SMA MUHAMMADIYAH BANTUL
SKRIPSI
Oleh:
Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh
NPM: 20120720204
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Islam (S.Pd) strata Satu pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh:
Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh
NPM: 20120720204
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii
HUBUNGAN KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH DENGAN
TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA MUHAMMADIYAH BANTUL
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh
NPM : 20120720204
Telah dimunaqasyahkan di depan Sidang Munaqasyah Program Studi Pendidikan Agama Islam pada tanggal 31 Agustus 2016 dan telah dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
Sidang Dewan Munaqasyah
Ketua Sidang : Anita Aisah, M.Psi. ( )
Pembimbing : Dr. Akif Khilmiyah, M.Ag. ( )
Penguji : Dr. Abd. Madjid, M. Ag. ( )
Yogyakarta, 4 September 2016
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dekan,
iii
Nomor Mahasiswa : 20120720204
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 4 September 2016
Yang membuat pernyataan
iv
لٌيظعلٌْظلل ْلإلّن
إل ِّّل ْتلال َّبلَلهظعيلوهولهنبالنامقلل اقلذ
ِ
ِ
إو
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
v
Untuk ayahku, Bapak Suyono,
Sumber dukungan kekuatan dan keberanian yang tak pernah padam.
Untuk ibundaku, ibu Rinasihin,
Sumber dukungan emosional yang tak pernah kering.
Untuk adikku, faruq an-Nashih,
Sumber dukungan inspirasi yang tak pernah redup
dan
Untuk calon ayah bagi generasiku kedepan,
vi
HALAMAN NOTA DINAS ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
ABSTRAK ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Sistematika Pembahasan ... 7
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8
B. Kerangka Teori ... 11
vii
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Populasi dan Sampel ... 35
C. Teknik Pengumpulan Data ... 36
D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 38
E. Teknik Analisis Data ... 39
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Sekolah SMA Muhammadiyah Bantul ... 41
B. Analisis Data dan Pembahasan ... 51
1. Uji Instrumen Penelitian ... 51
2. Hasil Analisis Data ... 60
3. Pembahasan ... 78
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 81
B. Kketerbatasan Penelitian ... 82
C. Saran-saran ... 82
D. Kata Penutup ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84
CURRICULUM VITAE ... 87
viii
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional ... 35
Tabel 4.0 Item Validitas Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 52
Tabel 4.1 Kisi-kisi Instrumen Keterlibatan Pengasuhan Ayah Setelah dilakukan Uji Coba ... 53
Tabel 4.2 Item Validitas Kecerdasan Emosional Anak ... 54
Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Tingkat Kecerdasan Emosional Setelah dilakukan Uji Coba ... 55
Tabel 4.4 Analisis Reliabilitas Item Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 57
Tabel 4.5 Analisis Reliabilitas Item Kecerdasan Emosional ... 58
Tabel 4.6 Uji Normalitas Data ... 59
Tabel 4.7 Descriptive Statistics ... 76
ix
Gambar 4.0 Diagram Paternal Engagement ... 63
Gambar 4.1 Diagram Accessibility/Availibility ... 64
Gambar 4.2 Diagram Responsibility ... 65
Gambar 4.3 Diagram Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 66
Gambar 4.4 Diagram Mengenali Emosi Diri ... 68
Gambar 4.5 Diagram Mengelola Emosi... 69
Gambar 4.6 Diagram Memotivasi Diri Sendiri ... 70
Gambar 4.7 Diagram Mengenali Emosi Orang Lain ... 71
Gambar 4.8 Diagram Membina Hubungan ... 73
Gambar 4.9 Diagram Kecerdasan Emosional ... 74
xiii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui dan mengkaji keterlibatan pengasuhan ayah, 2) mengetahui dan mengkaji tingkat kecerdasan emosional siswa, 3) mengetahui dan mengkaji hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini sejumlah 108 siswa, selanjutnya untuk mendapatkan sampel dengan teknik simple random sampling yang berjumlah 30 responden. Data dikumpulkan dengan observasi, wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Uji validitas instrumen menggunakan rumus product moment Pearson, sedangkan uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Uji hipotesis menggunakan analisis korelasi sederhana dengan rumus Pearson product moment correlation.
Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Keterlibatan pengasuhan ayah pada siswa SMA Muhammadiyah Bantul berkategori tinggi pada keseluruhan indikatornya yang meliputi paternal engagement, accessibility/availibility, dan resposibility, 2) Kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul berkategori sedang pada tiga indikator, yaitu; mengenali emosi diri, mengeloa emosi dan empati. Sedangkan dua indikator lainnya berkategori tinggi, yaitu; memotivasi diri sendiri dan membina hubungan. 3) Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa rhitung (0.490) lebih besar (>) dari rtabel (0.361) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Dapat disimpulkan, terdapat hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.
A. Latar Belakang Masalah
Orang tua sebagai pemegang peran utama dalam keluarga sangatlah
berpengaruh terhadap sirkulasi kehidupan di dalam suatu keluarga. Peranannya
yang sangat penting menuntut pula tanggung jawab untuk dapat memberikan
yang terbaik bagi seluruh anggota keluarga. Dalam hal pengasuhan anak, orang
tua menjadi tombak utama pengambil keputusan untuk anak-anaknya. Terutama
peran ayah dalam pengasuhan anak adalah sebagai suatu hal penting yang tidak
dapat disepelekan. Ayah sebagai panutan keluarga sangat dibutuhkan oleh
anak-anaknya. Kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menyebabkan
anak mencari model lain dalam kesehariannya.
Saat ini sudah muncul revolusi pemikiran yang menempatkan betapa
tokoh ayah penting dalam proses dan perkembangan anak. Tidak dapat diterima
lagi anggapan yang menempatkan ayah hanya sebagai tokoh sekunder dalam
mendidik anak. Kini, sudah sangat diragukan kesahihan pandangan yang
membeda-bedakan posisi ayah dan ibu terhadap anak. Hasil penelitian terhadap
perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah
menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang
menurun, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi
anak laki-laki, ciri maskulinnya (ciri kelakian) bisa menjadi kabur (Dagun, 1990:
15).
Namun fenomena yang terjadi saat ini masih banyak ayah yang kurang
menyadari peran pentingnya di dalam keluarga. Sehingga tidak jarang jika masih
ditemukan keluarga yang menempatkan ibu sebagai tokoh yang harus aktif dalam
pengasuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan hasil dari data Konferensi
Ayah Sedunia dinyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam “fatherless
country, negara yang kekurangan ayah” demikian kata Irwan Rinaldi kepada
Aktual.com, Jakarta Selatan, Kamis 12 November 2015. Irwan mengatakan,
kurangnya ayah di dalam hal ini yaitu kurangnya ayah dari sisi psikologis.
Kemudian ia menambahkan bahwa anak-anak Indonesia saat ini sudah
terjerambab dalam kasus ‘father hungry’. Salah satu ciri yang dapat diketahui
yaitu kematangan psikologis yang lebih unggul dari kematangan biologis. Di
Indonesia seseorang yang berumur 23 tahun secara bilogis namun secara
psikologis masih seperti anak berumur 11 tahun.
Akibat dari fatherless Country ini diantaranya anak menjadi; memiliki
harga diri yang rendah, bertingkah laku kekanak-kanakan, terlalu bergantung,
dan kesulitan mendapatkan identitas sosial. Padahal Islam telah memperingatkan
untuk menjaga dengan baik setiap keturunan, hal ini sebagaimana di dalam Q.S
ةاكِئاام ااهْ يالاع ُةارااجِْْااو ُساّنلا ااُدوُقاو اًراَ ْمُكيِلْاأاو ْمُكاسُفْ ناأ اوُق اوُنامآ انيِذّلا ااهّ ياأ اَ
انوُلاعْفا ياو ْمُاراماأ اام اّّا انوُصْعا ي ا داادِش ظاِغ
انوُرامْؤُ ي اام
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (Q.S At-Tahrim : 6)
Judith Langloish dalam penelitiannya menemukan bahwa tokoh ayahlah
sebagai pengukuh dasar dalam perkembangan anak laki-laki menuju kedewasaan
dan juga anak perempuan. Peran ayah di sini digambarkan sama penting dengan
perannya sebagai teman main anak. Ayah mempengaruhi perkembangan
anak-anaknya dengan berbagai cara. Penampilan mereka merupakan model panutan
bagi anak-anaknya dalam pergaulan dan sikap sehari-hari. Lebih dari ibu, ia
memberi kesan mendalam dalam perkembangan sikap putera-puterinya (Dagun,
1990: 123).
Berbagai penelitian membuktikan adanya kaitan erat antara emosional
dengan pola asuh orang tua, yang sangat mempengaruhi kepribadian, bahkan
mungkin kegagalan atau kesuksesannya. Kecerdasan emosional sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap dan dapat berubah-ubah
setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua sangat
mempengaruhi dalam pembentukan emosional khususnya masa remaja.
(Fatmawati, Amatus dan Abram, 2015: 2). Pola asuh orang tua memiliki peran
Kegagalan pola asuh orang tua sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya
gangguan pada perkembangan kecerdasan emosional anak. Remaja yang rendah
dalam hal kecerdasan emosional akan lebih sering terjebak dalam hal kenakalan
remaja.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi dan wawancara
kepada beberapa siswa SMA Muhammadiyah Bantul. Setelah melakukan
observasi beberapa kali, peneliti melihat masih terdapat siswa yang rendah
motivasi belajarnya, sikapnya yang masih kurang terkontrol, dalam beberapa
kesempatan juga tidak sedikit siswa yang meninggalkan kelas pada saat sedang
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Kemudian dari hasil wawancara
kepada beberapa siswa terkait keterlibatan ayah di dalam pengasuhan, mendapat
jawaban sebagai berikut:
Saya merasakan kurangnya keterlibatan ayah dalam melakukan pengasuhan di keluarga. Saya benar-benar kurang merasakan kasih sayang dari ayah saya, hanya ibu saja yang memberikan perhatian lebih kepada saya. Saya frustasi dengan sikap ayah saya yang terlalu cuek kepada saya dan keluarga, saya juga tidak memiliki keberanian untuk menegur ayah. Bahkan saya juga sering pergi ke kafe untuk melakukan pelampiasan, terkadang juga tawuran dengan teman-teman karena saya punya geng. Perlu anda ketahui juga bahwa saya pernah dikeluarkan dari sekolah karena saya melakukukan hal yang tidak sepatutnya saya lakukan dengan pacar saya. Keluarga saya mungkin tidak tahu dengan apa yang saya lakukan, saya juga tidak tahu apakah ayah peduli dengan apa yang saya lakukan (wawancara pada tanggal 23 Maret 2016).
Peneliti melakukan wawancara kedua dengan siswa lainnya dan
mendapatkan jawaban sebagai berikut:
keadaan. Saya lebih sering diam, lebih frontal dan suka marah-marah dengan sendirinya. Saya tidak tahu kenapa kedua orang tua saya harus bercerai, saya yang merasa kesulitan menerima semua kejadian ini. Ketika saya melihat teman-teman saya bersama ayah dan ibu nya, hati saya terkadang merasakan sakit (wawancara pada tanggal 15 April 2016).
Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti
terhadap siswa, menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa siswa yang
mengalami kurangnya kasih sayang dari seorang ayah dan hal itu berpengaruh
pada sikap seorang anak dalam kehidupannya.
Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting dan strategis untuk
dilakukan guna mengetahui seberapa penting keterlibatan pengasuhan ayah dan
hubungannya dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah
Bantul.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana keterlibatan pengasuhan ayah pada siswa SMA Muhammadiyah
Bantul ?
2. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional pada siswa SMA Muhammadiyah
Bantul ?
3. Adakah hubungan antara ketelibatan pegasuhan ayah dengan tingkat
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji keterlibatan pengasuhan ayah pada
siswa SMA Muhammadiyah Bantul.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji tingkat kecerdasan emosional siswa
SMA Muhammadiyah Bantul.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji hubungan keterlibatan pengasuhan ayah
dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah
Bantul.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam mengkritisi dan menyelesaikan permasalahan yang
berkaitan dengan keterlibatan ayah di dalam melakukan pengasuhan kepada
anaknya dan sesuatu hal yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi para pendidik dan para orang tua, terutama ayah dalam melakukan
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam mengkaji dan memahami secara
keseluruhan skripsi ini, peneliti akan menguraikan tentang sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab I, membahas tentang pendahuluan, meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab II, membahas tentang tinjauan pustaka, landasan teori, dan
hipotesis.
Bab III, membahas tentang metode penelitian yang meliputi populasi
dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, definisi operasional, uji
reliabilitas dan validitas serta analisis data.
Bab IV, membahas tentang gambaran umum SMA Muhammadiyah
Bantul, meliputi sejarah berdirinya, keadaan geografis dan lingkungannya,
visi misi dan tujuan sekolah, struktur kepengurusan, guru dan karyawan,
peserta didik, serta sarana dan prasarananya juga analisis data pembahasan
mengenai hubungan keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan
emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.
Bab V, membahas tentang penutup, meliputi kesimpulan, saran-saran,
kata penutup, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pengasuhan ayah ini pernah diteliti sebelumnya yaitu:
penelitian yang dilakukan oleh Albadru (2007), tentang “Kompetensi
Interpersonal Mahasiswi terhadap Lawan jenis Ditinjau dari Keterlibatan Ayah
dalam Pengasuhan”. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah
keterlibatan ayah dalam pengasuhan, variabel terikatnya adalah kompetensi
interpersonal mahasiswi terhadap lawan jenis. Pada penelitian tersebut
kompetensi interpersonal mahasiswi terhadap lawan jenis diukur mengggunakan
aspek Buhremester dkk (1988) sedangkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan
pada penelitian tersebut diukur berdasarkan aspek dari Andayani dan Koentjoro
(2004) yaitu afektif, fisik dan kognitif. Subjek penelitian tersebut adalah
mahasiswa Universitas Gajah Mada berusia 19-25 tahun. Pada penelitian sampel
dipilih menggunakan metode incendital sampling, yaitu subjek dipilih
berdasarkan ciri atau kriteria yang dibatasi. Hasil penelitian ini adalah (a) subjek
memiliki tingkat kompetensi interpersonal dengan lawan jenis tinggi dan
keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang tinggi (b) sumbangan keterlibatan
lawan jenis sebesar 8,6%, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kompetensi
interpersonal terhadap lawan jenis pada mahasiswi sebesar 91,4%.
Peran ayah pernah diteliti oleh Elita (2003), dalam penelitiannya yang
berjudul “Hubungan Peran Ayah dengan Perilaku Seksual pada Remaja”. Variabel penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu peran ayah dan
variabel tergantungnya perilaku seksual pada remaja. Pada penelitian ini aspek
peran ayah menggunakan skala berdasarkan aspek dari Gecas dan Schawble
(1986). Subjek penelitian ini adalah siswi SMKK BOPKRI berusia 15-21 tahun.
Pengambilan subjek menggunakan metode puposive sampling. Hasil penelitian
ini adalah (a) ada korelasi yang signifikan yang negatif antara peran ayah dengan
perilaku seksual remaja perempuan sebesar -0,433 dengan sumbangan relatif
sebesar 19,7%.
Tengku Shella Asyava di dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan
Attachment Terhadap Ayah dengan Kecerdasan Emosi Pada Remaja Laki-laki”.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik multi stage
sampling dengan jumlah subjek sebanyak 80 orang remaja laki-laki berusia
15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan skala
likert, yaitu skala attachment terhadap ayah dan skala kecerdasan emosi. Hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan attachment
terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0,381 dan p = 0,000, ada
dengan r = 0,274 dan p = 0,000, dan ada hubungan negatif avoidant attachment
terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0,452 dan p = 0,000.
Penelitian terkait kecerdasan emosional juga pernah diteliti oleh Renny
Nursanty (2008), dengan judul “Hubungan Antar Kecerdasan Emosional dengan
Kecenderungan Depresi pada Remaja”. Teknik pengumpulan sampel dalam
penelitian ini adalah cluster random sampling. Pengumpulan datanya
menggunakan dua skala yaitu skala BDI dan skala kecerdasan emosional. Subjek
penelitiannya adalah siswi SMA Negeri 1 Tanjungpinang dengan subjek
penelitian siswi-siswi kelas X (sepuluh). Hasil akhir dari penelitian ini adalah
terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional
dengan kecenderungan depresi pada remaja dan diketahui sumbangan efektif
variabel kecerdasan emosional terhadap kecenderungan depresi sebesar 15,5%.
Ana Setyowati dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai”.
Alat pengumpul data yang digunakan adalah dua buah skala, yaitu skala
kecerdasan emosional dan skala resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan
individu dalam mengatasi tantangan hidup serta mempertahankan kesehatan
dan energi yang baik sehingga dapat melanjutkan hidup secara sehat.
Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi sederhana. Subjek
penelitian ini adalah 16 orang siswa di Rumah Damai. Hasil penelitian ini adalah
resiliensi. Sumbangan efektif kecerdasan emosional terhadap resiliensi dalam
penelitian ini sebesar 64,1%.
Berdasarkan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
keterlibatan pengasuhan ayah dan kecerdasan emosional masih dikaji dengan
berdiri sendiri-sendiri, belum ada yang mengkaji secara bersamaan dalam satu
penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan coba untuk dikaji dan
disandingkan secara bersama dalam satu bahasan penelitian antara keterlibatan
pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional.
B. Kerangka Teori
1. Keterlibatan Pengasuhan Ayah
a. Definisi Keterlibatan Pengasuhan Ayah
Pengasuhan merupakan suatu perilaku yang pada dasarnya
mempunyai kata-kata kunci yaitu hangat, sensitif, penuh penerimaan,
bersifat respirokal, ada pengertian dan respon yang tepat pada kebutuhan
anak (Garbarino, 1992 : 45).
Para peneliti mengenai keterlibatan ayah memiliki sedikit kesulitan
untuk mendefnisikan konsep keterlibatan ayah. Bahkan kurangnya definisi
yang jelas dan konsisten dari konsep keterlibatan ayah ini menjadi salah
satu hambatan terbesar dalam penelitian mengenai peran ayah.
Keterlibatan ayah seringkali digambarkan dengan jumlah waktu yang ayah
anak (Hawkins et al, 2002: 21). Hal itu terjadi karena waktu seringkali
dianggap orang tua sebagai hal yang paling penting dalam keterlibatan
dengan anak (Hawkins et al, 2002: 22). Akan tetapi waktu bukan
satu-satunya dimensi yang penting dalam keterlibatan ayah, yang menjadi inti
sesungguhnya yaitu bagaimana kualitas dan intensitas pertemuan itu.
Pernyataan yang lebih mendasar adalah bukan jumlah waktu seorang ayah
bersama anaknya setiap hari tetapi apa dan bagaimana yang ia lakukan
pada saat bersama anak (Dagun, 1990: 17).
Meski tidak banyak ilmuwan yang membicarakan bagaimana
pentingnya kehadiran seorang ayah dalam perkembangan mental anak,
tetapi suatu bukti yang sederhana bahwa ketidakhadiran seorang ayah
dalam diri anak berpengaruh kuat terhadap perkembangan intelektualnya.
Peneliti pertama yang meneliti soal ini adalah Walter Misched (1958)
meneliti anak-anak di India. Ternyata ketidakhadiran ayah menjadikan
anak-anak lamban menanggapi keinginan dan kebutuhan (Dagun, 1990:
135).
Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Martin L. Hoffman
(1971), ia meneliti nilai moral dan index sikap agresif dari dua kelompok
anak. Kelompok pertama anak yang hidup tanpa ayah semenjak kecil dan
kelompok kedua hidup bersama ayahnya. Ternyata anak yang berasal dari
keluarga tanpa ayah menununjukkan skor rendah dalam sikap dan nilai
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan ayah adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan anak
yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku, afeksi,
dan kognisi.
b.Dimensi Keterlibatan Ayah
Menurut Lamb, et.al. dalam Cabrera, et.al. (1999: 5) keterlibatan ayah
memiliki tiga komponen, yaitu:
1)Paternal Engagement, mencakup kontak dan interaksi ayah secara
langsung dengan anak dalam konteks pengasuhan, bermain, atau
rekreasi. Komponen ini mempresentasikan waktu yang dihabiskan
dalam interaksi langsung ayah dan anak dan tidak mencakup waktu
yang dihabiskan dalam proximity/kedekatan ayah dan anak, misalnya
ayah duduk di suatu ruang sementara anak bermain di ruang yang lain.
2)Accessibility atau availibility, mencakup kehadiran dan keterjangkauan
ayah bagi anak. Dalam komponen ini, ayah mungkin tidak berinteraksi
secara langsung dengan anak namun masih hadir bagi anak, baik
secara fisik maupun psikologis. Contoh dari accessibility adalah ketika
ayah membaca surat kabar di suatu ruang sementara anak bermain di
ruang yang sama.
3)Responsibility, mencakup pemahaman dan usaha ayah dalam
pengaturan dan perencanaan kehidupan anak. Komponen ini dapat
menunjukkan tanggung jawab ayah terhadap anaknya, baik untuk
kesejahteraan ataupun perawatan anaknya, misalnya membiayai hidup
anak dan mengetahui jadwal anak ke dokter. Di komponen ini pula,
ayah idak harus berinteraksi secara langsung dengan anak; pikiran,
perhatian, maupun perencanaan yang dilakukan untuk anak juga bisa
dimasukkan ke dalam komponen ini.
Penelitian Van Wel (2000) menghasilkan kesimpulan bahwa
kedekatan ayah dengan anak mereka memiliki hubungan yang positif
dengan kebahagiaan anak, baik secara langsung maupun dalam waktu
yang lama atau mendatang. Dampak pemenuhan tiga aspek di atas akan
dapat memengaruhi kepercayaan diri anak, kepuasan hidup anak, dan
distrees psikologis anak. Anak yang dalam masa perkembangannya
dipenuhi tiga aspek di atas oleh ayah mereka, akan memiliki kepercayaan
diri yang tinggi. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, anak akan mudah
memenuhi tugas sekolahnya, dan berani melakukan hal-hal yang positif
(Wenk et all., 1994: 25).
Selain itu anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya,
juga akan memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi. Anak menjadi
merasa puas dengan hidupnya karena kebahagiaan yang dirasa. Anak
yang ayahnya terlibat dalam pengasuhannya, akan mempunyai distress
setres yang ada, dan mengetahui solusi terhadap berbagai permasalahan
yang muncul dalam hidupnya.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah
Banyak ahli menyatakan bahwa keterlibatan ayah adalah konsep
yang multifaceted dan juga multidetermined sehingga konsep ini
cenderung lebih sensitif terhadap faktor-faktor kontekstual. Sebuah
model dari Doherty et al (dalam Dwitya, 2012: 11-15) menjelaskan
bahwa terdapat lima faktor utama yang dapat memengaruhi keterlibatan
ayah, yaitu:
1). Faktor yang berhubungan dengan ayah
Berdasarkan model dari Dohery et al, karakter individual ayah
memiliki hubungan dengan keterlibatan ayah. Hal-hal yang termasuk
ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan ayah adalah
pekerjaan, kepribadian, pandangan terhadap pangasuhan anak, dan
pandangan terhadap pekerjaan ibu.
Menurut Coltrane, ayah yang memilki jam kerja yang lebih
lama akan lebih tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Selain itu,
ayah yang memiliki posisi dalam pekerjaan yang lebih prestisius serta
lebih menyita waktu dan emosi dilaporkan akan memiliki keterlibatan
yang lebih rendah terhadap anak, terutama pada level engagement
Faktor lain yang juga berhubungan dengan ayah dan
memengaruhi keterlibatan ayah adalah kepribadian ayah. Dari segi
kepribadian, dilaporkan bahwa ayah yang memiliki self esteem yang
lebih tinggi, adaptasi hidup yang lebih baik dan hostility yang lebih
rendah akan lebih supportif dan hangat dalam hubungan dengan
anaknya.
Pandangan ayah mengenai bagaimana seharusnya peran ayah
dalam pengasuhan anak juga memiliki efek terhadap keterlibatan
ayah. Ayah yang memiliki belief tentang pengasuhan yang berfokus
terhadap anak akan cenderung lebih terlibat dalam aktivitas
pengasuhan anak. Selain itu, dilaporkan pula bahwa ayah yang lebih
menghargai peran mereka sebagai ayah dan merasa memiliki
kemampuan yang memadai dalam pengasuhan anak akan terlibat
dalam kehidupan anak mereka.
2). Faktor yang berhubungan dengan ibu
Karakteristik ibu merupakan salah satu hal yang dapat
memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Faktor yang
berasal dari ibu dan turut memengaruhi keterlibatan ayah di antaranya
adalah pekerjaan ibu, usia ibu, dan pandangan ibu terhadap ayah.
Menurut Pleck (1997), keterlibatan ayah akan lebih tinggi jika
ibu adalah ibu bekerja. Lebih lanjut lagi, semakin tinggi jam kerja
usia ibu, ayah dilaporkan akan lebih terlibat dalam pengasuhan anak
jika keluarga tersebut memiliki ibu dan ayah dengan usia lebih muda.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkkan bahwa ibu cenderung
menghambat keterlibatan ayah dalam aktivitas pengasuhan anak jika
ibu memiliki belief bahwa ayah tidak kompeten dalam melakukan
tugas-tugas pengasuhan (Pleck dalam Cabrera dan
Tamis-LeMonda,1999). Sebaliknya pandangan ibu terhadap pentingnya
keterlibatan ayah dan juga kepuasan ibu terhadap keterlibatan ayah
dapat memprediksi frekuensi keterlibatan ayah (Allen dan Doherty,
Wattenberg dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999: 22).
3). Faktor yang berhubungan dengan anak
Beberapa faktor dari anak yang dapat memengaruhi
keterlibatan ayah adalah urutan kelahiran, jenis kelamin, usia, dan
tempramen anak. Menurut Vandell, dalam keluarga dengan anak
lebih dari satu, ayah akan cenderung untuk lebih banyak terlibat
dalam pengasuhan anak yang yang lebih tua sementara ibu mengasuh
anak yang lebih muda, terutama yang masih berusia bayi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayah akan lebih
terlibat dengan anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan.
Lebih lanjut, menurut Radin perkembangan keterlibatan ayah juga
akan lebih stabil sepanjang kehidupan anak laki-laki dibandingkan
identitas gender antara ayah dan anak laki-laki. dari segi usia,
menurut Pleck, keterlibatan ayah akan semakin menurun seiring
dengan bertambahnya usia anak. Dari segi tempramen, menurut
Grych dan Clark, interaksi ayah dengan anak bertemperamen easy
akan lebih positif dibandingkan dengan anak bertemperamen difficult.
4). Faktor yang berhubungan dengan pengasuhan bersama
Salah satu hal yang termasuk di dalam faktor ini adalah
hubungan pernikahan. Menurut Feldman, Nash, dan Aschenbrenner
persepsi ayah terhadap hubungan pernikahannya akan secara
konsisten memprediksi keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Selain
itu, ketika hubungan pernikahan memburuk, ayah dilaporkan akan
menjadi lebih negatif dan kurang sensitif dalam pengasuhan anak.
Hasil penelitian serupa dari Cox et al menyatakan bahwa sensitivitas
ayah dan juga keterlibatan ayah akan menjadi lebih rendah ketika
konflik dalam pernikahan meningkat dan persepsi ayah terhadap
pernikahannya menjadi lebih negatif.
5). Faktor yang berhubungan dengan kontekstual dan Sosiodemografis
Beberaapa faktor kontekstual dan sosiodemografis yang dapat
memengaruhi katerlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah
penghasilan keluarga dan etnis. Penghasilan keluarga yang dimaksud
adalah proporsi penghasilan keluarga yang didapat dari ayah maupun
penghasilan ayah dalam penghasilan keluarga lebih kecil, ayah akan
lebih banyak menghasilkan waktu dalam aktivitas pengasuhan anak.
Dari segi etnis, beberpa penelitian di Negara Barat khususnya
menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
bervariasi dalam berbagai kelompok ras maupun etnis tertentu
menemukan bahwa ayah dari ras Afrika-Amerika lebih jarang
membacakan buku untuk anak mereka namun lebih sering bermain
dengan anak dibandingkan dengan ayah dari ras Eropa-Amerika.
Selain itu, hasil penelitian dari King menyatakan bahwa ayah dari ras
Afrika-Amerika lebih sering mengunjungi anak mereka dan terlibat
dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pengasuhan
anak, dibandingkan dengan ayah dari ras Eropa-Amerika atau ras
Hispanik.
d. Pendekatan dalam Pengukuran Katerlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak
Beberapa pendekatan dalam pengukuran Keterlibatan ayah dalam
pengasuhan yaitu : (Allen & Daly, 2007: 21-22)
1) Keterlibatan ayah diukur sebagai waktu yang dihabiskan bersama.
Hal ini mencakup frekuensi bertemu, jumlah waktu yang dihabiskan
bersama (melakukan sesuatu misalnya: makan bersama, menghabiskan
mudah dijangkau (accessibility) dan adanya ayah (availibility). Ini dapat
juga termasuk jumlah waktu ayah menghabiskan waktu merawat fiisk
anaknya, missal: mandi, menyiapkan makanan, dan memakaikan
pakaian, sebagai tambahan pada sejumlah waktu yang dihabiskan untuk
bermain bersama anakdan seberapa efektif interaksi timbal balik ketika
ayah-anak bermain.
2) Keterlibatan ayah diukur dari kualitas hubungan ayah-anak
Seorang ayah didefinisikan sebagai ayah yang terlibat jika hubungan
dengan anaknya dapat dideskripsikan sebagai sebagai hubungan yang
hangat, dekat, sensitif/peka, akrab, mendukung, mengasihi, merawat,
membesarkan hati, memberi kenyamanan dan menerima. Sebagai
tambahan, ayah diklasifikasikan sebagai ayah yang terlibat jika anak
mereka telah mengembangkan kelekatan yang aman dan kuat pada sang
ayah.
3) Keterlibatan diukur sebagai upaya dalam menjalankan peran ayah.
Pengukuran melihat tingkat upaya dalam pengasuhan anak, termasuk
kemampuan ayah untuk menjadi orang tua yang otoritatif (melakukan
control secara tepat, bertanggung jawab terhadap disiplin yang
diterapkan, memonitor aktivitas anak), tingkat dimana ayah
memfasilitasi dan memberi perhatian pada kebutuhan anak, dan jumlah
dukungan yang diberikan pada anak yang berhubungan dengan aktivitas
4) Konseptualisasi yang multidimensional.
Terdapat sejumlah pendapat yang mendefinisikan keterlibatan ayah
dalam pengasuhan. Beberapa model yang menyajikan multi aspek atau
multidimensi dari atribut keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak,
antara lain “generative fathering” dan “responsible fathering”.
Dalam penelitian ini ke empat pendekatan di atas digunakan untuk
mengukur keterlibatan pengasuhan ayah terhadap anak, hal ini bertujuan
supaya diperoleh hasil yang lebih komperehensif dalam penelitian ini.
2. Kecerdasan Emosional
a. Definisi Konseptual Kecerdasan Emosional
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) mengartikan kecerdasan
sebagai perihal cerdas (sebagai kata benda) atau kesempurnaan
perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman pikiran).
Kecerdasan atau intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan yang
bersifat untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai
komponen (Nurdin, 2009: 97).
Kamus Filsafat dan Psikologi (1998) mengartikan intelegence sebagai
kecerdasan, kacakapan untuk menangani situasi-situasi dan kemampuan
mempelajari sesuatu, termasuk pencapaian kemampuan dengan kata lain,
kemampuan yang berurusan dengan kerumitan-kerumitan atau dengan hal-hal
dapat diartikan sebagai kesempurnaan akal budi yang diwujudkan dalam
kemampuan-kemampuan umum yang terdiri dari berbagai komponen untuk
memperoleh kecakapan-kecakapan tertentu (Nurdin, 2009: 97).
Kata emosi dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai
setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan
mental yang hebat atau meluap-luap (Goleman, 2009: 411). Goleman
menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Dalam mencari prinsip dasar emosi Goleman
mengikuti pemikiran Paul Ekman dan yang lain-lainnya yang menganggap
emosi berdasarkan kerangka kelompok atau dimensi dengan cara mengambil
kelompok besar emosi __ marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu dan
sebagainya __sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional yang tak
ada habis-habisnya (Goleman, 2009: 413).
Istilah Emotional Intelligence pertama kali dipergunakan oleh Petter
Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari New Hampshire
University pada tahun 1990 untuk melukiskan kualitas emosional yang
tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas ini antara lain adalah: empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan,
sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan
mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual (Stein and Book, 2004: 30).
Menurut Reuven Bar-On kecerdasan emosional adalah serangkaian
kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan (Stein and Book, 2004: 30).
Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya sekiranya dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dapat disebut sebagai “street smart (pintar)”, atau kemampuan khusus yang disebut “akal sehat” terkait dengan
membaca lingkungan, dan menatanya kembali; kemampuan memahami
dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan
dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan;
dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang
kehadirannya didambakan orang lain.
b. Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa dimensi kemampuan
yang membentuknya. Salovey mengungkapkan bahwa konsep kecerdasan
1). Mengenali emosi diri
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Konsep
ini meliputi kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
yang merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
Ketidakmampuan untuk mengenali emosi diri kita yang sesungguhnya
membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki
keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah sebuah pilot yang andal
bagi kehidupan mereka. Karena mereka mempunyai kepekaan yang lebih
tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya di dalam pengambilan
keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan
dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
2). Mengelola emosi
Mengelola emosi adalah kemampuan untuk menguasai perasaannya
sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan dengan tepat. Dalam
konsep ini akan ditinjau kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan
akibat-akibat yang akan timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar
ini. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan
terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka
yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari
3). Memotivasi diri sendiri
Memotivasi diri sendiri adalah kemampuan untuk menggerakkan dan
menuntun menuju tujuan. Kendali diri emosional yaitu menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan
keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki
keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal
apapun yang mereka kerjakan.
4). Mengenali emosi orang lain (empati)
Empati bukan hanya untuk mengetahui pikirannya saja melainkan juga
perasaan orang lain.
5). Membina hubungan
Membina hubungan adalah kemampuan seseorang untuk membentuk
hubungan, membina kedekatan hubungan, sebagian besar merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain.
c. Faktor-faktor Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
penunjangnya. Factor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional
remaja diantaranya faktor internal dan eksternal. (Ali & Asrori, 2014: 35)
1) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap
manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem
emosional meliputi keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus
prefrontal dan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak emosional.
2) Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri
seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang
dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat
berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan mempengaruhi
kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih
memicu pada lingkungan.
d. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional
Sebagai bahan rujukan dan pegangan gambaran kecerdasan emosional
yang dimiliki oleh seseorang. Hein mengemukakan tentang tanda-tanda atau
ciri-ciri kecerdasan emosional secara spesifik. Ciri-ciri tersebut meliputi :
(Nurdin ,2009: 104)
1) Ciri-ciri Kecerdasan Emosional yang Tinggi Meliputi:
a) Dapat mengekspresikan emosi dengan jelas dan tidak merasa takut.
b) Tidak didominasi oleh perasaan-persaan negatif.
c) Dapat memahami (membaca) komunikasi non verbal.
d) Membiarkan perasaan yang dirasakan untuk membimbingnya.
e) Berperilaku sesuai dengan keinginan, bukan karena keharusan,
f) Menyeimbangkan perasaan dengan rasional, logika dan kenyataan.
g) Termotivasi secara instrinsik.
h) Tidak termotivasi karena kekuasaan, kenyataan, status, kebaikan dan
persetujuan.
i) Memiliki emosi yang fleksibel, peduli dengan perasaan orang lain.
j) Optimis, tidak menginternalisasika kegagalan.
k) Tidak digerakkan oleh ketakutan dan kekhawatiran.
l) Dapat mengidentifikasikan berbagai perasaan secara bersamaan.
2). Ciri-ciri kecerdasan emosional yang rendah meliputi,
a) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap perasaan sendiri dan
lebih menyalahkan orang lain.
b) Tidak mengetahui perasaannya sendiri, sehingga menyalahkan orang
lain, suka memerintah, suka mengkritik, sering mengganggu, sering
menggurui, sering memberi nasehat, sering curang, dan sering menilai
orang lain.
c) Berbohong terkait dengan sesuatu yang sedang ia rasakan
d) Membiarkan segala hal terjadi atau bereaksi berlebihan terhadap
kejadian yang sederhana sekalipun.
e) Tidak memiliki perasaan dan integritas.
f) Tidak mempunyai rasa empati dan kasihan.
g) Kaku, tidak fleksibel, membutuhkan aturan-aturan dan struktural
h) Merasa tidak aman, definisif dan sulit menerima kesalahan dan sering
merasa bersalah.
i) Tidak bertanggung jawab, Pesimistik dan sering menganggap dunia
tidak adil.
j) Sering merasa tidak adequate, kecewa, pemarah, sering menyalahkan,
menggunakan kepandaian yang dimilikinya untuk menilai dan
mengkritik serta tanpa rasa hormat terhadap perasaan orang lain.
3. Peran Ayah dalam Kecerdasan Emosional Anak
Santrock (2007: 167) menjabarkan setiap pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua akan berpengaruh terhadap sikap emosi anak. Pada tahun
1960-an, Bernard Guerney memelopori teknik pelatihan orang tua sebagai
“ahli terapi” pengganti bagi anak-anaknya yang bermasalah, dan menyimpulkan bahwa banyak anak mempunyai masalah bukan karena orang
tuanya kejam atau menderita gangguan mental, tetapi karena tidak menguasai
keterampilan untuk mengembangkan hubungan yang positif dengan anak
(Shapiro, 2003: 30).
Pengasuhan orang tua terutama ayah sangatlah penting bagi
anak-anaknya. Dari bebera penelitian yang melakukan tes tentang perkembangan
seorang anak tanpa kehadiran seorang ayah. Hasilnya menyimpulkan bahwa
jika peran ayah itu kecil atau tidak pernah mengasuh anaknya maka akan
Penelitian lain terhadap kelompok anak-anak yang ayahnya tidak
terlibat dalam perkembangannya sering sulit untuk diinterpretasikan. Karena
meski ada tokoh lain pengganti peran ayah yang berinteraksi dengan si anak
di rumah, namun sejauh mana kuatnya sulit ditafsirkan. Penelitian Pedersen
dan koleganya menguji hipotesis ini dan menemukan bahwa pengaruh
kehadiran orang dewasa yang lain, ternyata tidak mempunyai dampak yang
mendalam bagi anak. Ayah tampaknya lain. Ayah lebih dari itu. Dia
mempunyai pengaruh yang menimbulkan suatu perubahan dan kualitasnya
berbeda dengan orang dewasa lain (Dagun, 1990: 130).
Dalam dunia modern ini, peran ayah sebagai kepala keluarga sering
terfokus pada usaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, terutama
keuangan. Dengan demikian, tak jarang seorang ayah harus membanting
tulang mencari nafkah keluarga dan pulang dalam keadaan lelah tanpa
memiliki kesempatan banyak untuk berinteraksi dengan istri dan anak-anak.
Fenomena ini akan lebih terasa di kota besar dengan tekanan hidup yang lebih
tinggi, belum lagi ditambah kemacetan yang semakin parah membuat seorang
ayah banyak kehilangan waktu berharganya untuk berinteraksi dengan anak.
Menciptakan kedekatan antara seorang ayah dengan anak adalah
sebuah investasi yang sangat berharga. Sesibuk apapun seorang ayah perlu
meluangkan waktu untuk menjalin kedekatan dan menjadi pelatih emosi bagi
anak-anaknya. Diantara beberapa hal yang dapat dilakukan sang ayah adalah;
kasih sayang afirmatif adalah menyediakan situasi yang baik bagi
perkembangan emosional anak, dan mendukung melalui cara yang dengan
jelas dikenali oleh anak. Dengan kata lain ikut melibatkan diri secara aktif
dalam kehidupan emosi anak. Sedangkan disiplin afirmatif adalah disiplin
yang cara-caranya telah dipikirkan dengan matang, terencana, dan sesuai
dengan usia untuk menanggapi perilaku menyimpang anak (Shapiro, 2003:
29-31).
C. Kerangka Pikir
Gambar 2.0
Hubungan antara Variabel X dan Variabel Y
X Y
Gambar di atas untuk menggambarkan hubungan antara variabel X
(keterlibatan pengasuhan ayah) dan variabel Y (kecerdasan emosional anak).
Pada tabel tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara variabel X dan
variabel Y merupakan hubungan timbal balik, maksudnya adalah satu variabel
dapat menjadi sebab dan juga akibat terhadap variabel lainnya, demikian pula
sebaliknya. Sehingga variabel X dapat mempengaruhi variabel Y dan variabel Y
dapat pula mempengaruhi variabel X. Keterlibatan Pengasuhan
Ayah
X
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang telah disampaikan di atas
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Terdapat hubungan antara
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian hubungan keterlibatan pengasuhan ayah dengan kecerdasan
emosional anak ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif korelasional
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, karena penelitian ini menggunakan
variabel/data kuantitatif sebagai sumber data utama.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian
korelasional karena penelitian dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dan tingkat kecerdasan emosional
anak. Kemudian metode penelitian yang digunakannya yaitu metode survei, yaitu
penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang
dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut untuk
menemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar
variabel sosiologis maupaun psikologis (Sugiyono, 2015: 12).
1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu
keterlibatan pengasuhan ayah dan tingkat kecerdasan emosional anak. Berikut
a. Keterlibatan Pengasuhan Ayah
1). Definisi Konseptual
Definisi konseptual keterlibatan pengasuhan ayah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan
anak yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku,
afeksi, dan kognisi. Definisi ini merupakan kesimpulan dari definisi yang
dikemukakan oleh Lamb et al (dalam Hawkins et al, 2002).
2). Definisi Operasional
Definisi operasional dari keterlibatan pengasuhan ayah dalam
penelitian ini adalah skor yang didapatkan ayah dari alat ukur Paternal
Index of Child Care Inventory (PICCI). Semakin tinggi skor yang
diperoleh menunjukkan ayah semakin terlibat dalam pengasuhan,
begitupun sebaliknya.
Tabel 3.0
Kisi-kisi Instrumen Penelitian Keterlibatan Pengasuhan Ayah
Variabel Indikator
3. Responsibillity 21, 22, 23, 24, 25, 26
27, 28, 29, 30
10
b. Kecerdasan Emosional
1). Definisi Konseptual
Definisi konseptual kecerdasan emosional yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah definisi kecerdasan emosional yang dikemukakan
oleh Daniel Goleman (2009: 24), yaitu kemampuan yang dimiliki seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a.
2). Definisi Operasional
Definisi operasional dari tingkat kecerdasan emosional ini adalah skor
yang didapatkan dari kecerdasan emosional remaja dengan menggunakan
teori Daniel Goleman (2009: 58) yang dapat dinilai dari ciri-ciri yang telah
dikemukakannya, yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri,
empati diri, dan keterampilan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh
menunjukkan anak mempunyai tingkat kecedasan emosioanl yang tinggi,
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kecerdasan Emosional
Variabel Indikator
B. Populasi dan Sampel
a. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA
Muhammadiyah Bantul yang terdiri dari 6 kelas dengan jumlah 108 siswa.
Pengambilan populasi dengan memfokuskan kelas X dikarenakan usia siswa
kelas X yaitu antara 14 sampai dengan 15 tahun, yang tergolong masuk pada
usia remaja awal. Pada masa remaja awal ini biasa mulai munculnya
gejala-gejala negatif. Diantara gejala-gejala-gejala-gejala fase negatif menurut Hurlock di dalam
buku Psikologi Remaja karya Mighwar, yaitu: keinginan untuk menyendiri,
tubuh, kegelisahan, konflik sosial, penantangan terhadap kewibawaan orang
dewasa, kepekaan perasaan, dan mulai timbul minat pada lawan seks
(Mighwar, 2011: 68).
b. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
popolasi (Sugiyono, 2015: 81). Pengambilan sampel harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat
berfungsi sebagai contoh, atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang
sebenarnya.
Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga maka diambil
jumlah minimal. Sugiyono (2015: 91) menyatakan bahwa ukuran sampel
yang layak dalam penelitian antara 30 – 500 orang. Pengambilan sampel digunakan model probability sampling dengan teknik simple random
sampling. Probability sampling merupakan teknik sampling yang
memberikan kesempatan (peluang) sama pada setiap anggota populasi untuk
dijadikan sampel (Riduwan, 2009: 12). Simple random sampling merupakan
cara pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan tingkatan antar
anggota populasi karena populasi bersifat homogen (Riduwan, 2009: 12).
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data dengan memberi
dan menyebar daftar pertanyaan yang harus direspon oleh responden sesuai
dengan keadaan responden (Sugiyono, 2015: 142). Dalam mengukur
keterlibatan pengasuhan ayah dan kecerdasan emosional anak yaitu dengan
menggunakan skala ketentuan untuk pernyataan positif: (5) Sangat Setuju, (4)
Setuju, (3) Ragu-Ragu, (2) Tidak Setuju, (1) Sangat Tidak Setuju. Sedangkan
untuk pernyataaan negatif: (5) Sangat Tidak Setuju, (4) Tidak Setuju, (3)
Ragu-ragu, (2) Setuju, (1) Sangat Setuju.
2. Observasi atau pengamatan merupakan suau teknik atau cara mengumpulkan
data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang
berlangsung (Sugiyono, 2015: 145). Observasi ini dilakukan untuk
memperoleh data tentang bagaimana siswa dapat mengenali emosi diri, dapat
mengelola emosi, dapat memotivasi diri sendiri, dapat mengenali emosi
orang lain, dan dapat membina hubungan.
3. Wawancara menurut Sugiyono (2015: 137) digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Wawancara dapat
dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan
4. Dokumentasi berupa catatan dokumen berbentuk tulisan dan gambar untuk
mengetahui batas sekolah, fasilitas sekolah, guru, karyawan, jumlah siswa,
serta tujuan dan visi misi SMA Muhammadiyah Bantul.
D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Terdapat dua persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh instrumen
penelitian, yaitu validitas dan reliabilitas. Sebuah instrumen dikatakan baik jika
mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat menangkap data variabel yang
diteliti secara tepat. Untuk mengetahui tingkat validitas suatu instrumen, dapat
digunakan koefisien korelasi dengan mengunakan rumus Product Moment dari
Pearson dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
r : adalah koefisien korelasi produk momen Pearson n : adalah banyaknya pasangan pengamatan
x : adalah jumlah pengamatan variabel x y : adalah jumlah pengamatan variabel y
Metode uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
reliabilitas internal consistency atau internal consistency method dengan
digunakan karena dapat digunakan pada kuesioner yang jawaban atau
tanggapannya lebih dari dua pilihan. Uji reliabilitas pada penelitian ini
menggunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono, 2015: 130) seperti di bawah
ini:
E. Teknik Analisis Data
Setelah peneliti melakukan penelitian di lapangan dan mengumpulkan
data-data, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan analisis
data. Teknik analisis data diarahkan pada pengujian hipotesis yang diajukan serta
untuk menjawab rumusan masalah. Pada penelitian ini digunakan analisis
korelasi. Uji koefisien korelasi dimaksudkan agar dapat menentukan keeratan
hubungan dua variabel yang diteliti.
Uji korelasi dimaksudkan untuk melihat hubungan dari dua hasil
pengukuran atau dua variabel yang diteliti, untuk mengetahui derajat hubungan
X = ½ ( skor tertinggi + skor terendah ) SDi = 1/6 ( skor tertinggi-skor terendah )
Untuk kategori tinggi = (X + 1 SDi) – (X + 3 SDi) Untuk kategori sedang = (X – 1 SDi) – (X + 1 SDi) Untuk kategori rendah = (X - 3 SDi) – (X – 1 SDi)
emosional anak). Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Pearson
product moment correlation. Alasan peneliti menggunakan teknik ini karena data
yang diperoleh berupa data interval yang diperoleh dari instrumen dengan
menggunakan jenis skala likert.
Adapun rumusan yang digunakan adalah :
Keterangan:
rxy : koefisien korelasi
Ʃx : Jumlah skor X
Ʃy : Jumlah skor Y
Untuk mengidentifikasi tinggi rendahnya tingkat responden yaitu dengan
A. Profil Sekolah SMA Muhammadiyah Bantul 1. Sejarah Berdirinya
Didorong oleh keadaan ekonomi, politik dan sosial saat itu yang
kurang kondusif, sehingga dunia pendidikan belum sepenuhnya mampu
disediakan oleh pemerintah. Maka berkumpullah tokoh – tokoh Muhammadiyah Cabang Bantul. Saat iru membahas untuk menyatukan
tekad membantu pemerintah dalam menyediakan sarana pendidikan.
Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang maka disepakati untuk
mendirikan Sekolah Menengah Atas yang kemudian dikenal dengan SMA
Muhammadiyah Bantul.
SMA Muhammadiyah Bantul berdiri pada tanggal 1 Agustus 1964
dengan SK dari Pimpinan Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan
pengajaran Cabang Bantul Nomor: 067/BP/1964 tertanggal 20 Juni 1964.
Kemudian dikukuhkan lagi dengan keluarnya Piagam pendirian Perguruan
Muhammadiyah Nomor : 2979/M.614/DIY.04/1977 tertanggal 17
Ramadhan 1397 bertepatan dengan 1 September 1977.
SMA Muhammadiyah Bantul terdaftar pada Majelis Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan :
Pusat Nomor : 2979 / M.614 / DIY.64 / 1977
Daerah Nomor : 01 / C.Piag. / 1977
Diperbaharui oleh majelis Pendidikan Dasar dan menengah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor : 0258 / II.A1 / 1.d / 2000
tertanggal 9 Dzulhijjah 1420 H / 15 Maret 2000 M.
2. Letak/Lokasi Sekolah
SMA Muhammadiyah Bantul terletak di tempat yang streategis, di
kawasan pusat Kota Bantul, Jalan Urip Sumoharjo 04 A Bantul, kode pos
55711, tepatnya pada koordinat LS -70,53”.27,8’. BT 1100.19”.38,6’ telepon (0274) 367575, website: www.sma-muhiba.sch.id, Dusun
Badegan, Desa Bantul, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Adapun batas-batas lokasi SMA Muhammadiyah Bantul sebagai
berikut. Sebelah utara dan timur berupa rumah-rumah penduduk, sebelah
barat kompleks Kantor Kepolisian Resort Bantul, dan pertokoan,
sedangkan sebelah selatan adalah Jalan Urip Sumoharjo yang di
seberangnya berderet Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bantul, SPBU
Gose Bantul, dan pusat perbelanjaan.
SMA Muhammadiyah Bantul terletak di atas tanah seluas 9052 m2.
Bangunan berupa ruang-ruang pembelajaran dan pendukung berlantai satu,
dua dan tiga seluas 4794 m2, masjid seluas 432 m2, lapangan olah raga
3. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah
1. Visi
Visi SMA Muhammadiyah Bantul “Menjadi Sekolah Unggul Pilihan Umat”.
2. Misi
a. Mewujudkan sekolah yang “terdepan” (tertib, demokratis, professional, agamis, dan nyaman).
b. Melaksanakan pembelajaran yang intensif, kreatif, dan inovatif.
c. Mengembangkan potensi olah raga, seni dan life skill.
d. Membentuk kader Muhammadiyah yang tangguh dan berakhlak
mulia.
e. Melaksanakan pendidikan berwawasan lingkungan yang sehat.
f. Mewujudkan sekolah bebas narkoba.
3. Tujuan Sekolah
a. Terwujudnya sekolah yang “terdepan” (tertib, demokratis, professional, agamis dan nyaman).
b. Terwujudnya peserta didik yang cerdas dan berprestasi di bidang
akademik.
c. Terwujudnya peserta didik yang berprestasi di bidang olah raga,
seni dan kecakapan hidup (life skill).
d. Terbentuknya peserta didik yang mampu baca al-qur’an dan berkepribadian islami sebagai kader persarikatan yang tangguh.
f. Terwujudnya sekolah bebas narkoba.
4. Strategi untuk Mencapai Tujuan Sekolah adalah:
a. Melaksanakan sosialisasi program sekolah kepada semua warga
sekolah dan stake holder pendidikan.
b. Melaksanakan pembelajaran yang berprinsip “mendidik dengan hati”.
c. Menciptakan budaya islami dan budaya tertib dengan 5T (tertib
masuk, KBM, administrasi, ibadah, dan pakaian) di lingkungan
sekolah.
d. Menciptakan rasa kebersamaan dan iklim kerja yang kondusif.
e. Mengintensifkan pembelajaran ekstrakurikuler dan berpartisipasi
dalam berbagai lomba.
f. Melaksanakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan.
g. Menyelenggarakan pelatihan/pembinaan kader dan
mengikutsertakan peserta didik dalam berbagai kegiatan
persyarikatan.
h. Menciptakan lingkungan sekolah yang sejuk, bersih, sehat, dan
bebas asap rokok.
i. Melaksanakan evaluasi pembelajaran secara periodic,
berkesinambungan dan akuntabel.
j. Mengintensifkan bimbinagn idang keagamaan (salat fardu dan salat
k. Melaksanakan gerakan pencegahan dan pemberantasan narkoba,
obat-obat terlarang dan menciptakan sekolah yang bebas asap
rokok.
4. Struktur Organisasi Sekolah
5. Personil Sekolah
1. Pendidik
SMA Muhammadiyah bantul memiliki pendidik sebanyak 36 orang,
dengan jenjang pendidikan pascasarjana (S2) 2 orang, Sarjana (S1) 32
orang, dan sarjana muda 20 orang, terdiri atas PNS 19 orang, GTY 8
orang, dan GTT 9 orang; guru tersertifikasi 26 orang, dan 10 orang
Daftar Pendidik SMA Muhammadiyah Bantul
No Nama Status Pendidikan Mapel yg
diampu Sertifikat 1
Drs. HUMAN
SAPTAPUTRA, M.Pd PNS S.2 Matematika Sudah
24
SMA Muhammadiyah Bantul memiliki tenaga kependidikan sebanyak
14 orang dengan status PTT.
7 MUH ZUHDI MUNAWIR TU SMA 1983 PTT
Dalam lima tahun terakhir SMA Muhammadiyah Bantul memiliki
jumlah rombongan belajar dan peserta didik yang relatif stabil.
Jumlah Peserta Didik
4. Orang Tua Peserta Didik
Orang tua peserta didik SMA Muhammadiyah Bantul sebagian besar
bermata pencaharian sebagai buruh serabutan dann berpendidikan
dasar dan menengah.
Pendidikan Orang Tua Peserta Didik
Pekerjaan Orang Tua
6. Sarana dan Prasarana
Beberapa fasilitas pembelajaran yang terdapat di SMA Muhammadiyah
Bantul antara lain sebagai berikut:
1. Ruang kelas yang memadai
2. Laboratorium (Fisika, Kimia, Biologi, Komputer, Agama, Geografi,
Sejarah).
3. Ruang praktik life skill (otomotif, tata busana, karawitan, studio musik,
batik, TIK).
4. Ruang audio visual.
5. Ruang UKS.
6. Lapangan olah raga (Basket, Bola volli, Tenis meja, Tenis Lapangan).
7. Masjid
9. Perpustakaan dan aula.
10.Asrama MBS.
11.Serta sarana pendukung berupa koperasi, kantin, parkir yang luas,
sarana MCK, ruang satpam, taman sekolah dan sebagainya.
B. Analisis Data dan Pembahasan 1. Uji Instrumen Penelitian
Peneliti dalam melakukan penelitian menggunakan instrument berupa
angket/kuesioner. Dalam desain kuesioner ini peneliti akan mengukur
tingkat validitas dan reliabilitas dari variable X dan Y. Validitas berguna
untuk menunjukkan kinerja kuesioner dalam mengukur apa yang diukur,
sedangkan reliabilitas ditujukan pada penunjukan bahwa kuesioner tersebut
konsisten apabila digunakan untuk mengukur gejala yang sama. Adapun
tujuan dari pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner adalah untuk
memastikan bahwa instrument/kuesioner yang disusun dan digunakan
benar-benar baik dalam mengukur gejala dan menghasilkan data yang valid.
a. Uji Validitas
Validitas menurut (Arikunto, 2010: 211) merupakan suatu ukuran
yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan dan kesahihan sesuatu
instrumen. Validitas kuesioner berguna untuk mengukur sejauh mana
kuesioner mampu mengukur kepuasan responden (pelanggan). Peneliti
dalam melakukan uji validitas mengacu pada (Sugiyono, 2015, 128), yaitu