu terjadinnya terorisme. Sasaran utama mereka umumnya adalah kantor-kantor pemerintah.

3. Kelompok kepentingan tertentu yang ingin menimbulkan kekacauan, cenderung melakukan aksi teror demi kepentingan tertentu baik di bidang politik,ekonomi dan sosial dengan tujuan melindungi kepentingan seperti untuk menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan dimasa lalu atau sebagai bargaining untuk mendapatkan posisi tertentu di bidang politik, ekonomi dan sosial. Dengan demikian dimasa datang terorisme tetap akan menjadi masalah serius. Ketidakstabilan situasi politik yang kecenderungannya akan terus berlanjut, krisis ekonomi yang masih belum pasti jalan keluarnya, perkembangan tekhnologi terutama di bidang informasi dan komunikasi, senjata pemusnah massal, akan merupakan faktor-faktor yang cukup signifikan. Kemajuan tekhnologi cyber telah terbukti menjadi salah satu faktor terpenting dalam menjalin koordinasi antar kelompok gerakan teroris dan dimanfaatkan sebagai alat untuk menghimpun dana serta untuk mengadakan rekrutmen anggota kelompok teroris menjadi semakin mudah dilakukan dan relatif sulit dilacak sementara gerakan teroris dan penyebarannya menjadi semakin intensif. Di lain pihak kemampuan pemerintah dalam membiayai upaya pemberantasan terorisme sangat terbatas.

Hambatan Dalam Pemberantasan Terorisme.

(32)

2. Adanya kesan bahwa negara maju menerapkan standard ganda dalam menghadapi terorisme. Pandangan ini merujuk pada sikap negara maju dalam penanganan konflik berlarut-larut di Timur Tengah. Persepsi terhadap kondisi ini sekaligus merupakan motif paling signifikan bagi maraknya aksi teror yang berbasis pada fundamentalisme garis keras serta kelompok-kelompok radikal militan di berbagai bangsa.

3. Adanya kesan cukup kuat bahwa langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Dan oleh karenanyasetiap hasil investigasi hanya sekedar upaya pembenaran skenario asing dan proses peradilannya pun dipaksakan menuruti ketentuan hukum yang telah di desain untuk melindungi kepentingan negara maju.

4. Adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sisten hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak azasi manusia, serta membungkam hak-hak politik masyarakat dan memasung kreatifitas serta menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. 105

Kebijakan Dasar Dalam Pemberantasan Terorisme

1. Perang melawan teror ialah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

(33)

2. Bahwa kebijakan dan langkah pemerintah untuk menyusun undang-undang tentang pemberantasan terorisme bukan karena tekanan negara-negara maju. 3. Langkah-langkah pemberantasan terorisme tidak melanggar HAM tapi justru

untuk melindungi HAM. Adanya undang-undang pemberantasan terorisme untuk memberikan kepastian hukum dan memberi batas-batas yang jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tindakan yang tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh aparat.

4. Bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak diskriminatif. Undang-undang terorisme tidak ditujukan pada suatu kelompok manapun. Siapapun yang melakukan perbuatan teror akan diperlakukan sama sesuai perbuatannya dan tanpa melihat latar belakang etnis maupun agamanya.

5. Bahwa undang-undang terorisme didasarkan pada 3 paradigma.

6. Bahwa kerjasama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan karena gerakan terorisme mempunyai jaringan global dan hal ini merupakan perwujudan upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu turut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi.

7. Bahwa terorisme internasional ataupun terorisme lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional merupakan ancaman bagi kemanusiaan dan sangat membahayakan ketertiban dan keamanan dunia termasuk bansa dan negara RI.

(34)

masyarakat luas untuk segera melaporkan jika menemukan kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme.

9. Bahwa dalam perang melawan terorisme perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemptif maupun rehabilitasi. Pengalaman bebagai negara menerapkan konsep yang hanya mengutamakan tindakan represif dengan kekuatan bersenjata ataupun dengan penegakan hukum secara tegas bagaimanapun tidak akan efektif menghentikan terorisme. Selain langkah represif dan preventif kita harus menyentuh akar terorisme (roots of terrorism) melalui langkah-langkah resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat.

MISI

Misi nasional dalam pemberantasan terorisme adalah menghentikan aksi terorisme yang mengancam kehidupan bangsa, warga negara dan kepentingan nasional serta menciptakan lingkungan internasional yang tidak menyuburkan terorisme. Untuk memenuhi misi ini harus dilaksanakan upaya-upaya strategis sebagai berikut :

(35)

penanganan aksi teror dalam suatu sistem keterpaduan dan koordinasi yang efektif.

2. Meningkatkan kesiap-siagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris dan tempat umbuh suburnya ideologi terorisme.

3. Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat di eksploitasi menjadi alasan pembenaran aksi teroris seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan SARA.

4. Melindungi bangsa, warganegara dan kepentingan nasional

Kemenangan perang melawan terorisme dapat dicapai melalui upaya yang berkelanjutan menekan ruang lingkup dan kapabilitas organisasi teroris, mengisolasi teroris serta menghancurkannya. Kemenangan hanya dapat dicapai selama pemerintah dan rakyat memelihara kesiapsiagaan dan bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencegah teroris melakukan tindakan yang membawa bencana.106

2. peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris, terutama satuan kewilayahan;

Arah kebijakan yang ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2005 – 2009 adalah sebagai berikut:

1. penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;

106

(36)

3. pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini potensi aksi terorisme;

4. penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang radikal,

5. peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target kegiatan terorisme;

6. sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;

7. pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach)

untuk mencegah rekrutmen kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah tertangkap.

(37)

kelompok tertentu dan dilakukan melalui koordinasi antarinstansi terkait dan komunitas intelijen serta partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. Di samping itu, diterapkannya strategi demokrasi serta diberikannya kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya Secara positif dan terbuka sesuai dengan koridor hukum.107

1. Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance);

Dalam perang melawan terorisme diperlukan upaya komprehensif secara instans dan lintas Negara. PBB melalui United Nations Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komprehensif sebagai berikut:

2. Aspek ekonomi dan social (economic and social);

3. Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology, communication, education);

4. Peradilan dan hokum (judicial and law);

5. Aspek kepolisian dan system pemasyarakatan (police and prison system); 6. Aspek intelijen (intelligent);

7. Aspek militer (military); 8. Aspek imigrasi (immigration).

Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang serta sejumlah Negara lain menganggap semua terorisme sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasionalnya seperti halnya dengan tindakan criminal. Amerika Serikat

(38)

dan Australia misalnya bertekad untuk menggunakan semua daya guna mencegah, menghambat, mengalahkan, serta membalas semua serangan teroris, baik di dalam negeri dan diperairan internasional maupun di Negara asing.

Strategi pemberantasan terorisme diimplementasikan melalui upaya represif, preventif, preemptif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung.108

a. Upaya Represif

1. Peradilan dan Perundang-undangan

a. Pembentukan undang-undang yang khusus ditujukan untuk pemberantasan terorisme.

b. Pertukaran informasi dengan Negara-negara lain.

c. Meratifikasi konvensi-konvensi internasional dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan upaya melawan terorisme. d. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan Negara lain.

e. Merevisi undang-undang dan ketentuan yang kontraproduktif dalam pemberantasan terorisme.

f. Penyetaraan ancaman hukuman terhadap pelaku teror sesuai ancaman hukuman yang berlaku diberbagai Negara dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

g. Pemberian perlindungan saksi. h. Mempercepat proses peradilan.

108

(39)

i. Penerapan peradilan khusus. j. Penerapan pengadilan in absentia. 2. Investigasi

a. Melakukan olah TKP secara professional.

b. Melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuia ketentuan hokum dengan menghindari terjadinya pelanggaran HAM serta penyimpangan lainnya.

c. Kerjasama internasional dalam penyidikan termasuk kerjasama penggunaan teknologi mutakhir dalam penyidikan.

d. Kerjasama internasional di bidang teknis seperti laboratorium, cyber forensic, communication forensic, surveillance, identifikasi dan dukungan teknis lainnya.

e. Pelatihan penyidik di bidang investigasi pasca pemboman. f. Memperbanyak dan mengintensifkan informasi.

g. Latihan simulasi satuan-satuan anti teror TNI dan Polri dalam penanganan terorisme.

h. Mengungkap jaringan teroris secara tuntas. i. Pembebasan sandera.

j. Pembekuan aset organisasi teroris dan kelompok yang berkaitan dengan terorisme.

k. Pelaksanaan undang-undang pencucian uang secara konsisten.

(40)

3. Intelijen

a. Penggunaan teknologi mutakir untuk melakukan surveillance dan intersepsi. b. Penyusupan ke dalam organisasi teror.

c. Pengembangan system deteksi dini.

d. Pertukaran informasi intelijen dengan Negara lain. e. Pembangunan database terorisme.

f. Deteksi dini terhadap provokasi ke arah permusuhan bernuansa SARA dan kebencian terhadap kelompok, agama atau Negara tertentu.

4. Militer

a. Serangan ke markas teroris untuk penangkapan. b. Pembebasan sandera.

c. Pengamanan VIP dan instalasi vital. d. Penyiapan pasukan khusus anti teroris.109 b. Upaya Preventif

1. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api. 2. Peningkatan pengamanan terhadap system transportasi.

3. Peningkatan pengamanan sarana public.

4. Peningkatan pengamanan terhadap system komunikasi. 5. Peningkatan pengamanan terhadap VIP.

6. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatic dan kepentingan asing. 7. Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi serangan teroris.

8. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional.

109

(41)

9. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.

10.Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu ke luar masuk.

11.Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan sebagainya). 12.Harmonisasi kebijakan visa dengan Negara tetangga.

13.Penertiban pengeluaran kartu tanda penduduk dan administrasi kependudukan. 14.Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror.

15.Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa.

16.Kampanye anti terorisme melalui media massa meliputi:

a. Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris. b. Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teror. c. Penggunaan public figures terkenal untuk mengutuk aksi teroris.

d. Pemanfaatan eks pelaku teroris yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.

e. Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan.

f. Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk menggubah empati dan solidaritas masyarakat agar bangkit melawan terorisme.

17.Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme. 18.Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.

19.Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.110 c. Upaya Preemptif

110

(42)

1. Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir eketrimisme dan radikalisasi pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis keras. 2. Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai berikut:

a. Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok radikal.

b. Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah pada tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog, negosiasi dan sebagainya.

c. Penawaran konsesi politik bagi kelompok-kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi gerakan formal secara konstitusional.

3. Perlibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan ideology dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.

4. Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.

5. Program bidang social-ekonomi, antara lain: a. Pengentasan kemiskinan.

b. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. c. Penciptaan lapangan kerja.

(43)

e. Pengendalian kurikulum pendidikan terutama di bidang keagamaan untuk mencegah disusupkannya ideology keagamaan untuk mencegah dsusupkannya ideology-ideologi ekstrem-radikal dalam proses pendidikan.

d. Upaya Resosialisasi dan Rehabilitasi

1. Para pelaku teroris yang telah dicuci otaknya dengan ideology ekstrim atau radikal sehingga ekstrim pelaku dapat diresosialisasikan dan direintegrasikan ke dalam cara-cara berpikir normal kehidupan kemasyarakatan.

2. Perbaikan sarana prasarana serta fasilitas public yang rusak. 3. Normalisasi pelayanan public dan kegiatan masyarakat.111 e. Pengembangan Infrastruktur Pendukung

1. Dukungan melalui bantuan internasional untuk pengadaan peralatan dan teknologi canggih untuk melawan terorisme bagi Polri, Intelijen, TNI dan fasilitas koordinasi.

2. Peningkatan kualitas SDM satuan-satuan pelaksana lapangan (Polri, TNI, Intelijen serta instansi terkait lainnya).

3. Peningkatan kualitas SDM di jajaran penegak hukum (penyidik-jaksa-hakim) dalam proses peradilan terorisme agar setara dengan Negara-negara lain.

4. Pembangunan kapasitas organisasi lembaga koordinasi agar efektif dalam mengantisipasi perkembangan ancaman terorisme yang diperkirakan akan terus berlanjut.

111

(44)

5. Penetapan kelembagaan secara permanen dengan besaran organisasi sesuai skala perkembangan kegiatan pemberantasan terorisme dengan personil yang permanen pula.

6. Pengembangan jaringan kerja melalui kemitraan dengan instansi pemerintah dan lembaga non-pemerintah terkait dalam upaya pemberantasan terorisme.

7. Pengembangan kemitraan untuk kajian dan sosialisasi terorisme dengan lembaga akademik independen dan netral.

8. Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan partisipasi dalam memenangkan perang melawan ideology terorisme.112

B. KEBIJAKAN NON PENAL (NON PENAL POLICY)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.113

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); 112

Ibid., hlm. 168-169. 113

(45)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).114

Jadi, selain criminal law application (kebijakan penal) masih ada dan dimungkinkan prevention without punishment (nonpenal). Untuk itu, perlu memperhatikan alternative-alternatif kebijakan lain yaitu pendekatan nonpenal. Pendekatan nonpenal dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana (nonpenal). Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan nonpenal diorentasikan pada upaya-upaya untuk menangani factor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan. 115

a. Pencegahan primer (primary prevention) yang diarahkan baik pada masyarakat sebagai korban potensial maupun para pelaku-pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku potensial.

Dalam meminjam terminology yang berlaku du dunia medis, Muladi membedakan berbagai tipologi tindakan pencegahan (prevention without punishment). Tipologi-tipologi tersebut antara lain sebagai berikut:

b. Pencegahan sekunder (secondary prevention). Berbeda dengan yang pertama, pada bentuk pencegahan sekunder ini, tindakan diarahkan pada kelompok pelaku atau pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai

114

Barda Nawawi Arief, loc. Cit.

115

(46)

contoh adalah dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan kejahatan pencurian kendaraan bermotor.

c. Pencegahan tersier (tertiary prevention). Dalam hal ini pencegahan diarahkan pada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya recidivist offender maupun recidivist victim.116

Factor-faktor kondusif antara lain berpuat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Sehubungan dengan factor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan tersebut, Kongres PBB ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3 mengidentifikasikannya sebagai berikut:

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan system pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi;

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mampunyai prospek (harapan) karena proses integrasi social, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan social;

c. Mengendornya ikatan social dan keluarga;

d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beerimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

(47)

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian atau kelemahan di bidang social, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga;

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, dilingkungan keluarga atau familinya, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

h. Penyalahgunaan alcohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena factor-faktor yang disebut diatas;

i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;

j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).117

Upaya nonpenal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan social dan lingkungan hidup yang sehat (secara material dan immaterial) dari factor-faktor kriminogen (factor-faktor yang

117

(48)

mendorong timbulnya tindak pidana-pen). Berdasarkan factor-faktor penyebab kejahatan secara umum dan motif-motif dilakukannya terorisme, dapat diambil kebijakan nonpenal guna menanggulangi tindak pidana terorisme. Kebijakan nonpenal tersebut terutama diarahkan pada:

a. Pengentasan kemiskinan dan pengangguran terutama ditujukan pada pengangguran terpelajar;

b. Meningkatkan kemakmuran dalam keadilan;

c. Menekan laju peledakan penduduk;

d. Mengurangi tingkat urbanisasi ke kota-kota atau Negara-negara lain;

e. Memulihkan rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli;

f. Pemotongan sel-sel dalam organisasi terorisme;

g. Pendeteksian dini atas adanya ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada teror dan paham-paham fanatisme baru;

h. Peningkatan kewaspadaan masyarakatan atas tindakan teror;

i. Pengakomodasian dan pengembangan sikap toleran atas prinsip (politik) yang berbeda;

j. Penghormatan dan menjamin kebebasan menjalankan keyakinan (agama)-nya.118

118

Ali Masyhar, loc. Cit.

(49)

Tindakan-tindakan non-penal mempunyai kedudukan strategis, karena ia menggarap masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Masalah strategis ini sangat mendapat perhatian dari kongres PBB keenam tahun 1980 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini terlihat dari resolusi yang berhubungan dengan masalah Crime trends and

crime prevention strategis. Beberapa pertimbangan menarik yang dikemukakan

dalam resolusi, antara lain:

a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang (the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people);

b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime);

c. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan social, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality; racial and national discrimination, low

standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the

population).119

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment),

119

(50)

yaitu antara lain pencegahan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja social), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative and civil law).

Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada didalam masyarakat (community crime

prevention). Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime

prevention antara lain:

a. Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang;

b. Pembinaan tenaga kerja;

c. Pendidikan;

d. Rekreasi;

e. Pembinaan mental melalui agama;

f. Desain tata ruang fisik kota.

Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(51)

Tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah local, tempay-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif;

2. Community defence

Program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegah kejahatan melalui mendesain lingkungan dan organisasi pengawasan masyarakat melaui neighbourhood watch.

3. Order maintenance

Pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar dijalanan.

4. Risk based program

Program ini menggunakan pendekatan untuk mencari factor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka.

(52)

Strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan social, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal.

6. Structural change

yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan.120

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik criminal dan politik social;

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal.

Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan social atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan factor-faktor kriminogen dan victimogen.121

120 Ibid. 121

Barda Nawawi Arief,2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana PerkembanganPenyususan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, hlm. 4.

Kelemahan dari pendekatan dalam merumuskan strategi pencegahan kejahatan sampai saat ini adalah penekanan yang dititikberatkan pada offender-oriented prevention. Padahal, perumusan atas dasar dimensi yang berbeda, yaitu

(53)

1. Pencegahan individual (individual prevention). Bentuknya antara lain system alarm kendaraan, system alarm rumah, CCTV, pengawal pribadi dan sebagainya;

2. Pencegahan masyarakat (societal prevention) yang dapat berupa siskamling swakarsan sebagaimana dikembangkan oleh POLRI dan lainnya. 122

Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi berdasarkan pendekatan pada :

a. Aspek Konflik kebudayaan yang terdapat dalam system social bersangkutan.123

Teori ini dikemukakan oleh Thorsten Sellin dalam bukunya yang berjudul

Culture Conflict and Crime. Sellin menyatakan bahwa terdapat suatu Conduct norm (norma tingkah laku) yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Norma tingkah laku ini bertujuan untuk mendefenisikan tingkah laku apa yang dianggap pantas (normal) dan apa yang dianggap tidak pantas (abnormal).

Sellin mengunggkapkan bahwa dikalangan pakar sosiologi belum punya formula yang tepat untuk memberi arti konflik budaya ini. Konflik budaya ini bisa saja dihasilkan proses perkembangan suatu budaya, bisa juga karena perkembangan masyarakat, atau bisa juga dihasilkan dari hasil migrasi conduct norms dari suatu budaya yang kompleks ke wilayah budaya lainnya.

122

Ibid., hlm. 86.

123

(54)

Sellin menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para imigran disebabkan oleh:

a. Adanya konflik antara norma prilaku yang lama dan norma prilaku yang baru;

b. Perpindahan situasi dan kondisi lingkungan desa ke kingkungan perkotaan;

c. Transisi dari kehidupan masyarakat homogeny yang terorganisir kepada masyarakat heterogen yang tidak terorganisir. 124

b. Teori Anomi

Teori Anomi, pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim (1858-1917) sebelum akhir abad ke-19. Durkheim mengenalkan istilah “Anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat didalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar-standar yang mengatur kehidupan”.

Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan social yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan social yang tanpa norma (anomie).

Teori Merton, ada dua komponen didalam masyarakat yang menentukan terjadinya ketertiban, yaitu: tujuan bersama dalam masyarakat (the same goals

124

(55)

in society) dan sarana atau alat yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut

(acceptable means).

Merton menekankan pengaruh struktur social sebagai factor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang dugunakan dalam mencapai tujuan tersebut. 125

1. Conformity merupakan perilaku yang terjadi manakah tujuan dan cara yang sudah ada di masyarakat diterima dan melalui sikap seseorang memperoleh keberhasilan.

Marton mengemukakan 5 (lima) bentuk kemungkinan pengadaptasian yang dapat terjadi didalam setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan yang sudah membudaya (goals) dan tata cara yang sudah melembaga (means), yaitu:

2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan yang

membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang mengatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya.

3. Ritualism, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi pada

kelompok “lower-middle class”.

4. Retreatism, mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan

kemasyarakatan, termasuk antara lain penyalahgunaan narkotika.

125

(56)

5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujuan untuk melakukan perubahan-perubahan kondisi social, ekonomi, politik, dengan maksud untuk “introduce a social structure in which the cultural standards of success would be sharply mdified and provision would be made for a

closer correspondence between merit, effort and reward”. 126

c. Teori Differential Association

Teori ini dikemukakan Edwin H. Sutherlan dalam dua versi yaitu pertama tahun 1939 dan versi kedua tahun 1947. Menurut Sutherlan, perilaku criminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan social dan tidak diwariskan dari orang tua.

Menurut Sutherlan bahwa perilaku criminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku criminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku criminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Ketika tingkah laku criminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk:

a. Teknik-teknik melakukan kejahatan;

b. Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap.

Asosiasi differensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku criminal melalui asosiasi dengan pola-pola tingkah laku criminal dan anti criminal

126

(57)

melibatkan setiap mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku criminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku criminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non criminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.127

d. Teori Sub Budaya (Sub Culture)

Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen yang digunakan dalam kerangka menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku dikalangan remaja Amerika, yang bercirikan gang-gang jalanan. Cohen ingin menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku kejahatan di daerah kumuh (slum). Cohen menyatakan bahwa perilaku kejahatan dikalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhada

Referensi

Dokumen terkait