• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR DASAR APRESIASI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DASAR DASAR APRESIASI SASTRA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR-DASAR APRESIASI SASTRA

YANG MENYENANGKAN, KREATIF, DAN INOVATIF

Puji Santosa

Abstrak

Dasar-dasar apresiasi sastra haruslah dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif bagi apresiator. Apresiasi sastra yang dapat menyenangkan haruslah mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu apresiator dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, penuh rasa optimis. Daya kreatif apresiator dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diperdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, segar, dan cemerlang.

Kata-kata Kunci: apresiasi, menyenangkan, kreatif, inovatif, segar, cemerlang.

1. Pengantar

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar atau membaca istilah apresiasi ataupun mengapresiasi, diucapkan atau dituliskan orang dalam berbagai kesempatan. Misalnya, kita sedang membaca surat kabar atau majalah. Lalu, kita menemukan judul tulisan dalam majalah atau surat kabar yang kita baca itu: “Apresiasi Masyarakat pada Karya Sastra Makin Meningkat” atau “Apresiasi Terhadap Rupiah Makin Merosot” ataupun “Bagaimana Mengapresiasi Karya Seni?” Dan sebagainya dan sebagainya.

(2)

Indonesia (KBBI), bahkan sekarang ada KBBI daring (dalam jaring) yang dapat kita unduh pada laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ lalu kita cari lema apresiasi. Dalam KBBI itu lema apresiasi berarti:

1) kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2) penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan

3) kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah (KBBI, 2001: 62).

Batasan kata apresiasi dalam KBBI itu tanpa diberi contoh pemakaiannya dalam kalimat. Bagi mahasiswa atau guru yang kurang berlatih membaca dan menangkap makna sesuatu yang dibacanya, tentu terasa masih abstrak atau masih berbentuk konsep. Agar lebih jelasnya, marilah kita telaah pengertian kata apresiasi dalam kamus tersebut.

Arti pertama kata apresiasi itu bertalian dengan kesadaran (orang atau masyarakat) terhadap nilai-nilai seni dan budaya. Setiap karya seni dan budaya itu tentu memiliki nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan, baik nilai keindahan, nilai religius, nilai pendidikan, nilai hiburan, maupun nilai moral. Semua nilai yang terkandung dalam karya seni dan budaya membimbing manusia ke arah kehidupan yang lebih beradab, lebih bermartabat, dan lebih manusiawi. Kesadaran orang terhadap nilai-nilai dalam karya seni dan budaya seperti itulah yang disebut apresiasi.

Arti kedua kata apresiasi bertalian dengan penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu hal atau masalah. Penilaian atau penghargaan di sini tidak semata-mata diukur dengan nilai uang. Menghargai sesuatu hal atau masalah berarti pula kita ini memberi perhatian, memberi penghormatan, menjunjung tinggi sesuatu itu, mengindahkan hal yang diamanatkan atau dipesankan, dan kalau perlu melaksanakan sesuatu hal atau masalah yang terkandung di dalam amanat tersebut. Ada sesuatu nilai yang terdapat dalam karya (seni atau budaya) yang perlu digali, lalu hasilnya kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

barang dan nilai suatu mata uang ditentukan oleh pasaran. Jika permintaan barang dan mata uang tertentu di pasaran sedang besar atau meningkat, maka nilai barang atau mata uang itu semakin tinggi dan meningkat pula harga jualnya. Sebaliknya, jika permintaan barang dan mata uang tertentu lesu, lemah, atau turun drastis, maka epresiasi terhadap barang atau mata uang itu tentu merosot juga. Dengan kata lain lemah apresiasinya.

Sehubungan dengan materi pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dan perguruan tinggi ini, pengertian apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian pertama dan kedua, yaitu: 1) kesadaran kita terhadap nilai seni dan budaya (termasuk seni sastra), dan 2) penilaian atau penghargaan kita terhadap sesuatu (karya sastra: cerpen, puisi, novel, drama).

2. Pengertian Apresiasi Sastra

Panuti Sudjiman (1990:9) dalam buku Kamus Istilah Sastra memberi batasan apresiasi sastra adalah “penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman”.

Sementara itu, Abdul Rozak Zaidan et al (1994:35) dalam buku Kamus Istilah Sastra mendefinisikan apresiasi sastra adalah “penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu”.

Rumusan yang lebih khusus lagi tentang apresiasi sastra diberikan oleh S. Effendi (1982:7) dalam bukunya Bimbingan Apresiasi Puisi, yaitu “apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra”.

Dari beberapa pakar sastra itu kita telah menemukan pengertian apresiasi sastra sebagai berikut.

(4)

bergenre puisi, cerpen, novel, maupun karya drama) yang didasarkan pada pemahaman.

2) Apresiasi sastra adalah penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.

3) Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.

Marilah kita pahami bersama ketiga batasan tentang pengertian apresiasi sastra di atas agar lebih jelas dan paham benar.

1) Seseorang memberi penghargaan terhadap karya sastra setelah terlebih dahulu memahami, baik bentuk maupun isi dari karya sastra itu sendiri. Jadi, penghargaan atau penilaian terhadap karya sastra itu dilakukan setelah terlebih dahulu menyimak atau mendengarkan, membaca sendiri, menyaksikan pertunjukan dengan mata kepala sendiri, lalu menghayati dan memahami isi yang terkandung dalam karya sastra.

2) Seseorang memberi penghargaan terhadap karya sastra dari hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan terhadap karya sastra. Hasil pengenalan terhadap karya sastra itu didukung oleh kepekaan batin pembaca terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, apresiasi sastra itu diberikan setelah seseorang tersebut mengenal, memahami, menghayati, menikmati, dan menafsirkan isi atau makna karya sastra. Bermula dari perkenalanlah seseorang itu kemudian belajar menyenangi, menyukai, mencintai, menyayangi, dan memberi penghargaan kepadanya.

(5)

perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Jadi, apresiasi sastra itu dilakukan setelah seseorang bergaul dengan sungguh-sungguh terhadap karya sastra hingga dapat menimbulkan berbagai penilaian. Seseorang melakukan apresiasi terhadap karya sastra setelah seseorang itu melakukan kegiatan apresiasi sastra, yang meliputi kegiatan membaca, mendengarkan, menonton pertunjukan, mendeklamasikan, menulis ulang, dan sebagainya. Berikut dibicarakan kegiatan dalam rangka apresiasi sastra.

3. Kegiatan Apresiasi Sastra

Dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dan di perguruan tinggi itu kita dapat melakukan beberapa kegiatan, antara lain, (1) kegiatan apresiasi langsung, (2) kegiatan apresiasi tidak langsung, (3) pendokumentasian, dan (4) kegiatan kreatif dan inovatif. Semua kegiatan itu dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra murid dan mahasiswa dalam berkarya dan beraktivitas menggauli karya sastra.

3.1 Kegiatan Apresiasi Langsung

Kegiatan apresiasi langsung adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk memperoleh nilai kenikmatan dan kehikmatan dari karya sastra yang diapresiasi. Nilai kenikmatan sastra dapat memberi sesuatu yang menyenangkan, menghibur, dan memberi kepuasan. Nilai kehikmatan sastra dapat memberi pembelajaran, amanat, dan nasihat tentang kehidupan. Kegiatan apresiasi langsung meliputi kegiatan sebagai berikut.

1) Membaca Karya Sastra 2) Mendengarkan Karya Sastra

3) Menonton Pertunjukan Pentas Sastra

(6)

membaca sendiri karya sastra yang diapresiasinya, mendengar dengan telinganya sendiri karya sastra yang dilisankan, dan menyaksikan sendiri karya sastra yang dipentaskan.

3.1.1 Kegiatan Membaca Karya Sastra

Dalam kegiatan membaca karya sastra ini dilakukan secara sungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu yang ada dalam karya sastra yang dibacanya. Sesuatu itu berupa nilai-nilai yang dapat diambil manfaatnya bagi kehidupan. Nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan itu memberikan arahan tentang perilaku, pandangan hidup, dan cara menyikapi sesuatu dalam menghadapi kehidupan di dunia dan di akhirat nantinya.

Membaca karya sastra untuk jenjang pendidikan sekolah dasar tentu berbeda dengan membaca karya sastra untuk jenjang pendidikan sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, dan juga perguruan tinggi. Bahan atau materi bacaan karya sastra dipilih dari yang sangat sederhana dan terbatas hingga karya sastra yang kompleks dan canggih tentu disesuaikan dengan usia dan lingkungan sosial budayanya. Membaca dari yang sedikit, misalnya hanya satu alinea dalam satu hari hingga satu buku dalam satu harinya, tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi siswa atau mahasiswanya. Mereka yang gemar membaca tentu memiliki kelebihan wawasan dari mereka yang enggan membaca karya sastra. Kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, hingga kecerdasan spiritualnya akan terus meningkat bagi mereka yang suka membaca karya sastra.

3.1.2 Kegiatan Mendengar Karya Sastra

(7)

terhadap karya sastra itu perlu adanya konsentrasi diri untuk mendengarkan karya sastra yang didengarkan tersebut. Mendengarkan dapat secara langsung dari seorang yang membacakan atau dapat juga melalui radio, televisi, tipe recorder, ataupun komputer yang dilantangkan sound sistemnya. Kemudian simaklah ilustrasi sederhana berikut ini.

Bapak atau ibu guru/dosen membacakan cerita pendek “Si Kabayan Menangkap Rusa” karya Achdiat K. Mihardja. Murid-murid atau

Si Kabayan dan mertuanya berjanji akan membikin sebuah perangkap untuk menangkap rusa.

“Pak Mertua,” kata Si Kabayan. “Mari kita ke hutan. Gali perangkap di sana. Mudah-mudahan ada seekor rusa yang kesasar, masuk terperosok ke dalamnya. Kita tangkap, kita sembelih, kita suruh Si Iteung dan Mak Mertua bikin gule, opor, sate. Dan kita rame-rame makan enak.”

“Ah tidak, Kabayan. Kamu saja yang gali perangkap itu. Bapak mau pasang jerat saja. Mudah-mudahan ada burung yang kesasar kena jerat.”

“Baiklah, Pak Mertua,” jawab Si Kabayan. “Tiada masalah. Tapi kalau saya dapat rusa, Bapak jangan harap akan dapat dagingnya.”

“O, Bapak pun tiada masalah, Kabayan. Kalau Bapak dapat burung, kamu pun tak kan dapat apa-apa.”

Hari itu juga, sang menantu dan sang mertua sudah pada pergi ke hutan. Si Kabayan mencangkul-cangkul bikin lobang. Mertuanya berengsot-engsot naik pohon pasang jerat.

Esoknya, pagi-pagi benar, dengan diam-diam bapak mertua sudah keluar rumah masuk hutan. Dilihatnya jeratnya masih kosong. Tiada satu pun burung yang kesasar ke sana. Buru-buru dia pergi melihat perangkap menantunya. Ada seekor rusa yang kena perangkap. Buru-buru dia ikat leher binatang itu. Buru-buru pula dia gantung makhluk bertanduk itu pada jeratnya. Lalu setelah itu dia buru-buru pulang. Si Kabayan masih ngorok, tidur nyenyak, lagi mimpi dapat rusa sebesar kuda.

Dari halaman mertuanya sudah berseru-seru: “Kabayan! Kabayan! Bangun! Bangun! Mari ke hutan! Kita lihat jerat dan perangkap kita!”

(8)

mertuanya segara berteriak dengan gembiara: “Duillah, Kabayan! Lihat tuh! Lihat! Jeratku sudah berhasil. Menangkap rusa. Lihat! Badannya gemuk seperti kerbau! Rezeki datang dari langit, lewat jeratku.”

Si Kabayan kaget, melihat rusa bergantung pada jerat di pohon. Geleng-geleng kepala. Tidak percaya rezeki datang dari langit seperti itu. Dia segera sadar bahwa mertuanya telah ngibulin dia.

Waktu sarapan pagi Si Kabayan absen.

“Ke mana Kang Kabayan? Ke mana suamiku?” Si Iteung gelisah. Takut. Kuatir kalau-kalau Si Kabayan jatuh terperosok ke dalam perangkap. Atau dimakan macan.

“Ke mana Kang Kabayan, Bapak?” Dia tanya ayahnya. “Dia tidak sarapan pagi ini. Saya takut, dia diculik setan untuk dikirim ke tanah seberang, jadi kuli kontrak perkebunan di Deli.”

Melihat anaknya menangis melolong-lolong, mertua Si Kabayan cepat-cepat menghabiskan sarapannya. Cepat-cepat-cepat ia lari masuk ke hutan. Dijelajahinya seluruh hutan, dicarinya sang menantu. Segera bertemu. Si Kabayan lagi duduk merenung-renung di tepi sungai. Segera ditegur: “hey, Kabayan! Kenapa kamu tidak sarapan? Lagi apa kamu di sana?”

“Ini Pak! Lihat air sungai! Aneh, Pak! Aneh sekali! Lihat!” “Aneh bagaimana, Kabayan?” Mertuanya menghampiri. “Kan aneh sekali. Mengalirnya kok dari hilir ke hulu.”

“Hah?! Itu kan mustahil, Kabayan. Mana mungkin air mengalir dari hilir ke hulu?!”

“Memang aneh, Pak. Ajaib,” jawab Si Kabayan pendek. “Mana mungkin ada rusa yang bisa kena jerat di atas pohon.”

Mertuanya malu. Kelemas-kelemis seperti monyet sakit gigi. Lalu bergegas ke rumah mengembalikan rusanya kepada menantunya.

Dan ketika Si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru-seru dari dapur: “Kang Kabayan, ini Bapak minta bagian dagingnya. Katanya, dia telah ikut menangkap rusa ini dengan jeratnya.”

“O, kasih ayahmu tulang-talengnya saja, Iteung. Bilang kepadanya, rusa yang ini tidak bersayap. Yang bersayap sudah terbang ke bulan.”

(Dikutip dengan perubahan dari Achdiat K. Mihardja. 1997. Si Kabayan Manusia Lucu. Jakarta: Grasindo, halaman 1–3)

Setelah bapak atau ibu guru/dosen membacakan cerpen tersebut di depan kelas, si murid/mahasiswa memberi pendapatnya setelah mendapat pertanyaan dari bapak atau ibu guru/dosen. Tanya jawab antara guru dengan murid tersebut sebagai berikut.

Guru : Apa judul cerpen yang saya bacakan tadi?

(9)

Guru : Sebenarnya yang menangkap rusa itu Si Kabayan atau Mertuanya?

Murid : (Mereka berpikir sejenak, lalu ada seorang murid yang menjawab). Mertuanya.

Guru : Mengapa begitu?

Murid : Si Kabayan yang mempunyai ide menangkap rusa di hutan dengan memasang perangkap. Si Kabayan pula yang mencangkul membuat lubang perangkap. Si Mertua lebih senang membuat jerat burung di pohon-pohon. Pagi-pagi si Mertua pergi ke hutan melihat hasil kerjanya. Ternyata, jerat yang dipasang kosong, tak seekor burung pun yang masuk ke dalam jeratnya. Setelah melihat perangkap milik si Kabayan ada seekor rusa, maka si Mertua segera menangkap rusa itu. Kemudian si Rusa ditali dan digantung di jeratnya. Baru kemudian memberitahu kepada si Kabayan bahwa ia telah berhasil menjerat seekor rusa. Guru : Mengapa akhirnya rusa itu dikembalikan kepada si Kabayan? Murid : (Seorang murid yang cerdik segera menjawab) Si Mertua itu

malu atas kejujuran si Kabayan. Dengan kreatif si Kabayan menganalogikan keanehan aliran sungai yang datang dari hilir ke hulu. Padahal, biasanya sungai itu mengalir dari hulu ke hilir. Demikian pula, aneh bila seekor rusa yang tidak bersayap dapat terjerat oleh jaring-jaring di atas pohon.

Guru : Ketika si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru dari dapur bahwa ayahnya juga minta bagian dagingnya. Sementara itu, si Kabayan menyuruh istrinya untuk memberi tulang-talengnya saja kepada ayahnya. Mengapa si Kabayan tega melakukan itu? Murid : (Beberapa murid mendesah, tampak kebingungan. Namun, ada

(10)

tidak akan mendapatkan daging burung tersebut. Perjanjian merupakan hukum yang harus ditegakkan.

Dari ilustrasi sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa antara Guru dan Murid bersama-sama melakukan apresiasi terhadap karya sastra. Guru melontarkan pertanyaan untuk menjajaki tingkat apresiasi murid. Murid pun melakukan apresiasi secara baik.

3.1.3 Kegiatan Menonton Pertunjukan

Kegiatan menonton pertunjukan atau pentas sastra termasuk kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Kegiatan menonton pertunjukan dapat berupa menonton pembacaan puisi, menonton deklamasi, menonton pembacaan cerpen, menonton pertunjukan drama, atau menonton musikalisasi puisi. Menonton pertunjukan ini tidak terbatas pada pementasan panggung saja, tetapi juga termasuk menonton lewat televisi, video, pemutaran cakram padat (CD), dan film di bioskop, serta film di internet.

Kegiatan apresiasi sastra dari sisi pertunjukan ini mengajak apresiator menyaksikan pertunjukan dengan pandangan mata kepalanya sendiri. Setiap gerak, tutur kata, perubahan wajah, perpindahan tempat, bahkan pakaian pemaian, tata panggung, dan tata lampu pun dapat diamati oleh apresiator. Memang seni pertunjukan sudah bukan karya sastra murni, melainkan melibatkan berbagai seni yang lain. Meskipun demikian, unsur sastranya masih tetap menonjol karena bahan utama yang dijadikan seni pertunjukan adalah karya sastra, teks yang tertulis dengan menggunakan media bahasa yang kemudian dilisankan.

(11)

tampak dalam pandangan mata. Oleh karena itu, apresiasi dari jalur pertunjukan ini tidak perlu diterangkan panjang lebar, asalkan setelah diadakan pertunjukan siswa dapat dimintai komentarnya setelah mendapat pertanyaan dari guru.

MENYESAL

Pagiku hilang sudah melayang Hari mudaku sudah pergi

Sekarang petang datang membayang Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di hari pagi

Beta lengah di masa muda Kini hidup meracun hati Miskin ilmu, miskin harta

Akh, apa guna kusesalkan Menyesal tua tiada berguna Hanya menambah luka sukma

Kepada yang muda kuharapkan Atur barisan di hari pagi

Menuju ke abah padang bakti!

(Ali Hasjmy dalam Suyono Suyatno 2002)

3.2 Kegiatan Apresiasi Tak Langsung

Kegiatan apresiasi tak langsung adalah suatu kegiatan apresiasi yang menunjang pemahaman terhadap karya sastra. Cara tidak langsung ini meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu 1) mempelajari teori sastra, 2) mempelajari kritik dan esai sastra, dan 3) mempelajari sejarah sastra.

(12)

hanya memberi bantuan pemahaman terhadap karya sastra. Teori sastra sebenarnya layak dipelajari oleh para mahasiswa dan guru untuk menambah wawasan atau pengetahuan tentang sastra. Sebaliknya, untuk siswa atau murid di sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, lebih baik diberi apresiasi sastra secara langsung. Para murid atau siswa lebih baik langsung membaca karya sastra, langsung mendengar karya sastra dibacakan, dan langsung menonton pertunjukan karya sastra dipentaskan.

Mempelajari kritik dan esai sastra merupakan kegiatan yang hanya bersifat membantu pemahaman terhadap karya sastra. Dalam mempelajari kritik dan esai sastra siswa dibawa menuju kegiatan penelahaan, pengkajian, penelitian, atau analisis karya sastra yang membicarakan segi-segi tertentu. Pembicaraan karya sastra dapat berupa arikel yang termuat dalam surat kabar, majalah, buku antologi esai, bahkan ada satu buku utuh yang membicarakan satu karya sastra. Mempelajari kritik dan esai sastra juga menambah wawasan dan melihat bagaimana cara orang lain memberi pertimbangan baik dan buruk terhadap karya sastra. Kritikus sastra di Indonesia yang paling terkenal adalah H.B. Jassin dengan buku-buku kritik dan esai sastra yang telah dihasilkannya.

(13)

sastra, sistem formal, sistem pengayom, dan sistem penyebar-luasan karya sastra.

3.3 Pendokumentasian Karya Sastra

Usaha pendokumentasian karya sastra termasuk bentuk apresiasi sastra yang secara nyata ikut melestarikan keberadaan karya sastra. Bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap karya sastra dengan cara mendokumentasikan karya sastra ini dilihat dari segi fisiknya ikut memelihara karya sastra, menyediakan data bagi mereka yang membutuhkan, dan menyelamatkan karya sastra dari kepunahan. Kegiatan dokumentasi dapat meliputi pengumpulan dan penyusunan semua data karya sastra, baik yang berupa artikel-artikel atau karangan-karangan dalam surat kabar, majalah, makalah-makalah, skripsi, tesis, disertasi, maupun buku-buku sastra. Di Indonesia yang paling terkenal dokumentasi sastranya adalah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73 Jakarta Pusat. Selain itu, ada juga dokumentasi sastra DS Moeljanto (Jakrta), dokumentasi sastra Korrie Layun Rampan (Bekasi dan Kutai), dan dokumentasi sastra Suripan Sadi Hutomo (Surabaya). Untuk latihan kegiatan dokumentasi bagi siswa-siswa atau mahasiswa dapat diminta membuat kliping, berupa guntingan-guntingan dari koran atau majalah, dengan topik tertentu, misalnya khusus puisi, khusus cerpen, khusus esai sastra, atau khusus cerita anak/dongeng.

3.4 Kegiatan Kreatif dan Inovarif

(14)

menceritakan kembali karya sastra yang dibaca, yang didengar, atau yang ditontonnya. Kegiatan kreatif, inovarif, dan rekreatif jelas menunjang pemahaman dan penghargaan terhadap karya sastra, yaitu mengajak mereka yang berminat untuk bergaul dan mencintai karya sastra.

4. Tingkat-Tingkat Apresiasi Sastra

Kegiatan memberi penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan apresiasi, betapun relatif sifatnya. Hanya orang yang mempunyai apresiasi senilah, khususnya karya sastra, yang dapat memberikan apresiasinya terhadap karya sastra. Sebagai konsekuensinya, apresiasi seseorang terhadap karya sastra itu berbeda-beda tingkatannya, ada yang rendah dan ada pula yang tinggi, ada yang sempit atau dangkal, dan ada pula yang luas dan mendalam. Apabila kita mau mengikuti pola pemeringkatan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) ada peringkat: Terbatas, Merginal, Semenjana, Madya, Unggul, Sangat Unggul, dan Istimewa). Dalam apresiasi sastra pun tampaknya juga ada pemeringkatan demikian, tetapi tidak sedetail itu.

Apresiasi seseorang terhadap karya sastra itu tidak mungkn langsung tinggi, luas, dan mendalam (istimewa), tetapi berangsur-angsur meningkat dari taraf yang terendah (terbatas), tersempit, dan terdangkal menuju ke taraf yang lebih tinggi (semenjana, madya, unggul), lebih luas, dan lebih mendalam. Dengan begitu tingkat apresiasi seseorang itu dapat ditingkatkan, dapat diperluas, dan dapat diperdalam sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh sang apresiator.

(15)

sastra.

Yus Rusyana (1979:2) menyatakan ada tiga tingkatan dalam apresiasi sastra, yaitu:

1) seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam karya sastra, ia terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif;

2) setelah mengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan

3) seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam.

Agar lebih jelas tingkat-tingkat apresiasi sastra tersebut, berikut diberi contoh satu puisi “Paria” karya L.K. Ara untuk diapresisi lebih lanjut.

PARIA

Banyak orang tidak menyukaiku di lidah mereka aku terasa pahit

buahku pun bentuknya kurang menarik permukaannya berbintil-bintil.

Tapi tak jarang orang sengaja mencariku bila dimakan dengan sambel

menambah selera

dan buahku yang lucu tadi dapat dimasak sebagai sayur atau dijadikan sambal goreng.

Orang yang kenal diriku bisa menghilangkan pahitku caranya?

rebuslah aku dengan daun salam.

Setelah direbus

daunku berguna juga

sebagai penyembuh penyakit encok boleh dicoba.

Tumbuhku tidak sukar

(16)

dan tempat teduh

jadi bisa ditanam di kebun atau di halaman rumah.

Ingin tahu sobat-sobatku? kami ada yang putih

rasanya tidak terlalu pahit bentuknya besar

yang hijau lebih kecil dan paria ayam

kecil tapi badannya gemuk.

Sebaiknya tanah tempat tumbuhku dicampur dengan abu dapur

dan setelah tumbuh

aku ingin dibuatkan para-para bukan ingin mewah-mewah tapi berguna untuk menjalar sulur-sulurku.

Meski tak seberapa

aku punya keindahan juga

lihatlah bungaku yang kuning kecil elok bukan?

daun mahkotaku ada lima semua tersusun rapi

serupa bintang bersegi lima.

(Dikutip dari L.K. Ara. 1981. Namaku Bunga. Jakarta: Balai Pustaka)

(17)

dibaca atau didengarnya.

Setelah selesai membaca atau mendengar puisi “Paria” karya L.K. Ara tersebut, seseorang kemudian daya intelektualnya bekerja lebih giat lagi menjelajahi kata-kata yang termuat dalam puisi tersebut. Kata paria sebagai judul sajak ini ternyata artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:830) bukan merupakan tanaman, melainkan “nama golongan atau kasta yang terpinggirkan dalam masyarakat India kuno”. Kata yang mendekati lebih cocok dengan judul sajak di atas adalah peria, yang memiliki padanan kata pepare atau pare, yaitu “tumbuhan menjalar, bunganya kecil-kecil berwarna kuning serupa dengan bunga mentimun, buahnya seperti mentimun mempunyai permukaan kulit yang tidak licin, berbintil-bintil kecil atau memanjang, agak pahit rasanya, daunnya berwarna hijau dan bentuknya bergerigi yang bermanfaat untuk menyembutkan sakit encok” (KBBI, 2001:858). Nama Latin-nya adalah momordica charantia. Demikian seterusnya dengan mencari arti kata-kata yang lainnya dalam puisi tersebut. Penjelajahan kata-kata dalam puisi ini untuk memahami arti denotatif atau arti lugasnya terlebih dahulu. Tahap seperti inilah yang disebut sebagai tahap kedua apresiasi, yaitu memahami arti kata-kata lugasnya.

(18)

5. Manfaat Apresiasi Sastra

Mempelajari sesuatu hal dengan sungguh-sungguh tentu ada manfaat atau faedahnya bagi kehidupan manusia. Ada sesuatu yang kita dapat darinya, berupa nilai-nilai, dan sejumlah manfaat yang lainnya. Namun, apabila kita mempelajari sesuatu hal tanpa ada manfaatnya, tentu merupakan suatu pekerjaan yang sia-sia. Apakah mengapresiasi karya sastra itu ada manfaat atau faedahnya bagi kehidupan? Tentu mengapresiasi karya sastra itu ada manfaatnya bagi kehidupan. Setidak-tidak terdapat enam manfaat bagi kehidupan ketika mengapresiasi karya sastra, yaitu:

1) manfaat hiburan, 2) manfaat estetis, 3) manfaat pendidikan,

4) manfaat kepekaan batin atau sosial, 5) manfaat menambah wawasan, dan

6) manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian,.

Untuk lebih jelasnya keenam manfaat apresiasi karya sastra itu berikut diberi contoh dengan sebuah puisi pendek “Kupinta Lagi” karya J.E. Tatengkeng.

KUPINTA LAGI

Hai pagi yang baru menjelang

Pulangkan imanku yang sudah hilang Berikan daku Cinta dan Hasrat

Supaya aku boleh mendarat...

Kulihat terang ...

Meski tidak benderang... Sehingga gelap,

Lambat laun ‘kan lenyap!

(J.E. Tatengkeng. 2000. Rindu Dendam. Jakarta: Pustaka Jaya)

(19)

manfaat karya sastra adalah dulce et utile, menyenangkan dan berguna. Menyenangkan dalam arti menghibur, menghilangkan duka lara, sebagai pelipur lara, dan berguna yang berarti banyak menambah wawasan bagi kehidupan. Bahkan, pujangga yang lainya menyebutnya sebagai khatarsis, penyucian diri.

Estetika artinya ilmu tentang keindahan atau cabang filsafat yang membahas tentang keindahan yang melekat dalam karya seni. Sementara itu, kata estetis artinya indah, tentang keindahan, atau mempunyai nilai keindahan. Manfaat estetis dalam apresiasi sastra adalah manfaat tentang keindahan yang melekat pada karya sastra. Ada nilai keindahan yang terpancar dalam karya sastra, seperti contoh puisi “Kupinta Lagi”, yaitu keindahan seni merangkai kata atau menyusun bahasa. Susunan bunyi dan kata-katanya mampu menimbulkan irama yang merdu, nikmat didengar, lancar diucapkan, dan menarik untuk didendangkan. Manfaat estetis seperti itu mampu memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika karya itu dibaca atau didengarnya.

(20)

Peka artinya mudah terasa, mudah tersentuh, mudah bergerak, tidak lalai, dan tajam menerima atau meneruskan pengaruh dari luar. Manfaat kepekaan batin atau sosial dalam mengapresiasi karya sastra adalah upaya untuk selalu mengasah batin agar mudah tersentuh oleh hal-hal yang bersifat batiniah ataupun sosial. Melalui puisi “Kupinta Lagi” di atas kepekaan batin manusia akan mudah menerima sentuhan iman, manusia segera sadar betapa bermanfaatnya iman yang terang, iman yang menerima pencerahan. Setelah keimanannya segar, cerah, dan teguh, kemudian manusia mengembangkan kepekaan sosialnya, yaitu dengan cinta dan hasrat. Cinta manusia memberikan rasa kasih sayang kepada semua umat. Sementara, hasrat hidup manusia memberikan motivasi, dorongan-dorongan, untuk selalu berbuat baik terhadap sesama umat, menolong umat yang sengsara, dan ikut serta mengentaskan kemiskinan.

Wawasan artinya hasil mewawas, tinjauan, atau pandangan. Manfaat menambah wawasan dalam mengapresiasi karya sastra artinya memberi tambahan informasi, pengetahuan, pengalaman hidup, dan pandangan-pandangan tentang kehidupan. Melalui puisi “Kupinta Lagi” seperti contoh di atas pembaca menjadi luas pengetahuannya tentang cinta dan hasrat hidup, kembalinya iman, dan terbuka mata hatinya terhadap masalah sekelilingnya. Setelah membaca dan memahami karya sastra seperti itu pembaca tidak lagi sempit pandangannya, tetapi bertambah luas dan jauh jangkauan wawasannnya. Dengan banyak membaca dan mengapresiasi karya sastra, seorang apresiator akan memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan, keluasan cara berpikir, dan banyak pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dipetik hikmahnya.

(21)

dan membentuk budi pekerti yang saleh dan luhur. Seperti dicontohkan dalam puisi “Kupinta Lagi” karya J.E. Tatengkeng di atas, apa yang diminta oleh manusia itu bukan harta, bukan benda, bukan kekayaan, dan bukan pula kepangkatan, melainkan agar kembalinya keimanan yang pernah hilang. Jelas di sini bukan gambaran manusia yang materialistis, melainkan seorang yang religiusitas. Hanya dengan kembalinya iman kepada diri manusia, segala sesuatunya hidup ini akan terasa lebih mudah, aman, tenteram, dan bahagia.

6. Penutup

Demikianlah pembicaraan kita ihwal pembelajaran apresiasi sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif, baik untuk dapat diterapkan bagi siswa sekolah dasar hingga ke sekolah menengah, maupun bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Inti sari metode dan keilmuan pembelajaran apresiasi sastra disetiap tingkatan atau jenjang pada dasarnya sama, tidak jauh berbeda, hanya materi atau bahan apresiasi karya sastranya yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi sang apresiator. Selain itu, agar pembelajaran apresiasi sastra itu dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif maka pengajar apresiasi sastra harus: 1) profesional di bidangnya, 2) pandai-pandailah menciptakan suasana belajar yang dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif sehingga tidak membosankan siswa atau mahasiswanya, 3) kreatif dan aktif memilih materi pembelajaran sastra secara bervariasi, dan 4) mampu atau menguasai bidang garapannya. Keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra perlu adanya: 1) motivasi atau dorongan semangat yang kuat, 2) kerja keras, 3) tekun dan rajin membaca, banyak belajar, dan 4) berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Insya Allah semua akan tercapai dengan penuh kegemilangan dan sukses selalu.

DAFTAR PUSTAKA

(22)

Indonesia.

Ara, L.K. 1981. Namaku Bunga. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. “Sastra di Sekolah”. Dalam Sastra Nomor 01 Tahun I, Mei 2000, halaman 7—10.

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra: Berwawasan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Besar. Surabaya: Kartika.

K. Mihardja, Achdiat. 1997. Si Kabayan, Manusia Lucu. Jakarta: Grasindo.

Mulyati, Yeti, et al. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.

Rusyana, Yus. 1974. Penuntun Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar. Bandung: CV Diponegoro.

--- 1979. Meningkatkan Kegiatan Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan. Bandung: Gunung Larangan.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Sastra dalam Tanya Jawab. Ende-Flores: Nusa Indah.

Santosa, Puji., dkk. 2003. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

(23)

Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan mitologis: Telaah dunia wayang dalam sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Imam Budi Utomo. 2011. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Puiblishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Puiblishing.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.

Suyatno, Suyono. et al. 2002. Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Tatengkeng, J.E. 2000. Rindu Dendam. (Cetakan ketiga, cetakan pertama 1934). Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Penyusun Kamus. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Yattini. 2000. “Pengalaman Bersastra: Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMUN 3 Bandung”. Dalam Sastra Nomor 01 Tahun I, Mei 2000, halaman 11.

Referensi

Dokumen terkait

apresiasi sastra? Apakah melode ceramah bersistem dan metode ceramah diskusi memberikan basil yang berbeda dalam mata peiajaran 'apresiasi sastra? Apakah kecerdasan

Teori-teori yang digunakan sebagai landasan berkaitan dengan penelitian ini antara lain: (1) penelitian sebelumnya yang relevan, (2) sastra yang terdiri atas

Sarana tersebut dapat direalisasikan dengan Pusat Apresiasi Sastra di Yogyakarta sebagai fasilitas apresiasi dan pendidikan sastra yang rekreatif dan edukatif bagi

Bahasa Yogyakarta yang sesuai dengan pusat apresiasi sastra adalah. meningkatkan kualitas sastra, meningkatkan sikap positif masyarakat

Pusat Apresiasi Sastra adalah tempat yang berfungsi untuk mengarahkan atau mengumpulkan berbagai aktivitas yang dilakukan dalam mengakrabi, menafsirkan kualitas, dan

Implementasi Nilai-Nilai Pancasila di Kelas Awal dalam Rangka Pembentukan Karakter Siswa Yang Pancasilais dengan Apresiasi Sastra adalah sesuatu yang sangat penting dan

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan: (1) persepsi guru dan siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra, (2) pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra pada kelas

yang dipandang efektif dalam pembelajaran apresiasi sastra terpadu model connected untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Dadaha