SPATIAL PLANNING POLICY IN RELATION TO ENVIRONMENTAL PROTECTION
AND MANAGEMENT IN NoRTH LAMPTING
ngcnNcv
ByNovekawati Local regulation Number 08 of 2001 on Spatial Planning
North Lampung Regency, should be
one main in licensing the implementation of develop.n"rri, however in faci local govemment of North Lampung Regency permits industrial estautistrment
in
forbidden industrial areas.consequently,
it
mustbe
investigated abgut ':sputiur planningp;ii"y in Relation
toEnvironmental Protection and Management
in
Nortir LampungRegency,,. The problems
of
research are how spatial planning policy in relafion toenvironm"rtul piot"ction and management in north Lampung regency is a"a how instrument
of spatial planning
lawin
environmentalprotection and management is.
According to the probl-em above, problems approach which is
used are normative juridical and
empirical' The types of data which are- used are primary
data and secondary data. primary data
was gotten by conversation results and secondary data-was
gotten by literature sfudy, and was
analyzed by qualitative.
The result of research concludes, that spatial glanning policy in north Lampung
Regency does not follow legal local regulation, it was pror"d by indistrial
license granted tapioca factories in Kali cinta Village, whigh is according to local regulatior is not industrial areas.
Instrument
of
spatial planning law which is used are instrument
If
,putial planninglaw, space usage, space
of
usage control' Instrument of spatial planning shouldte
guidanc"ii
i*pr"irr"ntation of spatial planning' Instrumentof
spatial planning_laiv northrffiung
regency is achievedin
spatial
planning north Lampung regency ureu- Instrument
of
siatialuJug"'tuw
in
north Lampungregency consists of
lqucturg planning spatial usage and d-esign or rlutiur urug". Instrument
of
space usage controllaw
in north
Lampung regen"y*u,
done through supervision and enforcement in space usage and licensing.ABSTRAK
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI
KABUPATEN LAMPUNG UTARA Oleh
Novekawati
Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun. 2001 tentang Tata Ruang Kabupaten Lampung Utara, seharusnya menjadi dasar dalam pemberian izin pelaksanaan pembangunan, namun pada kenyataannya pemerintah daerah Kabupaten Lampung Utara memberikan izin pendirian industri di kawasan yang bukan kawasan industri. Oleh sebab itu perlu diteliti tentang “Kebijakan Penataan Ruang Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah, Bagaimanakah kebijakan penataan ruang dalam kaitannya dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Lampung Utara dan bagaimanakah instrumen hukum penataan ruang dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam menjawab permasalahan yang ada di penelitian ini, pendekatan masalah yang digunakan adalah secara yuridis normatif dan empiris. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara dan data sekunder bersumber dari studi pustaka, dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa kebijakan penataan ruang di Kabupaten Lampung Utara belum mengikuti peraturan daerah yang ditetapkan, hal ini dibuktikan dengan diberikannya Izin usaha industri pabrik tapioka di Desa Kali Cinta, yang berdasarkan Perda tersebut bukan kawasan industri. Instrumen hukum penataan ruang yang digunakan adalah instrumen hukum perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Instrumen penataan ruang tersebut seharusnya dijadikan pedoman dalam menginplementasikan penataan ruang. Instrumen hukum perencanaan ruang Kabupaten Lampung Utara diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Utara. Instrumen hukum Pemanfaatan ruang di Kabupaten Lampung Utara, terdiri dari rencana struktur pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang. Instrumen hukum pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten Lampung Utara dilaksanakan melalui pengawasan dan penertiban dalam pemanfaatan ruang dan pemberian izin.
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA
Oleh
NOVEKAWATI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI
KABUPATEN LAMPUNG UTARA
( TESIS)
Oleh
NOVEKAWATI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
Judul Tesis
lr{amatiahasiswa
-: NwekawatrNomor Pokok Mahasiswa : 1222011029
Program Kekhususan : Hukum Kenegaraan
:
KEBIJAKAN
PENATAAN RUANG
I}ALAM
KAITANNYA
DENGA"N PERLINDI}NGAN
I}AN
PSNGSLOI"AA.N TINGKUNGAI{ SIDLTPDI KABTIPATEN LAMPTING T}TARA
ProgramStudi
Fakultas
Pembimbing U*ama,
Dr. Muhammad
Akih
S.H., M"Hum.Nip 19620514 198703 1003
: Program Fascasarlana Magister Hukum : Hukum
MENY.$TUJUI
-Dose*PembimbingPer*birabiag Pendamping,
MENGtrTAIIUI
Ketua Program Pascasarjana
Prcgram Strdi Magister H
iversitas
Fakultas Hukum ng
,/
war, S.E<-tlI.Hum.
andi, S.H., M.S, 1109 198703 1 003
ffie,%
l
II
I I I il1. Tim Penguji
Penbimbingl
Pernbimbingll
Penguji
Penguji
Penguji
: Dr, Muhammad Akib, S,II-, M,Hum,
: Ih. fleryaadi S.U-, M.S.
: Dr. Yuswantoo S.H.'M.H
-:
Rudy. S.H.oLL.M.,
LL.D.Program Pascasarjana
198103 1 002
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1.
Tesis dengan judul "Kebijakan Penataan Ruang Dalam Kaitannya DenganPerlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Di
Kabupaten LampungIJtara" adalatr karya saya sendiri dan saya tidak melalarkan penjiplakan atau
pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiatr yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut
plagrarisme.
2.
Hak
intelektual atas karyailmiah
ini
diserahkan sepenuhnya kepadaUniversitas Lampung.
Atas pernydtenn
rri,
apabiladi kemudian
hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada say4 saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kotabumi, 5 Mei 2014
Pembuat Pemyalaan,
Novekawati
R I W A Y A T H I D U P
Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 30 November 1969 adalah anak pertama dari
tujuh bersaudara, dari pasangan Bapak Thaufiq dan ibu Helda Megawati.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN 13 Kotabumi dan tamat tahun 1982, Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 2 Kotabumi, tamat tahun 1985 melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di Palembang dan tamat tahun 1988 Selanjutnya Pada tahun 1993 penulis
menyelesaikan pendidikan S1 Hukum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah
Kotabumi.
Pada tahun 2012 penulis diterima pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum
MOTTO
“…dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”
( QS.7:85 )
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)”
PERSEMBAHAN
Tesis ini dipersembahkan untuk orang-orang yang telah dengan tulus dan sabar memberikan semangat, pengertian, ilmu, dan do’a bagi keberhasilan dan kesuksesan dalam meraih ilmu dan
gelar Magister Hukum bagi penulis, kepada
Kedua orang tua ku tercinta
Suami dan anak-anak ku yang selalu memeberi semangat
Seluruh keluarga besar ku, yang telah memberi dukungan moril
Teman-teman kuliah ku angkatan 2012-2013 Program Pasca Sarjana Program Studi
Magister Hukum Universitas Lampung
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……….. . 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ……… 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……… 7
D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual ………. .. 8
BAB II .TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Pennataan Ruang ………. 19
B. Asas dan Tujuan Penataan Ruang ……… 21
C. Pengaturan dan Pelaksanaan Penataan Ruang ……….. 23
D. Penegakan Hukum Penataan Ruang………. 34
E. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup……… 38
BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………. 54
B. Jenis dan Sumber Data ……….. 55
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan data ……… 56
BAB IV. PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Utara ………. 58
B. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Kabupaten Lampung Utara …….. 61
C. Instrumen Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ………. 73
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ………. 92
B. Saran ……… 93
DAFTAR PUSTAKA
Puji
syukur kepadaALLAH
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yffiLgdiberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan berjudul, "Kebijakan Penataan Ruang Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Di
Kabupaten Lampungutara".
Tesisi
ini memberikan manfaat bagi penulis secara teoritis dan praktis.Kerja keras penulis untuk menyelesaikan tesis ini tidak terlepas dari orang-orang yang telah membantu memberikan bimbingan dan saran, oleh sebab itu penulis sampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. Muhammad Akib, S.H.,
M.H. dan
Dr. Heryandi, S.H., M.S. yang telahbanyak memberikan bimbingan kepada penulis dalam proses pembuatan tesisi ini.
Dr. Yuswanto, S.H., M.H., Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.H., dan Rudy,
S.H., L.L.M., L.L.D. selaku Penguji.
Bapak, Ibu
Dosen
Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermarfaatbagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Semua teman-temanku angkatan 201212013 Program Pascasarjana Program Studi
Magister Hukum Universitas Lampung yang saya cintai, yang telah memberikan
dukungan moril dalam penyelesaian tesis ini. 2.
J.
itu
penulis mengharapkan masukan dan saran dari pihak-pihak yang berkompeten dalam penelitian ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis, dan bagi pihak lain pada umrmrnya, serta semoga Allah. SWT. Melimpahkan rahmat-Nya dan membalas segala kebaikan semua pihak yangtelah memberikan bantuan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
Kotabumi,5
Mei
2014Penulis,
(Unn,fi^'
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk negara sedang berkembang. Untuk
itu pembangunan disegala sektor dilaksanakan. Pembangunan tidak semuanya selalu
berdampak positif, baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan masyarakat, karena
pembangunan dalam skala besar akan berdampak luas terhadap kehidupan manusia
dan alam lingkungannya. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan perlu
suatu pengaturan tentang bagaimana melaksanakan pembangunan atau pengelolaan
sumber daya alam yang beraneka ragam baik di daratan, lautan, maupun di udara
secara terkoordinasi dan terpadu dengan di dukung oleh sumber daya manusia dan
sumber daya alam serta pola pembangunan yang berkelanjutan (sustinable
development).1
Pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat, dan ini merupakan cita-cita negara yang dituangkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) alenia ke-4.
Salah satu cita-cita tersebut adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.2 Era tahun
tujuh puluhan diketahui bahwa pembangunan dilaksanakan dengan tidak
mempertimbangkan secara rinci mengenai kondisi ruang yang akan di bangun dan
dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perhatian dunia
1
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 51.
2
terhadap masalah lingkungan hidup dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada waktu peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan
“Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970)” guna merumuskan strategi
“Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980)”.3 Konferensi tentang
Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on the Human Environment)
diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara,
termasuk Indonesia.4 Konfrensi Stockholm merupakan titik awal negara-negara
menselaraskan antara pembangunan dengan lingkungan.
Indonesia sebagai peserta konfrensi juga berkewajiban merumuskan dan
menyelaraskan peraturan perundang-undangannya terhadap hasil-hasil konfrensi
Stockholm. Oleh sebab itu pada tahun 1982 Indonesia menetapkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH-1982) yang rancangannya
dimulai pada tahun 1976.5 Kemudian UULH-1982 diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH-1997),
karena undang-undang tersebut dirasakan belum sepenuhnya dapat menampung
tuntutan perkembangan pembangunan, maka UUPLH-1997 diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH-2009).
Pengaturan tentang lingkungan tidak cukup diatur dalam undang-undang lingkungan
hidup saja, tetapi juga terkait dengan pengaturan penataan ruang, mengingat ruang
merupakan bagian penting dari lingkungan hidup, maka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan keberhasilannya juga ditentukan oleh pelaksanaan penataan
3
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkunan, Edisi ketujuh, cetakan ketujuh belas, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, 2002, hlm.6.
4
ibid, hlm. 8.
5
ruang, oleh karenanya ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang
mengatur tentang Penataan Ruang (UUPR-1992).
Seiring dengan perkembangan zaman di mana undang-undang penataan ruang yang
ada dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang
sehingga undang-undang tersebut diubah dengan undang-undang penataan ruang
yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UUPR-2007). Adanya perubahan undang-undang penataan ruang, diharapkan
pembangunan yang dilaksanakan dapat lebih berkualitas dan dampak negatif terhadap
lingkungan dapat diminimalisir.
Diperlukannya undang-undang penataan ruang yang baik dan sesuai dengan
perkembangan karena, dampak dari pembangunan akan mengakibatkan perubahan
besar baik terhadap struktur ekonomi, sosial, fisik, wilayah, pola konsumsi, sumber
alam dan lingkungan hidup, tekhnologi, maupun perubahan terhadap sistem nilai dan
kebudayaan. Di sisi lain, perubahan besar itu sendiri membawa pengaruh yang tidak
diharapkan dan tidak direncanakan, terutama dalam bentuk dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
Sesungguhnya, terjadinya kerusakan lingkungan lebih banyak disebabkan oleh, sikap
penghilafan pembangunan yang kurang menyadari pentingnya segi lingkungan hidup.
Pembangunan yang dilakukan pada saat ini, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, namun dampak negatif dari pembangunan sering terjadi pada lingkungan
akibat penataan ruang yang kurang baik dan tidak diharmonisasikan dengan
lingkungan. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah baru yang justru dapat
Karena saat ini kebijakan penataan ruang telah menjadi kewenangan pemerintah
daerah masing-masing, maka usaha meminimalisasi dampak negatif akibat
pembangunan perlu dilakukan dengan pengaturan penataan ruang yang baik, karena
penataan ruang akan menjadi penentu kualitas lingkungan.
Permasalahan lingkungan tidak hanya menjadi permasalahan yang berskala daerah
ataupun yang berskala nasional, tetapi juga permasalahann dunia, karena
permasalahan lingkungan di suatu negara akan berakibat pada negara lain, oleh sebab
itu pengaturan lingkungan dan penataan ruang tidak lagi hanya di sekat-sekat hanya
pada batas-batas negara tertentu saja, contoh kebakaran di Indonesia (Riau,
Kalimantan) berdampak kepada Singapura dan Malaysia.
Berdasarkan uraian terdahulu, setiap negara dan setiap daerah dalam melaksanakan
pembangunan harus memperhatikan asas-asas perlindungan dan pengelolaan
lingkungan serta asas-asas penataan ruang, baik yang diatur dalam ketentuan nasional
maupun internasional, tidak terkecuali di Kabupaten Lampung Utara.
Kabupaten Lampung Utara adalah salah satu wilayah kabupaten di Provinsi
Lampung, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Drt Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan
Sumatra Selatan, juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 dan telah mengalami
pemekaran tiga kali, yakni pada tahun 1991, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1991 tentang pembentukan Kabupaten Lampung Barat, Tahun 1997
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang pembentukan Kabupaten
Tulang Bawang, dan tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
Lampung Utara terhadap wilayah Provinsi Lampung semula 54,7% turun hingga
menjadi 7,72%, dengan jumlah kecamatan 23 kecamatan.6
Dengan berkurangnya luas wilayah dari Kabupaten Lampung Utara, tidak berarti
penataan ruang di Kabupaten Lampung Utara menjadi lebih mudah, karena pada
kenyataannya di daerah Lampung Utara, khusunya wilayah kota ada beberapa hasil
pembangunan yang kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal, dan pada akhirnya
beralih fungsi.
Pembangunan yang dimaksud adalah Taman Santap (TS), yang terletak di jalan
Jendral Sudirman, Kecamatan Kotabumi tidak berfungsi sesuai dengan tujuan awal
pembangunannya, Pasar Sentral yang berada di jalan Soekarno Hatta, Kecamatan
Kotabumi Selatan tidak dapat atau kurang dimanfaatkan secara maksimal, terminal
induk yang juga berada di jalan Soekarno Hatta, Kecamatan Kotabumi Selatan,
karena tidak di fungsikan oleh masyarakat secara baik sehingga akhirnya di bongkar
dan dibangun Islamic Center. Pembangunan pabrik tapioka yang berada di Kecamatan
Kotabumi Utara menimbulkan konflik karena lokasi pendirian pembangunan pabrik
tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lampung Utara
Nomor 08 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Utara,
Berdasarkan Pasal 28 Perda No. 08. Tahun 2001 tersebut, kawasan perindustrian
terletak di Wilayah Kecamatan Abung Selatan, Abung Timur, Sungkai Utara, Bunga
Mayang, Sungkai Selatan, dan Muara Sungkai. Tahun 2008 dikeluarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Lampung Utara Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Perda Kabupaten Lampung Utara Nomor 08 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten Lampung Utara. Pasal 1 ayat (1) Perda No. 12. Tahun 2008,
6
menentukan bahwa keentuan Pasal 28, Perda No 08 Tahun 2001 diubah, sehingga
kawasan perindustrian terletak di wilayah Kecamatan Abung Selatan, Blambangan
Pagar, Abung Timur, Sungkai Utara, Hulu Sungkai, Sungkai Tengah, Bunga Mayang,
Sungkai Selatan, Sungkai Jaya, Sungkai Barat, Muara Sungkai dan Kotabumi Utara.
Dalam Pasal 32 ayat (2) Rancangan Perda Kabupaten Lampung Utara Tahun 2011
tentang RTRW Kabupaten Lampung Utara 2012-2032, disebutkan bahwa kawasan
industri besar terdiri dari Kecamatan Kotabumi Utara, Kecamatan Abung Selatan,
Kecamatan Bunga Mayang, Kecamatan Sungkai Utara, dan Kecamatan Sungkai
Selatan.
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang akan membawa
dampak negatif terhadap lingkungan hidup, seperti terjadinya pencemaran lingkungan
hidup atau polusi udara. Adanya pembangunan yang tidak sesuai dengan Perda Tata
Ruang Kabupaten Lampung Utara sebagaimana yang diuraikan di atas, dengan telah
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang terbaru, yang mengatur tentang
Penataan Ruang, yaitu UUPR-2007, diharapkan penataan ruang Wilayah Nasional,
Wilayah Provinsi, dan Wilayah Kabupaten dapat diselenggarakan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah masing-masing, yang telah mempertimbangkan kondisi
fisik dan potensi masing-masing wilayah serta juga mempertimbangkan aspirasi
masyarakat sehingga pelaksanaan pembangunan yang akan di lakukan dapat
menghasilkan pembangunan yang berkualitas dan keberkelanjutan ekologi dapat
terwujud.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka perlu diteliti tentang “Kebijakan
Penataan Ruang Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan dan Pengelolaan
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana kebijakan penataan ruang dalam kaitannya dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Lampung Utara ?
b. Bagaimanakah implementasi intrumen hukum penataan ruang dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Lampung Utara ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian dalam penelitian ini adalah hukum penataan ruang dan hukum
lingkungan, terutama kajian tentang kebijakan pengaturan penataan ruang dalam
kaitannya dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten
Lampung Utara.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Menganalisis kebijakan penataan ruang dalam kaitannya dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Lampung Utara.
b.Menganalisis instrumen hukum penataan ruang dalam kaitannya dengan
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Secara Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan ilmu hukum, khususnya hukum tata negara yang berkaitan dengan
kebijakan penataan ruang, meliputi pengaturan penataan ruang dalam kaitannya
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Lampung
Utara.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai informasi bagi penentu
kebijakan dalam pengaturan penataan ruang di Kabupaten Lampung Utara.
D. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan (wisdom) karena kebijakan adalah
perintah atasan, sedangkan kebijaksanaan adalah perubahan peraturan yang sudah
ditetapkan oleh atasan sesuai dengan keadaan situasi dan kondisi.7 Perhatian utama
kepemimpinan pemerintahan adalah public policy (kebijaksanaan pemerintah), yaitu
apapun juga yang dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu itu, atau tidak
mengerjakan sama sekali (mendiamkan) sesuatu itu (whatever government choose to
do or not todo).8 Sebagaimana pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye,
bahwa “public policy is whatever the government choose to do or not to do”
7
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan, Edisi revisi kedua, CV. Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 168.
8
kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Jadi public policy dapat menciptakan situasi dan dapat pula
diciptakan oleh situasi. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah tindakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
yang mempunyai tujuan tertentu untuk kepentingan masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, jenis-jenis kebijakan publik menurut James E.
Anderson ada 4 (empat);
1. Substantive and Procedural Policies
Substantive policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah, sedangkan procedural policy adalah suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya.
2. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies
Distributive policy, adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan. Redistributive policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak. Sedangkan regulatory policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan atau tindakan.
3. Material Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya.
4. Public Goods and Private Goods Policies
Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan private goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan invidu-individu di pasar bebas, dengan imbalan biaya tertentu.
Membuat kebijaksanaan pemerintah ini merupakan studi tentang proses pembuatan
keputusan, karena bukanlah kebijaksanaan pemerintah (public policy) itu merupakan
pengambilan keputusan (decision making) dan pengambilan kebijaksanaan (policy
making), yaitu memilih dan menilai informasi yang ada untuk memecahkan masalah.
tujuan, penguraian kecendrungan, penganalisaan keadaan, proyeksi pengembangan
masa depan dan penelitian, penilaian dan penelitian serta penilaian dan pemilihan
kemungkinan.9
Selain daripada itu, ada beberapa model yang dipergunakan dalam pembuatan public
policy, yaitu sebagai berikut:
1. Model Elit, yaitu pembentukan public policy hanya berada pada sebagian kelompok orang-orang tertentu yang sedang berkuasa.
2. Model Kelompok, berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu yang berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan (interest group) yang saling berebutan mencari posisi dominan.
3. Model KelembagaanYang dimaksud dengan kelembagaan di sini adalah kelembagaan pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah seperti eksekutif, lembaga legeslatif, lembaga yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain.
4. Model Proses, model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi maslah, perumusan usul pengesahaan kebijaksanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Model ini memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan perbuatan kebijaksanaan pemerintah (public policy).
5. Model Rasialisme, model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan demikian model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat, untuk meningkatkan hasil bersihnya.
6. Model Inkrimentalisme, model ini berpatokan pada kegiatan masa lalu dengan sedikit perubahan. Dengan demikian hambtan seperti waktu, biaya dan tenaga untuk memilih alternatif dapat dihilangkan. Dalam arti model ini tidak banyak bersusah payah, tidak banyak risiko perubahan-perubahannya tidak radikal, tidak ada konflik yang meninggi, kestabilan terpelihara tetapi tidak berkembang (konservatif) karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.
7. Model Sistem, model ini beranjak dari memperhatikan desakan-desakan lingkungan yang antara lain berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan, gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan dan lain-lain yang mempengaruhi public policy.10
Dengan memperhatikan berbagai model-model pembentukan public policy terebut di
atas, pada kesempatan lain pemerintah sedikit banyaknya juga mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
9
Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prime Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 54.
10
1. Memperhatikan responsiveness, yaitu perhatian utama terhadap tanggapan-tanggapan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemberian pendemokrasian di daerah, yaitu berupa desentralisasi dan pemberian otonomi daerah.
2. Memperhatikan effectiveness, yaitu perhatian utama terhadap pencapaian apa yang dikehendaki saja demi suatu tujuan politik atau ekonomi tertentu. Hal ini sejalan dengan usaha menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, melalui sentralisasi.11
Dalam kebijakan publik, ada tingkatan-tingkatan. Menurut Lembaga Administrasi
Negara, tingkatan-tingkatan kebijakan publik adalah :
A. Lingkup Nasional
. 1. Kebijakan Nasional, adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Yang berwenang dalam menentukan kebijakan nasional adalah MPR, Presiden, DPR.
2. Kebijakan Umum, adalah kebijakan presiden sebagai pelaksanaan UUD 1945, TAP MPR, UU, untuk mencapai yujuan nasional. Yang berwenang menetapkan kebijakan umum adalah Presiden.
3. Kebijakan Pelaksanaan, adalah merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah Menteri.
B. Lingkup wilayah Daerah
1. Kebijakan Umum, adalah kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah. Yang berwenang menetapkan kebijakan umum di daerah provinsi adalah Gubernur dan DPRD Provinsi, pada daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan umum pada tingkat daerah dapat berbentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
2. Kebijakan Pelaksanaan, pada lingkup wilayah daerah ada 3 macam;
a. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan Perda.
b. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan nasional di daerah.
c. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan merupakan pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
11
Kebijakan umum di tingkat kabupaten salah satu diantaranya adalah kebijakan tentang
penataan ruang, yang berbentuk peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (1) UUPR-2007, bahwa rencana rinci tata ruang ditetapkan dengan peraturan
daerah kabupaten. Adapun Perda Kabupaten Lampung Utara yang mengatur tentang
Penataan Ruang adalah Perda No 08 Tahunh 2001.
b. Teori Penataan Ruang
Penataan ruang menurut Pasal 1 angka 5 UUPR-2007, dan Pasal 1 angka 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, adalah
suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Kondisi penduduk secara sosial maupun ekonomi sangat terkait erat dengan penataan
ruang kota, serta pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Penataan
ruang tersebut sangat berpengaruh pada sumber daya manusia yang berinteraksi
dengan tempat, waktu dan budaya masyarakat setempat. Adapun prinsip-prinsip dasar
dari penataan ruang adalah :
1. Pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan;
2. Suatu penetapan pengalihan sumber daya (resources allovation);
3. Suatu penetapan dan usaha pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan (setting up goals and objectives);
4. Suatu pencapaian keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang, yaitu :
a. Dapat membuat perkiraan yang baik dan dapat menjabarkannya dalam suatu penjadwalan yang berurutan (sequential) sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang mendukungnya;
b. Pelaksanaan pentahapan untuk mencapai tujuan masa mendatang disusun dalam urutan kegiatan yang logis, rasional, dan tertata secara bertahap, berurutan.12
12
Dalam penataan ruang kota ada tiga hal yang perlu diperhatikan sebagai guidelines
dalam menata ruang, antara lain adalah13 :
1. Perencanaan Tata Ruang
Rencana tata ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan masa depan yang
diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan, dan tekhnologi yang
dapat digunakan. Serta memperhatikan keragaman wawasan kegiatan disetiap
sektornya. Perkembangan masyarakat dan lingkungan hidup berlangsung secara
dinamis, serta ilmu pengetahuan dan tekhnologi berkembang seiring berjalannya
waktu. Oleh karena itu, agar rencana tata ruang yang telah disusun sesuai dengan
tuntutan pembangunan dan perkembangan keadaan, maka rencana tata ruang tersebut
dapat di tinjau kembali dan disempurnakan secara berkala.
Dalam Pasal 65 ayat (1) UUPR-2007, disebutkan penyelenggaraan penataan ruang
dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat, selanjutnya ayat (2)
menyebutkan peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan antara lain melalui, partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang, partisipasi dalam pemanfaatan ruang, dan partisipasi dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.
13
Dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang terebut ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari segi ekonomi,
sosial budaya, daya dukung, dan daya tampung lingkungan serta tidak melupakan
fungsi-fungsi pertahanan-keamanan.
b. Mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam suatu
wilayah perencanaan.
c. Perumusan rencana tata ruang.
d. Penetapan rencana tata ruang.
2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan
yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana
tata ruang. Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan
program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.
Dinamika dalam pemanfaatan ruang tersebut dilihat dari beberapa indikator yang
dapat dijadikan tolak ukur, diantaranya adalah :
a. Perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. Perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c. Perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
e. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dilakukan pengendalian,
melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Pengawasan yang
dimaksud di sini adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dan
fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Penertiban dalam ketentuan
ini adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang
direncanakan dapat terwujud sesuai dengan ketetapan.
Penataan ruang yang baik diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif akibat
suatu pembangunan terhadap lingkungan, karena kerusakan lingkungan adalah
pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang
mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Manusia dan alam saling
mempengaruhi, dimana manusia sangat ketergantungan dan berpengaruh terhadap
alam, dan alam juga mempengaruhi manusia, yang artinya antara manusia dan
lingkungan hidup terjadi hubungan timbal balik. Menurut Oto Soemarwoto, ilmu
tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya, disebut
ekologi.14 Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
permasalahan ekologi.15
c. Teori Keberlanjutan Ekologi
Secara etimologi, kata “ekologi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos (rumah
tangga) dan logos (ilmu), yang diperkenalkan pertama kali dalam biologi oleh seorang
14
Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit, hlm. 2.
15
biolog Jerman Ernst Hackel (1869).16 Oleh karena itu secara harfiah ekologi berarti
ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat juga diartikan sebagai ilmu
tentang rumah tangga makhluk hidup.17 Rumusan ekologi yang menekankan pada
hubungan makhluk hidup dikemukan dalam buku William H. Matthews et. al. sebagai
berikut : “ecology focuses the interrelationship between living organism and their
environment”.18
Berdasarkan defenisi ekologi di atas, maka permasalahan lingkungan hidup pada
hakikatnya adalah permasalan ekologi. Inti permasalahan lingkungan hidup ialah
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Apabila
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya berjalan secara
teratur dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, maka terbentuklah
suatu sistem ekologi yang lazim disebut ekosistem, karena lingkungan terdiri atas
komponen hidup dan takhidup, maka ekosistem pun terbentuk oleh komponen hidup
dan tak hidup yang berinteraksi secara teratur sebagai satu kesatuan dan saling
mempengaruhi satu sama lain (interdependence).19
Secara yuridis pengertian ekosistem dirumuskan baik dalam UULH-1982,
UUPLH-1997, maupun UUPPLH-2009. Ketiganya mengartikan ekosistem sebagai tatanan
unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas
lingkungan hidup. Pengertian ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pemikiran bahwa
secara ekologis manusia merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya.
16
Koesnadi Hardjasoemanri, Op.Cit, hlm. 2.
17
Otto Soemarwoto, dalam Muhammad Akib, Op.Cit. hlm. 3.
18
Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit. hlm. 2.
19
Manusia terbentuk oleh lingkungan hidupnya, tetapi sebaliknya manusia membentuk
lingkungan hidupnya.20
Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem
tersebut, serta manusia tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya dengan
alam. Kehidupan manusia memuat dalam dirinya sebagian alam dan ketergantungan
kepada lingkungan materiel. Ini berarti bahwa dalam hubungannya dengan alam,
manusia harus memperhitungkan nilai-nilai lain, di samping nilai-nilai tekhnis dan
ekonomis. Ini berarti pula, bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepada pihak lain, akan tetapi pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai
diri pribadi secara mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian
cukup jelas peranan manusia dalam ekosistem.
2. Kerangka Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian.21 Sesuai dengan defenisi tersebut maka peneliti akan
memberikan pembatasan terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu sebagai berikut:
a. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya
(Pasal I angka (1) UUPR-2007).
b. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal I angka (5) UUPR-2007).
20
Ibid, hlm. 4.
21
c. Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain (Pasal 1 angka (1) UUPPLH-2009).
d. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum (Pasal1 angka (2) UUPPLH-2009).
f. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Penataan Ruang
1. Pengertian Penataan Ruang
Pasal 1 angka (5), UUPR-2007 tentang Penataan Ruang, dan Pasal 1 angka (6),
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 (PP No. 15 Tahun 2010) tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, menyatakan bahwa penataan ruang adalah suatu
sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UUPR-2007 dan Pasal 1 angka (2)
PP No 15. Tahun 2010.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka untuk menghasilkan wujud struktur
ruang dan pola ruang yang baik, serta ramah lingkungan diperlukan suatu penataan
ruang yang baik pula. Dimana penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan
sesuai dengan kaidah penataan ruang, sehingga diharapkan dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna, sehingga mampu
mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, juga tidak terjadi
2. Dasar Hukum Penataan Ruang
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari ruang daratan,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola secara
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat yang
terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka dibentuklah
undang-undang penataan ruang. Pertama kali undang-undang penataan ruang yang
diberlakukan adalah UUPR-1992 Tentang Penataan Ruang. Pada dasarnya UUPR-
1992 telah memberikan andil yang cukup besar dalam mewujudkan tertib tata ruang,
sehingga hampir semua pemerintah daerah telah memiliki rancana tata ruang wilayah.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
beberapa pertimbangan, yang diantaranya adalah perkembangan situasi dan kondisi
nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan,
demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan
ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila, serta UUPR-1992 tentang
Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang
sehingga perlu diganti dengan penataan ruang yang baru, serta dirasakan pula adanya
penurunan kualitas ruang pada sebagian besar wilayah menuntut perubahan
pengaturan dalam undang-undang tersebut. Dengan alasan yang telah diuraikan, maka
undang-undang penataan ruang yang semula diatur oleh UUPR-1992 di ganti dengan
UUPR-2007 tentang Penataan Ruang .
UUPR-2007 tentang Penataan Ruang, diharapkan menjadi pedoman dalam
lingkungan yang berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteran dan keadilan sosial
bagi masyarakat.
B. Asas dan Tujuan Penataan Ruang
1. Asas Penataan Ruang
Pasal 2 UUPR-2007, mengatur bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
a. Keterpaduan, adalah pemangku kepentingan, Pemangku kepentingan antara lain,
adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. Keserasian, keselarasan, dan bahwa penataan ruang diselengggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan
lintas
c. Kesimbangan, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan
keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan
manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar
daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan.
d. Keberlanjutan, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin
kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
e. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
f. Keterbukaan, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan
akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
g. Kebersamaan dan kemitraan, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
h. Perlindungan kepentingan umum, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
i. Kepastian hukum dan keadilan, adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan
kepastian hukum.
j.Akuntabilitas, adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Berdasarkan asas-asas penataan ruang tersebut di atas, diharapkan pelaksanaan
penyelenggaraan penataan ruang dapat menghasilkan tata ruang yang berkualitas dan
berkelanjutan, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
2. Tujuan Penataan Ruang
Tujuan penataan ruang di atur dalam Pasal 3 UUPR-2007, dimana disebutkan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional dengan :
a. terwujudnya keterpaduan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
C. Pengaturan dan Pelaksanaan Penataan Ruang
1. Pengaturan Penataan Ruang
Untuk mencapai apa yang menjadi tujuan penataan ruang, maka diperlukan
pengaturan penataan ruang dan pembinaan penataan ruang. Pengaturan penataan
ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 12 UUPR-2007 .1
Pasal 2 PP. No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, disebutkan
bahwa pengaturan penataan ruang diselenggarakan untuk :
a. mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang;
b. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
melaksankan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam
penyelenggaraan penataan ruang; dan
c. mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh
aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
tersebut di atas, disebutkan bahwa pengaturan penataan ruang disusun dan ditetapkan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya.
Agar pengaturan penataan ruang dapat berjalan harmonis, maka diperlukan adanya
pembinaan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1)
UUPR-2007, bahwa Pemerintah melakukan pembinaan pentaan ruang kepada
pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat.
1
Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (2) diatur bahwa pembinaan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturanperundang-undangan dan sosialisasi pedoman bidang penataan ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
g. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pelaksanaan pembinaan penataan ruang sebagaimana yang dimaksud di atas, dalam
penjelasan UUPR-2007 dijelaskan bahwa, soaialisasi peraturan perundang-undangan
dan soaialisasi pedoman bidang penataan ruang dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman kepada aparat pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan
lainnya, tentang substansi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang
penataan ruang. Pendidikan dan pelatihan dimaksudkan, antara lain untuk
meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dan masyarakat dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Sedangkan yang termasuk upaya pengembangan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat adalah menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat, yang diharapkan akan meningkatkan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang,
disebutkan bahwa pembinaan penataan ruang diselenggarakan untuk :
b. meningkatkan kapasitas dan kemandirian pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang;
c. meningkatkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
d. meningkatkan kualitas struktur ruang dan pola ruang.
2. Pelaksanaan Penataan Ruang
Pelaksanaan penataan ruang dilakukan dengan perencanaan tata ruang, untuk
mendapatkan pemanfaatan ruang yang berkualitas, serta adanya pengendalian
pemanfaatan ruang.
a. Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang, dan
rencana rinci tata ruang (Pasal 14 ayat (1) UUPR-2007). Rencana umum tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut di atas secara berhierarki terdiri atas,
rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata
ruang wilayah kabupaten dan kota (Pasal 14 (2) UUPR-2007), sedangkan rencana
rinci tata ruang terdiri atas, rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan
rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tat ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Berdasarkan hierarki perencanaan tata ruang, maka dalam penyusunan rencana tata
ruang wilayah nasional, tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota harus saling memperhatikan agar dapat terwujud keharmonisan,
keterpaduan, dan perlindungan fungsi ruang.
Dalam Pasal 19 UUPR diatur, bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian
implikasi penataan ruang nasional;
c. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
d. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
g. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;dan
h. rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota.
Pasal 20 ayat (1) UUPR-2007, menyebutkan, bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional memuat :
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan
nasional yang terkait dengan kawasan pedesaan dalam wilayah pelayanannya
dan sistem jaringan prasarana utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional
dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisis indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian wilayah pemanfaatan ruang nasional yang berisi indikasi
arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan
Pasal 20 ayat (2) UUPR-2007 disebutkan pula bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional menjadi pedoman untuk :
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten /kota.
Untuk perencanaan tata ruang wilayah provinsi diatur dalam Pasal 22 sampai dengan
Pasal 24 UUPR-2007 pada Pasal 22 ayat (1), mengatur tentang penyusunan rencana
tata ruang wilayah provinsi mengacu pada :
a. Rencana Tata Ruang Nasional;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
harus memperhatikan ;
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan
ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
h. rencana tata ruang wilayah kabupaten /kota
Pasal 23 ayat (1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat :
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam
wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan pedesaan dalam wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan
kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program
utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi
arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan
disinsentif, serta arahan sanksi.
Pasal 23 ayat (2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk :
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah
provinsi;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar
wilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor ;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
mengacu pada :
1. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dan rencana tata ruang provinsi;
2. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
3. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Pasal 25 ayat (2) mengatur, bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
harus memperhatikan :
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian impilikasi penataan
ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan; dan
g. rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten.
Pasal 26 ayat (1) mengatur bahwa, rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat :
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabuapten yang meliputi sistem perkotaan di
wilayahnya yang terkait dengan kawasan pedesaan dan sistem jaringan prasarana
wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten
dan kawasan budi daya kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan
disinsentif, serta arahan sanksi.
Pasal 26 ayat (2) mengatur bahwa, rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
pedoman untuk :
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan,keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
Pasal 26 ayat (3) mengatur bahwa, rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.
Untuk jangka waktu rencana tata ruang, baik rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang kabupaten/kota adalah 20
(dua puluh) tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (3) untuk Nasional,
Pasal 23 ayat (3) untuk provinsi, dan Pasal 26 ayat (4) untu kabupaten/kota.
b. Pemanfaatan Ruang
Ketentuan umum tentang pemanfaatan ruang ditegaskan dalam Pasal 32 UUPR-2007
sebagai berikut:
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertical maupun
pemanfaatan ruang di dalam bumi.
(3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat di dalam
rencana tata ruang wilayah.
(4) Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu
indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang.
(5) Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah administrative
sekitarnya.
(6) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memerhatikan standar pelayanan minimal dalam penyediaan sarana dan
prasarana.
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang diatur dalam Pasal 35 UUPR-2007, bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Maksud
pengendalian penataan ruang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 35 , bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang.
Peraturan tentang zonasi ditegaskan dalam Pasal 36 sebagai berikut :
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai
(2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona
pemanfaatan ruang.
Penegasan tentang peraturan zonasi, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 36 ayat (1)
bahwa peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan
rencana rinci tata ruang.
Ketentuan tentang perizinan diatur dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (8),
adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
(1) ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan
masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak
melalui prosedur yang benar batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi
pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana
tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang
dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara
penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan mengenai insentif dan disinsentif dimuat dalam Pasal 38, yaitu :
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/ atau disinsentif oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau
upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang, berupa;
a. keringan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang,
dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah
daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat
untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
(a) pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau
(4) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
(5) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh :
a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan
disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.
Mengenai pengenaan sanksi, ditegaskan dalam Pasal 39 UUPR-2007, bahwa
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan tindakan
penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
D. Penegakan Hukum Penataan Ruang
Penegakan hukum penataan ruang, jika dilihat dari pengaturan yang ada dalam
UUPR-2007, dapat berupa pemberian sanksi baik sanksi administrasi, sanksi perdata,
maupun sanksi pidana.
a. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi diatur dalam Pasal 62 sampai Pasal 64 UUPR-2007:
Pasal 62, menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61, dikenakan sanksi administratif.
Pasal 63, menyatakan bahwa sanksi administratif s