ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA
INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI
Oleh Andi Mekar Sari
Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Perdagangan (UUP) Pasal 1 (ayat 14) adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan. Berkenaan dengan itu setiap badan usaha wajib memasang label berbahasa Indonesia di setiap produknya. Label berbahasa Indonesia adalah informasi tentang produk. Pada umumnya tertera pada apa yang disebut sebagai label. Menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan (UUP) Pasal 104 mengatakan “setiap pelaku
usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (ayat 1) dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
Andi Mekar Sari
Saran yang diberikan penulis antara lain: (1) Diharapkan perlu adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum baik dari Kepolisian Daerah Lampung, Dinas Perdagangan, dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan untuk penerapan sanksi hukum dalam mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang apabila telah diberi peringatan tetap tidak ada perubahan maka mereka dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur dengan jelas sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha tersebut. Upaya ini dilakukan dengan harapan tidak ada lagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut. Mengingat sudah banyak masyarakat yang merasa dirugikan, tetapi tidak pernah paham dengan pengaturannya; dan (2) Perlunya peran aktif dari masyarakat untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak patuh dengan ketentuan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dapat membantu aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah tersebut, masyarakat diharapkan dapat bekerjasama dengan aparat penegak hukum agar terciptanya kedamaian dan keadilan.
ABSTRACT
AN ANALYSIS ON CRIME LAW ENFORCEMENT TOWARDS BUSINESS ENTITIES WHO DO NOT ATTACH INDONESIAN
LANGUAGE LABEL ON FOOD PRODUCTS TRADED IN DOMESTIC MARKET
By
Andi Mekar Sari, Heni Siswanto, Firganefi (Gmail: andimekarsari200@gmail.com)
Business communities according to trade laws (UUP) Article 1 (paragraph 14) is every individual Indonesian citizen or entity in the form of legal entity or non-legal entity established and domiciled in the territory of the Unitary Republic of Indonesia who conduct business activities in the field trade. In connection with that every business entity must install the Indonesian-language label on each product. Issues discussed in this paper are the author of How the enforcement of criminal law against business communities that do not use the Indonesian language labeling on food items traded in domestic and what factors inhibiting criminal enforcement against business communities who do not use Indonesian language labeling on food items traded in domestic are. The approach used is a problem normative juridical approach and juridical empirical primary data and secondary data in which each of the data obtained through the research literature and in the field. Based on the results of research and discussion, the conclusions are: (1) The crime law enforcement towards business entity who do not attach Indonesia language label on food products traded in domestic market was violating the article 104 no. 7/2014 under Trade Law, article 60 (verse 2) and article 60 (verse 1) no. 8/ 1999 under Consumers Protection Law, and also article 102 no. 18/2012 Food Law. The three enactments above regulate both sanction on criminal and administrative, except the enactment under Food Law. (2) There were several factors hampered the implementation of crime law enforcement towards business entity who do not attach Indonesian language label on food products traded in domestic market: (a) constitution, (b) law authority, (3) infrastructures, (d) society, and (e) cultures.
Keywords: Law Enforcement, Business Communities, Indonesian Language
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA
INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI
Oleh:
ANDI MEKAR SARI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 Maret
1993, merupakan putra ke-2 (dua) dari 4 bersaudara
diantaranya Bharata Sena Kesuma Youdha, S.Kep, Mutia
Adillah dan Alma Savira dari keluarga Bapak H. Yurni
Kesuma Youdha dan Ibu Hj. Hartini, A.Md.,Keb.
Riwayat pendidikan penulis diawali dari pendidikan, pada Taman Kanak-Kanak
TK Kautsar Bandar Lampung lulus tahun 1999; Sekolah Dasar Swasta
Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 21 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008, Sekolah Menengah Atas
Negeri 13 Bandar Lampung lulus pada tahun 2011, kemudian pada tahun 2011
penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan
pada tahun 2014 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Desa
Tegal Gondo Kec. Purbolinggo Kab. Lampung Timur.
Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di dunia kemahasiswaan di internal
kampus, di internal kampus penulis mengawali karirnya di UKMF Mahkamah
sebagai Kepala Divisi Agitasi dan Propaganda Periode 2013-2014 serta aktif di
Himpunan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (HIMA HAN) sebagai
PERSEMBAHAN
Dengan kerendahan hati dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT
kupersembahkan skripsiku yang sederhana ini kepada :
Kedua orangtuaku yang sangat ku sayangi, Ayahanda (H. Yurni Kesuma Youdha)
dan Ibunda (Hj. Hartini, A.Md.,Keb), yang telah melahirkan, merawat, mendidik,
memberikan do’a, kasih sayang, motivasi, dan bekal kehidupan yang tak henti-hentinya, yang selalu ada disampingku serta selalu memberikanku yang terbaik
untuk menjadikanku sesuatu yang terbaik dalam kehidupan ini.
Kakakku, adikku serta saudara-saudaraku yang selalu memberi warna dalam
hidupku.
Keluarga besar dan sahabat-sahabatku yang memberikan semangat, dukungan,
nasihat, dan setia menemaniku dalam suka maupun duka.
Para dosen yang telah mendidikku memberikan ilmu dan pesan moral untuk
melangkah kedepan.
Serta
MOTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”
(Q.S. Ar-Ra’d:11)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
SANWANCANA
Assalamualikum Wr. Wb
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas Rahmat dan
Karunianya lah Skripsi yang berjudul “Analisis Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Pelaku Usaha Yang Tidak menggunakan Label Berbahasa Indonesia
Pada Barang Pangan Yang Diperdagangkan di Dalam Negeri” ini dapat
terselesaikan.
Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan
dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya terhadap:
1. Bapak Prof. Dr. Sugeng P. Harianto, M.S selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung sekaligus Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.
3. Ibu Diah Gusniati, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
4. Ibu Firganefi, S.H., M.H selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana
sekaligus Dosen Pembimbing 2 yang telah memberikan arahan,
bimbingan, dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H selaku Dosen pembimbing 1 yang
telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan
masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas 1 yang telah
memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas 2 yang telah
memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum
Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
9. Bapak Moh. Ali Muhaidori selaku Panit 1 Unit 2 Subdit 1 Indagsi di Dit
Reskrimsus POLDA Lampung yang telah memberikan masukan dan saran
dalam penulisan skripsi ini.
10.Bapak Tohran, S.E selaku Kasi Pengawasan Barang Beredar di Dinas
Perdagangan Provinsi Lampung yang telah memberikan masukan dan
saran dalam penulisan skripsi ini.
11.Ibu Dra. Hotna Panjaitan. A.Pt selaku Kepala Seksi Layanan Informasi
Konsumen di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan provinsi Lampung
12.Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H selaku Dosen Bagian Hukum Pidana
sekaligus Narasumber yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penulisan skripsi ini.
13.Bapak Dita Febrianto, S.H.,M.H selaku Dosen Bagian Hukum Perdata
sekaligus Narasumber yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penulisan skripsi ini.
14.Bapak Iwan Satriawan, S.H., M.H selaku Dosen Bagian Hukum Tata
Negara sekaligus Pembina Komunitas Konstitusi yang telah banyak
membimbingku dalam perkuliahan.
15.Papa dan Mamaku H.Andi Amir Alimina, S.H dan Listi dan adik-adiku
Andi Muhammad Zatar dan Andi Nurhayati serta seluruh keluarga besarku
yang selalu memberikan motovasi serta doa-doa disetiap langkahku.
16.Nyai, Mama Tuti, Bunda, Yayang, Binda, Manda, Inan, One, Ami, serta
sepupu-sepupuku tersayang Riski, Alin, Olan, Rindu, Zarin, Permai, Puja,
Angguan, Ayu yang selalu memberikan perhatian dan doanya untuk ku.
17.Sahabat-sahabatku, Andika Pratama, Mba Heti Ratna Sari, S.H., Mba Diaz
Rasto Sari, S.H., Iis Priyatun, S.H., Annisa Dian PH, S.H., Dewi
Ambasador, S.H, Ines Septia, Ika Ristia, Ayu Kumala Sari, Hera
Destriana, Citra Febria, Aminah Camila, Dhaniko Saputra, Indra Budhi,
Kresna, Jandrikardo, Beni Prawira, Agung Asadillah, Nur Muhammad,
Andre Jevi Surya, Gusti Reja Maulana, Abu Dzar Al Ghifari , Natalia
Caterin, Ivan Savero, Aulia Agristika, Ratu Aqillah Aliffah, bang Jamal
Hamdan Sanjaya, Panji Abendanu yang selalu memberikan semangat dan
18.Teman-teman Komunitas Konstitusi, Mahkamah, Hima Pidana dan
BKBH.
19.Seluruh teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
20.Teman-teman KKN ku, bang Lubis, bang Ardhi, Arif, Ero, mba Ana, yang
pernah tinggal bersamaku selama 40 hari di Desa Labuhan Ratu Lampung
Timur.
21.Bapak Karyanto dan IbU Sri selaku induk semang pada saat KKN dan
anak-anaknya Mas Indra dan Irfan yang telah ku anggap sebagai keluarga
yang dengan setulus hati menjaga dan memperhatikanku selama berada
dirumahnya.
22.Untuk Almamaterku Tercinta.
Bandar Lampung, April 2015 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 18
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana ... 20
B. Pengertian Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Perdagangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 27
C. Pengaturan tentang Label Berbahasa Indonesia ... 28
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31
B. Sumber dan Jenis Data ... 32
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 33
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber ... 37
B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha Yang
Tidak Menggunakan Label Berbahasa Indonesia pada Barang
Pangan yang Diperdagangkan di dalam Negeri ... 39
C. Faktor-faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Usaha
Yang Tidak Menggunakan Label Berbahasa Indonesia Pada
Barang Pangan Yang Diperdagangkan Di Dalam Negeri ... 51
V. PENUTUP
A. Simpulan... 57
B. Saran ... 58
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan Pasal 1 (Ayat 14) mengatur tentang setiap orang perseorangan warga
negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang
Perdagangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) Pasal 1 angka 3 “pelaku usahaadalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Unsur-unsur
pelaku usaha ialah:1
1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, ditinjau dari aspek subyek yaitu pelaku usaha adalah pengusuha (perseorangan) dan sekumpulan pengusaha yang membentuk organ atau badan usaha. Dengan demikian baik perseorangan maupun badan usaha dapat dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
1Sri Rejeki Hartono. “Aspek
-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era
2
2. Berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, pembuat UU memahami bahwa badan usaha terdiri dari dua kategori, ialah badan usaha berbadan hukum dan badan usaha bukan badan hukum.
3. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, dalam hukum perdata internasional diakui prinsip nasionalitas atau domisili dari suatu badan hukum sebagai kriteria badan usaha domestik atau asing.
4. Baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, kegiatan bisnis dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan cara yang dituangkan ke dalam kontrak.
5. Menyelenggarakan kegiatan usaha, istilah kegiatan usaha memiliki cakupan yang luas meliputi perbuatan dagang atau kegiatan perniagaan. 6. Dalam berbagai bidang ekonomi, memperluas arti pelaku usaha
meliputi pihak-pihak yang melakukan aktivitas atau kegiatan usaha (bisnis).
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) Pasal 7:2
1. Hak pelaku usaha hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
6. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan usahannya. 7. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
8. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
9. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku. 10. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba
barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi.
2
3
11. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat atau kegunaan barang atau jasa yang diperdagangkan.
12. Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.3
Perdagangan dalam Undang-Undang Perdagangan (UUP), Pasal 1 (ayat 1) adalah
tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa didalam
negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas
Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Barang dalam
Undang-Undang Perdagangan, Pasal 1 (ayat 5) adalah setiap benda, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan,
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha. Saat ini
sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam perdagangan yang dilakukan
oleh para pelaku usaha terhadap barang yang dijual atau dipasarkan di Indonesia,
misalnya barang yang tidak melengkapi lebel berbahasa Indonesia yang
diperdagangkan di dalam negeri.
Masalah yang sering terjadi inilah yang memicu timbulnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk mempertegas
aturan-aturan/ketentuan mengenai kewajiban bagi pelaku usaha untuk menggunakan
label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam Negeri,
pada Pasal 104 dalam undang-undang ini diatur sanksi pidana bahawa setiap
pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa
Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana
3Ibid
4
dimaksud dalam Pasal 6 (ayat 1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Perdagangan barang yang tidak disertai label berbahasa Indonesia sebelumnya
bukan dianggap sebagai suatu Tindak Pidana, tetapi karena hal ini dianggap
meresahkan dan merugikan masyarakat dibuatlah Undang-Undang Perdagangan
yang mengatur tentang Perdagangan barang yang tidak menggunakan atau tidak
dilengkapi label berbahasa Indonesia merupakan suatu perbuatan tindak pidana.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pemberian label
merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha dimana hal tersebut juga perlu
diikuti dengan pemberian petunjuk atau informasi terkait barang atau produk yang
diperjual belikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga dinyatakan dengan tegas bahwa setiap
produk atau barang dalam negeri ataupun luar negeri wajib mencantumkan label
guna memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen sebelum
membeli ataupun mengkonsumsinya.
Kewajiban mengenai penggunaan bahasa Indonesia baik pada barang dalam
negeri ataupun barang-barang impor yang berasal dari luar negeri bertujuan agar
setiap orang mengerti dan memahaminya. Pemberian label dengan menggunakan
bahasa Indonesia ini menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini digunakan
sebagai salah satu indikator dalam pengawasan terhadap produk-produk yang
5
Dampak negatif dari beredarnya barang impor dapat ditekan lajunya dan dapat
diawasi tidak hanya oleh instansi pemerintahan yang terkait, tetapi juga dapat
diawasi langsung oleh masyarakat selaku konsumen yang merasakan dampak
langsung dari produk yang diperjual-belikan. Tidak hanya sebatas pada regulasi
akan kewajiban pemberian label dan petunjuk atau informasi terkait barang, tetapi
pemerintah juga harus memiliki peran aktif dalam menginformasikan kepada
masyarakat luas mengenai bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan
kesehatan serta barang-barang pangan yang beredar dipasaran yang tidak layak
untuk dikonsumsi.4
Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, selama tahun 2012
terdapat 621 produk yang tidak memenuhi ketentuan, dimana terjadi peningkatan
sebesar 28 produk dari tahun 2011, dengan spesifikasi produk impor sebesar 61%
dan 39% adalah produk dalam negeri. Jenis pelanggaran yang dilakukanpun
bermacam, mulai dari pelanggaran ketentuan label dalam bahasa Indonesia,
Pelanggaran SNI (Standar Nasional Indonesia), pelanggaran MKG (Manual dan
Kartu Garansi), dan pelanggaran atas tidak memenuhi ketentuan produk yang
diawasi distribusinya.5
Contoh Kasus data dari tahun 2012 hingga 2014 tentang jumlah pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha dalam memperdagangankan barang di dalam negeri
yang tidak menggunakan Label Berbahasa Indonesia. Dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) Pusat di Jakarta, menemukan 2.939 item atau 72.814
4
https://dyahturtle.wordpress.com/konsumen-cerdas-paham-perlindungan-konsumendiakses pada tanggal 2 November 2014. Pukul 13.25 WIB
5
6
kemasan pangan yang tidak memenuhi ketentuan seperti izin edar, kadaluwarsa,
kondisi rusak, serta tidak berlabel bahasa Indonesia. Temuan BPOM ini
merupakan hasil intensifikasi pengawasan pangan menjelang natal dan tahun baru
di gudang importir dan retail.
Kepala BPOM Roy Sparringa menuturkan, pengawasan pangan yang
dilaksanakan hingga 19 Desember 2014 ini berhasil menjaring 2.939 item pangan.
"Intensifikasi pengawasan pangan ini dilaksanakan serentak oleh Balai BPOM di
seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, pangan kadaluwarsa
merupakan temuan terbanyak.6BPOM menggelar intensifikasi pengawasan di
sarana-sarana distribusi pangan seperti toko, pasar tradisional, supermarket,
hypermarket, serta para pembuat atau penjual parsel.
Berdasarkan pengawasan tersebut, BPOM menemukan 635 item atau 15.483
kemasan pangan tanpa izin edar, 1.558 item (49.647 kemasan) pangan
kadaluwarsa, 551 item (5.199 kemasan) pangan rusak, 192 item (2.433 kemasan)
pangan tidak memenuhi ketentuan label, dan 3 item (52 kemasan) pangan tidak
berlabel bahasa Indonesia. Kemasan tidak memenuhi ketentuan label bernilai
Rp97.320.000,00 (sembilan puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh rupiah).
Jenis pangan sementara itu untuk pangan yang tidak memenuhi ketentuan label
adalah snack, minuman ringan, madu, mentega, dan cokelat. Mayoritas berasal
dari negara Malaysia dan Thailand, sisanya berasal dari Uni Emirat Arab, Arab
Saudi, Singapura, dan negara-negara kecil lainnya. Makanan dan minuman ringan
6
7
menempati posisi teratas dari jenis item pangan yang diimpor".7 Proses
penyidikan dari kasus ini hanya sebatas penyitaan produk-produk tersebut yang
kemudian akan di musnahkan.
B. Rumusan masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Masalah tersebut yang akan diteliti oleh penulis agar mempunyai penafsiran yang
jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, sehingga dapat
dipecahkan secara sistematis dan dapat memberikan gambaran yang jelas.
Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan pembahasan masalah diatas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak
menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang
diperdagangkan di dalam negeri?
b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha
yang yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan
yang diperdagangkan di dalam negeri?
2. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian Hukum Pidana yang
membahas objek penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak
menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang
diperdagangkan di dalam negeri. Ruang lingkup wilayah penelitian mencangkup
7
8
wilayah Provinsi Lampung dengan data penelitian yang dilakukan pada tahun
2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak
menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang
diperdagangkan di dalam negeri.
b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap
pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang
pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan khususnya dibidang kajian hukum pidana yang berhubungan
dengan penegakan hukum pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan
produk di dalam negeri tidak disertai label berbahasa Indonesia.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi
rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat umum sehingga penelitian ini dapat
berguna sebagai sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum kepada aparat
9
terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan produk di dalam negeri tidak
disertai label berbahasa Indonesia. Selain itu juga berguna sebagai bahan
bacaan, sumber informasi, dan bahan kajian lebih lanjut bagi yang
membutuhkan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari
hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.8
Masalah penegakan hukum pidana atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminil yang di anut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang
berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan,
dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di
dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai
pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan
keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan
8
10
pidana. Menurut moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.9
Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu Pertama, Total Enforcement yaitu dimana ruang lingkup penegakan
hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak
mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi
secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
pendahuluan. Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri
memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten)
sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.
Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi
area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana
yang kedua yaitu Full Enforcement. Namun dalam ruang lingkup ini-pun para
penegak hukum termasuk pihak kepolisian tidak bisa diharapkan menegakkan
hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk
9
11
waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusia, perundang undangan dan
sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions. Sehingga menurut
Joseph Golstein, yang tersisa adalah Actual Enforcement. Namun, pelaksanaan
Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai
penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.10
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana
menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)
yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja
lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang
dari 3 dimensi, yaitu:
1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif, yaitu penerapan
keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai yang
didukung oleh sanksi pidana.
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem adminstratif yang
mencangkum interaksi antara berbagai aparatur penegak hukum yang
merupakan sub sistem peradilan.
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial dalam arti bahwa
setiap mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berbagai
prespektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan
dengan berbagai dimensi diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil
10
12
penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil
interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.11
A.Teori Penegakan Hukum Pidana
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Berdasarkan itu yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak
lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum
ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran
pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan
turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.12
Menurut Soerjono Soekanto, yaitu secara konsepsional maka inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai
rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu
proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
11
Joseph Goldstein dalam Muladi. Kapita Selekta Peradilan Pidana. Semarang. Universitas Diponogoro. 1995. Hlm. 41.
12
13
mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara
hukum dan moral.13
Sistem penegakan hukum dapat dilihat secara integral, yaitu berupa adanya
keterjalinan yang erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai
sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum (legal
structure), dan budaya hukum (legal culture). Sedangkan yang dimaksud dengan
nilai-nilai budaya hukum (legal culture) dalam konteks penegakan hukum,
tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan
kesadaran hukum atau sosialnya, serta pendidikan atau ilmu hukum.14
Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme
penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan
“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja
direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud
direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:
1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan
3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”,
sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”.
Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga
13
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm 5.
14
14
tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan
dalam satu kebulatan sistem.15
Sistem penegakan hukum pidana adalah sistem kekuasaan atau kewenangan
menegakan hukum pidana yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4
(empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu :
1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);
2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);
3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh badan/lembaga pengadilan); dan
4. Kekuasaan pelaksana putusan atau pidana (oleh badan/aparat pelaksana atau eksekusi).
Keempat tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana
yang integral atau sering disebut dengan sistem peradilan pidana terpadu.16Sistem
peradilan di Indonesia pada hakikatnya identik dengan penegakan hukum karena
proses peradilan pada hakikatnya suatu proses menegakan hukum.
B. Teori Tujuan Pemidanaan
Tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak
terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti luasnya yaitu perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan.
Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta
fungsi pemidanaan, tidak akan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang
ada. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang
berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya.
15
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1992,hlm.91.
16
15
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)17
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai
konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan
kejahatan harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu.
Dengan demikian adanya pidana itu didasarkan pada alam pikiran untuk
pembalasan, oleh karena itu teori ini dikenal pula dengan teori pembalasan.18
2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)
Menurut teori kedua (teori relatif) yaitu, tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan
pidana itu sendiri. Tujuan dari pidana itu untuk perlindungan masyarakat atau
memberantas kejahatan. Teori tujuan ini mempunyai beberapa paham/teori,
diantaranya:
a) Teori Prevensi Umum
Menurut teori ini tujuan pidana itu adalah untuk pencegahan yang ditunjukan
pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan, yaitu dengan
ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang.
b) Teori Prevensi Khusus
Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat tidak
mengulangi lagi kejahatan.19
17
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm.31.
18
Tri Andrisman, 2011, Op.Cit., hlm.30.
19Ibid
16
3. Teori Gabungan
Ide dasar teori gabungan ini pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya
merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat
yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan
dan keadaan pembuatnya. Jadi untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk
membalas dendam direspon dengan dijatuhi pidana penajara pada pelakunya,
sedangkan penjahat/narapidana itu dilakukan pembinaan agar tidak
mengulanginya kembali selepas dari menjalani pidana penjara tersebut.20 Masalah
penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga
dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum); 2. Faktor aparat penegak hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung ; 4. Faktor masyarakat; dan
5. Faktor kebudayaan21
2. Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan diteliti.22 Berdasarkan judul ini akan diuraikan beberapa istilah
sebagai berikut:
20
Ibid. Hlm.33
21
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia, 2007. Hlm. 132
22Ibid.
17
a. Analisis adalah memecah atau menguraikan suatu keadaan atau masalah
kedalam beberapa bagian elemen dan memisahkan bagian tersebut untuk
dihubungkan dengan keseluruhan atau dibandingkan dengan yang lain.23
b. Penegakan hukum pidana adalah keseluruhan rangkaian kegiatan
penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga
masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban
masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata dengan aturan
hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan di bidang hukum pidana
yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.24
c. Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan (UUP) Pasal 1 Ayat (14) adalah setiap orang perseorangan
warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha
dibidang Perdagangan.
d. Perdagangan Dalam Negeri menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
yaitu Perdagangan Barang dan/atau Jasa dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar Negeri.
e. Label Berbahasa Indonesia menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor.62/M-DAG/PER/12/2009 tentang Kewajiban Pencantuman
Label Pada Barang adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk
23
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hlm. 276.
24
18
gambar, tulisan, kombinasi atau keduanya, dan bentuk lain yang memuat
informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha serta informasi lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
disertakan pada barang, dimasukan kedalam, ditempelkan pada atau
merupakan bagian dari kemasan.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling
berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang pembuktian
pembahasan permasalahan yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas
yang terdiri dari pengertian penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang
tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang
19
III. METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam
rangka pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan
pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan
masalah, yaitu mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku
usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan
yang diperdagangkan di dalam negeri dan apa saja yang mempengaruhi
penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label
berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.
PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan
mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak
menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang
diperdagangkan di dalam negeri, dan apa saja yang mempengaruhi penegakan
hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa
Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri, serta
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana
1. Penegakan hukum
Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan objek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum objek oleh subjek
dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum.1
Penegakan hukum dalam arti luas yaitu penegakan seluruh norma tatanan
kehidupan bermasyarakat sedangkan dalam arti sempit penegakan hukum
diartikan sebagai praktek peradilan pelaksanaan hukum dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari mempunyai arti sangat penting, karena apa yang menjadi
tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu. Ketertiban dan
ketentraman memang hukum dibuat untuk dilaksanakan, kalau tidak maka
1
21
peraturan hukum itu hanya dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum yang
demikian akan menjadi mati sendiri.2
Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan
hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi
pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu
supaya ditegakan kembali. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan
hukum menurut urutan berikut:3
a. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan).
b. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda). c. Penyisihan dan pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu). d. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati).
Pelaksanaan hukum dapat terjadi karena pelanggaran hukum, yaitu dengan
menegakan hukum tersebut dengan bantuan alat-alat perlengkapan Negara. Dalam
menegakan hukum kemanfaatan dan keadilan.4 Hukum harus di laksanakan dan di
tegakan. Setiap orang menginginkan dapat di tetapkannya hukum terhadap
peristiwa konkrit yang terjadi. Bagaimana hukumnya, itulah yang harus di
berlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi. Jadi pada dasarnya tidak ada
penyimpangan, bagaimanapun juga hukum harus ditegakan, sehingga timbul
perumpamaan, “meskipun besok hari akan kiamat, hukum harus di tegakan”.
Inilah yang dinginkan kepastian hukum dengan adanya kepastian hukum,
ketertiban dalalm masyarakat akan tercapai.5
2
H.Riduan Syahrani.S. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Op.Cit. Hlm. 191
3
Abdulkadir Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2006. Hlm. 115.
4
Sudikno Mertokusumo. Hukum Mengubah. Yogyakarta. Siberty. 1986. Hlm. 130.
22
2. Aparat Penegak Hukum
Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian
pada orang lain. Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para
aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat peegak hukum oleh
undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1. Penyelidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oeh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim. 4. Hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.
5. Penasehat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Kalau dikaitkan dengan lambang negara maka dapat disamakan dengan “bineka”
merujuk adanya beberapa lembaga pada peradilan yaitu Kepolisian, Penuntut
Umum, Penasehat Hukum, dan “tunggal ika” merujuk pada tujuan peradilan
pidana yaitu secara umum disetujui, meliputi restribusi, pencegahan, ketidak
mampuan, dan rehabilitasi memberikan beberapa alasan mengapa keterpaduan
dianggap cara yang tepat untuk meningkatkan daya guna dari sistem peradilan
pidana.6
6
23
3. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana dikenal pula sistem penegakan hukum pidana, yaitu
merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum pidana yang
diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem pada proses
peradilan pidana. Oleh karena itu, keterpaduan dari subsistem norma hukum
pidana yang integral juga dilaksanakan oleh 4 (empat) subsistem, yaitu:
a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan atau lembaga penyidik);
b. Kekuasaan penuntutan (oleh badan atau lembaga penuntut umum); c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh badan
atau lembaga pengadilan); dan
d. Kekuasaan pelaksanaan putusan atau pidana (oleh badan atau aparat pelaksana atau eksekusi).7
Hubungan antar Badan-Badan Penegak hukum atau Peradilan Pidana:
a. Hubungan kepolisian dengan penuntut umum dan pengadilan, kedudukan
kepolisian dalam proses peradilan pidana berperan sebagai penjaga pintu
gerbang yaitu melalui kekuasaan yang ada ini merupakan awal mula dari
proses pidana. Polisi berwenang menentukan siapa yang patut disidik. Penutut
umum baru melaksanakan fungsinya setelah ada penyerahan hasil pemeriksaan
pihak penyidik. Pembuat surat dakwaan oleh penuntut berdasarkan berita acara
pemeriksaan penyidikan, jadi antara tugas kepolisian dan tugas penuntut
umum, satu sama lain ada kaitannya. Penyidik akan mempengaruhi dakwaan.8
b. Hubungan penuntut umum dengan peradilan dan lembaga permasyarakatan,
hubungan antara penuntut umum hakim atau pengadilan tampak pada
pemeriksaan dimuka persidangan. Pemeriksaan pengadilan berdasrkan pada
7
Heni Siswanto Op.Cit, Hlm. 207.
8
24
surat dakwaan tidak atau kurang benar, maka hakim dapat memberikan
kesempatan kepada penuntut umum untuk memperbaikinya. Sedangkan dalam
hubungannya dengan lembaga permasyarakatan, penuntut umum adalah orang
yang ditugaskan melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap
dengan memasukan orang yang telah dipidana ke lembaga kemasyarakatan
(eksekusi). Dalam hal putusan pengadilan berupa perampasan kemerdekaan,
maka peranan hakim sebagai pejabat diharapkan juga bertanggung jawab atas
putusannya tersebut. Artinya ia harus mengetahui apakah putusan yang telah
dijatuhkan olehnya dilaksanakan dengan baik oleh petugas-petugas yang
berwenang yaitu baik penuntut umum dan lembaga kemasyarakatan.9
1. Faktor-Faktor Penegakan Hukum
Menegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikan telapak tangan,
karena banyak faktor-faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia. Menurut
Soerjono Soekanto yang menjadi faktor-faktor penegakan hukum antara lain:
1. Undang-Undang
Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan
penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan
semakin sukarlah menegakannya. Secara umum peraturan yang baik adalah
peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.
a. Secara Yuridis, setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber
pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap
peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan
9
25
peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya,
Undang-Undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
b. Secara Sosiologis, bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau
diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum itu
ditujukan/diberlakukan menurut “Anerkennungstheorie”, “The
Recogniton Theory”. Teori ini bertolak belakang dengan “Machttheorie”,
Power Theory”. Yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai
kelakuan sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
c. Secara Filosofis, apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum (rechsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi dalam negara
Inodonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi adalah
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2. Faktor Penegak Hukum
Secara sosiologis setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status)
atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur
masyarakat yang isisnya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam
mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan
karena:
a. Tidak ada perundingan Undang-Undang yang sedemikian lengkap,
sehingga dapat mengatur prilaku manusia .
b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan dengan
26
c. Kurangnya biaya untuk menerapkan Perundang-undangan.
d. Adanya kasus-kasus individu yang memerlukan penanganan khusus.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas antara lain mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan
dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup dan seterusnya. Apabila hal-hal itu tidak terpenuhi maka sukar bagi
penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya, untuk membuktikan apakah
suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di daerah tidak dapat mengetahui
secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk memeriksanya, sehingga terpaksa
dikirim ke tempat yang bisa menyelesaikannya. Tanpa sarana atau fasilitas yang
memadai, penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar dan penegak hukum
tidak bisa berjalan dengan sempurna.
4. Faktor Masyarakat
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum berjalan dengan sempurna. Tetapi semakin rendah tingkat
kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu
pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa yang dimaksud dengan
hukum itu sendiri. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan itu selalu
berubah, maka diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yaitu:
a. Pengetahuan hukum; b. Pemahaman hukum;
27
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Maka kebudayaan
Indonesia merupakan dasar atau hal yang mendasari hukum adat yang berlaku,
disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk
oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum
perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif.
B. Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Perdagangan (UUP) Pasal 1 Ayat (14)
adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK), “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
28
Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:
1. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.
2. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori.
3. Badan hukum, menurut hukum, badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.
4. Bukan badan hukum, jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum, seperti firma, atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya, pada saat mobil Anda mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang menawarkan untuk mendorong mobil Anda dengan syarat mereka diberi imbalan Rp50.000,-. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum.
C. Pengaturan tentang Label Berbahasa Indonesia
Label berbahasa Indonesia adalah informasi tentang produk, pada umumnya
tertera pada apa yang disebut sebagai label. Menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan (UUP) Pasal 104 mengatakan “setiap pelaku
usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia
pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) Pasal 7 poin (b) meyatakan bahwa setiap pelaku usaha
berkewajiban untuk melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 8 ayat (1) poin (i) dalam undang-undang ini
29
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat.
Sanksi yang dijatuhi terhadap pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut
berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Pasal 60 (ayat 2) dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan sanksi administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini berupa penetapan
ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan Pasal 62
(ayat 1) menjelaskan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima
tahun) atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 96
(ayat 1) juga dinyatakan dengan tegas bahwa setiap produk atau barang dalam
negeri ataupun luar negeri wajib mencantumkan label guna memberikan informasi
yang benar dan jelas kepada konsumen sebelum membeli ataupun
mengkonsumsinya. Pemberian label dengan menggunakan bahasa Indonesia ini
menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Pasal 96 (ayat 2) Undang-Undang Pangan dijelaskan tentang informasi
sebagaimana dimaksud pada (ayat 1) terkait dengan asal, keamanan, mutu,
kandungan Gizi, dan keterangan lain yang diperlukan. Pasal 97 (ayat 1) dalam
undang-undang ini menyatakan setiap orang yang memproduksi Pangan di
30
pada kemasan pangan, dalam undang-undang ini sanksi yang dikenakan terhadap
pelaku yang melangar aturan yang telah dibuat akan dikenakan sanksi
administratif berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan produksi
dan/atau peredaran, penarikan pangan dari predaran oleh produsen, ganti rugi
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Diperlukan penelitian yang
merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yuridis
normatif dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku,
bahan-bahan litelatur yang menyangkut kaedah hukum, doktrin-doktrin hukum, asas-asas
hukum dan sistem hukum yang terdapat dalam permasalahan.
Pendekatan yuridis empiris dilaksanakan dengan cara memperoleh pemahaman
hukum dalam kenyataannya (dilapangan) baik itu melalui penilaian, pendapat dan
penafsiran subjektif dalam pengembangan teori-teori dalam kerangka
penemuan-penemuan ilmiah sehubungan dengan penegakan hukum pidana terhadap pelaku
usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan
yang diperdagangkan di dalam negeri dan faktor-faktor penghambat penegakan
hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa
32
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.1 Dengan
demikian data primer yang diperoleh langsung dari objek penelitian dilapangan
yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Penulis akan mengkaji dan
meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara narasumber, dalam hal
ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana terhadap
pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang
pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen arsip
dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,
pandangan-pandangan, konsep-konsep, doktrin, dan asas-asas hukum yang
berkaitan dengan pokok penulisan serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang
terdiri dari bahan hukum antara lain:
1. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan:
a. UU Nomor 1 Tahun 1946 Juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang pemberlakuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1
33
c. Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
d. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer antara lain literatur dan referensi.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil penelitian
para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi dalam suatu
penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas. Adapun narasumber dalam penelitian ini
diantaranya sebagai berikut:
a. Panit 1 Unit 2 Subdit 1 Indagsi POLDA Lampung : 1 orang
b. Kasi Pengawasan Barang Beredar Dinas Perdagangan
Provinsi Lampung : 1 orang
c. Kepala Seksi Layanan Informasi Konsumen BBPOM : 1 orang
d. Dosen Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana UNILA : 2 orang+
34
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Mengumpulkan data adalah tindak lebih lanjut proses pengumpulan data yang
akan digunakan untuk membuktikan penulisan. Dalam prosedur pengumpulan
data ini, ditentukan lokasi penelitian, populasi dan data sampel terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data-data sekunder. Dalam hal ini
penulis melakukan serangkaian kegiatan studi dokumenter dengan cara membaca,
mancatat, menyandur, mengutip buku-buku atau referensi dan menelaah
perundang-undangan, dokumen, dan informasi lain yang ada hubungannya dengan
permasalahan.
b. Studi lapangan
Studi Lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data primer dan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara
mengajukan pertanyaan-peryataan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada
dalam penelitian ini. Pertanyaan yang telah dipersiapkan diajukan kepada
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk mendapatkan data, tanggapan, dan
juga jawaban dari narasumber. Selain itu, untuk melengkapi penulisan ini, penulis
juga mengajukan observasi untuk melengkapi data-data dan fakta-fakta yang
35
2. Prosedur Pengolahan Data
Mengolah data adalah suatu usaha yang nyata untuk membuat data, mampu
memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah
data terkumpul baik data primer dan data skunder, maka selanjutnya dilakukan
pengolahan data. Dalam hal ini, pengolahan data dilakukan dengan cara
memeriksa dan meneliti data yang telah diperoleh mengenai kelengkapan,
kejelasan, dan kebenaran dari data yang diperoleh tersebut. Selanjutnya dilakukan
pengklasifikasian data sesuai pokok permasalahan yang hendak dianalisa sehingga
akan mudah melakukan analisis data. Adapun yang akan dianalisis tersebut adalah
berhubungan dengan bidang pokok pembahasan yang sesuai dengan judul. Data
yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun dari studi kepustakaan kemudian
diolah dengan cara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kejelasan
dan kebenaran data untuk menentukan sesuai atau tidaknya serta perlu atau
tidaknya data tersebut terhadap permasalahan.
b. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis pada
masing-masing jenis dan pokok bahasan secara sistematis dengan tujuan agar
mempermudah dalam pembahasan.
c. Klasifikasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara menggolongkan
dan mengelompokan data dengan tujuan untuk menyajikan data secara
36
E. Analisis Data
Analisis Data yang diperoleh dilakukan dengan analisis secara kualitatif. Ana