• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pemanfaatan Abomasium Domba Lokal Umur Dewasa Muda sebagai Penghasil Rennet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Pemanfaatan Abomasium Domba Lokal Umur Dewasa Muda sebagai Penghasil Rennet"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PEMANFAATAN ABOMASUM DOMBA LOKAL

UMUR DEWASA MUDA SEBAGAI PENGHASIL RENNET

SKRIPSI

ARIE BOWO YUDI KRISTIANTO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

POTENSI PEMANFAATAN ABOMASUM DOMBA LOKAL

UMUR DEWASA MUDA SEBAGAI PENGHASIL RENNET

ARIE BOWO YUDI KRISTIANTO D14202049

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(3)

POTENSI PEMANFAATAN ABOMASUM DOMBA LOKAL

UMUR DEWASA MUDA SEBAGAI PENGHASIL RENNET

Oleh

ARIE BOWO YUDI KRISTIANTO D14202049

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 7 September 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari DEA Dr. drh. Chairun Nisa’ MSi. NIP 131 671 595 NIP 131 841 722

Mengetahui,

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(4)

RINGKASAN

A. B. Y. KRISTIANTO. D 14202049. 2006. Potensi Pemanfaatan Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda sebagai Penghasil Rennet. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari DEA. Pembimbing Anggota : Dr. Drh. Chairun Nisa’ MSi.

Keju merupakan salah satu produk olahan susu yang mulai digemari masyarakat. Industri keju yang berkembang di Indonesia membutuhkan suplai koagulan rennet untuk memenuhi kuota produksinya. Rennet yang digunakan selama ini untuk memproduksi keju masih diimpor yang dapat berasal dari lambung sapi muda atau rennet microbial. Rennet impor asal sapi muda tersebut, disamping mahal, juga akan berdampak pada penurunan populasi hewan tersebut. Domba lokal dengan populasi yang relatif tinggi di Indonesia merupakan sumber potensial sebagai penghasil rennet. Kekerabatan yang dekat antara domba dengan sapi sebagai hewan ruminansia, diharapkan akan menghasilkan rennet yang juga memberikan kemampuan koagulasi serupa dengan rennet yang berasal dari sapi.

Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari potensi abomasum domba lokal sebagai sumber penghasil rennet dilaksanakan selama lima bulan, dimulai pada bulan Juli hingga Oktober 2005. Abomasum yang digunakan pada penelitian ini merupakan abomasum domba lokal dewasa muda (6-12 bulan) yang diambil dari tempat pemotongan hewan. Rennet kasar yang diperoleh diuji kemampuan koagulasinya pada susu pasteurisasi yang didapatkan dari Bagian IPT Perah dan Rumah Sakit Hewan IPB. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak lengkap faktorial serta rancangan acak lengkap searah yang diuji menggunakan analisa sidik ragam, kemudian diuji lanjut menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test apabila hasil sidik ragam berbeda nyata. Perlakuan yang diujikan sebanyak 12 macam perlakuan berdasarkan pada asal rennet, bentuk dan konsentrasi ekstrak. Pelet fundus dan pilorus konsentrasi 1%, 2%, dan 3% menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Supernatan fundus dengan konsentrasi 1,5%, 2%, dan 2,5%, serta supernatan pilorus dengan konsentrasi 3%, 4%, dan 5% menggunakan rancangan acak lengkap searah, masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali pengulangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rennet asal fundus maupun pilorus mampu menggumpalkan susu, khususnya rennet asal fundus memberikan pengaruh nyata terhadap waktu koagulasi susu, sedangkan rennet asal pilorus memberikan respon tidak berbeda nyata. Waktu koagulasi terbaik didapatkan dari ekstrak yang berasal dari jaringan fundus baik dalam bentuk pelet maupun supernatan, yaitu pada konsentrasi 2,5 % (waktu koagulasi 188,3 detik) untuk supernatan dan pada taraf 3% (waktu koagulasi 87,0 detik) untuk pelet. Abomasum domba lokal umur dewasa muda memiliki potensi untuk dijadikan sebagai sumber rennet, khususnya pada daerah yang menghasilkan rennet dengan aktifitas koagulasi terbaik.

(5)

ABSTRACT

The Potention of Mucose Membrane of Young Adult Lamb Abomasums as The Source of Rennet

Kristianto, Maheswari, and Nisa’

Cheese is one of milk product that people like to consume. At present, cheese industries in Indonesia maintain rennet supply by importing it from other country, so the price was expensive. Lamb as a small ruminant is a potential source of rennet. This research aim is to study the potential of mucose membrane from young adult lamb abomasums (age 6-12 month) as the source of animal rennet. This study was held at The Department of Anatomy Physiology and Pharmacology Faculty of Veterinary and Medicine IPB. Young adult lamb abomasums were taken from animal slaughtery house, and the milk which is used as a media, was collected from IPT Perah Laboratory and IPB Animal Hospital. The experimental design used in this research was factorial completely randomize resign and one way completely randomize design. The complete data were analyzed using ANOVA which was followed by Duncan Multiple Range Test, if the results show any significant value. This study was divided into twelve variances, each of them divided into several group based on the major mucose membrane area and the concentration. Pellet taken from fundic and pyloric region using factorial completely randomize experimental design; and the enzyme concentration was 1%, 2%, and 3%. The supernatant extract of fundic region was 1,5%, 2%, and 2,5%, and the supernatant extract from pyloric region was 3%, 4%, and 5%, both of supernatant using one way completely randomize experimental design. The results showed that crude enzyme from different region of abomasums gave different effect especially rennet taken from fundic region (P<0,05). The most significant value gave by crude enzyme from fundus tissue with 3% (87 second) concentration for the pellet and 2,5% (188,3 second) for the supernatant. Even tough the extract that had been taken from pyloric region gave no significant effect, but generally, abomasums from young adult lamb was potential as the resource of rennet.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1984 di Magetan Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Lilik Suhanto dan Ibu Yudi Ekowati.

Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pengadilan 3 Bogor. Penulis selanjutnya menyelesaikan pendikan lanjutan tingkat pertama pada tahun 1999 di SLTPN 1 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah umum pada tahun 2002 di SMUN 2 Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2002 melalui program Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)

orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan

berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya

berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha

Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”

QS. Ali ’Imran : 191-191 Segala puji dan syukur kepada sumber ilmu pengetahuan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Raab yang menjadi sumber segala kebenaran dan kebaikan yang terindah, sumber segala pencahayaan dan kasih sayang pada umat-Nya.

Penyusunan skripsi ini dilatar belakangi pada mendesaknya kebutuhan pangan hewani yang murah dan berkualitas, khususnya keju serta terbatasnya ketersediaan rennet sebagai unsur penting dalam pengolahan keju. Secara khusus skripsi ini akan membahas mengenai proses ekstraksi enzim protease dari abomasum domba lokal serta aspek-aspek yang mempengaruhi koagulasi susu. Konsep-konsep pemikiran yang tertuang di dalam skripsi ini berusaha penulis sampaikan dalam bentuk yang sederhana dan mudah dipahami disertai dengan pemikiran empiris serta bukti-bukti ilmiah berdasarkan literatur terkait, dengan harapan skripsi ini dapat dengan mudah diambil intisarinya serta manfaatnya oleh pembaca yang berkepentingan.

Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena hanya Allah-lah yang memiliki segala kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ………... i

ABSTRACT ………. ii

RIWAYAT HIDUP ……….. iii

KATA PENGANTAR ………. iv

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL ………... vii

DAFTAR GAMBAR ………... viii

DAFTAR LAMPIRAN ………... ix

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………. 1

Tujuan ……….. 1

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 2

Lambung Ruminansia………..……….. 2

Daerah Kelenjar Kardia ……..……….. 3

Daerah Kelenjar Fundus ...………... 3

Daerah Kelenjar Pilorus ………. 4

Enzim Protease Lambung ……….…... 4

Ekstraksi Rennet ………... 5

Definisi dan Komposisi Susu……… 6

Protein Susu ……….. 7

Koagulasi Susu ...……… 8

METODE ……… 11

Lokasi dan Waktu ……… 11

Materi ……….. 11

Rancangan ………... 12

Peubah ……….. 12

Analisis Data……… 12

Prosedur ………….………... 13

Pembuatan Ekstrak dan Pengujian Aktivitas ...………. 13

Penelitian Pendahuluan .. ………. 14

Penelitian Utama ………... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 16

Ekstraksi Enzim Khimosin ……….. 16 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Enzim

terhadap Waktu Koagulasi Susu...

(9)

Pengaruh Perbedaan Jaringan terhadap

Aktivitas Koagulasi Susu... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ………... 32

Kesimpulan ………. 32

Saran ……… 32

UCAPAN TERIMAKASIH ……… 33

DAFTAR PUSTAKA ……….. 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Susu ……..………...………. 7 2. Perbandingan Berat dan Ukuran Rata-rata Daerah Kelenjar

Fundus dan Pilorus Abomasum Domba Lokal Umur

Dewasa Muda ... 16 3. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi

Pellet yang Diberikan ... ... 19 4. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi

Supernatan Fundus yang Diberikan ... 22 5. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lambung Ruminansia Berserta Bagian-Bagiannya ... 2

2. Struktur Tiga Dimensi Enzim Khimosin ... 5

3. Curd yang telah Menggumpal Sempurna... 8

4. Pemotongan Rantai k-Kasein oleh Enzim Khimosin ... 9

5. Alur Penelitian Pendahuluan ... 14

. 6. Alur Penelitian Utama ... 15

7. Hasil Kelupasan Mukosa Fundus (A) dan (B) Pilorus serta Pellet Hasil Sentrifugasi Mukosa Fundus (C) dan Pellet Hasil Sentrifugasi Mukosa Pilorus (D) ... 17

8. Plot Hubungan Regresi antara Waktu Koagulasi Susu- Pelet Fundus ... 23

9. Plot Hubungan Regresi antara Waktu Koagulasi Susu- Supernatan Fundus ... 24

10. Plot Hubungan Regresi antara Waktu Koagulasi Susu- Pelet Pilorus ... 24

11. Plot Hubungan Regresi antara Waktu Koagulasi Susu- Supernatan Pilorus ... 25

12. Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda (F : Fundus, P : Pilorus) ……… 26

13. Struktur Umum Kelenjar Fundus (A) dan Pilorus (B) Abomasum Domba Menggunakan Pewarnaan HE ………….. 27

14. Hubungan Konsentrasi Ekstrak Enzim Khimosin asal Daerah Kelenjar Fundus terhadap Waktu Koagulasi Susu ……… 28

15. Hubungan Konsentrasi Ekstrak Enzim Khimosin asal Daerah Kelenjar Pilorus terhadap Waktu Koagulasi Susu ……… 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Ragam Waktu Awal Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Pelet ... 38 2. Analisis Ragam Waktu Akhir Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Pelet ... 38 3. Analisis Ragam Waktu Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Pelet ... 38 4. Analisis Ragam Waktu Awal Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Fundus ... 38 5. Analisis Ragam Waktu Akhir Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Fundus ... 39 6. Analisis Ragam Waktu Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Fundus ... 39 7. Analisis Ragam Waktu Awal Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Pilorus ... 39 8. Analisis Ragam Waktu Akhir Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Pilorus ... 39 9. Analisis Ragam Waktu Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa

Abomasum dalam Bentuk Supernatan Pilorus ... 40 10. Analisis Duncan Multiple Range Test terhadap Waktu

Awal Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa Abomasum

dalam Bentuk Pelet ... 40 11. Analisis Duncan Multiple Range Test terhadap Waktu

Akhir Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa Abomasum

dalam Bentuk Pelet ... 40 12. Analisis Duncan Multiple Range Test terhadap Waktu

Koagulasi Susu Ekstrak Mukosa Abomasum

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu beserta produk olahannya merupakan bahan pangan dengan kandungan

nutrisi seimbang dan gizi sempurna. Direktorat Jenderal Peternakan (2003)

melaporkan, bahwa konsumsi susu sapi nasional mencapai 958,9 ribu ton, jauh lebih

tinggi daripada produksinya yaitu 577,5 ribu ton. Namun, konsumsi per kapita

menunjukkan jumlah yang sangat memprihatinkan yaitu kurang dari 100 mililiter per

hari per kepala. Keju sebagai produk olahan susu merupakan pangan yang bernilai

nutrisi tinggi. Tumbuh dan berkembangnya industri keju di Indonesia dipicu oleh

peningkatan konsumsi masyarakat terhadap keju. Indonesia mempertahankan suplai

rennet asal sapi melalui impor. Pengimporan rennet secara terus-menerus, selain

mahal, akan memberikan kontribusi pada pengurangan devisa negara serta dapat

mengurangi populasi sapi sebagai sumber utama rennet.

Populasi domba lokal sebagai fauna asli Indonesia dinilai cukup tinggi.

Badan Pusat Statistika Indonesia (2004) mencatat dalam tahun 2004 populasi domba

lokal Indonesia mencapai angka 8.245,8 ribu ekor. Populasi yang tinggi selama ini

belum dioptimalkan pemanfaatannya. Jumlah pemotongan yang tinggi terhadap

domba muda, khususnya di Jawa Barat, yaitu sebanyak 542.693 ekor (Badan Pusat

Statistika Jawa Barat, 2004) memberikan hasil ikutan pemotongan ternak dalam

jumlah besar. Abomasum merupakan salah satu produk ikutan pemotongan hewan,

khususnya domba, yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian

mengenai abomasum domba lokal sebagai sumber rennet diharapkan dapat

memberikan informasi tentang kualitas rennet yang dihasilkan, yang diharapkan

setara dengan kualitas rennet asal sapi muda, mengingat domba memiliki

kekerabatan dekat dengan sapi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan

sebagai upaya dalam menjawab permasalahan pangan yang sedang dihadapi Bangsa

Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menentukan potensi

pemanfaatan abomasum domba lokal umur dewasa muda (6-12 bulan) yang

merupakan produk ikutan pemotongan ternak sebagai bahan baku pembuatan rennet

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Lambung Ruminansia

Lambung merupakan organ eksokrin-endokrin campuran yang mencerna

makanan dan mensekresikan hormon (Junqueira et al., 1998). Domba sebagai hewan

ruminansia, mempunyai lambung majemuk yang terdiri atas rumen, retikulum,

omasum, dan abomasum (Dyce et al., 1996) seperti dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lambung Ruminansia Beserta Bagian-Bagiannya

Sumber : Coleman, 2006.

Abomasum merupakan lambung kelenjar yang berfungsi melakukan reaksi

enzimatis dan hidrolisis terhadap bahan makanan sebelum masuk ke duodenum.

Abomasum memiliki tiga daerah kelenjar yang berbeda, yaitu kardia, fundus, dan

pilorus (Stevens dan Hume, 1995). Seperti halnya struktur umum pada saluran

pencernaan, masing-masing bagian tersebut tersusun dari mukosa, submukosa,

tunika muskularis dan serosa.

Mukosa lambung tersusun dari lamina epitelia, lamina propria dan lamina

muskularis mukosa. Submukosa tersusun oleh jaringan ikat kolagen dan terdapat

buluh-buluh darah, limfe serta serabut syaraf dengan plexus ganglion Meissner yang

merupakan sistem syaraf otonom, yang disebut sistem syaraf enferikus (Bergman et

al., 1996). Tunika muskularis terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan paling dalam,

lapisan tengah yang tersusun sirkuler dan lapisan luar yang susunannya memanjang,

(15)

buluh-buluh darah, limfe dan serabut syaraf otonom dengan plexus ganglion auerbach.

Tunika serosa terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah,

pembuluh limfatik dan sel-sel sistem kekebalan tubuh, seperti makrofag dan sel mast

(Bergman etal., 1996).

Daerah Kelenjar Kardia

Daerah kelenjar kardia merupakan daerah sempit antara esofagus dan daerah

kelenjar fundus. Kelenjar kardia berbentuk tubulus sederhana atau bercabang. Ujung

kelenjar, relatif pendek dan lumennya lebih luas dibanding kelenjar fundus dan

pilorus (Banks, 1986). Kelenjar kardia tersusun terutama oleh sel sekresi yang

menghasilkan mukus dan lisozim (Junqueira et al., 1998). Kelenjar kardia bersama

dengan epitel permukaan dan sel leher (mucous neck cells) di daerah fundus

menghasilkan mukus lambung yang berfungsi melindungi mukosa lambung dari

autodigesti (Banks, 1986).

Daerah Kelenjar Fundus

Menurut Ham dan Leeson (1961), Banks (1986) dan Bergman et al. (1996),

daerah fundus pada lambung merupakan daerah paling luas. Daerah fundus utamanya

dibagi dalam tiga daerah, yaitu

a) daerah apikal, banyak mengandung sel mukus (surfarce epithelial cells dan

mucous neck cells), sedikit sel utama (chieff cells) dan beberapa sel parietal

(parietal cells);

b) daerah badan, diisi oleh sel utama dan sel parietal;

c) daerah basal, mengandung sel utama, sel parietal dan beberapa sel

enteroendokrin;

Sel utama merupakan sel yang dominan menyusun kelenjar fundus. Sel utama

memiliki bentuk yang tidak beraturan, kubus atau piramidal dan memiliki semua ciri

sel penghasil protein dan sel pengekspor (Junqueira et al., 1998). Sel utama berwarna

biru dengan pewarnaan HE dan inti bulat terletak agak basal.

Kelenjar fundus diketahui menghasilkan enzim-enzim protease, terutama

pepsin dan khimosin. Kedua enzim tersebut dihasilkan oleh sel-sel utama yang

menyusun kelenjar fundus dalam bentuk tidak aktif, yaitu prokhimosin dan

(16)

sel parietal menjadi khimosin dan pepsin (Telford dan Bridgman, 1995). Khimosin

yang dominan ditemukan pada hewan muda dan memiliki sifat sangat khas dalam

mengkatalisa reaksi hidrolisis kappa-kasein (protein susu), sehingga mengakibatkan

koagulasi susu yang spesifik (Andrén et al., 1982; Andrén, 1991). Sekresi khimosin

akan menurun setelah tergantikan oleh adanya sekresi pepsin sebagai enzim protease.

Daerah Kelenjar Pilorus

Menurut Bergman et al. (1996) dan Banks (1986), secara histologi, daerah

kelenjar pilorus hampir sama dengan daerah kelenjar kardia. Kelenjar pilorus

berbentuk tubular sederhana dan pendek atau tubular bercabang. Sel ujung

kelenjarnya berbentuk silinder, sitoplasma beraspek basofil lemah dengan posisi inti

basal dan mirip dengan sel leher kelenjar fundus. Sel-sel tersebut menghasilkan

mukus pelindung, sedikit protease dan gastrin. Daerah pilorus memiliki ‘gastric pits

yang lebih dalam dibanding daerah abomasum lainnya. Daerah tersebut merupakan

tempat bermuara kelenjar-kelenjar pilorus tubular.

Enzim Protease Lambung

Sel-sel utama dari lambung menghasilkan tiga macam enzim protease, yaitu

pepsin, khimosin, dan gastricsin. Pepsin menghidrolisis tidak hanya protein yang

ditelan tetapi juga tambahan pepsinogen. Kerja autokatalitik ini mempermudah

perubahan pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin menggunakan aksi hidrolitik pada

bagian tertentu dari rantai polipeptida dengan sangat efisien, terutama pada ikatan –

c-terminal asam amino tertentu seperti tiroksin, fenilalanin, dan triptofan (Kimball,

1992).

Khimosin (EC 3.4.23.4), biasa dikenal dengan rennin, merupakan enzim

proteolitik yang disintesis oleh sel utama pada abomasum sapi muda. Peranannya

ialah untuk mengkoagulasikan susu. Apabila susu tidak dikoagulasikan maka susu

dengan cepat akan melewati lambung tanpa sempat dicerna oleh tubuh. Sekresi

maksimal khimosin terjadi selama masa-masa awal setelah kelahiran, kemudian

sekresinya menurun dan digantikan dengan pepsin sebagai protease dominan

lambung. Ekstrak mukosa abomasum dengan kandungan khimosin yang tinggi

diperdagangkan dengan nama rennet (Suhartono, 1991). Struktur tiga dimensi enzim

(17)

Gambar 2. Struktur Tiga Dimensi Enzim Khimosin Sumber : Hill, 2006

Khimosin merupakan enzim protease yang telah melalui berbagai rangkaian

proteolisis. Khimosin dalam bentuk tidak aktif memiliki berat molekul sebesar 36

kilodalton dan dalam bentuk aktif sebesar 31 kilodalton. Prokhimosin berubah

menjadi khimosin melalui proses hidrolisis parsial yang terjadi pada pH asam. Proses

ini dipengaruhi konsentrasi garam dan pH. Enzim khimosin memiliki titik isoelektrik

sekitar pH 4,5 dan stabil pada pH 5,3-6,3 (Suhartono, 1991).

Ekstraksi Rennet

Khimosin merupakan enzim protease intraseluler. Enzim ini bersifat asam,

termasuk golongan endopeptidase dan aktif pada pH asam (Suhartono, 1991). Enzim

intraseluler menurut Naz (2002), dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan

letaknya di dalam sel, yaitu

a) enzim yang terlarut sitoplasma tergolong kepada enzim yang mudah untuk

diekstraksi. Pemberian sedikit gangguan pada struktur sitoplasma sudah

cukup untuk memberikan jalan bagi enzim untuk keluar dari sel dan

melarutkan diri pada medium ekstraksi;

b) enzim yang terikat dengan plasma membran yang hanya dapat diekstraksi

dengan metode yang mampu mendisosiasikan kompleks lipoprotein;

c) enzim yang terikat dengan organel sel yang biasanya terikat dalam dua

kondisi, yaitu terikat dengan materi membran dari organel, serta enzim terikat

pada materi tidak terlarut dari lipoprotein;

Berdasarkan hal tersebut, proses ekstraksi harus memperhatikan kondisi enzim, yaitu

(18)

Menurut Naz (2002), ekstraksi enzim intraseluler dilakukan dalam dua

tahapan, meliputi :

a) Tahap pemecahan dinding sel dan membran sel. Pemecahan dinding sel dan

organel sel dapat dengan mudah dilakukan dengan homogenisasi media

ekstraksi bersama-sama dengan cacahan halus jaringan penghasil enzim; dan

b) Tahap ekstraksi. Material yang telah dicacah dicampurkan kembali ke dalam

media ekstraksi yang jumlahnya tiga kali material yang dicacah. Penentuan

pH media bergantung pada pH aktivasi enzim yang ingin diekstraksi. Enzim

dipisahkan dari jaringan penghasil melalui sentrifuge pada suhu rendah untuk

menjaga aktivitas proteolisis enzim. Bagian supernatan merupakan bagian

yang kaya akan enzim, karena diharapkan sebagian besar enzim telah

terekstraksi dari sel jaringan.

Metode ekstraksi enzim khimosin, menurut Suhartono (1991), dapat

dilakukan dengan cara memisahkan bagian fundus abomasum. Abomasum sebaiknya

tidak diawetkan dengan garam karena akan mengakibatkan dehidrasi berlebihan pada

mukosa sehingga enzim sukar keluar karena terikat dengan material garam. Asam

asetat 10% dapat digunakan dengan cara merendam abomasum cacahan selama 24

jam pada suhu 270C-390C sebanyak 5 kali berturut-turut. Ekstraksi dilakukan dengan

melakukan sentrifuge pada 2750 rpm selama 15 menit. Keasaman hasil ekstraksi

disesuaikan dengan kondisi optimal kinerja enzim melalui penambahan NaOH 1M.

Ekstrak dikumpulkan, kemudian dipekatkan pada 400C dengan tekanan vakum untuk

mendapatkan ekstrak khimosin pekat.

Definisi dan Komposisi Susu

Definisi susu segar, seperti tercantum dalam SNI 01-3141-1998 adalah cairan

yang berasal dari ambing sapi sehat, diperoleh dengan cara pemerahan yang benar

tidak mengalami penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun dan tidak

mengalami proses pemanasan (Badan Standarisasi Nasional, 1998). Istilah susu,

mempunyai pengertian sebagai susu yang berasal dari sapi kecuali bila dinyatakan

(19)

Komposisi utama susu sering diartikan sebagai kandungan lemak, protein,

laktosa, abu dan padatan total. Susu juga mengandung sejumlah kecil komponen

lainnya seperti garam mineral, pigmen, enzim, vitamin, dan leukosit (Widodo, 2003).

Komposisi utama susu dapat dilihat pada Tabel 1 .

Tabel 1. Komposisi Kimia Susu

Komposisi Kandungan (%)

Air 87,0

Padatan Total 13,0

Padatan Bukan Lemak 9,0

Lemak 4,0

Laktosa 4,7

Protein 3,5

Mineral 0,8

Sumber : Walstra et al. (1999)

Protein Susu

Protein susu 95% terdapat dalam bentuk nitrogen. Komponen individual

penyusun susu relatif sukar untuk dipisahkan karena terbuat dari campuran kompleks

yang saling berikatan satu sama lainnya. Perbedaan mobilitas elektroforesis

komponen saat separasi ditentukan oleh variansi genetik (Walstra et al., 1999).

Protein susu dapat dibedakan menjadi kasein, protein whey, dan protein yang

terdisosiasikan dengan fase lipida (Hill, 2006).

Kasein merupakan protein utama susu (± 80% dari protein susu) atau sekitar

2,8% dari komposisi kimia susu. Kasein murni berwarna putih dan tidak larut dalam

air, tetapi larut dalam pelarut basa atau asam kuat (Widodo, 2003). Kasein terdiri atas

empat komponen utama, yaitu : αs1-kasein, αs2 -kasein, β -kasein dan κ -kasein (Fiat

dan Jolles, 1989). Kasein dalam susu biasanya terdapat dalam bentuk misel kasein.

Misel kasein memiliki diameter sebesar 500Å-3000Å. Ion kalsium dan fosfat

memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas misel kasein. Ion tersebut biasa

dikenal dengan koloidal kalsium-fosfat (Hill, 2006). Pembentukan dan

pengembangan misel kasein terhenti bila seluruh permukaan misel mengandung κ

(20)

Koagulasi Susu

Koagulasi susu adalah proses perubahan bentuk dari susu cair menjadi

padatan berbentuk gel. Koagulasi terjadi karena adanya penggumpalan dari kasein

yang terdapat di dalam susu. Gumpalan kasein yang terbentuk juga mengandung

lemak, bakteri, koloid kalium fosfat dan partikel-partikel lain yang disebut curd atau

dadih. Selain itu, curd juga mengandung air dan bahan-bahan yang terlarut dalam air

(Daulay, 1990). Curd yang telah menggumpal dengan sempurna dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Curd yang telah Menggumpal Sempurna

Pembentukan curd pada proses pembuatan keju, menurut Johnson (1984),

dapat terjadi melalui dua cara, yaitu koagulasi secara enzimatis dan koagulasi asam.

Koagulasi dengan menggunakan asam dapat dilakukan dengan cara langsung

menambahkan asam (biasanya asam laktat) ke dalam susu, atau dengan penambahan

bakteri asam laktat yang akan memfermentasikan laktosa menjadi asam laktat.

Netralisasi muatan negatif dari kasein oleh ion H+ dari asam laktat akan

menyebabkan tercapainya pH isoelektrik kasein, yaitu pada 4,6, yang mengakibatkan

protein terkoagulasi. Penggumpalan akan sempurna bila semua muatan kasein

menjadi netral.

Agregasi kasein pada susu normal dicegah oleh adanya rambut-rambut pada

misel kasein, serta muatan negatif dari misel yang mencegah misel saling berdekatan.

Koagulasi enzimatis merupakan proses yang ditujukan untuk memecah ikatan

(21)

Koagulasi susu secara enzimatis terbagi kedalam tiga tahapan. Tahap pertama

merupakan tahap awal penggumpalan, sebanyak 80% molekul kasein terpecah untuk

mempercepat agregasi misel kasein. Tahap kedua merupakan tahap agregasi, misel

kasein memerangkap air untuk membentuk struktur tiga dimensi yang memicu

terbentuknya gel. Ion kalsium pada tahapan kedua saling berinteraksi dengan misel

kasein sehingga mempercepat pembentukan struktur gel dan mempercepat waktu

koagulasi susu. Tahapan ketiga, merupakan tahapan terakhir, yaitu pada tahapan ini

kasein telah selesai teragregasi dan membentuk struktur gel atau yang biasa dikenal

dengan nama curd (Hill, 2006). Koagulasi susu oleh khimosin sangat dipengaruhi

oleh pH dan proses tersebut sensitif pada perubahan pH, terutama pada selang

6,5-7,0 (Shalabi dan Fox, 1981).

Khimosin merupakan koagulan yang telah lama digunakan dalam industri

keju dan tampaknya merupakan enzim tertua yang dikenal dalam aplikasi pembuatan

keju. Sejarah menggambarkan bahwa khimosin didapat dengan mengekstraknya dari

abomasum ruminansia. Khimosin bekerja pada ikatan k-kasein, pecahnya ikatan

tersebut akan menyebabkan susu menggumpal (Johnson dan Law, 1999).

Khimosin bekerja pada sekuens asam amino mulai dari His 98 hingga Lys

111, kemudian memotong ikatan tersebut antara Phe 105 dan Met 106 pada rantai

molekul kappa-casein. Mekanisme pemotongan kappa kasein oleh enzim khimosin

dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pemotongan Rantai k-Kasein oleh Enzim Khimosin

(22)

Rennet bereaksi dengan k-kasein melalui tiga fase. Pada fase pertama enzim

ini memecah misel kasein. Pemecahan ini mengasilkan para-k-kasein dan

glikomakropeptida. Pada fase kedua atau fase penjendalan, misel kasein yang sudah

dipecah, dengan pengaruh ion kalsium, melakukan penggabungan dengan komponen

susu lain membentuk koagulan. Biasanya satu koagulan dapat dihasilkan dalam

waktu 30 menit-40 menit setelah penambahan renin (Kloosterman, 1991). Fase

ketiga dari aktivitas rennet dimulai jika curd sudah terbentuk dan fase ini berkaitan

dengan proteolisis alfa dan beta kasein. Pada fase ini sekitar 6% rennin yang

ditambahkan akan tetap terdapat di dalam curd (Widodo, 2003).

Curd yang baik bersifat lembut, dikarenakan minimnya interaksi antara

komponen kasein. Kekompakan curd, menurut Marshall et al. (1981) diukur

menggunakan viskometer dan pressure transmission system (PTS). Viskometer

mengukur viskositas curd, sedangkan PTS mengukur rigiditas curd melalui

kemampuannya dalam mentransmisikan gelombang tekanan. Penggumpalan susu

dengan khimosin (rennin) akan menghasilkan curd yang bersifat elastis, lembut,

homogen dan dapat diiris tanpa serabut. Penggumpalan susu menggunakan asam

saja (misal, asam laktat), akan menghasilkan curd yang rapuh dan mudah patah

(23)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi Departemen

Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor pada tahun akademik 2004/2005 selama 5 bulan, di mulai dari bulan Juni

sampai Oktober 2005.

Materi

Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian ini meliputi abomasum dari

domba lokal umur dewasa muda (6-12 bulan). Sampel diperoleh dengan membeli

abomasum dari tempat pemotongan hewan di Ciampea. Pengambilan sampel

abomasum dilakukan segera setelah hewan dipotong, kemudian dibersihkan dengan

garam fisiologis 0,9% dan disimpan dalam kondisi dingin untuk mempertahankan

aktivitas enzim tetap tinggi. Susu sapi segar yang digunakan sebagai bahan baku

pembuatan curd (uji koagulasi) berasal dari Bagian IPT Perah Fakultas Peternakan

dan Rumah Sakit Hewan IPB. Bahan-bahan kimia yang digunakan selama penelitian

adalah NaCl fisiologis, aquadestilata, CH3COOH (asam asetat) 10%, alkohol 70%,

NaOH 1N, spiritus dan teepol.

Peralatan yang diperlukan untuk pengambilan sampel abomasum adalah

skalpel, pinset, termos, plastik PE. Peralatan lainnya yang digunakan untuk

penanganan sampel hingga tahap ekstraksi meliputi cawan Petri, Bunsen, pipet

volumetrik (1ml, 2,5ml, 5ml, dan 10ml), pinset, skalpel, styrofoam, baki, gelas ukur

(125ml, 500ml, 1000ml, dan 10 ml), gelas piala (125 ml), labu Erlenmeyer 100ml,

tabung sentrifuge, tabung supernatan, tabung reaksi 20ml, magnetic stirrer,

sentrifuge, oven, autoklaf, stopwatch, kompor, panci, pengaduk, termometer, dan

(24)

Rancangan

Model

Penelitian ini menggunakan dua rancangan percobaan dengan tiga kali

ulangan. Perlakuan yang diberikan ialah perbedaan jaringan asal rennet, perbedaan

konsentrasi ekstrak rennet, serta perbedaan bentuk ekstrak rennet. Faktor yang

diamati ialah respon waktu koagulasi susu sebagai pengaruh penambahan ekstrak

rennet kasar dari berbagai bagian abomasum domba lokal umur dewasa muda.

Kelompok perlakuan pertama menggunakan rancangan acak lengkap

faktorial. Perlakuan yang diberikan meliputi pemberian ekstrak rennet dalam bentuk

pelet yang berasal dari jaringan fundus dan pilorus, masing-masing dengan

konsentrasi 1%, 2%, dan 3%.. Apabila analisa sidik ragam menunjukkan interaksi

yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Least Squares Means (LSM) dan

apabila interaksi tidak berbeda nyata sedangkan masing-masing faktor perlakuan

menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Jarak

Berganda Duncan. Model matematika rancangan percobaan yang digunakan

mengacu pada Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut :

Y

ijk

=

μ

+

α

i

+

β

j

+(

αβ

)

ij

+

ε

ijk

Keterangan :

Yijk = Respon yang didapat (waktu koagulasi) dari pengaruh perlakuan taraf ke-i

dan taraf ke-j serta ulangan ke-k

μ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan pertama taraf ke-i

βj = Pengaruh perlakuan kedua taraf ke-j

(

αβ

)

ij

= Pengaruh interaksi dari pengaruh perlakuan pertama taraf ke-i dan

perlakuan kedua taraf ke-j

εijk = Galat percobaan untuk taraf ke-i, taraf ke-j dan ulangan ke-k i = Asal jaringan (fundus dan pilorus)

j = Konsentrasi (1%, 2%, dan 3%)

(25)

Kelompok perlakuan kedua dan ketiga menggunakan rancangan acak lengkap

searah. Kelompok perlakuan kedua meliputi pemberian ekstrak rennet kasar dalam

bentuk supernatan fundus dengan konsentrasi 1,5%, 2%, dan 2,5%. Kelompok

perlakuan ketiga meliputi pemberian ekstrak rennet kasar dalam bentuk supernatan

pilorus dengan konsentrasi 3%, 4%, dan 5%. Apabila analisa sidik ragam

menunjukkan respon yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut

menggunakan uji Jarak Berganda Duncan. Model matematika rancangan percobaan

yang digunakan mengacu pada Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut :

Y

ijk

=

μ

+

α

i

+

β

j

+(

αβ

)

ij

+

ε

ijk

Keterangan :

Yijk = Respon yang didapat (waktu koagulasi) dari pengaruh perlakuan taraf ke-i

dan ulangan ke-j

μ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan pemberian konsentrasi ekstrak rennet taraf ke-i

βj = Pengaruh ulangan taraf ke-j

εijk = Galat percobaan untuk taraf ke-i dan ulangan ke-j

i = Konsentrasi (1%, 2%, dan 3%)

j = Ulangan 1, 2, dan 3

Peubah

Peubah yang diamati selama penelitian ini ialah waktu koagulasi susu, yaitu

waktu yang diperlukan oleh rennet dalam menggumpalkan susu. Waktu koagulasi

susu ditentukan segera setelah terjadi penggumpalan hingga curd telah menggumpal

(26)

Prosedur

Penelitian ini terbagi ke dalam dua tahapan utama, yaitu penelitian

pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan

ekstrak mukosa abomasum dan penentuan konsentrasi ekstrak rennet kasar yang

dapat digunakan untuk mengkoagulasikan susu. Penelitian utama bertujuan untuk

menentukan konsentrasi terbaik ekstrak rennet kasar dalam menggumpalkan susu.

Pembuatan Ekstrak dan Pengujian Aktivitas

Metode yang digunakan untuk membuat ekstrak rennet kasar adalah dengan

cara pengaktifan enzim menggunakan asam asetat 10%. Mukosa abomasum dari

daerah fundus dan pilorus masing-masing dipisahkan dari lapisan dinding lambung

dengan cara dikelupas, lalu dicincang halus menggunakan pisau steril untuk

kemudian ditimbang. Hasil cincangan mukosa dimasukkan kedalam gelas piala dan

diekstraksi menggunakan asam asetat 10% dengan perbandingan 100 gr mukosa :

200 ml asam asetat 10%. Ekstraksi dipercepat dengan mengaduk campuran selama

24 jam menggunakan pengaduk magnet (magnetic stirrer) pada suhu ruang.

Selanjutnya, dilakukan pemisahan endapan dari larutan hasil ekstraksi dengan cara

sentrifusi pada kecepatan 2750 putaran per menit selama 15 menit. Endapan

dipisahkan dari supernatan dengan cara memipet supernatan dan memindahkannya

ke gelas piala. Supernatan hasil ekstraksi dinetralkan dengan cara menambahkan

NaOH 1M sedikit demi sedikit hingga pH mencapai 5,4. Supernatan yang diperoleh

merupakan enzim aktif yang siap dipakai untuk uji aktivitas. Pelet yang terpisah dari

supernatan diencerkan dengan aquadestilata dengan perbandingan 1:1. Pengujian

aktivitas enzim dilakukan pada konsentrasi yang berbeda, dengan cara menambahkan

filtrat sebanyak konsentrasi yang diinginkan (ekstrak pelet fundus dan pilorus

diberikan sebanyak 1%, 2%, dan 3%, ekstrak supernatan fundus diberikan sebanyak

1,5%, 2%, dan 2,5%, serta ekstrak supernatan pilorus diberikan sebanyak 3%, 4%,

dan 5%) sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan ke dalam susu sapi pasteurisasi,

sehingga didapatkan total larutan sebanyak 100 ml. Pengadukan dilanjutkan perlahan

hingga tampak adanya gumpalan susu dengan jelas. Waktu koagulasi diukur dari saat

(27)

Penelitian Pendahuluan

Gambar 5. Alur Penelitian Pendahuluan Abomasum domba lokal

Dibersihkan dan dikelupas lapisan mukosanya

Penambahan asam asetat 10% dengan perbandingan 1:2

Pengadukan dengan magnetic stirrer selama 24 jam (±370C)

Sentifugasi pada 2750 rpm selama 15 menit

Supernatan Pelet

Netralisasi dengan NaOH 1 M hingga pH 5,4

Diencerkan dengan aquadestilata perbandingan

1:1

Dibagi ke dalam beberapa tingkat konsentrasi enzim.

(28)

Penelitian Utama

Gambar 6. Alur Penelitian Utama

Pengujian pada konsentrasi optimal dari penelitian pendahuluan (pelet fundus dan pilorus dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3%, supernatan fundus dengan konsentrasi 1,5%, 2%, dan 2,5%, kemudian supernatan pilorus

dengan konsentrasi 3%, 4%, dan 5%. Abomasum domba lokal

Dibersihkan dan dikerok lapisan mukosanya

Penambahan asam asetat 10% dengan perbandingan 1:2

Pengadukan dengan magnetic stirrer selama 24 jam (±370C)

Sentifugasi pada 2750 rpm selama 15 menit

Supernatan Pelet

Netralisasi dengan NaOH 1M hingga pH 5,4

Diencerkan dengan aquadestilata perbandingan

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Enzim khimosin (EC 3.4.23.4) atau dikenal dengan rennet merupakan enzim

protease yang diekstraksi dari abomasum ruminansia. Sifat khimosin yang paling

menonjol adalah kemampuannya untuk menggumpalkan susu. Sebagian besar enzim

protease telah diketahui mampu menggumpalkan susu, namun enzim khimosin

merupakan protease yang memiliki kemampuan paling tinggi dalam menggumpalkan

susu (Suhartono, 1991).

Ekstraksi Enzim Khimosin

Abomasum dijadikan sebagai bahan baku utama penghasil khimosin

didasarkan kepada fakta bahwa sel-sel penghasil enzim protease terdapat pada

mukosa abomasum. Junqueira et al. (1998), menegaskan bahwa sel utama pada

bagian fundus dominan menghasilkan enzim-enzim protease. Perbandingan berat

mukosa dari daerah fundus dan pilorus dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Berat dan Ukuran Rata-rata Daerah Kelenjar Fundus dan Pilorus Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda

Daerah kelenjar Berat daerah (g) Lebar mukosa (cm) Panjang mukosa (cm) Luasan

(cm2)

Berat pelet

(g)

Fundus 52,98 7,5 9,7 72,75 9,46

Pilorus 18,66 4,7 12,9 60,63 5,15

Daerah kelenjar fundus merupakan daerah yang lebih luas bila dibandingkan

dengan daerah kelenjar pilorus. Daerah kelenjar fundus mempunyai luasan rata-rata

sebesar 72,75 cm2, sedangkan daerah kelenjar pilorus memiliki kisaran luasan

sebesar 60,63 cm2. Daerah kelenjar fundus dengan luasan yang lebih besar

menghasilkan pelet seberat 9,46 gram, lebih banyak bila dibandingkan dengan

jumlah pelet yang berhasil diekstraksi dari daerah kelenjar pilorus, yaitu seberat 5,15

gram. Data pada Tabel 2 memberikan gambaran bahwa luasan daerah kedua kelenjar

(30)

Daerah kelenjar fundus (Gambar 12) memiliki ciri khas berupa daerah yang

tersusun oleh lipatan-lipatan mukosa. Lipatan-lipatan mukosa tersebut menyebabkan

berat daerah kelenjar fundus (52,98 gram) lebih dari dua kali lipat daripada berat

kelenjar pilorus yang hanya seberat 18,66 gram. Lipatan-lipatan mukosa tersebut

juga menyebabkan luas permukaan daerah kelenjar fundus menjadi lebih besar bila

dibandingkan dengan luasan mukosa rata-ratanya. Daerah kardia tidak diekstraksi

karena belum dapat teridentifikasi pada saat penelitian oleh karena penampang

luasan daerah kelenjar kardia terlampau sempit untuk dapat diidentifikasi dan

[image:30.612.152.475.271.487.2]

diekstraksi.

Gambar 7. Hasil Kelupasan Mukosa (A) Fundus dan (B) Pilorus serta Pelet Hasil Sentrifugasi Mukosa Fundus (C) dan Pelet Hasil Sentrifugasi Mukosa Pilorus (D)

Sel utama pada daerah kelenjar fundus mensekresikan pepsin dan khimosin,

sedangkan sel-sel pada kelenjar pilorus dominan mensekresikan mukus disertai

sedikit enzim protease (Junqueira et al., 1998). Warna mukosa fundus lebih gelap

daripada mukosa pilorus, seperti ditampilkan pada Gambar 7 A, karena sel-sel pada

mukosa fundus yang menghasilkan protease bertugas untuk mencerna makanan,

sedangkan sebagian besar sel kelenjar pilorus bekerja mensintesis mukus.

Lipatan-lipatan mukosa ikut menjadikan mukosa fundus lebih gelap sebagai dampak

pencernaan makanan.

(31)

Khimosin merupakan enzim intraseluler yang bekerja secara ekstraseluler,

oleh karena itu diperlukan metode ekstraksi yang lebih rumit untuk dapat

mengekstrak enzim tersebut (Sadikin, 2002). Mukosa abomasum dicacah dengan

tujuan untuk merusak dinding sel mukosa, sehingga sebagian sel penghasil enzim

protease akan rusak dan membebaskan enzim yang diinginkan. Penggunaan garam

fisiologis sebelum jaringan diekstraksi bertujuan untuk mengawetkan jaringan agar

tidak rusak. Komposisi garam fisiologis terdiri atas ion-ion yang hampir serupa

dengan kondisi isotonis jaringan, sehingga penggunaan garam fisiologis sebagai

pengawet jaringan sebelum ekstraksi tidak berpengaruh terhadap hasil akhir

ekstraksi.

Khimosin memiliki pH stabil antara 5,3-6,3, oleh karena itu khimosin akan

teraktivasi pada pH rendah (Ernstrom, 1974). Asam asetat merupakan asam lemah

yang berfungsi untuk mengaktivasi enzim khimosin. Enzim khimosin yang telah

teraktivasi dipisahkan dari sel melalui sentrifugasi. Sel secara teoritis memiliki massa

yang lebih berat daripada massa enzim sehingga enzim akan terpisah dan terdapat

didalam supernatan, sedangkan sel akan mengendap dalam bentuk pelet.

Penambahan basa seperti NaOH bertujuan untuk menetralisasi kondisi

keasaman larutan ke dalam kondisi keasaman optimal khimosin (5,3-6,3) sebelum

dilakukan uji kemampuan aktivitas mengkoagulasikan susu. Meskipun khimosin

aktif pada pH rendah, namun aktivitasnya akan menurun apabila terus berada pada

pH rendah. Penambahan NaOH juga ditujukan untuk mencegah penggumpalan susu

yang diakibatkan oleh asam, oleh karena itu terlebih dahulu supernatan dinetralkan.

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Enzim terhadap Waktu Koagulasi Susu

Konsentrasi khimosin yang ditambahkan ke dalam susu secara natural akan

meningkatkan kecepatan koagulasi susu. Koagulasi susu akibat agregasi kasein

hanya dapat berlangsung apabila sebagian besar k-kasein telah terpecah, sehingga

misel kasein dapat membentuk struktur yang iregular, yang pada akhirnya akan

membentuk struktur teratur berupa gel. Kepadatan gel akan segera terbentuk apabila

kontak antara setiap molekul misel kasein semakin meningkat. Pengaruh konsentrasi

ekstrak khimosin yang ditambahkan pada susu dalam bentuk pelet terhadap waktu

(32)
[image:32.612.114.515.113.271.2]

Tabel 3. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi Pelet yang Diberikan

Perlakuan Awal koagulasi Waktu koagulasi

---(detik)---

Pelet Fundus 1% 56,33±7,57 683,3±166,5b

Pelet Fundus 2% 38,33±3,51 217,0±53,4b

Pelet Fundus 3% 42,67±5,03 87,0±21,8c

Pelet Pilorus 1% 45,67±6,66 1199,7±625,6a

Pelet Pilorus 2% 58,33±25,66 657,0±72,7b

Pelet Pilorus 3% 44,00±12,49 409,7±55,1b

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi ekstrak

rennet yang berbeda-beda dengan asal jaringan tidak berpengaruh nyata terhadap

awal koagulasi dan juga waktu koagulasi susu. Faktor perlakuan memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu koagulasi susu (P<0,05), namun

perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap awal koagulasi susu. Waktu

koagulasi tercepat adalah 87,0 detik yang ditunjukkan oleh ekstrak rennet pelet

fundus dan 409,7 detik untuk ekstrak rennet pelet pilorus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rennet yang berasal dari daerah

fundus memiliki kemampuan paling baik dalam mengkoagulasikan susu.

Berdasarkan Andren et al. (1982) jaringan fundus diketahui menghasilkan enzim

khimosin yang memiliki sifat khas yaitu hanya mengkatalisa hidrolisis kappa kasein,

sehingga mengakibatkan koagulasi susu yang spesifik.

Waktu koagulasi susu memiliki hubungan yang erat dengan konsentrasi

enzim protease yang ditambahkan. Waktu koagulasi susu dihitung sejak pertama kali

khimosin ditambahkan pada susu, sejak saat itu laju koagulasi akan berlangsung

semakin cepat. Koagulasi sempurna ditandai dengan meningkatnya viskositas susu.

Koagulasi susu terjadi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama merupakan

tahap awal penggumpalan susu. Berdasarkan Tabel 3, terjadi peningkatan proses

agregasi misel kasein searah dengan peningkatan konsentrasi enzim. Peningkatan

tersebut berdasarkan analisa sidik ragam awal koagulasi yang menunjukkan

(33)

Tahapan kedua hingga tahapan akhir koagulasi susu merupakan tahapan

agregasi misel kasein hingga proses agregasi telah berjalan sempurna. Respon waktu

akhir koagulasi pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa penambahan enzim khimosin

memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Konsentrasi ion kalsium

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan koagulasi susu, karena

ion kalsium akan berikatan dengan struktur molekul misel kasein yang terpecah

(Widodo, 2003).

Aktifitas enzimatis yang semakin meningkat sebagai dampak kinerja enzim

khimosin didukung oleh adanya ikatan ion kalsium susu dengan misel kasein yang

telah pecah. Ion kalsium memiliki peranan untuk meningkatkan sifat hidrofobik

misel kasein, sehingga k-kasein yang telah terpecah oleh enzim khimosin semakin

cepat beragregasi dengan molekul kasein lainnya membentuk struktur gel sempurna.

Ketersediaan ion kalsium di dalam susu mempercepat proses agregasi tersebut,

dikarenakan ion kalsium dapat berikatan dengan misel kasein pada bagian interior

misel. Pendapat ini didukung oleh Lucey et al. (2003) yang menyatakan bahwa misel

kasein memiliki beberapa situs tempat ion kalsium dapat berikatan, oleh karena itu

apabila dilakukan penambahan ion kalsium pada susu untuk mempercepat koagulasi

ion kalsium yang ditambahkan masih dapat berikatan dengan misel kasein tanpa

adanya kejenuhan ion kalsium dalam larutan.

Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap respon waktu akhir kogulasi pada Tabel

3, pengaruh nyata antar perlakuan ditunjukkan oleh pemberian ekstrak pelet pilorus

dengan konsentrasi 2%, sedangkan pemberian pelet fundus tidak memberikan respon

berbeda nyata antar perlakuan. Pengaruh beda nyata berhubungan dengan kejenuhan

ikatan enzim substrat pada media. Sadikin (2002), berpendapat kejenuhan terjadi

akibat molekul enzim khimosin telah seluruhnya berikatan dengan substrat.

Peningkatan konsentrasi pelet pilorus yang diberikan tidak mengakibatkan

kejenuhan pada medium dikarenakan persentase enzim khimosin yang terkandung

dalam ekstrak pelet pilorus lebih rendah, sehingga sebagian besar substrat belum

berikatan dengan enzim khimosin. Peningkatan konsentrasi ekstrak pelet pilorus

masih dimungkinkan untuk meningkatkan kecepatan koagulasi, meskipun

peningkatan konsentrasi hingga pada taraf 3% memberikan pengaruh yang tidak

(34)

Waktu koagulasi yang diukur dengan melakukan pengurangan waktu akhir

koagulasi terhadap waktu awal koagulasi menunjukkan adanya perbedaan sangat

nyata akibat adanya pengaruh perlakuan (P<0,01). Respon yang didapatkan pada

Tabel 3 berupa waktu mulai koagulasi dan waktu selesai koagulasi menunjukkan

bahwa penambahan konsentrasi enzim khimosin berpengaruh nyata terhadap waktu

koagulasi susu sebagai respon terhadap kinerja enzim khimosin. Peningkatan

konsentrasi enzim khimosin yang ditambahkan mempercepat waktu koagulasi awal

susu, yaitu selisih waktu antara enzim khimosin pertama kali ditambahkan hingga

koagulasi pertama terdeteksi. Koagulasi awal yang dipercepat akibat peningkatan

konsentrasi enzim khimosin, memicu peningkatan kecepatan koagulasi pada tahapan

selanjutnya, sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa tahapan tersebut ikut

dipengaruhi oleh ketersediaan ion kalsium dalam susu.

Hasil uji lanjut terhadap waktu koagulasi pada Tabel 3 menunjukkan hasil

yang tidak jauh berbeda dengan hasil uji lanjut untuk respon waktu selesainya

koagulasi susu. Berdasarkan hasil uji lanjut, diperjelas bahwa konsentrasi optimal

penambahan enzim khimosin yang berasal dari daerah fundus ke dalam susu ialah

sebesar 2%. Peningkatan konsentrasi diatas 2% akan menurunkan waktu koagulasi,

serta penurunannya memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap waktu

koagulasi susu. Peningkatan konsentrasi pemberian ekstrak enzim khimosin yang

diekstraksi dari daerah pilorus menunjukkan adanya perbedaan nyata antar

perlakuan. Peningkatan konsentrasi diatas 2% akan memberikan pengaruh tidak

berbeda nyata antar perlakuan, namun tidak sampai meningkatkan waktu koagulasi,

dikarenakan konsentrasi enzim khimosin dalam ekstrak pilorus lebih rendah daripada

ekstrak fundus, sehingga kejenuhan belum terjadi pada tingkat konsentrasi yang

sama.

Penambahan konsentrasi enzim khimosin dalam bentuk supernatan

memberikan pengaruh terhadap waktu koagulasi susu, pengaruh tersebut terlihat

pada kedua sumber ekstrak, baik ekstrak fundus maupun supernatan yang diekstraksi

dari daerah kelenjar pilorus. Pengaruh peningkatan konsentrasi enzim khimosin

terhadap waktu koagulasi susu dalam bentuk supernatan dari daerah fundus yang

ditambahkan ke dalam susu dapat dilihat pada Tabel 4. Konsentrasi supernatan yang

diekstraksi dari daerah kelenjar pilorus diberikan pada tingkat konsentrasi yang lebih

(35)

konsentrasi yang sama dengan konsentrasi supernatan fundus belum menunjukkan

adanya respon koagulasi. Respon koagulasi akibat penambahan ekstrak khimosin

[image:35.612.116.513.185.274.2]

dari daerah pilorus disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi Supernatan Fundus yang Diberikan

Perlakuan Awal koagulasi Akhir koagulasi Waktu koagulasi

--- (detik) ---

Supernatan Fundus 1,5% 124,8±5,63 602,6±361,7 477,8±346,9

Supernatan Fundus 2% 83,2±23,76 400,8±257,0 318,6±253,5

Supernatan Fundus 2,5% 64,8±12,11 286,6±147,6 211,2±141,8

Tabel 5. Waktu Koagulasi Susu sebagai Respon Perbedaan Konsentrasi Supernatan Pilorus yang Diberikan

Perlakuan Awal koagulasi Akhir koagulasi Waktu koagulasi

--- (detik) ---

Supernatan Pilorus 3% 272,4±198,2 920,6±454,4 648,2±357,6

Supernatan Pilorus 4% 214,0±136,7 735,2±405,9 521,2±281,5

Supernatan Pilorus 5% 179,8±134,4 500,2±250,0 320,4±164,6

Pengaruh peningkatan konsentrasi lebih terlihat pada ekstrak dalam bentuk

pelet. Berdasarkan Tabel 4, pemberian enzim khimosin dalam bentuk supernatan

fundus memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu awal koagulasi

(P<0,05), namun menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata terhadap waktu

akhir koagulasi serta waktu koagulasi susu. Penambahan ekstrak supernatan pilorus

(Tabel 5) memberikan efek yang tidak berbeda nyata untuk ketiga respon waktu.

Respon beda nyata terhadap waktu awal koagulasi dipengaruhi oleh

konsentrasi enzim khimosin di dalam supernatan fundus. Enzim khimosin yang

tidak tersentrifusi dengan sempurna, sebagian kecil darinya akan mengendap pada

pelet, kemudian sisa enzim khimosin yang tidak mengendap akan terlarut di dalam

supernatan. Konsentrasi ekstrak khimosin di dalam supernatan pilorus berada pada

tingkat yang lebih rendah daripada tingkat konsentrasi supernatan fundus, sehingga

memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Berbeda dengan susu yang diberi

[image:35.612.115.513.330.419.2]
(36)

konsentrasi 2% belum menunjukkan kejenuhan dan peningkatan waktu koagulasi

akibat konsentrasi khimosin yang lebih rendah daripada pelet.

Pemecahan sel dan separasi molekul merupakan kunci dari proses ekstraksi,

apabila pemecahan sel tidak sempurna, maka sebagian dari enzim masih terdapat

pada padatan sel. Suhartono (1991) menyatakan, supernatan merupakan fraksi cairan

sisa organel sel, yang telah dipecah dan diduga mengandung sebagian besar dari

enzim khimosin yang telah diekstraksi. Fraksi pelet merupakan bentuk padatan sisa

organel sel yang telah dipecah dan diduga masih mengandung sebagian kecil enzim

terekstraksi. fundus pelet w a k tu k o a g u la s i 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 S 260,399 R-Sq 20,2% R-Sq(adj) 14,1%

Fitted Line Plot

waktu koagulasi = 628,9 - 149,5 fundus pelet

[image:36.612.144.484.268.492.2]
(37)

fundus supernat an w a k tu k o a g u la s i 2,50 2,25 2,00 1,75 1,50 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 S 251,340 R-Sq 17,8% R-Sq(adj) 11,5%

Fitted Line Plot

waktu koagulasi = 869,1 - 266,6 fundus supernatan

Gambar 9. Plot Hubungan Regresi Antara Waktu Koagulasi Susu-Supernatan Fundus pilorus pelet w a k tu k o a g u la s i 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 2000 1500 1000 500 0 S 382,470 R-Sq 23,6% R-Sq(adj) 17,7%

Fitted Line Plot

[image:37.612.155.472.79.284.2]

waktu koagulasi = 1099 - 242,5 pilorus pelet

[image:37.612.158.471.356.558.2]
(38)

pilorus supernat an w a k tu k o a g u la s i 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 1000 800 600 400 200 0 S 269,140 R-Sq 22,2% R-Sq(adj) 16,2%

Fitted Line Plot

[image:38.612.162.472.90.299.2]

waktu koagulasi = 1152 - 163,9 pilorus supernatan

Gambar 11. Plot Hubungan Regresi Antara Waktu Koagulasi Susu-Supernatan Pilorus

Berdasarkan hasil regresi pada Gambar 8-11 yang menyatakan hubungan

antara respon waktu koagulasi susu terhadap penambahan konsentrasi enzim (Tabel

3, Tabel 4 dan Tabel 5) dapat ditegaskan bahwa kandungan enzim khimosin lebih

banyak terdapat pada ekstrak dalam bentuk pelet, meskipun secara teoritis enzim

khimosin akan terdapat dalam supernatan setelah proses ekstraksi. Kemiringan

pada grafik menunjukkan bahwa pada asal daerah yang sama slope kemiringan pelet

lebih curam daripada slope kemiringan supernatan. Slope kemiringan yang lebih

curam menggambarkan pengaruh ekstrak yang diberikan dalam bentuk pelet

terhadap waktu koagulasi susu lebih tinggi daripada pengaruh ekstrak yang diberikan

dalam bentuk supernatan.

Enzim intraseluler membutuhkan ekstraksi yang kompleks karena lokasinya

terletak di dalam sel. Enzim hanya dapat dikeluarkan dari dalam sel apabila terlebih

dahulu dinding sel yang mengandung enzim dipecah, oleh karena itu dibutuhkan

pencacahan dan sentrifugasi dengan kecepatan tinggi (sentrifugasi dengan kecepatan

diatas 3000 rpm) untuk dapat mengekstraksi enzim dari selnya (Naz, 2002).

Kecepatan sentrifugasi serta kesempurnaan proses pemecahan berpengaruh terhadap

kandungan enzim khimosin yang terdapat pada ekstrak. Pemecahan dinding sel yang

tidak sempurna akan mengganggu keluarnya enzim dari dalam organel sel, serta akan

(39)

Enzim dipisahkan berdasarkan bobot molekulnya, karena enzim memiliki

bobot yang lebih ringan daripada sel penghasilnya, oleh karena itu setelah

sentrifugasi enzim akan terlarut pada supernatan, sedangkan organel sel akan

mengendap dalam bentuk pelet, namun apabila kecepatan sentrifugasi yang

digunakan rendah terdapat kemungkinan sebagian enzim tidak tersentrifugasi dengan

sempurna karena enzim tidak sepenuhnya terpisah dari padatan sel yang rusak,

sehingga enzim akan kembali mengendap bersama pelet.

Pengaruh Perbedaan Jaringan terhadap Aktivitas Koagulasi Susu

Abomasum merupakan organ pencernaan ruminansia yang dijadikan sebagai

sumber penghasil enzim. Abomasum terbagi kedalam tiga daerah kelenjar, yaitu

fundus, pilorus dan kardia, adapun pembagian daerah kelenjar abomasums dapat

dilihat pada gambar 12, sedangkan tampilan mikroskopis mukosa abomasum dapat

dilihat pada Gambar 13. Daerah kelenjar fundus merupakan daerah paling luas yang

ditandai dengan adanya lipatan-lipatan mukosa. Daerah kelenjar fundus merupakan

penghasil utama enzim-enzim pencernaan. Daerah kelenjar pilorus dicirikan oleh

adanya penebalan dinding kelenjar dan lapisan mukosanya tidak lagi membentuk

lipatan-lipatan, sebagian besar produksi daerah kelenjar pilorus ialah mucus.

[image:39.612.137.490.433.643.2]

Gambar 12. Abomasum Domba Lokal Umur Dewasa Muda (F : Fundus, P : pilorus)

(40)

A

[image:40.612.185.441.74.493.2]

B

Gambar 13. Struktur Umum Kelenjar Fundus (A) dan Pilorus (B)

Abomasum Domba Menggunakan Pewarnaan HE

Kelenjar fundus domba lokal umur dewasa muda secara mikroskopis disusun

atas sel-sel parietal, sel-sel utama, dan sel-sel penghasil mukus yang tersebar mulai

dari daerah leher hingga mencapai daerah permukaan. Sel utama berbentuk tidak

beraturan dan terdistribusi terutama pada bagian basal kelenjar, sedangkan sel

parietal berbentuk bulat atau piramid, dengan inti ditengah, dan terdistribusi mulai

dari bagian basal hingga leher kelenjar. Kelenjar pilorus secara mikroskopis dicirikan

oleh bentuknya yang berupa kelenjar tubular dan hanya disusun atas sel-sel penghasil

(41)

Enzim khimosin terutama dihasilkan oleh kelenjar fundus abomasum

ruminansia, oleh karena itu ekstrak enzim khimosin yang diekstraksi dari daerah

kelenjar fundus dapat menggumpalkan susu lebih cepat dibandingkan dengan ekstrak

yang diambil dari daerah kelenjar pilorus. Ekstrak yang diambil dari daerah kelenjar

fundus bila dibandingkan dengan ekstrak yang berasal dari daerah kelenjar pilorus,

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu koagulasi susu. Hasil

tersebut didasarkan dari data respon waktu koagulasi susu. Hubungan antara variabel

waktu koagulasi susu dengan asal daerah kelenjar penghasil enzim dapat diplotkan

ke dalam grafik sebagaimana ditunjukkan oleh plot data Tabel 3, 4, dan 5 yang dapat

dilihat pada gambar 14 dan 15. Plot data pada grafik dapat digunakan untuk

memberikan gambaran kecenderungan aktifitas enzimatis dari masing-masing

ekstrak pada berbagai tingkat konsentrasi.

Hubungan Konsentrasi Ekstrak Enzim Khimosin Asal Fundus dengan Waktu Koagulasi

0

200

400

600

800

1000

0

1

2

3

4

Konsentrasi Enzim

W

a

k

tu K

o

agu

lasi

Su

su

pelet supernatan

[image:41.612.142.492.375.595.2]

A

(42)

Hubungan Konsentrasi Ekstrak Khimosin

Pilorus dengan Waktu Koagulasi Susu

0

500

1000

1500

2000

0

2

4

6

Konsentrasi Ekstrak

Wakt

u

K

o

ag

u

lasi

S

u

su

pelet

supernatan

[image:42.612.132.495.95.355.2]

B

Gambar 15. Hubungan Konsentrasi Ekstrak Enzim Khimosin Asal Daerah Kelenjar Pilorus terhadap Waktu Koagulasi Susu

Aktifitas enzimatis koagulasi susu pada tingkat konsentrasi yang sama

menunjukkan nilai yang lebih tinggi, seperti ditunjukkan oleh plot data pada Gambar

14 dan 15, pada tingkatan konsentrasi ekstrak yang sama, ekstrak yang berasal dari

daerah kelenjar fundus memberikan aktifitas yang lebih tinggi, artinya daerah

kelenjar fundus menghasilkan enzim khimosin dalam jumlah yang lebih besar bila

dibandingkan dengan produksi enzim khimosin dari daerah kelenjar pilorus. Hal ini

didukung oleh pendapat Banks (1986), yang menyatakan bahwa sel utama kelenjar

fundus menghasilkan pro-khimosin dan pepsinogen yang nantinya akan diubah

menjadi khimosin dan pepsin oleh HCl dari sel parietal. Ditambahkan pula oleh

Andren et al. (1991) bahwa enzim khimosin ditemukan pada hewan muda dan

memiliki karakteristik yang khas dalam menghidrolisis k-kasein. Sel penghasil enzim

khimosin tidak hanya ditemukan pada sel-sel utama, tetapi juga pada sel-sel leher

(43)

Kelenjar pilorus yang tersusun oleh sel-sel penghasil mukus masih dapat

menghasilkan ekstrak yang dapat mengkoagulasikan susu, walaupun aktifitasnya

sangat rendah. Sekreta utama kelenjar pilorus adalah mukus yang berfungsi untuk

menetralkan keasaman makanan sebelum makanan masuk kedalam lambung, tetapi

sebagian kecil sel masih memproduksi enzim protease, oleh karena itu ekstrak pelet

yang didapatkan dari daerah pilorus masih mungkin memiliki kandungan protease.

Gambar 16 menampilkan bentuk curd sebagai hasil koagulasi susu akibat kinerja

protease dalam ekstrak yang didapatkan dari kedua daerah kelenjar.

Gambar 16. Curd Hasil Kinerja Enzim Protease yang Berasal dari Ekstrak Daerah Kelenjar Fundus (A), dan Daerah Kelenjar Pilorus (B)

Curd yang dihasilkan dengan penambahan ekstrak yang diperoleh dari daerah

kelenjar fundus menunjukkan tekstur yang lebih kompak bila dibandingkan dengan

curd yang dikoagulasikan menggunakan ekstrak yang berasal dari daerah kelenjar

pilorus. Enzim khimosin memiliki ciri khas menghasilkan curd yang bersifat elastis,

lembut, homogen dan kompak sehingga dapat diiris tanpa serabut, dikarenakan

enzim khimosin memutus rantai peptida pada ikatan yang spesifik.

Domba umur dewasa muda sudah mulai untuk mengkonsumsi rerumputan,

hal ini dapat dilihat dari warna lapisan mukosa abomasum yang berwarna

kekuningan pada Gambar 12. Konsumsi rerumputan oleh domba akan berpengaruh

pada konsentrasi enzim khimosin yang dihasilkan oleh saluran pencernaan. Proporsi

[image:43.612.122.503.244.469.2]
(44)

konsentrasi enzim khimosin dengan pepsin yang diproduksi berbanding terbalik

dengan usianya, sehingga jumlah enzim pepsin akan semakin bertambah seiring

dengan kedewasaan umur domba.

Ekstrak enzim pepsin biasanya digunakan untuk memproduksi keju segar

(Spreer, 1998). Enzim hasil ekstraksi merupakan ekstrak kasar sehingga

kemungkinan masih bercampur dengan pepsin. Enzim pepsin yang diekstraksi dari

hewan dewasa memberikan efek koagulasi yang lebih lemah dan proteolisis yang

nonspesifik. Proteolisis nonspesifik merupakan pemutusan rantai peptida tertentu

pada kasein di luar yang terjadi pada koagulasi normal dan terkadang menimbulkan

rasa pahit yang tidak diharapkan. Menurut Kilara dan Iya (1984), pepsin merupakan

protease yang umum digunakan sebagai pengganti khimosin, namun penggunaan

optimalnya dinilai paling baik apabila digabungkan dengan khimosin dengan

perbandingan 1:1. Law dan Wigmore (1981), menyatakan bahwa sebagian besar

protease memiliki aktivitas proteolitik yang lebih tinggi daripada khimosin,

seringkali pemanfaatan protease selain khimosin dalam pembuatan keju

menghasilkan sensori yang lebih pahit karena adanya produk sampingan berupa NH3

sebagai hasil sampingan aktifitas proteolitik yang berlebihan. Disamping lebih pahit

penggunaan protese selain khimosin memberikan tekstur yang lembek dan kurang

kompak dikarenakan pemutusan rantai peptida pada misel kasein yang tidak bersifat

spesifik.

Hasil yang berbeda nyata akibat pengaruh perlakuan mengindikasikan bahwa,

abomasum domba lokal umur dewasa muda masih berpotensi untuk memproduksi

enzim khimosin. Curd hasil koagulasi enzim khimosin memberikan tekstur yang

kompak dan kokoh, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 17 A. Tekstur curd yang

kompak terjadi akibat aktivitas enzimatis khimosin yang meningkatkan komponen

nitrogen terlarut (misel kasein yang terpecah). Tahapan berikutnya terjadi agregasi

misel yang telah terubah secara enzimatis oleh khimosin sehingga terbentuk struktur

gel yang lebih kompak dan kenyal. Perlakuan terbaik berdasarkan hasil uji lanjut

Duncan didapat dari pelet fundus konsentrasi 2 % dengan waktu koagulasi 151,4

sekon, sedangkan untuk supernatan didapatkan dari ekstrak fundus dengan

(45)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Daerah kelenjar asal jaringan enzim serta konsentrasi enzim sangat

mempengaruhi aktivitas koagulasi susu. Semakin tinggi konsentrasi enzim maka

waktu koagulasi yang didapat akan lebih cepat. Hasil koagulasi terbaik didapatkan

dari ekstrak yang berasal dari jaringan fundus baik dalam bentuk pelet maupun

supernatan, yaitu pada konsentrasi 2,5 % untuk supernatan dan pada taraf 2% untuk

pelet. Sedangkan, ekstrak yang berasal dari daerah kelenjar pilorus masih dapat

digunakan sebagai penghasil enzim, meskipun respon koagulasi yang dihasilkan

kurang memuaskan. Berdasarkan hasil respon koagulasi maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa abomasum domba lokal umur dewasa muda masih berpotensi

untuk dijadikan sebagai penghasil rennet.

Saran

Penelitian lebih lanjut mengenai ekstraksi enzim rennet disarankan untuk

melakukan pengujian pada ekstrak yang telah melalui pemekatan dan purifikasi

sehingga hasil yang didapatkan tidak bias dengan adanya kemungkinan tercemar

oleh pepsin. Proses ekstraksi sebaiknya menggunakan sentrifuge dengan kecepatan

(46)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sumber pengetahuan

dan kebenaran yang mulia, tempat berasalnya segala nikmat dan bimbingan yang

tiada henti. Hanya dengan karunia dan kasih sayang-Nya, serta dengan

pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad

SAW, yang telah menyampaikan ajarannya dan semakin terus terbukti kebenarannya

dalam kehidupan yang modern ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan terutama kepada Dr. Ir. Rarah R. A.

Maheswari DEA. dan Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi., yang telah membimbing,

mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan penelitian hingga tahap akhir

penulisan skripsi ini. Kemudian ibunda yang tegar dan penuh kasih sayang serta

ayahanda yang senantiasa menurunkan kebijakan dalam bimbingannya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sriduresta, A. Gustrina, Fitri

I., Renitasari dan Devi M. atas motivasi serta dukungan doa yang tiada henti kepada

penulis. Kemudian, teman-teman THT angkatan 39 dan 40 terutama sahabat-sahabat

di lab IPT Perah (Joni S., Slamet M., Arie R., Ria W., Gria S., Panca, Susapta, Yudis,

Rizky, Dian, dll.) atas semangatnya, tim penelitian enzim (Shanti, Putut, dan Nur)

atas dukungan materi yang telah diberikan, serta pihak-pihak lain yang namanya

tidak dapat disebutkan satu persatu yang banyak memberikan kontribusi dalam

proses penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika

Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2006

Gambar

Gambar 1. Lambung Ruminansia Beserta Bagian-Bagiannya Sumber : Coleman, 2006.
Gambar 2.
Tabel 1.  Komposisi Kimia Susu
Gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian persoalan yang terdapat diatas, penulis ingin mencoba mengkaji lebih jauh tingkat pencemaran logam merkuri (Hg) yang terjadi pada perairan di daerah

Tidak hanya dilakukan lewat radio komersil, kini pesantren, kelompok-kelompok santri dan masyarakat juga menyuarakan dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin lewat radio komunitas

Kesimpulan, Pengaturan sanksi terhadap penyalahgunaan alat takar dan timbangan merupakan tindak pidana yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap konsumen dari

Penelitian ini mempunyai tujuan me- ngetahui perubahan susut berat, kadar air, densitas, tekstur, karbohidrat, warna dan aroma selama penyimpanan beras pecah kulit, beras

Bagi Dosen, Peneliti, dan Mahasiswa yang mengkaji mengenai perbankan atau lembaga keuangan syariah dapat menjadi suatu bahan referensi, sekaligus informasi mengenai

Pesan yang disampaikan terhadap kelompok sasaran ini paling tidak harus mencakup berbagai hal diantaranya; penejelasan yang menyeluruh tentang tujuan kebijakan,

Dari hasil yang diperoleh, dapat dibuat suatu grafik yang menghubungkan posisi dan intensitas cahaya yang dihasilkan.Pada grafik yang didapat, terdapat intensitas yang

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan pengujian teori dengan judul “Pengaruh citra merek, kualitas produk dan