STUDI PERSPEKTIF MASYARAKAT UNTUK PROGRAM
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
(Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan
Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara)
SKRIPSI
OLEH:
JEPRIANTO MANURUNG 081202024
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
STUDI PERSPEKTIF MASYARAKAT UNTUK PROGRAM
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
(Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan
Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara)
SKRIPSI
Oleh:
JEPRIANTO MANURUNG 081202024/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Studi Perspektif Masyarakat untuk Program Restorasi Ekosistem Hutan Mangrove (Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara)
Nama : Jeprianto Manurung
NIM : 081202024
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Mohammad Basyuni S.Hut, M.Si, Ph.D. Oding Affandi S.Hut., M.P.
Ketua Anggota
Mengetahui,
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D. Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRACT
JEPRIANTO MANURUNG : Study on Perspective of Community for Restoration Program of Mangrove Forest, A Community Case from Bogak Village, Tanjung Tiram Subdistrict, Batu Bara Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and ODDING AFFANDI.
Studies on restoration program has been implemented in many countries which have mangrove forest. This research was design on perspective community based of Bogak villagers in it’s correction to mangrove degradation and its existence to social, economy and culture. The questionnaire was employed to analyze data using quantitative descriptive method. This research was carried out from June 2011 to March 2012. The aim of research was to study the specific condition of mangrove forest in relation to indigenous people. The result showed that 86.97% of respondents knew very well about mangrove forest, 97.32% of respondents understood the functions of mangrove forest. They were active to response in the restoration program (97.32%) and 83.52% were willing to participate in restoration program. In this study mangrove nursery was useful due to give community a direct example how to restore mangrove well.
ABSTRAK
JEPRIANTO MANURUNG : Studi Perspektif Masyarakat untuk Program Restorasi Ekosistem Hutan Mangrove (Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara). Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan ODING AFFANDI.
Penelitian mengenai restorasi telah banyak dilaksanakan dibanyak negara di dunia yang memiliki hutan mangrove. Penelitian ini secara khusus meneliti perspektif masyarakat Desa Bogak dalam hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan dari hasil observasi dan hubungan eksistensi mangrove dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat dengan menggunakan kuisioner. Data hasil kuisioner dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan Juni 2011 hingga Maret 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi khusus yang terjadi yang berhubungan dengan perspektif masyarakat setempat dan sebagai penerapan program/ilmu restorasi bagi masyarakat. Pemahaman mereka terhadap hutan mangrove dan hubungan eksistensinya terhadap kehidupan mereka. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 86.97% responden mengetahui tentang hutan mangrove dan sebanyak 97.32 % memahami fungsinya. Sebanyak 97.32% dan 83.52% responden memberikan respon yang sangat baik terhadap kegiatan program restorasi yaitu bersedia terlibat dan berpartisipasi dalam program tersebut. Selain itu, pembuatan kebun benih atau pembibitan sangat berguna dalam penelitian ini karena memberikan contoh langsung kepada masyarakat metode retorasi yang baik dan sistematis.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Desa Cahaya Pardomuan Kecamatan Lima Puluh
Kabupaten Batu Bara pada tanggal 24 Juli 1989. Anak Tunggal dari Bilson
Manurung dan Rosti boru Manik.
Penulis menyelesaikan Sekolah Pendidikan Dasar di SD Negeri 010191
Simpang Dolok, Asahan pada tahun 2001, menyelesaikan Sekolah Menengah
Pertama di SMP Negeri 2 Lima Puluh pada tahun 2004, menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 1 Lima Puluh pada tahun 2007. Pada tahun 2008
penulis diterima di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara melalui jalur ujian masuk bersama (UMB-SPMB) dan selesai
pada tahun 2012.
Selama duduk dibangku perkuliahan penulis aktif dalam organisasi
Kampus Kehutanan Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan di Pelayanan Unit
Kegiatan Mahasiswa Kristen (UKM-KMK UP FP) Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyelesaikan dengan baik Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH)
tahun 2010 di Lau Kawar Tanah Karo selama 10 hari dan juga Praktik Kerja
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat dan rahmat-Nya karena “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” [Flp 4:13] selama menjalani
perkuliahan hingga penelitian bahkan dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “Studi Perspektif Masyarakat Untuk Program Restorasi Ekosistem Hutan
Mangrove (Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis mempersembahkan skripsi ini buat orang tua penulis, terkhusus
buat Ibunda Rosti boru Manik yang penulis sangat kasihi dan hormati atas setiap
dukungan dan segala pengorbanannya yang tulus dan luar biasa. Ucapan terima
kasih yang sangat berkesan kepada ketua komisi pembimbing saya Bapak
Mohammad Basyuni S.Hut., M.Si., Ph.D. untuk bimbingan/motivasi yang luar
biasa dan sangat menginspirasi penulis selama perkuliahan hingga penyelesaian
skripsi ini dan seterusnya. Kepada Bapak Oding Affandi, S.Hut, M.P. sebagai
anggota komisi pembimbing saya yang telah bersedia membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada sahabat-sahabat penulis (Faujiah N. Ritonga, Hanna F. Manurung, B’Berkat), adek-adek kelompokku (Dany, Hana, Lusi) KTBku
(Ancek, Elizabeth, Wahman, Martha, Elisa) beserta rekan sekalian yang takdapat
disebutkan satu persatu namanya yang selalu turut mendoakan dan membantu
selama penyelesaian skripsi ini Penulis sampaikan terima kasih banyak. Dengan
DAFTAR ISI
Kondisi Ekosistem Sekarang Hutan Mangrove ... 6
Pengertian Restorasi ... 7
Pemilihan jenis mangrove untuk restorasi ... 9
Teknik pembibitan benih untuk program restorasi ... 12
Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Mangrove dan Kegiatan Restorasi 12
Keterlibatan Masyarakat Setempat ... 13
METODE PENELITIAN
Pemilihan lokasi persemaian ... 21
Pembangunan tempat dan bedeng persemaian ... 21
Pembutan Bibit ... 21
Kegiatan Penanaman ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi lokasi penelitian ... 23
Kondisi Lokasi Penelitian ... 24
Karakteristik Responden Penelitian ... 26
Umur ... 26
Lama Menetap ... 27
Pendidikan ... 28
Pekerjaan ... 29
Tingkat Pendapatan ... 30
Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat ... 32
Hubungan Hutan Mangrove dengan Kehidupan Sosial, Ekonomi dan BudayaMasyarakat... 41
Kegiatan Restorasi Bersama Masyarakat ... 46
Pengumpulan buah ... 46
Pembuatan persemaian ... 47
Penanaman bersama masyarakat (Pelajar SD) ... 48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .... ... 51
Saran ... 51
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Kondisi hutan mangrove tahun 2011 wilayah pesisir Timur Sumatera Utara
Kabupaten Batu Bara (BPHM Wilayah II, 2011) ... 24
2. Distribusi responden berdasarkan umur ... 26
3. Distribusi responden berdasarkan lama menetap ... 27
4. Jenis pekerjaan responden Desa Bogak ... 29
5. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendapatan ... 31
6. Pemahaman /pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove ... 32
7. Perhatian masyarakat terhadap perubahan kondisi mangrove ... 36
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta wilayah administrasi Kecamatan Tanjung Tiram ... 15
... 2. Bagan kegiatan restorasi di Desa Bogak ... 18
3. Bagan observasi awal kegiatan restorasi ... 19
4. Bagan Kegiatan Penanaman ... 22
5. Bagan kegiatan pemeliharaan ... 22
6. Kondisi kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat masyarakat dan hempasan ombak (A) dan kerusakan akibat konversi lahan menjadi perumahan, tambak dan perkebunan sawit (B) ... 25
7. Tingkat pendidikan responden masyarakat Desa Bogak ... 28
8. Interaksi dan hubungan sosial ekonomi dan budaya hutan mangrove dengan masyarakat sekitar hutan ... 41
9. Pembibitan buah R. mucronata (A); A. marina dan A. alba (B) ... 45
ABSTRACT
JEPRIANTO MANURUNG : Study on Perspective of Community for Restoration Program of Mangrove Forest, A Community Case from Bogak Village, Tanjung Tiram Subdistrict, Batu Bara Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and ODDING AFFANDI.
Studies on restoration program has been implemented in many countries which have mangrove forest. This research was design on perspective community based of Bogak villagers in it’s correction to mangrove degradation and its existence to social, economy and culture. The questionnaire was employed to analyze data using quantitative descriptive method. This research was carried out from June 2011 to March 2012. The aim of research was to study the specific condition of mangrove forest in relation to indigenous people. The result showed that 86.97% of respondents knew very well about mangrove forest, 97.32% of respondents understood the functions of mangrove forest. They were active to response in the restoration program (97.32%) and 83.52% were willing to participate in restoration program. In this study mangrove nursery was useful due to give community a direct example how to restore mangrove well.
ABSTRAK
JEPRIANTO MANURUNG : Studi Perspektif Masyarakat untuk Program Restorasi Ekosistem Hutan Mangrove (Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara). Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan ODING AFFANDI.
Penelitian mengenai restorasi telah banyak dilaksanakan dibanyak negara di dunia yang memiliki hutan mangrove. Penelitian ini secara khusus meneliti perspektif masyarakat Desa Bogak dalam hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan dari hasil observasi dan hubungan eksistensi mangrove dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat dengan menggunakan kuisioner. Data hasil kuisioner dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan Juni 2011 hingga Maret 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi khusus yang terjadi yang berhubungan dengan perspektif masyarakat setempat dan sebagai penerapan program/ilmu restorasi bagi masyarakat. Pemahaman mereka terhadap hutan mangrove dan hubungan eksistensinya terhadap kehidupan mereka. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 86.97% responden mengetahui tentang hutan mangrove dan sebanyak 97.32 % memahami fungsinya. Sebanyak 97.32% dan 83.52% responden memberikan respon yang sangat baik terhadap kegiatan program restorasi yaitu bersedia terlibat dan berpartisipasi dalam program tersebut. Selain itu, pembuatan kebun benih atau pembibitan sangat berguna dalam penelitian ini karena memberikan contoh langsung kepada masyarakat metode retorasi yang baik dan sistematis.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni mencakup 21%
dari luas total dunia. Di Indonesia, mangrove tersebar hampir di seluruh
pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua,
dengan luas sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat,
kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut
(Spalding dkk, 2010).
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai,
karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut,
penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut juga merupakan tempat pemijahan
bagi ikan yang hidup di laut bebas (FAO, 1992).
Hutan mangrove di Sumatera Utara terkonsentrasi pada wilayah pantai
timur Sumatera Utara meliputi Batu Bara, Tanjung Balai Asahan, Serdang
Bedagai, hingga kawasan hutan mangrove di Kabupaten Langkat (Spalding dkk,
2010). Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Batu Bara telah mengalami
kerusakan dan makin menipis akibat perambahan liar, pengalihfungsian hutan
mangrove menjadi lahan pertanian/perkebunan, tambak, perumahan, pabrik dan
tempat wisata (Harahap, 2011).
Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan, diketahui bahwa
kawasan pantai Kabupaten Batu Bara, khususnya di Desa Bogak, dalam kawasan
merupakan kawasan hutan mangrove, mengalami kerusakan yang parah dan
terindikasi telah banyak dirambah. Perambahan dilakukan oleh masyarakat
maupun pengusaha yang menjadikannya lahan perkebunan sawit dan tambak.
Rusaknya mangrove ini menimbulkan berbagai permasalahan terutama abrasi.
Abrasi ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat Desa Bogak yang
menggantungkan hidupnya terhadap hasil-hasil laut atau sebagai nelayan
mengalami penurunan produksi hasil laut.
Konversi lahan menjadi pertambakan, permukiman, industri, pencemaran,
dan pemanfaatan sumber daya pesisir yang berlebihan memberikan pengaruh
negatif pada kestabilan kawasan pantai (Triana, 2011). Mengingat besarnya
kerugian akibat hilangnya/rusaknya mangrove, maka penting dilakukan kegiatan
restorasi di Desa Bogak, terutama di bekas kawasan hutan mangrove. Agar
kegiatan restorasi ini berjalan dengan baik dan berhasil, masyarakat setempat
haruslah terlibat secara penuh mulai dari perencanaan kegiatan sampai pada
pemeliharaan tanaman, namun untuk permulaan program restorasi diperlukan
sosialisasi dan pemberian contoh nyata berupa pembuatan pembibitan untuk
program restorasi dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan penanaman yang
dapat berfungsi sebagai pembelajaran dan motivasi yang baik bagi masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan studi perspektif masyarakat setempat
untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan respon masyarakat terhadap
kegiatan restorasi ekosistem mangrove sebagaimana telah diterapkan di beberapa
negara seperti Bangladesh, Cuba dan Pakistan (Alongi, 2002). Keterlibatan
masyarakat ini penting karena merekalah yang sehari-hari berada dan berinteraksi
ditentukan oleh ilmu dan teknik pembibitan mangrove yang tepat. Dengan
memperkenalkan program restorasi kepada masyarakat yang telah memiliki
kearifan lokal yang sangat relevan dengan manajemen konservasi oleh para
nelayan (Aswani dan Hamilton, 2003) dengan memberikan komunikasi yang
efektif pada masyarakat (Farley Dkk, 2010).
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui kondisi ekosistem mangrove yang rusak dan perspektif
masyarakat terhadap ekosistem hutan mangrove di Desa Bogak Kecamatan
Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara;
2) Menganalisis respon masyarakat lokal terhadap kegiatan restorasi melalui
kegiatan pembibitan mangrove yang merupakan sesuatu yang baru bagi
masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara;
3) Mengetahui hubungan pembuatan pembibitan dalam keberhasilan program
restorasi.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memberikan informasi mengenai perspektif masyarakat lokal (masyarakat
desa tertinggal) terhadap eksistensi ekosistem hutan mangrove di daerahnya;
2) Untuk memulihkan kembali (merestorasi) ekosistem hutan mangrove yang
melalui program restorasi di Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram
Kabupaten Batu Bara;
3) Memberikan contoh dan motivasi bagi masyarakat Desa Bogak untuk
berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan ekosistem hutan mangrove di
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan yang hanya terletak pada pertemuan
daratan dan lautan di dunia bagian tropik maupun subtropik (Alongi, 2002).
Ekosistem mangrove merupakan tempat di mana air pasang dan arus pantai
membawa perbedaan terhadap hutan dan di mana tumbuh-tumbuhan beradaptasi
terhadap perubahan kimiawi, fisika dan karakteristik biologis lingkungannya.
Batasan-batasan dari ekosistem daerah pesisir ini dapat disesuaiakan definisinya
terhadap yang berhubungan dengan bumi dan ekosistem lautan yang
membatasinya. Dalam tahun terbaru ada studi-studi khusus mengenai fauna, flora,
ekologi, hidrologi fisiologi dan produktivitas dari banyak perbedaan
ekosistem-ekosistem mangrove, kebanyakan adalah kondisi dalam keadaan asli
(Field, 1996).
Sebagai suatu negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km,
Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas. Selain menempati wilayah
yang sangat luas, kawasan pesisir yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung
seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah.
Memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumber daya alam seperti ikan dan
bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi. Potensi yang demikian besar tentunya
memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai bentuk
pemanfaatan seperti usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman,
pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan (Savitri dan Khazali, 1999).
Dalam konteks sistem ekologi, wilayah pesisir dan laut memiliki
pendukung kehidupan berupa daerah asuh bagi banyak spesies ikan. Di Indonesia,
wilayah pesisir dan laut menjadi habitat bagi sejumlah besar hewan dan tumbuhan
yang menjadi penunjang kehidupan manusia. Wilayah pesisir juga berfungsi
sebagai pelindung alami dari dinamika proses kelautan dan iklim yang sering kali
tidak dapat diduga. Selain itu, keterkaitan wilayah pesisir dan laut sangat
berpengaruh terhadap keberadaan dan kesehatan habitat dan rantai makanan
(Gunawan dkk, 2004).
Kondisi Terkini Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem alami di kawasan tropika sering kali amat rentan terhadap
degradasi oleh kegiatan penebangan, kebakaran, penggembalaan dan budidaya
pertanian dan perladangan yang berlebihan yang menyebabkan vegetasi asli sulit
untuk pulih kembali. Kondisi hutan yang rusak tersebut tidak akan pernah dapat
untuk pulih kembali seperti semula (Kusmana dkk, 2004).
Sering kali kita menghadapi kondisi wilayah pesisir dan laut yang sudah
tidak mampu melangsungkan fungsi ekologisnya atau sudah tidak utuh secara
ekologis. Dalam perencanaan kawasan konservasi, kita harus dapat menilai dan
mengevaluasi keberadaan sasaran konservasi di wilayah perencanaan. Seperti
yang terjadi di wilayah-wilayah lain, di banyak wilayah pesisir di Indonesia,
kondisinya telah terfragmentasi sehingga fungsionalitas ekosistem telah berada di
bawah viabilitas, atau kelayakan. Berbagai bentuk gangguan yang merupakan
bagian penting dari fungsionalitas tersebut sudah tidak berfungsi dengan baik
Tidak hanya terjadi di wilayah pesisir pedalaman yang jauh dari pantauan
pemerintah. Kerusakan ekosistem mangrove yang rusak juga ternyata terjadi juga
di wilayah perkotaan seperti kasus di DKI Jakarta. Dimana ekosistem mangrove
mengalami tekanan yang berat akibat kegiatan perambahan dan atau
pengalihfungsian kawasan mangrove sebagai akibat tumbuh kembangnya
pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia seperti pengembangan pemukiman,
pembangunan fasilitas rekreasi dan pemanfaatan lahan pasang surut
untukkepentingan pertambakan (Waryono dan Didit, 2002).
Adanya kemudahan aksesibilitas terhadap kawasan ini akan cenderung
meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang. Selain
itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta yang menunjukkan bahwa
tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan ini.
Kesemuanya merupakan tekanan-tekanan dan beban yang harus dipikul
lingkungan pesisir. Dengan memperhatikan fenomena di atas maka pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan adalah suatu kebutuhan
(Savitri dan Khazali, 1999).
Pengertian Restorasi
Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami
kerusakan (degraded) atau terganggu (disturbed) akibat aktivitas manusia atau
gangguan alam (Basyuni, 2002). Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya
proses ekologi akan kembali, serta dengan upaya ini, ketahanan yang menjadi
Salah satu tantangan dan tanggung jawab paling penting yang dihadapi
rimbawan adalah membangun hutan pada kawasan hutan yang tidak berhutan dan
menghutankan kembali areal hutan bekas penebangan. Dorongan untuk
menghutankan kembali suatu kawasan hutan dapat timbul karena alasan ekonomi
sosial maupun alasan ekologi. Dorongan ekonomi timbul karena adanya interaksi
antara persediaan dan permintaan kayu di kalangan masyarakat. Berkaitan dengan
persediaan kayu atau sumber kayu yang suatu ketika mengalami keterbatasan
jumlah, maka pengelolaan hutan semata-mata dilakukan untuk menjaga
kesinambungan suplai kayu. Alasan sosial dan ekologi didasari oleh adanya
manfaat hutan secara langsung atau tidak langsung untuk kehidupan masyarakat
di sekitar serta lingkungan yang dipengaruhinya. Tanggung jawab sosial untuk
menghutankan kembali kawasan hutan biasanya mendapatkan dukungan dari
berbagai kalangan masyarakat, pemerintah dan swasta (Indriyanto, 2008).
Mencermati uraian pentingnya konservasi sumber daya alam hayati,
dengan demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam
bidang konservasi dapat dilakukan melalui (1) penanganan dan pengendalian
lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2) pemulihan secara
ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya, (3) mengharmoniskan
perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti,
memahami, hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab
untuk mempertahankan, melestarikannya, serta (4) meningkatkan akuntabilitas
kerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya
Menyadari fungsi ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem hutan
mangrove yang sangat penting bagi wilayah pesisir, dimana dalam
pemanfaatannya yang tidak tepat sehingga kondisinya terus mengalami kerusakan
yang mencapai 530.000 ha/tahun. Perlu dilakukan pemulihan kembali hutan
mangrove yang telah rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi
kesejahteraan manusia khususnya masyarakat sekitar hutan mangrove serta
mendukung dalam kegiatan pembanguan wilayah pesisir. Penggalakan dan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove
dalam kehidupan dan perekonomian mereka. Pengikutsertaan masyarakat dalam
upaya pemulihan pantai menjadi kunci keberhasilan pelestarian ekosistem
mangrove (Anwar dan Gunawan, 2006).
Lewis (2000) menyatakan bahwa, untuk memperbaiki manajemen dari
proses restorasi lahan basah bermaksud memiliki kegagalan yang lebih kecil dan
keberhasilan restorasi menjadi norma tanpa terkecuali. Maka rehabilitasi yang
bertujuan konservasi memastikan kembalinya seluruh proses ekologis dan
keragaman genetik (Field, 2007). Dan menentukan biomassa serta produksi
mangrove (Smith dan Whelan, 2006).
Pemilihan jenis mangrove untuk restorasi
Untuk pemilihan spesies mangrove untuk tujuan restorasi, survey terinci
bagian timur India sama bagusnya dengan bagian pantai barat India yang
diusahakan. Urutan dan zonasi spesies mangrove berhubungan dengan lapisan
bawah dan salinitas yang diamati. Keseluruhan ditemukan berkolerasi dengan data
pengamatan-pengamatan, kesesuaian spesies dipilih untuk restorasi mangrove. Berdasarkan
data kandungan karbon yang telah diamati, meskipun spesies mangrove berbunga
dan berbuah pada waktu-waktu yang berbeda dalam tahunya, spesies mangrove
yang dominan secara ekologis dan ekonomis, pentingnya pengembangan
persemaian-persemaian yang dewasa atau propagul-propagul selama musim
hujan. Sebab itu, pengumpulan yang matang untuk persemaian ditempatkan
selama Juni-Juli atau musim hujan (Untawale, 1996).
Perlu dilakukan observasi untuk mengetahui kondisi distribusi hutan alam
dan memperhatikan kondisi tempat tumbuhnya, misalnya tepi sungai dan tinggi
permukaan tanah dari permukaan laut dan mengobservasi kondisi di sepanjang
tepi batas penyebarannya. Juga perlu untuk mengetahui ketersediaan benih yang
diperlukan. Bila tinggi permukaan tanah, kondisi topogafi atau kondisi tanah
tempat penanaman mirip dengan hutan alam di dekatnya, bisa dipilih spesies yang
sama dengan yang dijumpai di hutan alam. Namun kegiatan pembalakan oleh
manusia biasanya sangat mempengaruhi sebagian besar kondisi tersebut.
Karena itu, pemilihan spesies tidak hanya berdasar hasil observasi ini
(Taniguchi dkk, 1999). Melibatkan pengetahuan masyarakat setempat juga dapat
dilakukan dalam pemilihan jenis. Seperti di Myanmar, pengetahuan umum
masyarakat menentukan pemilihan jenis A. marinna sebagai spesies yang
digunakan karena dipercaya mampu menahan topan (Aung dkk, 2011).
Tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap respon pertumbuhan
tinggi maupun pertambuhan jumlah daun anakan Rhizopora mucronata dan
Avicennia marina pada umumnya diketahui bahwa respon pertumbuhan tinggi
untuk jenis Avicenia marina lebih baik pada tingkat salinitas yang lebih luas
(Hutahaean dkk, 1999). R. mucronata dan A. marinna merupakan species bernilai
penting yang dominan (Mohamed, 2009). Namun species mangrove hitam
(Avicennia germinans) juga merupakan species yang digunakan dalam program
restorasi (Toledo dkk, 2001).
Penelitian mengenai karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh vegetasi
mangrove terkait dengan respon dan toleransinya terhadap kondisi lingkungan
yang ekstrem yakni lingkungan yang memiliki salinitas tinggi, tanah jenuh air dan
miskin oksigen, radiasi sinar matahari, suhu yang tinggi telah banyak dilakukan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti
pada jenis Avicennia dan Rhizopora memiliki adaptasi anatomi yang dikenal
dengan istilah secreter dan nonsecreter, sistem perakaran yang khas serta struktur
posisi daun yang khas dalam pengaruhnya terhadap radiasi sinar matahari dan
suhu yang tinggi (Onrizal, 2005).
Upaya dalam meningkatkan keberhasilan restorasi ekosistem hutan
memerlukan pemahaman fungsi spesies dan ekosistem. Sementara banyak dari
berbagai proyek rehabilitasi yang telah dilakukan di Indonesia berakhir gagal dan
tidak berkelanjutan (Eijk, 2012). Kriteria dalam menilai keberhasilan restorasi
harus didasarkan pada sebuah perbandingan dengan lebih dari satu referensi
lapangan yang menyediakan waktu dan ruang yang dinamis dari sebuah
ekosistem (Jaen dan Aide, 2005). Rendahnya tingkat ketahanan dapat terjadi
sebagian besar disebabkan oleh dua faktor yaitu spesies yang tidak sesuai dan
Teknik pembibitan benih untuk program restorasi
Bibit mangrove yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang
mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Penggunaan bibit
berkualitas tinggi dan siap tanam berpeluang tinggi terhadap pertumbuhannya di
lapangan serta sebaliknya. Penyiapan bibit bakau sebaiknya menggunakan buah
yang telah masak (Wibsono dkk, 2006).
Suksesi alami akan bergantung pada tersedianya benih dari induk.
Penyebaran biji spesies pionir meliputi kawasan yang luas, dengan bantuan angin,
air atau satwa sebagai agen penyebar. Mereka dengan cepat mengkoloni tanah
terbuka. Yang lebih sulit adalah menggalakan regenerasi spesies klimaks.
Mungkin memang ada regenerasi dari biji yang tersebar secara alami dari blok
hutan berdekatan, tetapi sering diperlukan perbanyakan secara buatan dan
penyemaian tanaman (Mackinnon dkk, 1993).
Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Mangrove dan Kegiatan Restorasi
Kegiatan restorasi mencakup keseluruhan yang terintegrasi dengan baik
dalam setiap tahapannya, kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan
dikarenakan kesalahan dalam pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut,
tipe tanah dan pemiliha jenis yang tepat. Selain itu di daerah lain seperti di Pesisir
Bangi, partisipasi kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan sangat
menentukan keberhasilan program restorasi mangrove. Sehingga masyarakat
diwajibkan menjaga kelestarian mangrove dan sebagai imbalannya mereka
mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya
Persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai
pemerintah yang menganggap bawha hutan mangrove merupakan sumber daya
yang kurang berguna yang hanya cocok sebagai tempat pembuangan sampah atau
dikonversi untuk keperluan lain, kegiatan pembukaan tambak-tambak serta
ketidaktahuan akan nilai alamiah yang diberikan oleh ekosistem mangrove dan
ketiadaan perencanaan untuk pembangunan secara integral menjadi ancaman yang
serius bagi ekosistem mangrove (Ridho dkk. 2006).
Masyarakat memiliki pandangan/persepsi yang berbeda-beda mengenai
hutan mangrove, sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan keinginan yang ingin
dicapai dalam melakukan penanaman mangrove (Walter, 2004). Pola pikir yang
etis berkaitan dengan kerangka biofisik yang ekonomis memiliki jangkauan yang
lebih luas terhadap rasa bertangung jawab dan perilaku etis yang memimpin pada
pembuatan keputusan jangka panjang yang lebih baik (Adolphson, 2004).
Interaksi antara manajemen sumberdaya pantai dengan bentuk sistem sosial secara
langsung membangun jaringan antara ekologis dan ketahanan sosial masyarakat
(Adger, 2000).
Keterlibatan Masyarakat Setempat
Pemerintah berkewajiban memberikan bimbingan baik formal maupu n
nonformal yang bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran
masyarakat serta menambah wawasan masyarakat mengenai pengelolaan
kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 10
Undang-undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pendidikan
lingkungan dengan segala permasalahannya, dan dengan pengetahuan,
keterampilan, sikap motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan
kolektif terhadap pemecahan permasalahan dan mempertahankan kelestarian
fungsi-fungsi lingkungan (Erwin, 2008).
Menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang ditetapkan
benar-benar berbasiskan pada nilai-nilai serta kearifan sistem sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat setempat masyarakat akan menumbuhkan sikap tanggung
jawab dan kepemilikan masyarakat tersebut terhadap hutan di sekitar mereka
(Oszaer, 2007). Di beberapa negara, partisipasi masyarakat dihindarkan,
sedangkan di negara lainnya digalakkan. Paling sedikit masyarakat setempat
biasanya dilibatkan dalam pengelolaan zona penyangga. Bila situasi mengijinkan,
masyarakat setempat juga dilibatkan dalam pengawasan pemungutan hasil
(seperti berburu dan pengumpulan kayu bakar tidak bertentangan dengan tujuan
pengelolaan), (Mackinnon dkk, 1993).
Masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam hutan, sudah seharusnya
diperlakukan sebagai stakeholder utama dan pertama dalam pengelolaan hutan
(Wiratno, 2006). Tanpa komunikasi yang efektif proyek konservasi akan relative
tidak signifikan (Farley dkk, 2010). Kemitraan diantara stakeholders utama
(pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
merupakan hal penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Bogak (Bogak dan Bandar Rahmat)
Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara yaitu di salah satu desa yang
memiliki pantai dan hutan mangrove, memiliki dan berinteraksi dengan hutan
mangrove. Adapun yang menjadi daerah titik fokus kegiatan penelitian untuk
program restorasi adalah seluruh wilayah Desa Bogak yang kini (akhir bulan Juli
2011) menjadi dua desa yaitu Desa Bogak dan Desa Bandar Rahmat yang secara
umum berada pada wilayah yang sama. Pembuatan pembibitan di lokasi SD
Negeri 017120 Desa Bogak dan lokasi penanaman di wilayah pantai Boting desa
tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada 22 Juni 2011 sampai Maret 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Propagul Rhizopora
mucronata yang dewasa sebanyak 300 buah, benih Avicennia alba dan A. marina
masing-masing sebanyak 250 buah. Tanah sebagai media tanam propagul dan
semai. Pasir sebagai media perkecambahan, Lembar kuisioner survey masyarakat
Desa Bogak, Data sekunder dari kantor Camat Tanjung Tiram dan kepala Desa
Bogak.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: bedeng persemaian,
tali rafia, bak perkecambahan, kalkulator, alat tulis, polybag, cutter, ajir,
handrefractometer, kamera digital dan alat angkutan.
Metode Pengumpulan Data
Observasi
Pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan observasi langsung
lokasi penelitian dengan mengamati sepanjang garis pantai dan sungai Desa
Bogak untuk mengetahui kondisi secara umum ekosistem hutan mangrove serta
pengamatan jenis tumbuhan penyusun yang masih tersisa di lokasi penelitian.
Observasi terhadap masyarakat desa juga dilakukan dengan mengamati aktivitas
keseharian serta kondisi lokasi perumahan masyarakat.
Kuisioner
Pembagian lembar kuisioner kepada masyarakat untuk mempermudah
sekaligus melakukan sosialisasi perkenalan program restorasi terhadap objek yang
diteliti.
Wawancara
Melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan beberapa
tokoh masyarakat serta warga yang dianggap memiliki pemahaman atau
pengalaman di lokasi penelitian guna memperoleh informasi mengenai kondisi
dan karakteristik sosial ekonomi desa di desa tersebut.
Populasi dan Sampel
Populasi yang menjadi objek penelitian yaitu seluruh masyarakaat yang
bertempat tinggal atau telah lama menetap (setidaknya satu tahun menetap) di
Desa Bogak. Berdasarkan data terbaru dari Kantor Kecamatan Tanjung Tiram
(2011) yang berjumlah sebanyak 10.415 jiwa dan sebanyak 2614 kepala keluarga
(KK). Metode penentuan sampel sebagai responden yang digunakan pada
populasi masyarakat yang tinggal di Desa Bogak berdasarkan rumus Arikunto
(2006), bahwa jika jumlah subjek masyarakat yang ingin diwawancari kurang dari
100 orang maka diambil semua sebagai penelitian populasi, selanjutnya apabila
jumlah populasinya lebih dari 100 orang maka diambil 10%-15% atau 20%-25%
atau lebih tergantung pertimbangan peneliti. Maka sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah sebanyak 10% dari jumlah total kepala keluarga (KK) Desa
Analisis Data
Penelitian ini memperoleh data yang diolah secara deskriptif kuantitatif
yang menggambarkan secara sistematis dan karakteristik suatu populasi dari
daerah. Sedangkan formulasi data dilakukan dengan analisis persentase
kuantitatif.
Cara Kerja
Kegiatan restorasi magrove melalui pembibitan mangrove dilaksanakan di
Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara. Lokasi yang dipilih
adalah kawasan pantai seluas 150 x 100 meter persegi yang memiliki kerusakan
paling parah akibat abrasi dan hempasan ombak saat pasang tinggi. Tata urutan
kegiatan dalam merestorasi hutan mangrove adalah mengacu pada Gambar 2
(Taniguchi dkk.,1999; Basyuni, 2002).
Gambar 2. Bagan kegiatan restorasi di Desa Bogak Persiapan Observasi
Observasi Awal
Estimasi Kuantitas
Penanaman Pemilihan jenis
Pengadaan benih dan bibit Penyiapan lahan
Perincian Kegiatan:
Observasi awal
Berikut ini dipaparkan tentang persiapan observasi awal untuk menetapkan rencana penanaman (Field, 1996; Basyuni, 2002). Seperti terlihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Bagan observasi awal kegiatan restorasi
Pemilihan jenis
Dalam kegiatan restorasi ini pemilihan jenis didasarkan pada pengkayaan
(enrichment) jenis-jenis yang ada. Survey pendahuluan menunjukkan di lokasi
penelitian diketahui keanekaragaan jenis-jenis mangrove yang tumbuh di kawasan
penelitian yaitu: Avicennia alba, A lanata, A marina, A officinalis (famili
Avicenniaceae), Rhizophora apiculata, R. mucronata, Ceripos tegal, Excoearia
agallocha dan jenis lainnya.
Penyiapan peralatan
Penyusunan jadwal
Survei hutan alam mangrove yang masih ada Survei sosial ekonomi
Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa ekosistem
mangrove tersebut secara alami didominasi oleh famili Avicenniaceae, dan
Euphorbiaceae. Namun untuk jenis-jenis yang digunakan untuk kegiatan restorasi
adalah Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Kedua jenis spesies yang
dipilih untuk program restorasi sangat sesuai berhubung dengan sifatnya yang
memiliki manfaat ekologis yang baik serta tergolong kepada jenis pionir atau
dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan yang ekstrem
(Noor dkk, 2006).
Pembuatan pembibitan
Berdasarkan lokasi yang akan dipulihkan berada di pinggir laut akibat
abrasi dan hempasan ombak, maka pembuatan kebun bibit sebaiknya dilakukan.
Selain itu, keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman juga sedikit.
Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman
dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan
penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan
menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Bibit/benih yang akan ditanam
harus sudah tersedia satu hari sebelum diadakan penanaman. Kegiatan ini sangat
berguna bagi spesies-spesies mangrove seperti Avicennia spp. Demikian juga
buah Rhizophora spp. bisa disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam dan bisa
ditanam tanpa persemaian. Dalam usaha restorasi ekologi hutan mangrove akan
berhasil jika memahami sistem hidrologi dan ketersediaan benih di lokasi tersebut
Kegiatan pembibitan sebagai berikut (Khazali, 1999): Pemilihan lokasi persemaian
Lokasi persemaian diusahakan pada tanah lapang dan datar. Selain itu,
hindari lokasi persemaian di daerah ketam/kepiting atau mudah dijangkau
kambing. Lokasi persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi
penanaman dan sebaiknya terendam air pasang lebih kurang 20 kali/bulan
agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman bibit.
Pembangunan tempat dan bedeng persemaian
Ukuran tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang
akan dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan
bambu.Atap/naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang
dengan ketinggian antara 1-2 meter. Bedeng persemaian dibuat dengan
ukuran bervariasi sesuai kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 5 x 1 m.
Dengan bedeng berukuran 5 x 1 meter dapat memuat kurang lebih 1200
kantong plastik (polybag) ukuran 15 x 20 cm, dimana masing-masing
kantong memuat satu benih.
Pembuatan bibit
Dalam pembibitan, terlebih dahulu harus dipersiapkan media tanam yaitu
tanah lumpur dari sekitar persemaian. Untuk buah jenis Rhizophora spp,
benih dapat langsung disemaikan dan sekaligus disapih pada kantong plastik
dahulu. Benih dapat ditebarkan langsung di bak persemaian atau kulit buah
dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan di bak persemaian.
Kegiatan penanaman
Kegiatan penanaman dalam restorasi hutan mangrove yang rusak
ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Bagan Kegiatan Penanaman
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan dalam kegiatan penanaman ditunjukkan dalam
Gambar 5.
Gambar 5. Bagan kegiatan pemeliharaan Pemantauan
Pengukuran tingkat keberhasilan hidup
Identifikasi faktor/penyebab kerusakan
Tindakan pencegahan kerusakan Penyulaman Persiapan tapak
Pengangkutan bibit
Pembuatan lubang tanam
Pengaturan/penyesuaian jarak tanam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi
Desa Bogak merupakan desa dengan jumlah penduduk terpadat ketiga di
Kecamatan Tanjung Tiram dengan jumlah penduduk sebesar 10.415 jiwa (Kantor
Kecamatan Tanjung Tiram, 2011). Berdasarkan letak astronomisnya, Desa Bogak
berada pada posisi 03001’54’’− 03003’56’’ BT dan 99033’57” LU. Terletak pada
daerah pantai dengan ketinggian 3-5 meter di atas permukaan laut. Secara umum
Desa Bogak memiliki curah hujan rata-rata per tahun 2678,4 mm/tahun dengan
suhu udara minimum 240 C dan maksimum 360C . Komposisi penduduk mayoritas
adalah suku Melayu 65% sebagai suku asli Desa Bogak dan selebihnya suku lain
yang berstatus sebagai pendatang dan menetap di Desa Bogak. Menurut mata
pencaharian penduduknya, yang berpropesi sebagai nelayan/buruh nelayan
adalah yang paling tinggi yaitu sebesar 83,43% dan selebihnya adalah pedagang,
buruh industri, supir, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan lain-lain.
(Kantor Kepala Desa Bogak, 2010).
Adapun batas-batas Administrasi Desa Bogak adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Tiram
Sebelah Selatan berbatas dengan desa Mesjid Lama Kec. Talawi
Kondisi lokasi
Tabel 1. Kondisi hutan mangrove tahun 2011 wilayah pesisir Timur Sumatera Utara Kabupaten Batu Bara (BPHM Wilayah II, 2011)
Kawasan Hutan Lindung 2347.15 895.98 152.23 3395.35
Hutan Produksi - - - -
Hutan Produksi Terbatas 10211.24 5655.63 264.56 16231.43
Tidak ada data 0.13 2.03 - 2.16
Jumlah 12561.1 6553.64 417.3 19632.03
Tabel 1. Menunjukkan bahwa kondisi hutan mangrove Kabupaten Batu
Bara dengan kondisi kekritisan meliputi kondisi rusak (12561.1 ha) dan rusak
berat (6553.64 ha) dan tidak rusak (417.3 ha) terdapat pada berbagai tipe hutan. Dari jumlah seluruh kerusakan dapat dilihat bahwa kondisi kekritisan tertinggi
pada hutan produksi terbatas yaitu 81.29% untuk kategori rusak dan 86.30%
untuk kategori rusak berat.
Berdasarkan observasi di lapangan vegetasi hutan primer masih dapat
ditemukan dalam bentuk kelompok tumbuhan yang sudah terganggu, persebaran
jenis spesies secara umum berdasarkan vegetasi penyusun ekosistem mangrove
tersebut relatif tidak variatif, yaitu hanya didominasi oleh kelompok pohon dari
keluarga Avicenia spp (khususnya jenis Avicenia alba yang terlihat paling mudah
ditemukan di sepanjang pinggiran sungai menuju laut atau batas pertemuan air
laut dan air tawar), Excoearia agallocha dan kelompok mangrove asosiasi dari
Acanthus spp. yang menempati daerah pinggiran hutan pada lahan berlumpur
Eksploitasi hasil hutan berupa kayu oleh masyarakat sekitar merupakan
kebiasaan yang sangat sering terjadi walaupun dalam lokasi hutan telah dibuat
papan himbauan dan peringatan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Batu Bara.
Penebangan pohon untuk tujuan bahan bangunan rumah, kapal, pondok hingga
untuk kayu bakar dilaporkan oleh warga setempat sebagai penyebab utama
rusaknya hutan mangrove setelah usaha konversi lahan menjadi lahan sawit dan
usaha pertambakan yang 100% gagal yang ditinggal ±5 tahun terakhir oleh
masyarakat setempat akibat kerugian usaha tambak yang tidak menguntungkan.
Lahan bekas tambak diterlantarkan begitu saja tanpa adanya upaya perbaikan oleh
pemilik tambak.
A B
Gambar 6. Kondisi kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat masyarakat dan hempasan ombak (A) dan kerusakan akibat konversi lahan menjadi perumahan, tambak dan perkebunan sawit (B)
Tingkat dan intensitas kerusakan hutan mangrove baik dari luas kawasan
maupun kerusakan vegetasi untuk kebutuhan masyarakat memiliki hubungan
dengan jumlah penduduk yang terdapat di desa tersebut yaitu sebagai desa
dengan penduduk terpadat ke tiga di kecamatan Tanjung Tiram sebanyak 2614
kepala keluarga atau sebanya 10.415 jiwa penduduk.
Karakteristik responden penelitian
Umur
Umur responden yang diteliti berdasarkan pertimbangan bahwa responden
memiliki pengetahuan mengenai lingkungan sekitar berdasarkan usia, yakni
terkait dengan pengalaman hidupnya dengan lingkungan sekitar di mana
responden melakukan interaksi langsung maupun tidak langsung dengan
lingkungan sekitarnya. Umur responden dikategorikan ke dalam enam kelas umur.
Mulai dari umur 11 tahun sebagai umur responden termuda yang dianggap cukup
mengetahui lingkungannya dan dapat mengkomunikasikan perspektifnya hingga
umur 70 tahun yang diperkirakan mewakili usia tertua yang dapat diwawancarai.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur
dengan aktivitas mereka yang keseharian dihabiskan paling banyak di laut dan
sekitar pantai danmudah ditemukan. Mereka berinteraksi secara langsung dan
biasanya lebih memahami mengenai ekosistem hutan mangrove. Responden
dengan usia demikian merupakan responden yang telah berumah tangga dan
sangat aktif secara langsung dalam bekerja di wilayah desa tersebut. Pembuatan
responden dengan kelas umur tersebut lebih tepat memungkinkan untuk
mengkomunikasikan perspektifnya.
Lama Menetap
Lamanya seseorang pada wilayah tertentu baik yang tinggal/berdomisili
sementara, lama atau permanent sangat mempengaruhi pengenalannya terhadap
kondisi lingkungan yang ditempatinya. Terkait dengan kearifan lokal atau sosial
budaya daerah setempat yang menjadi tepat tinggalnya. Interaksi baik langsung
maupun tidak langsung terhadap lingkungan dari segi intensitas serta frekuensi
akan dipengaruhi oleh lama tidaknya seseorang berada di suatu daerah.
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan lama menetap
No Lama Menetap Jumlah Persentase (%)
1 0-5 13 4.98
2 6-10 38 14.56
3 11-15 36 13.79
4 16-20 50 19.16
5 21-25 21 8.05
6 26-30 35 13.41
7 ≥31 68 26.05
Total 261 100
Menurut Tabel 3. jumlah responden yang menetap pada Desa Bogak
persentase tertinggi pada kategori ketujuh yaitu di atas 31 tahun (26.05%). Mereka
biasanya adalah putra daerah asli yang sejak lahir telah tinggal di wilayah tersebut.
Dari hasil wawancara yang dilakukan responden yang tinggal di bawah
lima tahun cenderung kurang mengetahui mengenai perubahan-perubahan
lingkungan yang menjadi tempat barunya. Sementara responden yang sejak lahir
hingga puluhan tahun ternyata lebih mengerti mengenai dinamika perubahan
lingkungan yang terjadi.
Pendidikan
Pendidikan responden Desa Bogak diklasifikasikan dalam lima kategori
menurut pendidikan formal yang pernah mereka jalani. Kategori tersebut dimulai
dari kategori tidak sekolah, kategori SD, kategori SLTP, kategori SLTA hingga
kategori perguruan tinggi (PT).
Gambar 7. Tingkat pendidikan responden masyarakat Desa Bogak
Pada Gambar 7. dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki
oleh masyarakat Desa Bogak secara umum tergolong sangat rendah. Rata-rata
responden yang diwawancarai memiliki latar pendidikan paling banyak hanya
sampai pada tingkat sekolah dasar (SD) yaitu sebesar 53%, SLTP yaitu sebesar
23%, kemudian pada tingkat perguruan tinggi hanya 1%. Berbagai faktor
penyebab latar belakang rendahnya pendidikan mereka adalah disebabkan oleh Tidak Sekolah
5%
SD 53% SLTP
23% SLTA
18%
Perguruan Tinggi
rendahnya taraf hidup/perekonomian masyarakat, serta rendahnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan.
Kondisi pendidikan semacam ini mempengaruhi terhadap persepsi
masyarakat terhadap alam sekitarnya. Misalnya, tingkat kesadaran lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan sekitar yang sangat tidak ramah lingkungan.
Sehingga eksositem hutan mangrove dapat dianggap hanya merupakan ekosistem
hutan yang kurang bermanfaat.
Pekerjaan
Masyarakat Desa Bogak yang merupakan masyarakat pesisir dengan latar
belakang perekonomiannya tidak dapat dipisahkan dari produksi perikanan di
daerah tersebut. Secara umum sistem perekonomian masyarakat Desa Bogak
ditopang oleh hasil-hasil laut terutama hasil perikanan.
Tabel 4. Jenis pekerjaan responden Desa Bogak
No Jenis-Jenis pekerjaan
ikan, buruh kapal, buruh bangunan dan penjaga sekolah). Profesi nelayan hanya
dimiliki oleh orang yang memiliki modal cukup besar untuk membeli sebuah
perahu lengkap dengan perlengkapan menangkap ikan dan diikuti oleh beberapa
buruh nelayan. Untuk kapal besar biasanya menampung sampai 30 buruh,
sementara kapal kecil hanya terdiri dari lima sampai sepuluh buruh saja.
Pekerjaan sampingan biasanya dimiliki oleh kaum perempuan/istri dimana
pada dasarnya berprofesi utamanya sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 3, pekerjaan sampingan juga sebagai buruh, umumnya
menjadi buruh di gudang ikan.
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan masyarakat Desa Bogak secara langsung maupun
tidak langsung sangat dipengaruhi oleh jumlah atau banyaknya tangkapan hasil
laut khususnya hasil ikan. Dari hasil wawancara dengan responden, diketahui
bahwa sejumlah pendapatan perbulan sulit untuk dirata-ratakan, karena jumlah
hari kerja perbulan juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor terutama faktor
peralatan yang digunankan yang sering mengalami kerusakan. Selain itu faktor
iklim (angin) juga faktor yang sangat dipertimbangkan untuk melaksanakan
penangkapan ikan di laut.
Table 5. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendapatan
No Pendapatan (Rp.) Jumlah Persentase (%)
1 ≤500.000 112 42.91
Berdasarkan Tabel 5. tingkat pendapatan masyarakat secara umum pada
lokasi penelitian adalah tergolong sangat rendah bahkan tidak menentu tiap
bulannya yaitu sebesar lebih kecil atau sama dengan Rp. 500.000 sebesar 42.91%
dan pendapatan sebesar Rp. 500.001-1.000.000 sebesar 49.04% dengan kata lain
bahwa terdapat 91.95% responden yang memiliki pendapatan di bawah atau sama
dengan Rp. 1.000.000. Kondisi jumlah pendapatan tersebut sangat rendah
dibandingkan dengan gaji UMR minimum yang sebesar Rp. 1.200.000. Terdapat
hanya 1 orang yang memiliki pendapatan antara 3 juta sampai 3.5 juta rupiah oleh
responden dengan profesi sebagai wiraswasta yang berkaitan dengan ikan yang
biasa dikenal sebagai juragan ikan.
Tingkat pendapatan masyarakat tersebut sangat berkaitan erat dengan
profesi atau jenis pekerjaan yang dimiliki oleh responden pada daerah penelitian.
Sebagaimana disebutkan oleh Martono (2011) bahwa profesi nelayan sering
menjadi satu-satunya pilihan masyarakat pesisir dengan masalah kemiskinannya
yang klasik. Sebagaimana pada Tabel 4 diketahui bahwa jenis pekerjan responden
terbanyak adalah sebagai buruh nelayan dan buruh tidak tetap. Berdasarkan hasil
wawancara langsung diketahui bahwa selain hasil tangkapan ikan di laut yang
No Pertanyaan Kelas Umur (Tahun) Total
Persen-umumnya penghasilan mereka diperoleh secara harian sesuai dengan hari kerja.
Berdasarkan informasi dari responden, juga diketahui bahwa terjadinya
penurunan tangkapan ikan di laut beberapa atau kurang lebih lima tahun terakhir.
Bahkan dilaporkan nelayan pernah pulang dengan tangan kosong dari laut setelah
semalaman bekerja. Kondisi tersebut sangat merugikan nelayan disebabkan
pengeluaran dalam pembelian bahan bakar solar yang mahal tidak dapat diganti
oleh hasil tangkapan.
Eksistensi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menggambarkan kondisi/perspektif secara umum
masyarakat sekitar hutan mangrove di berbagai daerah Indonesia yang pantainya
memiliki hutan mangrove serta memiliki interaksi dengan hutan mangrove.
Sebagaimana disebutkan oleh Alongi (2002) bahwa mangrove dimanfaatkan
secara besar dengan cara tradisional maupun cara komersial di seluruh dunia.
Pengetahuan masyarakat sekitar hutan mangrove akan peranan dan
manfaat hutan mangrove terhadap kehidupannya sebenarnya akan sangat
mempengaruhi kondisi hutan mangrove. Karena kerusakan ekosistem mangrove
seringkali disebabkan oleh aktivitas manusia yang berada di dalam dan di sekitar
kawasan hutan mangrove (Brown, 2006). Hal ini dikarenakan akses masyarakat
yang tinggi berinteraksi dengan hutan tersebut.
Berdasarkan Tabel 6. Ditunjukkan bahwa persentase pemahaman/
pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tergolong sangat baik.
Terdapat 87.36% responden yang mengetahui/mengenal hutan mangrove secara
sederhana 82.38% memahami akan manfaatnya, bahkan 80.08% masyarakat juga
memahami jika ekosistem hutan mangrove tersebut berfungsi sebagi penyangga
ekosistem pantai. Masyarakat memahami bahwa hutan mangrove secara alami
mampu menahan atau meredam angin kencang yang berasal dari laut, memecah
ombak yang menuju darat serta menjaga terjadinya kelongsoran di wilayah bibir
pantai. Dari sangat baiknya pemahaman masyarakat terlihat bahwa 68.97%
responden menyatakan bahwa hutan mangrove bermanfaat sebagai sumber
penghidupan mereka.
Diketahui juga bahwa terdapat sejumlah responden (14.56%) yang
menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove biasa saja bagi kehidupan, serta
2.68% menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove sama sekali tidak penting
bagi kehidupan. Hal ini dikarenakan responden tersebut tidak memanfaatkan sama
sekali hutan mangrove dalam kehidupannya dan juga responden yang berlokasi
lebih jauh dari kawasan hutan mangrove tanpa ada interaksi secara langsung/tidak
Masyarakat setempat yang paling banyak mengenal dan mengetahui
manfaat ekosistem mangrove merupakan mereka yang tinggal di dalam/sekitar
kawasan hutan mangrove serta penduduk yang lebih banyak berinteraksi dengan
hutan mangrove tersebut seperti para nelayan, penambak ikan/udang, pencari kayu
bakar di kawasan hutan. Sementara warga yang tingal agak jauh atau tidak
memiliki hubungan secara dekat dengan hutan tersebut cenderung tidak
tahu/mengenal hutan mangrove sama sekali.
Seperti halnya di India, persepsi masyarakat lokal terhadap manfaat
mangrove sebanyak 89% responden memberikan nilai tertinggi terhadap
mangrove sebagai peredam badai dan pengontrol banjir (Badola dan Husain,
2004). Sebanyak 7.27% responden memberikan peringkat pertama nilai tertinggi
terhadap fungsi ekologis mangrove (Ambastha dkk, 2007). Responden masyarakat
lokal di Indonesia yaitu masyarakat Desa Bogak tepatnya sebanyak 80.08%
responden memahami manfaat mangrove sebagai penyangga ekosistem pantai dan
68.97% menyatakan mangrove sangat penting bagi kehidupan.
Pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tersebut dapat
dikategorikan sebagai pengetahuan lokal mengenai peranan hutan mangrove
sebagai suatu kesatuan bagi kehidupan mereka. Diperoleh dari interaksi
kehidupan mereka di dalam dan di sekitar hutan mengrove. Para nelayan serta
buruh nelayan diketahui responden yang lebih mengenal. Karena secara langsung
mereka menghabiskan keseharian dan berinteraksi dengan ekosistem tersebut
untuk mencari kepiting, kayu bakar, serta penebangan kayu/pohon sebagai bahan
Pengawasan pemerintah seperti Dinas Kehutanan Kabupaten Batu Bara
tidak melakukan pengawasan yang ketat terkait interaksi dan pemanfaatan hutan
mangrove seperti penebangan pohon untuk konstuksi rumah dan kapal/boat serta
pancang digunakan untuk mendirikan pondok-pondok sederhana serta untuk kayu
bakar dan peralatan menangkap ikan atau kepiting. Eksploitasi sumberdaya alam
untuk kebutuhan rumah tangga tidak diberlakukan pengawasan secara resmi
sehingga masyarakat diperbolehkan untuk menebang pohon sesuai dengan
kebutuhannya (Zorini dkk, 2004). Namun pemanfaatan hutan mangrove hanya
untuk kebutuhan rumah tangga oleh masyarakat masih bersifat ekologis (Zorini
dkk, 2004). Hal ini tetap membutuhkan pengawasan yang baik karena fakta untuk
lokasi penelitian, kondisi ini tampak semakin tidak terkontrol yang dipastikan
menimbulkan kerusakan jangka panjang, sehingga penekanan peraturan yang
bertujuan untuk jangka panjang dan lestari perlu tetap ditekankan kepada
masyarakat.
Pemanfaatan secara tradisional hasil-hasil hutan mangrove baik kayu
maupun nonkayu berkaitan dengan pemahaman lokal secara ekologis dan sosial
tidak dapat dipisahkan dari hak ulayat atas ekosistem hutan mangrove tersebut
oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana di wilayah pesisir lainnya dapat
diintegrasikan dengan ilmu sosial dan kelautan dalam pengawetan jenis
Bolbometopon muricatum di Roviana Lagoon kepulauan Solomon bagian Barat.
Terdapat aspek kebijakan lokal yang sangat relevan dengan manajemen dan
konservasi oleh para nelayan di daerah tersebut (Aswani dan Hamilton, 2003).
Pengetahuan ekologis tradisional merupakan pengetahuan yang digunakan
tanggapannya terhadap perubahan proses ekosistem (Mamun, 2010). Ekosistem
mangrove yang sehat menyediakan barang-barang berupa bahan mentah atau
elemen struktur ekosistem maupun jasa berupa fungsi ekosistem yang bernilai
bagi kemanusiaan (Farley dkk, 2010).
Table 7. Perhatian masyarakat terhadap perubahan kondisi mangrove
Dampak dan ancaman eksistensi manusia terhadap hutan mangrove
tercermin dalam praktek komersial yang terus meningkat yang diadopsi di negara
berkembang, untuk meningkatkan kawasan dan standar hidup bagi masyarakat
yang tingal di areal pesisir pantai. Sebagaimana disebutkan oleh Alongi (2002)
bahwa penebangan hutan menjadi salah satu bentuk praktek eksploitasi tertua.
Sistem pengetahuan dan praktik mungkin menjadi perangkat yang bernilai dalam
No Pertanyaan Kelas Umur (Tahun) Total
pengembangan tingkat tanggapan lokal dalam menghindari konsekuensi negatif
dari perubahan ekosistem hutan (Mamun, 2010).
Tablel 7. menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap kondisi
hutan mangrove yang berada di sekitar mereka tidak menjadi jaminan kondisi
hutan yang baik atau tidak rusak. Bahwa terdapat 84.67% responden masyarakat
Desa Bogak mengetahui adanya perubahan kondisi hutan mangrove selama lima
tahun belakangan ini. Perubahan tersebut seperti pengurangan jumlah dan luasan
kawasan hutan mangrove akibat pengaruh pertambahan perumahan penduduk
serta semakin majunya luasan laut menuju daratan akibat longsor atau hilangnya
tutupan mangrove di kawasan bibir pantai. 72.80% responden tidak setuju jika
hutan mangrove di sekitar mereka dikonversi untuk kegunaan lain seperti:
perkebunan sawit, industri, perumahan dan lain-lain karena dikhawatirkan
pengurangan luasan mangrove bisa mengancam perumahan penduduk akibat
hempasan angin yang bisa sangat kencang.
Terdapat sejumlah kecil (0.76%) responden yang ragu-ragu atau tidak
menjawab setuju atau tidak dikarenakan pemahaman responden mengenai dampak
panjang dari konversi terhadap hutan mangrove. Responden menyadari terjadi
konversi lahan mangrove yang tidak terkendali akan berdampak buruk terhadap
lingkungan seperti intruisi, ombak pasang yang memasuki perumahan serta
dampak pemanasan iklim lokal di daerah mereka akibat berkurangnya tutupan
vegetasi mangrove.
Menurut responden, berdasarkan apa yang mereka lihat dan amati lima
tahun terakhir di lingkungan sekitar, sebanyak 61.30% responden melihat kondisi
ada juga masyarakat yang tidak mengetahui perubahan kondisi lingkungan sekitar
mereka yaitu responden 14.94% hal ini dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seperti
responden yang tinggal jauh dari hutan mangrove dan bekerja di luar desa
tersebut.
Terdapat sejumlah kecil (5.75%) responden yang tidak perduli terhadap
perubahan ekosistem hutan mangrove yang semakin rusak di daerah tersebut.
Mereka berpendapat bahwa mangrove tidak memiliki manfaat sebagaimana
dengan kebun sawit atau pembangunan pabrik perikanan. Hasil tersebut berasal
dari responden yang berumur antara 11 dan 40 tahun saja yang tidak memiliki
interaksi secara langsung dengan hutan mangrove. Sebanyak 94.25% responden
merasa perihatin terhadap kondisi hutan di sekitar mereka yang rusak saat ini.
Responden menyatakan sangat prihatin melihat kondisi vegetasi mangrove yang
telah rusak akibat konversi lahan dan ketidakbijakan pemanfaatan hutan
mangrove oleh beberapa orang dari masyarakat setempat.
Masalah lingkungan yang paling dikhawatirkan responden sebagai akibat
kerusakan hutan adalah kekhawatiran kondisi hutan mereka tersebut berdampak
buruk terhadap kelangsungan kehidupan di daerah mereka akibat bencana seperti
tsunami, intruisi air laut serta pemanasan global. Masalaha lingkungan yang
secara nyata dirasakan responden secara umum akhir-akhir ini adalah semakin
naiknya permukaan air laut menuju daratan, erosi/longsornya pantai oleh ombak
serta mati atau tumbangnya pohon-pohon mangrove yang tumbuh paling dekat
Table 8. Perspektif masyarakat terhadap kegiatan restorasi
Keprihatinan masyarakat yang sangat tinggi terhadap kondisi kerusakan
ekosistem hutan mangrove di sekitar mereka tanpa adanya action bukan sebuah
solusi untuk mengatasi masalah lingkungan yang terjadi saat ini. Demikian bahwa
keprihatinan masyarakat dapat menjadi peluang pembinaan masyarakat setempat
untuk dilaksanakannya program restorasi. Melihat fakta yang terjadi kerusakan
akibat masyarakat dan keprihatinan masyarakat di lokasi Desa Bogak sangat
bertolak belakang.
Pada Tabel 9. disajikan bahwa pengetahuan masyarakat secara sederhana
yaitu menanam/memelihara mangrove tergolong baik (63.60%). Persentase
responden juga sangat tinggi (97.70%) yang berpendapat bahwa hutan mangrove
yang rusak perlu untuk direstorasi dan sangat setuju (90.80%) untuk
No Pertanyaan Kelas Umur (Tahun) Total Persentasi
(%)
a. Sangat mendukung 45 61 75 52 18 3 254 97.32
b.Tidak mendukung 0 5 1 0 1 0 7 2.68
6 Respon terhadap kegiatan restorasi
a. Mau terlibat 36 54 64 45 17 2 218 83.52