• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

BAB III. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

B. Tinjauan Yuridis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Dari yang diatas tersebut pada butir 3) dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan melawan hokum. Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hokum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hokum tanpa adanya kesalahan.

Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hokum. 40

Eksistensi pertanggungjawaban dapat diawali dengan kata pertanggungjawaban, yang kata dasarnya adalah tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatu (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan). Sedangkan pertanggungjawaban berarti perbuatan bertanggung jawab, sesuatu yang 39

Ibid.

40

dipertanggungjawabkan. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan terbukti bersalah/dapat dicela. Jadi, yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah dikenakannya penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela. Sehingga dijalaninya pidana oleh seseorang yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang harus diterima. Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat sanksi pidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar pidana pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dihukum karena perbuatannya tersebut. Dalam Syari’at Islam, unsure pertanggung jawaban pidana adalah:

a. Adanya perbuatan yang dilarang; b. Dilakukan dengan kemauan sendiri;

c. Pelaku mengetahui perbuatan dan akibat perbuatan. 41

41

KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan tindak pidana dengan kesengajaan atau kealpaan. Pada prinsipnya, perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

Undang-undang Terorisme merumuskan kesalahan (dalam arti sempit yaitu adanya kesengajaan dan kealpaan) secara lengkap. Dengan kata lain Undang- undang Terorisme mengatur tindak pidana terorisme yang dilakukan dengan cara sengaja maupun kealpaan.

Pasal-pasal yang secara tegas merumuskan kata “dengan sengaja” ditegaskan dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8 huruf c, huruf e, huruf f, huruf I, huruf m, dan huruf n, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 22. Sedang kata “karena kealpaan” dirumuskan secara tegas dalam pasal 8 huruf d, dan huruf g. 42

Dalam hal pertanggungjawaban pidana unsure yang paling fundamental adalah unsure kesalahan, sebab seseorang atau kelompok tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Kaitannya dengan tindak pidana terorisme tentunya kesalahan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme berarti perbuatan yang melanggar hokum pidana terorisme. Untuk mengetahui

42

tentang pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan terorisme paling tidak kita harus paham dan mengerti tentang hirarki organisasi terorisme.43

Sementara itu dalam konteks hukum pidana, kesalahan terdiri dari 2 (dua) yaitu:

44

1. Kesengajaan (dolus/opzet)

Dalam bahasa Belanda disebut “Opzet” dan dalam bahasa Inggrisnya disebut “intention” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “sengaja” atau “kesengajaan”.

Menurut Prof. Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai berikut “opzet” dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Alasan mengartikan sengaja dalam peristiwa pidana sebagai niat/itikad yang diwarnai sifat melawan hukum dan dimanifestasikan dalam bentuk sikap tindak, ialah karena:

a. Perumusan itu hanya terbatas pada perbuatan melanggar hukum, yang berlangsung ditujukan pada dasarnya;

b. Untuk niat sebagai suatu bagian dari proses psikis merupakan kejadian/keadaan yang tak dapat dilihat atau dipegang yang mempunyai bentuk variasi dan dapat

43

Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 96.

44

berkembang dan menyempit tergantung pada budaya lingkungan serta kepribadian orangnya. 45

Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yaitu:

46

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai maksud seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi. 47

Pada contoh diatas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya disebut dengan motif. Adapun “maksud”, adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini menghilangnya nyawa B. sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.

contoh sebagai berikut: A bermaksud membunuh B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.

48

45

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, op. cit., hlm. 51.

46

Laden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15.

47

Andi Hamzah, loc. Cit.

48

Laden Marpaung, loc. Cit.

2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan sutatu akibat tertentu. Tetapi disamping akibat yang dituju teersebut si pelaku insyaf/ menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan untuk mencapai/menimbulkan akibat lain (yang tidak dikehendaki). Dengan demikian dalam hal ini perbuatan si pelaku tersebut telah menimbulkan dua akibat, yaitu:

a. Akibat yang tertentu (yang merupakan tujuan si pelaku)

b. Akibat lain yang dilarang dan diancam dengan hukuman, oleh karena itu yang pasti/harus timbul dengan dilakukannya perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentun itu

c. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan.49

Prof. Satochid Kartanegara, SH, memberi contoh sebagai berikut:

Kehendak A untuk membunuh B. dengan membawa senjata api, A menuju rumah B. akan tetapi ternyata setelah samapai dirumah B, C berdiri di depan B. disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C berdiri didepan B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudian B, hingga C dan B mati. 50

49

A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, hlm. 80-81.

50

Leden Marpaung, loc. Cit.

3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus Eventualis)

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.

Lamintang menjelaskan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) sebagai berikut:

“pelaku yang bersangkutan pada waktu itu melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatui akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jadi, jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan mempunyai suatu kesengajaan.”51

Pasal 7

Pasal-pasal yang merumuskan kata “dengan sengaja” yaitu: Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut.

51

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut.

Pasal 8

Dengan sengaja terorisme terhadap pesawat udara dan bangunan serta perlengkapan untuk kepentingan pengamanan pesawat udara.

pasal 10

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya.

Pasal 11

Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Pasal 12

Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya.

pasal 13

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Pasal 22

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang