• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Integrasi Vertikal Pada Perusahaan Minyak Goreng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Integrasi Vertikal Pada Perusahaan Minyak Goreng"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA PERUSAHAAN

MINYAK GORENG

SKRIPSI

Oleh :

BUDI GUNAWAN SIREGAR

050304050

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA PERUSAHAAN

MINYAK GORENG

SKRIPSI

Oleh:

BUDI GUNAWAN SIREGAR 050304050

AGRIBISNIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh,

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 2010

Ketua Komisi Pembimbing

Ir. Thomson Sebayang, MT

Anggota Komisi Pembimbing

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposif yaitu pada dua sampel perusahaan yang memproduksi minyak goreng. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposif yaitu sampel adalah perusahaan minyak goreng yang mendapatkan izin untuk diteliti dari seluruh populasi perusahaan minyak goreng yang ada di Sumatera Utara hanya dua perusahaan yang mendapatkan izin untuk dilakukan penelitian.

Adapun analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriftif dengan menjelaskan dan menguraikan bagaimana kegitana integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.. Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan minyak goreng meliputi kegiatan pembelian dan penjualan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal yaitu mutu produksi, fluktuasi produksi dan fluktuasi harga.

3. Skala usaha dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan integrasi vertikal, perusahaan yang memiliki skala usaha yang besar akan lebih mudah memilih pasar atas produk yang dihasilkannya. Dengan skala usaha yang besar perusahaan akan lebih besar mendapat keuntungan dan lebih efisien.

(4)

RIWAYAT HIDUP

BUDI GUNAWAN SIREGAR, lahir di Medan pada tanggal 24 September 1987 anak dari Bapak M. Siregar dan Ibu B. L.Tobing. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : 1. Tahun 1993 masuk Sekolah Dasar Negeri 060891 Medan, tamat tahun 1999. 2. Tahun 1999 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Mulia dan Pencawan

Medan, tamat tahun 2002.

3. Tahun 2002 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Dharma Bakti Medan, tamat tahun 2005.

4. Tahun 2005 diterima di Departemen Agribisnis di Universitas Sumatera Utara Medan, melalui jalur PMP.

Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi yaitu:

1. Staff Departemen Informasi dan Kreatifitas Badan Kenaziran Musholla (BKM) Al-Mukhlisin FP-USU tahun 2008-2009.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah “ANALISIS INTEGRASI

VERTIKAL PADA PERUSAHAAN MINYAK GORENG”. Tujuan dari

penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

• Bapak Ir. Thomson Sebayang MT selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk mengajari penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

• Ibu Ir. Diana Chalil, Msi, PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktunya untuk mengajari, memotivasi dan membantu penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

• Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP selaku Ketua Departemen SEP, FP-USU dan

Ibu Dr. Salmiah, MS selaku Sekretaris Departemen SEP, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal kuliah dan administrasi kegiatan organisasi saya di kampus.

• Seluruh Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

(6)

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda M. Siregar dan ibunda B. L. Tobing atas motivasi, kasih sayang, dan dukungan baik secara materi maupun do’a yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah, tak lupa kepada para adinda Annisa Zahra Saragih dan Zahra Addina Saragih atas semangat yang diberikan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman penulis di Departemen Agribisnis angkatan 2005 khususnya Tim Nasyid CHUVER (Hery, Syukron, Budi, Reza dan Nuzul) yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi. Tak lupa pula kepada teman-teman seperjuangan di BKM Al-Mukhlisin dan FSMM SEP, serta sahabat-sahabat yang terus berjuang dijalan dakwah dimanapun berada. Semoga apa yang kita cita-citakan dapat terwujud dan semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita semua.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2010

(7)

DAFTAR ISI

Metode Pengumpulan Daerah Sampel ...15

Metode Pengambilan Sampel...16

Metode Pengambilan Data...17

Metode Analisis Data ...18

Defenisi dan Batasan Operasional ...22

Defenisi ...22

(8)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

SAMPEL ...24

Letak dan Keadaan Geografis ...24

Keadaan Penduduk ...24

Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng ...33

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Curah dan Bermerek ...35

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Curah ...40

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Jumlah dan Kapasitas produksi pabrik Minyak Goreng asal kelapa sawit

dirinci menurut propinsi ...29

2. Data Perusahaan yang mengolah minyak CPO di Sumatera Utara ...30

3. Nama Lokasi, Produksi kebun dan PKS milik Perusahaan A...34

4. Data Kapasitas Produksi TBS dan PKS Perusahaan A ...………..25

5. Penduduk Menurut Pekerjaan ...26

6. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ...27

7. Sarana dan Prasarana ...28

8. Umur Sampel Minyak Goreng...29

9. Pendidikan Sampel Minyak Goreng ...30

10. Jumlah Tanggungan Sampel Minyak Goreng………..30

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Skema kerangka Pemikiran ...13

2. Perkembangan Produksi RBD Olein PT. A...36

3. Perkembangan Harga CPO Domestik...37

4. Perkembangan Produksi RBD Stearin PT. A...38

5. Produksi Fatty Acid PT. A...39

6. Persentase Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III...48

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng

2. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Tanpa Outlier 3. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Curah

4. Karakteristik Sampel Konsumen Minyak Goreng Bermerek 5. Hasil Regresi Minyak Goreng

6. Hasil Regresi Minyak Goreng Curah 7. Hasil Regresi Minyak Goreng Bermerek 8. Hasil Elastisitas

9. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng

10. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng Curah 11. Metode Grafik (Heterokedastisitas) Minyak Goreng Bermerek 12. Hasil Uji Park (Heterokedastisitas)

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposif yaitu pada dua sampel perusahaan yang memproduksi minyak goreng. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposif yaitu sampel adalah perusahaan minyak goreng yang mendapatkan izin untuk diteliti dari seluruh populasi perusahaan minyak goreng yang ada di Sumatera Utara hanya dua perusahaan yang mendapatkan izin untuk dilakukan penelitian.

Adapun analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriftif dengan menjelaskan dan menguraikan bagaimana kegitana integrasi vertikal pada perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara.. Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan minyak goreng meliputi kegiatan pembelian dan penjualan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal yaitu mutu produksi, fluktuasi produksi dan fluktuasi harga.

3. Skala usaha dapat mempengaruhi sebuah perusahaan melakukan integrasi vertikal, perusahaan yang memiliki skala usaha yang besar akan lebih mudah memilih pasar atas produk yang dihasilkannya. Dengan skala usaha yang besar perusahaan akan lebih besar mendapat keuntungan dan lebih efisien.

(13)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit adalah salah satu sumber minyak nabati yang memiliki peranan cukup besar dalam menunjang perekonomian nasional. Hal tersebut didasarkan dengan adanya peningkatan yang sangat pesat pada beberapa karakter penting seperti luas areal, tingkat produksi Crude Palm Oil (CPO) dan kontribusi terhadap perekonomian nasional (Budiman, 2002).

Komoditi kelapa sawit telah berhasil mengatasi kekurangan minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa yang terjadi sejak tahun 1972. Jika semula bagian terbesar dari produksi digunakan untuk ekspor maka sejak tahun 1972 keperluan dalam negeri menjadi berbanding sama atau kadang-kadang lebih tinggi. Komoditi kelapa sawit ternyata berhasil menembus daerah yang selama ini belum memiliki komoditi kelapa sawit seperti Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Propinsi lainnya di luar Aceh, Sumut dan Lampung. Komoditi kelapa sawit bisa dikembangkan baik berbentuk pola usaha perkebunan besar maupun skala kecil. Tumbuhan tanaman kelapa sawit cenderung tahan terhadap cuaca dan lebih ampuh menghadapi kendala dan masalah seperti serangan penyakit dan perubahan musim (Amang,1996).

(14)

besar, namun saat ini telah mencakup perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar swasta (PBS). Berdasarkan data statistik pada tahun 2005, luas areal PR sekitar 2,202 juta ha (40,44%), PBN 630.000 ha (11,58%) dan PBS 2,61 juta ha (47,98%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (BPS, 2005).

Berdasarkan data minyak dunia (Oil World) pada tahun 2007, Indonesia telah tercatat sebagai produsen CPO terbesar di dunia, dengan produksi sekitar 17,10 juta ton. Hal ini terlihat dengan banyaknya industri kelapa sawit yang berdiri dengan skala yang sangat besar seperti PT. Multi Mas Nabati yang memproduksi CPO sebesar 450.000 Ton dan PT. Ivomas Tunggal yang memproduksi sebesar 117.600 Ton. Industri yang berdiri kebanyakan menguasai industri hulu hingga industri hilir dengan memiliki kebun kelapa sawit , pabrik kelapa sawit dan pabrik pengolah CPO menjadi minyak goreng sendiri (Disperindag, 2007).

Hal tersebut mengindikasikan penerapan strategi integrasi vertikal di industri perkebunan kelapa sawit. Strategi tersebut dilakukan perusahaan produsen dengan mendirikan atau memiliki sendiri perusahaan distributor dan pemasoknya untuk mendukung kegiatan utamanya atau produsen menjalin kerja sama dengan pelaku usaha independen sebagai distributor atau pemasoknya (Wajdi, 2004).

(15)

ini dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada UU No.5 Tahun 1999 pasal 14 yang berisi bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumiah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahanl atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”

Untuk mencegah timbulnya penguasaan pasar oleh perusahaan pengguna strategi integrasi vertikal, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU tentang persaingan usaha yang mengatur tatacara melakukan integrasi vertikal pada industri.

Khudori (2007) pada penelitiannya menyatakan bahwa sekelompok pengusaha yang memegang menguasai industri hulu hingga hilir kelapa sawit membuat struktur industri kelapa sawit mengarah kepada pasar monopoli. Dengan menguasai pasar, perusahaan mencoba menerapkan monopoli, artinya mengurangi persaingan di dalam industri dan mampu menjual dengan harga yang lebih tinggi.

Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (2008), industri minyak goreng di Sumatera Utara hanya dikuasai beberapa perusahaan besar saja, seperti PT. Intiboga Sejahtera yang memproduksi minyak goreng sebesar 381.918 Ton dan PT. Smart Tbk yang memproduksi 317. 620 Ton.

(16)
(17)

Identifikasi Masalah

Setelah menguraikan latar belakang maka dapat disimpulkan beberapa

masalah yang akan diidentifikasi, yaitu :

1. Proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang dilakukan perusahaan

minyak goreng?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng

melakukan integrasi vertikal?

3. Bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan perusahaan melakukan

integrasi vertikal?

4. Bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan perusahaan

melakukan integrasi vertikal?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang

dilakukan perusahaan minyak goreng.

2. Untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan

minyak goreng melakukan integrasi vertikal.

3. Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan

perusahaan melakukan integrasi vertikal.

4. Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan

(18)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan di kemudian hari dapat dipergunakan sebagai :

1. Sumbangan dalam penelitian yang terkait dengan masalah integrasi vertikal terutama pasar minyak goreng.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Tinjauan Pustaka

Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati lainnya. Minyak goreng kelapa sawit ini diperoleh dari pengolahan daging kelapa sawit (TBS) lalu diolah lagi menjadi Crude Palm Oil (CPO). Dari CPO diolah lagi menjadi RBD (Refined, Bleached, Deodorized) Olein. RBD Olein ini dalam perdagangannya disebut minyak goreng.

RBD Olein atau minyak goreng curah harganya lebih murah daripada

minyak goreng bermerek. Hal ini disebabkan warna minyak goreng bermerek lebih jernih daripada minyak goreng curah dan kandungan asam lemak jenuh pada minyak goreng bermerek lebih sedikit daripada minyak goreng curah.

Bahan baku yang umum digunakan untuk membuat minyak goreng adalah CPO yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS). Di Sumatera Utara PKS

tersebut tersebar di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Langkat, Labuhan Batu, Deli Serdang, Asahan, dan Madina. Disamping menghasilkan minyak goreng CPO juga dapat diolah menjadi sabun, mentega, dan Oleo Chemical

(Bungaran, 1997).

(20)

digunakan dalam bentuk sabun, Oleo Chemical, dan bentuk-bentuk lainnya (Afifuddin,2008)

Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi, hal ini yang dimaksud dengan integrasi vertikal (Wiradiputra, 2008).

Integrasi vertikal (vertical integration) merupakan strategi yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri (Goenadi, 2005).

Integrasi vertikal dibedakan menjadi dua, Farida (2008) yaitu:

1) Integrasi ke depan (Forward Integration) merupakan strategi untuk memperoleh kepemilikan atau meningkatkan kendali atas distributor atau pengecer.

2) Integrasi ke belakang (Backward Integration) merupakan strategi untuk mencari kepemilikan atau meningkatkan kendali atas perusahaan pemasok.

(21)

yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat

(UU RI No. 5, 1999).

Produsen yang mempunyai perusahaan distributor sendiri tidaklah dilarang oleh UU RI Nomor 5 Tahun 1999, sepanjang perusahaan tersebut tidak mencoba untuk menguasai pangsa pasar atau produksi suatu barang tertentu. Artinya, dengan memiliki distributor sendiri perusahaan tersebut akan berusaha melakukan efisiensi untuk dapat menjual barangnya lebih kompetitip dengan barang yang sama atau sejenis di wilayah pasar tertentu.

Usaha yang akan menjadi perhatian UU No 5 1999 adalah apabila perusahaan melakukan integrasi vertikal dan dapat mempengaruhi harga pasar dengan penetapan harga antara distributor dengan agen atau grosir yang menetapkan harga barang tertentu yang akan dijual kepada konsumen. Perjanjian penetapan harga secara vertikal tersebut dapat dilakukan, karena distributor tersebut merupakan bagian dari perusahaan produsen (Goenadi,2005).

Menurut Stigler (1951) tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal antara lain adalah:

1. Untuk menurunkan biaya transaksi

(22)

maka perusahaan akan dikenakan biaya transaksi, seperti biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pertemuan. Tentunya hal tersebut dapat menambah biaya produksi perusahaan. Dengan melakukan integrasi vertikal maka perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi karena telah terdapat kesepakatan harga TBS baik berdasarkan harga pokok produksi (HPP) untuk kebun sendiri atau dengan kontrak kepada pihak III.

2. Untuk menjamin persediaan

Perusahaan menjalankan integrasi vertikal juga disebabkan karena persediaan bahan baku yang tidak stabil, sementara kontinuitas bahan baku sangat diperlukan demi kelangsungan proses produksi. Disamping itu kapasitas pabrik perusahaan harus tetap terpenuhi. Dengan demikian untuk menjaga efisiensi perusahaan dapat menyediakan bahan baku sendiri.

Selain itu pada perusahaan perkebunan, apabila PKS tidak mempunyai kebun sendiri maka perusahaan akan bergantung pada produsen bahan baku (TBS). Apabila pasokan TBS terhambat maka biaya-biaya seperti listrik akan naik, karena kapasitas pabrik tidak terpenuhi. Kemungkinan kesulitan bahan baku akan timbul apabila perusahaan terlalu bergantung pada perusahan lain, oleh karena itu perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk memenuhi pasokan bahan baku, selain itu juga dapat menghindar dari resiko fluktuasi harga.

3. Untuk menghapus pengaruh eksternal.

(23)

ini perusahaan lain tersebut yang menjadi pengaruh eksternal bagi perusahan utama. Perusahaan harus memperhatikan standart mutu produksi. Apabila perusahaan bergantung dengan pihak lain dalam penyediaan bahan baku produksi maka ancaman mutu yang rendah akan berakibat buruknya mutu produksi. Oleh karena itu perusahaan melakukan integrasi vertikal dengan menyediakan bahan baku milik sendiri sehingga standart mutu produksi tetap terjaga.

4. Untuk menghindari intervensi pemerintah.

Intervensi pemerintah merupakan kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk memantau kondisi pasar sebuah produk apakah ada terjadi penguasaan produksi pada sebuah produk sehingga harga menjadi tinggi. Intervensi pemerintah biasanya dilakukan dengan kontrol harga pemerintah, peraturan pemerintah dan pembayaran pajak. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat menghindari kontrol harga yang dilakukan pemerintah, Contohnya: perusahaan minyak goreng mempunyai kebun dan PKS sendiri, dengan memasok bahan baku sendiri perusahaan tidak perlu membeli bahan baku dengan harga pasar namun perusahaan membeli sesuai harga pokok produksi (HPP), dengan melakukan integrasi vertikal harga yang digunakan adalah harga kerja sama atau harga pokok produksi perusahaan.

(24)

menggeser unit usaha yang mempunyai laba tinggi ke unit usaha yang mempunyai laba rendah. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan keuntungan karena biaya pajak yang diperoleh kecil.

Menurut Tarumingkeng (2008) ada beberapa alasan mengapa perusahaan melakukan integrasi vertikal:

1. Membangun Barriers to Entry

Dengan menguasai pengadaan input atau distribusi output, perusahaan membangun barriers to entry, artinya, perusahaan beintegrasi dengan perusahaan yang dapat memenuhi pasokan produksi yang saling berkaitan. Perusahaan yang tidak bisa bersaing dikarenakan skala usaha yang kecil tidak akan memiliki kesempatan untuk berinvestasi. Perusahaan yang terintegrasi tentunya mempunyai keterkaitan dalam pemenuhan pasokan bahan baku. Oleh karena itu perusahaan yang dapat memasok bahan baku yang berskala besar yang dapat melakukan integrasi vertikal, sementara itu perusahaan yang berskala kecil akan mengalami hambatan dalam melakukan investasi karena banyaknya perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal.

2. Melindungi mutu produk.

(25)

karena hasil produksi mulai dari TBS hingga minyak goreng merupakan hasil kontrol perusahaan sendiri tanpa adanya campur tangan perusahaan lain.

3. Meningkatkan scheduling (perencanaan).

Dengan menguasai pengadaan input, perencanaan proses produksi dapat ditingkatkan baik itu dalam hal jumlah produksi maupun orientasi pasar. Dengan melakukan integrasi vertikal perusahaan dapat melakukan penjadwalan produksi, perusahaan bisa bebas menentukan pada saat kapan memproduksi dalam jumlah yang banyak dan saat kapan memproduksi dalam jumlah sedikit. Misalnya, pada saat lebaran dan natal perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga memiliki pabrik minyak goreng cenderung mengolah lebih banyak CPO menjadi minyak goreng hal tersebut dikarenakan permintaan minyak goreng yang meningkat pada saat tersebut.

Landasan Teori

Integrasi vertikal adalah merupakan kegiatan yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri.

(26)

Sebuah perusahaan selalu menginginkan agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi (Aulia, 2009).

Integrasi vertikal yang melihat dari keuntungannya yaitu operasi ekonomi, diantaranya dapat dilakukan dengan prose produksi yang dapat digabungkan atau dikoordinasikan, selain itu biaya transaksi dilakukan dengan menggunakan kontrak pada saat menentukan kesepakatan harga. Akses supply dan demand juga merupakan keuntungan dari strategi integrasi vertikal akses untuk memproduksi bahan baku sendiri merupakan strategi untuk menghindari ancaman kekurangan bahan baku produksi. Dengan melakukan hal tersebut maka perusahaan sudah melakukan integrasi vertikal dan dapat mengurangi adanya resiko.

Selain itu keistimewaan produk juga menjadi keuntungan integrasi vertikal, dengan adanya mutu yang terkendali yang diproduksi langsung mulai dari bahan mentah oleh perusahaan sendiri maka produk yang dihasilkan akan memiliki keuunggulan dalam hal mutu produksi. Selain itu integrasi vertikal juga dapat mengendalikan sitem produk maksudnya perusahaan bebas melakukan produksi dalam jumlah besar dan kecil karena perusahaan bisa mengontrol permintaan. Ketika permintaan meningkat maka perusahaan akan memproduksi dalam jumlah yang besar juga (Wajdi, 2007).

(27)

menjadi murah karena produsen sudah efisien namun disisilain konsumen bisa dirugikan karena harus membeli dengan harga mahal (Hidayat, 2007)

Integrasi vertikal juga dapat menciptakan peningkatan pertumbuhan dan meningkatkan laba bersih perusahaan, dengan melakukan integrasi vertikal perusahaan bisa memperkecil biaya produksi, biaya transaksi, biaya transprotasi/pengangkutan sehingga terciptanya sebuah efisiensi pada perusahaan. Dengan melakukan integrasi vertikal skala usaha perusahaan cenderung bertambah besar dengan keuntungan yang besar pula (Church, 1999).

Kerangka Pemikiran

Pengembangan industri berbasis perkebunan dengan lebih menekankan pada integrasi hulu dan hilir mengalami permasalahan yang sering dikatakan dengan integrasi vertikal. Dukungan pasar atau industri hilir perkebunan sangat diperlukan untuk memajukan industri hulu atau produk-produk primer perkebunan. Oleh karena itu digunakan strategi integrasi vertikal untuk meningkatkan keterkaitan antar sektor hulu dan sektor hilir dianggap suatu pilihan strategi yang baik bagi perusahaan, di samping karena tuntutan manajemen modern yang menghendaki tingkat efisiensi yang lebih tinggi.

Perusahaan melakukan integrasi vertikal karena timbulnya hambatan ketidakpastian produksi yang mengakibatkan terhambatnya produksi perusahaan. Oleh sebab itu diperlukan kontinuitas input agar berlangsungnya produksi yang pada akhirnya akan menghasilkan output. Dengan integrasi vertikal perusahaan dapat menjalin kerja sama ataupun membuat sendiri input produksi.

(28)

memenuhi kapasitas produksi, dengan skala usaha yang besar perusahaan cenderung melakukan kerjasama dengan pihak lain yang dapat memenuhi kapasitas produksi perusahaan.

Integrasi vertikal juga menyebabkan orientasi pasar yang lebih luas, melalui integrasi vertikal perusahaan bebas menentukan pasar dari produksi yang dihasilkan, baik itu ekspor maupun domestik. Perusahaan bisa bebas menentukan pasar, orientasi pasar yang dipilih tentunya dengan harga yang paling menguntungkan.

Tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk meningkatkan efisiensi, menjamin persediaan, menghindar dari pengaruh eksternal serta terhindar dari intervensi pemerintah. Seluruh tujuan integrasi vertikal tersebut tentunya agar perusahaan mendapat keuntungan dan perusahaan bisa dikatakan efisien.

Integrasi vertikal yang bertujuan untuk mengefisiensikan perusahaan dan menciptakan keuntungan oleh perusahaan tentunya berdampak pada harga barang yang dihasilkan oleh perusahaan. Apabila perusahaan efisien maka harga produksi yang dihasilkan seharusnya akan menjadi stabil atau bahkan bisa menjadi lebih murah.

(29)

Ket:

= Adanya Hubungan

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Ketidakpastian Produksi

Skala Usaha Orientasi Pasar

Integrasi Vertikal

(30)

III.

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive di Propinsi Sumatera Utara yang merupakan daerah penghasil minyak goreng tertinggi di Indonesia.

Tabel 3.1. Jumlah dan Kapasitas produksi pabrik Minyak Goreng asal kelapa sawit dirinci menurut propinsi

No. Propinsi Jumlah Pabrik

(Unit)

Sumber: Disperindag berbagai sumber disesuaikan, 2008

Metode Pengambilan Sampel

Sampel ditentukan secara purposive yaitu perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara yang memberikan izin untuk dilakukan penelitian. Ternyata dari 15 perusahaan minyak goreng di Sumatera Utara hanya 2 perusahaan yang memberikan izin. Data perusahaan pengolah CPO di Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 3.2

(31)

Tabel 3.2. Data Perusahaan yang mengolah minyak CPO di Sumatera Utara

No. Nama Perusahaan Jenis Industri dan

Komoditi

Kap. Produksi (TON)

Keterangan

1. PT. Berlian Eka Sakti RBD Olein 123.120 tdk mendapat izin

2. PT. Prima Palm Indah Minyak Goreng Sawit 32.400 Tdk Beroperasi

3. PT. Astra Agro Niaga RBD Olein 101.000 Tdk mendapat izin

4. PT. Jaya Baru Pertama Minyak Goreng Sawit 9.000 Tdk mendapat izin 5. PT. Multi Mas Nabati Minyak Goreng Sawit 450.000 Tdk mendapat izin 6. PT. Mitra Sawit Kumala Minyak Goreng Sawit 35.100 Tdk Beroperasi

7. PT. Sawit Malinda Edible Oil Cooking Oil 14.300 Tdk Beroperasi

8. PT. Singamas Jaya Perdana Minyak Goreng Sawit 70.200 Tdk Beroperasi 9. PT. Bintang Tenera Minyak Goreng dari CPO 10.500 Tdk Beroperasi

10. PT. A* RBD Olein 44.942 Dapat izin

11. PT. Musim Mas Minyak Goreng dari CPO 105.000 Tdk mendapat izin

12. PT. Ivo Mas Tunggal Minyak Goreng dari CPO 117.600 Tdk mendapat izin

13. PT. B* Minyak Goreng dari CPO 14.600 Dapat izin

14. PTPN IV Minyak Goreng Sawit 8.000 Tdk mendapat izin

15. PT. Sumatera Oil Minyak Goreng Sawit 32.433 Tdk Beroperasi

Sumber: Disperindag, 2008

*Perusahaan tidak berkenan dicantumkan nama.

Metode Pengumpulan Data

Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Sebelum digunakan dilakukan uji coba kuisioner untuk meminimalkan kesalahan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data petani kelapa sawit, PKS, dan pabrik minyak goreng.

Data Sekunder

(32)

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini , seluruh identifikasi masalah diuraikan dengan menggunakan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus yang terjadi pada suatu perusahaan(Zuraidah, 2006).

Identifikasi masalah 1, dijelaskan proses atau kegiatan integrasi vertikal apa saja yang dilakukan perusahaan minyak goreng.

Identifikasi masalah 2, diuraikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perusahaan minyak goreng melakukan integrasi vertikal.

Untuk identifikasi masalah 3, dijelaskan bagaimana pengaruh skala usaha terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

Untuk identifikasi masalah 4, dijelaskan bagaimana pengaruh orientasi pasar terhadap keputusan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut :

Defenisi

1. Perusahaan minyak goreng adalah perusahaan yang menghasilkan minyak goreng dari CPO.

2. Integrasi Vertikal adalah merupakan kegiatan yang menghendaki perusahaan melakukan penguasaan distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri. 3. Minyak goreng kelapa sawit adalah minyak goreng yang berasal dari

(33)

4. Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak sawit yang berasal dari pengolahan daging buah kelapa sawit.

5. Harga minyak goreng adalah harga minyak goreng curah yang dijual kepada konsumen minyak goreng.

Batasan Operasional

1. Sampel dalam penelitian ini adalah Perusahaan Minyak Goreng.

(34)

IV. DESKRIPSI PROFIL PERUSAHAAN RBD OLEIN SUMATERA UTARA

Perusahaan RBD Olein A 1. Unit Usaha

PT. A memiliki usaha perkebunan seluas lebih kurang 34.738,38 Ha yang berada di dua propinsi yaitu:

1. Wilayah Propinsi Sumatera Utara terdiri dari: Kebun Mata Pao, Bangun Bandar, Tanah Gambus, Aek Loba, Negeri Lama.

2. Wilayah Propinsi Aceh terdiri dari: Kebun Sei Liput/Medang Ara, Seunagan, Seumanyam dan Lae Butar dan Sungai Liput.

PT. A adalah perusahaan Joint Venture yang bergerak di bidang perkebunan dan sampai saat ini telah mengelola 9 perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera dan Aceh. Komoditi utama perusahaan ini adalah kelapa sawit dan karet, produk yang dihasilkan dari kelapa sawit merupakan hasil produksi yang sifatnya tidak bisa terlalu lama disimpan, karena sifat buah TBS yang mudah rusak dan produksinya tergantung pada alam. Dengan demikian perusahaan selalu berusaha menciptakan sistem penjualan yang efektif dan non spekulatif, agar produksi dapat segera terjual dan diperoleh dana untuk keperluan ekspansi dan investasi.

(35)

Pabrik fraksinasi RBD Olein yang berada di Tanah Gambus tersebut mempunyai kapasitas produksi 320 Ton CPO/hari. Untuk memenuhi kapasitas produksi 320 ton tersebut perusahaan mensupplynya dari 5 PKS yaitu PKS Tanah Gambus, Negeri Lama, Aek Loba, Bangun Bandar dan Mata Pao. Hanya 5 PKS inilah yang menyalurkan hasil CPO ke pabrik fraksinasi untuk diolah menjadi RBD Olein, hal tersebut dikarenakan hasil CPO 5 PKS tersebut sudah dapat

memenuhi kapasitas terpasang pabrik fraksinasi selain itu jarak kelima PKS ini berdekatan lokasinya dengan pabrik fraksinasi RBD Olein, sementara itu ke 4 pabrik PKS lainnya langsung menjual hasil produksi dalam bentuk CPO ke pasar baik lokal maupun eksport.

Tabel 4.1. Nama Lokasi, Produksi kebun dan PKS milik Perusahaan A

No. Nama Kebun Lokasi Luas Lahan

Sumber: Data Primer Perusahaan A 2008

(36)

maka pabrik kelapa sawit Perusahaan A dinyatakan ramah lingkungan. Selain itu Perusahaan A ini juga memperoleh ISO 9001 (mutu produksi) berarti perusahaan sudah memiliki mutu produksi yang sudah berstandart internasional, yakni dengan syarat:

1. Nilai Iodium Value CPO > 53,5

Iodium Value adalah jumlah asam lemak tidak jenuh dalam CPO

2. Kadar Air = 0,10%

3. Kotoran = 0,05%

4. FFA = 2,3%

5. PV (Peroksida Value) = ≥ 2%

6. Dobi (Deodorizing of bleach Index) = >2,5%

Apabila keenam standar itu terpenuhi maka produksi dapat diterima atau dieksport ke pasar internasional. Selain itu OHSAS 18000 juga sudah diperoleh perusahaan ini yaitu standart untuk keselamatan kerja karyawan di lokasi kerja yang beresiko, pengaman untuk pekerja (APAR) termasuk juga dalam hal kesehatan tenaga kerja.

2. Produksi dan Produk

Adapun produksi yang dihasilkan TBS PT. A antara lain CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). Namun pada penelitian ini yang menjadi objek diteliti adalah produk CPO. CPO ini bila diproses di FRF (Fractination and Refining Factory) akan menjadi minyak yang siap pakai. Dari CPO ini dapat dihasilkan produksi turunan yaitu:

1. RBD Olein (Refined Bleached and Deodorized Olein)

(37)

pabrik penyaringan dan biasanya perusahaan bekerja sama dengan perusahaan lain yang menghasilkan produksi minyak goreng bermerek, RBD Olein curah apabila dijual langsung tanpa dilakukan penyaringan. Dilakukan penyaringan berguna agar kadar lemak lebih jernih dan minyak goreng yang dikonsumsi lebih sehat. RBD Olein atau minyak goreng ini biasa digunakan sebagai bahan pembuat makanan rumah tangga dan industri makanan. Adapun produksi RBD olein PT. A dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.1 Per kembangan Produksi RBD Olein PT. A

(38)

Gambar 4.2 Per kembangan Harga CPO Domestik

Sumber: Data Sekunder Diolah (Lampiran 13)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa produksi RBD Olein PT. A setiap tahun berfluktuatif, penurunan drastis umumnya terlihat pada bulan Oktober dan November setiap tahun, hal ini diduga karena naiknya harga CPO domestik dipasar pada bulan tersebut, sehingga PT. A lebih sedikit mengolah CPO menjadi RBD Olein. Demikian juga bulan maret setiap tahunnya produksi RBD Olein meningkat, diduga karena harga CPO domestik mengalami penurunan dan perusahaan cenderung memproduksi RBD Olein sehingga produksi RBD Olein meningkat.

2. RBD Stearin (Refined Bleached and Deodorized Stearin)

(39)

Gambar 4.3 Per kembangan Produksi RBD Stearin PT. A

Sumber: Data Primer Diolah (Lampiran 1)

Berdasarkan data produksi RBD Stearin diatas dapat dilihat bahwa fluktuasi produksi RBD Stearin setiap tahun berfluktuatif, penurunan terjadi pada Oktober dan November setiap tahunnya, hal ini karena kenaikan harga CPO domestik, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.2, akibat naiknya harga CPO domestik produksi RBD Stearinpun menurun.

3. Fatty Acid

(40)

Gambar 4.4 Produksi Fatty Acid PT. A

Sumber: Data Primer Diolah (Lampiran 1)

(41)

3. Integrasi Vertikal

Dalam memenuhi setiap kapasitas pabrik perusahan membutuhkan pasokan Tandan Buah Segar (TBS) untuk diolah oleh pabrik kelapa sawit, pasokan TBS harus sesuai dengan kapasitas pabrik PKS. Perusahaan kapasitas keempat kebun yang menjadi pemasok bahan baku pembuat CPO dan RBD Olein dalam satu kali produksi adalah:

Tabel 4.2 Data Kapasitas Produksi TBS dan PKS Perusahaan A No. Nama Kebun Luas Lahan

Sumber: Data Primer Perusahaan A

Dari tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa kapasitas produksi TBS tidak memenuhi kapasitas produksi PKS, oleh karena itu perusahaan menjalin hubungan kerja sama dengan memiliki kebun Plasma (Pihak III), kebun yang menjalin hubungan mitra diantaranya adalah Mata Pao, Bangun Bandar, Tanah Gambus, Aek Loba dan Negeri Lama.

(42)

Hubungan kerja sama dilakukan perusahaan dengan sistem kontrak berdasarkan waktu, Harga pembelian TBS dari petani biasanya sudah disepakati pada kontrak, Harga yang ditentukan merupakan harga pasar pada saat kontrak dibuat, dan harga tersebut akan selalu tetap hingga berakhirnya kontrak. Perusahaan Berhubungan dengan kebun plasma hanya dalam hal pembelian TBS saja, perusahaan tidak membantu petani dalam hal penyediaan sarana produksi dan hal lainnya. Kerja sama sifatnya kontrak ini juga melihat kualitas atau mutu atau proses sortasi dari perusahaan, apabila mutu TBS rendah Misalny: Buah yang belum masak, randemen yang dibawah 20%, apabila terdapat kondisi TBS tersebur maka pihak perusahaan akan menolak TBS dari petani.

Dalam meningkatkan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Perusahaan A juga mengolah CPO menjadi RBD Olein. Produksi Keempat PKS menyupply pabrik fraksinasi RBD Olein yang mempunyai kapasitas 320Ton CPO/hari. Perusahaan juga menerapkan strategi produksi RBD Olein dimana apabila harga CPO di pasar tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam produk CPO, sebaliknya apabila harga CPO di pasar rendah maka Perusahaan Akan mengolah sebagian dari jumlah CPO untuk dijadikan RBD Olein.

(43)

Dari ketentuan tersebut yang paling dipengaruhi oleh kondisi CPO adalah asam lemak bebas. Apabila nilai standart tersebut tidak tercapai maka mutu RBD Olein akan rendah dan produksi Fatty acid dan RBD Stearin akan meningkat.

Dalam hal pengoperasian atau sering disebut Proses Press Filter juga harus diperhatikan. Proses press Filter adalah salah satu proses pengolahan CPO menjadi RBD Olein. Nilai RBD Olein yang dihasilkan sangat bergantung pada alat Press Filter ini, apabila alat pengolah ini rusak atau salah dalam pengoperasian maka nilai RBD olein yang dihasilkan bisa berkurang dan biasanya Nilai RBD Stearin menjadi bertambah. Namun hingga saat ini Perusahaan A selalu memenuhi kapasitas pabrik.

(44)

Perusahaan RBD Olein B 1. Unit Usaha

PT. B adalah perusahaan yang bergerak dalam pengolahan minyak kelapa sawit. Perusahaan B yang bergerak di bidang perkebunan dan hingga saat ini mengelola satu unit kebun yang berlokasi di Desa Pulau Maria, Dusun IV, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Asahan dan memiliki luas lahan kelapa sawit sebesar 50 Ha.

Komoditi utama Perusahaan B adalah kelapa sawit. Perusahaan ini tergolong perusahaan baru yang masih berskala usaha kecil. Perusahaan B memiliki satu kebun kelapa sawit, satu pabrik kelapa sawit serta satu pabrik Fraksinasi RBD Olein.

PT. B selain menpunyai kebun juga memiliki satu buah PKS, berkapasitas 20 Ton/hari, Besar kecilnya kapasitas yang terpakai tergantung pada masa Trek kelapa sawit. Masa Trek maksudnya adalah masa pada saat penurunan produksi kelapa sawit. Apabila terjadi masa trek maka perusahaan akan lebih cenderung membeli TBS kepada petani guna memenuhi kapasitas PKS.

Pabrik faksinasi pengolah CPO menjadi RBD Olein terletak berdekatan dengan kebun dan PKS berada dalam satu kawasan, pabrik fraksinasi memiliki kapasitas 30 Ton/Hari. Besar kecilnya produksi juga bergantung pada masa track kebun.

(45)

yang dihasilkan masih dalam bentuk curah atau tidak bermerek. Perusahaan menjual hasil produksi RBD Olein kepada pedagang besar, kecil juga kepada konsumen disekitar perusahaan. Selain itu perusahaan juga menjalin kerja sama dengan perusahaan pengolah RBD Olein bermerek.

2. Produksi dan Produk

Adapun produksi yang dihasilkan PT. B dari hasil olahan TBS menjadi CPO, CPO bila diproses di FRF (Fractination and Refining Factory) akan menjadi RBD Olein yang siap pakai. Perusahaan B ini dapat menghasilkan produksi turunan yaitu:

1. RBD Olein (Refined Bleached and Deodorized Olein)

(46)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa produksi RBD Olein setiap tahunnya berfluktuatif, namun fluktuasi tidak terlalu besar, namun dapat dilihat bahwa produksi pada tahun 2008 berada diatas produksi pada tahun sebelumnya 2006 dan 2007, hal tersebut dikarenakan tingginya produksi TBS dan tingginya permintaan pada RBD Olein pada tahun 2008. Selain itu produksi tahun 2007 berada di bawah tahun 2006 dan 2008, hal tersebut diduga karena penurunan mutu TBS sehingga produksi CPO menurun dikarenakan kualitas bahan baku yang rendah.

2. RBD Stearin (Refined Bleached and Deodorized Stearin)

Hasil dari olahan CPO juga menghasilkan RBD Stearin, RBD Stearin digunakan sebagai bahan baku pembuat sabun, kosmetik dan lain-lain yang kualitasnya di bawah RBD Olein. RBD Stearin merupakan bahan baku pembuat sabun oleh karena itu semua hasil produksi RBD Stearin dijual lokal pada perusahaan sabun sendiri milik PT. B. Adapun produksi RBD Stearin dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

(47)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan pengamatan selama 3 tahun hasil produksi RBD Stearin pada awal setiap tahunnya cenderung stabil, namun pada oktober 2008 mengalami penurunan. Hal ini diduga karena nilai RBD Olein pada bulan oktober mengalami kenaikan sehingga nilai RBD Stearin mengalami penurunan, nilai RBD Stearin mengalami penurunan diduga karena nilai asam lemak bebas tinggi sehingga kandungan lemak tak jenuh CPO semakin rendah, jadi pada saat pengolahan nilai RBD Olein semakin tinggi.

3. Fatty Acid

(48)

Gambar 4.7 Per kembangan Produksi Fatty Acid PT. B

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 2

Berdasarkan data diatas produksi Fatty acid setiap tahunnya berfluktuatif, namun pada akhir tahun mengalami kenaikan bersamaan setiap tahunnya, pada agustus 2008 mengalami penurunan, hal ini diduga karena nilai produksi asam lemak bebas pada saat memproduksi RBD Olein menurun karena kualitas/mutu TBS dan CPO yang tinggi atau kandungan lemak jenuh pada CPO meningkat.

3. Integrasi Vertikal

Perusahaan B selain memiliki kebun kelapa sawit sendiri, perusahaan dalam memenuhi kapasitas PKS juga melakukan pembelian kepada pihak ketiga (Petani), kerja sama yang dilakukan dengan sistem kontrak. Perusahaan B menerima TBS baik dari Petani maupun dari pedagang pengumpul dengan harga beli sesuai dengan harga pasar dan mutu TBS.

Tabel 4.5 Kapasitas Produksi TBS dan Kapasitas PKS

(49)

Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa kebun PT. B belum dapat memenuhi kapasitas PKS, luas lahan yang sedikit serta produksi TBS yang kecil sebesar 3 Ton/hari membuat perusahaan harus menjalin kerja sama dengan pihak III untuk dapat memenuhi kapasitas PKS. Kerja sama dengan pihak III dilakukan dengan sistem kontrak selama setahun. Harga kontrak pembelian TBS disesuaikan dengan harga pasar pada saat kontrak dilakukan. Harga selalu tetap selama kontrak berlangsung.

Selain mengolah TBS menjadi CPO, PT. B juga mengolah CPO menjadi RBD Olein. Seluruh hasil produksi CPO diolah menjadi RBD Olein. Seluurh produksi CPO 20 Ton/hari digunakan untuk memenuhi kapasitas pabrik RBD Olein sebesar 30 Ton/hari. Integrasi vertikal yang diterapkan Perusahaan B dalam penjualan CPO menggunakan Harga Pokok Produksi (HPP) kepada Pabrik Fraksinasi RBD Olein, Perusahaan B mempunyai PKS sendiri dan menghasilkan CPO yang hanya diolah menjadi RBD Olein saja, atau dengan kata lain perusahaan tidak melakukan penjualan CPO.

(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses atau Kegiatan Integrasi Vertikal

1. Perusahaan A

Kegiatan integrasi vertikal perusahaan A mencakup kegiatan pembelian dan penjualan.

a. Kegiatan Pembelian

(51)

Gambar 5.1 Persentase Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 3

(52)

Namun demikian agar kelangsungan produksi pada Perusahaan A dapat berjalan, maka perusahaan harus memenuhi setiap kebutuhan pabrik, misalnya dalam memenuhi kapasitas PKS perusahaan tidak bisa mengharapkan hasil produksi TBS dari kebun sendiri saja karena tanaman perkebunan yang dipengaruhi oleh cuaca dan iklim serta kebun yang harus melakukan Replanting. Perusahaan harus bekerja sama dengan petani dalam memenuhi kapasitas PKS.

b. Kegiatan Penjualan

1. Penjualan CPO

Perusahaan A melakukan penjualan dalam bentuk CPO hanya untuk PKS Sungai Liput, Seunagan, Seumanayam dan Lae Butar. Faktor jauhnya jarak ke pabrik fraksinasi dan sudah terpenuhinya kapasitas produksi pabrik fraksinasi yang membuat keempat PKS tersebut menjual produksinya dalam bentuk CPO. Keempat PKS yang berada di aceh tersebut langsung menjual CPO kepada retailer lokal untuk penjualan domestic dan retailer ekspor untuk penjualan internasional.

(53)

perusahaan tidak memberikan informasi mengenai jumlah penjualan lokal dan ekspot CPO.

Dalam penjualan CPO baik lokal maupun internasional perusahaan tidak menjalin kontrak, kesepakatan harga dilakukan pada saat transaksi, harga yang digunakan sesuai dengan harga lokal pada saat pernjualan lokal dan harga internasional pada saat penjualan ekspor.

Sementara itu, PKS lainnya yang berintegrasi khususnya yang berdekatan dengan pabrik fraksinasi seperti PKS Tanah Gambus, Negeri Lama, Aek Loba, Bangun Bandar dan Mata Pao langsung mengolah seluruh CPOnya menjadi RBD Olein. Namun pada kondisi tertentu perusahaan bisa memutuskan untuk melakukan penjualan dalam bentuk CPO, bukan dalam bentuk RBD Olein. Pada saat harga CPO internasional naik perusahaan cenderung menjual seluruh produksi CPO dari setiap kebun ke pasar internasional (ekspor CPO). Hal ini dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini:

Gambar 5.2 Perbandingan jumlah CPO diolah dan jumlah produksi RBD Olein Perusahaan A

(54)

Gambar 5.3 Perkembangan harga CPO Internasional

Sumber: Data Sekunder Lampiran 14

Dari gambar 5.2 dapat dijelaskan bahwa setiap tahunnya CPO yang diolah berfluktuatif, pada bulan Juni 2008 jumlah CPO yang diolah menurun diikuti dengan jumlah produksi RBD Olein yang menurun pada bulan juli 2008. Diduga hal tersebut dikarenakan pada bulan tersebut terjadi kenaikan harga CPO internasional, sehingga perusahaan memutuskan untuk lebih sedikit mengaolah CPO menjadi RBD Olein.

Selain itu pada bulan Maret 2007 jumlah CPO yang diolah meningkat diikuti dengan jumlah RBD Olein yang meningkat, diduga hal tersebut dikarenakan harga CPO di pasar internasinal mengalami penurunan sehingga perusahaan memilih untuk memproduksi RBD Olein.

2. Penjualan RBD Olein

(55)

adapun perusahaan A melakukan kerja sama penjualan RBD Olein kepada PT. Musim Mas dan PT. Multi Mas Nabati Asahan.

Selain melakukan penjualan lokal perusahaan A juga melakukan penjualan ekspor, perusahaan langsung menjual RBD Olein yang akan diekspor kepada retailer tank installation Belawan. Penjualan kepada retailer juga disesuaikan dengan harga dan mutu RBD Olein, untuk data jumlah penjualan ekspor dan lokal RBD Olein dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 5.4 Jumlah Penjualan Eksport dan Lokal RBD Olein PT. A

Sumber: Data Primer Olahan Lampiran 4

(56)

hal tersebut dikarenakan harga pasar ekspor lebih tinggi dibanding dengan harga jual lokal.

Gambar 5.5 Perbandingan Harga Lokal RBD Olein dan Harga Ekspor RBD Olein

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran

2. Perusahaan B

Proses atau kegiatan integrasi Vertikal Perusahaan B mencakup kegiatan pembelian dan penjualan.

a. Kegiatan Pembelian

(57)

hasil TBSnya kepada pihak lain, pihak III hanya dapat menjual TBS kepada perusahaan B. TBS yang berkualitas baik yang akan diterima oleh perusahaan.

Perusahaan B hanya memiliki 1 unit kebun seluas 50 Ha. Perusahaan B sangat bergantung kepada TBS pihak III hal tersebut dikarenakan hasil produksi TBS kebun milik PT. B tidak bisa memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit. Oleh karena itu perusahaan B membutuhkan TBS dari pihak ketiga untuk memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit (PKS). Adapun rata-rata pembelian TBS pihak III oleh perusahaan B dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5.6 Rata-Rata Komposisi Pembelian TBS Kebun Sendiri dan Pihak III PT. B

(58)

Dari hasil data rata-rata komposisi dapat dikatakan bahwa sepenuhnya kebutuhan TBS perusahaan bergantung pada TBS Pihak III. Perusahaan B sangat membutuhkan petani plasma hingga 90%, hanya 10% persen saja produksi dari kebun sendiri. Untuk memenuhi kapasitas pabrik kelapa sawit perusahaan menjalin kerja sama dengan petani dengan masa kontrak selama 1 tahun. Harga TBS ditentukan pada awal kontrak dan disetujui oleh kedua belah pihak. Harga TBS tetap selama masa kontrak berlangsung. harga TBS disesuaikan dengan harga pasar, perusahaan bekerja sama hanya dalam hal pembelian TBS saja, perusahaan tidak membantu petani dalam hal penyediaan sarana produksi, kualitas TBS yang ditawarkan petani harus sesuai dengan standar yang ditetapkan Perusahaan B, perusahaan menerima TBS dari pihak III apabila buah dalam keadaan matang atau tidak mentah, rendemen ≥ 19%. Apabila tidak sesuai maka TBS akan ditolak oleh perusahaan B.

b. Kegiatan Penjualan

1. Penjualan RBD Olein

Perusahaan B hanya memiliki satu PKS dan seluruh produksi PKS diolah menjadi RBD olein oleh karena itu kegiatan penjualan yang dilakukan oleh PT. B hanya kegiatan penjualan RBD Olein. Adapun data penjualan RBD Olein PT. B dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1 Volume Penjualan RBD Olein PT. B ke Pasar Lokal

(59)

Juni 1230 875 1350

Sumber: Data Primer PT. B

Dari data diatas setelah diamati selama 3 tahun terakhir dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2007 merupakan penurunan produksi RBD Olein, hal ini disebabkan karena pada tahun 2007 terjadi masa trek dimana masa turunnya produksi TBS kebun perusahaan B, sehingga perusahaan B harus membeli TBS dari pihak III yang mutunya lebih rendah dari pada kebun sendiri, mutu yang rendah dari TBS mengakibatkan persentase produksi RBD Olein semakin kecil.

Selain itu juga jika dilihat jumlah produksi RBD Olein pada bulan Ramadan setiap tahunnya juga mengalami pergerakan, pada tahun 2006 lebaran terjadi pada bulan November sehingga terjadi kenaikan pada bulan tersebut sebesar 1510 Ton hingga pada awal tahun 2007 pada hari besar Natal mencapai titik tertinggi produksi RBD Olein sebesar 1230 Ton, hal ini dikarenakan jumlah permintaan RBD Olein pada saat mengalami peningkatan sehingga perusahaan melakukan peningkatan produksi.

Perusahaan B menjual RBD Olein dalam bentuk curah, perusahaan belum bisa menjual produk yang bermerek dikarenakan skala perusahaan yang kecil. RBD Olein dijual langsung kepada retailer atau pedagang pengumpul minyak goreng curah untuk dijual ke pedagang besar dan konsumen.

(60)

PT. Musim Mas perusahaan tinggal menghubungi perusahaan pembeli maka perusahaan pembeli akan datang dan transaksi dilakukan, apabila sudah ada kesepakatan harga maka kerja sama dilakukan. RBD Olein yang diterima PT. Musim Mas akan diproses kembali dengan melakukan penyaringan agar tercipta minyak goreng bermerek.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Integrasi Vertikal

Perusahaan A

1. Kegiatan Pembelian

Faktor-fator yang mempengaruhi integrasi vertikal pada kegiatan pembelian adalah:

1. Mutu Produksi

(61)

• Rendemen CPO Tinggi (sekitar > 19 – 24 %)

• Buah Matang

Gambar 5.7 Perbedaan Rendemen TBS menjadi CPO antara Pihak III dan Kebun sendiri PT. A

Dari Gambar 5.7 dapat dijelaskan bahwa nilai rendemen pihak III lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen kebun sendiri milik PT. A. Rata-rata rendemen pihak ke III berkisar antara 19-20% sementara TBS PT. A menghasilkan rendemen berkisar antara 23-24%. Rendahnya rendemen pihak ketiga disebabkan karena kurangnya perhatian petani terhadap tehnik budidaya seperti kurangnya perawatan dengan memangkas pelepah kering kelapa sawit, kurangnya pengetahuan petani mengenai masalah tehnik penyembuhan penyakit pada tanaman kelapa sawit, selain itu juga akibat pengaruh musim yang tidak terkendali, pengaruh musim juga bukan hanya dialami oleh kebun plasma namun juga bisa dialami kebun sendiri.

(62)

rendahnya rendemen CPO ke RBD Olein, akibat yang ditimbulkan kandungan asam lemak bebas akan semakin tinggi, asam lemak bebas semakin tinggi akan mengakibatkan rendahnya produksi CPO dan RBD Olein, sebaliknya apabila asam lemak bebas rendah maka produksi CPO dan RBD Olein akan bertambah, penyebab tingginya asam lemak bebas diakibatkan mutu TBS yang diolah menjadi CPO.

Apabila mutu TBS rendah maka persen nilai RBD Olein pun akan semakin rendah dan nilai RBD stearin dan Fatty Acid akan semakin tinggi. Produksi RBD Olein pun akan menurun. Namun karena jaminan pasokan PKS yang harus terpenuhi maka perusahaan tetap membeli TBS dari Pihak III meskipun rendemen yang dihasilkan berbeda dengan rendemen TBS kebun sendiri.

2. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga mempengaruhi kegiatan pembelian, Misalnya Pembelian TBS kepada pihak III, perusahaan melakukan integrasi vertikal kepada pihak III dengan melakukan kerja sama kontrak. Pembelian kepada pihak III tidak terus berlangsung, hanya saja jumlah pembelian bergantung kepada produksi TBS kebun sendiri. Adapun fluktuasi produksi TBS kebun sendiri dapat dilihat pada gambar berikut ini

(63)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 3

Dari Gambar 5.8 Dapat dijelaskan bahwa rata-rata pembelian TBS PT.A kepada Pihak III sebesar 40%. Persentase ini berubah terus setiap bulannya. Pada umumnya PT. A masih memerlukan Pihak III dalam memenuhi kebutuhan PKSnya. Persentase pembelian ini bisa mencapai 50% pada awal tahun 2007 hal tersebut sering diakibatkan adanya masa trak atau masa dimana terjadi penurunan produksi kelapa sawit. Masa trek sering disebut masa dimana tanaman tidak bisa menghasilkan buah. Disaat kondisi seperti inilah perusahaan melakukan integrasi dengan Pihak III untuk tetap memenuhi kapasitas PKS.

Pada bulan Maret dan Oktober 2008 merupakan produksi TBS tertinggi tanaman kelapa sawit perusahaan A. hal itu dapat terlihat dari gambar 5.8, apabila produksi meningkat maka pembelian TBS kepada pihak III semakin berkurang. Sebaliknya terjadi pada akhir 2007 produksi kebun sendiri menurun sehingga pembelian TBS kepada pihak III semakin meningkat.

(64)

bisa disebabkan masa banjir buah dimana produksi TBS mengalami peningkatan secara besar-besaran. Pada masa banjir buah TBS biasanya lebih sedikit membeli kepada pihak III. Dengan demikian fluktuasi produksi dapat mempengaruhi kegiatan integrasi vertikal, semakin tinggi produksi TBS maka produksi CPO dan RBD Olein semakin baik.

2. Kegiatan Penjualan

1. Fluktuasi Produksi TBS, CPO dan RBD Olein

Fluktuasi produksi juga berpengaruh terhadap kegiatan penjualan. perhatikan Gambar 5.9 berikut:

(65)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 7

Dari gambar 5.9 dapat dijelaskan bahwa fluktuasi produksi CPO Perusahaan A cenderung stabil, hal tersebut dikarenakan terpenuhinya kapasitas PKS setiap kebun. Perusahaan menjalankan integrasi milik sendiri pada kegiatan penjualan CPO ke RBD Olein oleh karena itu perusahaan dapat memperkecil biaya produksi. Biaya yang dipakai perusahaan dalam memproduksi RBD olein adalah harga pokok produksi CPO.

Produksi CPO selalu stabil karena PKS selalu memenuhi kapasitas terpasang pabrik, keputusan perusahaan untuk menjual produk dalam bentuk CPO ataupun RBD Olein tergantung kepada harga CPO di pasar internasional, harga CPO internasional tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam bentuk CPO, sementara apabila harga CPO internasional rendah maka Perusahaan Akan mengolah CPO menjadi RBD Olein.

Dari Gambar 5.9 juga dapat dijelaskan bahwa fluktuasi pruduksi RBD Olein lebih terlihat pergerakan naik dan turun, hal itu bisa terjadi dikarenakan harga CPO Internasional, apabila harga CPO Internasional tinggi maka Perusahaan Akan menjual dalam bentuk CPO akibatnya produksi RBD Olein akan menurun, sebaliknya kondisi naiknya produksi RBD Olein itu dikarenakan harga CPO internasional turun, oleh karena itu perusahaan cenderung mengolah CPO menjadi RBD Olein, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.3.

(66)

rendah maka Perusahaan Akan mengolah CPO menjai RBD Olein dan menjualnya ke pasar domestic. Kondisi inilah yang menjadi salah satu tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal.

2. Fluktuasi Harga CPO dan RBD Olein

Perusahaan A memperhatikan fluktuasi harga baik CPO maupun RBD Olein. Apabila harga CPO di pasar internasional maka Perusahaan Akan melakukan ekspor dalam bentuk CPO, namun apabila harga CPO di pasar rendah maka perusahaan akan mengolah produknya menjadi minyak goreng, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.2, adapun perkembangan harga CPO internasional dan RBD Olein domestik dapat dilihat pada Gambar 5.10 berikut:

Gambar 5.10 Pekembangan Harga CPO internasional dan Harga RBD Olein Domestik

Sum ber: Data Sekunder Diolah Lampiran 8

(67)

Pada kenyataannya apabila harga CPO internasional naik maka harga RBD Olein juga akan mengalami kenaikan.

Perusahaan B

1. Kegiatan Pembelian

Faktor-fator yang mempengaruhi strategi integrasi vertical pada kegiatan pembelian adalah:

1. Mutu Produksi

Dalam pembelian TBS dari kebun Plasma dapat dipengaruhi oleh mutu produksi TBS yang ingin di jual petani, Mutu TBS yang diterima oleh PT. B adalah:

1. Buah Matang

(68)

Gambar 5.11 Rendemen TBS menjadi CPO antara Pihak III dan Kebun sendiri PT. B

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 10

Dari Gambar 5.11 dapat dijelaskan bahwa nilai rendemen pihak III lebih rendah dibandingkan dengan nilai rendemen kebun sendiri milik PT. B. Namun rendemennya tidak berbeda jauh dengan Pihak III, diduga hal ini dikarenakan perusahaan belum mempunyai Riset dan Development untuk melihat perkembangan mutu tanaman di kebun, berbeda dengan PT. A yang sudah memiliki Riset dan Developmen, sehingga rendemen yang dicapai bisa lebih tinggi. Rata-rata rendemen pihak ke III berkisar antara 19-20% sementara TBS Perusahaan B menghasilkan rendemen yang tidak berbeda jauh sekitar 19-21%. Karena rendemen yang tidak jauh berbeda dengan rendemen pihak III perusahaan dan juga karena kebutuhan akan TBS yang besar perusahaan tetap menjalin kerja sama dengan pihak III dalam hal pengadaan TBS.

(69)

kandungan asam lemak bebas akan semakin tinggi, persen nilai RBD Olein pun akan semakin rendah dan nilai RBD stearin akan semakin tinggi. Produksi RBD Olein pun akan menurun. Namun karena jaminan pasokan PKS yang harus terpenuhi maka perusahaan tetap membeli TBS dari Pihak III meskipun rendemen yang dihaslkan berbeda dengan rendemen TBS kebun sendiri.

2. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga mempengaruhi pembelian, produksi TBS perusahaan B hanya bisa memberikan sebesar 1% dari total keseluruhan TBS untuk memenuhi 20 Ton kapasitas terpasang PKS, oleh karena itu perusahaan B lebih mengharapkan produksi dari pihak III. Dengan kata lain untuk memenuhi kapasitas PKS perusahaan harus menjalin kerja sama dengan pihak III. Adapun fluktuasi produksi TBS kebun sendiri dapat dilihat pada gambar berikut ini

Gambar 5.12 Persentase Pembelian TBS kepada Pihak III dan Kebun Sendiri

(70)

Dari Gambar 5.12 Dapat dijelaskan bahwa rata-rata pembelian TBS PT. B kepada Pihak III sebesar 90%. Karena skala kebun yang kecil hanya 50 Ha, oleh karennya besarnya nilai produksi TBS tidak berpengaruh terhadap kapasitas PKS, dengan demikian perusahaan menjalin integrasi vertikal kebelakang melalui kontrak yang dilkukan kepada pihak III. Untuk lebih jelasnya perkembangan pembelian TBS pihak III dan hasil kebun sendiri dari PT. SATU dapat dilihat pada(Lampiran 9)

Jumlah fluktuasi produksi TBS pihak III juga mengalami penurunan apabila produksi TBS kebun sendiri mengalami peningkatan, hal ini bisa disebabkan masa banjir buah dimana produksi TBS mengalami peningkatan secara besar-besaran. Pada masa banjir buah TBS biasanya jumlah pembelian TBS lebih sedikit kepada pihak III. Namun pada Gambar 5.12 dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasokan TBS untuk memnuhi kapasitas PKS PT. B berasal dari pihak III.

2. Kegiatan Penjualan

1. Fluktuasi Produksi

Fluktuasi produksi juga berpengaruh terhadap kegiatan penjualan. perhatikan gambar di bawah ini

(71)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 7

Dari gambar 5.13 dapat dijelaskan bahwa fluktuasi produksi TBS, CPO, dan RBD Olein Perusahaan B berfluktuatifl, fluktuasi yang ditimbulkan dari setiap produksi cenderung sama. hal tersebut dikarenakan terpenuhinya kapasitas PKS hasil integrasi vertikal dengan pihak III. Oleh karena itu produksi CPO pun stabil dan diikuti juga dengan jumlah produksi RBD Olein yang mempunyai pergerakan produksi yang sama dengan CPO, hal tersebut dikarenakan seluruh produksi CPO perusahaan B diolah menjadi RBD Olein. Perusahaan tidak melakukan penjualan CPO baik lokal maupun ekspor.

Perusahaan tidak melakukan penjualan CPO dikarenakan perusahaan hanya menjual produk dalam bentuk RBD Olein atau minyak goreng curah, meskipun harga jual CPO lebih tinggi perusahaan tidak akan menjual produk dalam bentuk CPO. disamping karena skala usaha yang kecil, Perusahaan menjalankan integrasi milik sendiri pada kegiatan penjualan CPO ke RBD Olein oleh karena itu perusahaan dapat memperkecil biaya produksi. Dengan kecilnya biaya produksi perusahaan dapat mendapat keuntung dari penjual RBD Olein.

(72)

Fluktuasi produksi juga dapat dilihat dilihat terjadi peningkatan pada September hingga November 2007, peningkatan produksi dapat terjadi disaat produksi TBS mengalami kenaikan atau sering dikatakan dengan banjir buah, pada masa banjir buah produksi TBS akan meningkat dan randemen CPO cenderung naik dikarenakan pada saat banjir buah TBS dihasilkan adalah TBS yang bermutu baik. Masa banjir buah merupakan masa puncak produksi TBS yang mengakibatkan produksi TBS terjadi secara besar-besaran.

Tujun utama Perusahaan B melakukan integrasi vertikal dikarenakan perusahaan B ingin memproduksi RBD Olein, dan menjual produknya dalam bentuk RBD Olein. Perusahaan tidak melakukan ekspor dikarenakan selain untuk memenuhi kapasitas pabrik fraksinasi RBD Olein juga dikarenakan mutu TBS yang rendah yang disebabkan banyaknya perusahaan membeli TBS kepada pihak III, sehingga randemen yang diperoleh kecil dan mutu CPO pun menurun.

2. Fluktuasi Harga

Perusahaan B tidak terlau memperhatikan fluktuasi harga RBD Olein, hal tersebut dikarenakan pada dasarnya perusahaan memfokuskan produksi pada RDB Olein bukan pada CPO. Meskipun haga CPO tinggi produksi RBD Olein tetap stabil karena perusahaan tetap memenuhi kapasitas pabrik fraksinasi RBD Olein.

(73)

Sumber: Data Primer Diolah Lampiran 12 Sumber: Data Sekunder Diolah Lampiran 12 Pada Gambar 5.14 dapat dijelaskan bahwa perkembangan produksi RBD Olein

PT. B berfluktuatif, pada bulan Maret 2007 terjadi peningkatan produksi RBD Olein, diduga hal tersebut disebabkan oleh naiknya harga RBD Olein domestik sehingga perusahaan meningkatkan produksi RBD Olein.

Pada dasarnya hal tersebut dikarenakan produksi RBD Olein perusahaan tidak bergantung oleh pengaruh harga, namun perusahaan cenderung terus memproduksi RBD Olein dengan jumlah produksi yang sesuai dengan pasokan bahan baku pembuat RBD Olein, perubahan jumlah produksi RBD Olein cenderung diakibatkan oleh jumlah pasokan bahan baku.

Pengaruh Skala Usaha Terhadap Keputusan Integrasi Vertikal

Kegiatan integrasi vertikal dapat dilihat juga terjadi dikarenakan skala usaha perusahaan.

Gambar 5.2 Perbandingan Skala Usaha Perusahaan A dan Perusahaan B

No Keterangan Perusahaan A Perusahaan B

1 Luas Lahan Kelapa Sawit 34.738,38 Ha 50 Ha

2 Produksi TBS 217 Ton/hari 3 Ton/hari

3 Kapasitas Produksi CPO 350 Ton/Hari 20Ton/hari 4 Kapasitas Produksi RBD Olein 320 Ton/Hai 30 Ton/hari Sumber: Data Primer PT. A dabn PT. B

(74)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PT. A membutuhkan lebih banyak kebutuhan TBS, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.1, oleh karena itu untuk memenuhi kapasitas terpasang pabrik Perusahaan A melakukan integrasi vertikal, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perusahaan menjalankan integrasi vertikal juga disebabkan karena persediaan yang tidak stabil. Pada perusahaan perkebunan apabila melakukan integrasi vertikal perusahaan tidak terlalu mengharapkan pasokan bahan baku dari perusahaan lain, dengan menyediakan bahan baku sendiri Misalnya: TBS, maka perusahaan tidak perlu khawatir dengan ancaman kesulitan bahan baku. Dengan demikian pasokan TBS ataupun CPO tetap terpenuhi.

Sementara itu perusahaan B juga memerlukan kebutuhan TBS dikarenakan luas lahan yang kecil serta produksi TBS yang rendah, oleh sebab itu perusahaan lebioh banyak membeli TBS kepada pihak III agar dapat memenuhi kaapsitas PKS dan pabrik fraksinasi RBD Olein. Adapun perbandingan persentase pembelian TBS kedua perusahaan dapat dilihat pada tabel 5.15

Gambar 5.15 Rata-Rata Perbandingan persentase pembelian TBS kebun sendiri dan Pihak III

(75)

Berdasarkan gambar 5.15 dapat dijelaskan bahwa perusahaan B memiliki persentase pembelian TBS kepada pihak III lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan A. hal ini disebabkan skala usaha yang berbeda antara kedua perusahaan. Oleh karenanya perusahaan B lebih banyak melakukan integrasi kepada pihak III dalam pembelian TBS. sementara perusahaan A hanya 40 % membutuhkan TBS dari pihak III.

Tinggi rendahnya pembelian yang dilakukan oleh kedua perusahaan mengakibatkan juga perubahan pada mutu CPO dan RBD Olein, Perusahaan B lebih banyak membeli TBS dari pihak III hingga 90% dari seluruh total produksi TBS. hal tersebut berdampak pada hasil produksi yang berakibat rendahnya kualitas RBD Olein. oleh karenanya perusahaan tidak pernah melakukan eksport RBD Olein karena mutu yang tidak diterima di pasar internasional.

Sementara itu disisi lain perusahaan A lebih sedikit membeli TBS kepada pihak III, hal itu dilakukan untuk tetap menjaga kualitas mutu CPO dan RBD Olein agar bisa melakukan ekspor. Disamping itu skala usaha perusahaan A yang cenderung lebih besar di bandingkan dengan perusahaan B.

Pengaruh Orientasi Pasar Terhadap Keputusan Integrasi Vertikal

(76)

maupun RBD Olein kepada lokal, perusahaan juga menjual produksinya ke pasar ekspor.

Sementara itu perusahaan B yang memiliki skala usaha lebih kecil, memilih untuk menjual hasil produksinya kepada retailer lokal atau kepada perusahaan pengolah RBD Olein bermerek untuk dijadikan minyak goreng bermerek.

Keputusan ekspor perusahaan A juga dikarenakan adanya fluktuasi harga selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.3. Keputusan ekspor juga dikarenakan fluktuasi harga CPO internasional, ketika harga CPO internasional meningkat maka perusahaan cenderung melakukan ekspor ketimbang mengolah produk menjadi TBD Olein. Seperti yang dijelaskan pada gambar di bawah ini, PT. A mencakup pasar internasional (Ekspor) dalam hal penjualan RBD Olein.

Gambar 5.16 Fluktuasi Ekspor RBD Olein PT. A

Sum ber: Data Prim er Diolah Lampiran 4

Gambar

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 3.1.  Jumlah dan Kapasitas produksi pabrik Minyak Goreng asal
Tabel 3.2. Data Perusahaan yang mengolah minyak CPO di Sumatera Utara
Tabel 4.1. Nama Lokasi, Produksi kebun dan PKS milik Perusahaan A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat yang diperoleh dari analisis kadar Stanum (Sn) pada minyak goreng adalah agar dapat mengetahui bahwa minyak goreng yang dipasarkan memenuhi persyaratan kadar

Analisis teknologis dengan metode observasi meliputi kapasitas pemakaian bahan bakar, analisis efisiensi teknis (pengukuran tingkat rendemen) dan analisis mutu

Intensitas cahaya matahari terbaik untuk tanaman pala yaitu intensitas cahaya matahari sedang dengan hasil rendemen atsiri sebanyak 198,2 ml/kg, jarak rata-rata pohon terbaik yaitu

pengulangan sebanyak 3 kali yang kemudian nilainya diambil rata-ratanya. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa pengaruh variasi simpul pipa expansion loops vertikal dengan

Hasil uji kinerja menunjukkan sebagian besar parameter sudah memenuhi standar yang berlaku berdasarkan literatur dari mulai kapasitas aktual, efisiensi, kualitas pengupasan,

Sedangkan variabel-variabel yang dominan dipertimbangkan konsumen dalam membeli minyak goreng pada pasar swalayan di Surakarta untuk tiap-tiap faktor adalah faktor

goreng adalah agar dapat mengetahui bahwa minyak goreng yang dipasarkan. memenuhi persyaratan kadar cemaran logam yang ditetapkan

¾ Galangan III memiliki kapasitas alat pengangkut overhead crane yang terbesar (100 ton) sebanyak dua (2) buah. ¾ Galangan III terletak tepat di bibir pantai Jakarta dimana