• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. KEBIJAKAN NON PENAL (NON PENAL POLICY)

6. Structural change

yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan.120

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik criminal dan politik social;

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal.

Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan social atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan factor-faktor kriminogen dan victimogen.121

120 Ibid. 121

Barda Nawawi Arief,2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana PerkembanganPenyususan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, hlm. 4.

Kelemahan dari pendekatan dalam merumuskan strategi pencegahan kejahatan sampai saat ini adalah penekanan yang dititikberatkan pada offender- oriented prevention. Padahal, perumusan atas dasar dimensi yang berbeda, yaitu

victim-oriented prevention, tidak kalah pentingnya. Tipologi pencegahan lain yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan individual (individual prevention). Bentuknya antara lain system alarm kendaraan, system alarm rumah, CCTV, pengawal pribadi dan sebagainya;

2. Pencegahan masyarakat (societal prevention) yang dapat berupa siskamling swakarsan sebagaimana dikembangkan oleh POLRI dan lainnya. 122

Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi berdasarkan pendekatan pada :

a. Aspek Konflik kebudayaan yang terdapat dalam system social bersangkutan.123 Teori ini dikemukakan oleh Thorsten Sellin dalam bukunya yang berjudul

Culture Conflict and Crime. Sellin menyatakan bahwa terdapat suatu Conduct norm (norma tingkah laku) yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Norma tingkah laku ini bertujuan untuk mendefenisikan tingkah laku apa yang dianggap pantas (normal) dan apa yang dianggap tidak pantas (abnormal).

Sellin mengunggkapkan bahwa dikalangan pakar sosiologi belum punya formula yang tepat untuk memberi arti konflik budaya ini. Konflik budaya ini bisa saja dihasilkan proses perkembangan suatu budaya, bisa juga karena perkembangan masyarakat, atau bisa juga dihasilkan dari hasil migrasi conduct norms dari suatu budaya yang kompleks ke wilayah budaya lainnya.

122

Ibid., hlm. 86.

123

Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, UMM Press, Malang, hlm. 104.

Sellin menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para imigran disebabkan oleh:

a. Adanya konflik antara norma prilaku yang lama dan norma prilaku yang baru; b. Perpindahan situasi dan kondisi lingkungan desa ke kingkungan perkotaan; c. Transisi dari kehidupan masyarakat homogeny yang terorganisir kepada

masyarakat heterogen yang tidak terorganisir. 124 b. Teori Anomi

Teori Anomi, pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim (1858-1917) sebelum akhir abad ke-19. Durkheim mengenalkan istilah “Anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat didalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar-standar yang mengatur kehidupan”.

Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan social yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan social yang tanpa norma (anomie).

Teori Merton, ada dua komponen didalam masyarakat yang menentukan terjadinya ketertiban, yaitu: tujuan bersama dalam masyarakat (the same goals

124

in society) dan sarana atau alat yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut

(acceptable means).

Merton menekankan pengaruh struktur social sebagai factor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang dugunakan dalam mencapai tujuan tersebut. 125

1. Conformity merupakan perilaku yang terjadi manakah tujuan dan cara yang sudah ada di masyarakat diterima dan melalui sikap seseorang memperoleh keberhasilan.

Marton mengemukakan 5 (lima) bentuk kemungkinan pengadaptasian yang dapat terjadi didalam setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan yang sudah membudaya (goals) dan tata cara yang sudah melembaga (means), yaitu:

2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan yang

membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang mengatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya.

3. Ritualism, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi pada

kelompok “lower-middle class”.

4. Retreatism, mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan

kemasyarakatan, termasuk antara lain penyalahgunaan narkotika.

125

5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujuan untuk melakukan perubahan-perubahan kondisi social, ekonomi, politik, dengan maksud untuk “introduce a social structure in which the cultural standards of success would be sharply mdified and provision would be made for a closer correspondence between merit, effort and reward”. 126

c. Teori Differential Association

Teori ini dikemukakan Edwin H. Sutherlan dalam dua versi yaitu pertama tahun 1939 dan versi kedua tahun 1947. Menurut Sutherlan, perilaku criminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan social dan tidak diwariskan dari orang tua.

Menurut Sutherlan bahwa perilaku criminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku criminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku criminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Ketika tingkah laku criminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk: a. Teknik-teknik melakukan kejahatan;

b. Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi- rasionalisasi dan sikap-sikap.

Asosiasi differensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku criminal melalui asosiasi dengan pola-pola tingkah laku criminal dan anti criminal 126

melibatkan setiap mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku criminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai- nilai umum, tingkah laku criminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan- kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non criminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.127

d. Teori Sub Budaya (Sub Culture)

Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen yang digunakan dalam kerangka menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku dikalangan remaja Amerika, yang bercirikan gang-gang jalanan. Cohen ingin menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku kejahatan di daerah kumuh (slum). Cohen menyatakan bahwa perilaku kejahatan dikalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai- nilai kelompok kelas menengah yang mendominasikan budaya Amerika. Hal ini mengakibatkan kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya yang disebut “status frustration”. Akhirnya para pemuda kalangan bawah ini melibatkan diri dalam gang-gang dan berperilaku menyimpang yang sifatnya tidak bermanfaat (non-utilitirian), dengki (malicious) dan jahat (negativistic).128

1. Criminal subculture, bentuk-bentuk perilaku geng yang ditujukan untuk kepentingan pemebuhan uang atau harta benda.

Sub budaya yang mungkin terjadi menurut Cloward & Ohlin dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu:

127

Mahmud Mulyadi, op. cit., hlm. 107&109. 128

2. Conflict subculture, bentuk geng yang berusaha mencari status dengan menggunakan kekerasan.

3. Retreatist subculture, bentuk geng dengan ciri-ciri penarikkan diri dari tujuan dan peranan konvensional dan kemudian mencari pelarian dengan menyalgunakan obat/narkotika atau sejenisnya.129

e. Teori Differential Opportunity Structure

Teori ini dikemukakan oleh Cloward dan Ohlin yang dibangun atas dua asumsi, yaitu:

a. Bahwa terhalangnya aspirasi dibidang perekonomian yang disebabkan oleh kemiskinan sehingga secara umum menjadikan perasaan frustasi;

b. Bahwa frustasi ini mendorong kearah terjadinya kenakalan dalam konteks gang khusus, yang sifat kejahatannya secara alami bervariasi sesuai dengan struktur dan nilai konvensional dalam lingkungan pemuda.

Peyimpangan di wilayah perkotaan merupakan akibat dari adanya perbedaan yang dimiliki oleh pemuda untuk mencapai tujuan, baik yang sifatnya sah ataupun tidak sah. Bila kesempatan untuk memperoleh sesuatu secara legal terhalang, maka kejahatan kemungkinan besar terjadi dan bila kejahatan tidak terjadi, kecenderungan keterlibatan dalam penggunaan narkoba dan kekerasan akan terjadi.130

129

Kusno Adi, op. cit., hlm. 110. 130

Ibid.

Sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya pencegahan dan penanggulangan teroris di Indonesia pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Terungkapnya jaringan terorisme termasuk tertangkapnya tokoh-tokoh utama teroris.

2. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menanggulangi aksi teroris.

3. Meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman teroris secara keseluruhan.

Arah kebijakan yang akan ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan koordinasi dan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan menanggulangan teroris.

2. Memperkuat kesatuan anti terror dalam mencegah, menindak dan mengevakuasi aksi teroris.

3. Melaksanakan penegakan hukum penanggulangan teroris berdasarkan prinsip demokrasi dan HAM yang terbebas dari unsur diskriminasi dan pendiskreditan. 4. Peningkatan operasional penggulangan aksi teroris melalui penangkapan tokoh-

tokoh utama pelaku teroris.

5. Peningkatan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi aksi-aksi teroris.131

Terorisme sebagai bentuk ancaman non tradisional tidak dapat dihadapi dengan teori-teori Clausewitz, Jomini atau pendekatan dan pola-pola konvensional lainnya. Terorisme harus dihadapi dengan counter-terrorism. Dalam hal ini kunci keberhasilan terletak pada keikutsertaan seluruh bangsa untuk memeranginya. Disadari bahwa terorisme merupakan isu yang sangat sensitive.

Langkah-langkah Penanganan Terorisme yaitu:

1. Perang melawan teroris merupakan kebutuhan mendesak dan dilaksanakan untuk melindungi kedaulatan NKRI dan keselamatan warga negara Indonesia serta warga Negara lain yang berada di Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Dalam pelaksanaan pemberantasan terorisme, tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak melanggar hak asasi manusia. 3. Dalam penggunaan kekuatan pertanahan, yakni TNI untuk menumpas

terorisme, tidak bersifat diskriminatif, dalam arti bahwa siapapun yang melakukan perbuatan teror akan dihadapi tanpa melihat latar belakang etnis, agama atau golongannya.

4. Terorisme yang bersifat internasional maupun local atau yang saling berkolaborasi, dalam mengatasinya dilakukan melalui upaya secara terpadu dan terkoordinasi secara lintas instansi dan linbtas Negara.

5. Ancaman terorisme dapat bersifat domestic maupun lintas Negara, sehingga penangganannya perlu kerja sama dengan Negara-negara lain. Dalam memerangi terorisme, kerjasama pertahanan yang telah dilaksanakan mencakup

kerjasama intelijen dan kerjasama tersebut akan tetap dilanjutkan dimasa-masa mendatang.

6. Dalam melaksanakan pokok-pokok kebijakan diatas, secara konkrit penanganan ancaman terorisme dapat bersifat preemptif, preventif dan represif.

Untuk memayungi instrument-instrumen Negara yang involve dalam penanganan terorisme, pemerintah telah menetapkan sejumlah perangkat hukum. Dinataranya, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian diikuti dengan dua Inpres yakni Inpres No. 4 dan 5 Tahun 2002. Inpres No. 4 Tahun 2002 menugaskan Menkopolkam untuk merumuskan kebijakan terpadu pemberantasan terorisme, serta menyusun langkah-langkah operasional yang meliputi penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian, penyelesaian dan segala tindakan hukum. Sedangkan Inpres No. 5 Tahun 2002, menugaskan Kepala BIN untuk melakukan pengkoordinasian pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi lainnya sehingga terwujud satu kesatuan masyrakat intelijen yang mampu bekerja secara efektif dan efesien. 132

a. Mengambil tindakan efektif bagi pencegahan dan penghukuman terorisme yang mempunyai karakter internasional;

Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism 1937

b. Prinsip hokum internasional bahwa setiap Negara harus menahan diri dari setiap tindakan yang mendorong terjadinya terorisme terhadap Negara lain;

132

c. “acts of terrorism” adalah tindakan penjahat yang diarahkan kepada suatu Negara yang diperhitungkan untuk membuat keadaan teror (a state of terror) dalam pikiran orang-orang tertentu, kelompok orang atau public umumnya; d. Tindakan terorisme:

1. Setiap tindakan sengaja yang mengakibatkan kematian atau membahayakan fisik atau hilangnya kebebasan pada: Kepala Negara, suami atau istrinya, pejabat public;

2. Perusakan sengaja tempat-tempat/harta publ;ik;

3. Perusakan tempat-tempat penting : gudang senjata atau bahan berbahaya. Terorisme adalah kejahatan yang dapat diekstradisi. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons including Diplomatic Agents 1973.

e. Semua Negara diminta untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional termasuk pejabat diplomatic. 133

Non penal lebih menitik beratkan pada pencegahan dan penangkalan atau upaya preventif yaitu: 134

1. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api.

2. Peningkatan pengamanan terhadap system transportasi. 3. Peningkatan pengamanan sarana public.

133

Ibid., hlm. 185.

134

4. Peningkatan pengamanan terhadap system komunikasi. 5. Peningkatan pengamanan terhadap VIP.

6. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatic dan kepentingan asing. 7. Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi serangan teroris.

8. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional.

9. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.

10.Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu ke luar masuk.

11.Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan sebagainya). 12.Harmonisasi kebijakan visa dengan Negara tetangga.

13.Penertiban pengeluaran kartu tanda penduduk dan administrasi kependudukan. 14.Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror.

15.Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa.

16.Kampanye anti terorisme melalui media massa meliputi:

a. Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris. b. Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teror. c. Penggunaan public figures terkenal untuk mengutuk aksi teroris.

d. Pemanfaatan eks pelaku teroris yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.

e. Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan.

f. Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk menggubah empati dan solidaritas masyarakat agar bangkit melawan terorisme.

18.Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.

19.Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.135 Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini, penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan :