• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA MUHAMMADIYAH BANTUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA MUHAMMADIYAH BANTUL"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SMA MUHAMMADIYAH BANTUL

SKRIPSI

Oleh:

Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh

NPM: 20120720204

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

i SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Islam (S.Pd) strata Satu pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh

NPM: 20120720204

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

ii

HUBUNGAN KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH DENGAN

TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA MUHAMMADIYAH BANTUL

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Ummu Afifah Nuriyatu Zahroh

NPM : 20120720204

Telah dimunaqasyahkan di depan Sidang Munaqasyah Program Studi Pendidikan Agama Islam pada tanggal 31 Agustus 2016 dan telah dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

Sidang Dewan Munaqasyah

Ketua Sidang : Anita Aisah, M.Psi. ( )

Pembimbing : Dr. Akif Khilmiyah, M.Ag. ( )

Penguji : Dr. Abd. Madjid, M. Ag. ( )

Yogyakarta, 4 September 2016

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dekan,

(4)

iii

Nomor Mahasiswa : 20120720204

Program Studi : Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 4 September 2016

Yang membuat pernyataan

(5)

iv

لٌيظعلٌْظلل ْلإلّن

إل ِّّل ْتلال َّبلَلهظعيلوهولهنبالنامقلل اقلذ

ِ

ِ

إو

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu

mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

(6)

v

Untuk ayahku, Bapak Suyono,

Sumber dukungan kekuatan dan keberanian yang tak pernah padam.

Untuk ibundaku, ibu Rinasihin,

Sumber dukungan emosional yang tak pernah kering.

Untuk adikku, faruq an-Nashih,

Sumber dukungan inspirasi yang tak pernah redup

dan

Untuk calon ayah bagi generasiku kedepan,

(7)

vi

HALAMAN NOTA DINAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Sistematika Pembahasan ... 7

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8

B. Kerangka Teori ... 11

(8)

vii

A. Jenis Penelitian ... 32

B. Populasi dan Sampel ... 35

C. Teknik Pengumpulan Data ... 36

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 38

E. Teknik Analisis Data ... 39

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Sekolah SMA Muhammadiyah Bantul ... 41

B. Analisis Data dan Pembahasan ... 51

1. Uji Instrumen Penelitian ... 51

2. Hasil Analisis Data ... 60

3. Pembahasan ... 78

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 81

B. Kketerbatasan Penelitian ... 82

C. Saran-saran ... 82

D. Kata Penutup ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

CURRICULUM VITAE ... 87

(9)

viii

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional ... 35

Tabel 4.0 Item Validitas Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 52

Tabel 4.1 Kisi-kisi Instrumen Keterlibatan Pengasuhan Ayah Setelah dilakukan Uji Coba ... 53

Tabel 4.2 Item Validitas Kecerdasan Emosional Anak ... 54

Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Tingkat Kecerdasan Emosional Setelah dilakukan Uji Coba ... 55

Tabel 4.4 Analisis Reliabilitas Item Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 57

Tabel 4.5 Analisis Reliabilitas Item Kecerdasan Emosional ... 58

Tabel 4.6 Uji Normalitas Data ... 59

Tabel 4.7 Descriptive Statistics ... 76

(10)

ix

Gambar 4.0 Diagram Paternal Engagement ... 63

Gambar 4.1 Diagram Accessibility/Availibility ... 64

Gambar 4.2 Diagram Responsibility ... 65

Gambar 4.3 Diagram Keterlibatan Pengasuhan Ayah ... 66

Gambar 4.4 Diagram Mengenali Emosi Diri ... 68

Gambar 4.5 Diagram Mengelola Emosi... 69

Gambar 4.6 Diagram Memotivasi Diri Sendiri ... 70

Gambar 4.7 Diagram Mengenali Emosi Orang Lain ... 71

Gambar 4.8 Diagram Membina Hubungan ... 73

Gambar 4.9 Diagram Kecerdasan Emosional ... 74

(11)
(12)

xiii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui dan mengkaji keterlibatan pengasuhan ayah, 2) mengetahui dan mengkaji tingkat kecerdasan emosional siswa, 3) mengetahui dan mengkaji hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini sejumlah 108 siswa, selanjutnya untuk mendapatkan sampel dengan teknik simple random sampling yang berjumlah 30 responden. Data dikumpulkan dengan observasi, wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Uji validitas instrumen menggunakan rumus product moment Pearson, sedangkan uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Uji hipotesis menggunakan analisis korelasi sederhana dengan rumus Pearson product moment correlation.

Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Keterlibatan pengasuhan ayah pada siswa SMA Muhammadiyah Bantul berkategori tinggi pada keseluruhan indikatornya yang meliputi paternal engagement, accessibility/availibility, dan resposibility, 2) Kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul berkategori sedang pada tiga indikator, yaitu; mengenali emosi diri, mengeloa emosi dan empati. Sedangkan dua indikator lainnya berkategori tinggi, yaitu; memotivasi diri sendiri dan membina hubungan. 3) Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa rhitung (0.490) lebih besar (>) dari rtabel (0.361) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Dapat disimpulkan, terdapat hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Orang tua sebagai pemegang peran utama dalam keluarga sangatlah

berpengaruh terhadap sirkulasi kehidupan di dalam suatu keluarga. Peranannya

yang sangat penting menuntut pula tanggung jawab untuk dapat memberikan

yang terbaik bagi seluruh anggota keluarga. Dalam hal pengasuhan anak, orang

tua menjadi tombak utama pengambil keputusan untuk anak-anaknya. Terutama

peran ayah dalam pengasuhan anak adalah sebagai suatu hal penting yang tidak

dapat disepelekan. Ayah sebagai panutan keluarga sangat dibutuhkan oleh

anak-anaknya. Kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menyebabkan

anak mencari model lain dalam kesehariannya.

Saat ini sudah muncul revolusi pemikiran yang menempatkan betapa

tokoh ayah penting dalam proses dan perkembangan anak. Tidak dapat diterima

lagi anggapan yang menempatkan ayah hanya sebagai tokoh sekunder dalam

mendidik anak. Kini, sudah sangat diragukan kesahihan pandangan yang

membeda-bedakan posisi ayah dan ibu terhadap anak. Hasil penelitian terhadap

perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah

menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang

(14)

menurun, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi

anak laki-laki, ciri maskulinnya (ciri kelakian) bisa menjadi kabur (Dagun, 1990:

15).

Namun fenomena yang terjadi saat ini masih banyak ayah yang kurang

menyadari peran pentingnya di dalam keluarga. Sehingga tidak jarang jika masih

ditemukan keluarga yang menempatkan ibu sebagai tokoh yang harus aktif dalam

pengasuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan hasil dari data Konferensi

Ayah Sedunia dinyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam “fatherless

country, negara yang kekurangan ayah” demikian kata Irwan Rinaldi kepada

Aktual.com, Jakarta Selatan, Kamis 12 November 2015. Irwan mengatakan,

kurangnya ayah di dalam hal ini yaitu kurangnya ayah dari sisi psikologis.

Kemudian ia menambahkan bahwa anak-anak Indonesia saat ini sudah

terjerambab dalam kasus ‘father hungry’. Salah satu ciri yang dapat diketahui

yaitu kematangan psikologis yang lebih unggul dari kematangan biologis. Di

Indonesia seseorang yang berumur 23 tahun secara bilogis namun secara

psikologis masih seperti anak berumur 11 tahun.

Akibat dari fatherless Country ini diantaranya anak menjadi; memiliki

harga diri yang rendah, bertingkah laku kekanak-kanakan, terlalu bergantung,

dan kesulitan mendapatkan identitas sosial. Padahal Islam telah memperingatkan

untuk menjaga dengan baik setiap keturunan, hal ini sebagaimana di dalam Q.S

(15)

ةاكِئاام ااهْ يالاع ُةارااجِْْااو ُساّنلا ااُدوُقاو اًراَ ْمُكيِلْاأاو ْمُكاسُفْ ناأ اوُق اوُنامآ انيِذّلا ااهّ ياأ اَ

انوُلاعْفا ياو ْمُاراماأ اام اّّا انوُصْعا ي ا داادِش ظاِغ

انوُرامْؤُ ي اام

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

diperintahkan”. (Q.S At-Tahrim : 6)

Judith Langloish dalam penelitiannya menemukan bahwa tokoh ayahlah

sebagai pengukuh dasar dalam perkembangan anak laki-laki menuju kedewasaan

dan juga anak perempuan. Peran ayah di sini digambarkan sama penting dengan

perannya sebagai teman main anak. Ayah mempengaruhi perkembangan

anak-anaknya dengan berbagai cara. Penampilan mereka merupakan model panutan

bagi anak-anaknya dalam pergaulan dan sikap sehari-hari. Lebih dari ibu, ia

memberi kesan mendalam dalam perkembangan sikap putera-puterinya (Dagun,

1990: 123).

Berbagai penelitian membuktikan adanya kaitan erat antara emosional

dengan pola asuh orang tua, yang sangat mempengaruhi kepribadian, bahkan

mungkin kegagalan atau kesuksesannya. Kecerdasan emosional sangat

dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap dan dapat berubah-ubah

setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua sangat

mempengaruhi dalam pembentukan emosional khususnya masa remaja.

(Fatmawati, Amatus dan Abram, 2015: 2). Pola asuh orang tua memiliki peran

(16)

Kegagalan pola asuh orang tua sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya

gangguan pada perkembangan kecerdasan emosional anak. Remaja yang rendah

dalam hal kecerdasan emosional akan lebih sering terjebak dalam hal kenakalan

remaja.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi dan wawancara

kepada beberapa siswa SMA Muhammadiyah Bantul. Setelah melakukan

observasi beberapa kali, peneliti melihat masih terdapat siswa yang rendah

motivasi belajarnya, sikapnya yang masih kurang terkontrol, dalam beberapa

kesempatan juga tidak sedikit siswa yang meninggalkan kelas pada saat sedang

berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Kemudian dari hasil wawancara

kepada beberapa siswa terkait keterlibatan ayah di dalam pengasuhan, mendapat

jawaban sebagai berikut:

Saya merasakan kurangnya keterlibatan ayah dalam melakukan pengasuhan di keluarga. Saya benar-benar kurang merasakan kasih sayang dari ayah saya, hanya ibu saja yang memberikan perhatian lebih kepada saya. Saya frustasi dengan sikap ayah saya yang terlalu cuek kepada saya dan keluarga, saya juga tidak memiliki keberanian untuk menegur ayah. Bahkan saya juga sering pergi ke kafe untuk melakukan pelampiasan, terkadang juga tawuran dengan teman-teman karena saya punya geng. Perlu anda ketahui juga bahwa saya pernah dikeluarkan dari sekolah karena saya melakukukan hal yang tidak sepatutnya saya lakukan dengan pacar saya. Keluarga saya mungkin tidak tahu dengan apa yang saya lakukan, saya juga tidak tahu apakah ayah peduli dengan apa yang saya lakukan (wawancara pada tanggal 23 Maret 2016).

Peneliti melakukan wawancara kedua dengan siswa lainnya dan

mendapatkan jawaban sebagai berikut:

(17)

keadaan. Saya lebih sering diam, lebih frontal dan suka marah-marah dengan sendirinya. Saya tidak tahu kenapa kedua orang tua saya harus bercerai, saya yang merasa kesulitan menerima semua kejadian ini. Ketika saya melihat teman-teman saya bersama ayah dan ibu nya, hati saya terkadang merasakan sakit (wawancara pada tanggal 15 April 2016).

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti

terhadap siswa, menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa siswa yang

mengalami kurangnya kasih sayang dari seorang ayah dan hal itu berpengaruh

pada sikap seorang anak dalam kehidupannya.

Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting dan strategis untuk

dilakukan guna mengetahui seberapa penting keterlibatan pengasuhan ayah dan

hubungannya dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah

Bantul.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana keterlibatan pengasuhan ayah pada siswa SMA Muhammadiyah

Bantul ?

2. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional pada siswa SMA Muhammadiyah

Bantul ?

3. Adakah hubungan antara ketelibatan pegasuhan ayah dengan tingkat

(18)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji keterlibatan pengasuhan ayah pada

siswa SMA Muhammadiyah Bantul.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji tingkat kecerdasan emosional siswa

SMA Muhammadiyah Bantul.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji hubungan keterlibatan pengasuhan ayah

dengan tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Muhammadiyah

Bantul.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam mengkritisi dan menyelesaikan permasalahan yang

berkaitan dengan keterlibatan ayah di dalam melakukan pengasuhan kepada

anaknya dan sesuatu hal yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

bagi para pendidik dan para orang tua, terutama ayah dalam melakukan

(19)

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dalam mengkaji dan memahami secara

keseluruhan skripsi ini, peneliti akan menguraikan tentang sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab I, membahas tentang pendahuluan, meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab II, membahas tentang tinjauan pustaka, landasan teori, dan

hipotesis.

Bab III, membahas tentang metode penelitian yang meliputi populasi

dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, definisi operasional, uji

reliabilitas dan validitas serta analisis data.

Bab IV, membahas tentang gambaran umum SMA Muhammadiyah

Bantul, meliputi sejarah berdirinya, keadaan geografis dan lingkungannya,

visi misi dan tujuan sekolah, struktur kepengurusan, guru dan karyawan,

peserta didik, serta sarana dan prasarananya juga analisis data pembahasan

mengenai hubungan keterlibatan pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan

emosional siswa SMA Muhammadiyah Bantul.

Bab V, membahas tentang penutup, meliputi kesimpulan, saran-saran,

kata penutup, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pengasuhan ayah ini pernah diteliti sebelumnya yaitu:

penelitian yang dilakukan oleh Albadru (2007), tentang “Kompetensi

Interpersonal Mahasiswi terhadap Lawan jenis Ditinjau dari Keterlibatan Ayah

dalam Pengasuhan”. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah

keterlibatan ayah dalam pengasuhan, variabel terikatnya adalah kompetensi

interpersonal mahasiswi terhadap lawan jenis. Pada penelitian tersebut

kompetensi interpersonal mahasiswi terhadap lawan jenis diukur mengggunakan

aspek Buhremester dkk (1988) sedangkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan

pada penelitian tersebut diukur berdasarkan aspek dari Andayani dan Koentjoro

(2004) yaitu afektif, fisik dan kognitif. Subjek penelitian tersebut adalah

mahasiswa Universitas Gajah Mada berusia 19-25 tahun. Pada penelitian sampel

dipilih menggunakan metode incendital sampling, yaitu subjek dipilih

berdasarkan ciri atau kriteria yang dibatasi. Hasil penelitian ini adalah (a) subjek

memiliki tingkat kompetensi interpersonal dengan lawan jenis tinggi dan

keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang tinggi (b) sumbangan keterlibatan

(21)

lawan jenis sebesar 8,6%, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kompetensi

interpersonal terhadap lawan jenis pada mahasiswi sebesar 91,4%.

Peran ayah pernah diteliti oleh Elita (2003), dalam penelitiannya yang

berjudul “Hubungan Peran Ayah dengan Perilaku Seksual pada Remaja”. Variabel penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu peran ayah dan

variabel tergantungnya perilaku seksual pada remaja. Pada penelitian ini aspek

peran ayah menggunakan skala berdasarkan aspek dari Gecas dan Schawble

(1986). Subjek penelitian ini adalah siswi SMKK BOPKRI berusia 15-21 tahun.

Pengambilan subjek menggunakan metode puposive sampling. Hasil penelitian

ini adalah (a) ada korelasi yang signifikan yang negatif antara peran ayah dengan

perilaku seksual remaja perempuan sebesar -0,433 dengan sumbangan relatif

sebesar 19,7%.

Tengku Shella Asyava di dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan

Attachment Terhadap Ayah dengan Kecerdasan Emosi Pada Remaja Laki-laki”.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik multi stage

sampling dengan jumlah subjek sebanyak 80 orang remaja laki-laki berusia

15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan skala

likert, yaitu skala attachment terhadap ayah dan skala kecerdasan emosi. Hasil

penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan attachment

terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0,381 dan p = 0,000, ada

(22)

dengan r = 0,274 dan p = 0,000, dan ada hubungan negatif avoidant attachment

terhadap ayah dengan kecerdasan emosi dengan r = 0,452 dan p = 0,000.

Penelitian terkait kecerdasan emosional juga pernah diteliti oleh Renny

Nursanty (2008), dengan judul “Hubungan Antar Kecerdasan Emosional dengan

Kecenderungan Depresi pada Remaja”. Teknik pengumpulan sampel dalam

penelitian ini adalah cluster random sampling. Pengumpulan datanya

menggunakan dua skala yaitu skala BDI dan skala kecerdasan emosional. Subjek

penelitiannya adalah siswi SMA Negeri 1 Tanjungpinang dengan subjek

penelitian siswi-siswi kelas X (sepuluh). Hasil akhir dari penelitian ini adalah

terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional

dengan kecenderungan depresi pada remaja dan diketahui sumbangan efektif

variabel kecerdasan emosional terhadap kecenderungan depresi sebesar 15,5%.

Ana Setyowati dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai”.

Alat pengumpul data yang digunakan adalah dua buah skala, yaitu skala

kecerdasan emosional dan skala resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan

individu dalam mengatasi tantangan hidup serta mempertahankan kesehatan

dan energi yang baik sehingga dapat melanjutkan hidup secara sehat.

Analisis data dilakukan dengan metode analisis regresi sederhana. Subjek

penelitian ini adalah 16 orang siswa di Rumah Damai. Hasil penelitian ini adalah

(23)

resiliensi. Sumbangan efektif kecerdasan emosional terhadap resiliensi dalam

penelitian ini sebesar 64,1%.

Berdasarkan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

keterlibatan pengasuhan ayah dan kecerdasan emosional masih dikaji dengan

berdiri sendiri-sendiri, belum ada yang mengkaji secara bersamaan dalam satu

penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan coba untuk dikaji dan

disandingkan secara bersama dalam satu bahasan penelitian antara keterlibatan

pengasuhan ayah dengan tingkat kecerdasan emosional.

B. Kerangka Teori

1. Keterlibatan Pengasuhan Ayah

a. Definisi Keterlibatan Pengasuhan Ayah

Pengasuhan merupakan suatu perilaku yang pada dasarnya

mempunyai kata-kata kunci yaitu hangat, sensitif, penuh penerimaan,

bersifat respirokal, ada pengertian dan respon yang tepat pada kebutuhan

anak (Garbarino, 1992 : 45).

Para peneliti mengenai keterlibatan ayah memiliki sedikit kesulitan

untuk mendefnisikan konsep keterlibatan ayah. Bahkan kurangnya definisi

yang jelas dan konsisten dari konsep keterlibatan ayah ini menjadi salah

satu hambatan terbesar dalam penelitian mengenai peran ayah.

Keterlibatan ayah seringkali digambarkan dengan jumlah waktu yang ayah

(24)

anak (Hawkins et al, 2002: 21). Hal itu terjadi karena waktu seringkali

dianggap orang tua sebagai hal yang paling penting dalam keterlibatan

dengan anak (Hawkins et al, 2002: 22). Akan tetapi waktu bukan

satu-satunya dimensi yang penting dalam keterlibatan ayah, yang menjadi inti

sesungguhnya yaitu bagaimana kualitas dan intensitas pertemuan itu.

Pernyataan yang lebih mendasar adalah bukan jumlah waktu seorang ayah

bersama anaknya setiap hari tetapi apa dan bagaimana yang ia lakukan

pada saat bersama anak (Dagun, 1990: 17).

Meski tidak banyak ilmuwan yang membicarakan bagaimana

pentingnya kehadiran seorang ayah dalam perkembangan mental anak,

tetapi suatu bukti yang sederhana bahwa ketidakhadiran seorang ayah

dalam diri anak berpengaruh kuat terhadap perkembangan intelektualnya.

Peneliti pertama yang meneliti soal ini adalah Walter Misched (1958)

meneliti anak-anak di India. Ternyata ketidakhadiran ayah menjadikan

anak-anak lamban menanggapi keinginan dan kebutuhan (Dagun, 1990:

135).

Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Martin L. Hoffman

(1971), ia meneliti nilai moral dan index sikap agresif dari dua kelompok

anak. Kelompok pertama anak yang hidup tanpa ayah semenjak kecil dan

kelompok kedua hidup bersama ayahnya. Ternyata anak yang berasal dari

keluarga tanpa ayah menununjukkan skor rendah dalam sikap dan nilai

(25)

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

keterlibatan ayah adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan anak

yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku, afeksi,

dan kognisi.

b.Dimensi Keterlibatan Ayah

Menurut Lamb, et.al. dalam Cabrera, et.al. (1999: 5) keterlibatan ayah

memiliki tiga komponen, yaitu:

1)Paternal Engagement, mencakup kontak dan interaksi ayah secara

langsung dengan anak dalam konteks pengasuhan, bermain, atau

rekreasi. Komponen ini mempresentasikan waktu yang dihabiskan

dalam interaksi langsung ayah dan anak dan tidak mencakup waktu

yang dihabiskan dalam proximity/kedekatan ayah dan anak, misalnya

ayah duduk di suatu ruang sementara anak bermain di ruang yang lain.

2)Accessibility atau availibility, mencakup kehadiran dan keterjangkauan

ayah bagi anak. Dalam komponen ini, ayah mungkin tidak berinteraksi

secara langsung dengan anak namun masih hadir bagi anak, baik

secara fisik maupun psikologis. Contoh dari accessibility adalah ketika

ayah membaca surat kabar di suatu ruang sementara anak bermain di

ruang yang sama.

3)Responsibility, mencakup pemahaman dan usaha ayah dalam

(26)

pengaturan dan perencanaan kehidupan anak. Komponen ini dapat

menunjukkan tanggung jawab ayah terhadap anaknya, baik untuk

kesejahteraan ataupun perawatan anaknya, misalnya membiayai hidup

anak dan mengetahui jadwal anak ke dokter. Di komponen ini pula,

ayah idak harus berinteraksi secara langsung dengan anak; pikiran,

perhatian, maupun perencanaan yang dilakukan untuk anak juga bisa

dimasukkan ke dalam komponen ini.

Penelitian Van Wel (2000) menghasilkan kesimpulan bahwa

kedekatan ayah dengan anak mereka memiliki hubungan yang positif

dengan kebahagiaan anak, baik secara langsung maupun dalam waktu

yang lama atau mendatang. Dampak pemenuhan tiga aspek di atas akan

dapat memengaruhi kepercayaan diri anak, kepuasan hidup anak, dan

distrees psikologis anak. Anak yang dalam masa perkembangannya

dipenuhi tiga aspek di atas oleh ayah mereka, akan memiliki kepercayaan

diri yang tinggi. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, anak akan mudah

memenuhi tugas sekolahnya, dan berani melakukan hal-hal yang positif

(Wenk et all., 1994: 25).

Selain itu anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya,

juga akan memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi. Anak menjadi

merasa puas dengan hidupnya karena kebahagiaan yang dirasa. Anak

yang ayahnya terlibat dalam pengasuhannya, akan mempunyai distress

(27)

setres yang ada, dan mengetahui solusi terhadap berbagai permasalahan

yang muncul dalam hidupnya.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah

Banyak ahli menyatakan bahwa keterlibatan ayah adalah konsep

yang multifaceted dan juga multidetermined sehingga konsep ini

cenderung lebih sensitif terhadap faktor-faktor kontekstual. Sebuah

model dari Doherty et al (dalam Dwitya, 2012: 11-15) menjelaskan

bahwa terdapat lima faktor utama yang dapat memengaruhi keterlibatan

ayah, yaitu:

1). Faktor yang berhubungan dengan ayah

Berdasarkan model dari Dohery et al, karakter individual ayah

memiliki hubungan dengan keterlibatan ayah. Hal-hal yang termasuk

ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan ayah adalah

pekerjaan, kepribadian, pandangan terhadap pangasuhan anak, dan

pandangan terhadap pekerjaan ibu.

Menurut Coltrane, ayah yang memilki jam kerja yang lebih

lama akan lebih tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Selain itu,

ayah yang memiliki posisi dalam pekerjaan yang lebih prestisius serta

lebih menyita waktu dan emosi dilaporkan akan memiliki keterlibatan

yang lebih rendah terhadap anak, terutama pada level engagement

(28)

Faktor lain yang juga berhubungan dengan ayah dan

memengaruhi keterlibatan ayah adalah kepribadian ayah. Dari segi

kepribadian, dilaporkan bahwa ayah yang memiliki self esteem yang

lebih tinggi, adaptasi hidup yang lebih baik dan hostility yang lebih

rendah akan lebih supportif dan hangat dalam hubungan dengan

anaknya.

Pandangan ayah mengenai bagaimana seharusnya peran ayah

dalam pengasuhan anak juga memiliki efek terhadap keterlibatan

ayah. Ayah yang memiliki belief tentang pengasuhan yang berfokus

terhadap anak akan cenderung lebih terlibat dalam aktivitas

pengasuhan anak. Selain itu, dilaporkan pula bahwa ayah yang lebih

menghargai peran mereka sebagai ayah dan merasa memiliki

kemampuan yang memadai dalam pengasuhan anak akan terlibat

dalam kehidupan anak mereka.

2). Faktor yang berhubungan dengan ibu

Karakteristik ibu merupakan salah satu hal yang dapat

memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Faktor yang

berasal dari ibu dan turut memengaruhi keterlibatan ayah di antaranya

adalah pekerjaan ibu, usia ibu, dan pandangan ibu terhadap ayah.

Menurut Pleck (1997), keterlibatan ayah akan lebih tinggi jika

ibu adalah ibu bekerja. Lebih lanjut lagi, semakin tinggi jam kerja

(29)

usia ibu, ayah dilaporkan akan lebih terlibat dalam pengasuhan anak

jika keluarga tersebut memiliki ibu dan ayah dengan usia lebih muda.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkkan bahwa ibu cenderung

menghambat keterlibatan ayah dalam aktivitas pengasuhan anak jika

ibu memiliki belief bahwa ayah tidak kompeten dalam melakukan

tugas-tugas pengasuhan (Pleck dalam Cabrera dan

Tamis-LeMonda,1999). Sebaliknya pandangan ibu terhadap pentingnya

keterlibatan ayah dan juga kepuasan ibu terhadap keterlibatan ayah

dapat memprediksi frekuensi keterlibatan ayah (Allen dan Doherty,

Wattenberg dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999: 22).

3). Faktor yang berhubungan dengan anak

Beberapa faktor dari anak yang dapat memengaruhi

keterlibatan ayah adalah urutan kelahiran, jenis kelamin, usia, dan

tempramen anak. Menurut Vandell, dalam keluarga dengan anak

lebih dari satu, ayah akan cenderung untuk lebih banyak terlibat

dalam pengasuhan anak yang yang lebih tua sementara ibu mengasuh

anak yang lebih muda, terutama yang masih berusia bayi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayah akan lebih

terlibat dengan anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan.

Lebih lanjut, menurut Radin perkembangan keterlibatan ayah juga

akan lebih stabil sepanjang kehidupan anak laki-laki dibandingkan

(30)

identitas gender antara ayah dan anak laki-laki. dari segi usia,

menurut Pleck, keterlibatan ayah akan semakin menurun seiring

dengan bertambahnya usia anak. Dari segi tempramen, menurut

Grych dan Clark, interaksi ayah dengan anak bertemperamen easy

akan lebih positif dibandingkan dengan anak bertemperamen difficult.

4). Faktor yang berhubungan dengan pengasuhan bersama

Salah satu hal yang termasuk di dalam faktor ini adalah

hubungan pernikahan. Menurut Feldman, Nash, dan Aschenbrenner

persepsi ayah terhadap hubungan pernikahannya akan secara

konsisten memprediksi keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Selain

itu, ketika hubungan pernikahan memburuk, ayah dilaporkan akan

menjadi lebih negatif dan kurang sensitif dalam pengasuhan anak.

Hasil penelitian serupa dari Cox et al menyatakan bahwa sensitivitas

ayah dan juga keterlibatan ayah akan menjadi lebih rendah ketika

konflik dalam pernikahan meningkat dan persepsi ayah terhadap

pernikahannya menjadi lebih negatif.

5). Faktor yang berhubungan dengan kontekstual dan Sosiodemografis

Beberaapa faktor kontekstual dan sosiodemografis yang dapat

memengaruhi katerlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah

penghasilan keluarga dan etnis. Penghasilan keluarga yang dimaksud

adalah proporsi penghasilan keluarga yang didapat dari ayah maupun

(31)

penghasilan ayah dalam penghasilan keluarga lebih kecil, ayah akan

lebih banyak menghasilkan waktu dalam aktivitas pengasuhan anak.

Dari segi etnis, beberpa penelitian di Negara Barat khususnya

menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak

bervariasi dalam berbagai kelompok ras maupun etnis tertentu

menemukan bahwa ayah dari ras Afrika-Amerika lebih jarang

membacakan buku untuk anak mereka namun lebih sering bermain

dengan anak dibandingkan dengan ayah dari ras Eropa-Amerika.

Selain itu, hasil penelitian dari King menyatakan bahwa ayah dari ras

Afrika-Amerika lebih sering mengunjungi anak mereka dan terlibat

dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pengasuhan

anak, dibandingkan dengan ayah dari ras Eropa-Amerika atau ras

Hispanik.

d. Pendekatan dalam Pengukuran Katerlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak

Beberapa pendekatan dalam pengukuran Keterlibatan ayah dalam

pengasuhan yaitu : (Allen & Daly, 2007: 21-22)

1) Keterlibatan ayah diukur sebagai waktu yang dihabiskan bersama.

Hal ini mencakup frekuensi bertemu, jumlah waktu yang dihabiskan

bersama (melakukan sesuatu misalnya: makan bersama, menghabiskan

(32)

mudah dijangkau (accessibility) dan adanya ayah (availibility). Ini dapat

juga termasuk jumlah waktu ayah menghabiskan waktu merawat fiisk

anaknya, missal: mandi, menyiapkan makanan, dan memakaikan

pakaian, sebagai tambahan pada sejumlah waktu yang dihabiskan untuk

bermain bersama anakdan seberapa efektif interaksi timbal balik ketika

ayah-anak bermain.

2) Keterlibatan ayah diukur dari kualitas hubungan ayah-anak

Seorang ayah didefinisikan sebagai ayah yang terlibat jika hubungan

dengan anaknya dapat dideskripsikan sebagai sebagai hubungan yang

hangat, dekat, sensitif/peka, akrab, mendukung, mengasihi, merawat,

membesarkan hati, memberi kenyamanan dan menerima. Sebagai

tambahan, ayah diklasifikasikan sebagai ayah yang terlibat jika anak

mereka telah mengembangkan kelekatan yang aman dan kuat pada sang

ayah.

3) Keterlibatan diukur sebagai upaya dalam menjalankan peran ayah.

Pengukuran melihat tingkat upaya dalam pengasuhan anak, termasuk

kemampuan ayah untuk menjadi orang tua yang otoritatif (melakukan

control secara tepat, bertanggung jawab terhadap disiplin yang

diterapkan, memonitor aktivitas anak), tingkat dimana ayah

memfasilitasi dan memberi perhatian pada kebutuhan anak, dan jumlah

dukungan yang diberikan pada anak yang berhubungan dengan aktivitas

(33)

4) Konseptualisasi yang multidimensional.

Terdapat sejumlah pendapat yang mendefinisikan keterlibatan ayah

dalam pengasuhan. Beberapa model yang menyajikan multi aspek atau

multidimensi dari atribut keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak,

antara lain “generative fathering” dan “responsible fathering”.

Dalam penelitian ini ke empat pendekatan di atas digunakan untuk

mengukur keterlibatan pengasuhan ayah terhadap anak, hal ini bertujuan

supaya diperoleh hasil yang lebih komperehensif dalam penelitian ini.

2. Kecerdasan Emosional

a. Definisi Konseptual Kecerdasan Emosional

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) mengartikan kecerdasan

sebagai perihal cerdas (sebagai kata benda) atau kesempurnaan

perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman pikiran).

Kecerdasan atau intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan yang

bersifat untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai

komponen (Nurdin, 2009: 97).

Kamus Filsafat dan Psikologi (1998) mengartikan intelegence sebagai

kecerdasan, kacakapan untuk menangani situasi-situasi dan kemampuan

mempelajari sesuatu, termasuk pencapaian kemampuan dengan kata lain,

kemampuan yang berurusan dengan kerumitan-kerumitan atau dengan hal-hal

(34)

dapat diartikan sebagai kesempurnaan akal budi yang diwujudkan dalam

kemampuan-kemampuan umum yang terdiri dari berbagai komponen untuk

memperoleh kecakapan-kecakapan tertentu (Nurdin, 2009: 97).

Kata emosi dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai

setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan

mental yang hebat atau meluap-luap (Goleman, 2009: 411). Goleman

menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran

khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian

kecenderungan untuk bertindak. Dalam mencari prinsip dasar emosi Goleman

mengikuti pemikiran Paul Ekman dan yang lain-lainnya yang menganggap

emosi berdasarkan kerangka kelompok atau dimensi dengan cara mengambil

kelompok besar emosi __ marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu dan

sebagainya __sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional yang tak

ada habis-habisnya (Goleman, 2009: 413).

Istilah Emotional Intelligence pertama kali dipergunakan oleh Petter

Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari New Hampshire

University pada tahun 1990 untuk melukiskan kualitas emosional yang

tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas ini antara lain adalah: empati,

mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,

kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan

memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan,

(35)

sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan

perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan

mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu

perkembangan emosi dan intelektual (Stein and Book, 2004: 30).

Menurut Reuven Bar-On kecerdasan emosional adalah serangkaian

kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi

kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan

lingkungan (Stein and Book, 2004: 30).

Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya sekiranya dapat

disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dapat disebut sebagai “street smart (pintar)”, atau kemampuan khusus yang disebut “akal sehat” terkait dengan

membaca lingkungan, dan menatanya kembali; kemampuan memahami

dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan

dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan;

dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang

kehadirannya didambakan orang lain.

b. Dimensi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional terbagi dalam beberapa dimensi kemampuan

yang membentuknya. Salovey mengungkapkan bahwa konsep kecerdasan

(36)

1). Mengenali emosi diri

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu

perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Konsep

ini meliputi kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu

yang merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.

Ketidakmampuan untuk mengenali emosi diri kita yang sesungguhnya

membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki

keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah sebuah pilot yang andal

bagi kehidupan mereka. Karena mereka mempunyai kepekaan yang lebih

tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya di dalam pengambilan

keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan

dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.

2). Mengelola emosi

Mengelola emosi adalah kemampuan untuk menguasai perasaannya

sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan dengan tepat. Dalam

konsep ini akan ditinjau kemampuan untuk menghibur diri sendiri,

melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan

akibat-akibat yang akan timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar

ini. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan

terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka

yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari

(37)

3). Memotivasi diri sendiri

Memotivasi diri sendiri adalah kemampuan untuk menggerakkan dan

menuntun menuju tujuan. Kendali diri emosional yaitu menahan diri

terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan

keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki

keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal

apapun yang mereka kerjakan.

4). Mengenali emosi orang lain (empati)

Empati bukan hanya untuk mengetahui pikirannya saja melainkan juga

perasaan orang lain.

5). Membina hubungan

Membina hubungan adalah kemampuan seseorang untuk membentuk

hubungan, membina kedekatan hubungan, sebagian besar merupakan

keterampilan mengelola emosi orang lain.

c. Faktor-faktor Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting

penunjangnya. Factor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

remaja diantaranya faktor internal dan eksternal. (Ali & Asrori, 2014: 35)

1) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap

manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem

(38)

emosional meliputi keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus

prefrontal dan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak emosional.

2) Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri

seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang

dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat

berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan mempengaruhi

kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih

memicu pada lingkungan.

d. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional

Sebagai bahan rujukan dan pegangan gambaran kecerdasan emosional

yang dimiliki oleh seseorang. Hein mengemukakan tentang tanda-tanda atau

ciri-ciri kecerdasan emosional secara spesifik. Ciri-ciri tersebut meliputi :

(Nurdin ,2009: 104)

1) Ciri-ciri Kecerdasan Emosional yang Tinggi Meliputi:

a) Dapat mengekspresikan emosi dengan jelas dan tidak merasa takut.

b) Tidak didominasi oleh perasaan-persaan negatif.

c) Dapat memahami (membaca) komunikasi non verbal.

d) Membiarkan perasaan yang dirasakan untuk membimbingnya.

e) Berperilaku sesuai dengan keinginan, bukan karena keharusan,

(39)

f) Menyeimbangkan perasaan dengan rasional, logika dan kenyataan.

g) Termotivasi secara instrinsik.

h) Tidak termotivasi karena kekuasaan, kenyataan, status, kebaikan dan

persetujuan.

i) Memiliki emosi yang fleksibel, peduli dengan perasaan orang lain.

j) Optimis, tidak menginternalisasika kegagalan.

k) Tidak digerakkan oleh ketakutan dan kekhawatiran.

l) Dapat mengidentifikasikan berbagai perasaan secara bersamaan.

2). Ciri-ciri kecerdasan emosional yang rendah meliputi,

a) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap perasaan sendiri dan

lebih menyalahkan orang lain.

b) Tidak mengetahui perasaannya sendiri, sehingga menyalahkan orang

lain, suka memerintah, suka mengkritik, sering mengganggu, sering

menggurui, sering memberi nasehat, sering curang, dan sering menilai

orang lain.

c) Berbohong terkait dengan sesuatu yang sedang ia rasakan

d) Membiarkan segala hal terjadi atau bereaksi berlebihan terhadap

kejadian yang sederhana sekalipun.

e) Tidak memiliki perasaan dan integritas.

f) Tidak mempunyai rasa empati dan kasihan.

g) Kaku, tidak fleksibel, membutuhkan aturan-aturan dan struktural

(40)

h) Merasa tidak aman, definisif dan sulit menerima kesalahan dan sering

merasa bersalah.

i) Tidak bertanggung jawab, Pesimistik dan sering menganggap dunia

tidak adil.

j) Sering merasa tidak adequate, kecewa, pemarah, sering menyalahkan,

menggunakan kepandaian yang dimilikinya untuk menilai dan

mengkritik serta tanpa rasa hormat terhadap perasaan orang lain.

3. Peran Ayah dalam Kecerdasan Emosional Anak

Santrock (2007: 167) menjabarkan setiap pola asuh yang diterapkan

oleh orang tua akan berpengaruh terhadap sikap emosi anak. Pada tahun

1960-an, Bernard Guerney memelopori teknik pelatihan orang tua sebagai

“ahli terapi” pengganti bagi anak-anaknya yang bermasalah, dan menyimpulkan bahwa banyak anak mempunyai masalah bukan karena orang

tuanya kejam atau menderita gangguan mental, tetapi karena tidak menguasai

keterampilan untuk mengembangkan hubungan yang positif dengan anak

(Shapiro, 2003: 30).

Pengasuhan orang tua terutama ayah sangatlah penting bagi

anak-anaknya. Dari bebera penelitian yang melakukan tes tentang perkembangan

seorang anak tanpa kehadiran seorang ayah. Hasilnya menyimpulkan bahwa

jika peran ayah itu kecil atau tidak pernah mengasuh anaknya maka akan

(41)

Penelitian lain terhadap kelompok anak-anak yang ayahnya tidak

terlibat dalam perkembangannya sering sulit untuk diinterpretasikan. Karena

meski ada tokoh lain pengganti peran ayah yang berinteraksi dengan si anak

di rumah, namun sejauh mana kuatnya sulit ditafsirkan. Penelitian Pedersen

dan koleganya menguji hipotesis ini dan menemukan bahwa pengaruh

kehadiran orang dewasa yang lain, ternyata tidak mempunyai dampak yang

mendalam bagi anak. Ayah tampaknya lain. Ayah lebih dari itu. Dia

mempunyai pengaruh yang menimbulkan suatu perubahan dan kualitasnya

berbeda dengan orang dewasa lain (Dagun, 1990: 130).

Dalam dunia modern ini, peran ayah sebagai kepala keluarga sering

terfokus pada usaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, terutama

keuangan. Dengan demikian, tak jarang seorang ayah harus membanting

tulang mencari nafkah keluarga dan pulang dalam keadaan lelah tanpa

memiliki kesempatan banyak untuk berinteraksi dengan istri dan anak-anak.

Fenomena ini akan lebih terasa di kota besar dengan tekanan hidup yang lebih

tinggi, belum lagi ditambah kemacetan yang semakin parah membuat seorang

ayah banyak kehilangan waktu berharganya untuk berinteraksi dengan anak.

Menciptakan kedekatan antara seorang ayah dengan anak adalah

sebuah investasi yang sangat berharga. Sesibuk apapun seorang ayah perlu

meluangkan waktu untuk menjalin kedekatan dan menjadi pelatih emosi bagi

anak-anaknya. Diantara beberapa hal yang dapat dilakukan sang ayah adalah;

(42)

kasih sayang afirmatif adalah menyediakan situasi yang baik bagi

perkembangan emosional anak, dan mendukung melalui cara yang dengan

jelas dikenali oleh anak. Dengan kata lain ikut melibatkan diri secara aktif

dalam kehidupan emosi anak. Sedangkan disiplin afirmatif adalah disiplin

yang cara-caranya telah dipikirkan dengan matang, terencana, dan sesuai

dengan usia untuk menanggapi perilaku menyimpang anak (Shapiro, 2003:

29-31).

C. Kerangka Pikir

Gambar 2.0

Hubungan antara Variabel X dan Variabel Y

X Y

Gambar di atas untuk menggambarkan hubungan antara variabel X

(keterlibatan pengasuhan ayah) dan variabel Y (kecerdasan emosional anak).

Pada tabel tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara variabel X dan

variabel Y merupakan hubungan timbal balik, maksudnya adalah satu variabel

dapat menjadi sebab dan juga akibat terhadap variabel lainnya, demikian pula

sebaliknya. Sehingga variabel X dapat mempengaruhi variabel Y dan variabel Y

dapat pula mempengaruhi variabel X. Keterlibatan Pengasuhan

Ayah

X

(43)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang telah disampaikan di atas

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Terdapat hubungan antara

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian hubungan keterlibatan pengasuhan ayah dengan kecerdasan

emosional anak ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif korelasional

dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, karena penelitian ini menggunakan

variabel/data kuantitatif sebagai sumber data utama.

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian

korelasional karena penelitian dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

hubungan antara keterlibatan pengasuhan ayah dan tingkat kecerdasan emosional

anak. Kemudian metode penelitian yang digunakannya yaitu metode survei, yaitu

penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang

dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut untuk

menemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar

variabel sosiologis maupaun psikologis (Sugiyono, 2015: 12).

1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu

keterlibatan pengasuhan ayah dan tingkat kecerdasan emosional anak. Berikut

(45)

a. Keterlibatan Pengasuhan Ayah

1). Definisi Konseptual

Definisi konseptual keterlibatan pengasuhan ayah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan

anak yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku,

afeksi, dan kognisi. Definisi ini merupakan kesimpulan dari definisi yang

dikemukakan oleh Lamb et al (dalam Hawkins et al, 2002).

2). Definisi Operasional

Definisi operasional dari keterlibatan pengasuhan ayah dalam

penelitian ini adalah skor yang didapatkan ayah dari alat ukur Paternal

Index of Child Care Inventory (PICCI). Semakin tinggi skor yang

diperoleh menunjukkan ayah semakin terlibat dalam pengasuhan,

begitupun sebaliknya.

Tabel 3.0

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Keterlibatan Pengasuhan Ayah

Variabel Indikator

3. Responsibillity 21, 22, 23, 24, 25, 26

27, 28, 29, 30

10

(46)

b. Kecerdasan Emosional

1). Definisi Konseptual

Definisi konseptual kecerdasan emosional yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah definisi kecerdasan emosional yang dikemukakan

oleh Daniel Goleman (2009: 24), yaitu kemampuan yang dimiliki seperti

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi

frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan

kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a.

2). Definisi Operasional

Definisi operasional dari tingkat kecerdasan emosional ini adalah skor

yang didapatkan dari kecerdasan emosional remaja dengan menggunakan

teori Daniel Goleman (2009: 58) yang dapat dinilai dari ciri-ciri yang telah

dikemukakannya, yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri,

empati diri, dan keterampilan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh

menunjukkan anak mempunyai tingkat kecedasan emosioanl yang tinggi,

(47)

Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kecerdasan Emosional

Variabel Indikator

B. Populasi dan Sampel

a. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA

Muhammadiyah Bantul yang terdiri dari 6 kelas dengan jumlah 108 siswa.

Pengambilan populasi dengan memfokuskan kelas X dikarenakan usia siswa

kelas X yaitu antara 14 sampai dengan 15 tahun, yang tergolong masuk pada

usia remaja awal. Pada masa remaja awal ini biasa mulai munculnya

gejala-gejala negatif. Diantara gejala-gejala-gejala-gejala fase negatif menurut Hurlock di dalam

buku Psikologi Remaja karya Mighwar, yaitu: keinginan untuk menyendiri,

(48)

tubuh, kegelisahan, konflik sosial, penantangan terhadap kewibawaan orang

dewasa, kepekaan perasaan, dan mulai timbul minat pada lawan seks

(Mighwar, 2011: 68).

b. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

popolasi (Sugiyono, 2015: 81). Pengambilan sampel harus dilakukan

sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat

berfungsi sebagai contoh, atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang

sebenarnya.

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang. Hal ini

berdasarkan pada pertimbangan waktu, biaya, dan tenaga maka diambil

jumlah minimal. Sugiyono (2015: 91) menyatakan bahwa ukuran sampel

yang layak dalam penelitian antara 30 – 500 orang. Pengambilan sampel digunakan model probability sampling dengan teknik simple random

sampling. Probability sampling merupakan teknik sampling yang

memberikan kesempatan (peluang) sama pada setiap anggota populasi untuk

dijadikan sampel (Riduwan, 2009: 12). Simple random sampling merupakan

cara pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan tingkatan antar

anggota populasi karena populasi bersifat homogen (Riduwan, 2009: 12).

C. Teknik Pengumpulan Data

(49)

1. Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data dengan memberi

dan menyebar daftar pertanyaan yang harus direspon oleh responden sesuai

dengan keadaan responden (Sugiyono, 2015: 142). Dalam mengukur

keterlibatan pengasuhan ayah dan kecerdasan emosional anak yaitu dengan

menggunakan skala ketentuan untuk pernyataan positif: (5) Sangat Setuju, (4)

Setuju, (3) Ragu-Ragu, (2) Tidak Setuju, (1) Sangat Tidak Setuju. Sedangkan

untuk pernyataaan negatif: (5) Sangat Tidak Setuju, (4) Tidak Setuju, (3)

Ragu-ragu, (2) Setuju, (1) Sangat Setuju.

2. Observasi atau pengamatan merupakan suau teknik atau cara mengumpulkan

data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang

berlangsung (Sugiyono, 2015: 145). Observasi ini dilakukan untuk

memperoleh data tentang bagaimana siswa dapat mengenali emosi diri, dapat

mengelola emosi, dapat memotivasi diri sendiri, dapat mengenali emosi

orang lain, dan dapat membina hubungan.

3. Wawancara menurut Sugiyono (2015: 137) digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk

menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin

mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Wawancara dapat

dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan

(50)

4. Dokumentasi berupa catatan dokumen berbentuk tulisan dan gambar untuk

mengetahui batas sekolah, fasilitas sekolah, guru, karyawan, jumlah siswa,

serta tujuan dan visi misi SMA Muhammadiyah Bantul.

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Terdapat dua persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh instrumen

penelitian, yaitu validitas dan reliabilitas. Sebuah instrumen dikatakan baik jika

mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat menangkap data variabel yang

diteliti secara tepat. Untuk mengetahui tingkat validitas suatu instrumen, dapat

digunakan koefisien korelasi dengan mengunakan rumus Product Moment dari

Pearson dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

r : adalah koefisien korelasi produk momen Pearson n : adalah banyaknya pasangan pengamatan

x : adalah jumlah pengamatan variabel x y : adalah jumlah pengamatan variabel y

Metode uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

reliabilitas internal consistency atau internal consistency method dengan

(51)

digunakan karena dapat digunakan pada kuesioner yang jawaban atau

tanggapannya lebih dari dua pilihan. Uji reliabilitas pada penelitian ini

menggunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono, 2015: 130) seperti di bawah

ini:

E. Teknik Analisis Data

Setelah peneliti melakukan penelitian di lapangan dan mengumpulkan

data-data, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan analisis

data. Teknik analisis data diarahkan pada pengujian hipotesis yang diajukan serta

untuk menjawab rumusan masalah. Pada penelitian ini digunakan analisis

korelasi. Uji koefisien korelasi dimaksudkan agar dapat menentukan keeratan

hubungan dua variabel yang diteliti.

Uji korelasi dimaksudkan untuk melihat hubungan dari dua hasil

pengukuran atau dua variabel yang diteliti, untuk mengetahui derajat hubungan

(52)

X = ½ ( skor tertinggi + skor terendah ) SDi = 1/6 ( skor tertinggi-skor terendah )

Untuk kategori tinggi = (X + 1 SDi) – (X + 3 SDi) Untuk kategori sedang = (X – 1 SDi) – (X + 1 SDi) Untuk kategori rendah = (X - 3 SDi) – (X – 1 SDi)

emosional anak). Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Pearson

product moment correlation. Alasan peneliti menggunakan teknik ini karena data

yang diperoleh berupa data interval yang diperoleh dari instrumen dengan

menggunakan jenis skala likert.

Adapun rumusan yang digunakan adalah :

Keterangan:

rxy : koefisien korelasi

Ʃx : Jumlah skor X

Ʃy : Jumlah skor Y

Untuk mengidentifikasi tinggi rendahnya tingkat responden yaitu dengan

(53)

A. Profil Sekolah SMA Muhammadiyah Bantul 1. Sejarah Berdirinya

Didorong oleh keadaan ekonomi, politik dan sosial saat itu yang

kurang kondusif, sehingga dunia pendidikan belum sepenuhnya mampu

disediakan oleh pemerintah. Maka berkumpullah tokoh – tokoh Muhammadiyah Cabang Bantul. Saat iru membahas untuk menyatukan

tekad membantu pemerintah dalam menyediakan sarana pendidikan.

Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang maka disepakati untuk

mendirikan Sekolah Menengah Atas yang kemudian dikenal dengan SMA

Muhammadiyah Bantul.

SMA Muhammadiyah Bantul berdiri pada tanggal 1 Agustus 1964

dengan SK dari Pimpinan Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan

pengajaran Cabang Bantul Nomor: 067/BP/1964 tertanggal 20 Juni 1964.

Kemudian dikukuhkan lagi dengan keluarnya Piagam pendirian Perguruan

Muhammadiyah Nomor : 2979/M.614/DIY.04/1977 tertanggal 17

Ramadhan 1397 bertepatan dengan 1 September 1977.

SMA Muhammadiyah Bantul terdaftar pada Majelis Pendidikan

Pengajaran dan Kebudayaan :

Pusat Nomor : 2979 / M.614 / DIY.64 / 1977

(54)

Daerah Nomor : 01 / C.Piag. / 1977

Diperbaharui oleh majelis Pendidikan Dasar dan menengah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor : 0258 / II.A1 / 1.d / 2000

tertanggal 9 Dzulhijjah 1420 H / 15 Maret 2000 M.

2. Letak/Lokasi Sekolah

SMA Muhammadiyah Bantul terletak di tempat yang streategis, di

kawasan pusat Kota Bantul, Jalan Urip Sumoharjo 04 A Bantul, kode pos

55711, tepatnya pada koordinat LS -70,53”.27,8’. BT 1100.19”.38,6’ telepon (0274) 367575, website: www.sma-muhiba.sch.id, Dusun

Badegan, Desa Bantul, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Adapun batas-batas lokasi SMA Muhammadiyah Bantul sebagai

berikut. Sebelah utara dan timur berupa rumah-rumah penduduk, sebelah

barat kompleks Kantor Kepolisian Resort Bantul, dan pertokoan,

sedangkan sebelah selatan adalah Jalan Urip Sumoharjo yang di

seberangnya berderet Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bantul, SPBU

Gose Bantul, dan pusat perbelanjaan.

SMA Muhammadiyah Bantul terletak di atas tanah seluas 9052 m2.

Bangunan berupa ruang-ruang pembelajaran dan pendukung berlantai satu,

dua dan tiga seluas 4794 m2, masjid seluas 432 m2, lapangan olah raga

(55)

3. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah

1. Visi

Visi SMA Muhammadiyah Bantul “Menjadi Sekolah Unggul Pilihan Umat”.

2. Misi

a. Mewujudkan sekolah yang “terdepan” (tertib, demokratis, professional, agamis, dan nyaman).

b. Melaksanakan pembelajaran yang intensif, kreatif, dan inovatif.

c. Mengembangkan potensi olah raga, seni dan life skill.

d. Membentuk kader Muhammadiyah yang tangguh dan berakhlak

mulia.

e. Melaksanakan pendidikan berwawasan lingkungan yang sehat.

f. Mewujudkan sekolah bebas narkoba.

3. Tujuan Sekolah

a. Terwujudnya sekolah yang “terdepan” (tertib, demokratis, professional, agamis dan nyaman).

b. Terwujudnya peserta didik yang cerdas dan berprestasi di bidang

akademik.

c. Terwujudnya peserta didik yang berprestasi di bidang olah raga,

seni dan kecakapan hidup (life skill).

d. Terbentuknya peserta didik yang mampu baca al-qur’an dan berkepribadian islami sebagai kader persarikatan yang tangguh.

(56)

f. Terwujudnya sekolah bebas narkoba.

4. Strategi untuk Mencapai Tujuan Sekolah adalah:

a. Melaksanakan sosialisasi program sekolah kepada semua warga

sekolah dan stake holder pendidikan.

b. Melaksanakan pembelajaran yang berprinsip “mendidik dengan hati”.

c. Menciptakan budaya islami dan budaya tertib dengan 5T (tertib

masuk, KBM, administrasi, ibadah, dan pakaian) di lingkungan

sekolah.

d. Menciptakan rasa kebersamaan dan iklim kerja yang kondusif.

e. Mengintensifkan pembelajaran ekstrakurikuler dan berpartisipasi

dalam berbagai lomba.

f. Melaksanakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif,

dan menyenangkan.

g. Menyelenggarakan pelatihan/pembinaan kader dan

mengikutsertakan peserta didik dalam berbagai kegiatan

persyarikatan.

h. Menciptakan lingkungan sekolah yang sejuk, bersih, sehat, dan

bebas asap rokok.

i. Melaksanakan evaluasi pembelajaran secara periodic,

berkesinambungan dan akuntabel.

j. Mengintensifkan bimbinagn idang keagamaan (salat fardu dan salat

(57)

k. Melaksanakan gerakan pencegahan dan pemberantasan narkoba,

obat-obat terlarang dan menciptakan sekolah yang bebas asap

rokok.

4. Struktur Organisasi Sekolah

5. Personil Sekolah

1. Pendidik

SMA Muhammadiyah bantul memiliki pendidik sebanyak 36 orang,

dengan jenjang pendidikan pascasarjana (S2) 2 orang, Sarjana (S1) 32

orang, dan sarjana muda 20 orang, terdiri atas PNS 19 orang, GTY 8

orang, dan GTT 9 orang; guru tersertifikasi 26 orang, dan 10 orang

(58)

Daftar Pendidik SMA Muhammadiyah Bantul

No Nama Status Pendidikan Mapel yg

diampu Sertifikat 1

Drs. HUMAN

SAPTAPUTRA, M.Pd PNS S.2 Matematika Sudah

(59)

24

SMA Muhammadiyah Bantul memiliki tenaga kependidikan sebanyak

14 orang dengan status PTT.

(60)

7 MUH ZUHDI MUNAWIR TU SMA 1983 PTT

Dalam lima tahun terakhir SMA Muhammadiyah Bantul memiliki

jumlah rombongan belajar dan peserta didik yang relatif stabil.

(61)

Jumlah Peserta Didik

4. Orang Tua Peserta Didik

Orang tua peserta didik SMA Muhammadiyah Bantul sebagian besar

bermata pencaharian sebagai buruh serabutan dann berpendidikan

dasar dan menengah.

Pendidikan Orang Tua Peserta Didik

(62)

Pekerjaan Orang Tua

6. Sarana dan Prasarana

Beberapa fasilitas pembelajaran yang terdapat di SMA Muhammadiyah

Bantul antara lain sebagai berikut:

1. Ruang kelas yang memadai

2. Laboratorium (Fisika, Kimia, Biologi, Komputer, Agama, Geografi,

Sejarah).

3. Ruang praktik life skill (otomotif, tata busana, karawitan, studio musik,

batik, TIK).

4. Ruang audio visual.

5. Ruang UKS.

6. Lapangan olah raga (Basket, Bola volli, Tenis meja, Tenis Lapangan).

7. Masjid

(63)

9. Perpustakaan dan aula.

10.Asrama MBS.

11.Serta sarana pendukung berupa koperasi, kantin, parkir yang luas,

sarana MCK, ruang satpam, taman sekolah dan sebagainya.

B. Analisis Data dan Pembahasan 1. Uji Instrumen Penelitian

Peneliti dalam melakukan penelitian menggunakan instrument berupa

angket/kuesioner. Dalam desain kuesioner ini peneliti akan mengukur

tingkat validitas dan reliabilitas dari variable X dan Y. Validitas berguna

untuk menunjukkan kinerja kuesioner dalam mengukur apa yang diukur,

sedangkan reliabilitas ditujukan pada penunjukan bahwa kuesioner tersebut

konsisten apabila digunakan untuk mengukur gejala yang sama. Adapun

tujuan dari pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner adalah untuk

memastikan bahwa instrument/kuesioner yang disusun dan digunakan

benar-benar baik dalam mengukur gejala dan menghasilkan data yang valid.

a. Uji Validitas

Validitas menurut (Arikunto, 2010: 211) merupakan suatu ukuran

yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan dan kesahihan sesuatu

instrumen. Validitas kuesioner berguna untuk mengukur sejauh mana

kuesioner mampu mengukur kepuasan responden (pelanggan). Peneliti

dalam melakukan uji validitas mengacu pada (Sugiyono, 2015, 128), yaitu

Gambar

Gambar 2.0 Hubungan antara Variabel X dan Variabel Y
Tabel 3.0
Tabel 3.1
Tabel 4.0
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres dalam menyusun skripsi, tingkat stres dalam menyusun skripsi dan tingkat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja, dengan nilai signifikansi sebesar

penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) tingkat kecerdasan emosional siswa SMA Bhinneka Karya 3 Boyolali sebagian besar adalah sedang, (2) perilaku

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi akuntansi dan kecerdasan emosional

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan perilaku moral anak di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan kompetensi sosial pada remaja putri SMK PIUS X Magelang.Penelitian ini

Hipotesis penelitian adalah ada hubungan negatif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan tingkat stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan