• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK MARKET POWER PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT SUMATERA UTARA Diana Chalil Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Zahari Zen ( zzeinindo.net.id zahari.zeingmail.com) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Harapan ABSTRACT - Analisis Dampak Market Po

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS DAMPAK MARKET POWER PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT SUMATERA UTARA Diana Chalil Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Zahari Zen ( zzeinindo.net.id zahari.zeingmail.com) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Harapan ABSTRACT - Analisis Dampak Market Po"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAKMARKET POWERPADA INDUSTRI KELAPA SAWIT SUMATERA UTARA

Diana Chalil

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Zahari Zen

(zzein@indo.net.id/zahari.zein@gmail.com) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Harapan

ABSTRACT

The aim of this study is to analyse the behaviour of palm oil market, particularly cooking oil supply chain, oil palm farmers, crude palm oil (CPO) mill, refineries and cooking oil consumers. Analysis was conducted through the New Empirical Industrial Organization (NEIO) model, employing secondary data in the period of January 2006 to December 2008. Primary data are collected from 60 farmers in Labuhan Batu District and Serdang Bedagai District, interviewing 60 traders and 90 buyers at the tradisional markets in Medan. Survey is also onducted toward 3 CPO mill and 3 refineries.

Estimation results show that in general both CPO mills and refineries behave competitively. However, on the scenario 3 show that both mill and refineries exercise successive market oligopoly power, and of indicating a monopolistic behaviour. Such conditions are likely to be influenced by the Government upon cooking oil price policy, which is to address the public concern to reduce the price of cooking oil instead of improving the market structure of oil palm industries to become a competitive market. The price of cooking oil would much cheaper than of under regulation.

Keywords: market power, NEIO approach, oil palm

LATAR BELAKANG

Stabilisasi harga minyak goreng merupakan masalah lama yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah ini banyak dibicarakan oleh kalangan ekonom maupun Pemerintah karena minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai nilai strategis. Sebagai produk strategis, masalah yang timbul akibat kenaikan harga minyak goreng tidak hanya terbatas pada isu ekonomi, tetapi juga dapat merambat ke masalah sosial dan politik (Susila 2005).

Dengan peningkatan harga minyak goreng yang cukup tajam dan konstan dalam satu tahun terakhir (mulai dari bulan Mei 2007, peran Pemerintah untuk pengendalian harga menjadi sangat dibutuhkan. Berbagai kebijakan dan intervensi telah dilakukan Pemerintah sejak tahun 1970an (Larson 1996). Salah satunya adalah kebijakan Domestic Market Obligation, yang mewajibkan produsen CPO (yang merupakan bahan baku utama pembuatan minyak goreng) dari

perusahaan perkebunan negara dan swasta untuk mendistribusikan sebagian dari outputnya ke pasar domestik dengan harga yang relatif murah. Sayangnya, program stabilisasi harga tersebut pada akhirnya gagal (Drajat, 2007). Kelihatannya hal tersebut terjadi karena Pemerintah tidak mempunyai cukup informasi yang dibutuhkan.

(2)

menetapkan intervensi pasar yang lebih optimal, namun tidak menimbulkan perilaku monopoli.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitan secara umum adalah mengetahui struktur pasar pada industri kelapa sawit di Indonesia. Secara spesifik, tujuannya adalah untuk (1) Menganalisis perilaku pasar TBS, CPO dan minyak goreng menggunakan model market power index, baik oligopoly power,oligopsony power,successive oligopoly power dan successive oligopsony power dan (2) Menganalisis dampak perilaku pasar pada kesejahteraan petani perkebunan rakyat dan konsumen minyak goreng melalui perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen. Hasil análisis diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan bagi

stakeholders.

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Salah satu karakteristik utama dalam pasar persaingan adalah baik penjual maupun pembeli bertindak sebagai penerima harga (price taker). Dalam pasar yang bersaing tidak ada penjual atau pembeli yang mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Harga pasar tidak ditentukan oleh keputusan sebuah atau sekelompok penjual atau pembeli, melainkan terbentuk dari keseimbangan seluruh supply

dan demand. Penjual akan menjual outputnya dengan harga yang sama dengan biaya marjinalnya, sedangkan pembeli akan membeli barang dengan harga yang sama denganbenefit

marjinalnya. Dengan demikian umumnya pasar persaingan mempunyai harga efisien. Sebaliknya, dalam pasar yang tidak bersaing penjual atau pembeli mempunyai market power, di mana penjual dapat menjual outputnya dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan biaya marjinalnya atau pembeli akan membeli dengan harga yang lebih rendah daripada benefit marjinalnya.

Khusus untuk hasil pertanian, isu market power telah banyak dibicarakan di kalangan ekonom, mulai dari industri hulu sampai hilir (Sexton dan Zhang, 2001). Pada industri hulu (pasar bahan mentah) monopolyatauoligopoly power berasal dari karakteristik pabrik

pengolahan yang umumnya sangat spesifik, di mana bahan mentah yang digunakan sama sekali tidak dapat disubstitusikan dengan bahan mentah yang lain. Akibatnya, demand

menjadi sangat inelastis, sehingga penjual dapat meningkatkan harga di atas biaya marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak permintaan. Monopsony atau oligopsony power dapat berasal karakteristik hasil produk pertanian yang bersifat bulky sehingga biaya transportasi menjadi mahal. Bahan mentah tersebut juga perishable (mudah rusak), sehingga petani terpaksa menjual hasil panennya hanya ke pengolah yang letaknya berdekatan dengan usahataninya. Di samping itu, untuk beberapa komoditi pertanian, petani berkonsentrasi hanya pada 1 jenis produk akibat tingginya sunk costs yang menjadi exit barriers bagi petani tersebut. Akibatnya, supply menjadi sangat inelastis, sehingga pembeli dapat menurunkan harga di bawah benefit marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak penawaran.

Pada industri kelapa sawit terdapat indikasi adanya ketiga faktor tersebut diatas, baik karakter pabrik pengolahan yang spesifik, sifat produk yang bulky danperishable, serta tingginya sunk costs. Pertama adalah walaupun minyak goreng kelapa merupakan substitusi minyak goreng kelapa sawit, dengan desain PKS yang sedemikian rupa, penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng tidak dapat disubstitusi oleh Coconut Crude Oil. Kedua, TBS sebagai bahan baku CPO sangat bulky dan harus diolah dalam waktu 24 jam agar kualitas CPO yang dihasilkan tetap terjaga. Ketiga, besarnyasunk costsdalam industri kelapa sawit dapat terlihat dari kebutuhan dana investasi untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Di samping itu, kuatnya integrasi vertikal di antara PKS dan pabrik minyak goreng memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk mengatur distribusi produksinya. Sedangkan petani-petani kelapa sawit tidak leluasa mengatur distribusi produknya. Dengan pangsa pasar yang cukup signifikan, kemampuan mengatur distribusi produksi tersebut dapat memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk mempengaruhi harga dan mempraktekkan

(3)

tetap tinggi dan stabilisasi harga sukar untuk dicapai. Lebih jauh lagi, tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun.

Penentuan Lokasi dan Penentuan Sampel Daerah penelitian ditentukan secara

purposive, yaitu Medan sebagai pusat pemasaran minyak goreng di Sumatera Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu serta Kabupaten Serdang Bedagai sebagai sentra perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Sampel ditentukan dengan dua cara. Untuk petani kelapa sawit penjual dan pembeli minyak goreng; sampel ditentukan secara random dengan rincian sebagai berikut : interview terhadap 60 petani kelapa sawit, 60 penjual minyak goreng dan 90 pembeli minyak goreng. Untuk sampel PKS dan pabrik minyak goreng, sampel juga ditentukan secara purposive, sesuai dengan izin yang diperoleh . Dari penjajakan terhadap 12 PKS dan 13 pabrik minyak goreng di Sumatera Utara hanya 3 PKS dan 2 pabrik minyak goreng yang menerima peneliti untuk dapat diwawancarai.

Metode Analisis

Analisis pelaku pasar dalam rantai suplai minyak goreng yang mencakup: (1) petani perkebunan rakyat kelapa sawit sebagai produsen TBS dan bertindak sebagai tandan buah segar (TBS), yang diasumsikan selalu bertindak kompetitif; (2) PKS sebagai pengolah TBS menjadi bahan setengah jadi Crude Palm Oil (CPO), yang bertindak sebagai pembeli TBS ke petani dan penjual CPO ke pabrik minyak goreng; (3) Pabrik minyak goreng sebagai pengolah CPO menjadi minyak goreng, yang bertindak sebagai pembeli CPO ke PKS dan penjual minyak goreng ke konsumen akhir; dan (4) Konsumen akhir sebagai pembeli dan pengguna bahan jadi (minyak goreng), yang diasumsikan selalu bertindak kompetitif. Dengan kata lain, hanya PKS dan pabrik minyak goreng yang dianggap

mempunyai kemungkinan untuk

mempraktekkanmarket power.

Market power index diestimasi dengan menggunakan 4 skenario yaitu (1) PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power, (2) Pabrik minyak goreng dapat mempunyai

oligopsonydan oligopoly power, (3) PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai

successive oligopoly power, dan (4) PKS dan

pabrik minyak goreng dapat mempunyai

successive oligopsony power.

Prosesor, baik PKS maupaun pabrik minyak goreng, diasumsikan menggunakan teknologi fixed proportion dalam mengubah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan setengah jadi menjadi bahan jadi,

Q dan q adalah jumlah TBS pada tingkat pasar dan perusahaan, k1 dan k2 merupakan

rendemen CPO dan minyak goreng, superscript TBS, CPO dan mg menyatakan tandan buah segar, crude palm oil dan minyak goreng yang merupakan output yang dihasilkan petani, pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng.

Skenario 1: market power index pabrik minyak goreng diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit pabrik minyak goreng. Jika diketahui fungsi profit pabrik minyak goreng

 

Q k q S

 

Q k q c k q menunjukkan biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng. Turunan pertama dari fungsi profit adalah sebagai berikut: elastisitas harga suplai CPO (oleh PKS),

mg

adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan minyak goreng oleh konsumen yang berperlaku kompetitif, dan

(4)

mg

adalah conjectural elasticities pabrik minyak goreng.

 

0

,

1

mg

θ dan ξmg

 

0

,

1

mengukur oligopsony market power dan

oligopoly market powerpabrik minyak goreng dalam membeli CPO ke PKS dan menjual minyak goreng CPO ke konsumen. Nilai 0 menunjukkan kondisi persaingan sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan kondisi monopsoni atau monopoli.

Skenario 2: market power index PKS diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit PKS. Diketahui fungsi profit PKS

 

Q

k

q

S

 

Q

q

c

q

merupakan inverse suplai bahan baku atau

TBS, dan

o

c

1 menunjukkan biaya marjinal

pengolahan dari TBS menjadi CPO. Turunan pertama dari fungsi profit adalah sebagai berikut:

adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan CPO oleh pabrik minyak goreng yang berperlaku kompetitif, dan

PKS

adalah conjectural elasticities PKS.

 

0

,

1

PKS

θ dan ξPKS

 

0

,

1

mengukur oligopsony market powerdanoligopoly market powerPKS dalam membeli TBS ke petani dan menjual CPO ke pabrik minyak goreng. Nilai 0 menunjukkan kondisi persaingan sempurna,

sedangkan nilai 1 menunjukkan kondisi monopsoni atau monopoli.

Skenario 3: baik PKS maupun produsen minyak goreng yang berada pada rantai produsen minyak goreng mempunyaioligopoly power. Market power index successive oligopoly power diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Dalam hal ini harga minyak goreng ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama, harga CPO ditentukan oleh PKS yang dapat mempunyai oligopoly power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar input. Dengan kata lain, harga output yang merupakan variabel yaitu invers demand dari perusahaan

minyak goreng

D

 

Q

CPO

sedangkan harga

input merupakan konstanta

P

TBS. Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan

sebagai

D

 

Q

k

q

P

q

c

q

dengan turunan pertama dari fungsi profit menjadi

Tahap kedua, harga minyak goreng ditentukan oleh pabrik minyak goreng yang juga dapat mempunyai oligopoly powertetapi berlaku kompetitif dalam pasar input. Dengan kata lain, harga output juga merupakan variabel yaitu invers demand minyak goreng

 

Q

D

mg sedangkan harga input merupakan

konstanta

P

CPO. Dengan demikian, fungsi profit pabrik minyak goreng dapat dinyatakan

sebagai berikut:

turunan pertamanya sebagai berikut:

0

Dengan harga CPO yang telah ditetapkan PKS

(5)

o

menunjukkan inverse demand CPO oleh pabrik minyak goreng, given market power index PKS dan biaya marjinal pengolahan TBS menjadi CPO maka Persamaan 4 dapat ditulis menjadi maupun produsen minyak goreng yang berada pada rantai produsen minyak goreng mempunyai oligopsony power. Market power index successive oligopsony power diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Analog dengan skenario 3, dalam hal ini harga TBS juga ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama, harga CPO ditentukan oleh pabrik minyak goreng yang dapat mempunyai

oligopsony power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar output. Dengan kata lain, harga input yang merupakan variabel yaitu invers

supply dari PKS

S

 

Q

CPO

sedangkan harga

output merupakan konstanta

P

mg. Dengan demikian, fungsi profit pabrik minyak goreng

dapat dinyatakan sebagai

 

Qk q c kq

dengan turunan pertamanya sebagai

Tahap kedua, harga TBS ditentukan oleh PKS yang juga dapat mempunyai oligopsony power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar output. Dengan kata lain, harga input juga merupakan variabel yaitu invers supply TBS

 

Q

S

TBS sedangkan harga output merupakan

konstanta

P

CPO atau

0

inverse supply CPO oleh PKS, given market power index pabrik minyak goreng dan biaya marjinal pengolahan CPO menjadi minyak

goreng. Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan sebagai

dengan turunan pertama dari fungsi profit menjadi:

...(7)

Dengan harga CPOgivenmarket power index pabrik minyak goreng pada Persamaan 4, maka Persamaan 7 dapat dinyatakan sebagai

...(8)

Untuk mendapatkan harga riil harga-harga TBS, CPO dan Minyak Goreng yang barasal dari data time series dilakukan deflasi dengan tahun dasar 2003

HASIL DAN PEMBAHASAN Skenario1

Elastisitas Suplai CPO oleh PKS

Dengan menggunakan data time series bulanan pada periode Januari 2006 – Desember 2008, jumlah suplai CPO (Y dalam kg) diregresikan terhadap harga domestik riil CPO (x1 dalam Rp/kg), harga internasional riil CPO (x2 dalam Rp/kg), harga domestik riil minyak goreng (x3 dalam Rp/kg) dan variabel dummy hari besar tahun baru, bulan Ramadhan/ puasa dan hari raya idul fitri (D) (Lampiran 1). Alasan penggunaan nilai riil untuk semua variabel harga adalah untuk menghindari regresi yang palsu (spurious regression) akibat penggunaan data time series. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:

Ŷ = 7863755,09 + 454609,37 X1– 339747,94

X2

(10.56) (6.70) (-6.65)

R2 = 0.58 Fhit = 22.79 ...

(9)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas dapat menerangkan sekitar 60% variasi jumlah suplai CPO domestik, 40% lainnya diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Harga domestik riil minyak goreng dan hari besar kelihatannya tidak mempengaruhi jumlah suplai domestik, sehingga dengan metode

backward SPSS 15 mengeluarkan kedua

(6)

variabel tersebut dari model. Secara serempak, ketiga variabel tersebut secara nyata mempengaruhi jumlah suplai CPO di pasar domestik. Harga riil CPO, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah suplai CPO. Harga domestik berpengaruh positif sedangkan internasional negatif. Artinya kenaikan harga CPO di pasar domestik meningkatkan insentif produsen CPO untuk meningkatkan suplai CPO nya ke pasar domestik, sedangkan harga kenaikan harga CPO di pasar internasional meningkatkan insentif produsen untuk meningkatkan jumlah ekspor CPO dan mengurangi suplainya ke pasar domestik.

Dengan menggunakan koefisien regresi harga riil CPO di pasar domestik dan harga serta jumlah suplai rata-rata diperoleh nilai elastisitas suplai sebesar 1,8. Artinya, keputusan produsen CPO dalam menentukan jumlah suplai CPO di pasar domestik dapat dikatakan cukup elastis. Hal tersebut dimungkinkan karena produsen CPO telah berintegrasi vertikal dengan perusahaan minyak goreng, baik sebagai milik sendiri atau melalui kerjasama. Dengan kondisi demikian, produsen CPO cukup leluasa memilih pasar tujuannya, apakah ke pasar domestik untuk diolah menjadi minyak goreng atau langsung diekspor dalam bentuk CPO. Namun demikian, perubahan suplainya relatif kecil. Lebih spesifiknya, peningkatan harga riil CPO sekitar Rp 450.000,-/ kg di pasar domestik atau Rp 340.000,-/kg di pasar internasional dapat meningkatkan suplai CPO di pasar domestik sebesar 1 kg/ bulan. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, permintaan CPO di pasar domestik yang relatif tetap karena sebagian besar peruntukannya adalah untuk minyak goreng yang merupakan bahan pokok. Kedua, kapasitas produksi pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan produsen minyak goreng juga relatif tetap. Ketiga, penawaran CPO lebih ditentukan oleh panen yang dihasilkan. Sementara jumlah panen lebih ditentukan oleh umur tanaman.

Elastisitas permintaan minyak goreng Dalam model ini, data diperoleh dari 90 sampel yang mengkonsumsi 2 jenis minyak goreng, curah dan bermerek (Lampiran 13). Karena sebagian besar sampel (sekitar 71%

atau 60 sampel) menggunakan minyak goreng curah, maka dipilih regresi untuk minyak goreng curah. Di samping harga (X1 dalam

Rp/kg), pendapatan (X2 dalam Rp/bulan),

jumlah tanggungan (X3 dalam orang) dan

pendidikan (X4dalam tahun) juga dimasukkan

sebagai variabel bebas dalam fungsi konsumsi yang akan diestimasi.

Sebelum dilakukan estimasi, data dibersihkan dari outlier yang berasal dari data konsumsi dan pendapatan. Dengan metode backward SPSS 15, variabel jumlah tanggungan dikeluarkan dari estimasi akhir. Kemungkinan jumlah tanggungan tidak berpengaruh karena penggunaan minyak goreng dilakukan untuk seluruh keluarga. Jumlah pemakaian yang dibutuhkan umumnya tidak terlalu banyak berbeda untuk keluarga dengan jumlah 2 sampai 7 orang anggota keluarga. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut:

= 12,458–0,001 X1+1,25-06 X2 -0,169 X5

(2,853) (-1,855) (3,249) (-2,218)

R2 = 0,239 Fhit = 5,646

...(10)

Dari hasil estimasi akhir (model ketiga) diperoleh nilai R2 sebesar 0,239. Artinya, sekitar 25% variasi permintaan minyak goreng di pasar domestik dapat diterangkan oleh variasi harga minyak goreng, pendapatan konsumen dan tingkat pendidikan. Pengamatan di lapang dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng di Indonesia relatif meningkat pada saat hari besar seperti bulan puasa, lebaran atau tahun baru. Di samping itu, intervensi Pemerintah yang berkaitan dengan jumlah dan harga minyak goreng, seperti operasi pasar juga dapat mempengaruhi tingkat pembelian masyarakat. Namun demikian, karena data yang digunakan merupakan data cross section, maka penambahan variabel tersebut tidak dapat dilakukan.

(7)

hampir setiap hari oleh keluarga Indonesia, termasuk di Medan, namun dalam jumlah yang relatif tetap. Koefisien variabel pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan hampir tidak berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng. Kecilnya pengaruh tersebut dapat merupakan efek dari pemberian subsidi Pemerintah pada masyarakat miskin. Ditambah dengan sifat minyak goreng sebagai bahan pokok, maka pengaruh pendapatan terhadap konsumsi menjadi sangat kecil. Koefisien variabel pendidikan menunjukkan hubungan yang negatif. Semakn tinggi pendidikan, maka semakin kecil permintaan minyak goreng. Umumnya, alasan utamanya adalah pertimbangan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak informasi yang telah didapatkannya, termasuk mengenai minyak goreng.

Dengan menggunakan koefisien variabel harga (P) sebesar -0.001 serta harga dan jumlah konsumsi rata-rata minyak goreng, yang masing-masing sebesar 5,17 dan 7935 maka diperoleh perkiraan elastisitas sebesar -1,53. Hal tersebut mengindikasikan bahwa permintaan minyak goreng curah cukup elastis. Kemungkinan, hal tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik minyak goreng yang dapat disimpan lama. Dengan demikian, walaupun minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang secara umum hampir setiap hari dikonsumsi, karena dapat disimpan, konsumen dapat mengurangi pembeliannya pada saat harga mahal dan menambah stoknya pada saat harga murah.

Indeks Market Power

Dari data primer diketahui bahwa nilai rendemen TBS (k1) dan CPO (k2)

masing-masing sebesar 21,98% dan 77,95%. Dengan asumsi keseimbangan jangka panjang, biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng didekati dari biaya riil rata-ratanya sebesar Rp0,167/kg, sedangkan harga riil rata-rata CPO dan harga rata-rata-rata-rata minyak goreng masing-masing sebesar Rp36,04,-/kg dan Rp34,41,-/kg. Selanjutnya, dengan menggunakan hasil perhitungan elastisitas penawaran CPO dan elastisitas permintaan minyak goreng yang telah dihitung, diperoleh persamaan 9,38 = -,51ξmg- 19,97θmg

Diketahui bahwa market power index

mempunyai kisaran nilai antara 0 dan 1, sehingga persamaan tersebut tidak dapat

terpenuhi. Hal tersebut dapat diterangkan dari marjin harga riil rata-rata dari CPO ke minyak goreng yang negatif (Rp34,41,- - Rp36,04,-), sementara nilai market power index terendah (nol) tercapai pada saat marjin harga sama dengan nol. Hal tersebut diasumsikan karena dalam jangka panjang, untuk perusahaan yang bertindak rasional, marjin negatif akan membuat perusahaan keluar dari pasar.

Namun demikian, untuk pasar minyak goreng di Indonesia, hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan harga minyak goreng sering diintervensi Pemerintah. Salah satunya adalah dengan pemberian subsidi, yang dapat diberikan secara langsung ke konsumen akhir atau secara tidak langsung ke produsen minyak goreng. Contohnya pada tahun periode 2007-2008 subsidi diberikan kepada pengusaha atau produsen minyak goreng yang melaksanakan operasi pasar untuk masyarakat dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng, baik dalam bentuk Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, Pajak terutang tidak dipungut, atau PPN ditanggung Pemerintah. Dengan demikian, marjin yang negatif belum tentu berarti perusahaan minyak goreng mengalami kerugian dan harus keluar dari pasar, karena pasar tidak bekerja secara kompetitif.

Di sisi lain, dari studi data sekunder, hasil wawancara dan observasi di lapang diperoleh keterangan bahwa pabrik minyak goreng berintegrasi dengan PKS dan/ atau perkebunan kelapa sawit, baik sebagai kebun milik perusahaan yang sama atau kerjasama dengan pihak lain. Dengan integrasi tersebut, pabrik minyak goreng membeli CPO dengan Harga Pokok Produksi (HPP). Dari kedua hal tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perusahaan minyak goreng berlaku kompetitif, baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual.

Skenario 2

Elastisitas Suplai CPO oleh PKS

Dengan menggunakan data time series bulanan dari perusahaan yang mempunyai PKS dan pabrik minyak goreng (vertikal integrasi), jumlah suplai CPO (Y dalam kg) diregresikan terhadap harga domestik riil CPO (x1 dalam Rp/kg), harga internasional riil CPO (x2 dalam Rp/kg), harga domestik riil minyak goreng (x3 dalam Rp/kg) dan variabeldummy

(8)

variabel harga adalah untuk menghindari regresi yang palsu (spurious regression) akibat penggunaan datatime series. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:

Ŷ = 7863755,09 + 454609,37 X1 – 339747,94

X2

(10.56) (6.70) (-6.65)

R2= 0.58 Fhit = 22.79 ...(11)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas dapat menerangkan sekitar 60% variasi jumlah suplai CPO domestik, 40% lainnya diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Harga domestik riil minyak goreng dan hari besar kelihatannya tidak mempengaruhi jumlah suplai domestik, sehingga dengan metode

backward SPSS 15 mengeluarkan kedua variabel tersebut dari model.

Secara serempak, ketiga variabel tersebut secara nyata mempengaruhi jumlah suplai CPO di pasar domestik. Harga riil CPO, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah suplai CPO. Harga domestik berpengaruh positif sedangkan internasional negatif. Artinya kenaikan harga CPO di pasar domestik meningkatkan insentif produsen CPO untuk meningkatkan suplai CPO nya ke pasar domestik, sedangkan harga kenaikan harga CPO di pasar internasional meningkatkan insentif produsen untuk meningkatkan jumlah ekspor CPO dan mengurangi suplainya ke pasar domestik.

Dengan menggunakan koefisien regresi harga riil CPO di pasar domestik dan harga serta jumlah suplai rata-rata diperoleh nilai elastisitas suplai sebesar 1,8. Artinya, keputusan produsen CPO dalam menentukan jumlah suplai CPO di pasar domestik dapat dikatakan cukup elastis. Hal tersebut dimungkinkan karena produsen CPO telah berintegrasi vertikal dengan perusahaan minyak goreng, baik sebagai milik sendiri atau melalui kerjasama. Dengan kondisi demikian, produsen CPO cukup leluasa memilih pasar tujuannya, apakah ke pasar domestik untuk diolah menjadi minyak goreng atau langsung diekspor dalam bentuk CPO. Namun demikian, perubahan suplainya relatif kecil. Lebih spesifiknya, peningkatan harga riil CPO sekitar Rp 450.000,-/ kg di pasar domestik atau Rp 340.000,-/kg di pasar internasional dapat meningkatkan suplai CPO di pasar domestik sebesar 1 kg/ bulan. Hal tersebut

kemungkinan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, permintaan CPO di pasar domestik yang relatif tetap karena sebagian besar peruntukannya adalah untuk minyak goreng yang merupakan bahan pokok. Kedua, kapasitas produksi pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan produsen minyak goreng juga relatif tetap. Ketiga, penawaran CPO lebih ditentukan oleh panen yang dihasilkan. Sementara jumlah panen lebih ditentukan oleh umur tanaman.

Elastisitas permintaan minyak goreng Dalam model ini, data diperoleh dari 90 sampel yang mengkonsumsi 2 jenis minyak goreng, curah dan bermerek (Lampiran 2). Karena sebagian besar sampel (sekitar 71% atau 60 sampel) menggunakan minyak goreng curah, maka dipilih regresi untuk minyak goreng curah. Di samping harga (X1 dalam

Rp/kg), pendapatan (X2 dalam Rp/bulan),

jumlah tanggungan (X3 dalam orang) dan

pendidikan (X4dalam tahun) juga dimasukkan

sebagai variabel bebas dalam fungsi konsumsi yang akan diestimasi. Sebelum dilakukan estimasi, data dibersihkan dari outlier yang berasal dari data konsumsi dan pendapatan. Dengan metode backward SPSS 15, variabel jumlah tanggungan dikeluarkan dari estimasi akhir. Kemungkinan jumlah tanggungan tidak berpengaruh karena penggunaan minyak goreng dilakukan untuk seluruh keluarga. Jumlah pemakaian yang dibutuhkan umumnya tidak terlalu banyak berbeda untuk keluarga dengan jumlah 2 sampai 7 orang anggota keluarga. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut:

Ŷ= 12,458–0,001 X1+1,25-06 X2 -0,169 X5

(2,853) (-1,855) (3,249) (-2,218)

R2= 0,239 Fhit = 5,646 ...(12)

(9)

jumlah dan harga minyak goreng, seperti operasi pasar juga dapat mempengaruhi tingkat pembelian masyarakat. Namun demikian, karena data yang digunakan merupakan data cross section, maka penambahan variabel tersebut tidak dapat dilakukan.

Dari hasil estimasi terlihat bahwa walaupun harga dan pendapatan konsumen berpengaruh secara signifikan, namun pengaruhnya tidak besar. Koefisien variabel harga menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp1000,- akan meningkatnya konsumsi minyak goreng sebanyak 1 kg/keluarga/ bulan. Dengan kata lain, sebagai bahan pokok, minyak goreng dikonsumsi hampir setiap hari oleh keluarga Indonesia, termasuk di Medan, namun dalam jumlah yang relatif tetap. Koefisien variabel pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan hampir tidak berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng. Kecilnya pengaruh tersebut dapat merupakan efek dari pemberian subsidi Pemerintah pada masyarakat miskin. Ditambah dengan sifat minyak goreng sebagai bahan pokok, maka pengaruh pendapatan terhadap konsumsi menjadi sangat kecil. Koefisien variabel pendidikan menunjukkan hubungan yang negatif. Semakn tinggi pendidikan, maka semakin kecil permintaan minyak goreng. Umumnya, alasan utamanya adalah pertimbangan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak informasi yang telah didapatkannya, termasuk mengenai minyak goreng.

Dengan menggunakan koefisien variabel harga (P) sebesar -0.001 serta harga dan jumlah konsumsi rata-rata minyak goreng, yang masing-masing sebesar 5,17 dan 7935 maka diperoleh perkiraan elastisitas sebesar -1,53. Hal tersebut mengindikasikan bahwa permintaan minyak goreng curah cukup elastis. Kemungkinan, hal tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik minyak goreng yang dapat disimpan lama. Dengan demikian, walaupun minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang secara umum hampir setiap hari dikonsumsi, karena dapat disimpan, konsumen dapat mengurangi pembeliannya pada saat harga mahal dan menambah stoknya pada saat harga murah.

IndeksMarket Power

Dari data primer diketahui bahwa nilai rendemen TBS (k1) dan CPO (k2)

masing-masing sebesar 21,98% dan 77,95%. Dengan asumsi keseimbangan jangka panjang, biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng didekati dari biaya riil rata-ratanya sebesar Rp0,167/kg, sedangkan harga riil rata-rata CPO dan harga rata-rata-rata-rata minyak goreng masing-masing sebesar Rp36,04,-/kg dan Rp34,41,-/kg.

Selanjutnya, dengan menggunakan hasil perhitungan elastisitas penawaran CPO dan elastisitas permintaan minyak goreng yang telah dihitung, diperoleh persamaan 9,38 = -,51 ξmg - 19,97 θmg. Diketahui bahwa market power index mempunyai kisaran nilai antara 0 dan 1, sehingga persamaan tersebut tidak dapat terpenuhi. Hal tersebut dapat diterangkan dari marjin harga riil rata-rata dari CPO ke minyak goreng yang negatif (Rp34,41,- - Rp36,04,-), sementara nilai market power index terendah (nol) tercapai pada saat marjin harga sama dengan nol. Hal tersebut diasumsikan karena dalam jangka panjang, untuk perusahaan yang bertindak rasional, marjin negatif akan membuat perusahaan keluar dari pasar. Namun demikian, untuk pasar minyak goreng di Indonesia, hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan harga minyak goreng sering diintervensi Pemerintah. Salah satunya adalah dengan pemberian subsidi, yang dapat diberikan secara langsung ke konsumen akhir atau secara tidak langsung ke produsen minyak goreng. Contohnya pada tahun periode 2007-2008 subsidi diberikan kepada pengusaha atau produsen minyak goreng yang melaksanakan operasi pasar untuk masyarakat dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng, baik dalam bentuk Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, Pajak terutang tidak dipungut, atau PPN ditanggung Pemerintah. Dengan demikian, marjin yang negatif belum tentu berarti perusahaan minyak goreng mengalami kerugian dan harus keluar dari pasar.

(10)

P1

P2

S’

E2

E1

Skenario 3 Tahap 1

Dengan menggunakan hasil estimasi elastisitas permintaan CPO sebesar -0,106, k1

= 0,2198, harga riil rata-rata CPO dan TBS masing-masing sebesar 36,04 dan 7,08 serta nilai riil biaya-rata-rata pengolahan TBS menjadi CPO sebesar 2,601, maka diperoleh indeks oligopoly power PKS sebesar 0,954 atau sangat mendekati 1 yang menunjukkan kondisi monopoli. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam model ini indeks market power

diukur dengan price cost margin (PCM)— perbedaan antara harga pasar dengan harga ekuilibrium—sebagaimana yang diperkenalkan Lerner (1934) dan hingga kini telah banyak digunakan dalam studi market power. Idenya adalah bahwa jika suatu perusahaan yang mempunyai seller power akan dapat meningkatkan harga jual outputnya tanpa harus kehilangan permintaan secara signifikan. Dalam kasus ini, peningkatan harga jual tidak semata-mata terjadi akibat seller power, tetapi juga karena naiknya harga CPO di pasar internasional, yang dalam taraf tertentu merupakan pasar alternatif (substitusi) bagi pasar CPO domestik. Ketika harga CPO internasional naik, maka harga CPO domestik juga naik dan mengakibatkan PCM dan indeks

market powernaik.

Kemungkinan kedua adalah pengaruh subsidi CPO untuk pabrik minyak goreng, yang merupakan salah satu bentuk intervensi Pemerintah dalam usaha menstabilkan harga minyak goreng. Akan tetapi, kelihatannya penetapan harga tersebut lebih didasarkan pada tuntutan masyarakat daripada perhitungan kondisi bersaing/ biaya marjinal. Misal, harga awal di pasar adalah P1. Pada saat itu PCM

adalah sebesar PCM1 (perbedaan P1 dengan

harga ekuilibrium E1). Masyarakat merasa

harga tersebut terlalu memberatkan dan meminta kebijakan. Pemerintah untuk menurunkan harga. Pemerintah meresponnya dengan memberikan subsidi harga CPO pada pabrik minyak goreng, yang menyebabkan

kurva suplai bergeser ke kanan S’ dan

ekuilibrium berubah menjadi E2 . Pada saat

yang bersamaan Pemerintah menurunkan harga pasar menjadi P2. Namun, ternyata pada

saat itu PCM masih positif (PCM2), bahkan

lebih besar dibandingkan dengan PCM awal (PCM1). Peningkatan PCM tersebut

menyebabkan indeks market power naik mendekati kondisi monopoli.

Gambar 1. Pengaruh subsidi yang mengakibatkan PCM positif

Tahap 2

Dengan menggunakan indeks oligopoly power PKS pada tahap 1, harga riil rata-rata TBS dan minyak goreng, nilai riil rat-rata biaya pengolahan CPO dan minyak goreng, serta nilai elastisitas permintaan minyak goreng, elastisitas permintaan CPO dan elastisitas suplai CPO, maka dapat diestimasi indeksoligopoly power pabrik minyak goreng sebesar -1,215. Nilai negatif tersebut mengindikasikan bahwa harga jual minyak goreng lebih rendah daripada biaya marjinalnya. Namun demikian, pada saat itu belum tentu perusahaan minyak goreng mengalami kerugian. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Pemerintah memberikan subsidi harga CPO kepada pabrik minyak goreng. Jika jumlah subsidi tersebut sama dengan selisih antara harga jual dan biaya marjinal tersebut, maka perusahaan tidak rugi, bahkan jika ternyata karena kurangnya informasi yang dimiliki Pemerintah menyebabkan besarnya pemberian subsidi lebih besar dari selisih tersebut, maka PCM perusahaan menjadi positif dan perusahaan akan mempunyai market power. Kondisi ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dari estimasi Skenario 1

Dampak Market Power

Dengan menggunakan kondisi tanpa market power dan kondisi oligopoly power

PKS sebesar 0,954, dan permintaan rata-rata CPO oleh pabrik minyak goreng maka diperkirakan bahwa surplus pabrik yang hilang dengan

PCM1

PCM2

S

(11)

D CPO TBS

CPO PKS TBS

Q

k

c

P

k

c

P





1 0 1

1

0 1

1

η

ξ

Namun demikian, dalam kasus ini karena nilai market power > elastisitas permintaan minyak goreng, maka persamaan tersebut tidak dapat dipenuhi (P menjadi < 0).

Skenario 4 Tahap 1

Dengan menggunakan hasil estimasi elastisitas suplai CPO pada skenario sebelumnya, nilai k1dan k3, harga riil rata-rata

CPO dan minyak goreng serta biaya pengolahan minyak goreng, diperoleh indeks

oligopsoni power pabrik minyak goreng sebesar -0.47. Sama halnya dengan hasil yang diperoleh dari Skenario 2, indeks yang negatif tersebut mengindikasikan bahwa harga beli CPO yang dibayar pabrik minyak goreng lebih mahal dibandingkan dengan harga pada saat pasar bersaing. Namun demikian, dengan bantuan subsidi harga CPO kepada pabrik minyak goreng selisih tersebut belum tentu ditanggung oleh pabrik. Bahkan jika besarnya subsidi > selisih tersebut, maka seperti yang terlah dijelaskan sebelumnya, PCM pabrik bahkan dapat meningkat. Tetapi jika dilihat dari sisi pembeli, maka harga yang diterima merupakan harga kompetitif.

Tahap 2

Dari semua variabel yang dibutuhkan untuk mengestimasi indeks oligopsony power

PKS, hanya elastisitas permintaab TBS yang belum diketahui. Dengan menggunakan data harga dan jumlah permintaan TBS oleh agen, diperoleh estimasi fungsi invers permintaan tersebut sebagai berikut:

Ŷ= 1063,778 + 0,005 X (173,260) (4,878)

R2= 0,069 Fhit= 23,796 ... 14)

Dalam kasus ini digunakan fungsi invers permintaan karena berdasarkan hasil wawancara, harga ditentukan oleh jumlah permintaan. Misalnya, pada bulan Juni – Oktober, biasanya produksi TBS menurun. Pada saat itu jumlah TBS yang dihasilkan kebun milik PKS tidak mencukupi kapasitas

terpasang yang dibutuhkan, sehingga permintaan TBS ke pihak III/ petani meningkat. Contoh lain adalah pada saat kebun milik PKS sedangreplanting. Pada saat itu kekuatan tawar pihak II meningkat dan harga beli juga meningkat.

Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa dalam kasus ini harga TBS (variabel bebas) hanya dapat menerangkan sekitar 7% dari permintaan TBS oleh agen (variasi variabel terikat). Pengaruh tersebut cukup signifikan (tingkat kepercayaan 99%), tetapi jumlahnya tidak besar di mana kenaikan permintaan TBS sebesar 1 ton hanya meningkatkan harga TBS sekitar Rp5,-/kg. Dengan kata lain, dalam kasus ini posisi tawar petani masih relatif lemah. Banyak petani yang merasa bahwa harga yang diterima masih terlalu rendah. Namun dengan jumlah produksi yang terbatas, petani agak susah untuk mencari agen yang lain. Di samping itu, keterikatan petani dengan agen, terutama dalam pinjaman modal, menyebabkan petani lebih memilih untuk menerima harga apa adanya.

Dengan menggunakan invers koefisien regresi tersebut dikali dengan jumlah dan harga riil rata-rata TBS diperoleh nilai elastisitas permintaan TBS sebesar 0.017. Dengan memasukkan nilai tersebut ke dalam persamaan 15, diperoleh indeks oligopsony power PKS sebesar -0,00918. Walaupun nilai indeks tersebut masih negatif, tetapi nilainya mendekati 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam Skenario 4 ini PKS bertindak kompetitif. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa pada Skenario 4 ini baik pabrik minyak goreng maupun PKS, keduanya tidak menerapkan hargamarket power.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

KEBIJAKAN

(12)

tersebut mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dimiliki oleh PKS dan pabrik minyak goreng tidak cenderung meningkatkan efisiensi harga, yang ditandai oleh PCM yang positif dan meningkat.

Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh intervensi kebijakan harga Pemerintah yang kelihatannya lebih merupakan reaksi atas tuntutan masyarakat dibandingkan dengan usaha untuk meningkatkan efisiensi pasar menuju pasar yang bersaing. Masyarakat menikmati harga minyak goreng yang relatif murah dengan adanya subsidi. Tetapi subsidi tersebut dapat memfasilitasi perusahaan yang kurang efisien untuk dapat tetap bertahan di pasar dan merupakan pemborosan dalam pengeluaran Pemerintah.

Dengan demikian, disarankan agar sebaiknya intervensi harga yang dilakukan lebih ditujukan untuk perbaikan struktur pasar di jangka panjang daripada hanya sebagai respon dari tuntutan masyarakat. Intervensi yang dilakukan lebih baik dengan metode partisipatif melalui PTP Nusantara dan pabrik minyak goreng milik Pemerintah (yaitu dengan menyesuaikan jumlah suplai untuk mempengaruhi harga pasar) daripada dengan metode otoritas dengan penetapan harga jual CPO dan minyak goreng yang selama ini banyak diterapkan. Namun demikian, sebagai catatan, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang menyangkut mekanisme pembentukan harga dan kebijakan-kebijakan harga yang telah dilakukan Pemerintah baik di pasar TBS, CPO maupun minyak goreng.

DAFTAR PUSTAKA

Dradjat, B. (2007), Stabilisasi harga minyak goreng, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29, pp13-15. Guasch, J.L dan Hahn, R.W. (1999). The costs

and benefits of regulations: Implications for developing countries. The World Bank Research Observer, 14, 137158.

Sexton, R.J dan Zhang, M (2001), An assessment of the impact of food industry

market power on U.S. consumers,

Agribusiness, vol. 17, pp. 59-79.

Susila, W.R. (2005), Analisis kebijakan perdagangan CPO dan minyak goreng, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Available:

Gambar

Gambar 1.  Pengaruh subsidi yang

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan.. Jurnal Bisnis dan Ekonomi

menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “Peramalan Jumlah Ekspor Provinsi Sumatera Utara Menurut Sektor Pertambangan dan Penggalian Tahun 2018”. Terimakasih penulis sampaikan

Berdasarkan uraian tersebut dalam makalah ini akan dibahas mengenai “ Pengaruh Pencemaran Sampah Terhadap Kualitas Air Tanah DangkalmDi TPA ( Tempat.. Pembuangan Akhir

Second there is the book, that describes the phenotype of the discipline, which represents the current expression of this early work as seen through the eyes of Dr David Fogel.. This

Sesuai dengan Surat Bank I ndonesia No.13/ 658/ DPNP/ I DPnP tgl 23 September 2011, Bank tidak diwajibkan lagi untuk membentuk cadangan kerugian penurunan nilai atas aset

(5) Setelah Jenis Pelayanan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Rawat I nap maupun Puskesmas Keliling yang belum tertolong dalam kelompok pelayanan tersebut pada

Sampling technique was used area sampling and data processing techniques used in this study include the validity and reliability test. Multiple regression

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika pada umumnya dan materi