• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Ditinjau Dari UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Ditinjau Dari UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI

TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN (SAFEGUARD)

DITINJAU DARI UU NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

PERDAGANGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MELISSA AYU ASIMA SILALAHI

100200192

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI

TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN ( SAFEGUARD)

DITINJAU DARI UU NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

PERDAGANGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MELISSA AYU ASIMA SILALAHI

100200192

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 (Windha S.H., M.Hum.)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum Dr. Mahmul Siregar S.H.,M.Hum NIP. 195905111986011001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard)

Ditinjau Dari UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

(5)

9. Dr. Mirza Nasution S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

10. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Ayah dan Ibuku tercinta, S.M Silalahi dan Lili Andini, yang telah memberikan doa, cinta kasihnya, dan semangat yang tiada hentinya bagi saya. 12. Adik-adikku Bayu Silalahi dan Timoty Silalahi, yang telah menjadi semangat

bagi Penulis dan setia mengiringi dengan doa-doanya. 13. Harry Silaban yang telah memberikan semangat dan doa.

14. Teman-teman seperjuanganku dan sahabat-sahabat terkasih Egha, Jeje, Hasnita, Boby, Frenky, Dadan dan seluruh IMAHMI serta rekan-rekan stambuk 2010.

Medan, 23 Juli 2014 Penulis

100200192

(6)

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD DITINJAU DARI UU NOMOR 7 TAHUN 2014

TENTANG PERDAGANGAN

*) Melissa Ayu Asima Silalahi **) Budiman Ginting ***) Mahmul Siregar

ABSTRAK

Kemajuan di bidang ekonomi dan semakin terbukanya perdagangan antarnegara (internasional), industri dalam negeri sudah sepantasnya untuk dilindungi. Salah satu kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Tindakan pengamanan

(safeguard) berfungsi untuk melindungi industri dalam negeri dari ancaman kerugian ataupun kerugian atas terjadinya lonjakan impor. Hal ini lah yang menimbulkan pertanyaan mengenai peraturan di Indonesia yang mengatur tentang tindakan pengamanan perdagangan (safeguard).

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier, yang diambil dengan cara studi pustaka (library research).

Secara internasional tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) diatur dalam Article XIX GATT 1947. Tindakan pengamanan perdagangan (safeguard)

di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang tindakan pengamanan perdagangan. Pasal 69 menjelaskan bahwa pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan pengamanan perdagangan dalam rangka melindungi dan mencegah kerugian atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan barang impor. Pasal 69 juga menjelaskan bahwa bentuk tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) yang dapat dilakukan adalah bea masuk tindakan pengamanan perdagangan dan kuota. Pasal 67 ayat (3) bagian E mengatur bahwa pengenaan tindakan pengamanan perdagangan dilakukan untuk mengatasi lonjakan impor. Pasal 97 ayat (4) bagian C mengatur bahwa yang bertugas untuk memberikan pertimbangan kepentingan nasional terhadap tindakan pengamanan perdagangan adalah komite perdagangan nasional.

Kata kunci: Perdagangan Internasional, Industri Dalam Negeri, Tindakan Pengamanan Perdagangan.

*)

Mahasiswa Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU **)

Dosen Pembimbing I ***)

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO ... 18

A. Antidumping ... 18

1. Dasar Hukum Pengaturan Antidumping ... 20

2. Kriteria dan Jenis Dumping ... 23

3. Bea Masuk Antidumping ... 27

B. Tindakan Imbalan untuk Tindakan Subsidi (Countervailing Duties) ... 28

1. Dasar Hukum Tindakan Imbalan (Countervailing Duties) ... 30

2. Tujuan Pemberian Subsidi ... 31

3. Penggolongan Subsidi ... 32

4. Kebijakan Pemberian Subsidi ... 34

C. Safeguard ... 35

(8)

2. Pengaturan Safeguard ... 38

3. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional... 43

BAB III PENGAMANAN PERDAGANGAN MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD DALAM SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL ... 45

A. Analisis Hukum Terhadap Ketentuan Safeguard dalam GATT dan Persetujuan WTO ... 45

B. Peraturan Perdagangan Internasional di Bidang Safeguard ... 52

C. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional ... 54

BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD DALAM UU NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN ... 63

A. Industri ... 63

1. Definisi Industri ... 63

2. Jenis-Jenis Industri ... 65

B. Peraturan Pemerintah tentang Tindakan Pengamanan dalam Perdagangan... 69

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor ... 69

2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 85/MPP/KEP/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor ... 76

3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ... 80

(9)

tentang Perdagangan ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

(10)

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD DITINJAU DARI UU NOMOR 7 TAHUN 2014

TENTANG PERDAGANGAN

*) Melissa Ayu Asima Silalahi **) Budiman Ginting ***) Mahmul Siregar

ABSTRAK

Kemajuan di bidang ekonomi dan semakin terbukanya perdagangan antarnegara (internasional), industri dalam negeri sudah sepantasnya untuk dilindungi. Salah satu kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Tindakan pengamanan

(safeguard) berfungsi untuk melindungi industri dalam negeri dari ancaman kerugian ataupun kerugian atas terjadinya lonjakan impor. Hal ini lah yang menimbulkan pertanyaan mengenai peraturan di Indonesia yang mengatur tentang tindakan pengamanan perdagangan (safeguard).

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier, yang diambil dengan cara studi pustaka (library research).

Secara internasional tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) diatur dalam Article XIX GATT 1947. Tindakan pengamanan perdagangan (safeguard)

di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang tindakan pengamanan perdagangan. Pasal 69 menjelaskan bahwa pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan pengamanan perdagangan dalam rangka melindungi dan mencegah kerugian atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan barang impor. Pasal 69 juga menjelaskan bahwa bentuk tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) yang dapat dilakukan adalah bea masuk tindakan pengamanan perdagangan dan kuota. Pasal 67 ayat (3) bagian E mengatur bahwa pengenaan tindakan pengamanan perdagangan dilakukan untuk mengatasi lonjakan impor. Pasal 97 ayat (4) bagian C mengatur bahwa yang bertugas untuk memberikan pertimbangan kepentingan nasional terhadap tindakan pengamanan perdagangan adalah komite perdagangan nasional.

Kata kunci: Perdagangan Internasional, Industri Dalam Negeri, Tindakan Pengamanan Perdagangan.

*)

Mahasiswa Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU **)

Dosen Pembimbing I ***)

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa dunia, seperti dibentuknya Organisasi Perdagangan Internasioal (World Trade Organization/WTO), blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), maupun Asia Pasific Economy Cooperation (APEC), dan sebagainya.1

Salah satu bentuk nyata dari globalisasi adalah terjadinya kegiatan perdagangan antar negara yang kemudian dikenal dengan perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah kegiatan transaksi dagang antara satu negara dengan negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa-jasa, dan dilakukan melewati batas daerah suatu negara. 2

Globalisasi dapat diartikan sebagai interaksi dan hubungan antar bangsa dan antar manusia dalam hal perdagangan, perjalanan, budaya dan bahasa dalam suatu cakupan wilayah yang cukup luas bahkan dunia. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Banyak negara sekarang ini menjadikan

1

Joni Emirzon, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Jasa Penilai, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 1.

2

Ismawanto, Perdagangan Internasional,

(12)

perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk mendapatkan pendapatan nasional3. Perdagangan internasional juga memberi dampak terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik, serta mendorong kemajuan industri, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. 4

Perdagangan adalah sektor yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antarbangsa. Bagi suatu bangsa, khususya bangsa Indonesia, dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional, mewujudkan pemerataan pembangunan berikut hasil-hasilnya, serta memelihara kemantapan stabilitas nasional. Dengan demikian kebijakan perdagangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. 5

3

Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumahtangga keluarga di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun

Barang-barang atau jasa yang laku diperdagangkan adalah barang-barang yang memiliki nilai tambah. Nilai tambah suatu barang-barang didapatkan dari kegiatan industri. Bahan-bahan industri diambil secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi masyarakat.

4

Perdagangan Internasional,

diakses tanggal 22 Juli 2014, 9.59 pm

5

(13)

Semakin maju tingkat perkembangan industri di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Barang yang dihasilkan juga semakin beragam. Beragamnya barang yang dihasilkan juga berarti beragamnya barang yang diperdagangkan. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa industri menjadi penunjang bagi perdagangan.

Sasaran pembangunan sektor industri dan perdagangan pada tahun 2008 adalah sebagai berikut6

a. Terwujudnya pengembangan industri yang mempunyai keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif dengan mengacu kepada pengembangan klaster industri, sehingga tercipta struktur industri yang kokoh dan seimbang

:

b. Terwujudnya peningkatan daya saing nasional melalui peningkatan kemampuan profesionalisme sumber daya manusia, penguasaan penggunaan teknologi dan inovasi, serta pemenuhan ketentuan standar keamanan, kesehatan, dan lingkungan baik nasional maupun internasional

c. Terciptanya perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja secara merata di sektor industri dan perdagangan

d. Terwujudnya peningkatan partisipasi Indonesia melalui peningkatan diplomasi perdagangan, baik dalam kegiatan kerjasama bilateral, regional maupun multilateral yaitu dalam

6

Pangesty Ayu, Perkembangan Industri di Era Globalisasi Ekonomi Dunia Terhadap

Pendapatan Nasional Indonesia

(14)

forum negosiasi persetujuan-persetujuan WTO, ASEAN, APEC, Kerjasama Komoditi Internasional, serta kerjasama Badan-Badan Dunia lainnya;

Kemajuan di bidang ekonomi akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya kegiatan-kegiatan bisnis, seperti kegiatan ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba atau kegiatan-kegiatan lainnya, seperti perbankan, asuransi, perpajakan, dan sebagainya7

Perekonomian internasional, dalam hal ini perdagangan internasional saat ini dirasa lebih menguntungkan beberapa negara saja khususnya negara maju. Perdagangan internasional lebih menguntungkan karena beberapa alasan, yaitu :

. Banyak negara terus berupaya untuk menumbuhkan ekonominya. Sektor industri dan perdagangan menjadi salah satu sektor penting bagi tumbuhnya perekonomian. Pentingnya peran sektor tersebut menjadikan sektor-sektor tersebut menjadi salah satu sektor yang sangat diperhatikan dan dilindungi oleh negara.

8

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri ; banyak faktor yang memengaruhi hasil produksi di setiap negara, faktor-faktor tersebut diantaranya : kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek, dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi ; sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi

7

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional , (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hal vii.

8

(15)

suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri

3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan ; para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut ke luar negeri.

4. Transfer teknologi modern ; perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Semakin terbukanya perdagangan antarnegara tersebut, kegiatan industri dalam negeri sudah sepantasnya untuk dilindungi. Salah satu kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri adalah dengan cara melalui penerapan kebijakan pengamanan perdagangan (safeguard). Syarat-syarat penerapan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard), antara lain : 9

1. Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk, jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah sedemikian rupa, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung. 2. Tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) akan diterapkan

pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya.

Kebijakan penerapan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara pengimpor dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain melakukan penyelidikan dan pembuktian, penentuan adanya kerugian atau ancaman

9

(16)

kerugian, pengenaan tindakan pengamanan, jangka waktu dan peninjauan tindakan pengamanan

Tindakan pengamanan (safeguard) merupakan salah satu instrumen kebijakan perdagangan yang hampir serupa dengan kebijakan anti dumping dan anti subsidi10

Sebuah tindakan pengamanan diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Tindakan pengamanan juga melindungi barang produksi dalam

. Tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) dikatakan hampir serupa dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi karena, ketiga-tiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tariff bea masuk tambahan apabila menimbulkan kerugian terhadap negara pengimpor. Beberapa peraturan yang mengatur tentang safeguard adalah UU No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan pengamanan Industri Dalam Negeri Akibat Lonjakan Impor; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 85/MPP/Kep/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 84/MPP/Kep/2/2003 tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

(17)

negeri yang secara langsung merupakan saingan hasil industri negara lain yang masuk ke Indonesia.

Dalam hal ini salah satu aturan yang juga dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan perdagangan baik dalam maupun luar negeri adalah UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di dalam UU tersebut terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang kegiatan pengamanan terhadap industri dalam negeri, yaitu Pasal 69, Pasal 67 ayat (3) bagian E, dan Pasal 97 ayat (4) bagian C.

Pasal 69, berbunyi :

(1) Dalam hal terjadinya lonjakan jumlah barang impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud

(2) Tindakan pengamanan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota

(3) Bea masuk tindakan pengamanan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh menteri (4) Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh

menteri.

Pasal 67 ayat (3) bagian E, berbunyi :

(3) Kebijakan perlindungan dan pengamanan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

e. Pengenaan tindakan pengamanan perdagangan untuk mengatasi lonjakan impor

(18)

c. memberikan pertimbangan kepentingan nasional terhadap rekomendasi tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan perdagangan.

Dikaji dari pasal-pasal tersebut akan didapatkan bahwa pemerintah sangat fokus pada perlindungan pada sektor-sektor ekonomi khususnya industri. Tindakan safeguard dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berfungsi untuk melakukan perlindungan atau proteksi terhadap produk industri dalam negeri dari lonjakan produk impor yang merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk membahas tindakan pengamanan (safeguard) dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian singkat yang telah dikemukakan diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan terhadap industri di dalam negeri dalam sistem perdagangan bebas WTO?

2. Bagaimana pengamanan perdagangan melalui tindakan safeguard dalam sistem perdagangan internasional di WTO?

3. Bagaimana perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui tindakan

(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan utama dalam penulisan ini adalah :

1. Mengetahui pengaturan perlindungan terhadap industri di dalam negeri dalam sistem perdagangan bebas WTO

2. Mengetahui pengamanan perdagangan melalui tindakan safeguard dalam sistem perdagangan internasional di WTO

3. Mengetahui perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui tindakan safeguard dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Adapun manfaat penulisan skripsi ini antara lain :

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap perlindungan industri dalam negeri melalui tindakan safeguard dilihat dari UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

2. Secara Praktis

Penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis mengenai pengenaan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) dalam industri dalam negeri kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

(20)

negeri, pelaksanaan pengaturan tindakan pengamanan perdagangan, maupun peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, telah dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan melalui internet untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara atau ditempat lainnya.

Namun terdapat tulisan mengenai “Hukum Antidumping sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA (Asean China Free Trade Area)” yang ditulis oleh Romina Purnama M, skripsi pada Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Tahun 2012 dengan mengangkat rumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Hukum antidumping dalam perdagangan internasional 2. Hukum antidumping di Indonesia

3. Implementasi ketentuan antidumping di Indonesia dalam rangka ACFTA (Asean Free Trade Area)

Daniel Simamora menulis skripsi pada Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tahun 2004 tentang “Pengaturan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia dalam Mengamankan Industri dalam Negeri Indonesia dari Akibat Lonjakan Impor” dengan mengangkat rumusan permasalahan sebagai berikut :

(21)

2. Implementasi hukum internasional mengenai pengaturan safeguard dalam hukum nasional

3. Lonjakan impor barang ke Indonesia serta upaya-upaya KPPI dalam penanggulangannya

Dan skripsi ini ditulis dengan permasalahan dan pembahasan yang berbeda sehingga bisa dipandang sebagai tulisan yang asli. Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban di kemudian hari.

E. Tinjauan Kepustakaan

Perdagangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian suatu negara. Aktifitas perdagangan suatu negara menjadi indikasi tingkat kemakmuran masyarakatnya, serta menjadi tolak ukur tingkat perekonomian negara itu sendiri. Dari kegiatan perdagangan itu juga, suatu negara bisa menjalin hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Perdagangan ini pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat dan suatu waktu dan mejual barang tersebut di tempat dan waktu lainnya untuk memperoleh keuntungan.

(22)

suatu negara dengan pemerintah lain. 11

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan pada Pasal 23A disebutkan bahwa tujuan pungutan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) adalah sebagai upaya pemulihan kerugian serius (telah terjadi) dan/atau mencegah ancaman kerugian serius (keyakinan kuat terjadinya kerugian pada masa depan). Dalam pasal ini dijelaskan juga bahwa bea masuk tindakan pengamanan tidak harus diberlakukan apabila telah ditetapkan adanya kuota (pembatasan impor) sebagai tindakan pengamanan.

. Pada Article XIX dari GATT 1994, tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.

Pasal 69 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa dalam hal terjadi lonjakan jumlah barang impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud. Pada ayat (2) disebutkan bahwa tindakan pengamanan perdagangan yang dimaksud dengan mengambil tindakan berupa bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota.

11Abdul Wahid, Makalah Perdagangan Internasional

(23)

Industri dalam negeri menurut Article 4.1 Safeguard Agreement, adalah12

a. Produsen yang menghasilkan barang tertentu yang serupa atau secara langsung tersaingi dengan barang impor yang diselidiki

:

b. Dilakukan evaluasi terhadap seluruh atau sebagian besar dari industri dalam negeri

Industri dalam negeri harus dilindungi atau diberikan perlindungan oleh pemerintah dari lonjakan barang impor yang sejenis, atau barang produksinya sama, dan akan menyebabkan kerugian pada negara itu sendiri. Melindungi industri dalam negeri salah satunya adalah dengan cara tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Oleh karena itulah maka perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui tindakan pengamanan perdagangan

(safeguard) ditinjau dari UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan cukup penting untuk dijelaskan.

F. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu metode pendekatan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dan melakukan analisis terhadap norma-norma hukum dan peraturan yang berlaku dalam peraturan per-UU-an berdasarkan

12

Mahmul Siregar, Transaksi Bisnis Internasional “Safeguard”,

(24)

bahan primer, sekunder, dan tersier untuk mendapatkan kesimpulan dari data-data yang diperoleh selama penelitian.

2. Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data sekunder yang digunakan adalah

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan pengamanan Industri Dalam Negeri Akibat Lonjakan Impor, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 85/MPP/Kep/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Esthablishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis. Misalnya : RUU, jurnal hukum, buku-buku para sarjana, hasil penelitian, makalah hukum, dan sebagainya.

(25)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara studi pustaka (library Research) yang dilakukan dengan cara meniliti bahan pustaka berupa data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

4. Analisis Data

Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas. Analisis data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan : 13

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti

b. Memilih kaidah-kaidah hukum/doktrin yang sesuai dengan penelitian c. Mensistemasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau pasal atau doktrin yang

ada.

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif

G. Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan skripsi ini meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

13

(26)

Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP

INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

Berisikan tentang pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri berdasarkan ketentuan perdagangan bebas WTO, antidumping, kriterian dan jenis produk impor yang mengandung dumping, bea masuk antidumping, subsidi, tujuan pemberian subsidi, ketentuan subsidi dalam GATT, safeguard, dasar hukum tindakan pengamanan, pengaturan safeguard dan pelaksanaan safeguard dalam perdagangan internasional.

BAB III PENGAMANAN PERDAGANGAN MELALUI

TINDAKAN SAFEGUARD DALAM SISTEM

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Berisikan tentang tinjauan safeguard dalam GATT 1947, peraturan perdagangan internasional di bidang safeguard,

(27)

BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD DALAM UU NO. 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN Berisikan tentang ketentuan terkait perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui tindakan safeguard, dan ketentuan safeguard yang ada di Indonesia khususnya yang diatur didalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(28)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM

NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan. 14

A. Antidumping

Pada sistem perdagangan bebas WTO terdapat 5 prinsip dasar yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota, pengikatan tarif, perlakuan nasional, perlindungan hanya melalui tarif, dan perlakuan khusus dan berbeda dari negara-negara berkembang. Pada perlindungan terhadap industri dalam negeri, ada pengecualian dari prinsip dasar yang diterapkan oleh WTO, yaitu antara lain tindakan anti dumping, subsidi dan tindakan safeguard.

Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional. Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komiditi di pasar internasional dengan harga

14

Bimo Wicaksono, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,

(29)

yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri,atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan prudusen pesaing di negara pengimpor.15

Menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, dimana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut. 16

Menurut beberapa sarjana, pengertian dumping adalah sebagai berikut17 a. Agus Brotosusilo :

:

Dumping adalah bentuk diksriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengeskpor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

b. Muhammad Ashari :

Dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diksriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih

15

A F. Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek ELIPS,1996) hlm.37.

16

Binchoutan, Dumping dan Penetapan Antidumping,

diakses 26 Agustus 2014, 10.46wib

17

(30)

rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.

1. Dasar Hukum Antidumping

Article VI General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947 mengatur tentang ketentuan antidumping. Selanjutnya, sebagai upaya untuk mencegah praktik dumping, maka tanggal 30 Juni 1967 telah ditandatangani “Antidumping Code” oleh sekitar 25 peserta GATT termasuk Amerika Serikat. Code ini merupakan peraturan pelaksanaan antidumping dalam ketentuan GATT 1947.

Selanjutnya dalam rangka mengimplementasikan penafsiran Article VI tersebut, maka dalam Putaran Tokyo disepakati Antidumping Code (1979) oleh 22 negara tanggal 12 April 1979, dan berlaku secara efektif sejak 1 Januari 1980. Code ini secara umum memuat prosedur atau tata cara pelaksanaan Article VI GATT melalui Agreement on Implemantion of Article VI GATT.

Antidumping Code (1994) sebenarnya merupakan salah satu dari

Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersama dengan

(31)

Antidumping Code (1979) merupakan bagian integral dari Agreement Esthablishing WTO itu sendiri.18

Untuk dapat melaksanakan tindakan antidumping, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum antidumping, baik berupa peraturan per-UU-an maupun komite antidumping. Beberapa peraturan yang mengatur tentang antidumping adalah sebagai berikut

Sebagai salah satu negara yang merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, Indonesia telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang Pengesahan Agreement on Esthablishing the World Trade Organization (WTO), maka hasil keputusan yang berisi 28 persetujuan tersebut telah sah menjadi bagian dari peraturan per-UU-an nasional bagi negara peserta, termasuk persetujuan tentang antidumping.

Salah satu yang menjadi perhatian Indonesia terhadap hasil persetujuan Putaran Uruguay adalah masalah antidumping yang diatur dalam Article VI GATT 1994, yang menyatakan bahwa setiap negara anggota GATT diperbolehkan untuk mengenakan tindakan antidumping. Tindakan itu dapat dikenakan terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga barang yang sama di pasar domestik negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negara pengimpor.

19

1)UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan :

18

Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 2004) hlm.45.

19

(32)

2)UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang dalam Pasal 18-20 diatur tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

3)UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

4)Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan

5)Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 136.MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia

6)Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 172/MPP/Kep/6/1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping

7)Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia

8)Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 428/MPP/Kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia.

(33)

2. Kriteria dan jenis dumping

a. Kriteria Dumping

Article VI GATT pada prinsipnya telah memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Mengacu pada pengertian di atas, maka dumping dapat dikategorikan menjadi tiga unsur atau kriteria sebagai berikut20

1. Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal

:

2. Akibat dari diskriminasi harga tersebut yang menimbulkan kerugian materil terhadap industri telah berdiri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri

3. Adanya hubungan kausal antara penjual barang impor yang harganya lebih rendah dari harga normal sehingga terjadi kerugian yang diderita oleh negara pengimpor.

b. Jenis dumping

Dalam praktik perdagangan internasional, dumping ada beberapa jenis dan oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga) jenis, yaitu21

1. Persistent dumping (diskriminasi harga internasional) , yaitu kecenderungan monopoli yang berkelanjutan dari suatu pasar dalam

:

20Ibid., hlm. 120.

(34)

negeri untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan menetapkan harga yang lebih tinggi di dalam negeri daripada diluar negeri

2. Predatory dumping, yaitu menjual barang di luar negeri lebih murah untuk sementara, sehingga dapat mematikan pesaing. Setelah memonopoli pasar maka harga kembali dinaikkan.

3. Sporadic dumping, yaitu menjual produk di luar negeri lebih murah secara sporadic karena kelebihan produksi di dalam negeri.

Menurut Kindleberger dalam H.A.S. Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan industri dalam negeri pengimpor ada dua jenis dumping, yaitu22

1. Dumping yang bersifat perampasan, bentuk seperti ini terjadi apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini sangat merugikan produk industri dalam negeri negara pengimpor

:

2. Dumping yang terjadi secara terus menerus, bentuk dumping ini seperti pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen negara pengimpor, karena hanya bersaing dengan produk impor lain.

c. Implikasi dumping bagi negara pengimpor

Pada dasarnya para pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan perdagangan internasional bertujuan untuk memperoleh keuntungan.Untuk itu mereka harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan manajerial yang

22H.A.S. Natabaya, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan

(35)

prima serta memiliki konsep atau prinsip yang berlaku umum dalam perdagangan internasional yakni konsep keunggulan komparatif. Konsep keunggulan komparatif23 adalah bahwa setiap negara akan memperoleh keuntungan jika ia menspesialisasikan pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Selain itu harus juga memerhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dunia bisnis internasional dengan mengutamakan prinsip fairness. Prinsip fairness

diutamakan dalam perdagangan internasional karena untuk menghilangkan praktek dumping dan subsidi. Prinsip fairness dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. 24

Dalam ketentuan GATT-WTO prinsip fairness sangat diutamakan, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya praktik persaingan curang dalam perdagangan internasional. Namun pada kenyataannya hakikat yang dimaksud sering tidak diindahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengutamakan prinsip keadilan. Tindakan persaingan antarpelaku ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya persaingan curang baik dalam bentuk harga maupun bukan harga yang dikenal baik dengan istilah “dumping”. Dengan demikian, dumping

23

Hanif, Keunggulan Komparatif

24

(36)

merupakan salah satu bentuk hambatan perdagangan non-tarif, yang berupa diskriminasi harga25

a. Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal atau disebut dengan

“less than fair value” (LTFV) .

Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap dapat merugikan perekonomian negara lain. Berdasarkan ketentuan yang dinyatakan dalam Article VI section (1) GATT 1947, ada dua unsur yang dapat disimpulkan, yaitu :

b. Akibat dari diksriminasi harga tersebut menimbulkan kerugian material terhadap industri yang telah bediri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.

Berdasarkan Article VI GATT 1947 diuraikan pengertian mengenai “less than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu : 26

1) Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor, atau

2) Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau

25Ibid., hlm. 124.

(37)

dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan

Berdasarkan Article VI GATT 1947 ada dua sebab akibat untuk melarang kegiatan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang menjual barang di negara lain dengan harga yang “less than fair value”

(LTFV), dan perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian materil bagi negara pengimpor. Kerugian materil, artinya industri dalam negeri memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian seperti faktor penurunan penjualan, penurunan keuntungan, penurunan pangsa pasar, apabila salah satu saja faktor sudah dipenuhi, maka bisa dikatakan sebagai kerugian materil. Barang sejenis yang dimaksud yang dapat menimbulkan keugian materil adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor atau barang yang memiliki karakteristik menyerupai barang yang diimpor.

Kedua sebab akibat tersebut dinyatakan dalam pasal tersebut memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik.

3. Bea Masuk Antidumping

(38)

anti-dumping, pemungutannya tidak boleh diksriminatif. Pemungutannya harus dilakukan terhadap semua yang melakukan impor dumping yang menyebabkan kerugian.

Jumlah bea masuk anti-dumping tidak akan melebihi selisih harga dumping dengan harga normal. Nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Ekspor barang perusahaan yang bersangkutan dapat dikenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) oleh negara pengimpor maksimum sebesar margin dumping, yaitu selisih antara harga normal di pasar dalam negeri dan harga ekspor selama lima tahun dan dapat diperpanjang selama lima tahun lagi. 27

B. Tindakan Imbalan untuk Tindakan Subsidi (Countervailing Duties)

Pasal 9 WTO Agreement mengatur mengenai pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dalam pasal ini dijelaskan tentang cara penentuan besaran BMAD, di antaranya, badan yang berwenang menentukan besaran BMAD.

Subsidi dalam perekonomian diartikan sebagai bantuan atau insentif yang diberikan pemerintah suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya. Bantuan tersebut dapat berupa keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak, bantuan berupa pembatasan bea masuk, atau tarif impor, bantuan berupa keringanan bunga kredit

(39)

perbankan, pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor yang dikenal dengan sebutan subsidi ekspor, bantuan biaya riset dan pengembangan teknologi, dan sebagainya.28

Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dinyatakan bahwa Subsidi adalah :

29

1)Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri atau eksportir, dan

2)Setiap bentuk dukungan terhadap pendapat atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan yang dapat memberikan manfaat bagi penerimanya.

Menurut Article 1 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures GATT/WTO1994 dapat disimpulkan bahwa subsidi merupakan kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada pelaku ekonomi berupa:

a. Pemberian dana secara langsung oleh pemerintah seperti: hibah, pinjaman, penyertaan modal atau jaminan utang

b. Penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah misalnya insentif fiscal, seperti memberikan keringanan atau penghapusan pajak

c. Penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang

28

Muhammad Sood, Op.Cit., hlm. 194.

29

(40)

d. Melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan , atau memberikan kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan yang terkait, yang pelaksanannya berbeda dengan biasanya yang dilakukan oleh pemerintah

1. Dasar Hukum Tindakan Imbalan (Countervailing Duties30

Subsidi pada dasarnya diberikan untuk mendukung pertumbuhan suatu industri, namun tindakan subsidi ternyata secara tidak langsung dapat merugikan negara tujuan ekspor. Dengan adanya subsidi harga barang semakin murah sehingga dapat menimbulkan persaingan yang tidak baik apabila barang tersebut masuk ke negara lain, untuk mencegah hal tersebut maka digunakanlah tindakan imbalan. Tindakan imbalan (countervailing duties) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir. Menurut UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdangangan pada Pasal 67 ayat (3) bagian d, tindakan imbalan bertujuan untuk mengatasi praktik perdagangan yang tidak sehat. Dalam Pasal 71 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, diatur juga mengenai kewajiban pemerintah untuk mengambil tindakan imbalan dalam rangka menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri.

)

Subsidi diatur dalam Article XVI GATT 1947. Kemudian disatukan dalam “Persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (Agreement on Subsidies

(41)

and Countervailing Measures)” tahun 1994 GATT-WTO (Article XVI), merupakan bagian dari hasil persetujuan dalam Perundingan Multilateral Putaran Uruguay pada 1994.

Dalam tata hukum nasional, subsidi telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian diubah lagi dengan UU No. 17 Tahun Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Adapun norma sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) No. 261/MPP/Kep/6/1996 tentang Bea Masuk Imbalan.

2. Tujuan Pemberian Subsidi

Menurut A. F. Elly Erawati, pemberian subsidi pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu :31

a. Untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Maksudnya ialah agar pengusaha yang memperoleh subsidi dapat memproduksi produknya dengan biaya yang lebih rendah atau murah, sehingga produk tersebut dapat di ekspor dengan harga yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara pengimpor dari negara pengimpor dari negara ketiga lainnya.

b. Untuk mengurangi impor, artinya bahwa pemberian subsidi terhadap komponen produk tertentu yang diproduksi di dalam negeri mendorong

31

(42)

produsennya untuk tidak lagi membeli komponen produk serupa dari luar negeri. Meskipun demikian, subsidi seperti ini tidak menjamin bahwa produk lokal tersebut akan benar-benar baik kualitasnya dan rendah harganya dibandingkan dengan produk impor.

3. Penggolongan Subsidi

Menurut Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Article 3 – Article 8) bahwa jenis subsidi meliputi : 32

a. Subsidi yang terlarang dalam Article 3 yaitu :

1) Kelompok subsidi yang diberikan kepada pelaksana ekspor misalnya subsidi ekspor (yang berhubungan dengan kinerja ekspor). Larangan subsidi ekspor ini tidak berlaku untuk negara yang tergolong sangat terbelakang, dan untuk negara berkembang dalam jangka waktu 8 tahun terhitung sejak berlakunya persetujuan WTO mengenai subsidi tersebut. 2) Kelompok subsidi yang diberikan untuk pemakaian produk lokal

(penggunaan barang dalam negeri) sebagai pengganti produk impor. Larangan subsidi ini tidak berlaku bagi negara berkembang dalam jangka waktu 5 tahun, dan negara terbelakang selama jangka waktu 8 tahun sejak berlakunya persetujuan WTO

b. Subsidi yang dapat terkena tindakan, Article 5 :

Kelompok subsidi jenis ini adanya kemungkinan terkena sanksi apabila :

(43)

1) Mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dari negeri yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut

2) Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmatinya oleh negara lain

c. Subsidi yang tidak terkena tindakan,Article 8 : Kelompok subsidi jenis ini meliputi :

1) Subsidi yang tidak spesifik33

2) Subsidi berupa bantuan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan, universitas, lembaga penelitian, sepanjang besarnya bantuan itu tidak melebihi 75% dari biaya penelitian industri.

. Subsidi yang tidak spesifik adalah subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin yang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi.

3) Subsidi untuk wilayah yang terbelakang, sepanjang kriteria daerah terbelakang itu disusun secara objektif, transparan, dan eksplisit melalui peraturan per-UU-an dengan menggunakkan tolok ukur pembangunan ekonomi yang minimal terdiri dari faktor pendapatan per kapita, angka pengangguran

4) Subsidi untuk membantu penyesuaian fasilitas persyaratan lingkungan hidup sesuai dengan UU, sepanjang bantuan itu hanya untuk satu kali saja dan besarnya 20% dari biaya yang dibutuhkan.

33

(44)

4. Kebijakan Pemberian Subsidi34

Sesuai dengan tujuan pemberian subsidi, yaitu untuk merangsang kegiatan ekspor, maka pemerintah masih diperbolehkan memberikan subsidi kepada pelaku ekonomi sebatas subsidi tersebut untuk produk primer, misalnya untuk mendukung pengembangan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sementara subsidi untuk produk non-primer, yaitu produk lain diluar pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak diperbolehkan karena berindikasi menimbulkan dampak kerugian terhadap negara lain.

Dalam usaha pemberian subsidi untuk mendorong pertumbuhan ekspor, pemerintah suatu negara wajib memberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada para eksportirnya. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara pengimpor bagi subsidi produksi. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh pelapor adalah sebagai berikut :

a. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis b. Pemberitahuan harus berisi :

1) Jumlah produk yang diberikan subsidi 2) Nilai subsidi

3) Keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi

Kewajiban untuk memberitahukan dalam rangka melindungi industri domestik sebagaimana diatur dalam Article XVI, selain kurang mempunyai kekuatan hukum dan cenderung untuk tidak ditaati, ketentuan ini pun tidak

(45)

mempunyai kepastian hukum dan seolah-olah hanya merupakan anjuran saja. Ketentuan ini hanya menggambarkan bahwa subsidi yang diberikan kepada produsennya harus benar-benar beritikad baik. Apabila suatu negara enggan memberitahukan perlakuan subsidi yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain karena tidak ada sanksi hukum jika dilanggar, maka sanksi satu-satunya adalah kemungkinan untuk dikenakan tindakan balasan oleh negara yang dirugikan. Begitu pula jika negara yang bersangkutan memberitahukan tentang adanya subsidi juga akan diancam dengan sanksi yang sama. Dengan tidak adanya kekuatan hukum mengenai kewajiban pemberitahuan tersebut, sehingga suatu negara cenderung tidak mempergunakan prosedur.

C. Safeguard

Tindakan pengamanan (safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketiga-tiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk tambahan apabila menimbulkan kerugian terhadap negara pengimpor. 35

Berdasarkan persetujuan tentang Tindakan Pengamanan (Agreement on Safeguard) Article XIX of GATT 1994 bahwa tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri

(46)

dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa “Tindakan pengamanan (safeguard) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural” 36

1. Dasar Hukum Tindakan Pengamanan

Sebuah tindakan pengamanan (safeguard) memiliki beberapa ketentuan khusus yang dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah tindakan pengamanan ataukah tidak, adapun kreteria yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu: 37

a. Tindakan tersebut dilakukan pemerintah, sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan

36

Peraturan Menteri Perdagangan No.: 37/M-Dag/Per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) terhadap Barang Impor yang dikenakan tindakan pengamanan , Pasal 1 ayat (2).

37

(47)

pengaman industri dalam negerinya, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.

b. Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar

c. Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.

d. Terdapat barang sejenis. Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud

e. Terdapat barang yang secara langsung bersaing. Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.

(48)

No. 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan pengamanan (Safeguards).

2. Pengaturan Safeguard

a. Sebelum Perundingan Uruguay Round :

Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk impor, sehingga menimbulkan kerugian yang serius di dalam negeri (negara pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi negara pengimpor harus diberi kompensasi.

b. Pasca Perundingan Uruguay Round

1) Pertemuan Punta del Este (Uruguay) 1986-1988

(49)

Punta del Este juga menetapkan agar perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard harus berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut prinsip non diskriminasi. Prinsip non diskriminasi adalah prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilaksanakan secara non diskriminatif. Yaitu untuk memperlakukan produk impor dan produk lokal secara sama dan most-favoured nation38

2) Sidang Mid-Term review Montreal (Canada) 1988

untuk menerapkan tarif yang sama untuk setiap barang impor. GATT juga mengurus hambatan-hambatan non tarif yang diterapkan sebagai proteksi, contohnya adalah standar ramah lingkungan. Namun beberapa prinsip dalam GATT tidak mudah untuk diikuti karena dalam banyak hal perlu adanya perubahan pada kebijakan nasional untuk menerapkannya. Selain itu tidak mudah untuk menerapkan prinsip dan perlakuan yang sama kepada negara yang tidak sejajar. Kesulitan untuk mengikuti prinsip dan aturan GATT terutama dialami oleh negara berkembang.

Pada sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 di Montreal, para menteri hanya memberikan petunjuk mengenai langka-langka perundingan safeguard yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar dari persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembangkan

38

(50)

pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka mengembangkan negosiasi perdagangan secara multilateral.

3) Sidang Tingkat Menteri di Brussels (Swedia) Desember 1990.

Selanjutnya pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang

safeguard masih memerlukan keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguard secara selektif. Selain itu, masalah aturan permainan di bidang safeguard

(51)

4) Hasil Akhir Perundingan Safeguard di Marrakech (Marroco) 1994 Dengan diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati hasil persetujuan di bidang safeguard. Adapun ringkasan hasil perundingan di bidang safeguard adalah sebagai berikut :

a) Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan kerugian serius terhadap industri domestik.

b) Negara berkembang khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif.

c) Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan apabila:

1. Ada bukti yang jelas bahwa peningkatan impor telah atau akan menimbulkan kerugian serius.

2. Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan kerugian yang sulit diperbaiki.

d) Ketentuan seperti pembatasan ekspor sukarela tidak boleh diterapkan.

(52)

f) Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setengah tahun.

g) Safeguard tidak dikenakan untuk negara berkembang apabila pangsa negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total impor negara penerap safeguard dan apabila pangsa kolektif negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total impor negara tersebut. Persetujuan di bidang Safeguard yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan yaitu: 1. Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan

khususnya Article XIX GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan, dan menghilangkan yang lolos dari pengendalian tersebut.

2. Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar internasional.

(53)

menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat membanjirnya produk impor.

3. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional

Dalam ketentuan umum persetujuan tindak pengamanan (Agrement on Safeguard) dinyatakan bahwa perjanjian safeguard menerapkan peraturan untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus diartikan sebagai tindakan yang akan diatur dalam Article XIX GATT 1994. Penerapan tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari lonjakan atau membanjirnya produk impor yang merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri.Adapun syarat-syarat penerapan safeguard sebagaimana dijelaskan dalam Article 2 Agreement on Safeguard adalah sebagai berikut:

a. Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah demikian rupa, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung.

b. Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya. Kebijakan penerapan tindakan pengamanan

(54)
(55)

BAB III

PENGAMANAN PERDAGANGAN MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD

DALAM SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Analisis Hukum Terhadap Ketentuan Safeguard Dalam GATT dan

Persetujuan WTO.

Dalam menerapkan persetujuan WTO sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam proses liberalisasi yang mendesak posisi industri dalam negeri, maka diperlukan katup pengaman agar kegiatan perdagangan internasional yang saling menguntungkan dapat terwujud.

Sejak berlakunya perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT) 1947, selalu disediakan skema pengaman tersebut, yang salah satunya adalah tindakan safeguard.

Safeguard merupakan salah satu instrument kebijakan perdagangan yang hampir mirip dengan kebijaksanaan antidumping dan antisubsidi, yang mana ketiganya sama-sama diatur dalam persetujuan WTO. Ketiga instrumen perdagangan tersebut pada akhirnya sama-sama bisa berupa pengenaan tarif Bea Masuk Tambahan (BMT). Perbedaannya terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrument tersebut.

(56)

dalam negeri negara pengekspor) sehingga mengakibatkan terjadi kerugian terhadap industri serupa didalam negeri.

Kebijaksanaan antisubsidi diterapkan karena adanya subsidi dari pemerintah di negara asal barang terhadap produsennya sehingga menimbulkan kerugian-kerugian terhadap industri serupa di dalam negeri. Sedangkan, kebijaksanaan Safeguard sama sekali tidak ada kaitannya dengan praktik dumping dan subsidi, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap industri serupa di dalam negeri.39

1) Tinjauan Ketentuan Safeguard dalam GATT 1947

Dengan ini, Safeguard dilakukan bukan untuk melindungi industri dalam negeri dari ketidakadilan, seperti dumping atau subsidi. Pengaturan tindakan pengamanan (safeguard) bertujuan untuk melakukan perlindungan atau proteksi terhadap industri dalam negeri dari lonjakan barang-barang impor yang merugikan atau mengancam terjadinya kerugian pada industi dalam negeri.

Tindakan safeguard dimaksudkan untuk menghindari keadaan dimana anggota WTO menghadapi suatu dilemma antara membiarkan pasar dalam negeri yang sangat terganggu oleh barang impor atau menarik diri dari kesepakatan. Apabila pilihan kedua yang dipilih oleh banyak negara, berarti kesepakatan tersebut menjadi tidak

39

(57)

efektif. Itu sebabnya, menurut GATT 1947 memiliki syarat khusus dalam tindakan darurat yang diatur dalam Article XIX GATT 1947

(Emergency Action on Imports of Particular Products) ini ditetapkan persyaratan dalam kondisi bagaimana tindakan safeguard tersebut dapat dilaksanakan.40

Klausula tersebut di atas menjadi acuan bagi pembentukan Article XIX GATT. Hal ini dapat di lihat pada unsur-unsur atau syarat-syarat penerapan tindakan safeguard yaitu, adanya perkembangan yang tidak terduga, adanya peningkatan impor yang berlebihan, mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri, kewenangan negara importir untuk menarik atau mengubah pemberian konsesi perdagangan dalam jangka waktu yang diperlukan.41

40

Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), “Perlindungan Industri Melalui Kesepakatan Safeguards World Trade Organization”, Brosur, hlm.2.

41

Ibid., hlm.35.

Tindakan

(58)

mengubah konsesi. Upaya perlindungan semacam inilah yang dapat dikatakan sebagai tindakan safeguard. 42

2) Tinjauan Ketentuan Safeguard Dalam GATT 1994 Dan Agreement On Safeguard (Safeguard Agreement)

Article XIX GATT 1947 tetap dipertahankan tanpa diubah dalam GATT 1994.Dalam perkembangannya, ketentuan tentang safeguard

ditulis kembali dalam formulasi yang agak berbeda dari yang dicantumkan dalam persetujuan tentang Safeguard atau Agreement on Safeguard (Safeguard Agreement) yang merupakan salah satu bagian dalam persetujuan WTO. Appelate Body43

a. Memperjelas dan memperkuat aturan-aturan safeguard dalam GATT.

telah menetapkan bagaimanapun pelaksanaan ketentuan Article XIX GATT 1994 dan Persetujuan Safeguard tetap dilakukan secara bersama. Agreement on

Safeguard (Safeguard Agreement) secara eksplisit menerapkan kesetaraan terhadap negara-negara anggota, yang bertujuan untuk :

b. Membangun kembali pengawasan multilateral melalui safeguard

dan menghilangkan hal-hal

Referensi

Dokumen terkait

kerja fisik dan non-kerja fisik di UD Pabrik Ada Plastic. Selain lingkungan kerja, motivasi kerja karyawan juga dapat mempengaruhi kinerja karyawan. 191) mengungkapkan

Konsentrasi CDW paling banyak diperoleh dengan menggunakan sumber Nitrogen dari Tripton, yang merupakan nitrogen organik. Pada penggunaan nitrogen dari bahan annorganik

Tujuan penelitian ini adalah u n t u k mengetahui apakah dengan mengguna- kan pendekatan deduktif-induktif, perangkat perkuliahan yang memadai d a n latih-.. a n secara runtut

penelitian mengungkapkan bahwa kesemua dimensi ini sangat mempengaruhi nasabah untuk memilih atau memutuskan menggunakan jasa keuangan bank syariah karena melalui

Setiap stata q yang merupakan nilai (atau peta ) dari fungsi M dan q  K, ditetapkan sebagai elemen baru dari K’.

9 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2010), 5. 10 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran…126.. Sebagai suatu bidang

GUBERNUR JAWA TENGAH Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.. Provinsi

[r]