SKRIPSI
SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
HARIST GUSTIAR F24051902
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
HARIST GUSTIAR F24051902
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK
PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
HARIST GUSTIAR F24051902
Dilahirkan pada tanggal 06 Agustus 1987 di Tangerang
Tanggal lulus :
Menyetujui, Bogor, 19 Mei 2009
Didah Nur Faridah STP, M.Si
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
Harist Gustiar. F24051902. Physico-chemical Properties and Glycemic Index of Cookies from Modified Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch . Under supervision of Didah Nur Faridah, STP., M.Si.
ABSTRACT
The objective of this research was to make the cookies from modified arrowroot starch which have high resistant starch content, so that it can be used as functional food which have low glycemic index. The research consisted of three steps: arrowroot extraction, starch modification, and cookies making. The extraction of arrowroot produced 15.69% starch. Starch modification by autoclaving-cooling cycles was run in 3 cycles with 15 minutes gelatinization period in each cycle. Then, modified arrowroot starch was used as main ingredient in the making of cookies. Cookies from wheat were also made as comparison. Physical properties analyzed were breaking strength, color degree, and water activity. Chemical properties analyzed were proximate analysis, starch digestibility, amylose content, starch content, resistant starch content, and total dietary fiber content. Glycemic index was also analyzed for cookies from modified arrowroot starch and cookies from wheat.
Breaking strength of cookies as measured by Texture Analyzer XT-21 showed that the force required to break the cookies significantly decreased with substitutions of wheat with modified arrowroot starch. The use of modified arrowroot starch resulted in the increase of amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content of cookies. It also could reduce starch digestibility of cookies. The glycemic index of cookies from modified arrowroot starch was 31. This value was lower than glycemic index of cookies from wheat that was 44. This was because higher amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content and lower starch digestibility of cookies from modified arrowroot starch than cookies from wheat. It means that the use of modified arrowroot starch as main ingredient in the making of cookies can decrease glycemic index of cookies.
Harist Gustiar. F24051902. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si.
RINGKASAN
Orang-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat dilakukan melalui pengaturan pola makan. Sekarang ini, pangan fungsional sedang digemari oleh masyarakat. Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman dan memiliki karakteristik seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi, dan citarasa yang dapat diterima konsumen.
Kelompok yang membutuhkan pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah diantaranya adalah penderita diabetes mellitus, penderita obesitas, dan orang-orang yang sedang diet. Beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa pati termodifikasi dapat memiliki daya cerna pati yang rendah dan resistant starch (RS) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pangan fungsional dengan nilai IG rendah. Selain itu, kandungan serat pangan baik larut maupun tidak larut dalam bahan pangan dapat menurunkan nilai IG pangan. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam menghambat penyerapan glukosa hasil hidrolisis pati. Umbi yang berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi adalah umbi garut (Maranta arundinacea L.).
Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik yang rendah.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama berupa ekstraksi pati garut, tahap kedua berupa modifikasi pati garut untuk mendapatkan pati resisten tipe III, dan tahapan ketiga adalah pembuatan cookies dari 100% pati garut termodifikasi (PGT). Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik, organoleptik, dan indeks glikemik untuk cookies terigu dan cookies PGT, analisis proksimat, total pati, kadar amilosa, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten untuk sampel terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT.
Hasil analisis fisik berupa kekerasan, derajat warna, dan aktifitas air berturut-turut sebesar 412.7 gram force (gf), L = 69.816 ; a = +17.616 ; b = +30.018 dan oHue = 59.594 atau berwarna kuning merah, serta 0.487 untuk
cookies terigu dan cookies PGT sebesar 56.45 gram force (gf), L = 60.255 ; a = +0.625 ; b = +24.332 dan oHue = 88.592 atau berwarna kuning merah, serta 0.398.
11.48% (bb), 0.34% (bk), 0.24% (bk), 0.68% (bk), dan 98.74% (bk) untuk pati garut, 11.98% (bb), 0.36% (bk), 0.52% (bk), 0.80% (bk), dan 98.32% (bk) untuk PGT, 4.82% (bb), 1.59% (bk), 5.86% (bk), 26.48% (bk), dan 66.07% (bk) untuk cookies terigu, dan 3.82% (bb), 1.47% (bk), 2.71% (bk), 23.66% (bk), dan 72.16% (bk) untuk cookies PGT. Berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dihitung nilai energi per 100 gram cookies. Cookies terigu memiliki nilai energi sebesar 501 kkal per 100 gram. Sedangkan nilai energi cookies PGT sebesar 493 kkal per 100 gram.
Analisis kimia berupa analisis total pati, kadar amilosa : amilopektin, daya cerna pati, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten berturut-turut sebesar 73.09% (bk), 4.70% : 68.39% (bk), 19.71% pati, 4.95% (bk), dan 3.37% (bk) untuk terigu, 81.86% (bk), 18.66% : 76.23% (bk), 84.35% pati, 2.74% (bk), dan 1.64% (bk) untuk pati garut, 89.22% (bk), 18.69% : 75.87% (bk), 26.88% pati, 6.43% (bk), dan 4.64% (bk) untuk PGT, 52.70% (bk), 2.07% : 50.63% (bk), 15.53% pati, 3.80% (bk), dan 2.97% (bk) untuk cookies terigu, dan 57.43% (bk), 2.69% : 54.74% (bk), 7.27% pati, 5.21% (bk), dan 4.28% (bk) untuk cookies PGT.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1987 di Tangerang. Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Supardi (Alm) dan Ibu Mursila (Alm), merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan di pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Cimone 2 pada tahun 1993-1999, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 8 Tangerang pada tahun 1999-2002, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 2 Tangerang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM-F) sebagai Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Food Processing Club sebagai kordinator bidang Es Krim. Penulis terlibat dalam beberapa kepanitian yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunanan Mahasiswa Teknologi Pangan, seperti Suksesi HIMITEPA, HACCP V, dan BAUR 2007, BEM-F, seperti MPF (Masa Perkenalan Fakultas) Fakultas Teknologi Pertanian tahun 2007, Lomba Essay Nasional, dan 3on3 Basketball Competition, serta kepanitiaan yang diselenggarakan oleh BEM KM (Keluarga Mahasiswa) IPB, seperti Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Techno-Park dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: (Alm) Papa dan (Alm) Mama, serta kakak-kakakku dan
adikku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti.
2. Ibu Didah Nur Faridah STP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, bantuan, serta nasehat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir.
3. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti M.Si dan Ibu Dian Herawati, STP. atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji.
4. Ibu Dra. Waysima, M.Si atas bantuan, nasihat, dan dukungannya selama ini. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang
telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.
6. Semua teknisi dan laboran Departemen ITP dan Techno-Park: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, Pak Basri terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.
7. Dikti melalui LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Penelitian Hibah Bersaing.
8. Adikku ”Nur Annisa Utami”. Terima kasih atas perhatian, bantuan, doa, dan
9. Rekan satu proyek, Sobur. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. 10. Sahabat-sahabatku ITP 42: Ririn, Gia, geng centil (Canny, Wita, Yuni, Yelita,
Sina), Fahmi, Tyu, Achid, Py, Rino, Riska, Atus, Nina SR, Didot, Galih N, Kamlit, Tuti, Siyam, anak bimbingku (Yusi, Dina, dan Ester), Shita, Suhendri, Galih N, Dilla, geng komak (Anjun, Ella, Achuy, dan Sri), serta anak ITP 42 yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu mau berbagi kebersamaan, keceriaan, kesedihan, serta terima kasih untuk tiap doa kesuksesannya.
11. Rekan-rekan di BEM-F: Fitrah, Indra, Amel, Puthe, para pimpinan BEM periode 2008/2009, dan divisi Hubungan eksternal (Kochan, Torik, Pitta, Jawa, Agus, Muthi, Aria, Devina, Gaby, dan Aieph). Terima kasih atas kerja sama, dukungan, dan kebersamaannya selama ini.
12. Sahabat2ku Nisa, Panji, Nur Is, Angga, Egy, Nasrul, M, Anto, Febi, Abi, Nana, dan Ardi. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama di IPB.
13. Panelis IG yang tergabung dalam IG Management (Nanda, Achid, Midun, Fera, Wiwi, Icha, Ike, Haris, Mbak Yuli, dan Mbak Siti).
14. Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 43, dan 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.
15. Sahabat2ku di SMA: Ipul, Royhan, Aji, Marendy, Satria, Rully, Idham, Dita, Dimas Kecil, Dimas ndut, Ndet, Riska, Eka, Nisa, Mahendra, Yuniar, Irwan, Adam, Dhorif, Budi, Niken, Presti, Armanda, dan Wahyu L. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
16. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis.
SKRIPSI
SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
HARIST GUSTIAR F24051902
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
HARIST GUSTIAR F24051902
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK
PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU
PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
HARIST GUSTIAR F24051902
Dilahirkan pada tanggal 06 Agustus 1987 di Tangerang
Tanggal lulus :
Menyetujui, Bogor, 19 Mei 2009
Didah Nur Faridah STP, M.Si
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
Harist Gustiar. F24051902. Physico-chemical Properties and Glycemic Index of Cookies from Modified Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch . Under supervision of Didah Nur Faridah, STP., M.Si.
ABSTRACT
The objective of this research was to make the cookies from modified arrowroot starch which have high resistant starch content, so that it can be used as functional food which have low glycemic index. The research consisted of three steps: arrowroot extraction, starch modification, and cookies making. The extraction of arrowroot produced 15.69% starch. Starch modification by autoclaving-cooling cycles was run in 3 cycles with 15 minutes gelatinization period in each cycle. Then, modified arrowroot starch was used as main ingredient in the making of cookies. Cookies from wheat were also made as comparison. Physical properties analyzed were breaking strength, color degree, and water activity. Chemical properties analyzed were proximate analysis, starch digestibility, amylose content, starch content, resistant starch content, and total dietary fiber content. Glycemic index was also analyzed for cookies from modified arrowroot starch and cookies from wheat.
Breaking strength of cookies as measured by Texture Analyzer XT-21 showed that the force required to break the cookies significantly decreased with substitutions of wheat with modified arrowroot starch. The use of modified arrowroot starch resulted in the increase of amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content of cookies. It also could reduce starch digestibility of cookies. The glycemic index of cookies from modified arrowroot starch was 31. This value was lower than glycemic index of cookies from wheat that was 44. This was because higher amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content and lower starch digestibility of cookies from modified arrowroot starch than cookies from wheat. It means that the use of modified arrowroot starch as main ingredient in the making of cookies can decrease glycemic index of cookies.
Harist Gustiar. F24051902. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si.
RINGKASAN
Orang-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat dilakukan melalui pengaturan pola makan. Sekarang ini, pangan fungsional sedang digemari oleh masyarakat. Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman dan memiliki karakteristik seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi, dan citarasa yang dapat diterima konsumen.
Kelompok yang membutuhkan pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah diantaranya adalah penderita diabetes mellitus, penderita obesitas, dan orang-orang yang sedang diet. Beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa pati termodifikasi dapat memiliki daya cerna pati yang rendah dan resistant starch (RS) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pangan fungsional dengan nilai IG rendah. Selain itu, kandungan serat pangan baik larut maupun tidak larut dalam bahan pangan dapat menurunkan nilai IG pangan. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam menghambat penyerapan glukosa hasil hidrolisis pati. Umbi yang berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi adalah umbi garut (Maranta arundinacea L.).
Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik yang rendah.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama berupa ekstraksi pati garut, tahap kedua berupa modifikasi pati garut untuk mendapatkan pati resisten tipe III, dan tahapan ketiga adalah pembuatan cookies dari 100% pati garut termodifikasi (PGT). Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik, organoleptik, dan indeks glikemik untuk cookies terigu dan cookies PGT, analisis proksimat, total pati, kadar amilosa, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten untuk sampel terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT.
Hasil analisis fisik berupa kekerasan, derajat warna, dan aktifitas air berturut-turut sebesar 412.7 gram force (gf), L = 69.816 ; a = +17.616 ; b = +30.018 dan oHue = 59.594 atau berwarna kuning merah, serta 0.487 untuk
cookies terigu dan cookies PGT sebesar 56.45 gram force (gf), L = 60.255 ; a = +0.625 ; b = +24.332 dan oHue = 88.592 atau berwarna kuning merah, serta 0.398.
11.48% (bb), 0.34% (bk), 0.24% (bk), 0.68% (bk), dan 98.74% (bk) untuk pati garut, 11.98% (bb), 0.36% (bk), 0.52% (bk), 0.80% (bk), dan 98.32% (bk) untuk PGT, 4.82% (bb), 1.59% (bk), 5.86% (bk), 26.48% (bk), dan 66.07% (bk) untuk cookies terigu, dan 3.82% (bb), 1.47% (bk), 2.71% (bk), 23.66% (bk), dan 72.16% (bk) untuk cookies PGT. Berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dihitung nilai energi per 100 gram cookies. Cookies terigu memiliki nilai energi sebesar 501 kkal per 100 gram. Sedangkan nilai energi cookies PGT sebesar 493 kkal per 100 gram.
Analisis kimia berupa analisis total pati, kadar amilosa : amilopektin, daya cerna pati, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten berturut-turut sebesar 73.09% (bk), 4.70% : 68.39% (bk), 19.71% pati, 4.95% (bk), dan 3.37% (bk) untuk terigu, 81.86% (bk), 18.66% : 76.23% (bk), 84.35% pati, 2.74% (bk), dan 1.64% (bk) untuk pati garut, 89.22% (bk), 18.69% : 75.87% (bk), 26.88% pati, 6.43% (bk), dan 4.64% (bk) untuk PGT, 52.70% (bk), 2.07% : 50.63% (bk), 15.53% pati, 3.80% (bk), dan 2.97% (bk) untuk cookies terigu, dan 57.43% (bk), 2.69% : 54.74% (bk), 7.27% pati, 5.21% (bk), dan 4.28% (bk) untuk cookies PGT.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1987 di Tangerang. Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Supardi (Alm) dan Ibu Mursila (Alm), merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan di pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Cimone 2 pada tahun 1993-1999, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 8 Tangerang pada tahun 1999-2002, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 2 Tangerang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM-F) sebagai Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Food Processing Club sebagai kordinator bidang Es Krim. Penulis terlibat dalam beberapa kepanitian yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunanan Mahasiswa Teknologi Pangan, seperti Suksesi HIMITEPA, HACCP V, dan BAUR 2007, BEM-F, seperti MPF (Masa Perkenalan Fakultas) Fakultas Teknologi Pertanian tahun 2007, Lomba Essay Nasional, dan 3on3 Basketball Competition, serta kepanitiaan yang diselenggarakan oleh BEM KM (Keluarga Mahasiswa) IPB, seperti Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Techno-Park dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: (Alm) Papa dan (Alm) Mama, serta kakak-kakakku dan
adikku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti.
2. Ibu Didah Nur Faridah STP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, bantuan, serta nasehat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir.
3. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti M.Si dan Ibu Dian Herawati, STP. atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji.
4. Ibu Dra. Waysima, M.Si atas bantuan, nasihat, dan dukungannya selama ini. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang
telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.
6. Semua teknisi dan laboran Departemen ITP dan Techno-Park: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, Pak Basri terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.
7. Dikti melalui LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Penelitian Hibah Bersaing.
8. Adikku ”Nur Annisa Utami”. Terima kasih atas perhatian, bantuan, doa, dan
9. Rekan satu proyek, Sobur. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. 10. Sahabat-sahabatku ITP 42: Ririn, Gia, geng centil (Canny, Wita, Yuni, Yelita,
Sina), Fahmi, Tyu, Achid, Py, Rino, Riska, Atus, Nina SR, Didot, Galih N, Kamlit, Tuti, Siyam, anak bimbingku (Yusi, Dina, dan Ester), Shita, Suhendri, Galih N, Dilla, geng komak (Anjun, Ella, Achuy, dan Sri), serta anak ITP 42 yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu mau berbagi kebersamaan, keceriaan, kesedihan, serta terima kasih untuk tiap doa kesuksesannya.
11. Rekan-rekan di BEM-F: Fitrah, Indra, Amel, Puthe, para pimpinan BEM periode 2008/2009, dan divisi Hubungan eksternal (Kochan, Torik, Pitta, Jawa, Agus, Muthi, Aria, Devina, Gaby, dan Aieph). Terima kasih atas kerja sama, dukungan, dan kebersamaannya selama ini.
12. Sahabat2ku Nisa, Panji, Nur Is, Angga, Egy, Nasrul, M, Anto, Febi, Abi, Nana, dan Ardi. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama di IPB.
13. Panelis IG yang tergabung dalam IG Management (Nanda, Achid, Midun, Fera, Wiwi, Icha, Ike, Haris, Mbak Yuli, dan Mbak Siti).
14. Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 43, dan 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.
15. Sahabat2ku di SMA: Ipul, Royhan, Aji, Marendy, Satria, Rully, Idham, Dita, Dimas Kecil, Dimas ndut, Ndet, Riska, Eka, Nisa, Mahendra, Yuniar, Irwan, Adam, Dhorif, Budi, Niken, Presti, Armanda, dan Wahyu L. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
16. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN PENELITIAN... 3
C. MANFAAT PENELITIAN ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. UMBI GARUT ... 4
1. Botani Umbi Garut... 4
2. Pati Garut ... 5
a. Karakteristik Kimia... 6
b. Karakteristik Fisik ... 9
c. Bentuk Granula Pati... 11
B. SERAT PANGAN ... 12
C. PATI RESISTEN ... 13
D. COOKIES... 15
1. Bahan Pembuat Cookies ... 16
E. INDEKS GLIKEMIK... 18
F. DIABETES MELLITUS ... 20
III. METODE PENELITIAN ... 22
A. BAHAN DAN ALAT ... 22
B. METODE ... 22
1. Tahap Pembuatan Pati Garut... 23
2. Pembuatan Pati Garut Termodifikasi ... 23
3. Pembuatan Cookies... 25
C. METODE ANALISIS ... 26
a. Uji Kekerasan ... 26 b. Derajat Warna ... 27 c. Uji Aktivitas Air ... 27 2. Analisis Kimia... 28 a. Kadar Air... 28 b. Kadar Abu ... 28 c. Kadar Protein Metode Kjeldahl... 29 d. Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 29 e. Kadar Karbohidrat by difference... 30 f. Analisis Nilai Energi... 30 g. Uji Organoleptik... 30 h. Kadar Pati Total ... 30 i. Kadar Amilosa ... 31 j. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatik ... 32 k.Kadar Pati Resisten untuk Sampel Pati... 33 l. Kadar Pati Resisten untuk Sampel Terigu dan Cookies... 34 m. Daya Cerna Pati ... 35 n. Uji Indeks Glikemik... 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
A. EKSTRAKSI PATI GARUT ( Marantha arundinacea) ... 38
B. PEMBUATAN PATI MODIFIKASI UNTUK
MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III... 40 C. ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU ... 41
5. Analisis Kadar Pati Resisten ... 49 6. Analisis Daya Cerna Pati ... 50 D. PEMBUATAN COOKIES... 52 E. ANALISIS ORGANOLEPTIK... 53
1. Warna ... 55 2. Rasa ... 56 3. Aroma... 56 4. Tekstur... 57 5. Keseluruhan (overall) ... 58 F. ANALISIS FISIK COOKIES... 59
1. Uji Kekerasan... 59 2. Derajat Warna ... 59 3. Uji Aktivitas Air... 60 G. ANALISIS KIMIA COOKIES... 61
1. Analisis Proksimat... 61 a. Kadar Air ... 61 b. Kadar Abu ... 62 c. Kadar Protein... 63 d. Kadar Lemak ... 64 e. Kadar Karbohidrat ... 64 2. Analisis Nilai Energi ... 65 3. Analisis Kadar Total Pati... 66 4. Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin... 67 5. Analisis Kadar Serat Pangan Total... 69 6. Analisis Kadar Pati Resisten... 70 7. Analisis Daya Cerna Pati... 72 H. INDEKS GLIKEMIK ... 73 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Umbi Garut Sebelum dan Sesudah Dikupas ... 4 2. Struktur Amilosa ... 7 3. Struktur Amilopektin ... 7 4. Metode Ektraksi Pati Garut (Lingga dimodifikasi, 1986)... 23 5. Bagan Proses Pembuatan Pati Garut Termodifikasi (PGT) ... 24 6. Diagram Alir Pembuatan Cookies... 26 7. Pati Garut Hasil Ekstraksi ... 39 8. Pati garut termodifikasi (PGT) hasil modifikasi pati secara fisik
dengan metode autoclaving-cooling... 41 9. Hasil Analisis Kadar Total Pati pada Terigu, Pati Garut, dan PGT... 45 10.Hasil Analisis Kadar Amilosa pada Terigu, Pati Garut, dan PGT ... 47 11.Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Total pada Terigu, Pati Garut, dan
PGT... 48 12. Hasil Analisis Kadar Pati Resisten pada Terigu, Pati Garut, dan PGT... 50 13. Hasil Analisis Daya Cerna Pati pada Terigu, Pati Garut, dan PGT ... 52 14. Skor Rata-Rata Kesukaan Panelis terhadap Atribut Rasa, Warna,
Aroma, Tekstur, dan Overall Cookies... 54 15. Gambar Cookies Terigu dan Cookies PGT ... 55 16. Hasil Analisis Kadar Total Pati pada Cookies Terigu dan Cookies PGT 67 17. Hasil Analisis Kadar Amilosa pada Cookies Terigu dan Cookies PGT.. 68 18. Hasil Analisis Serat Pangan Total pada Cookies Terigu dan Cookies
PGT... 69 19. Hasil Analisis Kadar Pati Resisten pada Cookies Terigu, dan Cookies
PGT... 71 20. Hasil Analisis Daya Cerna Pati pada Cookies Terigu, dan Cookies
PGT... 73 21. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-Rata Relawan Setelah
Konsumsi Cookies Terigu... 75 22. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-Rata Relawan Setelah
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Komposisi Zat Gizi dan Kimia Pelbagai Kultivar Umbi Garut
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus atau kencing manis telah menjadi masalah kesehatan
dunia. Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan
keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India,
Cina, dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8.6% dari total penduduk,
diperkirakan pada tahun 1995 terdapat 4.5 juta pengidap diabetes dan pada
tahun 2025 jumlah penderita diabetes di Indonesia diprediksi mencapai 12.4
juta jiwa (Anonim 2005). Bahkan penyakit diabetes saat ini tidak hanya
diderita oleh orang dewasa, anak-anak penderita obesitas pun diketahui
memiliki potensi menderita penyakit berbahaya ini.
Pangan yang memiliki nilai Indeks Glikemik (IG) yang rendah dapat
dijadikan alternatif pencegahan yang murah untuk terapi diet penderita diabetes
karena dapat menekan peningkatan kadar gula darah penderita diabetes. Hal ini
disebabkan karbohidrat pada pangan yang memiliki IG rendah akan dipecah
dan diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa
darah dan insulin secara lambat dan bertahap. Penderita diabetes disarankan
untuk mengkonsumsi makanan dengan nilai IG rendah dan mempunyai efek
hipokolesterolemik. Hal ini disebabkan pada penderita diabetes, terjadi komplikasi
metabolik berupa hiperlipidemia, sehingga terapinya sebaiknya bukan hanya
diarahkan untuk mencegah kenaikan gula darah tetapi sekaligus mencegah
kenaikan kadar kolesterol darah (Marsono 2002). Selain itu, pangan yang
memiliki IG rendah dihubungkan dengan penurunan kejadian penyakit
jantung, diabetes, dan beberapa jenis kanker (Miller 2007;
Brand-Miller et al. 2003; Jenkins 2007; Roberts 2000; Wolever dan Mehling 2002). Banyaknya komplikasi penyakit berbahaya yang disebabkan oleh
penyakit diabetes, menuntut penderitanya lebih peduli pada pengaturan pola
makan. Pengembangan produk baru dapat menjadi salah satu solusi untuk
meningkatkan keberagaman makanan bagi penderita diabetes.
Salah satu makanan yang disukai oleh hampir semua tingkat umur
apabila cookies tersebut memiliki sifat fungsional bagi kesehatan, diantaranya dapat mengontrol kadar gula darah dan memiliki indeks glikemik yang rendah.
Sifat fungsional tersebut dapat diperoleh melalui perubahan ingredient utama
yaitu penggantian terigu dengan pati termodifikasi yang banyak mengandung
pati resisten (resistant starch atau RS) tipe III.
RS merupakan bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus,
akan tetapi difermentasi dalam usus besar (Haralampu 2000; Sajilata et al.
2006). RS dapat diperoleh dengan modifikasi pati secara fisik salah satunya
dengan metode autoclaving-cooling yang dapat menghasilkan RS tipe III. Menurut Sajilata et al. (2006), RS mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek
hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai
prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek
hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan
absorpsi mineral.
Menurut Utami (2008), IG umbi garut kukus dalam bentuk potongan
adalah 32. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat pangan yang cukup tinggi
pada umbi garut. Umbi garut juga memiliki kandungan pati yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 20.96%. Selain itu, bila dibandingkan dengan pati dari pelbagai
umbi lainnya, pati garut memiliki kandungan amilosa yang cukup tinggi,
sehingga pati garut berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi untuk
menghasilkan RS tipe III. Menurut Pratiwi (2008b), pati garut termodifikasi
memiliki daya cerna pati yang rendah serta kadar RS tipe III yang cukup
tinggi. Oleh karena itu, digunakan pati garut termodifikasi sebagai bahan baku
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan
indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional dengan indeks glikemik yang rendah.
C. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memiliki produk
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) 1. Botani Umbi Garut
Tanaman tegak ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom
Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae,
ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Maranta, dan spesies Maranta arundinacea L. (Anonim 2008). Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Jawa Tengah, garut disebut
dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di Jawa Barat dikenal dengan nama
patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut, larut, atau selarut.
Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian
tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat
tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl dan tumbuh baik pada ketinggian 60-90
m dpl pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar
matahari langsung (Sastrapradja et al. 1977). Visualisasi umbi garut dapat dilihat pada Gambar 1.
[image:30.612.177.497.431.536.2]
Gambar 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas
Villamajor dan Jurkema (1996) menyatakan bahwa garut mempunyai
dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Kedua jenis kultivar
tersebut memiliki umbi yang berwarna putih meskipun karakteristiknya
berbeda satu dengan yang lain. Kultivar creole memiliki umbi yang lebih panjang dan langsing dengan pertumbuhan menyebar dan masuk ke tanah
sehingga lebih mudah dipanen. Kultivar creole mempunyai daya tahan lebih lama, yaitu sekitar tujuh hari dibandingkan kultivar banana yang hanya tahan dua hari.
Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan
zat gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya
(Lingga et al. 1986). Komposisi pelbagai kultivar umbi garut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia pelbagai kultivar umbi garut dalam 100 gram bahan Kultivar Umbi Garut
Komposisi
Creolea Bananab Playenc Purworejoc Banjarnegarac Banyumasc
Air (%) 72.66 72.00 62.89 72.60 67.23 71.32
Abu (%) 0.81 1.30 3.43 3.81 4.58 4.28
Pati (%) 20.96 19.40 - - - -
Protein (%) 1.59 2.20 1.30 2.61 2.31 1.73
Lemak (%) 0.28 0.10 0.59 0.51 0.57 0.47
Serat Pangan Total
(% bk) 7.59 - - - - -
Serat Kasar (%) - 0.60 2.59 3.05 1.87 2.50
Karbohidrat (%) 24.67 - 31.79 20.47 23.44 19.70
Sumber: a Utami (2008); b Kay (1973); c Mariati (2001)
Umbi garut mempunyai kegunaan cukup banyak antara lain sebagai
bahan makanan dan ramuan obat-obatan. Umbi garut yang masih muda dapat
digunakan sebagai makanan kecil dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar
terlebih dahulu. Umbi garut rasanya manis, tetapi bila sudah tua akan banyak
seratnya. Umbi garut yang sudah tua umumnya dijadikan tepung atau diambil
patinya (Yustiareni 2000).
2. Pati Garut
Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati
garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai
makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut
juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga
Pati garut diperoleh dari rimpang garut yan telah berumur 8-12 bulan
(Widowati et al. 2002). Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan,
pengayakan (Lingga et al., 1986).
a. Karakteristik Kimia
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Menurut Chaplin (2008), secara kimiawi pati terdiri atas dua jenis molekul,
yaitu amilosa (normal 20-30 %) dan amilopektin (normal 70-80 %) yang
berperan dalam menentukan sifat fisik, kimia, dan fungsional pati. Amilosa
adalah homopolimer lurus α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)
bersifat larut dalam air panas. Amilopektin merupakan molekul polisakarida
dengan rantai cabang. Ikatan pada rantai utama adalah α-(1,4) sedangkan
ikatan pada titik cabang adalah α-(1,6) dan bersifat tidak larut dalam air.
Amilosa terdiri atas 500-20000 unit glukosa yang berbentuk heliks pada
ujung antar unit-unit glukosa, sedangkan amilopektin terdiri lebih dari 2 juta
unit glukosa dimana setiap 20 sampai 30 unit glukosa terikat dengan α-(1,6).
Perbandingan sifat amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 2,
sedangkan struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2
[image:32.612.153.505.507.608.2]dan Gambar 3.
Tabel 2 Sifat amilosa dan amilopektin
Sifat Amilosa Amilopektin
Berat Molekul 50,000-200,000 ≥ 1 juta
Ikatan Glikosidik α-D-(1,4) α-D-(1,4) dan α-D-(1,6)
Derajat Retrogeradasi Tinggi Rendah
Produk dari β-amilase Maltosa Maltosa, β-limit dekstrin
Produk dari Glukoamilase D-glukosa D-glukosa
Bentuk Molekul Linear Bercabang
[image:33.612.180.491.82.322.2]
Gambar 2 Struktur amilosa (Chaplin 2008).
Gambar 3 Struktur amilopektin (Chaplin 2008).
Pati tersusun atas amilosa dan amilopektin dalam perbandingan yang
berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman (Slamet et al. 1989). Amilosa
merupakan bagian dari karbohidrat yang dapat larut dalam air hangat, bila
ditambahkan iodin akan berwarna biru, sehingga metode uji amilosa sering
amilopektin pati bervariasi tergantung dari sumbernya. Kandungan amilosa
[image:34.612.168.444.152.332.2]dan amilopektin pada pelbagai pati dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin pada pelbagai pati
Sumber Pati Amilosa (% bk) Amilopektin (% bk)
Garut 31.35a 68.05a
29.67-31.34b 55.81-69.16b
20 80
Kentang 21 79
Gandum 28 72
Tapioka 17 83
Jagung 28 72
Sorghum 28 72
Beras 17 83 Sagu 27 73 Ganyong 25.60-30.10 69.90-74.40
Sumber: Swinkels (1985); a Chilmijati (1999); b Mariati (2001)
Jika dipanen pada kondisi pati optimum, kadar amilosa pati garut dapat
mencapai 31% (Chilmijati 1999). Kadar amilosa dipengeruhi beberapa faktor
antara lain: jenis botani, vareitas tanaman, umur botani. Pada kondisi pati
optimum, dibandingkan dengan kadar amilosa umbi lainnya kadar amilosa
garut cukup tinggi (Naraya dan Moorthy 2002). Hal ini menjadikan pati garut
baik dijadikan bahan baku pati resisten tipe III.
Berat rata-rata dari amilosa pati garut adalah 32.1 x 10-4 dan ukuran
molekulnya 360 Å. Kandungan amilosa pada pati mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap bentuk dan ukuran granula. Umumnya amilosa yang
bersumber dari akar dan umbi mempunyai berat molekul lebih tinggi daripada
amilosa yang diperoleh dari serealia (Hodge dan Osman 1976).
Pati merupakan karbohidrat utama dari cadangan makanan pada
tanaman. Pati telah dikarakterisasi pada banyak serealia, akar, dan umbi
Tabel 4 Komposisi kimia pati garut
Komposisi Kimia Pati Garut
Kadar air (%bb) 10.05
Kadar abu (%bk) 0.31
Kadar Protein (%bk) 0.23
Kadar Lemak (%bk) 0.55
Kadar Karbohidrat (%bk) 98.92
Sumber: Pratiwi (2008b)
Berdasarkan Tabel 4, pati garut memiliki kandungan protein dan lemak yang rendah. Namun, hal ini sangat diinginkan karena kandungan protein dan
lemak akan menghambat pembentukan pati resisten saat proses modifikasi
pati garut untuk menghasilkan pati resisten. Terdapat beberapa komponen
pada pangan yang berinteraksi dengan pati dan pada akhirnya mempengaruhi
pembentukan RS antara lain: protein, serat pangan, enzim inhibitor, ion, dan
lipid (Sajilata et al. 2006). Interaksi antara protein dan pati dapat mengurangi kadar pati resisten. Hal ini terbukti pada penelitian Escapa et al. (1996) bahwa pati kentang yang diautoklaf dengan ditambahkan albumin kemudian
diretrogradasi pada suhu -20 oC, ternyata mengalami penurunan kandungan
pati resisten.
Lemak merupakan komponen yang berinteraksi dengan pati. Interaksi
lemak dengan pati terjadi pada saat proses pemanasan pati di atas suhu 100 oC
membentuk kompleks amilosa-lipid. Bentuk kompleks amilosa-lipid ini
merupakan bentuk enzym-degradable. Penambahan jumlah kompleks
amilosa-lipid terbentuk dapat menurunkan kadar pati resisten bahan. Proses rekristalisasi amilosa untuk menghasilkan pati resisten terhambat karena
adanya pengkompleksan amilosa oleh lipid. Adanya lemak yang berasal dari
bahan pangan itu sendiri juga dapat menurunkan kadar pati resisten (Sajilata
et al. 2006).
b. Karakteristik Fisik
Suspensi pati ketika dipanaskan akan mengalami gelatinisasi.
tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada
kondisi semula (Belitz dan Grosch 1999).
Pada dasarnya proses gelatinisasai terjadi melalui tiga fase, yaitu fase
pertama, air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, fase kedua ditandai dengan pengembangan granula dengan cepat
karena penyerapan air yang berlangsung secara cepat sehingga kehilangan
sifat birefringence, dan fase ketiga jika suhu terus naik, maka molekul amilosa terdifusi keluar granula (McCready 1970).
Pada proses gelatinisasi terjadi proses pengerusakan ikatan hidrogen
intermolekuler. Ikatan hidrogen ini mempunyai peranan untuk
mempertahankan struktur intergritas granula. Adanya gugus hidroksil yang
bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula
pati. Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati, maka
kemampuan menyerap air semakin besar. Peningkatan kelarutan juga diikuti
dengan peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya bebas
bergerak di luar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak
bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi. Profil gelatinisasi pati dapat dilihat
pada Tabel 5 yang dianalisis menggunakan alat ”Brabender visko-amilograf”.
Tabel 5 Profil gelatinisasi pelbagai pati
Keteranga Pati Garuta Tapioka Ab Pati Jagung
Varietas Bismac
Suhu Gelatinisasi (oC) 75.75 65.25 73.5
Suhu Puncak Gelatinisasi (oC) 85.85 75.75 -
Viskositas Maksimum (BU) 1290 1620 680
Viskositas 95 oC (BU) 920 640 -
Viskositas 95 oC /20 (BU) 558 465 -
Viskositas 50 oC (BU) 760 710 -
Viskositas setback 202 245 1060
Viiskositas breakdown -362 -1155 -200
Sumber: a (Suriani, 2008); b (Rahman, 2007); c (Permatasari, 2007)
Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi
oleh kadar amilosa. Semakin tinggi amilosa semakin tinggi suhu gelatinisasi.
Taggart (2004), struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk
interaksi molekuler yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan
hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa.
Viskositas setback menggambarkan tingkat kecenderungan proses
retrogradasi pasta pati (Faridah et al. 2008). Retrogradasi merupakan perubahan amilosa dari bentuk amorf ke bentuk kristalin. Retrogradasi terjadi
apabila antara ikatan hidrogen dan gugus hidroksil molekul amilosa yang
berdekatan saling berikatan dalam bentuk pasta. Retrogradasi terjadi ketika
pati yang telah digelatinisasi didiamkan beberapa lama sehingga terjadi
penurunan suhu (Wurzburg 1989). Semakin tingginya nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel
(meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback
menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi (Lestari
2009). Menurut Miller (1973), faktor-faktor yang mendukung terjadinya
retrogradasi adalah temperatur yang rendah, pH netral dan derajat
polimerisasi yang relatif rendah, tidak adanya percabangan ikatan dari
molekul, konsentrasi amilosa yang tinggi, adanya ion-ion organik tertentu dan
tidak ada senyawa pembasah (surface active agent).
c. Bentuk Granula Pati
Pati yang terdapat dalam tanaman tergabung dalam suatu paket-paket
kecil yang disebut granula (BeMiller dan Whistler 1996). Pati garut memiliki
sifat-sifat khas yang berbeda dengan pati dari sumber lain. Penampakan
granula pati garut di bawah mikroskop adalah 48.15% berbentuk oval,
21.15% berbentuk bulat, dan 30.70% membulat (spherical). Pati garut yang berukuran besar umumnya berbentuk oval, bentuk membulat umumnya
dimiliki oleh granula yang berukuran sedang, dan bentuk bulat dimiliki oleh
pati yan kecil (Suranto 1989).
Pati garut mempunyai diameter 30-70 μm (Suriani 2008). Hasil
penelitian Mariati (2001) menunjukkan bahwa 44.63% garnula pati garut
15 μm. Bentuk dan diameter granula pelbagai jenis pati dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Bentuk dan diameter granula pelbagai pati
Jenis Pati Diameter (μm) Diameter Rata-Rata (μm) Bentuk Granula
Jagung 3-26 15 Bulat, poligonal
Kentang 5-100 33 Oval, membulat
Gandum 2-35 15 Bulat
Tapioka 4-35 20 Oval, bersudut
Waxy Maize 3-26 15 Bulat, poligonal
Sorghum 3-26 15 Bulat, poligonal
Beras 3-8 5 Poligonal, angular
Sagu 5-65 30 Oval, bersudut
Garut 5-70 30 Oval, bersudut
Amylomaize 3-24 12 Bulat
Ubi Jalar 5-25 15 poligonal
Sumber: Swinkels (1985)
B. SERAT PANGAN
Istilah serat pangan telah dikemukakan oleh Hipsley (1953) di dalam
McCrealy (2007) menyatakan bagian yang tidak tercerna dari tanaman yang
menyusun dinding sel, termasuk selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Trowell et al. (1976) secara umum mendefinisikan serat pangan menjadi definisi secara
fisiologis, berdasarkan kemampuan untuk dimakan dan ketahanan terhadap
pencernaan dalam usus halus manusia. Definisi tersebut termasuk polisakarida
yang tidak dapat dicerna, seperti gum, selulosa termodifikasi, musil dan
pektin, serta oligosakarida yang tidak dapat dicerna atau non-digestible
oligosaccharides (NDO).
American Association of Cereal Chemist (2001) dalam Álvarez dan Sánchez (2006), mendefinisikan serat pangan sebagai bagian yang dapat
dimakan dari tanaman atau karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan
absorpsi dinding usus halus, yang kemudian difermentasi di dalam usus besar.
Serat pangan termasuk polisakarida, oligosakarida, dan lignin. Serat pangan
memberikan efek fisiologis yang menguntungkan, seperti laksatif,
Menurut Kin (2000), berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dibagi
menjadi dua yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat larut ketika berada di
usus halus akan membentuk larutan yang memiliki viskositas yang tinggi.
Karena sifatnya ini, serat larut dapat mempengaruhi metabolisme lipid dan
karbohidrat dan sebagian memiliki potensi antikarsinogenik. Serat tidak larut
dapat mempertahankan matriks strukturalnya dari air membentuk campuran
yang memiliki viskositas yang rendah. Hal ini menghasilkan peningkatan
massa feses dan mempersingkat waktu transit. Hal tersebut mendasari
penggunaan serat tidak larut untuk mencegah dan mengobati konstipasi
kronis. Pada sisi lain, serat tidak larut juga berkontribusi menurunkan
konsentrasi dan waktu kontak karsinogen dengan mukosa kolon.
Kandungan serat pangan pada pati garut dapat ditingkatkan menjadi 3.54
kali melalui modifikasi pati dengan metode autoclaving-cooling (Pratiwi
2008b). Hal ini diperkuat dengan penelitian Ranhotra et al. (1991) di dalam Sajilata et al. (2006) bahwa perlakuan siklus autoclaving-cooling berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total 3 hingga 4 kali lipat. Peningkatan
kadar serat pangan total terjadi karena peningkatan kadar pati resisten yang
terukur sebagai serat tidak larut. Menurut Ranhotra et al. (1991) di dalam
Sajilata et al. (2006) bahwa pati resisten terukur sebagai serat tidak larut.
C. PATI RESISTEN
Pati diklasifikasikan menjadi pati yang dicerna secara cepat (rapidly
digestible starch atau RDS), pati yang dicerna secara lambat (slowly digestible starch atau SDS), dan pati resisten (resistant starch atau RS) berdasarkan kecepatan pelepasan glukosa dan kemampuan absorpsi glukosa tersebut dalam
saluran pencernaan (Englyst et al. 1992). RDS merupakan fraksi pati yang menyebabkan terjadinya kenaikan glukosa darah setelah makanan masuk ke
dalam saluran pencernaan. SDS merupakan fraksi pati yang dicerna sempurna
dalam usus halus dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan
RDS. RS merupakan bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus,
akan tetapi difermentasi dalam usus besar (Haralampu 2000; Sajilata et al.
RS memiliki efek fisologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti
pencegahan kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik (menurunkan kadar
gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko
pembentukan batu empedu, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat
akumulasi lemak dan meningkatkan absorbsi mineral (Sajilata et al. 2006). RS dapat dikelompokkan menjadi empat tipe utama. Tipe pertama
(terperangkap) (RS I) ditemukan pada serealia dan biji-bijian. Tipe kedua
(terkristalisasi) (RS II) granula pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan. Sumber RS II, yaitu kentang mentah, pisang mentah, dan tepung
jagung. Tipe ketiga (teretrogradasi) (RS III), yaitu pati yang dirubah
konformasinya dengan panas atau dingin. Pemanasan pati tersebut dilakukan
dengan penambahan air sehingga terjadi distorsi rantai polisakarida yang
membentuk konformasi acak, proses ini disebut gelatinisasi. Ketika
didinginkan, proses pengkristalan dimulai yang disebut retrogradasi. Sumber
RS III, yaitu roti, cereal flakes, kentang yang direbus dan didinginkan, dan
pre-cooked foods. Tipe keempat (termodifikasi secara kimia) (RS IV), yaitu pati yang dimodifikasi secara kimia. RS IV ditemukan dalam pangan yang
diolah seperti cake, bumbu yang dibuat secara industri, dan paediatric foods
(Álvarez dan Sánchez 2006).
Lehmann et al. (2002) melaporkan bahwa proses debcrancing dan retrogradasi pati alami pisang dengan kandungan RS tipe III 5.9-6.5%
meningkat hingga mencapai 47.5-50.6%. Hal tersebut juga dilaporkan oleh
Aparico-Saguilan et al. (2005) yang menyatakan bahwa proses lintnerisasi dan
retrogradasi pati alami pisang dengan kandungan RS sebesar 1.51%
meningkat hingga mencapai 19.34%. Menurut Pratiwi (2008b), modifikasi
pati garut dengan metode autoclaving-cooling cycling sebanyak 3 siklus dengan waktu gelatinisasi selama 15 menit dapat meningkatkan kadar RS tipe
III lebih dari lima kali lipat dibandingkan dengan pati garut native. Pada penelitian tersebut menggunakan rasio pati : air sebesar 1 : 5. Rasio pati : air
sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelatinisasi granula
(Raja dan Shindu 2000). Proses modifikasi beberapa siklus memerlukan
kurang menggangu struktur heliks amilosa pada gelatinisasi siklus selanjutnya
sehingga jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Sajilata et al. 2006). Hal ini berakibat jumlah amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin
yang bereasosiasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar pati
resistenya pun menjadi lebih rendah.
D. COOKIES
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai Mutu dan Cara
Uji Biskuit (SNI 01-2973-1992), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat
dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lainnya, dengan proses
pemanasan dan pencetakan. Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, crackers,
cookies, dan wafer. Cookies adalah sejenis biskuit dari adonan lunak, berlemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya
bertekstur kurang padat (Manley 2000).
Saat ini berkembang cookies yang dijadikan sebagai pangan fungsional karena memiliki nilai indek glikemik yang rendah. Rendahnya nilai indeks
glikemik cookies tersebut akibat penambahan serat pangan dalam ingredient
utama pembuatan cookies. Menurut Marangoni dan Poli (2008), penambahan
serat pangan dalam pembuatan biskuit akan menurunkan indeks glikemiknya
sebesar 41%. Selain itu, cookies tersebut menggunakan maltitol dan
acesulfame sebagai pemanis. Maltitol merupakan gula alkohol yang memiliki
indeks glikemik yang rendah, yaitu sebesar 26 (Matsuo 2009), sedangkan
acesulfame merupakan pemanis buatan yang tidak memiliki kalori, cepat
memberikan rasa manis, memiliki kestabilan yang baik pada suhu tinggi dan
daya larut yang baik sehingga pemanis ini dianggap cocok untuk pelbagai
Tabel 7 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992
Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100 g) Minimal 400
Air (%) Maksimal 5
Protein (%) Minimal 9
Lemak (%) Minimal 9.5
Karbohidrat (%) Minimal 70
Abu (%) Maksimal 1.5
Serat Kasar (%) Maksimal 0.5
Logam Berbahaya Negatif
Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik
Warna Normal
1. Bahan Pembuat Cookies
Bahan-bahan untuk membuat cookies dibagi menjadi dua. Pertama
adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan pembentuk struktur
cookies seperti terigu, air, garam, susu tanpa lemak, dan putih telur. Kedua adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur seperti
shortening dan emulsifier, gula (sampai batas tertentu), bahan-bahan pengembang, pati (pati jagung, gandum, tapioka, dan sebagainya), serta
kuning telur. Dalam pembuatan cookies, kedua jenis bahan dasar ini harus
seimbang supaya tidak menghasilkan cookies yang tidak terlalu keras atau terlalu renyah (Duncan 2000).
Tepung yang digunakan untuk membuat cookies adalah tepung terigu. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat
bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam
membentuk cita rasa (Matz dan Matz 1978). Terigu yang biasanya digunakan
untuk membuat cookies adalah terigu lunak (Subarna 1996). Penggunaan terigu lunak dikarenakan terigu lunak cenderung membentuk adonan yang
lebih lembut dan lengket (Matz 1992). Selain itu, terigu jenis ini lebih mudah
terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga
dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U. S. Wheat
Associates 1983).
Lemak dalam pembuatan cookies berfungsi untuk memberikan efek
tekstur, kelembutan, serta memberi flavor (Matz dan Matz 1978). Selama proses pencampuran adonan, lemak memutuskan jaringan gluten sehingga
karakteristik makan setelah pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek,
dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley 1983). Lemak nabati (margarin)
lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Lemak
nabati juga dapat menghasilkan penampakan yang baik. Jika digunakan lemak
hewani (butter), volume cookies akan lebih rendah dan membentuk butiran-butiran yang lebih kasar (U. S. Wheat Associates 1983).
Fungsi gula dalam pembuatan cookies selain memberi rasa manis juga untuk memperbaiki tekstur, memberi warna pada permukaan cookies, dan
mempengaruhi pengembangan cookies. Penggunaan gula halus akan
memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pengembangan
cookies yang terlalu luas (Matz dan Matz 1978).
Penambahan gula yang berlebihan berpengaruh terhadap tekstur dan
penampakan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), meningkatnya kadar gula di dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan akan semakin
keras. Selain itu, waktu pemanggangan menjadi lebih singkat agar cookies
tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat mempercepat
proses pembentukan warna.
Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan
pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap
udara saat adonan dikocok sehingga udara menyebar merata pada adonan.
Telur dapat mempengaruhi warna, meningkatkan nilai gizi, dan menghasilkan
flavor yang diinginkan. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang sempurna. Tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak
sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz 1978).
Menurut Indrasti (2004), pembentukan adonan yang kompak terjadi karena
daya ikat dari putih telur.
Susu berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tekstur, dan
merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein
melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan
warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah pemanggangan
(Manley 1983).
Pengembang adonan yang sering digunakan dalam pembuatan cookies
adalah baking powder. Baking powder merupakan campuran sodium
bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat dan tartarat. Biasanya baking
powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifatnya cepat larut pada
suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz dan Matz 1978).
Kombinasi sodium bikarbonat dengan asam dimaksudkan untuk memproduksi
gas karbondioksida baik sebelum dipanggang maupun pada saat dipanaskan
dalam oven (Manley 1983).
Garam adalah bahan yang biasanya diperlukan dalam jumlah yang
sedikit untuk menguatkan rasa pada produk pangan. Jumlah garam yang
digunakan tergantung pada beberapa faktor terutama pada jenis terigu yang
digunakan. Terigu protein rendah lebih banyak memerlukan garam sebab
garam akan berpengaruh dalam memperkuat protein gluten. Sebagian besar
formula cookies menggunakan 1% garam atau kurang dalam bentuk
kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz 1978).
Selain itu, menurut Kaplan (1971), garam dapat memperkuat struktur adonan
jika sedikit ditambahkan pada protein telur selama pengocokan.
E. INDEKS GLIKEMIK
Indeks glikemik (IG) merupakan respon kadar gula darah setelah
makan (postprandial) (Jenkins 2007; Jenkins et al. 1982). Skala indeks glikemik (IG) dikembangkan untuk membantu mengatur kadar glukosa
penderita diabetes (Jenskin et al. 2002). IG merupakan respon glikemik ketika
memakan sejumlah karbohidrat dalam pangan dan dengan demikian
merupakan indikator tidak langsung dari respon insulin tubuh (Buyken et al.
2006). Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan dipengaruhi oleh
pengolahan pangan, serta jumlah dan tipe serat yang terkandung dalam
pangan.
Berdasarkan penggunaan glukosa sebagai pembanding (IG = 100),
pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan
rentang nilai IG ≤55, pangan IG sedang dengan rentang nilai IG 55-69, dan
pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG ≥70 (Brand-Miller dan
Foster-Powell 1999). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) karbohidrat dalam
pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi,
sebaliknya pangan yang ber-IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan
lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat.
Pangan yang memiliki IG rendah, karbohidratnya akan dipecah dan
diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa darah
dan insulin secara lambat dan bertahap. Pangan yang memiliki IG rendah
dihubungkan dengan penurunan kejadian penyakit jantung, diabetes, dan
beberapa jenis kanker (Brand-Miller 2007; Brand-Miller et al. 2003; Jenkins 2007; Roberts 2000; Wolever dan Mehling 2002).
Menurut Utami (2008), indeks glikemik umbi garut sebesar 32,
sedangkan menurut Marsono (2002), indeks glikemik umbi garut sebesar 14.
Perbedaan hasil penentuan nilai IG bahan pangan yang sama biasa terjadi.
Foster-Powell dan Miller (1995) menyatakan bahwa tidak ada nilai IG yang
pasti untuk sebuah bahan pangan. Perbedaan metode dan proses pemasakan,
karakter molekuler dan fisik granula pati dalam produk akhir berpengaruh
terhadap nilai IG pangan. Rendahnya indeks glikemik umbi garut disebabkan
umbi garut mengandung serat pangan, pati resisnten, amilosa yang cukup
tinggi, serta kemungkinan adanya komponen antinutrisi seperti komponen
fenolik yang dapat menghambat daya cerna pati (Utami 2008).
FAO/WHO (1998) merekomendasikan peningkatan asupan pangan
yang memiliki IG rendah terutama bagi penderita diabetes dan orang yang
tidak toleran terhadap glukosa. Berdasarkan laporan WHO (FAO/WHO 2003),
hubungan diet pangan yang memiliki IG rendah dalam mencegah obesitas dan
diabetes sangatlah mungkin. Studi klinis banyak membuktikan hubungan
insulin dan prevalensi sindrom metabolit (Brand-Miller 2007; Jenkins 2007;
Mckeown et al. 2004).
F. DIABETES MELITUS
Diabetes merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin, atau secara singkat, tubuh tidak menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur
gula darah. Hiperglikemia atau peningkatan gula darah, secara umum
menyebabkan diabetes yang tidak terkontrol dan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh
khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO 2006).
Implikasi dari pangan dengan indeks glikemik tinggi yaitu muncul
respon hormonal (insulin) yang tinggi sebagai counterregulatory terhadap gula darah yang tinggi tersebut. Efek berikutnya, pada periode akhir dua jam
setelah makan bahan pangan dengan indeks glikemik tinggi, gula darahnya
lebih rendah dibanding kondisi awal dan ini membangkitkan rasa lapar
(Yulianto 2003).
Menurut WHO (2006), diabetes dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelas yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestational. Diabetes tipe 1 yang dicirikan oleh menurunnya produksi insulin. Tanpa pengaturan
insulin harian, diabetes tipe 1 dapat menjadi fatal. Gejala-gejalanya meliputi
ekskresi urin yang berlebihan (poliuria), dehidrasi (polidipsia), rasa lapar yang
terus-menerus, penurunan berat badan, penglihatan menjadi kabur, dan
kesemutan. Gejala ini dapat terjadi secara bersamaan. Diabetes tipe 2
dihasilkan dari insulin yang tidak efektif digunakan oleh tubuh. Diabetes tipe
2 diderita 90% penderita diabetes terbesar di seluruh dunia dan diakibatkan
oleh kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Gejala-gejalanya
hampir sama dengan diabetes tipe 1 tetapi kurang dapat dikenali. Hasilnya,
penyakit ini baru dapat didiagnosa beberapa tahun setelah onset, dan
komplikasi dapat segera meningkat. Selama beberapa tahun terakhir, diabetes
tipe ini diderita pada orang dewasa tetapi sekarang juga diderita oleh
Pengaturan pola makan sangat penting untuk mengontrol diabetes.
Pola makan yang benar tidak sekedar menghindari makanan dan minuman
yang manis saja. Penderita tidak boleh melewatkan waktu makan. Makanan
yang mengandung serat yang tinggi seperti cookies jagung, mie, oat, biskuit yang tidak dimaniskan, lentil, dan sayur-sayuran harus dikonsumsi, sedangkan
makanan yang mengandung kadar gula yang tinggi, misalnya gula yang telah
diproses, coklat, makanan yang digoreng, keripik, dan kacang tanah harus
dihindari. Konsumsi garam dan makanan yang asin juga harus dikurangi.
Makanan bagi penderita kencing manis harus diatur terlebih dahulu. Makanan
haruslah seimbang dan kandungan kalori dalam makanan harus tetap. Hal ini
bertujuan untuk memastikan adanya kandungan glukosa yang tetap untuk
dapat dikendalikan tubuh. Kalori yang terkontrol, baik untuk menstabilkan
berat badan yang normal. Hindari mengkonsumsi alkohol karena dapat
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan, yaitu umbi garut yang diperoleh dari
Balai penelitian Biogen Cimanggu Bogor. Bahan-bahan untuk membuat
cookies, yaitu terigu kunci biru, gula halus merk Pohon Kenari, susu skim merk Sunlac, margarin merk Blue band, kuning telur, garam merk Refina, dan
soda kue merk Koepoe-Koepoe. Bahan-bahan untuk analisis yaitu strip
Glukometer One Touch UltraTM, lancet Glukometer One Touch UltraTM, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH, H2BO3, indikator campuran metil
red-metilen blue, HCl, heksana, pereaksi Anthrone, glukosa murni, air destilata,
amilosa murni, maltosa murni (E Merck), etanol 95%, larutan asetat 1 N,
larutan iod, buffer fosfat pH 6 dan pH 7, buffer asetat pH 4.75, enzim
termamyl (Sigma A3403-500KU), enzim pepsin (Sigma P-7000), enzim
pankreatin (Sigma P-1750), enzim protease (Sigma P-4630), enzim
amilogukosidase (Sigma P-7420), aseton, enzim α-amilase (Fluca), asam
dimetilsalisilat (DNS), pati murni (E Merck), dan Na2S2O5.
Alat yang digunakan untuk pembuatan pati, yaitu rasper, vibrating
screen, bak pengendap pati, loyang, oven pengering, autoklaf, dan drum dryer. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan cookies, yaitu handmixer, oven pemanggang, loyang, dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis,
yaitu Glukometer One Touch UltraTM, tanur, oven, neraca analitik, desikator,
perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, sheaker waterbath, penangas air,
hotplate, spektrofotometer, sentrifuge, gelas ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas piala, dan alat-alat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pembuatan pati
1. Tahap Pembuatan Pati Garut
Ekstraksi pati garut dilakukan dengan mengacu metode Lingga (1986)
yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan optimasi pembuatan pati garut.
Diagram alir ekstraksi pati garut dapat dilihat pada Gambar 4.
2. Pembuatan RS III pati garut dengan 3 siklus (metode Mahadevamma et al. yang dimodifikasi 2003)
Selanjutnya dilakukan modifikasi pati garut secara fisik dengan
autoclaving-cooling menggunakan metode Mahadevamma et al. (2003) yang
dimodifikasi. Proses pembuatan pati garut termodifikasi (PGT) dapat dilihat
[image:49.612.139.539.283.689.2]pada Gambar 5.
Gambar 4 Metode ektraksi pati garut (Lingga 1986).
2x Umbi Segar
Pengupasan dan Pencucian
Perendaman selama 1 jam