• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI PATOGENISITAS JAMUR Beauveria bassiana YANG DIISOLASI DARI Hypothenemus hampei PADA Sitophilus oryzae DI TINGKAT LABORATORIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UJI PATOGENISITAS JAMUR Beauveria bassiana YANG DIISOLASI DARI Hypothenemus hampei PADA Sitophilus oryzae DI TINGKAT LABORATORIUM"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UJI PATOGENISITAS JAMUR Beauveria bassiana YANG DIISOLASI DARI Hypothenemus hampei PADA Sitophilus oryzae

DI TINGKAT LABORATORIUM

Oleh

Yosua Adi Aeng Raya

Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan

lingkungan hidup mendorong berkembangnya pengendalian hama secara

hayati. Pengendalian hama menggunakan musuh alami, seperti jamur

patogen serangga diketahui efektif dan aman bagi lingkungan. Salah satu

spesies jamur patogen serangga yang potensial sebagai agen pengendali

hayati hama adalah Beauveria bassiana Balsamo. Penelitian ini bertujuan

untuk menguji patogenisitas jamur entomopatogen B. bassiana yang

diisolasi dari hama penggerek buah kopi sakit terhadap Sitophilus oryzae.

Pengujian terpisah dilakukan di laboratorium, yaitu pengujian isolat jamur

dari Lampung Barat dan isolat dari Tanggamus, menggunakan 4 perlakuan

dan 5 ulangan yaitu kontrol (akuades), suspensi jamur pada tingkat

pengenceran 10-2, 10-3, dan10-4. Satuan percobaan yaitu 20 individu

kumbang S. oryzae disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(2)

tersebab B. bassiana isolat Lampung Barat pada konsentrasi spora

24,6x106 spora/ml dan sebesar 59% tersebab isolat Tanggamus pada

konsentrasi spora 64,8x106 spora/ml. Periode letal serangga uji terinfeksi

B. bassiana isolat Lampung Barat yaitu 5,38 hari dengan virulensi 0,24

pada konsentrasi spora 24,6x106 spora/ml dan pada isolat Tanggamus yaitu

7,42 hari dengan virulensi 0,23 pada konsentrasi spora 64,8x106 spora/ml.

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan lingkungan

hidup semakin lama semakin menonjol. Selain itu, penggunaan pestisida juga

menyebabkan resistensi, resurgensi, dan peledakan hama sekunder (Untung,

1993). Dampak negatif inilah yang mendorong berkembangnya pengendalian

hayati, yaitu pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami.

Pemanfaatan jamur patogen serangga adalah salah satu alternatif pengendalian

hama secara hayati. Patogen serangga tidak mengakibatkan resistensi hama, dan

aman bagi organisme bukan sasaran, termasuk mamalia (Mandal et al., 2003).

Selain itu, keefektifan jamur patogen dalam mengendalikan berbagai jenis

serangga hama sudah tidak diragukan lagi. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam

beberapa penelitian dimana jamur patogen serangga mampu mengendalikan

berbagai jenis serangga hama seperti hama perusak pucuk pada tanaman kelapa

(Mandarina, 2008), ulat grayak (Surtikanti & Yasin, 2009), wereng coklat

(Rahayuningtias & Julyasih, 2010), wereng hijau (Ladja, 2010), penggerek

tongkol jagung (Khasanah, 2008), penggerek umbi kentang (Khairani, 2007) dan

(4)

Menurut Hajek dan St. Leger (1994 dalam Soetopo & Indrayani, 2007), lebih dari

700 spesies jamur patogen serangga dilaporkan telah diisolasi dari berbagai

spesies serangga hama, tetapi baru 10 spesies diantaranya yang berhasil

dikembangkan sebagai agensia hayati. Salah satu spesies jamur patogen serangga

yang potensial sebagai pengendali beberapa spesies serangga hama adalah

Beauveria bassiana Balsamo. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensia hayati

yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk

rayap, kutu putih, dan beberapa jenis kumbang (Gillespie, 1988 dalam Soetopo &

Indrayani, 2007 ). Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai

agensia hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan,

hias, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan dan

kehutanan.

Penelitian Maharani (2013) menunjukkan bahwa keberadaan jamur patogen

serangga dalam perkebunan kopi mampu menyebabkan penyakit pada hama

penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Persentase keterjadian penyakit

pada hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei) yang ditemukan pada

buah kopi rusak bertanda adanya infeksi jamur di Sumberjaya, Lampung Barat

mencapai 45,79 % pada kebun agroforestri kompleks dan sebesar 27,23% pada

kebun agroforestri sederhana. Jamur patogen yang menginfeksi PBKo ini

(5)

3

Jamur B. bassiana yang ditemukan dari PBKo tersebut perlu dipelajari lebih

lanjut. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui patogenisitas isolat jamur yang

ditemukan. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini dilakukan uji patogenisitas

isolat B.bassiana yang diisolasi dari H. hampei pada serangga uji

Sitophilus oryzae. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui daya

patogenisitas B. bassiana yang diisolasi dari H. hampei. Jamur patogen yang

menyebabkan mortalitas tinggi serta memiliki tingkat virulensi yang tinggi,

berpotensi untuk dikembangkan sebagai agensia hayati pengendali serangga

hama. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mendasari

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan jamur patogen serangga.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji patogenisitas jamur B. bassiana yang

diisolasi dari H. hampei pada S. oryzae di tingkat laboratorium.

1.3 Kerangka Pemikiran

Beauveria bassiana adalah salah satu jamur yang memiliki potensi sebagai

agensia hayati pengendali serangga hama pada lahan pertanian. Jamur ini dapat

menimbulkan penyakit dan menyebabkan kematian serangga hama. Jamur

B. bassiana dilaporkan mampu menginfeksi beberapa jenis serangga hama,

terutama dari ordo Lepidoptera, Hemiptera, dan Coleoptera. Namun, jamur

tersebut lebih efektif mengendalikan hama dari ordo Coleoptera (Varela &

(6)

Dari hasil uji pendahuluan yang telah dilaksanakan terhadap S. litura dan

S. oryzae, tanda serangan B. bassiana hanya terjadi pada serangga uji S. oryzae,

dan tidak terdapat pada S. litura. Dari hasil uji pendahuluan inilah maka

digunakan S. oryzae sebagai serangga uji pengganti untuk mengetahui

patogenisitas jamur B. bassiana Isolat Lampung Barat dan Tanggamus.

Penggunaaan S. oryzae dikarenakan serangga tersebut masih satu ordo dengan

H. hampei.

Patogenisitas suatu jamur patogen dipengaruhi faktor genetik dari jamur itu

sendiri. Faktor tersebut di antaranya ialah strain, viabilitas, jumlah konidia yang

dihasilkan, dan virulensi jamur. Faktor genetik ini menyebabkan antar isolat

jamur patogen serangga memiliki karakter biologi yang berbeda. Jumlah spora

dalam suspensi jamur berhubungan dengan tingkat pengencerannya. Diduga

perbedaan konsentrasi spora ini akan menyebabkan perbedaan patogenisitas

jamur.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Beauveria bassiana yang diisolasi dari H. hampei mampu menyebabkan

kematian pada serangga uji S. oryzae.

2. Tingkat patogenisitas jamur B.bassiana yang diisolasi dari H. hampei

(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patogen Serangga

Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen

masuk ke dalam tubuh serangga melalui dua jalan: 1) ketika inang menelan

patogen selama proses makan, dan 2) ketika patogen masuk melalui penetrasi

langsung ke kutikula serangga. Perpindahan patogen serangga dapat terjadi dari

serangga yang sakit ke serangga yang sehat.

Gejala yang timbul pada serangga terinfeksi jamur patogen adalah adanya miselia

pada serangga. Pada infeksi awal, serangga menunjukkan gejala sakit yaitu tidak

mau makan, lemah dan kurang orientasi. Seringkali serangga tersebut berubah

warna dan pada kutikula terlihat bercak hitam yang menunjukkan tempat penetrasi

jamur. Apabila keadaan lingkungan mendukung maka akan muncul miselia pada

permukaan badan serangga yang terinfeksi (Thomas 1997 dalam Prayogo, 2006).

Di Indonesia, pemanfaatan agensia hayati sebagai bioinsektisida khususnya jamur

patogen serangga untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad

ke-19, khususnya untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan.

Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agensia hayati pada pengendalian hama

(8)

Terdapat lima kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai

bioinsektisida, yaitu jamur, bakteri, virus, nematoda, dan protozoa (Santoso, 1993

dalam Prayogo, 2006).

2.2 Jamur Patogen Serangga

Jamur patogen serangga adalah jamur yang menjadi parasit pada serangga. Jamur

ini hidup, tumbuh, dan berkembang dengan mengambil nutrisi dari inang yang

ditumpanginya sehingga inangnya tidak mampu melakukan metabolisme yang

kemudian diikuti kematian. Jamur ini dapat menyerang stadium telur, larva, pupa

maupun dewasa serangga inangnya. Awalnya, sifat parasit jamur ini menjadi

masalah bagi produksi yang memanfaatkan serangga. Contohnya B. bassiana

yang menyebabkan penyakit white muscardine pada ulat sutera. Kasus yang

pernah terjadi ialah merosotnya produksi sutera di Prancis dan Italia yang

merupakan salah satu produk perekonomian penting di negara tersebut.

Kasus white muscardine tersebut membuat B. bassiana menjadi mikroorganisme

pertama yang dikenal menyebabkan penyakit pada hewan walaupun hanya

serangga Luangsa-ard et al. (2006 dalam Nugraha et al., 2010). Selain

menimbulkan kerugian, sifat parasit jamur patogen serangga dapat dimanfaatkan

sebagai bioinsektisida. Bioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat

digunakan sebagai agensia pengendalian serangga hama.

Luangsa-ard et al. (2006 dalam Nugraha et al., 2010) juga melaporkan bahwa

jamur patogen serangga memiliki serangga inang yang bervariasi meliputi

(9)

7

Spesifikasi inang sangat bergantung pada tahapan fisiologi dari inang, kebutuhan

nutrisi jamur terhadap inang, dan pertahanan diri inang. Serangga inang stadium

larva mudah terinfeksi oleh jamur patogen serangga. Jamur patogen serangga

tidak seperti patogen lainnya yang secara umum menginfeksi inang ketika

propagul tertelan.

Penyerangan pada serangga inang oleh jamur patogen serangga dilakukan melalui

penetrasi langsung pada kutikula. Pada awalnya spora jamur melekat pada

kutikula, selanjutnya spora berkecambah mempenetrasi kutikula dan masuk ke

hemosol. Jamur akan bereproduksi di tubuh serangga dan membentuk hifa.

Serangga akan mati, sedangkan jamur akan melanjutkan siklus hidupnya

(BPTP Jabar, 1999 dalam Mandarina, 2008). Setelah tubuh serangga inang

dipenuhi oleh massa miselium, tubuh tersebut akan mengeras dan berbentuk

seperti mumi yang berwarna putih, hijau (Herlinda et al., 2008). Setelah itu, spora

akan diproduksi untuk menginfeksi inang lainnya.

2.3 Jamur Beauveria bassiana

Berikut merupakan taksonomi dari jamur Beauveria bassiana (Barnett, 1960):

Kingdom : Fungi

filum : Ascomycota

Class : Ascomycetes

Ordo : Hypocreales

Family : Clavicipitaceae

Genus : Beauveria

(10)

Menurut Hughes (1971 dalam Soetopo & Indrayani 2007), B. bassiana termasuk

kelas Ascomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae. Jamur patogen

serangga penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh

Agostino Bassi di Beauce, Perancis. Steinhaus (1975 dalam Soetopo & Indrayani

2007) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera. Sebagai penghormatan

kepada Agostino Bassi, jamur ini kemudian diberi nama Beauveria bassiana.

Miselia jamur B. bassiana bersekat dan berwarna putih, di dalam tubuh serangga

yang terinfeksi terdiri atas banyak sel dengan diameter 4 µm, sedangkan di luar

tubuh serangga ukurannya lebih kecil yaitu 2 µm. Jamur B. bassiana juga dikenal

sebagai penyebab penyakit white muscardine karena miselia dan konidia yang

dihasilkan berwarna putih. Konidia jamur bersel satu, berbentuk oval agak bulat

sampai dengan bulat telur, berwarna hialin dengan diameter 2-3 µm. Konidiofor

berbentuk zig-zag merupakan ciri khas dari genus Beauveria (Barnett, 1960).

Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk

mengendalikan serangga. Jamur ini memiliki spektrum yang luas dan dapat

mengendalikan banyak spesies serangga hama tanaman meliputi ordo

Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksi juga sering ditemukan

pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988,

dalam Soetopo & Indrayani, 2007). Plate (1976 dalam Soetopo & Indrayani

2007), juga melaporkan bahwa serangga inang utama B. bassiana dapat berupa

kutu daun (aphid), kutu putih (whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang,

(11)

9

mulai tanaman kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias,

hingga tanaman-tanaman hutan.

Sistem penyakit B. bassiana yaitu spora jamur masuk ke tubuh serangga inang

melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Penetrasinya

dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa jamur mengeluarkan

enzim kitinase, lipase dan protease yang mampu menguraikan komponen

penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga hifa berkembang dan

masuk ke dalam rongga darah. Di samping itu, B. bassiana juga menghasilkan

toksin seperti beauverisin, beauverolit, bassianalit, isorolit, dan asam oksalat yang

menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran

darah serta merusak saluran pencernaan, otot, system syaraf, dan pernafasan

(Mahr, 2004).

Perkembangan hifa di dalam tubuh serangga dimulai dengan penyerangan

jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi jamur. Akibat dari

keseluruhan proses ini adalah kematian serangga. Serangga yang mati

menunjukkan gejala seperti mumi karena cairan tubuhnya digunakan untuk

pertumbuhan jamur. Proses pertumbuhan sampai pembentukan organ reproduksi

jamur B. bassiana terjadi sekitar 10-15 hari (Wikardi, 1993).

Jamur B. bassiana telah banyak digunakan sebagai insektisida hayati karena

memiliki berbagai keunggulan. Beberapa keunggulan jamur patogen serangga

B. bassiana sebagai pestisida hayati yaitu:; 1) tidak meninggalkan residu beracun

pada hasil pertanian (US EPA, 2006 dalam Soetopo & Indrayani, 2007); 2) tidak

(12)

spektrum yang luas dan mengendalikan banyak spesies serangga hama tanaman

(Dinata, 2006 dalam Prasasya 2009); 4) mudah diproduksi dengan teknik

sederhana dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama karena dapat

diformulasikan serta persisten di lapang jika kondisi mendukung (Indrayani,

2011). Adapun kelemahannya jika akan diaplikasikan diantaranya: 1) tidak

membunuh serangga dengan cepat (Indrayani, 2011) ; 2) keefektifannya

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar; 3) memiliki kisaran inang

sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran (Soetopo &

Indrayani, 2007).

2.4 Patogenisitas dan Virulensi

Perbedaan tingkat patogenisitas dan virulensi antar isolat jamur entomopatogen

diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) antar spesies

dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain hal ini juga disebabkan oleh

pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap

kemampuan jamur tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme

pertahanan serangga inang. Menurut Tanada & Kaya (1993), biasanya jamur

menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi,

menyerang, dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa diantaranya

bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang

(13)

11

Menurut Tanada & Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit yang

dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan suatu

organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang

berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi

mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen

sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya

patogen dapat mempunyai virulen yang rendah sebab tingginya ketahanan atau

rendahnya kerentanan dari inang. Patogenisitas merupakan sinonim dari virulensi

(14)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung. Perbanyakan isolat jamur B. bassiana dilaksanakan pada

bulan Juni 2012 sampai Agustus 2012, dan aplikasinya pada bulan September

sampai Oktober 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jamur B. bassiana isolat

Tanggamus dan Lampung Barat, alkohol 70%, akuades, SDA (Sobouroud

Dextrose Agar), dan serangga uji (S. oryzae) beserta pakannya berupa beras, dan

kertas tissue. Alat-alat yang digunakan adalah cawan petri, jarum ose, bunsen,

tabung reaksi, autoclave, laminar air flow, mikroskop majemuk dan mikroskop

stereo.

3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini digunakan 2 jenis isolat B. bassiana, yaitu isolat B. bassiana

(15)

13

Setiap isolat B. bassiana tersebut diujikan pada serangga S. oryzae yang dilakukan

pada set percobaan yang terpisah. Setiap set percobaan disusun dalam rancangan

acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang

diuji adalah tingkat kerapatan spora yang diperoleh dengan membuat suspensi

jamur dengan tingkat pengenceran 10-2,10-3,10-4, dan kontrol (akuades). Sebagai

satuan percobaan adalah 20 ekor kumbang S. oryzae dewasa yang dipelihara pada

beras.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut meliputi

penyediaan serangga uji, penyediaan jamur patogen, pengenceran suspensi jamur,

perhitungan kerapatan spora, aplikasi jamur patogen, pengamatan dan perhitungan

peubah patogenisitas.

3.4.1 Penyediaan Serangga Uji

Dalam penelitian ini, untuk menguji daya patogenesitas jamur B. bassiana

digunakan serangga uji yaitu kumbang bubuk beras (S. oryzae, Coleoptera

:Curculionidae). Kumbang bubuk beras didapatkan dari beras yang sudah lama

tersimpan. Kumbang dibiakkan pada beras dalam toples berukuran besar

(16)

Penggunaan S. oryzae sebagai serangga uji pada uji patogenisitas B. bassiana

dalam penelitian ini karena serangga tersebut masih dalam satu ordo dengan

inangnya H. hampei yaitu Coleoptera. Diharapkan daya patogenisitas

B. bassiana pada kumbang S. oryzae tidak berbeda dengan patogenisitas jamur ini

pada serangga inang asalnya yaitu H. hampei. Selain itu alasan penggunaan

S. oryzae sebagai serangga uji karena kumbang ini lebih mudah dipelihara dan

dikembangkan sehingga mudah pengadaannya ketika diperlukan dalam pengujian.

3.4.2 Penyediaan Jamur Patogen

Inokulum B. bassiana diperoleh dari perkebunan kopi di daerah Sumberjaya

Lampung Barat dan Tanggamus. Inokulum jamur tersebut berasal dari serangga

penggerek buah kopi (H.hampei) yang terinfeksi oleh jamur B. bassiana

(Gambar 1). Selanjutnya jamur pada serangga tersebut diisolasi dan ditumbuhkan

pada media SDA (Gambar 2), kemudian dibiakkan dan diperbanyak

menggunakan media SDA (Gambar 3). Jamur yang telah dimurnikan selanjutnya

ditumbuhkan selama 2 minggu hingga media tertutupi penuh oleh koloni jamur

(17)
[image:17.595.199.443.82.253.2]

15

[image:17.595.198.442.303.484.2]

Gambar 1. Serangga PBKo yang terinfeksi oleh B. bassiana.

Gambar 2. Jamur pada serangga diisolasi dan ditumbuhkan pada media SDA.

.

[image:17.595.196.438.539.721.2]
(18)

Gambar 4. Koloni jamur B. bassiana berumur 2 minggu.

3.4.3 Pengenceran Suspensi Jamur

Media yang telah ditutupi miselium jamur dipanen dan dipisahkan dari media

dengan cara memberikan sedikit akuades (Gambar 5), kemudian miselium jamur

diambil menggunakan kaca preparat (Gambar 6). Miselium jamur yang telah

dipisahkan dari media dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi akuades 9

ml (Gambar 7), kemudian di rotary mixer selama 1 menit (Gambar 8). Tahap ini

menghasilkan tingkat pengenceran 10-1. Selanjutnya pada tingkat pengenceran

10-2 dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml suspensi pada tingkat

pengenceran 10-1 dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades.

Demikian seterusnya dengan tahapan yang sama untuk mendapatkan tingkat

(19)
[image:19.595.198.437.71.246.2]

17

[image:19.595.191.433.299.476.2]

Gambar 5. Pemberian akuades pada media ketika akan memanen spora jamur.

Gambar 6. Pemisahan miselium jamur dari media SDA menggunakan kaca preparat.

[image:19.595.199.439.539.715.2]
(20)

Gambar 8. Rotary mixer miselium jamur pada tabung reaksi.

Gambar 9. Tahap pengenceran spora jamur.

3.4.4 Perhitungan Kerapatan Spora

Setelah dilakukan pengenceran, selanjutnya kerapatan spora untuk tiap tingkat

pengenceran dihitung menggunakan Haemocytometer di bawah mikroskop

majemuk pada perbesaran 400 x. Kerapatan spora per ml dihitung dengan

(21)

19

Di mana:

C : kerapatan spora per ml larutan

t : jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati

N : jumlah kotak sampel yang diamati

0,25 : merupakan faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil dalam

Haemocytometer.

3.4.5 Aplikasi Jamur Patogen

Suspensi B. bassiana diaplikasikan dengan menggunakan metode semprot.

Serangga uji diletakkan dalam wadah dan disemprot dengan 5 ml suspensi

patogen sesuai perlakuan tingkat pengenceran (Gambar 10). Sedangkan pada

kontrol serangga hanya disemprot dengan akuades. Volume semprot pada

masing-masing perlakuan ialah sebanyak 5 ml. Serangga yang telah disemprot

dibiarkan tergenang dalam suspensi selama ± 5 detik. Kemudian serangga

tersebut diletakkan di permukaan tissue. Serangga yang telah diberi perlakuan,

(22)

Gambar 10. Serangga uji disemprot dengan 5 ml suspensi patogen.

Gambar 11. Serangga uji diberikan pakan beras setelah aplikasi.

3.4.6 Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat tanda adanya infeksi patogen

yaitu serangga menjadi sakit dengan menunjukkan gejala tidak aktif bergerak.

Serangga uji yang terindikasi sakit dikeluarkan dan ditempatkan pada wadah yang

(23)

21

3.4.7 Peubah Patogenisitas

Peubah patogenisitas yang diamati meliputi tingkat mortalitas, periode letal dan

tingkat virulensi. Tingkat mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus :

Tingkat Mortalitas =

Periode letal dan tingkat virulensi B. bassiana, dihitung dengan menggunakan

rumus Susilo (1993 dalam Indriyati 2009):

Periode Letal (F) = Tingkat Virulensi (δ) =

Keterangan :

Hi = Waktu kematian

Mi = Jumlah serangga yang mati terinfeksi

Data hasil pengamatan dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji pemisahan

nilai tengah menggunakan uji BNT. Semua analisis statistik menggunakan taraf

(24)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini diantaranya adalah:

1. Daya patogenisitas jamur B. bassiana isolat Lampung Barat dan Tanggamus

pada S. oryzae masih rendah.

2. Persentase mortalitas S. oryzae sebesar 52% tersebab B. bassiana isolat Lampung

Barat pada konsentrasi spora 24,6x106 spora/ml dan 59% tersebab isolat

Tanggamus pada konsentrasi spora 64,8x106 spora/ml.

3. Periode letal serangga uji terinfeksi B. bassiana isolat Lampung Barat yaitu 5,38

hari dengan virulensi 0,24 pada konsentrasi spora 24,6x106 spora/ml dan untuk

isolat Tanggamus yaitu7,42 hari dengan virulensi 0,23 pada konsentrasi spora

64,8x106 spora/ml.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini diantaranya:

1. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk dapat menggunakan serangga uji

(25)

33

2. Pada penelitian selanjutnya, perlu diperhatikan keseragaman umur yang

(26)

PUSTAKA ACUAN

Barnett. 1960. Ilustrated Genera Of Imperfecty Fungi. Second Edition. Burgess Publishing Company. 241 hlm.

Gabriel, B.P. & Riyanto. 1989. Metarhizium anisopliae Taksonomi, Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 25 hlm.

Herlinda, S., Mulyanti, S.I. & Suwandi. 2008. Jamur Entomopatogen Berformulasi Cair Sebagai Bioinsektisida Untuk Pengendali Wereng Coklat. Jurnal Agritop, 27 (3): 119-126.

Indrayani. 2011. Potensi Jamur Entomopatogen Nomurea rileyi (Farlow) Samson Untuk Pengendalian Helicoverpa armigera Hubner Pada Kapas. Balai Penelitian Tanaman Tembakau Dan Serat. Malang. 11 hlm.

Indriyati. 2009. Virulensi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin ( Deuteromycotina: Hyphomycetes) Terhadap Kutudaun (Aphis spp) dan Kepik Hijau (Nezara viridula). Jurnal HPT Tropika, 9 (2): 92-98.

Khairani, N. 2007. Uji efektifitas B. bassiana (Balsamao) dan Daun Lantara camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) di Gudang. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 72 hlm.

Khasanah, N. 2008. Pengendalian Hama Penggerek Tongkol Jagung Helicoverpa armigera Hubner. (Lepidotera: Noctuidae) dengan Beauveria bassiana Strain Lokal Pada Pertanaman Jagung Manis di Kabupaten Donggala. Jurnal Agroland, 15 (2): 106-111.

Ladja, F.T. 2010. Pengaruh Aplikasi Cendawan Beauveria bassiana dan Verticilum leucanii Terhadap Mortalitas Nephotettix virescens Sebagai Vector Virus Tungro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan Pej dan Pfj Xx Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan. 27 Mei 2010. P: 62-68.

(27)

35

Mahr, S. 2003. The Entomopathogen Beauveria bassiana. University Of Wisconsin, Madison. http://www.entomology.wisc.edu/mbcn/kyf410.html. Diakses tanggal 18 Maret 2013.

Mandal, S.M.A., Mishar, B.K. & Mishar, P.R. 2003. Efficacy and Economics of Some Biopesticides in Managing Hellicoverpa armigera (Hubner) on Chickpea. Annals of Plant Protection Sciences, 11 (2): 201-203.

Mandarina, D. 2008. Uji Efektifitas Beberapa Entomopatogen Pada Larva dan Imago Brontispa longissima Gestro. (Coleoptera: Chrysomelidae) di Laboratorium. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 63 hlm.

Marleni, N. 2013. Efikasi Jamur Beauveria bassiana Pada Penggerek Buah Kopi Dari Sumber Jaya. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 46 hlm.

Nugraha, I., Kusumawardhani, G. & Fitriani, A.R. 2010. Potensi Cendawan

Entomopatogen di Indonesia. Program kreativitas mahasiswa. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 13 hlm.

Prasasya, A.A. 2008. Uji Efikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana

Balsamo dan Metarhizium anisopliae (Metch). Sorokin Terhadap Mortalitas Larva Phragmatoecia castanae Hubner. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hlm.

Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan Entomopatogen Untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 53 hlm.

Rahayuningtias, S. & Julyasih, K.S.M. 2010. Pengaruh Tingkat Kerapatan Spora Jamur Beauveria bassiana (Bals) Vuill Terhadap Mortalitas Imago Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) di Laboratorium. Prosiding Seminar Nasional HPTI. Surabaya, 14 April 2010. P: 87-90.

Ratissa, D.A. 2011. Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill Terhadap Cylas formicarius (f.) (Coleoptera: Brentidae) dan Pengaruhnya Pada Keperidian. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31 hlm.

Sabbahi, R., Merzouki, A. & Guertin, C. 2008. Efficacy of Beauveria bassiana Against the Strawberry Pest, Lygus lineolaris, Anthonomus signatus and Otiorhynchus ovatus. Journal Appl Entomology, 132 (2): 151-160.

(28)

Surtikanti & Yasin, M. 2009. Keefektifan Entomopatogenik Beauveria bassiana vuill. Dari Berbagai Media Tumbuh Terhadap Spodoptera litura (f.) (Lepidoptera : Noctuidae) di Laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Serealia. P: 358-362.

Susanto, A., Herdiana, R., Rasiska, S. & Proklamasiningsih, E. 2006. Konsentrasi Efektif Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Isolat Subang Terhadap Nimfa Belalang Daun Padi Oxya. sp . (Orthoptera : Acrididae) di Rumah Kaca. Jurnal Bionatura, 8 (3): 224 – 237.

Tanada, Y. & Kaya, H.K. 1993. Insect Pathology. Academic Press. New York. 666 hlm.

Tohidin, Lisrianto, A.T. & Machdar, B.P. 1993. Daya Bunuh Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Terhadap Leptocorisa acuta di Rumah Kaca. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. P: 135-143.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. UGM Press. Yogyakarta. 273 hlm.

Gambar

Gambar 1.  Serangga PBKo yang terinfeksi oleh B. bassiana.
Gambar 4.  Koloni jamur B. bassiana berumur 2 minggu.
Gambar 5.  Pemberian akuades pada media ketika akan memanen spora jamur.
Gambar 8.  Rotary mixer miselium jamur pada tabung reaksi.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Voltra Sijabat, Uji Beberapa Jenis Insektisida Nabati Terhadap Pengendalian Kumbang Beras (Sitophylus oryzae L.) Di laboratorium.. Penelitian ini bertujuan untuk

Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae yang efektif dalam mengendalikan hama rayap Coptotermes curvignathus di laboratorium.. Penelitian dilakukan di Laboratorium

bassiana dari Sumberjaya dan isolat jamur B.bassiana dari Tigeneneng yang sudah berupa isolat murni dari Laboratorium Hama dan Penyakit Perkebunan Tegineneng, media SDA (

Beauveria bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkungan.. Production, formulation, and application of fungi for

UJI ANTAGONISME JAMUR ENDOFIT DARI TANAMAN PADI TERHADAP Cercospora oryzae Miyake DAN Curvularia lunata (Wakk) Boed..

Kemudian uji aktivitas antijamur ekstrak metanol daun sikkam terhadap jamur yang diisolasi dari tanaman padi dilakukan dengan Metode Cakram Kertas dan dihitung

bassiana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi Laboratorium Bioteknologi Pertanian Fakultas Pertanian yang terdiri dari satu isolat berasal dari

Kajian pengendalian hama Penggerek umbi kentang (Phthorimaea operculella Zell) di gudang penyimpanan bibit dengan dengan jamur Beauveria bassiana dan daun Tegetes.. erecta