i
PADA JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH (SMA/SMK)
DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG
KURUN WAKTU 2011-2014
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Geografi
Oleh
Siti Fatimah
3201411106
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia
Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Unnes pada:
Hari :
Tanggal :
Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II
Drs. Hariyanto, M.Si Drs. Sunarko, M.Pd
iii
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:
Hari : Senin
Tanggal : 13 Juli 2015
Penguji I Penguji II Penguji III
Dr.Eva Banowati, M.Si Drs.Sunarko, M.Pd Drs.Hariyanto, M.Si
NIP.196109291989012003 NIP.195207181980031003
Mengetahui: Dekan,
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil
karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian maupun
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 6 Juni
v
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu
telah selesai dari suatu urusan kerjakanlah dengan sunguh-sungguh urusan
yang lain, dan hanya kepada Tuhan-Mulah hendaknya kamu berharap
(Q.S. Al Insyirah:6-8)
PERSEMBAHAN
Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT atas
segala karunia-Nya skripsi ini ku persembahkan kepada:
Ayahanda Samudji & Ibunda Sukarsih yang selalu
memberi nasihat, doa, dan semangat.
Kakak-kakakku tersayang Djatmiko Noto, Suyanti,
Trimudjiono, Triyadi, Jannah Nur Khayati serta Adikku
tersayang Djasmine Mae Munnah, yang selalu
memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi.
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur senantiasa penulis menghaturkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga
penulisan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah
Pada Jenjang Pendidikan Menengah (SMA/SMK) Di Kecamatan Mijen Kota
Semarang Kurun Waktu 2011-2014” dapat terselesaikan.
Skripsi ini disusun sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana
Pendidikan Geografi (S1) di Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari
bahwa di dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Apik Budi Santoso, M.Si. Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang.
4. Drs. Hariyanto, M.Si dan Drs. Sunarko, M.Pd. Dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyusun skripsi ini.
5. Dr. Eva Banowati, M.Si. Dosen Penguji pertama yang telah memberikan
vii
7. Keluarga Geografi UNNES angkatan 2011 terimakasih atas dukungan dan
kerjasamanya.
8. Bapak Ibu dan keluargaku yang memberikan semangat, doa, dan kasih
sayangnya untukku.
9. Semua pihak yang telah membantu dan menyelenggarakan skripsi ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan oleh semua
pihak mendapat balasan dari Allah SWT, dan saya menyadari bahwa skripsi ini
kurang dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran sangat
saya harapkan demi peningkatan manfaat skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Semarang, 2015
viii
SARI
Fatimah, Siti. 2015. Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Pada Jenjang
Pendidikan Menengah (SMA/SMK) Di Kecamatan Mijen Kota Semarang Kurun Waktu 2011-2014. Skripsi. Jurusan Geografi FIS UNNES. Pembimbing Drs. Hariyanto, M.Si dan Drs. Sunarko, M.Pd. 137 Halaman.
Kata Kunci: Putus sekolah jenjang pendidikan menengah
Anak putus sekolah merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Di wilayah kecamatan Mijen, anak putus sekolah ditingkat SMA dan SMK jumlahnya paling tinggi di Kota Semarang, anak tersebut mengalami putus sekolah di lembaga pendidikan formal yaitu SMA Negeri 16 dan SMK Palapa. Fenomena putus sekolah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang perlu diungkap. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui bahwa kondisi sosial ekonomi orang tua, aksesbilitas wilayah dan motivasi anak sebagai faktor penyebab anak putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah di Kecamatan Mijen kurun waktu 2011-2014.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang mengalami putus sekolah di SMA Negeri 16 dan SMK Palapa kurun waktu 2011-2014 yang tersebar di Kecamatan Mijen, Gunungpati, Ngaliyan dan Boja (Kendal). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel minimal yaitu berjumlah 30 anggota sampel. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif persentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi sosial yaitu mayoritas tingkat pendidikan ayah yaitu sebesar 67% dan ibu sebesar 70% hanya sampai tingkat sekolah dasar tidak menjadi faktor penyebab anak putus sekolah, seluruh orang tua mengerti bahwa pendidikan untuk anak itu penting. Pendapatan bersih orang tua diketahui sebagai indikator yang paling menunjang dalam pendidikan, rata-rata pendapatan bersih orang tua adah Rp.475.900/Bulan. Tidak ada alasan putus sekolah karena masalah biaya, bagi orang tua yang memiliki pendapatan bersih rendah, biaya pendidikan anak selalu diusahakan oleh orang tua. (2) aksesbilitas tidak menjadi faktor penyebab anak putus sekolah, mayoritas responden ketika dulu masih bersekolah sebesar 74% menggunakan sepeda motor, secara keseluruhan fasilitas jalan beraspal dan mayoritas jarak tempuh dari rumah ke sekolah >7km sebesar 60% hal ini menunjukkan bahwa jarak dari tempat tinggal ke sekolah tinggi aksesnya, karena terdapat alat transportasi yang menghubungkannya. (3) motivasi intrinsik dan ekstrinsik anak sebagai faktor penyebab anak putus sekolah, sebesar 77% memiliki motivasi intrinsik yang termasuk dalam kriteria rendah, sebesar 83% memiliki motivasi ekstrinsik yang termasuk dalam kriteria sedang.
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vi
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Batasan Istilah ... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kondisi Sosial Ekonomi ... 13
2.1.1 Kondisi Sosial ... 14
2.1.2 Kondisi Ekonomi ... 17
2.2 Aksesbilitas Wilayah ... 24
2.3 Motivasi Anak ... 28
2.4 Anak Putus Sekolah ... 33
2.5 Perbedaan SMA dan SMK ... 35
2.6 Penelitian Terdahulu ... 36
2.7 Kerangka Alur Penelitian ... 39
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Populasi Penelitian ... 42
3.2 Sampel Penelitian ... 42
3.3 Variabel Penelitian ... 43
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 44
3.5 Metode Analisis Data ... 45
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kondisi Sekolah ... 49
4.1.1 Gambaran Umum Kondisi SMA Negeri 16 Semarang ... 49
x
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Orang Tua ... 65
4.2.1.1 Kondisi Sosial ... 65
4.2.1.2 Kondisi Ekonomi ... 67
4.2.2 Aksesbilitas Wilayah ... 73
4.2.3 Motivasi Anak ... 79
4.2.3.1 Motivasi Intrinsik ... 79
4.2.3.2 Motivasi Ekstrinsik ... 83
4.3 Pembahasan ... 87
4.3.1 Kondisi Sosial Ekonomi ... 87
4.3.2 Aksesbilitas Wilayah ... 92
4.3.3 Motivasi Anak ... 94
BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan ... 99
5.2 Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
xi
Tabel 1.1 Siswa Mutasi dan Putus Sekolah SMA/SMK
Tahun 2014 ... 3
Tabel 1.2 Jumlah Siswa Mutasi dan Putus Sekolah SMK Palapa dan SMA Negeri 16 Kurun Waktu 2011-2014 ... 4
Tabel 2.1 Alternatif Pilihan Jawaban Angket Motivasi ... 33
Tabel 3.1 Anak Putus Sekolah SMK palapa dan SMA Negeri 16 ... 42
Tabel 3.2 Kriteria Deskriptif Persentase Variabel Kondisi Rumah ... 47
Tabel 3.3 Kriteria Deskriptif Persentase Variabel Motivasi Anak ... 47
Tabel 4.1 Prasarana Pada Jenjang SMA/MA Menurut Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 ... 50
Tabel 4.2 Ruang Pembelajaran Umum SMK/MAK Menurut Permendiknas Nomor 40 Tahun 2008 ... 56
Tabel 4.3 Ruang Penunjang SMK/MAK Menurut Permendiknas Nomor 40 Tahun 2008 ... 58
Tabel 4.4 Ruang Pembelajaran Khusus SMK/MAK Menurut Permendiknas Nomor 40 Tahun 2008 ... 61
Tabel 4.5 Tingkat Pendidikan Ayah dan Ibu ... 66
Tabel 4.6 Rata-Rata Pengeluaran makan dan non makan per bulan ... 67
Tabel 4.7 Kriteria Pendapatan Orang Tua/Bulan ... 68
Tabel 4.8 Biaya Pendidikan Dalam Satu Bulan ... 69
Tabel 4.9 Pendapatan Bersih Orang Tua/Bulan ... 69
Tabel 4.10 Jumlah Beban Tanggungan Keluarga ... 69
Tabel 4.11 Kriteria Kondisi Rumah ... 70
Tabel 4.12 Jenis Rumah yang Ditempati ... 71
Tabel 4.13 Lantai Dasar Rumah yang Ditempati ... 71
Tabel 4.14 Jenis Dinding Rumah yang Ditempati ... 72
Tabel 4.15 Status Rumah yang Dimiliki ... 72
Tabel 4.16 Luas Rumah yang Ditempati... 73
Tabel 4.17 Jarak Tempuh Rumah Menuju Ke Sekolah ... 75
Tabel 4.18 Fasilitas Jalan ... 77
Tabel 4.19 Alat Transportasi yang Digunakan ... 78
Tabel 4.20 Motivasi Intrinsik Anak ... 79
Tabel 4.21 Adanya Keinginan Untuk Melanjutkan Pendidikan ... 80
Tabel 4.22 Adanya Dorongan untuk Melanjutkan Pendidikan ... 81
Tabel 4.23 Adanya Harapan dan Cita-Cita ... 82
Tabel 4.24 Penghargaan Atas Diri ... 82
Tabel 4.25 Motivasi Ekstrinsik Anak... 83
Tabel 4.26 Motivasi Lingkungan Keluarga berupa Orang Tua ... 84
Tabel 4.27 Motivasi Lingkungan Sekolah berupa Guru dan Teman Sekolah .... 85
Tabel 4.28 Motivasi Lingkungan Masyarakat berupa Teman Bergaul ... 86
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xiii
Lampiran 2. Peta Distribusi Anak Putus Sekolah ... 105
Lampiran 3. Daftar Responden Penelitian ... 106
Lampiran 4. Kisi-Kisi Insrumen Penelitian ... 107
Lampiran 5. Instrumen Pengumpulan Data ... 112
Lampiran 6. Hasil Penelitian Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan Orang Tua... 122
Lampiran 7. Pengeluaran makan & non makan ... 123
Lampiran 8.Tabulasi Variabel Kondisi Rumah ... 126
Lampiran 9. Hasil Penelitian Aksesbilitas Wilayah ... 127
Lampiran 10. Tabulasi Motivasi Intrinsik Anak ... 128
Lampiran 11. Tabulasi Motivasi Ekstrinsik Anak ... 129
Lampiran 12. Tabulasi Data Tiap Indikator Motivasi Intrinsik ... 130
Lampiran 13. Tabulasi Data Tiap Indikator Motivasi Ekstrinsik ... 131
Lampiran 14. Surat Ijin Penelitian ... 132
Lampiran 15. Dokumentasi Wawancara dengan Orang Tua ... 135
Lampiran 16. Dokumentasi Pengisian Angket Oleh Anak Putus Sekolah ... 136
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, ini berarti
bahwa setiap manusia Indonesia berhak untuk dapat menikmatinya dan
diharapkan dapat selalu berkembang didalamnya. Melalui pendidikan seseorang
dapat memperoleh ilmu pengetahuan, baik itu melalui pendidikan formal maupun
pendidikan non formal. Sebagaimana seperti yang tertuang dalam UUD 1945
pasal 31 (1) yang menyebutkan bahwa: ”setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan”. Sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2003, pendidikan merupakan
usaha yang secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan
perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan
hidupnya sebagai individu dan sebagai warga negara dimasa yang akan datang.
Kewajiban belajar seiring perkembangan jaman tidak hanya sampai wajib
belajar 9 tahun. Minimnya kualitas SDM di Indonesia mendorong pemerintah
mengeluarkan program pendidikan khusus. Melalui Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), pemerintah mengeluarkan Program Menengah
Universal (PMU). Melalui PMU, anak Indonesia akan mengenyam Pendidikan
dasar minimal 12 tahun, atau setara SMA/SMK. Menurut Permendikbud Republik
Indonesia Nomor 80 Tahun 2013 pasal (1) mengatakan bahwa yang dimaksud
pendidikan yang memberikan layanan seluas-luasnya kepada seluruh warga
negara Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu.
Pemerintah sejak tahun 2009 mengklaim telah memenuhi amanat UUD
1945 dengan mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk bidang pendidikan.
Namun ditengah kenaikan anggaran pendidikan dan besarnya perhatian
pemerintah terhadap pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat anak
Indonesia yang putus sekolah. Kita tercengang mengetahui jumlah anak SD
sampai SMA yang putus sekolah pada tahun 2010 mencapai 1,08 juta. Angka itu
melonjak 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 750.000 siswa
putus sekolah (www.koranpendidikan.com, diakses pada hari rabu 4 maret 2015
pukul 20.30 WIB). Jumlah anak putus sekolah di Jawa Tengah menurut jenjang
pendidikan didominasi pada jenjang pendidikan SMA/MA/Paket C yaitu sebesar
2,45 persen, disusul jenjang SMP/Mts/Paket B sebesar 1,53 persen dan
SD/MI/Paket A sebesar 0,46 persen (BPS, 2012:15).
Anak putus sekolah merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di
dunia pendidikan. Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah dengan segala
kemudahan akses pendidikan, pada kenyataannya tidak terlepas dari persoalan
anak putus sekolah. Putus sekolah di kota Semarang didominasi oleh jenjang
pendidikan menengah yaitu SMA dan SMK. Kecamatan Mijen diketahui sebagai
wilayah dengan jumlah anak putus sekolah ditingkat SMA dan SMK tertinggi di
bandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kota Semarang. Masalah putus
3
manusia karena secara tidak langsung anak putus sekolah pada tingkat SMA dan
SMK ini akan menjadi beban di dalam masyarakat.
Tabel 1.1 Siswa Mutasi dan Putus Sekolah SMA/SMK Tahun 2014
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Semarang Tahun 2014
Berdasarkan pada Tabel 1.1 diatas, dalam hal ini peneliti tertarik dengan
permasalahan banyaknya jumlah siswa mutasi dan putus sekolah pada tingkat
SMA dan SMK di kecamatan Mijen yang jumlahnya paling tinggi dibandingkan
dengan kecamatan lain yang ada di Kota Semarang. Di kecamatan Mijen terdapat
dua SMA Negeri yaitu SMA Negeri 13 dan SMA Negeri 16, dua SMA swasta
yaitu SMA Muhammadiyah 2 dan SMA Unggulan Nurul Islami, dua MA yaitu
MA Baitussalam dan MA NU Al Hikmah. Selain itu, dikecamatan Mijen juga
terdapat empat SMK yaitu SMK Askhabul Kahfi, SMK Ma`arif NU 1, SMK
Hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 19 Januari 2014 dan 2 Maret
2014, diketahui bahwa dari empat SMK yang ada di kecamatan Mijen, fakta yang
diperoleh bahwa jumlah anak putus sekolah tersebut berasal hanya dari satu
sekolah saja yaitu SMK Palapa yang beralamat di Jl.Untung Suropati. Sedangkan
untuk anak putus sekolah tingkat SMA berasal dari SMA Negeri 16 yang
beralamat di Jl.Ngadirgo Tengah Semarang.
Tabel 1.2 Jumlah Siswa Mutasi dan Putus Sekolah SMK Palapa dan SMA Negeri 16 Kota Semarang Kurun Waktu 2011-2014
Tahun SMK Palapa SMA Negeri 16
Mutasi Putus Sekolah Mutasi Putus Sekolah
2011-2012 28 12 - -
2012-2013 5 22 - -
2013-2014 14 16 10 2
Jumlah 47 50 10 2
Sumber : Hasil Observasi Peneliti, tanggal 2 Maret 2015 dan 19 Maret 2015
Seperti pada tabel 1.2 anak yang mengalami putus sekolah di SMK Palapa
tersebar di Kecamatan Mijen, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Gunungpati,
Boja (Kendal) dan beberapa tersebar di luar wilayah tersebut. Sedangkan anak
yang mengalami putus sekolah di SMA Negeri 16 tersebut tersebar di Kecamatan
Ngaliyan.
Peneliti berasumsi bahwa faktor penyebab anak putus sekolah di SMA
Negeri 16 dan SMK Palapa adalah kondisi keluarga yaitu dimana dalam keluarga,
kondisi sosial ekonomi sangat berperan dalam keberlangsungan pendidikan anak.
Rendahnya kondisi sosial ekonomi orang tua tentu akan menghambat
keberlangsungan pendidikan anak. Kondisi sosial ekonomi tersebut mencakup
5
Orang tua yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentu akan
mengupayakan dan selalu mendorong anak untuk mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya karena orang tua beranggapan bahwa pendidikan itu adalah hal
yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Selain faktor pendidikan orang
tua, terdapat faktor lain yaitu kondisi ekonomi orang tua. Tidak dipungkiri bahwa
banyaknya anggaran dana yang dialokasikan oleh pemerintah dalam hal
pendidikan pada saat ini tidak lantas menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi
gratis sepenuhnya. Masih diperlukan biaya didalam pendidikan, salah satunya
adalah biaya transportasi, biaya untuk membeli dan merawat seragam sekolah,
biaya untuk membeli buku dan peralatan sekolah, biaya ekstrakurikuler sekolah
dan biaya lainnya. Dengan kondisi tersebut, tentu orang tua dengan kondisi
ekonomi yang rendah akan terbebani akan hal tersebut, karena pendapatan atau
penghasilan orang tua hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari
saja, dengan kondisi tersebut maka keberlangsungan pendidikan anak akan
terhambat.
Orang tua yang tergolong dalam kondisi sosial ekonomi rendah,
kebanyakan dari mereka sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari untuk keluarganya, maka dari itu anak kurang mendapatkan pengawasan oleh
orang tuanya. Banyak kasus anak putus sekolah dikarenakan orang tua yang
kurang memberikan pengawasan terhadap lingkungan pergaulan anak sehingga
anak terseret dalam pergaulan teman-temannya yang kemudian berdampak negatif
Selain kondisi sosial ekonomi hal lain yang diduga sebagai faktor
penyebab anak putus sekolah adalah kondisi fisik suatu wilayah atau kondisi
geografis yang mencakup aksesbilitas suatu wilayah. Aksesbilitas itu sendiri
meliputi jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sekolah, fasilitas jalan dan alat
transportasi yang digunakan untuk menuju ke sekolah.
Asumsi lain selain kondisi sosial ekonomi dan aksesbilitas wilayah adalah
faktor dari anak itu sendiri yaitu rendahnya motivasi anak untuk bersekolah.
Jumlah anak putus sekolah terbanyak adalah ditingkat SMK, dimana jumlah
tersebut berasal dari sekolah swasta yaitu SMK Palapa. Pada umumnya anak-anak
yang bersekolah di sekolah swasta adalah anak-anak yang tidak mempunyai
pilihan lain karena telah tersisihkan atau tidak diterima disekolah negeri, maka
dari itu anak-anak tersebut diduga memiliki motivasi yang rendah. Motivasi anak
rendah karena kurangnya keinginan yang kuat yang ada dalam diri anak untuk
bersekolah serta kurangnya dukungan dari luar yaitu kurangnya dukungan dari
orang tua dan lingkungan lain yang ada disekitarnya yaitu lingkungan masyarakat
yang berupa teman bergaulnya di sekitar tempat tinggal.
Kelangsungan masa depan bangsa dan Negara Republik Indonesia ini
berada ditangan para generasi muda. Maka dari itu, masalah putus sekolah
ditingkat SMA dan SMK ini merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan
dan menjadi tanggung jawab pemerintah maupun masyarakat. Tersendatnya
pendidikan seperti yang tertulis tentu merupakan satu hal yang memprihatinkan
karena tidak sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 menjelaskan fungsi
7
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Permasalahan anak putus sekolah kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor yang menyebabkan anak terpaksa berhenti sekolah dan tidak melanjutkan
kembali studinya. Maka dari itu peneliti ingin meneliti faktor-faktor penyebab
anak putus sekolah di tingkat SMA dan SMK ini dengan judul penelitian yaitu :
“Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Pada Jenjang Pendidikan
Menengah (SMA/SMK) Di Kecamatan Mijen Kota Semarang Kurun Waktu
2011-2014 ?
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di tarik rumusan
masalah yaitu:
1.2.1 Apakah kondisi sosial ekonomi orang tua sebagai faktor penyebab anak
putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di
kecamatan Mijen Kota Semarang kurun waktu 2011-2014?
1.2.2 Apakah aksesbilitas wilayah sebagai faktor penyebab anak putus sekolah
pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di kecamatan Mijen Kota
1.2.3 Apakah motivasi anak sebagai faktor penyebab anak putus sekolah pada
jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di kecamatan Mijen Kota
Semarang kurun waktu 2011-2014?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui kondisi sosial ekonomi sebagai faktor yang menyebabkan anak
putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di
kecamatan Mijen Kota Semarang kurun waktu 2011-2014.
1.3.2 Mengetahui aksesbilitas wilayah sebagai faktor yang menyebabkan anak
putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di
kecamatan Mijen kota Semarang kurun waktu 2011-2014.
1.3.3 Mengetahui motivasi anak sebagai faktor yang menyebabkan anak putus
sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK) di kecamatan
Mijen kota Semarang kurun waktu 2011-2014.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menghasilkan beberapa manfaat, yaitu
sebagai berikut:
9
a. Sebagai calon guru yang akan mengemban tugas dan tanggung jawab yang
besar penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan tugas besar di
masyarakat nantinya.
b. Untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan berpikir kritis guna
melatih kemampuan, memahami dan menganalisis masalah-masalah
pendidikan.
c. Penelitian ini sangat berguna sebagai bahan dokumentasi dan penambah
wawasan.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi khususnya Kota Semarang mengenai apa yang
seharusnya dilakukan terhadap pentingnya pendidikan menengah.
a. Bagi Orang Tua dan Anak
Penelitian ini dapat menjadi masukan atau saran supaya orang tua dapat lebih
memperhatikan pergaulan anak dan anak sendiri dapat meningkatkan
motivasinya serta dapat memilih mana teman yang baik untuk keberlangsungan
kehidupannya.
b. Bagi lembaga Pendidikan Terutama Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNNES
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melengkapi
perpustakaan dan sebagai bahan dokumenter.
1.5. Batasan Istilah
Tujuan batasan istilah ini adalah untuk memberikan batasan ruang lingkup
serta untuk menghindarkan salah persepsi dalam judul ini. Ada beberapa istilah
yang perlu ditegaskan yaitu:
1.5.1 Sosial Ekonomi
Sosial adalah segala sesuatu yang menyangkut masalah masyarakat
(Poerwodarminto, 2002:961). Sedangkan ekonomi adalah urusan keuangan rumah
tangga (Poerwodarminto, 2002:267). Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud
didalam penelitian ini adalah:a)Tingkat Pendidikan Orang Tua,b)Pendapatan
Bersih Orang Tua,c)Jumlah Beban Tanggungan Keluarga,d)Kondisi Rumah.
1.5.2 Aksesbilitas Wilayah
Dalam penelitian ini aksesbilitas wilayah berarti mudah atau tidaknya SMA
Negeri 16 Semarang dan SMK Palapa dijangkau dari rumah responden, yang
meliputi:
1) Jarak, jarak dalam skripsi ini dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Jarak Tempuh
Jarak yang ditempuh oleh anak menuju ke sekolah yang diukur dari rumah
responden, dengan satuan kilometer
b. Waktu Tempuh
Waktu tempuh merupakan lamanya waktu yang harus ditempuh oleh anak
menuju ke sekolah yang diukur dari rumah responden dengan satuan menit.
2) Alat Transportasi yang digunakan
Transportasi yang dimaksud adalah tersedianya sarana transportasi yang dapat
dipakai atau digunakan untuk menuju ke sekolah dapat berupa kendaraan
11
3) Biaya Transportasi
Biaya transportasi dalam penelitian ini adalah besarnya biaya yang harus
dikeluarkan siswa untuk menuju ke sekolah dan untuk pulang dari sekolah ke
tempat tinggal. Alokasi biaya transportasi didalam penelitian ini di kalkulasi
per minggu.
4) Fasilitas Jalan
Fasilitas jalan yang dimaksud didalam penelitian ini yaitu kondisi jalan yang
dilalui untuk menuju ke sekolah, apakah kondisi jalan itu mudah atau sulit
untuk dilalui, baik menggunakan angkutan umum maupun kendaraan pribadi.
1.5.3 Motivasi Anak
Motivasi merupakan dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang
mengadakan perubahan tingkah laku (Uno, 2011:10). Motivasi anak dalam
penelitian ini adalah dorongan untuk bersekolah, yaitu motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari dalam diri
seseorang, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal sari luar
yaitu pengaruh lingkungan.
Indikator motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik didalam penelitian ini yaitu:
1. Motivasi Intrinsik: (1) keinginan untuk melanjutkan pendidikan, (2) adanya
dorongan dan kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan, (3) adanya harapan
dan cita-cita, (4) adanya penghargaan atas diri.
2. Motivasi Ekstrinsik: (1) lingkungan keluarga yang berupa orang tua, (2)
lingkungan sekolah yang berupa teman dan guru (3) lingkungan masyarakat
1.5.4 Anak Putus Sekolah
Putus sekolah adalah predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik
yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat
melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya (Gunawan, 2004:71).
Putus sekolah yang dimaksud didalam penelitian ini adalah berhentinya
anak dari sebuah lembaga pendidikan formal tingkat menengah atas yang ada di
kecamatan Mijen yaitu SMA Negeri 16 Semarang dan SMK Palapa yang
disebabkan oleh beberapa faktor sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke
jenjang pendidikan berikutnya.
1.5.5 Sekolah Menengah Atas (SMA)
SMA adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di
Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah
Menengah Atas (SMA) dalam penelitian ini tertuju pada satu sekolah yang ada di
Kecamatan Mijen yaitu SMA Negeri 16 Kota Semarang.
1.5.6 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
SMK adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang
mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis
pekerjaan tertentu. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) didalam penelitian ini
tertuju pada satu sekolah menengah kejuruan swasta yang ada di kecamatan Mijen
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Sosial Ekonomi
Dalam arti umum kondisi adalah pernyataan, keadaan atau sesuatu
kenyataan yang dapat dilihat atau dirasakan dan diukur oleh indera manusia
(Poerwadarminto, 2002:519). Kondisi sosial berarti keadaan yang berkenaan
dengan kemasyarakatan yang selalu mengalami perubahan-perubahan melalui
proses sosial. Proses sosial terjadi karena adanya interaksi sosial. Menurut
Abdulsyani (2002:152) interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial timbal
balik yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang secara
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang dengan
kelompok-kelompok manusia.
Ekonomi menurut Todaro dalam Rosandi (2007:14) disebutkan bahwa
ekonomi merupakan bagian dari ilmu sosial. Ekonomi berhubungan dengan orang
dan sistem sosial. Dengan sistem itu, ekonomi mengatur segala bidang
kegiatannya untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) dan
kebutuhan non materi (pendidikan, kesehatan, pengetahuan, dan kebutuhan
spritual dsb). Kondisi ekonomi orang tua adalah keadaan atau kenyataan yang
terlihat atau terasakan oleh indera manusia tentang keadaan orang tua dan
kemampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi
kebutuhan hidup yaitu kebutuhan pokok sandang, pangan, papan serta kebutuhan
non materi yaitu pendidikan, kesehatan dll untuk untuk mencapai kemakmuran
didalam masyarakat.
Menurut Abdulsyani (2002:86) berpendapat bahwa indikator yang
menentukan stratifikasi sosial ekonomi adalah sebagai berikut: 1) pemilikan
kekayaan yang bernilai ekonomis; 2) status atas dasar fungsi dalam pekerjaan, 3)
kesalehan seseorang dalam beragama, 4) status atas dasar keturunan, 5)Latar
belakang rasial dan lamanya seseorang atau sekelompok orang tinggal pada suatu
tempat, 6) status atas dasar jenis kelamin dan umur seseorang.
Nasution (2004:28) menggunakan berbagai kriteria sosial ekonomi untuk
membedakan berbagai golongan sosial seperti: 1) Jumlah dan sumber pendapatan;
2)Tingkat Pendidikan; 3)Agama; 4)Jenis dan luas rumah; 5)Lokasi rumah; 6)Asal
keturunan ; 7)Partisipasi dalam kegiatan organisasi dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan status sosial seseorang.
Kondisi di sini meliputi kondisi sosial dan kondisi ekonomi orang tua.
Kondisi sosial orang tua antara lain yaitu tingkat pendidikan, sedangkan kondisi
ekonomi meliputi pendapatan bersih orang tua, jumlah beban tanggungan
keluarga, kondisi rumah atau tempat tinggal.
2.1.1 Kondisi Sosial
Dalam penelitian ini kondisi sosial di ukur dengan menggunakan indikator
15
1. Tingkat Pendidikan Orang Tua
Menurut UU Nomor 20 tahun 2003, pendidikan merupakan usaha yang
secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan
potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya
sebagai individu dan sebagai warga Negara dimasa yang akan datang.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang
(Depdiknas, 2003:3), dengan pendidikan yang berkelanjutan yang ditetapkan
berdasarkan perkembangan peserta didik, tingkatan kerumitan bahan
pengajaran dan penyajian bahan pelajaran. Jenjang pendidikan formal terdiri
dari pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi.
a. Pendidikan Prasekolah
Menurut PP Nomor 27 Tahun 1990 dalam (Rohman, 2009:100),
tentang pendidikan prasekolah, disebutkan bahwa tujuan pendidikan
prasekolah adalah membantu meletakkan dasar kearah perkembangan
sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan anak
didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
b. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:11). Disini
selama enam tahun disekolah dasar dan tiga tahun di sekolah lanjutan
tingkatan pertama atau satuan pendidikan yang sederajat.
Menurut PP No.28 tahun 1990 dalam (Rohman, 2009:100)
disebutkan bahwa tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan bekal
kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupan
sebagai pribadi anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat
manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk pendidikan menengah
c. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan dari pendidikan dasar,
yang terdiri atas pendidikan menengah dan pendidikan menengah kejuruan
(Departemen Pendidikan Nasional, 2003:12). Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 1990 dalam (Rohman,
2009:100) tentang pendidikan menengah adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah pendidikan dasar. Bentuk satuan pendidikan yang
terdiri atas:sekolah menengah umum, sekolah menengah kejuruan, sekolah
menengah keagamaan, sekolah menengah kedinasan, dan sekolah
menengah luar biasa.
d. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma,
Sarjana, Magister, dan Doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
17
Pendidikan yang dimaksud didalam penelitian ini adalah pendidikan
formal, yaitu tingkat pendidikan orang tua yang diukur berdasarkan ijazah
sekolah terakhir yang diperoleh.
2.1.2 Kondisi Ekonomi
Dalam penelitian ini kondisi ekonomi di ukur dengan menggunakan
indikator yaitu pendapatan bersih orang tua, jumlah beban tanggungan keluarga,
kondisi rumah atau tempat tinggal dari orang tua anak yang mengalami putus
sekolah.
1. Pendapatan Bersih Orang Tua
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka diperlukan biaya pendidikan
yang tinggi. Bagi orang tua yang berpendapatan rendah tentu akan kesulitan
dalam membiayai pendidikan anak-anaknya, sebaliknya orang tua dengan
pendapatan yang tinggi tidak akan ada masalah didalam membiayai keperluan
pendidikan anak-anaknya
Perbedaan sumber pendapatan atau penghasilan mempengaruhi harapan
orang tua tentang pendidikan anaknya. Banyak anak-anak yang putus sekolah
karena alasan finansialnya. Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk
sekolah akan tetapi juga untuk pakaian, buku, transportasi, kegiatan
ekstra-kurikuler, dan lain-lain (Nasution, 2004:31).
Menurut Slameto (2010:63) anak yang sedang belajar selain harus
terpenuhi kebutuhan pokoknya, misal makan, pakaian, perlindungan, kesehatan
dan lain-lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja
tersebut akan terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. Jika anak hidup
dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi,
akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak terganggu.
Akibatnya selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan
teman lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak. Bahkan mungkin anak
harus bekerja mencari nafkah sebagai pembantu orang tuanya walaupun
sebenarnya anak belum saatnya untuk bekerja, hal yang begitu juga akan
mengganggu belajar anak (Slameto, 2010:63-64).
Pendapatan adalah hasil dari seseorang yang diperoleh dari suatu kerja
dan dapat diwujudkan dengan materi (Poerwadarminto, 1976:404).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 2008:9) Pendapatan adalah
penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau dihasilkan.
Berdasarkan penggolongannya, Badan Pusat Statistik (BPS, 2010)
membedakan pendapatan menjadi lima golongan yaitu:
a. Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata dibawah Rp.
975.000,00 tiap bulan.
b. Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
975.000,00 - s/d Rp. 1.949.000,00 tiap bulan.
c. Golongan pendapatan menengah adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
1.950.000,00 - s/d Rp. 2.924.000,00 tiap bulan.
d. Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp.
19
e. Golongan pendapatan sangat tinggi jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp.
3.899.000,00 tiap bulan.
Pendapatan dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Pendapatan pokok
Pendapatan pokok yaitu pendapatan yang tiap bulan diharapkan
diterima, pendapatan ini diperoleh dari pekerjaan utama yang bersifat rutin.
b. Pendapatan sampingan
Pendapatan sampingan yaitu pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan
diluar pekerjaan pokok, maka tidak semua orang mempunyai pendapatan
sampingan.
c. Pendapatan lain-lain
Pendapatan lain-lain yaitu pendapatan yang berasal dari pemberian
pihak lain, baik bentuk barang maupun bentuk uang, pendapatan bukan dari
usaha.
Menurut Sumardi dan Evers (1982) dalam Rosandi (2007:19)
menyebutkan pendapatan adalah seluruh penerimaan baik dari pihak lain
maupun dari hasil sendiri, dengan jalan dinilai dengan sejumlah uang atas
harga barang yang berlaku saat itu. Pendapatan dapat diartikan sebagai hasil
yang diterima seseorang, karena orang itu bekerja dan hasilnya bisa berupa
uang atau barang. Pendapatan orang tua adalah hasil yang diterima orang tua
dari hasil bekerja yang berupa uang atau barang yang dinilai dengan uang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga oleh Sumardi dan
a. Pekerjaan
Pekerjaan akan mempengaruhi langsung terhadap pendapatan, apakah
jenis pekerjaan tersebut dalam lahan basah dalam arti lahan yang bisa cepat
mendapatkan uang atau dalam lahan yang sulit untuk memperoleh uang
yang biasa disebut lahan kering.
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan akan berpengaruh pula pada perolehan
pendapatan. Dalam jenis pekerjaan yang sama, yang memerlukan pikiran
untuk mempekerjakannya, tentunya yang memiliki tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan lebih cepat untuk menyelesaikan dibanding orang
yang berpendidikan rendah. Hal tersebut akan berpengaruh pada
penghasilan.
c. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap perolehan
pendapatan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang bekerja
semakin banyak pendapatan yang diperoleh keluarga, namun akan terjadi
sebaliknya bila yang bekerja sedikit sedang upah yang diterima sedikit,
sedangkan jumlah tanggungan banyak akan memberatkan. Tingkat
pendapatan ini tentu berlawanan antara satu keluarga dengan keluarga
yang lain, tergantung dari pekerjaannya, pendidikannya dan jumlah
tanggungan keluarganya
Tingkat pendapatan menurut Sumardi dan Evers (1982) dalam skripsi
21
anggota keluarga dari sektor formal, informal dan sektor sub system dalam
waktu satu bulan yang diukur dengan rupiah”.
Pendapatan orang tua dapat diartikan sebagai hasil yang diterima oleh
orang tua karena bekerja dan hasil yang didapatkan dapat berupa uang atau
barang yang dapat dinilai dengan uang selama satu bulan. Besarnya
pendapatan yang diterima biasanya akan berbanding lurus dengan
pengeluaran, semakin tinggi pendapatan maka pengeluaran akan semakin
tinggi dan semakin rendah pendapatan maka pengeluaran akan semakin
rendah.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 2013:17) Rata-rata
pengeluaran penduduk per kapita sebulan dapat dijadikan cermin tingkat
pendapatannya per kapita sebulan. Penggunaan data pengeluaran ini
disebabkan oleh sulit dan kurang akuratnya data pendapatan. Pengeluaran
rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga
untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan menjadi
2 (dua) kelompok yaitu:
1. Pengeluaran makanan
Pengeluaran untuk makanan terdiri dari : (a) padi-padian, (b)
umbi-umbian, (c) ikan/udang/cumi/kerang, (d) daging, (e) telur & susu, (f)
sayur-sayuran, (g) kacang-kacangan, (h) buah-buahan, (i) minyak &
lemak, (j) bahan minuman, (k) bumbu-bumbuan, (l) konsumsi lainnya,
2. Pengeluaran non makanan
Semakin tinggi pendapatan, maka relatif semakin tinggi
pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan non makanan. Hal ini terjadi
pada masyarakat modern yang kebutuhan sekunder bahkan tersier sudah
mulai terpenuhi. Pengeluaran non makanan terdiri dari: (a) perumahan &
fasilitas rumah tangga, (b) aneka barang dan jasa, (c) biaya pendidikan,
(d) biaya kesehatan, (d) pakaian, alas kaki dan tutup kepala, (e) pajak dan
asuransi, (f) keperluan pesta dan upacara perkawinan.
Tingkat pendapatan yang gunakan didalam penelitian ini adalah
pendapatan bersih orang tua (Ayah dan Ibu) dari hasil mereka bekerja
baik dari penghasilan pokok maupun sampingan dikurangi dengan jumlah
keseluruhan pengeluaran untuk kebutuhan makan dan non makan.
2. Jumlah Beban Tanggungan Keluarga
Jumlah beban tanggungan keluarga dapat diartikan sebagai jumlah
seluruh anggota keluarga yang harus ditanggung dalam satu keluarga.
Setiap masing-masing keluarga mempunyai jumlah tanggungan keluarga
yang berbeda-beda. Asumsinya semakin banyak jumlah tanggungan
keluarga maka kebutuhan dalam keluarga tersebut semakin banyak.
Menurut Sumardi dan Evers (1985) dalam Rina (2011:22) jumlah
tanggungan keluarga digolongkan menjadi 4 (empat) yaitu:
a. Lebih dari 10 orang, berarti sangat banyak tanggungan
b. 7 sampai 9 orang, berarti banyak tanggungan
23
d. 1 sampai 4 orang, berarti tanggungan sedikit
3. Kondisi Rumah atau Tempat Tinggal
Rumah dapat menunjukkan tingkat sosial ekonomi seseorang yang
menempatinya jika dilihat dari perbedaan ukuran dan kualitasnya. Semakin
besar ukuran rumah seseorang maka semakin tinggi tingkat sosial ekonomi
keluarga yang menempatinya. Sebaliknya semakin kecil ukuran rumah
seseorang maka semakin rendah pula tingkat sosial ekonomi keluarga yang
menempatinya. Begitupula dengan kualitas rumah seseorang, semakin baik
kualitasnya semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga yang
menempatinya, dan semakin jelek kualitas rumah seseorang semakin
rendah pula sosial ekonomi keluarga yang menempatinya.
Menurut Svalastoga (1989) dalam Aryana (2004:29), untuk
mengukur tingkat sosial ekonomi seseorang dari rumahnya dapat dilihat
dari:
1. Status rumah yang ditempati, bisa rumah sendiri, rumah dinas,
menyewa, menumpang pada saudara atau ikut orang lain.
2. Kondisi fisik bangunan dapat berupa rumah permanen, kayu atau
bambu. Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi pada
umumnya menempati rumah permanen, sedangkan keluarga yang
keadaan sosial ekonominya menengah kebawah menggunakan semi
permanen dan tidak permanen.
3. Besarnya rumah yang ditempati, semakin luas rumah yang ditempati
Rumah dapat menunjukkan suatu tingkat sosial ekonomi bagi
keluarga yang menempati. Apabila tersebut berbeda dalam hal ukuran dan
kualitas rumah. Rumah dengan ukuran yang besar, permanen dan milik
pribadi dapat menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya tinggi
berbeda dengan rumah yang kecil, semi permanen dan menyewa
menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonominya rendah.
Kondisi rumah atau tempat tinggal yang dimaksud oleh peneliti
didalam penelitian ini adalah melihat bagaimana keadaan sosial ekonomi
responden berdasarkan kondisi rumah atau tempat tinggalnya. Tinggi
rendahnya kondisi sosial ekonomi apabila dilihat dari kondisi rumah atau
tempat tinggal terdiri dari beberapa indikator yaitu:
a. Bentuk atau Jenis Rumah
1. Bentuk/jenis rumah : permanen, semi permanen, kayu/papan, bambu.
2. Jenis lantai : keramik, ubin/tegel, plester, tanah.
3. Dinding : papan, pagar, tembok, batu paving.
b. Status Rumah: milik sendiri, mengontrak, menempati milik orang lain,
ikut saudara.
c. Luas Rumah : < 50 m², 50-99 m², 100-149 m², > 149 m².
2.2. Aksesbilitas Wilayah
Kondisi fisik suatu wilayah dapat menjadi pendorong ataupun penghambat
bagi aktivitas manusia, wilayah dikatakan menjadi pendorong bagi aktivitas
25
wilayah lain. Jika kita membicarakan keterjangkauan suatu wilayah dari wilayah
lain maka kita tidak akan lepas dari yang namanya aksesbilitas wilayah.
Aksesbilitas dapat diartikan sebagai berikut, menurut Black (dalam Miro,
2005:18):
a. Aksesbilitas merupakan konsep yang menggabungkan (mengkombinasikan):
sistem tata guna lahan geografis dengan sistem jaringan transportasi yang
menghubungkannya, dimana perubahan tata guna lahan yang menimbulkan
zona-zona dan jarak geografis disuatu wilayah atau kota, akan mudah
dihubungkan oleh penyediaan prasarana dan sarana angkutan.
b. Aksesbilitas menurut Tamin dalam (Miro, 2005:18) merupakan mudahnya
suatu lokasi dihubungkan dengan lokasi lain lewat jaringan transportasi yang
ada, berupa prasarana jalan dan alat angkut yang ada diatasnya. Dengan
perkataan lain: suatu ukuran kemudahan dan kenyamanan mengenai cara
lokasi petak (tata) guna lahan yang saling berpencar, dapat berinteraksi
(berhubungan) satu sama lain. Mudah atau sulitnya lokasi-lokasi tersebut
dicapai melalui sistem jaringan transportasinya, merupakan hal yang sangat
subyektif, kualitatif dan relatif sifatnya, artinya yang mudah bagi seseorang
belum tentu, mudah bagi orang lain.
Variabel yang bisa menyatakan apakah ukuran tingkat kemudahan
pencapaian suatu tata guna lahan dikaitkan tinggi atau rendah adalah jarak fisik
dua tata guna lahan (dalam kilometer). Apabila kedua tata guna lahan mempunyai
jarak yang berjauhan secara fisik, maka aksesnya dikatakan rendah. Demikian
untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat akses dua tata guna lahan. Faktor jarak
tidak dapat diandalkan, karena pada kenyataannya bisa terjadi bahwa dua zona
yang jaraknya berdekatan (misalkan jaraknya 1,5 Km), tidak dapat dikatakan
tinggi aksesnya (pencapaiannya) apabila antara zona (guna lahan) yang satu
dengan yang lainnya tidak terdapat prasarana jaringan transportasi yang
menghubungkannya. Demikian pula sebaliknya , dua zona yang berjauhan pun
tidak bisa disebut rendah tingkat pencapaiannya, kalau antara kedua zona tersebut
terdapat prasarana jaringan jalan dan pelayanan armada angkutan yang cukup
memadai ( Black, dalam Miro, 2004:19).
Dengan pengetahuan bahwa faktor jarak bukanlah satu-satunya faktor
yang menentukan tinggi rendahnya akses (tingkat kemudahan mencapai tujuan)
seperti digambarkan diatas, maka faktor-faktor lain, diluar jarak perlu kita
pertimbangkan dalam menentukan tinggi rendahnya akses. Faktor-faktor lain
tersebut antara lain:
1. Faktor waktu tempuh
Faktor ini sangat ditentukan oleh ketersediaan prasarana transportasi dan sarana
transportasi yang dapat diandalkan (reliable transportationsystem). Contohnya adalah dukungan jaringan jalan yang berkualitas yang menghubungkan asal
dan tujuan, diikuti dengan terjaminnya armada angkutan yang siap melayani
kapan saja.
2. Faktor biaya/ongkos perjalanan
Biaya perjalanan ikut berperan dalam menentukan mudah tidaknya tempat
27
orang (terutama kalangan ekonomi bawah) enggan atau bahkan tidak mau
melakukan perjalanan.
3. Faktor intensitas (kepadatan) guna lahan
Padatnya kegiatan pada suatu petak lahan yang telah diisi dengan berbagai
macam kegiatan akan berpengaruh pada dekatnya jarak tempuh berbagai
kegiatan tersebut, dan secara tidak langsung, hal tersebut ikut mempertinggi
tingkat kemudahan pencapaian tujuan.
4. Faktor pendapatan orang yang melakukan perjalanan
Pada umumnya orang mudah melakukan perjalanan kalau ia didukung oleh
kondisi ekonomi yang mapan, walaupun jarak secara fisik jauh.
Kaitannya dengan pendidikan anak, aksesbilitas dapat dikatakan sebagai
pendorong maupun penghambat kelancaran pendidikan dengan cara melihat:
1. Jarak dari rumah ke sekolah
Jarak dari rumah ke sekolah yang jauh tentu akan membutuhkan waktu
tempuh yang lebih lama jika dibandingkan dengan tempat tinggal anak yang
dekat dengan sekolah. Hal ini merupakan kendala bagi anak yang bertempat
tinggal jauh dari sekolah ditambah lagi tidak adanya transportasi yang
mendukung sebagai alat yang digunakan untuk menuju ke sekolah.
2. Alat transportasi yang digunakan
Transportasi yang dimaksud adalah tersedianya sarana transportasi yang dapat
dipakai atau digunakan untuk menuju kesekolah, dapat berupa kendaraan
3. Biaya transportasi
Akan menjadi penghambat bagi kelancaran pendidikan apabila diperlukan
biaya transportasi yang tidak sedikit untuk menuju kesekolah, sebaliknya
apabila biaya transportasi yang dikeluarkan tidak memerlukan biaya yang
banyak maka kecil kemungkinan untuk ditemui kendala terhadap kelancaran
pendidikan.
4. Fasilitas jalan
Fasilitas jalan disini maksudnya adalah kondisi jalan, apakah kondisi jalan
sulit untuk di lewati ataukah mudah untuk dilewati kendaraan pribadi maupun
kendaraan umum
Lokasi SMA Negeri 16 dan SMK Palapa ini jauh dari jalan raya dan tidak
ada angkutan umum yang melintas menuju kesekolah tersebut dari jalan raya.
Kaitannya dengan pendidikan, bagi mereka yang tergolong dalam kondisi
ekonomi rendah tanpa ada fasilitas transportasi pribadi yang dapat digunakan
untuk sekolah serta tidak ada alat transportasi umum untuk mengakses sekolah,
maka hal tersebut akan menjadi penghambat dalam keberlangsungan pendidikan
anak yang bertempat tinggal jauh dari sekolah.
2.3. Motivasi Anak
Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam individu, yang menyebabkan individu tersebut
bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat di
interpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau
29
suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar
sehingga seseorang berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah laku atau
aktivitas tertentu lebih baik daripada keadaan sebelumnya (Uno, 2011:9).
Motivasi menurut Handoko (1992:9) yaitu suatu tenaga atau faktor yang
terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan
mengorganisasikan tingkah lakunya, sedangkan kata motif adalah suatu alasan
atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu / melakukan
tindakan/bersikap tertentu. Motif adalah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu. Motif menunjukkan dorongan yang
timbul dari dalam diri seseorang sehingga mau berbuat untuk melakukan sesuatu.
Motif menunjukkan dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang sehingga
mau berbuat untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan atas jalarannya, maka orang membedakan adanya dua macam
motif yaitu:
1. Motif-motif ekstrinsik yaitu motif-motif yang berfungsi karena adanya
perangsang dari luar, seperti misalnya orang belajar giat karena diberi tahu
bahwa sebentar lagi mau ujian, orang membaca sesuatu karena diberi tahu
bahwa hal itu harus dilakukannya sebelum dia dapat melamar pekerjaan, dan
sebagainya.
2. Motif-motif Intrinsik yaitu motif-motif yang berfungsinya tidak usah
dirangsang dari luar. Memang dari diri individu sendiri telah ada dorongan itu.
Motivasi terbagi menjadi dua macam yaitu motivasi intrinsik dan motivasi
seseorang tanpa adanya rangsangan orang lain, sedangkan motivasi ekstrinsik
adalah motivasi yang timbul karena adanya rangsangan dari luar.
Adapun menurut Uno (2011:10) dapat pula disimpulkan bahwa motivasi
adalah dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang untuk mengadakan
perubahan tingkah laku, yang mempunyai indikator sebagai berikut:
a. Motivasi Intrinsik, indikatornya adalah sebagai berikut: 1) Adanya hasrat atau
keinginan untuk melakukan kegiatan; 2) Adanya dorongan dan kebutuhan
melkukan kegiatan; 3) Adanya harapan dan cita-cita; 4) Penghargaan dan
penghormatan atas diri.
b. Motivasi Ekstrinsik, indikatornya adalah sebagai berikut: 1) Adanya
lingkungan yang baik, dan; 2) Adanya kegiatan yang menarik.
Didalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk mencari tahu apakah
motivasi anak sebagai faktor penyebab anak putus sekolah. motivasi didalam
penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
a. Motivasi Intrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang tanpa
adanya/tanpa dipengaruhi oleh rangsangan dari luar. Indikator motivasi
intrinsik dalam penelitian ini yaitu:
1. Hasrat/keinginan anak untuk melanjutkan pendidikan
2. Adanya dorongan atau kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan
3. Adanya harapan dan cita-cita
4. Penghargaan atas diri
b. Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul karena adanya rangsangan
31
1. Lingkungan
a. Lingkungan keluarga yang berupa orang tua
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.
Disebut sebagai lingkungan atau lembaga pendidikan yang lain,
lingkungan inilah yang pertama ada. Interaksi didalam keluarga
biasanya didasarkan atas rasa kasih sayang dan tanggung jawab yang
diwujudkan dengan memperhatikan orang lain, bekerjasama, saling
membantu termasuk peduli terhadap masa depan pendidikan anaknya.
Kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak akan mendorong anak
untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.
b. Lingkungan sekolah yang berupa guru dan teman sekolah
Lingkungan sekolah yang berperan penting terhadap perkembangan
pendidikan anak adalah guru dan teman sekolah. Guru di sekolah
bertanggung jawab untuk selalu memotivasi peserta didik. Teman di
lingkungan sekolah dalam kegiatan proses pembelajaran disekolah
menempati kedudukan yang sangat penting, teman sekolah dapat
memberikan dampak yang positif dan sebaliknya juga dapat
memberikan dampak yang negatif bagi peserta didik dalam
perkembangan pendidikan di sekolah. Teman sekolah yang baik akan
mendorong anak untuk melakukan sesuatu yang akan berdampak positif
bagi diri anak, sebaliknya apabila di sekolah bergaul dengan anak-anak
yang tidak baik maka akan di pengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya akan
c. Lingkungan masyarakat yang berupa teman bergaul
Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul dilingkungan tempat
tinggal/masyarakat lebih tepat masuk dalam jiwanya. Teman bergaul
yang baik akan memberikan dampak yang positif bagi anak.
Sebaliknya, teman bergaul yang tidak baik akan memberikan dampak
negatif bagi anak.
2. Adanya kegiatan yang menarik di Sekolah
Kegiatan yang menarik bagi anak tentu akan membangkitkan rasa untuk
dapat mengikuti kegiatan tersebut. Apabila anak merasa di sekolah banyak
kegiatan yang menarik untuk dapat dilakukan, maka anak akan selalu
termotivasi untuk dapat bersekolah. Sebaliknya, apabila anak merasa
bahwa kegiatan di luar lebih menarik dibandingkan dengan kegiatan di
sekolah, maka anak akan menjadi malas untuk berangkat ke sekolah.
Untuk mengukur motivasi anak dengan menggunakan skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang
tentang fenomena sosial. Motivasi anak merupakan atribut psikologi, sehingga
digunakan skala Likert untuk mengukurnya.
Skala Likert memiliki 5 kategori kesetujuan dan memiliki skor 1-5 akan
tetapi dalam penelitian ini menggunakan jawaban kesesuaian antara kesesuaian
lebih tepat untuk menggambarkan keadaan yang diteliti sekarang. Skor skala
33
Menurut Azwar (2008:33) “tidak ada manfaatnya untuk memperbanyak
pilihan jenjang karena justru akan mengaburkan perbedaan yang diinginkan
diantara jenjang yang dimaksud, pada responden yang belum cukup dewasa,
diferensiasinya perlu disederhanakan. Hal ini diperkuat oleh Arikunto (2006:241)
yang menyatakan bahwa “ada kelemahan dengan lima alternatif yang ada
ditengah (karena dirasa aman dan paling gampang serta hampir tidak berpikir).
Berdasarkan alasan penggunaan skor skala yang diungkap oleh beberapa
ahli, maka penggunaan skor skala dalam penelitian ini hanya menggunakan
kisaran 1-4 pilihan skor. Karena pilihan jenjang yang terlalu banyak dapat
mengaburkan maksud yang diinginkan dan dapat memunculkan pada satu
jawaban saja terutama Skor yang ditengah, sehingga sangat disarankan alternatif
pilihannya 4 (empat) saja. Berikut gambaran alternatif jawaban skala motivasi
anak:
Tabel 2.1 Alternatif Pilihan Jawaban (Skor) Angket Motivasi
Alternatif (+) Skor Alternatif (-) Skor
A 4 A 1
B 3 B 2
C 2 C 3
D 1 D 4
2.4. Anak Putus Sekolah
Putus sekolah adalah belum sampai tamat namun sekolahnya sudah keluar,
jadi seseorang yang meninggalkan sekolah sebelum tamat, berhenti sekolah. tidak
dapat melanjutkan sekolah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1984). Sedangkan putus sekolah menurut Imron (2004:125) adalah siswa secara
Gunawan (2004:71) putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada
mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan,
sehingga tidak dapat menyelesaikan melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan berikutnya.
Imron (2004:126-127) dalam bukunya “Manajemen Peserta Didik Berbasis
Sekolah” menjelaskan sebab-sebab mengapa peserta didik drop ou tdan tidak
menyelesaikan pendidikannya, yaitu:
1. Rendahnya kemampuan yang dimiliki, menjadikan peserta didik merasa berat
untuk menyelesaikan pendidikannya.
2. Tidak mempunyai biaya untuk sekolah.
3. Sakit yang tidak tahu kapan sembuhnya, ini menjadikan penyebab-penyebab
siswa tidak sekolah sampai dengan batas waktu yang dia sendiri tidak tahu.
4. Karena bekerja.
5. Harus membantu orang tua diladang. Di daerah agraris dan kantong-kantong
kemiskinan, putra laki-laki dipandang sebagai pembantu terpenting ayahnya
untuk bekerja diladang.
6. Di drop out oleh sekolah. hal ini terjadi karena yang bersangkutan memang sudah tidak mungkin dididik lagi. Tidak dapat dididik lagi ini bisa disebabkan
karena kemampuannya rendah, atau dapat juga karena yang bersangkutan
memang tidak mau belajar.
35
9. Sekolah dianggap sudah tidak menarik bagi peserta didik. Karena tidak
menarik, mereka memandang lebih baik tidak sekolah saja.
Berdasarkan teori-teori tersebut diatas dapat disebutkan bahwa
faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab anak mengalami putus sekolah dalam
penelitian ini adalah: (1) kondisi sosial ekonomi, (2) aksesbilitas wilayah, (3)
motivasi anak.
2.5. Perbedaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK)
Antara SMA dan SMK terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Jika
SMA lebih menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan cenderung teoritis
dan bersifat umum sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
sedangkan SMK lebih menitikberatkan pada penguasaan keterampilan praktis
sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja. Walaupun lulusan SMK dipersiapkan
untuk terjun kelapangan kerja, masih terbuka kesempatan, masih terbuka
kesempatan bagi siswa untuk melanjutkan studinya pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah bentuk satuan
pendidikan menengah yang orientasinya memberi bekal siswa untuk memasuki
lapangan kerja tingkat menengah dan melanjutkan ke jenjang pendidikan sesuai
dengan kekhususannya (kejuruannya).
Pendidikan menengah diselenggarakan melalui bentuk-bentuk satuan
pendidikan menengah umum, kejuruan, keagamaan (MAN), kedinasan dan luar
biasa. Meskipun masing-masing satuan pentersebut memiliki tujuan yang berbeda,
berarti bahwa lulusan SMK dapat pula melanjutkan studinya sampai pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu perlu diacu dengan tujuan agar peneliti mampu
melihat perbedaan penelitiannya dengan penelitian yang lainnya. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah terletak pada variabel dan hasil
penelitiannya, selengkapnya dapat dilihat pada uraian dibawah ini:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyantoro yang mengambil judul tentang
faktor-faktor penyebab tingginya angka putus sekolah untuk jenjang
SMA/Sederajat di Kecamatan Tretep Kab.Temanggung dengan variabel
penelitian yaitu tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendapatan orang tua,
aksesbilitas wilayah dan motivasi anak, yang dianalisis dengan menggunakan
deskriptif persentase serta uji statistic yaitu dengan menggunakan t-test dan U-test. diperoleh bahwa 84% pendidikan orang tua yang anaknya putus sekolah adalah lulusan sekolah dasar. Pendapatan bersih orang tua yang anaknya putus
sekolah adalah 94% kurang dari Rp. 480.000,00, aksesbilitas yang masih sulit
yaitu jarak dari rumah kesekolah yang jauh yaitu rata-rata 17km, biaya
transportasi yang mahal yaitu antara Rp. 6.000,00 – Rp. 10.000,00/hari
menggunakan angkutan umum dan Rp. 4.500,00 dengan menggunakan sepeda
motor, fasilitas jalan yang sebagian masih menggunakan jalan batu, yaitu dari
11 desa masih ada 4 desa yang menggunakan jalan batu, fasilitas transportasi
37
pada waktu berangkat sekolah. Masih adanya anak yang tidak mau
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/Sederajat yaitu sebanyak 31%. Hasil
uji U-test diperoleh diperoleh nilai Sig = 0,000 < 5%jadi Ha diterima dengan
kata lain ada pengaruh tingkat pendapatan orang tua terhadap anak putus
sekolah.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Ayu Krisna Dewi yang meneliti tentang
Analisis Faktor-faktor penyebab anak putus sekolah usia pendidikan dasar di
Kecamatan Gerograk tahun 2012/2013. Dalam penelitiannya menggunaan
variabel ekonomi, perhatian orang tua, fasilitas pembelajaran, minat anak
untuk sekolah, budaya, faktor lokasi sekolah, dan dianalisis menggunakan
analisis faktor ( Barlett`s Tes), uji Measure of Sampling Adequacy (MSA), koefisien varimax rotation dan rotasi faktor. Dengan hasil penelitian yaitu faktor perhatian orang tua menjadi yang paling dominan karena memiliki nilai
variance explained tertinggi yaitu sebesar 39, 952%, artinya bahwa perhatian orang tua mampu menjelaskan penyebab anak putus sekolah usia pendidikan
dasar di Gerograk tahun 2012/2013. Faktor lokasi yang mempunyai nilai
variance explained yang terendah yaitu sebesar 17, 014%.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Satriyo Utomo yang meneliti tentang analisis
faktor-faktor rendahnya tingkat partisipasi anakkeluarga petani untuk
melanjutkan sekolah pada jenjang menengah atas (SMA) didesa dadap mulyo
Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Dalam penelitiannya menggunakan
variabel tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendapatan orang tua,
pekerjaan, aksesbilitas wilayahyang dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
menjadi penyebab lulusan smp tidak melanjutkan adalah tingkat pendidikan
orang tua rendah yaitu 62,5% lulusan tingkat SD/MI, tingkat pendapatan
orang tua (43,75% sebesar kurang dari satu juta per bulan dan pandangan
orang tua terhadap pentingnya pendidikan rendah 58,9% keterlibatan anak
dalam pekerjaan tinggi 75%, serta jarak tempuh sekolah yang jauh lebih dari 7
km, sehingga membutuhkan biaya yang besar.
Setelah melihat uraian diatas maka dapat di ketahui beberapa perbedaan
dan kelebihan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya, yaitu:
1. Penelitian mengenai faktor-faktor penyebab anak putus sekolah pada jenjang
pendidikan menengah (SMA/SMK) di Kecamatan Mijen kurun waktu
2011-2014 ini, persamaannya dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama terjun
ke lapangan secara langsung di masyarakat yaitu meneliti anak yang putus
sekolah maupun anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan berikutnya kemudian mengambil data dengan menggunakan
kuesioner wawancara serta angket penelitian dan lembar observasi, perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah populasi penelitian ini
didapatkan oleh peneliti langsung dari lembaga pendidikan formal atau sekolah
yang dahulu pernah menjadi tempat anak-anak tersebut mengenyam pendidikan
dan pada akhirnya anak-anak ini putus sekolah karena berbagai faktor
penyebab. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang lokasinya berada di