• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA

INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI

Oleh Andi Mekar Sari

Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Perdagangan (UUP) Pasal 1 (ayat 14) adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan. Berkenaan dengan itu setiap badan usaha wajib memasang label berbahasa Indonesia di setiap produknya. Label berbahasa Indonesia adalah informasi tentang produk. Pada umumnya tertera pada apa yang disebut sebagai label. Menurut Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2014 tentang Perdagangan (UUP) Pasal 104 mengatakan “setiap pelaku

usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (ayat 1) dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.

(2)

Andi Mekar Sari

Saran yang diberikan penulis antara lain: (1) Diharapkan perlu adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum baik dari Kepolisian Daerah Lampung, Dinas Perdagangan, dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan untuk penerapan sanksi hukum dalam mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang apabila telah diberi peringatan tetap tidak ada perubahan maka mereka dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur dengan jelas sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha tersebut. Upaya ini dilakukan dengan harapan tidak ada lagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut. Mengingat sudah banyak masyarakat yang merasa dirugikan, tetapi tidak pernah paham dengan pengaturannya; dan (2) Perlunya peran aktif dari masyarakat untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak patuh dengan ketentuan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dapat membantu aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah tersebut, masyarakat diharapkan dapat bekerjasama dengan aparat penegak hukum agar terciptanya kedamaian dan keadilan.

(3)

ABSTRACT

AN ANALYSIS ON CRIME LAW ENFORCEMENT TOWARDS BUSINESS ENTITIES WHO DO NOT ATTACH INDONESIAN

LANGUAGE LABEL ON FOOD PRODUCTS TRADED IN DOMESTIC MARKET

By

Andi Mekar Sari, Heni Siswanto, Firganefi (Gmail: andimekarsari200@gmail.com)

Business communities according to trade laws (UUP) Article 1 (paragraph 14) is every individual Indonesian citizen or entity in the form of legal entity or non-legal entity established and domiciled in the territory of the Unitary Republic of Indonesia who conduct business activities in the field trade. In connection with that every business entity must install the Indonesian-language label on each product. Issues discussed in this paper are the author of How the enforcement of criminal law against business communities that do not use the Indonesian language labeling on food items traded in domestic and what factors inhibiting criminal enforcement against business communities who do not use Indonesian language labeling on food items traded in domestic are. The approach used is a problem normative juridical approach and juridical empirical primary data and secondary data in which each of the data obtained through the research literature and in the field. Based on the results of research and discussion, the conclusions are: (1) The crime law enforcement towards business entity who do not attach Indonesia language label on food products traded in domestic market was violating the article 104 no. 7/2014 under Trade Law, article 60 (verse 2) and article 60 (verse 1) no. 8/ 1999 under Consumers Protection Law, and also article 102 no. 18/2012 Food Law. The three enactments above regulate both sanction on criminal and administrative, except the enactment under Food Law. (2) There were several factors hampered the implementation of crime law enforcement towards business entity who do not attach Indonesian language label on food products traded in domestic market: (a) constitution, (b) law authority, (3) infrastructures, (d) society, and (e) cultures.

Keywords: Law Enforcement, Business Communities, Indonesian Language

(4)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK MENGGUNAKAN LABEL BERBAHASA

INDONESIA PADA BARANG PANGAN YANG DIPERDAGANGKAN DI DALAM NEGERI

Oleh:

ANDI MEKAR SARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 Maret

1993, merupakan putra ke-2 (dua) dari 4 bersaudara

diantaranya Bharata Sena Kesuma Youdha, S.Kep, Mutia

Adillah dan Alma Savira dari keluarga Bapak H. Yurni

Kesuma Youdha dan Ibu Hj. Hartini, A.Md.,Keb.

Riwayat pendidikan penulis diawali dari pendidikan, pada Taman Kanak-Kanak

TK Kautsar Bandar Lampung lulus tahun 1999; Sekolah Dasar Swasta

Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama

Negeri 21 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008, Sekolah Menengah Atas

Negeri 13 Bandar Lampung lulus pada tahun 2011, kemudian pada tahun 2011

penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan

pada tahun 2014 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Desa

Tegal Gondo Kec. Purbolinggo Kab. Lampung Timur.

Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif di dunia kemahasiswaan di internal

kampus, di internal kampus penulis mengawali karirnya di UKMF Mahkamah

sebagai Kepala Divisi Agitasi dan Propaganda Periode 2013-2014 serta aktif di

Himpunan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (HIMA HAN) sebagai

(9)

PERSEMBAHAN

Dengan kerendahan hati dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT

kupersembahkan skripsiku yang sederhana ini kepada :

Kedua orangtuaku yang sangat ku sayangi, Ayahanda (H. Yurni Kesuma Youdha)

dan Ibunda (Hj. Hartini, A.Md.,Keb), yang telah melahirkan, merawat, mendidik,

memberikan do’a, kasih sayang, motivasi, dan bekal kehidupan yang tak henti-hentinya, yang selalu ada disampingku serta selalu memberikanku yang terbaik

untuk menjadikanku sesuatu yang terbaik dalam kehidupan ini.

Kakakku, adikku serta saudara-saudaraku yang selalu memberi warna dalam

hidupku.

Keluarga besar dan sahabat-sahabatku yang memberikan semangat, dukungan,

nasihat, dan setia menemaniku dalam suka maupun duka.

Para dosen yang telah mendidikku memberikan ilmu dan pesan moral untuk

melangkah kedepan.

Serta

(10)

MOTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”

(Q.S. Ar-Ra’d:11)

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata

(11)

SANWANCANA

Assalamualikum Wr. Wb

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas Rahmat dan

Karunianya lah Skripsi yang berjudul “Analisis Penegakan Hukum Pidana

Terhadap Pelaku Usaha Yang Tidak menggunakan Label Berbahasa Indonesia

Pada Barang Pangan Yang Diperdagangkan di Dalam Negeri” ini dapat

terselesaikan.

Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan

dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya terhadap:

1. Bapak Prof. Dr. Sugeng P. Harianto, M.S selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung sekaligus Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.

3. Ibu Diah Gusniati, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

(12)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana

sekaligus Dosen Pembimbing 2 yang telah memberikan arahan,

bimbingan, dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H selaku Dosen pembimbing 1 yang

telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan

masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas 1 yang telah

memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas 2 yang telah

memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum

Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

9. Bapak Moh. Ali Muhaidori selaku Panit 1 Unit 2 Subdit 1 Indagsi di Dit

Reskrimsus POLDA Lampung yang telah memberikan masukan dan saran

dalam penulisan skripsi ini.

10.Bapak Tohran, S.E selaku Kasi Pengawasan Barang Beredar di Dinas

Perdagangan Provinsi Lampung yang telah memberikan masukan dan

saran dalam penulisan skripsi ini.

11.Ibu Dra. Hotna Panjaitan. A.Pt selaku Kepala Seksi Layanan Informasi

Konsumen di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan provinsi Lampung

(13)

12.Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H selaku Dosen Bagian Hukum Pidana

sekaligus Narasumber yang telah memberikan masukan dan saran dalam

penulisan skripsi ini.

13.Bapak Dita Febrianto, S.H.,M.H selaku Dosen Bagian Hukum Perdata

sekaligus Narasumber yang telah memberikan masukan dan saran dalam

penulisan skripsi ini.

14.Bapak Iwan Satriawan, S.H., M.H selaku Dosen Bagian Hukum Tata

Negara sekaligus Pembina Komunitas Konstitusi yang telah banyak

membimbingku dalam perkuliahan.

15.Papa dan Mamaku H.Andi Amir Alimina, S.H dan Listi dan adik-adiku

Andi Muhammad Zatar dan Andi Nurhayati serta seluruh keluarga besarku

yang selalu memberikan motovasi serta doa-doa disetiap langkahku.

16.Nyai, Mama Tuti, Bunda, Yayang, Binda, Manda, Inan, One, Ami, serta

sepupu-sepupuku tersayang Riski, Alin, Olan, Rindu, Zarin, Permai, Puja,

Angguan, Ayu yang selalu memberikan perhatian dan doanya untuk ku.

17.Sahabat-sahabatku, Andika Pratama, Mba Heti Ratna Sari, S.H., Mba Diaz

Rasto Sari, S.H., Iis Priyatun, S.H., Annisa Dian PH, S.H., Dewi

Ambasador, S.H, Ines Septia, Ika Ristia, Ayu Kumala Sari, Hera

Destriana, Citra Febria, Aminah Camila, Dhaniko Saputra, Indra Budhi,

Kresna, Jandrikardo, Beni Prawira, Agung Asadillah, Nur Muhammad,

Andre Jevi Surya, Gusti Reja Maulana, Abu Dzar Al Ghifari , Natalia

Caterin, Ivan Savero, Aulia Agristika, Ratu Aqillah Aliffah, bang Jamal

Hamdan Sanjaya, Panji Abendanu yang selalu memberikan semangat dan

(14)

18.Teman-teman Komunitas Konstitusi, Mahkamah, Hima Pidana dan

BKBH.

19.Seluruh teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

tidak bisa disebutkan satu persatu.

20.Teman-teman KKN ku, bang Lubis, bang Ardhi, Arif, Ero, mba Ana, yang

pernah tinggal bersamaku selama 40 hari di Desa Labuhan Ratu Lampung

Timur.

21.Bapak Karyanto dan IbU Sri selaku induk semang pada saat KKN dan

anak-anaknya Mas Indra dan Irfan yang telah ku anggap sebagai keluarga

yang dengan setulus hati menjaga dan memperhatikanku selama berada

dirumahnya.

22.Untuk Almamaterku Tercinta.

Bandar Lampung, April 2015 Penulis

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana ... 20

B. Pengertian Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Perdagangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 27

C. Pengaturan tentang Label Berbahasa Indonesia ... 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

(16)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ... 37

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha Yang

Tidak Menggunakan Label Berbahasa Indonesia pada Barang

Pangan yang Diperdagangkan di dalam Negeri ... 39

C. Faktor-faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Usaha

Yang Tidak Menggunakan Label Berbahasa Indonesia Pada

Barang Pangan Yang Diperdagangkan Di Dalam Negeri ... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan... 57

B. Saran ... 58

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan Pasal 1 (Ayat 14) mengatur tentang setiap orang perseorangan warga

negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha dibidang

Perdagangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK) Pasal 1 angka 3 “pelaku usahaadalah setiap orang perorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Unsur-unsur

pelaku usaha ialah:1

1. Setiap orang perseorangan atau badan usaha, ditinjau dari aspek subyek yaitu pelaku usaha adalah pengusuha (perseorangan) dan sekumpulan pengusaha yang membentuk organ atau badan usaha. Dengan demikian baik perseorangan maupun badan usaha dapat dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

1Sri Rejeki Hartono. “Aspek

-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era

(18)

2

2. Berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, pembuat UU memahami bahwa badan usaha terdiri dari dua kategori, ialah badan usaha berbadan hukum dan badan usaha bukan badan hukum.

3. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, dalam hukum perdata internasional diakui prinsip nasionalitas atau domisili dari suatu badan hukum sebagai kriteria badan usaha domestik atau asing.

4. Baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, kegiatan bisnis dapat dilakukan dalam beragam bentuk dan cara yang dituangkan ke dalam kontrak.

5. Menyelenggarakan kegiatan usaha, istilah kegiatan usaha memiliki cakupan yang luas meliputi perbuatan dagang atau kegiatan perniagaan. 6. Dalam berbagai bidang ekonomi, memperluas arti pelaku usaha

meliputi pihak-pihak yang melakukan aktivitas atau kegiatan usaha (bisnis).

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) Pasal 7:2

1. Hak pelaku usaha hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

6. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan usahannya. 7. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

8. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

9. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku. 10. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba

barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi.

2

(19)

3

11. Memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat atau kegunaan barang atau jasa yang diperdagangkan.

12. Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.3

Perdagangan dalam Undang-Undang Perdagangan (UUP), Pasal 1 (ayat 1) adalah

tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa didalam

negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas

Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Barang dalam

Undang-Undang Perdagangan, Pasal 1 (ayat 5) adalah setiap benda, baik

berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik

dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan,

dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha. Saat ini

sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam perdagangan yang dilakukan

oleh para pelaku usaha terhadap barang yang dijual atau dipasarkan di Indonesia,

misalnya barang yang tidak melengkapi lebel berbahasa Indonesia yang

diperdagangkan di dalam negeri.

Masalah yang sering terjadi inilah yang memicu timbulnya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk mempertegas

aturan-aturan/ketentuan mengenai kewajiban bagi pelaku usaha untuk menggunakan

label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam Negeri,

pada Pasal 104 dalam undang-undang ini diatur sanksi pidana bahawa setiap

pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa

Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana

3Ibid

(20)

4

dimaksud dalam Pasal 6 (ayat 1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

Perdagangan barang yang tidak disertai label berbahasa Indonesia sebelumnya

bukan dianggap sebagai suatu Tindak Pidana, tetapi karena hal ini dianggap

meresahkan dan merugikan masyarakat dibuatlah Undang-Undang Perdagangan

yang mengatur tentang Perdagangan barang yang tidak menggunakan atau tidak

dilengkapi label berbahasa Indonesia merupakan suatu perbuatan tindak pidana.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pemberian label

merupakan suatu keharusan bagi pelaku usaha dimana hal tersebut juga perlu

diikuti dengan pemberian petunjuk atau informasi terkait barang atau produk yang

diperjual belikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga dinyatakan dengan tegas bahwa setiap

produk atau barang dalam negeri ataupun luar negeri wajib mencantumkan label

guna memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen sebelum

membeli ataupun mengkonsumsinya.

Kewajiban mengenai penggunaan bahasa Indonesia baik pada barang dalam

negeri ataupun barang-barang impor yang berasal dari luar negeri bertujuan agar

setiap orang mengerti dan memahaminya. Pemberian label dengan menggunakan

bahasa Indonesia ini menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini digunakan

sebagai salah satu indikator dalam pengawasan terhadap produk-produk yang

(21)

5

Dampak negatif dari beredarnya barang impor dapat ditekan lajunya dan dapat

diawasi tidak hanya oleh instansi pemerintahan yang terkait, tetapi juga dapat

diawasi langsung oleh masyarakat selaku konsumen yang merasakan dampak

langsung dari produk yang diperjual-belikan. Tidak hanya sebatas pada regulasi

akan kewajiban pemberian label dan petunjuk atau informasi terkait barang, tetapi

pemerintah juga harus memiliki peran aktif dalam menginformasikan kepada

masyarakat luas mengenai bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan

kesehatan serta barang-barang pangan yang beredar dipasaran yang tidak layak

untuk dikonsumsi.4

Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, selama tahun 2012

terdapat 621 produk yang tidak memenuhi ketentuan, dimana terjadi peningkatan

sebesar 28 produk dari tahun 2011, dengan spesifikasi produk impor sebesar 61%

dan 39% adalah produk dalam negeri. Jenis pelanggaran yang dilakukanpun

bermacam, mulai dari pelanggaran ketentuan label dalam bahasa Indonesia,

Pelanggaran SNI (Standar Nasional Indonesia), pelanggaran MKG (Manual dan

Kartu Garansi), dan pelanggaran atas tidak memenuhi ketentuan produk yang

diawasi distribusinya.5

Contoh Kasus data dari tahun 2012 hingga 2014 tentang jumlah pelanggaran yang

dilakukan oleh pelaku usaha dalam memperdagangankan barang di dalam negeri

yang tidak menggunakan Label Berbahasa Indonesia. Dari Badan Pengawas Obat

dan Makanan (BPOM) Pusat di Jakarta, menemukan 2.939 item atau 72.814

4

https://dyahturtle.wordpress.com/konsumen-cerdas-paham-perlindungan-konsumendiakses pada tanggal 2 November 2014. Pukul 13.25 WIB

5

(22)

6

kemasan pangan yang tidak memenuhi ketentuan seperti izin edar, kadaluwarsa,

kondisi rusak, serta tidak berlabel bahasa Indonesia. Temuan BPOM ini

merupakan hasil intensifikasi pengawasan pangan menjelang natal dan tahun baru

di gudang importir dan retail.

Kepala BPOM Roy Sparringa menuturkan, pengawasan pangan yang

dilaksanakan hingga 19 Desember 2014 ini berhasil menjaring 2.939 item pangan.

"Intensifikasi pengawasan pangan ini dilaksanakan serentak oleh Balai BPOM di

seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, pangan kadaluwarsa

merupakan temuan terbanyak.6BPOM menggelar intensifikasi pengawasan di

sarana-sarana distribusi pangan seperti toko, pasar tradisional, supermarket,

hypermarket, serta para pembuat atau penjual parsel.

Berdasarkan pengawasan tersebut, BPOM menemukan 635 item atau 15.483

kemasan pangan tanpa izin edar, 1.558 item (49.647 kemasan) pangan

kadaluwarsa, 551 item (5.199 kemasan) pangan rusak, 192 item (2.433 kemasan)

pangan tidak memenuhi ketentuan label, dan 3 item (52 kemasan) pangan tidak

berlabel bahasa Indonesia. Kemasan tidak memenuhi ketentuan label bernilai

Rp97.320.000,00 (sembilan puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh rupiah).

Jenis pangan sementara itu untuk pangan yang tidak memenuhi ketentuan label

adalah snack, minuman ringan, madu, mentega, dan cokelat. Mayoritas berasal

dari negara Malaysia dan Thailand, sisanya berasal dari Uni Emirat Arab, Arab

Saudi, Singapura, dan negara-negara kecil lainnya. Makanan dan minuman ringan

6

(23)

7

menempati posisi teratas dari jenis item pangan yang diimpor".7 Proses

penyidikan dari kasus ini hanya sebatas penyitaan produk-produk tersebut yang

kemudian akan di musnahkan.

B. Rumusan masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Masalah tersebut yang akan diteliti oleh penulis agar mempunyai penafsiran yang

jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, sehingga dapat

dipecahkan secara sistematis dan dapat memberikan gambaran yang jelas.

Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan pembahasan masalah diatas, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak

menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang

diperdagangkan di dalam negeri?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha

yang yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan

yang diperdagangkan di dalam negeri?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian Hukum Pidana yang

membahas objek penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak

menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang

diperdagangkan di dalam negeri. Ruang lingkup wilayah penelitian mencangkup

7

(24)

8

wilayah Provinsi Lampung dengan data penelitian yang dilakukan pada tahun

2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak

menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang

diperdagangkan di dalam negeri.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap

pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang

pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan khususnya dibidang kajian hukum pidana yang berhubungan

dengan penegakan hukum pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan

produk di dalam negeri tidak disertai label berbahasa Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi

rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat umum sehingga penelitian ini dapat

berguna sebagai sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum kepada aparat

(25)

9

terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan produk di dalam negeri tidak

disertai label berbahasa Indonesia. Selain itu juga berguna sebagai bahan

bacaan, sumber informasi, dan bahan kajian lebih lanjut bagi yang

membutuhkan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari

hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.8

Masalah penegakan hukum pidana atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan

politik kriminil yang di anut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan

tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang

berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut

dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan,

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan

keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan

8

(26)

10

pidana. Menurut moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan

aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.9

Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga

bagian yaitu Pertama, Total Enforcement yaitu dimana ruang lingkup penegakan

hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif

(substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak

mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi

secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan. Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri

memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten)

sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.

Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi

area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana

yang kedua yaitu Full Enforcement. Namun dalam ruang lingkup ini-pun para

penegak hukum termasuk pihak kepolisian tidak bisa diharapkan menegakkan

hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk

9

(27)

11

waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusia, perundang undangan dan

sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions. Sehingga menurut

Joseph Golstein, yang tersisa adalah Actual Enforcement. Namun, pelaksanaan

Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai

penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.10

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)

yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja

lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang

dari 3 dimensi, yaitu:

1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif, yaitu penerapan

keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai yang

didukung oleh sanksi pidana.

2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem adminstratif yang

mencangkum interaksi antara berbagai aparatur penegak hukum yang

merupakan sub sistem peradilan.

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial dalam arti bahwa

setiap mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berbagai

prespektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan

dengan berbagai dimensi diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil

10

(28)

12

penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil

interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.11

A.Teori Penegakan Hukum Pidana

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum

adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi

kenyataan. Berdasarkan itu yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak

lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam

peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum

ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran

pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan

turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.12

Menurut Soerjono Soekanto, yaitu secara konsepsional maka inti dan arti

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai

rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu

proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan

keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi

11

Joseph Goldstein dalam Muladi. Kapita Selekta Peradilan Pidana. Semarang. Universitas Diponogoro. 1995. Hlm. 41.

12

(29)

13

mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara

hukum dan moral.13

Sistem penegakan hukum dapat dilihat secara integral, yaitu berupa adanya

keterjalinan yang erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai

sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum (legal

structure), dan budaya hukum (legal culture). Sedangkan yang dimaksud dengan

nilai-nilai budaya hukum (legal culture) dalam konteks penegakan hukum,

tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan

kesadaran hukum atau sosialnya, serta pendidikan atau ilmu hukum.14

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme

penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja

direncanakan. Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud

direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”,

sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”.

Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga

13

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm 5.

14

(30)

14

tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan

dalam satu kebulatan sistem.15

Sistem penegakan hukum pidana adalah sistem kekuasaan atau kewenangan

menegakan hukum pidana yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4

(empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu :

1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);

2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);

3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh badan/lembaga pengadilan); dan

4. Kekuasaan pelaksana putusan atau pidana (oleh badan/aparat pelaksana atau eksekusi).

Keempat tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana

yang integral atau sering disebut dengan sistem peradilan pidana terpadu.16Sistem

peradilan di Indonesia pada hakikatnya identik dengan penegakan hukum karena

proses peradilan pada hakikatnya suatu proses menegakan hukum.

B. Teori Tujuan Pemidanaan

Tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak

terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti luasnya yaitu perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta

fungsi pemidanaan, tidak akan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang

ada. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang

berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya.

15

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,1992,hlm.91.

16

(31)

15

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)17

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai

konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan

kejahatan harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu.

Dengan demikian adanya pidana itu didasarkan pada alam pikiran untuk

pembalasan, oleh karena itu teori ini dikenal pula dengan teori pembalasan.18

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)

Menurut teori kedua (teori relatif) yaitu, tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan

pidana itu sendiri. Tujuan dari pidana itu untuk perlindungan masyarakat atau

memberantas kejahatan. Teori tujuan ini mempunyai beberapa paham/teori,

diantaranya:

a) Teori Prevensi Umum

Menurut teori ini tujuan pidana itu adalah untuk pencegahan yang ditunjukan

pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan, yaitu dengan

ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang.

b) Teori Prevensi Khusus

Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat tidak

mengulangi lagi kejahatan.19

17

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm.31.

18

Tri Andrisman, 2011, Op.Cit., hlm.30.

19Ibid

(32)

16

3. Teori Gabungan

Ide dasar teori gabungan ini pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya

merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat

yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan

dan keadaan pembuatnya. Jadi untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk

membalas dendam direspon dengan dijatuhi pidana penajara pada pelakunya,

sedangkan penjahat/narapidana itu dilakukan pembinaan agar tidak

mengulanginya kembali selepas dari menjalani pidana penjara tersebut.20 Masalah

penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga

dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi faktor tersebut. Faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum); 2. Faktor aparat penegak hukum;

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung ; 4. Faktor masyarakat; dan

5. Faktor kebudayaan21

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan

istilah yang akan diteliti.22 Berdasarkan judul ini akan diuraikan beberapa istilah

sebagai berikut:

20

Ibid. Hlm.33

21

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia, 2007. Hlm. 132

22Ibid.

(33)

17

a. Analisis adalah memecah atau menguraikan suatu keadaan atau masalah

kedalam beberapa bagian elemen dan memisahkan bagian tersebut untuk

dihubungkan dengan keseluruhan atau dibandingkan dengan yang lain.23

b. Penegakan hukum pidana adalah keseluruhan rangkaian kegiatan

penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga

masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban

masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata dengan aturan

hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan di bidang hukum pidana

yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.24

c. Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan (UUP) Pasal 1 Ayat (14) adalah setiap orang perseorangan

warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha

dibidang Perdagangan.

d. Perdagangan Dalam Negeri menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014

yaitu Perdagangan Barang dan/atau Jasa dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar Negeri.

e. Label Berbahasa Indonesia menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik

Indonesia Nomor.62/M-DAG/PER/12/2009 tentang Kewajiban Pencantuman

Label Pada Barang adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk

23

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1997, hlm. 276.

24

(34)

18

gambar, tulisan, kombinasi atau keduanya, dan bentuk lain yang memuat

informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha serta informasi lainnya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

disertakan pada barang, dimasukan kedalam, ditempelkan pada atau

merupakan bagian dari kemasan.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling

berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang pembuktian

pembahasan permasalahan yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas

yang terdiri dari pengertian penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang

tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang

(35)

19

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam

rangka pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan

pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan

masalah, yaitu mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku

usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan

yang diperdagangkan di dalam negeri dan apa saja yang mempengaruhi

penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label

berbahasa Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.

PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan

mengenai bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak

menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan yang

diperdagangkan di dalam negeri, dan apa saja yang mempengaruhi penegakan

hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa

Indonesia pada barang pangan yang diperdagangkan di dalam negeri, serta

(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana

1. Penegakan hukum

Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan objek yang

luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum objek oleh subjek

dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu

melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum.1

Penegakan hukum dalam arti luas yaitu penegakan seluruh norma tatanan

kehidupan bermasyarakat sedangkan dalam arti sempit penegakan hukum

diartikan sebagai praktek peradilan pelaksanaan hukum dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari mempunyai arti sangat penting, karena apa yang menjadi

tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu. Ketertiban dan

ketentraman memang hukum dibuat untuk dilaksanakan, kalau tidak maka

1

(37)

21

peraturan hukum itu hanya dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum yang

demikian akan menjadi mati sendiri.2

Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan

hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi

pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu

supaya ditegakan kembali. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan

hukum menurut urutan berikut:3

a. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan).

b. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda). c. Penyisihan dan pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu). d. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati).

Pelaksanaan hukum dapat terjadi karena pelanggaran hukum, yaitu dengan

menegakan hukum tersebut dengan bantuan alat-alat perlengkapan Negara. Dalam

menegakan hukum kemanfaatan dan keadilan.4 Hukum harus di laksanakan dan di

tegakan. Setiap orang menginginkan dapat di tetapkannya hukum terhadap

peristiwa konkrit yang terjadi. Bagaimana hukumnya, itulah yang harus di

berlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi. Jadi pada dasarnya tidak ada

penyimpangan, bagaimanapun juga hukum harus ditegakan, sehingga timbul

perumpamaan, “meskipun besok hari akan kiamat, hukum harus di tegakan”.

Inilah yang dinginkan kepastian hukum dengan adanya kepastian hukum,

ketertiban dalalm masyarakat akan tercapai.5

2

H.Riduan Syahrani.S. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Op.Cit. Hlm. 191

3

Abdulkadir Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2006. Hlm. 115.

4

Sudikno Mertokusumo. Hukum Mengubah. Yogyakarta. Siberty. 1986. Hlm. 130.

(38)

22

2. Aparat Penegak Hukum

Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian

pada orang lain. Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para

aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat peegak hukum oleh

undang-undang ini adalah sebagai berikut:

1. Penyelidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oeh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.

3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim. 4. Hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili.

5. Penasehat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.

Kalau dikaitkan dengan lambang negara maka dapat disamakan dengan “bineka”

merujuk adanya beberapa lembaga pada peradilan yaitu Kepolisian, Penuntut

Umum, Penasehat Hukum, dan “tunggal ika” merujuk pada tujuan peradilan

pidana yaitu secara umum disetujui, meliputi restribusi, pencegahan, ketidak

mampuan, dan rehabilitasi memberikan beberapa alasan mengapa keterpaduan

dianggap cara yang tepat untuk meningkatkan daya guna dari sistem peradilan

pidana.6

6

(39)

23

3. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana dikenal pula sistem penegakan hukum pidana, yaitu

merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum pidana yang

diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem pada proses

peradilan pidana. Oleh karena itu, keterpaduan dari subsistem norma hukum

pidana yang integral juga dilaksanakan oleh 4 (empat) subsistem, yaitu:

a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan atau lembaga penyidik);

b. Kekuasaan penuntutan (oleh badan atau lembaga penuntut umum); c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh badan

atau lembaga pengadilan); dan

d. Kekuasaan pelaksanaan putusan atau pidana (oleh badan atau aparat pelaksana atau eksekusi).7

Hubungan antar Badan-Badan Penegak hukum atau Peradilan Pidana:

a. Hubungan kepolisian dengan penuntut umum dan pengadilan, kedudukan

kepolisian dalam proses peradilan pidana berperan sebagai penjaga pintu

gerbang yaitu melalui kekuasaan yang ada ini merupakan awal mula dari

proses pidana. Polisi berwenang menentukan siapa yang patut disidik. Penutut

umum baru melaksanakan fungsinya setelah ada penyerahan hasil pemeriksaan

pihak penyidik. Pembuat surat dakwaan oleh penuntut berdasarkan berita acara

pemeriksaan penyidikan, jadi antara tugas kepolisian dan tugas penuntut

umum, satu sama lain ada kaitannya. Penyidik akan mempengaruhi dakwaan.8

b. Hubungan penuntut umum dengan peradilan dan lembaga permasyarakatan,

hubungan antara penuntut umum hakim atau pengadilan tampak pada

pemeriksaan dimuka persidangan. Pemeriksaan pengadilan berdasrkan pada

7

Heni Siswanto Op.Cit, Hlm. 207.

8

(40)

24

surat dakwaan tidak atau kurang benar, maka hakim dapat memberikan

kesempatan kepada penuntut umum untuk memperbaikinya. Sedangkan dalam

hubungannya dengan lembaga permasyarakatan, penuntut umum adalah orang

yang ditugaskan melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap

dengan memasukan orang yang telah dipidana ke lembaga kemasyarakatan

(eksekusi). Dalam hal putusan pengadilan berupa perampasan kemerdekaan,

maka peranan hakim sebagai pejabat diharapkan juga bertanggung jawab atas

putusannya tersebut. Artinya ia harus mengetahui apakah putusan yang telah

dijatuhkan olehnya dilaksanakan dengan baik oleh petugas-petugas yang

berwenang yaitu baik penuntut umum dan lembaga kemasyarakatan.9

1. Faktor-Faktor Penegakan Hukum

Menegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikan telapak tangan,

karena banyak faktor-faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia. Menurut

Soerjono Soekanto yang menjadi faktor-faktor penegakan hukum antara lain:

1. Undang-Undang

Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan

penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan

semakin sukarlah menegakannya. Secara umum peraturan yang baik adalah

peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.

a. Secara Yuridis, setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber

pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap

peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan

9

(41)

25

peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya,

Undang-Undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat.

b. Secara Sosiologis, bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau

diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum itu

ditujukan/diberlakukan menurut “Anerkennungstheorie”, “The

Recogniton Theory”. Teori ini bertolak belakang dengan “Machttheorie”,

Power Theory”. Yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai

kelakuan sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,

diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.

c. Secara Filosofis, apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan

cita-cita hukum (rechsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi dalam negara

Inodonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi adalah

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2. Faktor Penegak Hukum

Secara sosiologis setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status)

atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur

masyarakat yang isisnya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam

mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan

karena:

a. Tidak ada perundingan Undang-Undang yang sedemikian lengkap,

sehingga dapat mengatur prilaku manusia .

b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan dengan

(42)

26

c. Kurangnya biaya untuk menerapkan Perundang-undangan.

d. Adanya kasus-kasus individu yang memerlukan penanganan khusus.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas antara lain mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan

dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang

cukup dan seterusnya. Apabila hal-hal itu tidak terpenuhi maka sukar bagi

penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya, untuk membuktikan apakah

suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di daerah tidak dapat mengetahui

secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk memeriksanya, sehingga terpaksa

dikirim ke tempat yang bisa menyelesaikannya. Tanpa sarana atau fasilitas yang

memadai, penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar dan penegak hukum

tidak bisa berjalan dengan sempurna.

4. Faktor Masyarakat

Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan

penegakan hukum berjalan dengan sempurna. Tetapi semakin rendah tingkat

kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu

pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa yang dimaksud dengan

hukum itu sendiri. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan itu selalu

berubah, maka diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yaitu:

a. Pengetahuan hukum; b. Pemahaman hukum;

(43)

27

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang

berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai

apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Maka kebudayaan

Indonesia merupakan dasar atau hal yang mendasari hukum adat yang berlaku,

disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk

oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan

wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat

mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat, agar hukum

perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif.

B. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Perdagangan (UUP) Pasal 1 Ayat (14)

adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

melakukan kegiatan usaha dibidang Perdagangan.

Menurut pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(UUPK), “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

(44)

28

Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

1. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

2. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori.

3. Badan hukum, menurut hukum, badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.

4. Bukan badan hukum, jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum, seperti firma, atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya, pada saat mobil Anda mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang menawarkan untuk mendorong mobil Anda dengan syarat mereka diberi imbalan Rp50.000,-. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum.

C. Pengaturan tentang Label Berbahasa Indonesia

Label berbahasa Indonesia adalah informasi tentang produk, pada umumnya

tertera pada apa yang disebut sebagai label. Menurut Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2014 tentang Perdagangan (UUP) Pasal 104 mengatakan “setiap pelaku

usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia

pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK) Pasal 7 poin (b) meyatakan bahwa setiap pelaku usaha

berkewajiban untuk melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan. Pasal 8 ayat (1) poin (i) dalam undang-undang ini

(45)

29

penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat

pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus dipasang/dibuat.

Sanksi yang dijatuhi terhadap pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut

berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Pasal 60 (ayat 2) dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan sanksi administratif terhadap

pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini berupa penetapan

ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan Pasal 62

(ayat 1) menjelaskan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima

tahun) atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 96

(ayat 1) juga dinyatakan dengan tegas bahwa setiap produk atau barang dalam

negeri ataupun luar negeri wajib mencantumkan label guna memberikan informasi

yang benar dan jelas kepada konsumen sebelum membeli ataupun

mengkonsumsinya. Pemberian label dengan menggunakan bahasa Indonesia ini

menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang terkait.

Pasal 96 (ayat 2) Undang-Undang Pangan dijelaskan tentang informasi

sebagaimana dimaksud pada (ayat 1) terkait dengan asal, keamanan, mutu,

kandungan Gizi, dan keterangan lain yang diperlukan. Pasal 97 (ayat 1) dalam

undang-undang ini menyatakan setiap orang yang memproduksi Pangan di

(46)

30

pada kemasan pangan, dalam undang-undang ini sanksi yang dikenakan terhadap

pelaku yang melangar aturan yang telah dibuat akan dikenakan sanksi

administratif berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan produksi

dan/atau peredaran, penarikan pangan dari predaran oleh produsen, ganti rugi

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Diperlukan penelitian yang

merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yuridis

normatif dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku,

bahan-bahan litelatur yang menyangkut kaedah hukum, doktrin-doktrin hukum, asas-asas

hukum dan sistem hukum yang terdapat dalam permasalahan.

Pendekatan yuridis empiris dilaksanakan dengan cara memperoleh pemahaman

hukum dalam kenyataannya (dilapangan) baik itu melalui penilaian, pendapat dan

penafsiran subjektif dalam pengembangan teori-teori dalam kerangka

penemuan-penemuan ilmiah sehubungan dengan penegakan hukum pidana terhadap pelaku

usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang pangan

yang diperdagangkan di dalam negeri dan faktor-faktor penghambat penegakan

hukum pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa

(48)

32

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.1 Dengan

demikian data primer yang diperoleh langsung dari objek penelitian dilapangan

yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Penulis akan mengkaji dan

meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara narasumber, dalam hal

ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana terhadap

pelaku usaha yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada barang

pangan yang diperdagangkan di dalam negeri.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen arsip

dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,

pandangan-pandangan, konsep-konsep, doktrin, dan asas-asas hukum yang

berkaitan dengan pokok penulisan serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang

terdiri dari bahan hukum antara lain:

1. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan:

a. UU Nomor 1 Tahun 1946 Juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang

pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang pemberlakuan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

1

(49)

33

c. Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

d. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan

hukum primer antara lain literatur dan referensi.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil penelitian

para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam

skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi dalam suatu

penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas. Adapun narasumber dalam penelitian ini

diantaranya sebagai berikut:

a. Panit 1 Unit 2 Subdit 1 Indagsi POLDA Lampung : 1 orang

b. Kasi Pengawasan Barang Beredar Dinas Perdagangan

Provinsi Lampung : 1 orang

c. Kepala Seksi Layanan Informasi Konsumen BBPOM : 1 orang

d. Dosen Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana UNILA : 2 orang+

(50)

34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Mengumpulkan data adalah tindak lebih lanjut proses pengumpulan data yang

akan digunakan untuk membuktikan penulisan. Dalam prosedur pengumpulan

data ini, ditentukan lokasi penelitian, populasi dan data sampel terlebih dahulu

kemudian dilanjutkan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data-data sekunder. Dalam hal ini

penulis melakukan serangkaian kegiatan studi dokumenter dengan cara membaca,

mancatat, menyandur, mengutip buku-buku atau referensi dan menelaah

perundang-undangan, dokumen, dan informasi lain yang ada hubungannya dengan

permasalahan.

b. Studi lapangan

Studi Lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data primer dan dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara

mengajukan pertanyaan-peryataan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada

dalam penelitian ini. Pertanyaan yang telah dipersiapkan diajukan kepada

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk mendapatkan data, tanggapan, dan

juga jawaban dari narasumber. Selain itu, untuk melengkapi penulisan ini, penulis

juga mengajukan observasi untuk melengkapi data-data dan fakta-fakta yang

(51)

35

2. Prosedur Pengolahan Data

Mengolah data adalah suatu usaha yang nyata untuk membuat data, mampu

memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah

data terkumpul baik data primer dan data skunder, maka selanjutnya dilakukan

pengolahan data. Dalam hal ini, pengolahan data dilakukan dengan cara

memeriksa dan meneliti data yang telah diperoleh mengenai kelengkapan,

kejelasan, dan kebenaran dari data yang diperoleh tersebut. Selanjutnya dilakukan

pengklasifikasian data sesuai pokok permasalahan yang hendak dianalisa sehingga

akan mudah melakukan analisis data. Adapun yang akan dianalisis tersebut adalah

berhubungan dengan bidang pokok pembahasan yang sesuai dengan judul. Data

yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun dari studi kepustakaan kemudian

diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kejelasan

dan kebenaran data untuk menentukan sesuai atau tidaknya serta perlu atau

tidaknya data tersebut terhadap permasalahan.

b. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis pada

masing-masing jenis dan pokok bahasan secara sistematis dengan tujuan agar

mempermudah dalam pembahasan.

c. Klasifikasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara menggolongkan

dan mengelompokan data dengan tujuan untuk menyajikan data secara

(52)

36

E. Analisis Data

Analisis Data yang diperoleh dilakukan dengan analisis secara kualitatif. Ana

Referensi

Dokumen terkait

Sistem fonologi dalam pembahasan ini mencakup identifikasi fonem segmental dan pembuktian fonem, distribusi fonem, vokal rangkap, gugus konsonan, dan pola persukuan.Masalah

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

Tampaknya makna sejarah di atas lebih cendrung menjelaskan tentang pelaku dari suatu peristiwa yang melalui contoh tersebut, pelakunya adalah pohon dan manusia. Berbeda dengan

Kami berharap usaha ini bisa semakin maju dan semakin berkembang untuk ke depannya sehingga kami bisa menjual barang dengan lebih baik dari segi kualitas dan kuantitas, serta

Ketiga, menciptakan dan mempromosikan produk (ide, barang, jasa, tempat) yang dapat memenuhi kebutuhan keinginan pelanggan dan tersedia pada harga dan tempat yang

Untuk dapat mendidik dengan baik, maka guru Pendidikan Agama Islam harus mempunyai sifat-sifat tertentu seperti yang dikatakan oleh ibu Noor Aminah selaku guru

Bab empat ini merupakan bagian terpenting dalam laporan akhir karena pada bab ini, penulis akan menganalisis data-data yang diperoleh dari perusahaan berdasarkan landasan

Masalah utama yang dihadapi dalam membangkitkan class association rule pada metode associative classification adalah bagaimana membentuk algoritma yang efektif untuk menemukan