• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN INDEKS CEPHALIC DAN GAMBARAN BENTUK KEPALA LAKI-LAKI DEWASA PADA SUKU LAMPUNG DAN JAWA DI DESA NEGERI SAKTI PROVINSI LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN INDEKS CEPHALIC DAN GAMBARAN BENTUK KEPALA LAKI-LAKI DEWASA PADA SUKU LAMPUNG DAN JAWA DI DESA NEGERI SAKTI PROVINSI LAMPUNG"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

▸ Baca selengkapnya: di sebuah desa berpenduduk 10000 orang 15 diantaranya adalah laki-laki buta warna

(2)
(3)

PERBANDINGAN INDEKS CEPHALIC DAN GAMBARAN BENTUK KEPALA LAKI-LAKI DEWASA PADA SUKU LAMPUNG DAN JAWA

DI DESA NEGERI SAKTI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

A. ZAHRAH FADHILAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN INDEKS CEPHALIC DAN GAMBARAN BENTUK KEPALA LAKI-LAKI

DEWASA PADA SUKU LAMPUNG DAN JAWA DI DESA NEGERI SAKTI, PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : A. Zahrah Fadhilah Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011101

Program studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Evi Diana Fitri, Sp. F, S.H. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina NIP. 197211082002122007 NIP. 198410202009122005

2. Dekan Fakultas Kedokteran Unila

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 22 September 1991,

sebagai anak kedua tiga bersaudara dari Drs. Sugiyanto, M.T. dan Dr. Herpratiwi, M.Pd.

Jenjang pendidikan penulis dimulai di TK Aisyah Bustanul Athfal di Yogyakarta

pada tahun 1996. Setelah menyelesaikan pendidikan jenjang Taman Kanak-Kanak, penulis beserta keluarga pindah dan menetap di Lampung. Penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang sekolah dasar di SD Azhar dan SD

Al-Kautsar Bandar Lampung. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Al-Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006 dan SMA Negeri 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif dalam sejumlah organisasi mahasiswa seperti Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran

(6)

Untuk Bapak dan Ibu, terima kasih karena selalu ada untukku..

Juga untuk Alm. dr. Nurlis Mahmud, M.M., salah seorang guru

(7)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Perbandingan Indeks Cephalic dan Gambaran Bentuk Kepala Laki-Laki Dewasa pada Suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti, Provinsi Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

2. dr. Evi Diana Fitri, Sp. F., S. H., selaku Pembimbing Utama; terima kasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan

kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, selaku Pembimbing Kedua; terima kasih atas

(8)

4. dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed., selaku Penguji Utama pada ujian

skripsi; terima kasih atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Alm. dr. Nurlis Mahmud, M.M., selaku Pembimbing Utama sebelumnya; terima kasih untuk segala bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Maaf belum sempat menunjukkan hasil penelitian ini

dan juga berterima kasih kepada Dokter secara langsung. Terima kasih untuk semuanya.

6. dr. Hanna Mutiara, selaku Pembimbing Akademik;

7. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 9. Yang tercinta Bapak dan Ibu atas kasih sayang, doa yang tulus, kesabaran,

motivasi dan dukungannya selama ini. Maaf baru ini yang bisa diberikan

untuk kalian.

10. Untuk kakakku tersayang, Sudewi Mukaromah Khairunnisa. M. Sc. Apt., atas doa dan dukungannya;

11. Untuk adikku tersayang, Fatwa Maratus Sholihah, atas doa dan dukungannya; 12. Untuk keluarga besar di Yogyakarta dan Lampung atas doa, harapan dan

motivasinya;

13. Untuk teman-teman dan sahabat, Febrina Dwiyanti, Ahmad Farizan Radhitya, Rizqa Atina M. H., Hawania Rahtio, Norma Julianti, Reni Patriana, Siti

Soraya Mandasari, Gladys Clara Dea Putri, Rizki Putra Sanjaya, Reza Permana, M. Reza Remontito, terima kasih atas doa, kebersamaan, serta

(9)

terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya;

15. Kak Ibnu Sina dan Mbak Chintya Giska, atas segala bimbingan, ilmu, motivasi dan dukungannya selama ini;

16. Rekan–rekan angkatan 2009, atas kebersamaannya dan bantuannya selama

ini;

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu yang telah

memberikan bantuan dalam penulisan skripsi.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Januari 2013

Penulis

(10)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GRAFIK ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 3

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 3

2. Tujuan Khusus... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teori ... 5

2. Kerangka Konsep ... 6

(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Antropometri ... 7

B. Identifikasi Tulang Tengkorak ... 10

C. Suku Lampung dan Jawa di Provinsi Lampung ... 15

D. Indeks Cephalic ... 16

E. Bentuk Kepala ... 20

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 24

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

C. Populasi Penelitian ... 24

D. Sampel Penelitian... 25

E. Identifikasi Variabel Penelitian... 27

F. Definisi Operasional ... 27

G. Teknik Pengambilan Data 1. Instrumen Penelitian ... 28

2. Prosedur Penelitian ... 29

H. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data ... 30

2. Analisis Statistik ... 31

(12)

iii

IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

1. Analisis Univariat

a. Lebar Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 34

b. Panjang Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 35

c. Indeks Cephalic Subjek Penelitian ... 37

d. Bentuk Kepala Subjek Penelitian ... 38

2. Analisis Bivariat... 39

B. Pembahasan 1. Analisis Univariat a. Lebar Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 41

b. Panjang Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 42

c. Indeks Cephalic Subjek Penelitian ... 44

d. Bentuk Kepala Subjek Penelitian ... 47

2. Analisis Bivariat... 49

V. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penentuan Umur Melalui Pengukuran Tengkorak ... 12

2. Perbedaan Ras Berdasarkan Tulang Tengkorak ... 14

3. Klasifikasi Lebar Kepala Oleh Lebszelter/Saller ... 18

4. Klasifikasi Panjang Kepala Menurut Lebzelter/Saller ... 19

5. Pengukuran Indeks Cephalic Beberapa Suku di Medan ... 20

6. Bentuk Kepala Berdasarkan Indeks Cephalic ... 21

7. Definisi Operasional Masing-Masing Variabel ... 27

8. Lebar Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 35

9. Panjang Maksimal Kepala Subjek Penelitian ... 36

10. Indeks Cephalic Subjek Penelitian ... 37

11. Bentuk Kepala Subjek Penelitian ... 38

(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Bentuk dan Ukuran Tulang

Tengkorak ... 5

2. Berbagai Hubungan Antarvariabel ... 6

3. Papan Osteometri ... 8

4. Antropometer Menurut Martin ... 8

5. Dataran Frankfurt ... 9

6. Lebar Kepala ... 17

7. Panjang Kepala ... 18

8. Profil Wajah Ras Negroid ... 22

9. Profil Wajah Ras Kaukasoid ... 22

10. Profil Wajah Ras Mongoloid ... 23

11. Alat-Alat Penelitian ... 29

(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Perbandingan Rerata Lebar Kepala Maksimal Berdasarkan Suku ... 42

2. Perbandingan Rerata Panjang Kepala Maksimal Berdasarkan Suku ... 43 3. Perbandingan Rerata Indeks Cephalic Berdasarkan Suku ... 44

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pihak kepolisian, badan intelegensi maupun lembaga kriminologi sering meminta bantuan dokter untuk identifikasi korban yang tidak dikenal. Korban dapat berupa mayat segar, mayat yang sudah membusuk, mayat yang hangus terbakar, atau

berupa potongan-potongan tubuh dapat juga berupa kerangka lengkap atau tidak lengkap dengan tulang-tulang utuh atau tidak utuh pada kasus forensik dan

nonforensik. Pada kasus forensik misalnya pembunuhan, sedangkan kasus-kasus nonforensik seperti identifikasi korban perang, kecelakaan, bencana alam atau untuk keperluan arkeologis, gereja, dan kota raja (Nugraha, 2004).

Identifikasi korban secara tepat sangat diperlukan dalam suatu proses penyidikan. Upaya identifikasi pada tulang/kerangka bertujuan untuk membuktikan bahwa

tulang tersebut adalah: (1) apakah tulang manusia atau hewan, (2) apakah tulang berasal dari satu individu, (3) berapakah usianya, (4) berapakah umur tulang itu sendiri, (5) jenis kelamin, (6) tinggi badan, (7) ras, (8) berapa lama kematian, (9)

adakah ruda paksa/deformitas tulang, (10) sebab kematian (Devison, 2009). Identifikasi untuk mendapatkan informasi berupa suku bangsa, etnis dan jenis

(17)

Tulang/kerangka merupakan bagian tubuh manusia yang cukup keras, tidak

mudah mengalami pembusukan. Jaringan lunak pembungkus tulang akan mulai mengalami pembusukan dan menghilang pada sekitar 4 minggu setelah kematian.

Pada masa ini tulang masih menunjukkan kesan ligamentum yang masih melekat disertai bau busuk. Setelah 3 bulan, tulang kelihatan berwarna kuning. Setelah 6

bulan, tulang tidak lagi mempunyai kesan ligamen dan berwarna kuning keputihan, serta tidak lagi mempunyai bau busuk. Dengan demikian, tulang/kerangka merupakan salah satu organ tubuh yang cukup baik untuk

identifikasi manusia karena selain cukup lama mengalami pembusukan, tulang juga mempunyai karakteristik yang sangat menonjol untuk identifikasi (Devison,

2009).

Perbedaan manusia dapat dilihat secara lebih teliti dengan diciptakannya indeks

pada antropologi ragawi diantaranya adalah indeks kepala, wajah dan hidung. Indeks ialah bilangan yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan suatu keadaan tertentu atau sebuah rasio proporsional yang dapat disimpulkan dari

sederetan observasi yang terus menerus. Dengan adanya indeks ini lebih mudah untuk mengelompokkan manusia ke dalam golongan yang mempunyai ciri-ciri

sama (Swasonoprijo, 2002).

(18)

3

penelitian mengenai perbandingan indeks cephalic dan gambaran bentuk kepala laki-laki dewasa pada suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti, Kecamatan Gedong Tataan, Pesawaran, Provinsi Lampung.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, dirumuskanlah

permasalahan, bagaimanakah perbandingan indeks cephalic dan gambaran bentuk kepala laki-laki dewasa pada Suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti, Kecamatan Gedong Tataan, Pesawaran, Provinsi Lampung?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan indeks cephalic dan gambaran bentuk kepala laki-laki dewasa pada suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti, Kecamatan Gedong Tataan, Pesawaran, Provinsi Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis perbedaan nilai indeks cephalic pada laki-laki dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti.

b. Menganalisis gambaran bentuk kepala pada laki-laki dewasa suku Lampung

(19)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi peneliti/penulis, menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu anatomi dan antropometrik.

2. Bagi institusi/masyarakat:

a. Di bidang forensik dapat membantu identifikasi suku bangsa berdasarkan

indeks cephalic.

b. Dalam ilmu bedah dapat digunakan sebagai upaya rekonstruksi kepala pada pasien yang mengalami patah tulang tengkorak.

c. Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Pertumbuhan kepala sangat dipengaruhi oleh faktor genetik di samping faktor-faktor yang lain, yaitu lingkungan, nutrisi, derajat aktivitas fisik serta kesehatan

dan penyakit. Di Indonesia dengan adanya kondisi alam yang terdiri dari beribu pulau dan dipisahkan oleh laut dapat juga menyebabkan timbulnya bermacam

(20)

5

Gambar 1. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Bentuk dan Ukuran Tulang Tengkorak (Amikaramata, 2011)

Penelitian terbaru menyatakan bahwa keragaman dalam morfologi kraniofasial dihasilkan oleh interaksi yang kompleks dari variabel lingkungan yang termasuk di dalamnya, yaitu (Amikaramata, 2011):

1. Fungsi otot

2. Faktor genetik yang berhubungan dengan pertumbuhan tengkorak

3. Pertumbuhan dan morfologi otak

4. Faktor nongenetik termasuk hormon pada sistem endokrin.

Menurut Artaria (2008), bentuk dan ukuran tulang kepala ditentukan oleh variasi genetis (populasi, ras) maupun oleh lingkungan dimana individu itu hidup, seperti

komposisi makanan, komposisi tanah, kebiasaan makan, iklim, dan letak geografis. Ditambahkan oleh Herawati (2011), kelompok etnik yang berbeda

(21)

2. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2. Berbagai Hubungan Antarvariabel

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat diturunkan hipotesis yaitu

terdapat perbedaan nilai indeks cephalic pada laki-laki dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti.

Bentuk Kepala Lebar Kepala

Panjang Kepala

Indeks Cephalic Laki-Laki

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Antropometri

Pengamatan sehari-hari akan membawa kita kepada pengalaman bahwa manusia, walaupun satu spesies, tetap bervariasi. Kenyataan ini mendorong orang untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut dengan teliti menggunakan metode yang

paling tepat melalui suatu pengukuran sehingga diperoleh ketepatan dan objektivitas. Hal inilah yang mendorong lahirnya bidang ilmu yang disebut

antropometri. Antropometri berasal dari kata athropos yang berarti man (orang) dan metron yang berarti measure (ukuran). Jadi antropometri merupakan pengukuran terhadap manusia (Devison, 2009).

Antropometri meliputi penggunaan secara hati-hati dan teliti dari titik-titik pada

tubuh untuk pengukuran, posisi spesifik dari subjek yang ingin diukur dan penggunaan alat yang benar. Pengukuran yang dapat dilakukan pada manusia secara umum meliputi pengukuran massa, panjang, tinggi, lebar, dalam,

circumference (putaran), curvatur (busur), pengukuran jaringan lunak (lipatan kulit). Pada intinya pengukuran dapat dilakukan pada tubuh secara keseluruhan

(23)

Pada tahun 1654, Johan Sigismund Elsholtz adalah orang pertama yang

menggunakan istilah antropometri dalam pengertian sesungguhnya. Ia adalah seorang ahli anatomi kebangsaan Jerman. Pada saat itu ia menciptakan alat ukur

yang disebut “anthropometron”, namun pada akhirnya Elsholtz menyempurnakan

alat ukurnya dan inilah cikal bakal instrumen atau alat ukur yang sekarang kita

kenal sebagai antropometer (Herawati, 2011).

Gambar 3. Papan Osteometri

Gambar 4. Antropometer Menurut Martin.

Pada abad 19, penelitian di bidang antropometri mulai berkembang dari

perhitungan sederhana menjadi lebih rumit, yaitu dengan menghitung indeks. Indeks adalah cara perhitungan yang dikembangkan untuk mendeskripsikan bentuk (shape) melalui keterkaitan antartitik pengukuran. Perhitungan indeks, titik

pengukuran dan cara pengukuran berkembang pesat yang berdampak pada banyaknya variasi cara klasifikasi. Hal ini berdampak pada tidak adanya

(24)

9

penelitiannya karena standar pengukuran, titik pengukuran serta indeks yang

berbeda-beda.

Upaya standardisasi mulai dilakukan pada pertengahan abad 19 berdasarkan studi Paul Broca yang mana upaya tersebut telah dilakukan sejak awal 1870-an, dan

kemudian disempurnakan melalui kongres ahli antropologi Jerman pada 1882 di Frankfurt yang kemudian dikenal sebagai “Kesepakatan Frankfurt”, yaitu menentukan garis dasar posisi kepala atau kranium ditetapkan sebagai garis “Frankfurt Horizontal Plane” atau “Dataran Frankfurt” (Devison, 2009).

Gambar 5. Dataran Frankfurt

Pada tahun-tahun berikutnya perkembangan antropometri berpusat di Jerman dan

Perancis. Usaha-usaha untuk menggabungkan cara yang dikembangkan oleh kedua negara telah dilakukan yang kemudian direalisasikan dalam kongres di Moscow tahun 1982. Hasil dari kongres ini menunjukkan adanya dua kelompok

studi. Satu kelompok mengembangkan studi pada kranium dan yang lain mengembangkan studi pada kepala. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya studi

(25)

antropometri masih terus dilakukan pada tahun-tahun berikutnya untuk mencari

standar pengukuran pada anak-anak, remaja hingga dewasa (Artaria, 2008).

B. Identifikasi Tulang Tengkorak

Identifikasi merupakan tindakan mutlak yang dilakukan terhadap jenazah tidak dikenal, apalagi terhadap jenazah yang termutilasi. Untuk itu peran dokter forensik

dalam melakukan pemeriksaan secara maksimal sangat diharapkan. Alfonsus Bertillon (1854-1914), seorang dokter berkebangsaan Prancis, pertama sekali memperkenalkan pengetahuan identifikasi secara ilmiah dengan cara

memanfaatkan ciri umum seseorang, seperti ukuran antropometri, warna rambut mata dan lain sebagainya. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan semakin

meningkatkan kemampuan proses identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah disiplin ilmu kedokteran yang dikenal sebagai identifikasi medik (Devison, 2009).

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu

penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya

kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Contoh dari kasus seperti ini adalah korban pesawat Cassa 212 di Bahorok bulan Oktober 2011. Akibatnya

(26)

11

Tulang/kerangka merupakan bagian tubuh manusia yang cukup keras, tidak

mudah mengalami pembusukan. Jaringan lunak pembungkus tulang akan mulai mengalami pembusukan dan menghilang pada sekitar 4 minggu setelah kematian.

Pada masa ini tulang masih menunjukkan kesan ligamentum yang masih melekat disertai bau busuk. Setelah 3 bulan, tulang kelihatan berwarna kuning. Setelah 6

bulan, tulang tidak lagi mempunyai kesan ligamen dan berwarna kuning keputihan, serta tidak lagi mempunyai bau busuk. Dengan demikian, tulang/kerangka merupakan salah satu organ tubuh yang cukup baik untuk

identifikasi manusia karena selain cukup lama mengalami pembusukan, tulang juga mempunyai karakteristik yang sangat menonjol untuk identifikasi (Devison,

2009).

Upaya identifikasi pada tulang/kerangka bertujuan untuk membuktikan bahwa

tulang tersebut adalah: (1) apakah tulang manusia atau hewan, (2) apakah tulang berasal dari satu individu, (3) berapakah usianya, (4) berapakah umur tulang itu sendiri, (5) jenis kelamin, (6) tinggi badan, (7) ras, (8) berapa lama kematian, (9)

adakah ruda paksa/deformitas tulang, (10) sebab kematian (Devison, 2009). Di antara bagian kerangka, tengkorak memainkan peranan sangat penting dalam

analisis. Tengkorak merupakan bagian kerangka yang sangat keras dan kuat, sehingga paling bertahan dalam tanah dan karena itu paling sering diketemukan juga. Di samping itu, pada tengkorak dapat “dibaca” banyak informasi tentang

(27)

Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura-suturanya.

Penutupan pada bagian tabula interna biasanya mendahului tubula eksterna, (Idries, 1997). Obliterasi sutura makin maju sejalan dengan bertambahnya usia,

namun prosesnya tidak merata baik pada setiap sutura maupun pada bagian-bagiannya, (Kusuma, 2010). Sutura sagitalis, coronaries dan sutura lamboideus

mulai menutup pada umur 20-30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamaeus, tetapi dapat juga tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura sphenoparietal umumnya tidak

akan menutup sampai umur 70 tahun (Idries, 1997).

Pada usia muda, dipergunakan penutupan fontanel dan sutura serta erupsi dan klasifikasi gigi. Jika tengkorak atau gigi tidak ditemukan, maka kita memeriksa tahap penyatuan epifisis dengan tulang. Sehingga dapat dikatakan bahwa usia

individu waktu meninggal dapat ditentukan berdasarkan: (1) keadaan gigi geligi, (2) derajat obliterasi sutura, dan (3) derajat osifikasi tulang pipa (Artaria, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, melalui pengukuran tengkorak, dapat

diketahui perkiraan usia seseorang seperti pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Penentuan Umur Melalui Pengukuran Tengkorak (Artaria, 2008)

Infans I (Inf. I) Dari kelahiran sampai timbulnya gigi tetap pertama (M1); usia 7

tahun.

Infans II (Inf. II) Dari timbulnya gigi tetap pertama itu sampai timbulnya gigi

geraham kedua (M2); usia 13-16 tahun.

Juvenis (Juv.) Gigi tetap lengkap, tetapi tanpa M3, proses ossifikasi

(28)

13

Adultus (Ad.) Tanda pertama keausan gigi, M3 umumnya sudah timbul, mulai

obliterasi sutura, osifikasi antara epifisis dan diafisis

tulang-tulang panjang sudah selesai; sekitar 30 tahun.

Maturus (Mat.) Keausan gigi telah maju, obliterasi sutura (khususnya

lambdoidea dan sutura coronalis); kira-kira 50 tahun.

Senilis (Sen.) Obliterasi hampir sempurna sehingga garis sutura hampir tidak

kentara lagi (khususnya sutura lambdoidea dan sutura sagitalis),

kehilangan gigi dan tertautnya lubang gigi, processus alveolaris

mulai susut.

Penentuan jenis kelamin pada kerangka umumnya lebih mudah dilakukan melalui identifikasi pada tengkorak dan panggul. Dibandingkan dengan tengkorak,

panggul mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi. Sekalipun demikian pada tengkorakpun ada tanda-tanda tertentu yang memungkinkan penentuan jenis kelamin ini jika umurnya sekurang-kurangnya Juvenis (Artaria, 2008).

Penentuan jenis kelamin dari tengkorak diperlukan penilaian berbagai data

ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri pertama adalah tonjolan di atas orbita (supraorbital ridges), processus mastoideus, palatum, bentuk rongga mata, dan rahang bawah. Luas permukaan processus mastoideus pada pria lebih besar

dibandingkan wanita, hal ini dikaitkan dengan adanya insersi otot leher yang lebih kuat dari wanita. Ciri-ciri tersebut akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun.

(29)

Cara menentukan ras berdasarkan pemeriksaan kerangka memang agak sukar dan

diperlukan pengalaman serta pengetahuan antropologi yang cukup. Pembagian ras yang ada dibedakan atas Eropa (Kaukasoid), Mongol dan Negro. Ada dua tulang

yang dapat dipercaya untuk membedakan ras, yaitu tulang tengkorak dan pelvis. Menurut penelitian, tulang-tulang tengkorak dapat membedakan ras hingga

85-90% kasus, sedangkan pelvis hingga 70-75% (Kusuma, 2010). Tabel 2 menunjukkan bahwa tulang tengkorak dapat mengidentifikasi perbedaan ras.

Tabel 2. Perbedaan Ras Berdasarkan Tulang Tengkorak (Kusuma, 2010)

No Ciri-Ciri Eropa Mongol Negro

1 Tulang hidung Panjang-sempit Lebar-pendek

Lebar-pendek

2 Tinggi tulang hidung Tinggi Antara

eropa-negro

4 Tulang langit-langit Segitiga Tapal kuda Segi empat

5 Gigi seri Tidak Tidak Mirip skop

6 Rasio tibia-femur Kecil Kecil Agak besar

7 Rasio radius-femur Kecil Kecil Agak besar

8 Lengkung femoralis Menonjol Menonjol Kurang

menonjol

Perbedaan tengkorak ras Kaukasoid dan Mongoloid yakni pada Kaukasoid, batas bawah aperture nasalis berbatas jelas dan tajam. Menurut Amar Singh, penentuan

(30)

15

C. Suku Lampung dan Jawa di Provinsi Lampung

Etnis Jawa merupakan etnis yang paling besar jumlahnya di Indonesia dan secara umum banyak mendiami Pulau Jawa. Hal ini lambat laun memunculkan masalah-masalah kependudukan di pulau tersebut ditambah lagi dengan kedatangan etnis

lainnya yang tentunya dapat menambah masalah kependudukan di pulau tersebut yakni masalah kepadatan penduduk.

Program transmigrasi, sebagai salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut, yakni perpindahan peduduk dari daerah yang padat ke daerah yang

jarang penduduknya, yaitu ke luar Pulau Jawa dan salah satunya adalah Pulau Sumatera. Selain itu, migrasi atau perpindahan secara spontan juga dilakukan oleh

etnis-etnis Jawa tersebut dalam rangka memperbaiki taraf kehidupan mereka yang telah sangat sulit dilakukan di Pulau Jawa tersebut. Hal ini tentunya akan sangat turut mempengaruhi kepadatan penduduk yang telah menjadi masalah tersebut

(Dormauli, 2009).

Banyaknya jumlah orang Jawa yang ada di Sumatera, dikarenakan adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi yang dicanangkan Belanda,

sebagai bagian dari politik etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong orang Jawa untuk berpindah ke berbagai wilayah di Indonesaia terutama di

(31)

adalah bersuku Jawa, kemudian disambung dengan transmigrasi ke daerah

Kerinci, Gayo, dan seluruh Sumatera.

Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: (1) melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk

mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah, (2) pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di

Pulau Jawa semakin menurun, (3) adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan

pertambangan di luar Pulau Jawa. Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya sistem tanam paksa (Syahpani, 2009).

D. Indeks Cephalic

Kasus yang memerlukan bantuan kedokteran forensik sering ditemukan dalam

kehidupan sehari-hari. Tidak jarang juga ditemukan kasus-kasus dimana hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk diidentifikasi. Pada proses identifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, dan jenis kelamin korban merupakan hal yang

(32)

17

lndeks cephalic dikenalkan pertama kali oleh Retzius, ahli anatomi Swedia, lebih dari 100 tahun yang lalu dengan tujuan untuk mengklasifikasi populasi (Rahmawati, 2003). Indeks cephalic adalah ukuran rasio (dalam persen) dari panjang tulang tengkorak dengan lebar tulang tengkorak (Sarah, 2010). Indeks cephalic dapat diperoleh melalui perhitungan:

Sebagian besar ukuran kepala sama dengan ukuran tengkorak, walaupun di

sana-sini teknik pengukurannya berbeda. Perlu diperhatikan bahwa pada manusia hidup dipakai ujung jarum yang tumpul dan tekanannya jangan terlalu kuat. Lebar

kepala diukur melalui pengukuran jarak kedua euryon (eu-eu), dicari dengan memutar kaliper pada sisi kepala, secara tegak lurus terhadap bidang median-sagital, sekaligus diperhatikan skala. Menggunakan jari ke-3 dicari daerah paling

lebar di kepala, lalu dengan memutar jarum kaliper, dari putaran agak luas sampai yang makin kecil ditentukan ukuran lebar maksimal (Herawati, 2011).

Pengukuran lebar kepala ditunjukkan pada Gambar 6. Lebar kepala itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe seperti pada Tabel 3.

(33)

Tabel 3. Klasifikasi Lebar Kepala Menurut Lebzelter/Saller (Artaria, 2008)

Laki-laki Perempuan

Sangat sempit x-139 x- 134

Sempit 140-147 135-141

Sedang 148-155 142-149

Lebar 156-165 150-157

Sangat lebar 166-x 158-x

Panjang kepala diukur dari glabella sampai opisthion (g-op), yaitu ujung jarum kaliper ditempatkan pada glabella jarum yang lain digeser dari atas ke bawah pada garis sentral, dengan sekaligus memperhatikan skala (Herawati, 2011).

Pengukuran panjang kepala ditunjukkan pada Gambar 7. Panjang kepala itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa tipe seperti pada Tabel 4.

(34)

19

Tabel 4. Klasifikasi Panjang Kepala Menurut Lebzelter/Seller (Artaria, 2008)

Laki-laki Perempuan

Sangat pendek x-169 x-161

Pendek 170-177 162-169

Sedang 178-185 170-176

Panjang 186-193 177-184

Sangat panjang 194- x 185-x

Di Eropa, rata-rata nilai indeks cephalic antara 75 dan 80 ditemukan di sebagian

lnggris, Skandinavia dan beberapa daerah di zona Mediterania. Eropa Barat dan Tengah rata-rata biasanya di atas 80 dan 85, sedangkan sebagian besar di Afrika

di bawah 75 kecuali di Afrika Tengah mempunyai rata-rata indeks cephalic 80 atau lebih. Rata-rata indeks cephalic 80 ditemukan di beberapa negara seperti Cina, Jepang, dan Indonesia. Orang-orang Eskimo mempunyai rata-rata indeks

sekitar 75, sebaliknya untuk orang-orang Alaska lebih brachycephalic (Rahmawati, 2003).

Di Indonesia, penelitian mengenai penentuan indeks kepala pernah diteliti oleh Biljmer (1929) yang meneliti populasi yang ada di Nusa Tenggara dan Flores,

hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar orang-orang di Nusa Tenggara dan Flores mempunyai indeks cephalic antara 75-80. Glinka (1990)

(35)

suku Jawa di Yogyakarta dan suku Naulu di Pulau Seram, Maluku Tengah yang

didapatkan indeks cephalic suku Jawa 78,2 dan suku Naulu 80,8.

Penentuan suku di Indonesia berdasarkan indeks cephalic sebelumnya juga pernah dilakukan di Medan oleh Herawati (2011). Hasil pengukuran indeks cephalic dari

beberapa suku dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengukuran Indeks Cephalic Beberapa Suku di Medan (Herawati, 2011)

Suku Laki-Laki Perempuan

Suku Aceh 82,93 82,05

Suku Batak Toba 83,71 82,10

Suku Karo 82,99 82,46

Suku Jawa 84,74 84,27

Suku Mandailing 82,18 81,25

Suku Melayu 81,61 84,19

Suku Minang 79,92 83,59

Suku Nias 82,85 86,66

E. Bentuk Kepala

Indeks chepalic ditentukan berdasarkan deskriptif anatomi internasional (Amikaramata, 2011). Indeks cephalic dapat menggambarkan bentuk kepala apakah lonjong, bulat atau di antaranya. Dari ukuran–ukuran bagian kepala dan

(36)

21

kepala dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu, brakhisefalik, dolikosefalik dan

mesosefalik (Amikaramata, 2011). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bentuk Kepala Berdasarkan Indeks Cephalic (Swasonoprijo, 2002)

Kategori Kepala Laki-Laki Perempuan

Hyperdolicocephal permulaan kala Holosen, yaitu ras Australomelanesid dan Mongolid. Ditinjau dari

sudut rasiologis, Jacob (1973) mengatakan bahwa perbedaan bentuk kepala ini masih dijumpai, yaitu di sebelah barat dengan unsur Mongolid yang lebih kuat,

sedangkan sebelah timur dan selatan unsur dengan Australomelanesid yang lebih kuat. Keadaan ini mencerminkan pergeseran unsur Mongolid lebih ke Timur. Terjadi pula beberapa arus balik timur ke barat, dengan percampuran primer di

perbatasan antara keduanya yaitu daerah Wallacea (Rahmawati, 2003).

Nilai indeks kepala <75,9% atau dolikosefalik menggambarkan individu dengan ciri-ciri memiliki kepala lebar dan sempit, profil wajah panjang dan rendah, bentuk dan sudut bidang mandibula yang sempit, bentuk muka seperti segitiga

(37)

berbentuk rektangular dan aperturanasal yang lebar. Kebanyakan bentuk kepala

ini dimiliki oleh ras Negroid dan Aborigin Australia (Amikaramata, 2011) seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Profil Wajah Ras Negroid: A. Wanita B. Pria (Amikaramata, 2011)

Bentuk kepala dengan nilai indeks kepala 76–80,9% atau mesosefalik memiliki karakteristik fisik kepala lonjong dan bentuk muka terlihat oval dengan zigomatik

yang sedikit mengecil, profil wajah ortognasi, apertura nasal yang sempit, spina nasalis menonjol dan meatus auditory external membulat. Bentuk kepala seperti ini kebanyakan dimiliki oleh orang Kaukasoid (Amikaramata, 2011) seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Profil Wajah Ras Kaukasoid: A. Wanita B. Pria (Amikaramata, 2011)

Brakhisefalik mengacu pada individu dengan bentuk kepala yang lebar dan persegi, dengan nilai indeks kepala yang lebih besar dari rata-rata yaitu >81%. Bentuk kepala ini cenderung dimiliki oleh ras Mongoloid (Gambar 10) dengan

(38)

23

bentuk muka segiempat (square), profil wajah prognasi sedang, rongga orbita

membulat, dan puncak kepala tinggi seperti kubah (Amikaramata, 2011).

(39)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan pendekatan Cross Sectional, dimana data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu bersamaan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Negeri Sakti, Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lampung pada bulan Desember 2012.

C. Populasi Penelitian

Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

 Populasi target adalah laki-laki dewasa suku Lampung dan Jawa di

Kabupaten Pesawaran.

 Populasi terjangkau adalah laki-laki dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa

(40)

25

D. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Pada penelitian ini, pengambilan sampel yang digunakan populasinya sudah diketahui yaitu laki-laki dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti. Teknik

penentuan jumlah sampel ini menggunakan rumus:

Dimana:

- =

= jumlah sampel

- = derivat baku normal untuk α sebesar 1,645

- = derivat baku normal untuk β sebesar 1,282

- = selisih minimal rerata indeks chepalic yang dianggap bermakna

sebesar 2

- s = simpangan baku gabungan kedua kelompok sesebesar 3,28

Berdasarkan rumus diatas maka dapat diperoleh estimasi besar sampel sebanyak:

Dengan demikian, besar sampel minimal masing–masing kelompok adalah 46 orang (kelompok suku Lampung sebanyak 46 orang dan kelompok suku Jawa 46

(41)

Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya

dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Sampel tersebut dipilih berdasarkan

concecutive sampling, yaitu mengambil sampel yang terjangkau, yang sesuai dengan ketentuan atau persyaratan sampel, dari populasi tertentu.

Selanjutnya subjek penelitian tersebut disesuaikan dengan kriteria inklusi dan

eksklusi dalam penelitian. Kriteria inklusi yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Laki-laki suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti, Kabupaten

Pesawaran, Provinsi Lampung. 2. Usia 21 tahun ke atas.

3. Subyek tidak menderita penyakit tulang maupun kelainan-kelainan anatomis yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang pipih dan bentuk cranium. 4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini setelah mendapatkan penerangan

mengenai apa yang akan dilakukan dan menandatangani informed consent.

Sebagian responden yang memenuhi kriteria eksklusi harus dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab antara lain:

1. Subjek penelitian yang memiliki kelainan kraniofacial.

(42)

27

E. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel-variabel yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu: - Variabel bebas (independent), yaitu suku Lampung dan Jawa.

- Variabel terikat (dependent), yaitu indeks cephalic.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel atau dapat dikatakan semacam petunjuk

pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini, definisi operasional dari variabel dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Definisi Operasional Masing-Masing Variabel

(43)

G. Teknik Pengambilan Data

1. Instrumen Penelitian

Penggunaan alat ukur sagat penting peranannya dalam suatu penelitian. Alat ukur

tersebut nantinya akan digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Alat ukur disebut baik jika memiliki dua atribut, yaitu valid (sahih) dan reliabel (terpercaya). Pada penelitian ini digunakan alat-alat sebagai berikut:

 Alat ukur lebar dan panjang kepala berupa kaliper rentang dengan satuan

sentimeter dangan ketelitian satu millimeter.

 Formulir untuk mencatat identifikasi responden dan hasil pengukuran lebar

(44)

29

Gambar 11. Alat–Alat Penelitian

2. Prosedur Penelitian

Semua data diperoleh secara langsung (data primer) dengan teknik pengukuran di

lapangan dilaksanakan sebagai berikut:

a) Pertama, untuk memudahkan dalam pengukuran, maka subyek harus

melepaskan atribut yang dikenakan pada kepalanya.

b) Kedua, lebar kepala (B) diukur dari jarak antara kedua euryon (eu-eu) dan dicari dengan memutar kaliper pada dinding luar tengkorak (tulang

ubun-ubun atau tulang pelipis) secara tegak lurus terhadap bidang median sagital seperti pada Gambar 13. Sebaiknya putaran dengan kaliper agak besar

menjadi agak kecil agar ukuran ini tepat.

c) Ketiga, panjang kepala (A) diukur dari glabella sampai opisthion (g-op) yang diukur dengan kaliper. Satu ujung kaliper ditempatkan pada glabella, lalu

ujung lainnnya pada bidang median-sagital digeser dari atas ke bawah guna mencari opistokranion, yaitu titik paling jauh dari glabella. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 12.

(45)

Gambar 12. Pengukuran Panjang dan Lebar Kepala

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data yang telah diperoleh dari

proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan program SPSS 17.0. for Windows α = 0,10.

Pengolahan data meliputi kegiatan pengeditan data, tranformasi data (coding), serta penyajian data sehingga diperoleh data yang lengkap dari masing-masing

obyek untuk setiap variabel yang diteliti.

a. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan

selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. b. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang

telah dimasukkan ke dalam komputer.

(46)

31

2. Analisis Statistik

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

- Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas

dan variabel terkait, yaitu rata-rata panjang kepala dan rata-rata lebar lebar kepala beserta standar deviasinya, indeks cephalic berdasarkan suku dan bentuk kepala berdasarkan indeks chepalic.

- Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan

antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik:

a. Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran distribusi suatu data apakah normal atau tidak. Uji normalitas data berupa uji Kolmogorov-Smirnov digunakan apabila besar sampel >50 sedangkan uji Shapiro-Wilk digunakan apabila besar sampel ≤50. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk p dan diasumsikan normal.

Jika nilainya di atas 0,05 maka distribusi data dinyatakan memenuhi asumsi normalitas, dan jika nilainya di bawah 0,05 maka diinterpretasikan

(47)

b. Perbedaan Indeks Chepalic antara Laki-Laki Suku Lampung dan Jawa

Uji T tidak berpasangan merupakan uji parametrik (distribusi data normal) yang digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang sama. Dalam hal ini uji tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan indeks cephalic antara laki-laki

suku Lampung dan Jawa. Namun bila distribusi data tidak normal dapat digunakan uji U Mann–Whitney sebagai alternatif (Dahlan, 2008). Adapun syarat untuk uji T tidak berpasangan adalah:

- Data harus berdistribusi normal (wajib).

- Varians data boleh sama, boleh juga tidak sama.

I. Etika Penelitian

Langkah-langkah atau prosedur yang dilakukan dalam suatu penelitian berkaitan dengan etika, terutama yang berhubungan dengan perlindungan terhadap subjek

penelitian, baik manusia ataupun hewan percobaan. Pada penelitian ini, yang menjadi subjek adalah manusia, sehingga perlu diperhatikan beberapa hal sebagai

berikut:

- Informed consent harus dilakukan untuk meminta persetujuan subjek penelitian.

- Perlu diperhatikan bahwa pada manusia hidup, yang digunakan adalah kaliper rentang yang memiliki ujung tumpul.

(48)

33

- Jika perlu, pengukuran dilakukan oleh antropometris yang berjenis kelamin

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Amikaramata N. 2011. Hubungan Antara Bentuk Kepala dengan Bentuk Lengkung Gigi dan Bentuk Gigi Insivius Pertama Rahang Atas. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin: Makasar.

Ardana W. 2011. Sefalometeri. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Ardawiyanto R B. 2011. Fungsi Foreksik dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan Disertai Mutilasi. (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”: Jakarta.

Ariningsih F N. 2009. Variasi Biologis Populasi Manusia di Pulau Jawa: Analisis Kraniometris. Vol. 22 - No. 1 / 2009-01. Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Kedua. Salemba Medika: Jakarta.

Devison R J. 2009. Penentuan Tinggi Badan berdasarkan Panjang Lengan Bawah. (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan. Dormauli S. 2009. Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Etnis Jawa di

Berastagi (1968-1986). (Skripsi). Fakultas Sastra Departemen Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara: Medan.

Herawati N. 2011. Penentuan Indeks Kepala dan Wajah Orang Indonesia berdasarkan Suku di Kota Medan. (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.

(50)

Kusuma S E, dan A. Yulianto. 2010. Identifikasi Medikolegal. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga: Surabaya.

Nasution I S. 2010. Penentuan Umur Berdasarkan Obliterasi Sutura. (Tesis). Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Kedokteran Forensik & Medicolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan. Nugraha Z S. 2004. Hubungan antara Jarak Titik-Titik Craniometri pada

Neurocranium dengan Index Cranialis pada Ras Mongolid. LOGIKA, Vol. 1, No. 2, Juli 2004. ISSN: 1410-2315.

Perabuwijaya B. 2007. Analisa Konveksitas Wajah Jaringan Lunak secara Sefalometri Lateral pada Mahasiswa Deutro-Melayu FKG USU Usia 20-25 Tahun (Tahun 1995-2000). (Skripsi). Departemen Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara: Medan.

Rahmawati N T. 2003. Kajian Kefalometrik (Studi Perbandingan antara Suku Jawa di Yogyakarta dan Suku Naulu di Pulau Seram, Maluku Tengah). Bagian Anatomi, Embriologi dan Antropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala llmu Kedokreran Vol. 35, No. 4, 2003.

Sarah H N G. 2010. Pengukuran Sefalik Indeks Etnis Batak dan Cina pada Siswa-Siswi Kelas X dan Kelas XI SMA Swasta Santo Thomas 1 Medan Tahun Pelajaran 2010-2011. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.

Sudigdo S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Keempat. Sagung Seto: Jakarta.

Suriyanto S A. 2007. Perbedaan Karakteristik-Karakteristik Epigenetis Upper Viscerocranium dari Sampel Tengkorak Manusia Liang Bua, Lewoleba, Melolo, dan Ntodo Leseh (Nusa Tenggara Timur) dan Gilimanuk (Bali). Berkala Arkeologi Tahun XXVII Edisi No. 1/Mei 2007.

Swasonoprijo S. 2002. Studi Banding Morfologi dan Indeks: Kepala, Wajah, Hidung pada Orang Toraja dan Naulu. Sci&Tech, Vol. 3 No. 3 Desember 2002: 28-36.

Gambar

Gambar   Halaman
Gambar 1. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Bentuk dan Ukuran Tulang Tengkorak (Amikaramata, 2011)
Gambar 2. Berbagai Hubungan Antarvariabel
Gambar 4. Antropometer Menurut Martin.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlu dilakukan penelitian terhadap panjang tulang dari bagian tubuh lainnya dan dalam jumlah sampel yang lebih besar pada pria dewasa dan wanita dewasa suku Lampung dan

KORELASI PANJANG TULANG JARI TELUNJUK TANGAN ( Digiti II) TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU BALI DAN SUKU BATAK DI KECAMATAN TANJUNG SENANG BANDAR