Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
PENGOBATAN RISPERIDON PADA
PASIEN SKIZOFRENIK
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Psikiatri Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
TESIS
Oleh
RUDYHARD E HUTAGALUNG Nomor Register CHS : 18023
DEPARTEMEN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
LEMBARAN PENGESAHAN
Nama Kegiatan : Tesis
Judul : Pengobatan Risperidon pada Pasien Skizofrenik
Diajukan oleh : Rudyhard E Hutagalung
Peserta PPDS – I / Psikiatri FK USU/
RSUP H. Adam Malik Medan
No. Reg. CHS : 18023
Tanggal : 27 Juli 2009
Pembimbing
Prof.dr.Bahagia Loebis Sp.KJ (K) NIP. 130 517 437
Mengetahui/mengesahkan:
Ketua Program Studi Psikiatri Ketua Departemen Psikiatri FK-USU/RSUP HAM Medan FK USU/RSUP HAM Medan
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Psikiatri pada umumnya dan
khususnya dalam penyusunan tesis ini, yaitu :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kepada saya kesempatan untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. dr. Bahagia Loebis, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi PPDS-I
Psikiatri FK USU, guru dan pembimbing penulis dalam penyusunan tesis
ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi,
dan memberi masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis
ini dapat diselesaikan.
3. Prof. dr. H. Syamsir BS, SpKJ(K), selaku Ketua Departemen Psikiatri FK
USU dan guru penulis, yang banyak memberikan masukan-masukan
berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. H. Harun Thaher Parinduri, SpKJ(K), selaku guru penulis, yang banyak
memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
5. Dr. Raharjo Suparto, SpKJ, selaku guru, yang banyak membagikan ilmu,
bimbingan dan nasehat kepada penulis selama mengikuti pendidikan
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
6. Dr. H. Marhanuddin Umar, SpKJ(K), selaku guru, yang banyak memberikan
bimbingan, pengetahuan dan dorongan kepada penulis selama mengikuti
pendidikan spesialisasi.
7. Prof. Dr. H.M. Joesoef Simbolon, SpKJ(K), selaku guru penulis, yang
banyak membagikan pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama
mengikuti pendidikan spesialisasi, khususnya mengenai psikiatri anak dan
remaja.
8. Dr. Hj. Elmeida Effendy, SpKJ, Dr. Mustafa Mahmud Amin SpKJ, Dr. Vita
Camelia SpKJ selaku senior dan guru penulis yang telah banyak memberi
masukan selama mengikuti pendidikan spesialisasi.
9. Dr. Hj. Sulastri Effendi, SpKJ; Dr. Evawaty Siahaan, SpKJ; Dr. Artina Roga
Ginting, SpKJ; Dr. Rosminta Girsang, SpKJ; Dr. Imat S. Depari, SpKJ; Dr.
Mariati, SpKJ; Dr. Paskawani Siregar, SpKJ; Dr. Dapot Parulian Gultom,
SpKJ; Dr. Citra Julita Tarigan, SpKJ; Dr. Vera R.B. Marpaung, SpKJ; Dr.
Yuskitar SpKJ, Dr. Herlina Ginting SpKJ, Dr. Mawar Gloria Tarigan SpKJ,
Dr. Freddy S. Nainggolan SpKJ, Dr. Yusak P. Simanjuntak SpKJ, Dr.
Adhayani Lubis SpKJ, Dr. Juwita Saragih SpKJ sebagai senior, yang
banyak memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis
selama mengikuti pendidikan spesialisasi.
10. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan Direktur Rumah Sakit
Tembakau Deli Medan, atas izin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama penulis mengikuti
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
11. Dr. Donald F. Sitompul, SpKJ, selaku Kepala BLUD RS Jiwa Propinsi
Sumatera Utara Medan, atas izin, kesempatan, fasilitas dan pengarahan
kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama penulis mengikuti
pendidikan spesialisasi.
12. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, SpS(K), selaku Ketua Departemen Neurologi
FK USU, dan dr. Rusli Dhanu, SpS(K), selaku Ketua Program Studi PPDS-I
Neurologi FK USU, yang banyak memberikan bimbingan dan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama penulis menjalani stase di
Departemen Neurologi FK USU.
13. Prof. Dr. Hj. Habibah Hanum Nasution, SpPD, KPsi, selaku Kepala Sub
Bagian Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama penulis
menjalani stase di Sub Bagian Psikosomatik Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
14. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku staf pengajar Ilmu Kesehatan
Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas / Ilmu Kedokteran Pencegahan
FK USU dan konsultan metodologi penelitian dan statistik penulis dalam
penelitian ini, yang banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan
berdiskusi dengan penulis dalam penelitian ini.
15. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Psikiatri FK USU: Dr. Evalina
Perangin-Angin, Dr. Friedrich Lupini, Dr. Laila Sylvia Sari, Dr. Muhammad
Surya Husada, Dr. Silvy Agustina Hasibuan, Dr. Victor Eliezer
Perangin-Angin, Dr. Siti Nurul Hidayati, Dr. Lailan Sapinah, dr. Herny T. Tambunan,
dr. Mila, dr. Baginda Harahap, dr. Ira Aini Dania, dr. Muhammad Yusuf, dr.
Ricky Wijaya Tarigan, dr. Superida Ginting Suka, dr. Ferdinan Leo Sianturi,
dr. Lenni Crisnawati Sihite, dr. Saulina Dumaria Simanjuntak, dr. Hanip
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
Siregar, dr. Endang Sutry Rahayu dan dr. Duma M. Ratnawati yang banyak
memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis
dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu
memberikan dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada
penulis menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.
16. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani pendidikan spesialisasi ini, serta berbagai pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
membantu penulis dalam menjalani pendidikan spesialisasi dan
penyusunan tesis ini.
17. Semua pasien skizofrenik beserta orang tua/wali mereka yang telah
bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian untuk keperluan
tesis ini.
18. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi, dr. Jules H.
Hutagalung MPH dan A.C.C.L. Tobing yang telah bersusah payah
membesarkan, memberikan rasa aman, cinta dan doa restu kepada penulis
sejak lahir hingga saat ini, dalam menjalani segala hal.
19. Kedua mertua, dr. Betthin Marpaung SpPD, KGEH dan DR. Dra. Roswita
Silalahi, Dip. TESOL, M.Hum, yang banyak memberikan semangat dan doa
kepada penulis selama menjalani pendidikan spesialisasi dan penyusunan
tesis ini.
20. Seluruh saudara kandung saya, dr. Suzanne C. Hutagalung, dr. Ingrid A
Hutagalung dan Irving Hutagalung, ST yang banyak memberikan semangat
dan doa kepada penulis selama menjalani pendidikan spesialisasi dan
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
21. Seluruh ipar saya, dr. Parlindungan P Sitorus, dr. Jeles Attihuta, Eva N
Tarigan SE.Ak,MIM, Luther B Marpaung, ST, MT, Beatrix Marapaung,
SE.Ak dan dr. Yudi Andre Marpaung yang banyak memberikan semangat
dan doa kepada penulis selama menjalani pendidikan spesialisasi dan
penyusunan tesis ini.
22. Akhirnya kepada istri tercinta, dr. Marlisye Marpaung, beserta kedua buah
hati penulis yang tersayang, Rafael Marcelhard Hutagalung dan Rebecca
Marcelin Hutagalung; terima kasih atas segala doa dan dukungan,
kesabaran dan pengertian yang mendalam serta pengorbanan atas segala
waktu dan kesempatan yang tidak dapat penulis habiskan bersama-sama
kalian dalam suka cita dan keriangan selama penulis menjalani pendidikan
spesialisasi dan menyelesaikan tesis ini. Tanpa semua itu, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan pendidikan spesialisasi dan tesis ini dengan
baik.
Akhir kata, Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa
dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam
mewujudkan cita-cita penulis.
Penulis
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 ABSTRAK
Latar belakang : Antipsikotik atipikal dipergunakan untuk pengobatan skizofrenia. Pengobatan dengan antipsikotik atipikal terbukti efektif di dalam
mencegah terjadinya relaps pada skizifrenia. Risperidon adalah atipikal
antipsikotik yang efektif dan ditoleransi dengan baik. Akan tetapi hanya sedikit
diketahui terhadap manajemen risperidon di dalam pengobatan skizofrenia.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah melihat efikasi risperidon dengan parameter Brief Psychiatric Rating Scale pada pasien skizofrenik rawat
jalan/inap di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara Medan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental berbentuk one group pretest-posttest design terhadap 30 pasien skizofrenik rawat jalan/inap di
BLUD RS Jiwa Pempropsu Medan, yang dipilih secara consecutive sampling.
Untuk menilai efikasi risperidon pada pasien skizofrenik yang diteliti pada
penelitian ini, dipakai uji t berpasangan dengan kemapaman 5%.
Hasil : Pada 30 sampel yang diobati dengan risperidon memperlihatkan rata-rata±simpang baku nilai BPRS pre treatment 40,9±1,8 (38-44) dan pada
minggu kedelapan 18,4±0,8 (18-21). Pada minggu kedelapan rerata±simpang
baku dosis risperidon adalah 4,5±0,7 mg/hari (3-6 mg/hari).
Kesimpulan : Risperidon adalah obat antipsikotik yang mempunyai efikasi yang baik dilihat dari nilai BPRS untuk 30 pasien pada penelitian ini.
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH ………..……
ABSTRAK ……….
BAB I. PENDAHULUAN ……….………
I.1. Latar Belakang Penelitian ….……….
I.2. Rumusan Masalah ………..
I.3. Hipotesis ………
BAB II. TUJUAN PENELITIAN………
II.1. Tujuan Penelitian ………
II.2. Manfaat Penelitian ……….
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ………..
III.1. Skizofrenia ……….
III.2. Brief Psychiatric Rating Scale...
III.3. Risperidon ………..
BAB IV. KERANGKA KONSEP...
BAB V. METODOLOGI PENELITIAN………. …..………..
V.1. Desain Penelitian... ………
V.2. Tempat dan Waktu Penelitian ……….………
V.3. Populasi dan Sampel Penelitian………..
V.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi………
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009
V.9. Manajemen dan Analisis Data...
BAB VI. KERANGKA OPERASIONAL………..
BAB VII. HASIL PENELITIAN……….
BAB VIII. PEMBAHASAN………
BAB IX. KESIMPULAN DAN SARAN...
IX.1. Kesimpulan...………..……….
IX.2. Saran...
BAB X. DAFTAR PUSTAKA...………..
LAMPIRAN...………
24
25
26
31
22
35
36
37
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, status
perkawinan dan alamat………
Tabel 2. Distribusi sampel penelitian berdasarkan tipe skizofrenia dan episode skizofrenia………...
Tabel 3. Gambaran dosis Risperidon dari pre treatment sampai minggu kedelapan...
Tabel 4. Gambaran kejadian EPS berdasarkan dosis harian risperidon dari sampel penelitian...
Tabel 5. Perubahan Nilai BPRS per follow up
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Perubahan nilai BPRS per follow up
26
27
28
28
29
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Pedoman Diagnostik Skizofrenia Berdasarkan PPDGJ III ...
Lampiran 2 Brief Psychiatric Rating Scale……….. …..………..
Lampiran 3 Status Psikiatrik FK USU………
Lampiran 4 Lembar Penjelasan Untuk Keluarga Responden …………..
Lampiran 5 Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian ………
Lampiran 6 Data Sampel Penelitian………..
Lampiran 7 Gambaran Nilai BPRS Dan Dosis Risperidon Dari Sampel
Penelitian ………..
Lampiran 8 Health Research Ethical Committee………....
40
48
59
77
79
80
82
Rudyhard E Hutagalung : Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik, 2009 DAFTAR SINGKATAN
AS = Amerika Serikat
BPRS = Brief Psychiatric Rating Scale
D2 = Dopamin-2
H1 = Histamin-1
ECT = Electroconvulsive therapy
EPS = Extra Pyramidal Symptoms
FDA = Food and Drug Administration
PPDGJ III
PANSS
BLUD
RS
Pempropsu
= Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III
= Positive and Negative Syndrome Scale
= Badan Layanan Umum Daerah
= Rumah Sakit
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian
Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, membuat individu
yang menderitanya menjadi tidak berdaya. Skizofrenia berupa sindrom yang
heterogen, dimana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji
laboratorium tertentu. Diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan
simtom yang dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia. Skizofrenia dimulai
antara masa remaja menengah sampai dewasa muda, lebih sering mengenai
laki-laki daripada perempuan, dan laki-laki bila menderita skizofrenia akan lebih
parah daripada perempuan.1,2
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik, dan karena
permulaan serangan pada usia muda maka individu dengan skizofrenia
menjadi beban keluarga dan memerlukan penanggulangan yang berlangsung
lama, dalam usaha agar individu dapat mencapai kembali taraf yang dimilikinya
sebelum sakit.1,2
Karena skizofrenia dimulai lebih dini dalam kehidupan, menyebabkan
gangguan signifikan dan yang berlangsung lama, membuat permintaan yang
besar akan perawatan rumah sakit, dan memerlukan perawatan klinik yang
terus menerus, rehabilitasi, dan pelayanan dukungan, maka biayanya di
Amerika Serikat (AS) diperkirakan melebihi biaya dari semua jenis penyakit
kanker.Pada tahun 1990, biaya langsung dan tidak langsung dari skizofrenia di
perkirakan sebesar 33 milyar dolar AS. Fokus perawatan telah berubah secara
drastis selama 50 tahun ini, dari perawatan berbasiskan rumah sakit jangka
komunitas. Pada tahun 1955, hampir 500.000 tempat tidur di rumah sakit di AS
di tempati oleh pasien penderita sakit mental, mayoritas pasien dengan
diagnosis skizofrenia. Angka tersebut kini kurang dari 250.000 tempat tidur
rumah sakit.2
Adanya kemajuan bidang psikofarmakologi, pengobatan skizofrenia
telah berkembang dari yang bersifat pengobatan neuroleptik klasikal ke
golongan antipsikotik atipikal dan yang bersifat agonis parsial. Pengobatan
dalam terapi antipsikotik menunjukkan adanya penurunan yang progresif dalam
efek yang merugikan, meningkatkan efisiensi dan kemungkinan cara kerja
yang baru, serta presentasi kesembuhan dan/atau perbaikan kemampuan
fungsi sosial juga meningkat.3
Obat antipsikotik yang digunakan sebagai terapi pada skizofrenia
mempunyai sifat farmakologis yang bervariasi, namun seluruhnya berkapasitas
sebagai antagonis pada reseptor dopamin post sinapsis di otak. Obat anti
psikotik generasi pertama bersifat seperti neuroleptik karena persamaan efek
samping neurologisnya. Generasi kedua atau yang terbaru dari antipsikotik
lebih sedikit efek samping neurologisnya dan lebih bersifat sebagai antipsikotik
atipikal. 1,2,4
Dari semua antagonis serotonin-dopamin, risperidon merupakan agen
antipsikotik yang paling banyak diresepkan oleh psikiater di AS saat ini.5,6 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risperidon efektif terhadap simtom
positif, negatif dan afektif dari skizofrenia, serta dapat ditoleransi lebih baik dan
I.2. Rumusan Masalah
Apakah risperidon mempunyai efikasi yang baik dilihat dari parameter Brief
Psychiatric Rating Scale (BPRS) pada pasien skizofrenik?
I.3. Hipotesis
Risperidon mempunyai efikasi yang baik dilihat dari parameter BPRS pada
BAB II
TUJUAN PENELITIAN
II.1. Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Untuk melihat efikasi risperidon pada pasien skizofrenik dengan
menggunakan parameter BPRS.
Tujuan Khusus
Untuk melihat karakteristik demografi pemakaian risperidon pada pasien
skizofrenik rawat jalan/inap di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Rumah Sakit (RS) Jiwa Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu)
Medan berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan,
pekerjaan, suku, status perkawinan dan alamat.
II.2. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
efikasi pemberian risperidon pada pasien skizofrenik dengan parameter
BPRS
2. Dapat digunakan oleh klinikus sebagai bahan pertimbangan dalam
pemberian terapi pada pasien skizofrenik.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian lanjutan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka tesis ini akan membahas tentang : skizofrenia, BPRS
dan Risperidon.
III.1. Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang
belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran,
mood, dan perilaku. 8
Gangguan pikiran ditunjukkan dengan penyimpangan dalam menilai
realitas, kadang-kadang disertai waham dan halusinasi, disertai dengan
kumpulan pikiran yang terpisah-pisah yang mengakibatkan gangguan dalam
bicara. Gangguan mood meliputi ambivalen dan inappropriate atau respons
afektif yang terbatas. Gangguan perilaku ditandai dengan penarikan diri atau
perilaku yang aneh. Ini semua dikarakteristikkan sebagai gejala-gejala positif
dan negatif (defisit). Meskipun bukan merupakan suatu gangguan kognitif,
skizofrenia sering menyebabkan kerusakan fungsi kognitif (misalnya berpikir
konkrit dan gangguan dalam memproses informasi). 8
Skizofrenia adalah masalah kesehatan umum di seluruh dunia yang
memerlukan banyak biaya personal dan ekonomi. Skizofrenia menyerang
kurang dari 1 persen populasi dunia. Jika gangguan spektrum skizofrenia
dimasukkan dalam estimasi prevalensi, maka jumlah orang-orang yang
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ III), gangguan skizofrenik dibagi atas :9
• skizofrenia paranoid
• skizofrenia hebefrenik
• skizofrenia katatonik
• skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
• depresi pasca-skizofrenia
• skizofrenia residual
• skizofrenia simpleks
• skizofrenia lainnya
• skizofrenia YTT (yang tak tergolongkan).
Pedoman diagnostik skizofrenia berdasarkan PPDGJ III dicantumkan pada
lampiran 1.
Skizofrenia ditemukan dalam semua masyarakat dan daerah geografis,
walaupun data yang sebanding sulit diperoleh, namun insiden dan tingkat
prevalensi sepanjang hidup adalah sama di seluruh dunia. Ada bukti yang agak
lebih besar mengenai skizofrenia pada pria dan wanita, yakni ditemukannya
insiden skizofrenia yang lebih besar di daerah-daerah perkotaan dibandingkan
di daerah pedesaan. Perbedaan ini sebelumnya dihubungkan dengan
fenomena penyimpangan sosial, dimana orang-orang yang terserang atau
rentan cenderung kehilangan pekerjaan dan kedudukan sosial dan masuk ke
daerah-daerah kemiskinan dan inti kota. Meskipun demikian, studi-studi
penelitian terbaru telah menegaskan peningkatan insiden di daerah-daerah
perkotaan, dengan risiko relatif untuk skizofrenia yang berhubungan dengan
Skizofrenia juga terlihat cenderung lebih berat di negara-negara maju
dibandingkan negara-negara berkembang. Daerah-daerah geografik terkadang
penting dalam etiologi penyakit. Sebagai contoh, sebuah populasi yang
terisolasi di Skandinavia Utara, terlihat memiliki kumpulan genetik yang
diperberat untuk kerentanan skizofrenia, mungkin dibawa generasi sebelumnya
oleh dua keluarga yang berimigrasi.1
Di AS, prevalensi skizofrenia seumur hidup kira-kira 1%, ini berarti
bahwa kemungkinan 1 diantara 100 orang akan menjadi skizofrenia selama
kehidupannya. Puncak serangan antara usia 15-55 tahun (50% kasus terjadi
sebelum usia 25 tahun). Serangan dibawah usia 10 tahun (skizofrenia onset
dini) atau setelah usia 45 tahun (skizofrenia onset lanjut) adalah jarang.4
Perjalanan klasik dari skizofrenia adalah salah satu dari eksaserbasi dan
remisi. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien secara bertahap
menyembuh dan kemudian relatif berfungsi dengan normal selama waktu yang
panjang. Pasien biasanya relaps, dan pola dari penyakit selama lima tahun
pertama setelah diagnosis secara umum mengindikasikan perjalanan penyakit
pasien. Perburukan yang lebih lanjut dari fungsi dasar pasien mengikuti setiap
relaps dari psikosis. Kegagalan untuk kembali berfungsi setelah setiap relaps
adalah perbedaan yang besar antara skizofrenia dan gangguan mood.
Kadang-kadang, depresi postpsikotik yang diamati secara klinis mengikuti
episode psikotik dan kerapuhan pasien skizofrenia terhadap stres biasanya
bersifat seumur hidup. Gejala positif cenderung menjadi berkurang seiring
dengan waktu, tetapi gejala defisit atau negatif yang mengganggu secara
sosial dapat meningkat keparahannya. Walaupun sekitar sepertiga dari pasien
skizofrenia mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi,
ketidakpunyaan tujuan, tidak ada aktivitas dan rawat inap yang berulang dan
pada daerah perkotaan, gelandangan dan kemiskinan.2
Pengobatan skizofrenia bersifat multidimensional, terdiri dari terapi
somatik [(farmakoterapi dan Electro Convulsive Therapy (ECT)] dan terapi
psikososial (psikoterapi individual, terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga
dan terapi kelompok). Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar
pengobatan skizofrenia. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin) dan antipsikotik
atipikal (antagonis serotonin-dopamin). Pemilihan antipsikotik umumnya
berdasarkan pada efikasi dan keamanannya.2 Saat ini, karena efikasi dan profil efek sampingnya yang menguntungkan, antipsikotik atipikal sering digunakan
sebagai obat lini pertama pada pengobatan skizofrenia.10
Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik dibagi atas 3 fase, yaitu
pengobatan fase akut, pengobatan fase stabilisasi dan pengobatan fase stabil /
fase pemeliharaan.11
1. Pengobatan Fase Akut
Fase akut skizofrenia umumnya ditandai oleh simtom psikotik yang
memerlukan penanganan klinis segera. Fase akut skizofrenia dapat muncul
sebagai episode pertama atau suatu relaps/eksaserbasi akut dari
episode-episode multipel.12,13 Tujuan pengobatan fase akut adalah untuk mencegah kerusakan (harm), mengendalikan perilaku yang mengganggu, mengurangi
keparahan psikosis dan gejala-gejala terkait (misalnya agitasi, agresi, simtom
negatif, simtom afektif), menentukan dan mengatasi faktor-faktor yang memicu
timbulnya episode akut, memberi suatu efek yang cepat dalam mengembalikan
pasien ke tingkat fungsional terbaik, mengembangkan suatu ikatan antara
panjang serta menghubungkan pasien dengan pasca perawatan (aftercare)
yang tepat dalam masyarakat.11
Pengobatan fase akut dengan farmakoterapi diusulkan untuk dimulai
segera karena psikosis akut berhubungan dengan distres emosional,
gangguan pada kehidupan pasien dan risiko besar terhadap perilaku
berbahaya pada diri, orang lain dan benda milik.11 Fase akut umumnya berlangsung selama 4-8 minggu.12,13 Pengobatan fase akut sering tetapi tidak selalu harus berhubungan dengan hospitalisasi.11
Pada farmakoterapi terhadap skizofrenia, kriteria perbaikan
(improvement) atau respons terapi adalah penurunan nilai keseluruhan BPRS
sebesar 20% atau lebih.14,15 Sedangkan kriteria remisi adalah penurunan nilai keseluruhan BPRS sebesar 50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS
awal,15 dan tidak terdapat item psikotik BPRS yang bernilai > 3.14 2. Pengobatan Fase Stabilisasi
Pada fase ini simtom akut sudah dapat dikendalikan tetapi pasien masih
mempunyai risiko relaps jika pengobatan dihentikan atau dosis obat diturunkan
terlalu dini atau pasien berhadapan dengan stres yang berlebihan.12 Tujuan pengobatan fase stabilitasi adalah untuk mengurangi stres pada pasien,
memberi dukungan dalam meminimalkan kemungkinan relaps, memperkuat
adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi
kelanjutan pengurangan simtom, konsolidasi remisi dan mempercepat proses
kesembuhan (recovery).11 Bila pasien telah mencapai suatu respons terapeutik yang adekuat dengan efek samping atau toksisitas minimal dengan suatu
regimen medikasi khusus, pemberian obat tersebut harus dipertahankan
selama minimal 6 bulan dengan dosis yang sama seperti pengobatan fase
memicu terjadinya relaps dalam waktu relatif singkat,10,11 biasanya 1 bulan setelah penghentian obat.16 Setelah 6 bulan, dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan sampai ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan).
Dengan mencapai dosis pemeliharaan, pasien memasuki fase stabil / fase
pemeliharaan.2
3. Pengobatan Fase Stabil / Fase Pemeliharaan
Tujuan pengobatan fase stabil adalah untuk mempertahankan remisi
atau kontrol simtom, meminimalkan risiko dan konsekuensi relaps serta
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan. Begitu seorang pasien
mencapai fase stabil, seorang klinisi harus membuat suatu rencana
pengelolaan jangka panjang, yang meminimalkan efek samping dan risiko
relaps.11
Menentukan dosis medikasi antipsikotik selama fase stabil adalah sulit
karena tidak terdapat strategi yang dapat diandalkan (reliable) dalam
menentukan dosis efektif minimum untuk mencegah relaps.11 Untuk beberapa pasien, medikasi antipsikotik secara aktif menekan simtom psikotik, tetapi bila
pengobatan dihentikan atau dosis obat dikurangi secara bermakna, maka
segera terjadi pemburukan pada pasien ini. Pada keadaan demikian, dosis
pemeliharaan dapat dititrasi berdasarkan simtom mereka.10 Dosis pemeliharaan ini dipertahankan selama 1 tahun sampai seumur hidup,
tergantung pada episode skizofrenia pasien, umumnya dipertahankan selama
1-2 tahun untuk episode pertama, 5 tahun untuk episode kedua dan seumur
hidup untuk episode ketiga atau lebih.2,17 Setelah itu pengurangan dosis harian dapat dilakukan setiap 6-12 bulan.2 Tanpa pengobatan pemeliharaan, sebanyak 60-70% pasien mengalami relaps dalam waktu 1 tahun, dan hampir
Salah satu strategi menurunkan dosis antipsikotik yang cukup aman untuk
mengurangi relaps pada fase stabil (menuju penghentian medikasi antipsikotik)
adalah dengan cara medikasi intermiten, di mana antipsikotik hanya diberikan
bila pasien memerlukannya. Strategi ini mengharuskan pasien dan
keluarganya untuk mau dan mampu mengenal gejala dan tanda eksaserbasi
awal dari suatu relaps (misalnya ansietas, iritabilitas, gangguan tidur, tingkah
laku aneh, ide paranoid/referensi, gangguan persepsi). Bila hal tersebut
dijumpai, medikasi antipsikotik harus mulai diberikan kembali untuk periode
tertentu, biasanya 1-3 bulan. Walaupun pendekatan ini tidak diindikasikan
untuk sebagian besar pasien karena terbukti dapat meningkatkan kejadian
rehospitalisasi, pendekatan terapi ini aman dan efektif untuk beberapa
pasien.2,12,13 Banyak studi melaporkan bahwa terapi intermiten kurang efektif dalam mengurangi kejadian relaps dibandingkan dengan pemberian dosis
pemeliharaan terus menerus.18
III.2. Brief Psychiatric Rating Scale
BPRS dikembangkan pada akhir tahun 1960-an sebagai suatu skala
singkat untuk mengukur keparahan simtom psikiatrik. Diantara skala untuk
menilai keadaan skizofrenik, BPRS merupakan skala yang paling sering
digunakan.19 BPRS merupakan suatu skala Likert (skala terkategorisasi) dengan 18 nomor (item), dimana setiap nomor dibagi atas 7 kategori (tidak
ada, sangat ringan, ringan, sedang, sedang-berat, berat dan sangat berat).
Setiap kategori diberi nilai 1-7 dengan rentang nilai keseluruhan 18-126.20
BPRS bukan merupakan suatu skala diagnostik, tetapi suatu skala untuk
menilai gambaran klinis aktual dari pasien (keparahan psikopatologi) selama
kapan suatu pengobatan dapat dihentikan.19,20 Karena penilaian meliputi pengamatan dan laporan gejala pasien, maka BPRS dapat digunakan untuk
menilai pasien dengan hendaya sangat berat.20 Walaupun BPRS juga meliputi simtom-simtom depresif (nomor 1, 2, 5, 6, 9 dan 13), skala ini pada dasarnya
dikembangkan untuk menilai keadaan skizofrenik. Bila BPRS digunakan untuk
menilai keadaan skizofrenik, maka kedua belas nomor skizofrenik harus
dihitung semuanya.19 Lembaran penilaian BPRS dicantumkan pada lampiran 2.
III.3. Risperidon
Pada tahun 1981, Janssen Pharmaceuticals mengembangkan
setoperone, suatu antagonis 5-HT2 dengan antagonis dopamin-2 (D2) yang
lemah, yang menunjukkan efek antipsikotik dan efikasi terhadap simtom negatif
pada suatu percobaan terbuka. Janssen Pharmaceuticals juga mensintesis
suatu antagonis 5-HT2A dan 5-HT2C yang selektif, yaitu ritanserin, yang
memperlihatkan pengurangan efek samping ekstrapiramidal ketika
dikombinasikan dengan haloperidol pada studi terhadap tikus. Dalam
percobaan placebo-kontrol pada pasien dengan skizofrenia kronis,
penambahan ritanserin kepada neuroleptika konvensional memperlihatkan
perbaikan simtom negatif dan efek samping ekstrapiramidal. Menyimpulkan
bahwa antagonisme 5-HT2 mungkin memperbaiki efikasi dari antagonis D2,
khususnya untuk simtom negatif dan mengurangi efek samping
ekstrapiramidal, tetapi tidak cukup efektif sebagai terapi tunggal, maka Janssen
dan kawan-kawan (1988) mengembangkan risperidon, yang
Setelah karakterisasi praklinis yang luas (Janssen dan kawan-kawan
1988), risperidon yang pertama sekali dipelajari dalam percobaan klinis pada
tahun 1986, mendapat persetujuan dari Food And Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat (AS) pada tahun 1994 untuk dipasarkan di AS.5 Risperidon merupakan antipsikotik kedua yang memperoleh persetujuan FDA AS untuk
pengobatan skizofrenia setelah klozapin pada tahun 1990.21 Dengan berjalannya waktu, risperidon menjadi tersedia dan menjangkau para klinisi.
Keberadaan teori kombinasi blokade 5-HT2A dan D2 serta bukti dari
percobaan-percobaan yang terdaftar, yang menunjukkan pengurangan efek
samping ekstrapiramidal dan efikasi yang lebih besar dibandingkan dengan
haloperidol dosis tinggi, menghasilkan antusiasme dari para klinisi di AS
terhadap ‘antagonis serotonin-dopamin’, dan saat ini risperidon merupakan
agen antipsikotik yang paling banyak diresepkan di AS.5
Risperidon memiliki metabolit aktif, yaitu 9-hidroksi-risperidon (
9-hydroxy-risperidone), yang mempunyai aktivitas farmakologik yang sama
dengan senyawa induk.5,7 Sebagai konsekuensinya, efek klinis dari obat mungkin dihasilkan dari kombinasi konsentrasi risperidon dan metabolit
aktifnya. Setelah pemberian peroral, waktu paruh eliminasi dari risperidon
adalah sekitar 3 jam pada extensive metabolizer (ditemui pada sekitar 90%
orang kulit putih dan sekitar 99% orang Asia)5 dan sekitar 20 jam pada poor metabolizer. Waktu paruh eliminasi dari 9-hidroksi-risperidon adalah sekitar 21
jam pada extensive metabolizer dan sekitar 30 jam pada poor metabolizer.6 Karena waktu paruh eliminasi yang panjang dari risperidon dan metabolit
aktifnya, maka risperidon dapat diberikan dalam dosis sekali maupun dua kali
dalam sekitar 1 hari pada extensive metabolizer dan sekitar 5 hari pada poor
metabolizer. Konsentrasi steady state dari 9-hidroksi-risperidon tercapai dalam
sekitar 5-6 hari pada extensive metabolizer.11
Risperidon memiliki afinitas sangat tinggi terhadap reseptor 5-HT2A dan
afinitas yang sedang tingginya terhadap reseptor D2, histamin-1 (H1) dan
adrenergik 1 dan 2.2,5,21 Secara in vitro, afinitas risperidon terhadap reseptor
5-HT2A kira-kira 10-20 kali lebih kuat daripada terhadap reseptor D2. Secara in vivo, pengikatan terhadap reseptor D2 dari striatal tikus terjadi pada dosis 10
kali lebih tinggi daripada untuk pengikatan terhadap reseptor 5-HT2A. Afinitas
risperidon terhadap reseptor 5-HT2A lebih kuat 100 kali daripada terhadap
subtipe reseptor serotonin yang lain. Metabolit aktif risperidon,
9-hidroksi-risperidon (9-hydroxy-risperidone), memiliki profil afinitas reseptor yang sama.5 Afinitas risperidon terhadap reseptor 5-HT2A kira-kira 20 kali lebih kuat
daripada afinitas klozapin dan 170 kali lebih kuat daripada afinitas haloperidol.
Afinitas risperidon terhadap reseptor D2 kira-kira 50 kali lebih kuat daripada
afinitas klozapin dan kira-kira 20-50% dari afinitas haloperidol. Afinitas
risperidon dan 9-hidroksi-risperidon terhadap reseptor D1 dan D4 adalah sama
dengan afinitas klozapin dan haloperidol.5
Risperidon pada dasarnya tidak memiliki afinitas terhadap reseptor
muskarinik asetilkolin dan memiliki afinitas sedang terhadap reseptor H1,
sedangkan 9-hidroksi-risperidon memiliki afinitas minimal terhadap reseptor
H1.5
Dibandingkan dengan agen lain, risperidon memiliki afinitas yang relatif
tinggi terhadap reseptor adrenergik 2, yang pada dasarnya lebih kuat daripada
terhadap reseptor adrenergik 1 adalah sebanding dengan afinitas
klorpromazin dan kira-kira 5-10 kali lebih kuat daripada afinitas klozapin.5
Diantara antipsikotik atipikal, risperidon merupakan agen antipsikotik
yang paling banyak diresepkan oleh psikiater di AS saat ini.5,6 Ketika risperidon pertama sekali diperkenalkan di pasaran Amerika Serikat, diusulkan pemberian
risperidon dengan dosis 1 mg 2 kali sehari pada hari pertama dan 2 mg 2 kali
sehari pada hari kedua serta 3 mg 2 kali sehari pada hari ketiga.
Bagaimanapun, pengalaman klinis menunjukkan bahwa titrasi ini terlalu cepat
untuk beberapa pasien. Sebagai konsekuensinya, harus diawasi toleransi
pasien terhadap efek samping risperidon (misalnya sedasi, sinkope dan
hipotensi ortostatik) dan titrasi baru dilakukan bila efek samping dapat ditolerir
secara klinis oleh pasien.6 Pada praktik klinis saat ini, dosis rerata harian risperidon yang diperlukan menurun dan laju titrasi ke rentang dosis 4-6 mg
sehari menjadi lebih lambat.22 Umumnya pasien dapat mengembangkan toleransi terhadap efek samping jika titrasi dosis risperidon dilakukan cukup
bertahap.2 Dosis rerata risperidon untuk pengobatan pasien skizofrenik di AS saat ini adalah 4 mg sehari.22
Dosis awal risperidon umumnya 1-2 mg sekali sehari pada malam hari.
Kemudian dosis dapat dinaikkan secara bertahap, bila dapat ditoleransi,
dengan penambahan 1 mg per dosis setiap 2 atau 3 hari, sampai mencapai
dosis target sebesar 3-6 mg sehari.2,21 Berdasarkan pengalaman, diusulkan bahwa dosis target yang mula-mula direkomendasikan sebesar 6 mg sehari
adalah tidak diperlukan, dan bahwa paling sedikit 70% pasien dapat diobati
secara optimal dengan dosis 3 mg sehari atau kurang, serta sekitar 90%
studi telah memperlihatkan efikasi yang sama tanpa peningkatan efek samping
yang bermakna dengan dosis sekali sehari. Hal ini disebabkan oleh waktu
paruh yang panjang dari metabolit aktifnya.2,6,21
Survei pasca pemasaran menunjukkan bahwa dosis rerata risperidon
untuk pengobatan pasien skizofrenik adalah 4,7 mg sehari. Dosis sebesar 1-16
mg sehari telah diuji, tetapi tidak terdapat keuntungan terapeutik yang dapat
ditentukan untuk dosis di atas 6 mg sehari, dimana dosis yang lebih tinggi
dihubungkan dengan peningkatan efek samping.2
Efikasi terapeutik risperidon pada penderita skizofrenik telah dibuktikan
dalam sejumlah penelitian yang terkontrol di seluruh dunia. Data-data tersebut
dapat dikombinasikan dengan menggunakan teknik meta analitik untuk melihat
efikasi dari risperidon dibandingkan dengan anti psikotik generasi pertama.
Pada kebanyakan obat, hubungan antara dosis dan respons diperlihatkan
melalui kurva sigmoidal klasik. Dengan demikian, semakin meningkat dosis
(atau plasma level) mencapai ambang batas dan garis atas kurva, semakin
meningkat pula responsnya. Sekali dosis yang cukup tinggi diperoleh untuk
menghasilkan respons klinik yang maksimal, kurva dosis respons kemudian
mendatar.23
Insidens Extra Piramidal Syndrom (EPS) pada penggunaan risperidon
adalah terkait dosis.24 Dosis risperidon di atas 6 mg sehari dihubungkan dengan insidens EPS yang lebih tinggi.2 Pada dosis di bawah 6 mg sehari, risperidon menghasilkan EPS yang sebanding dengan plasebo,2,6 tetapi reaksi distonik telah dijumpai pada dosis 4-16 mg sehari.2 Pada dosis 10 mg sehari atau lebih, risperidon menghasilkan EPS yang sebanding dengan haloperidol.22
Efek antipsikotik dari antagonis serotonin-dopamin umumnya muncul
memerlukan waktu sampai 6 minggu pengobatan untuk memperoleh respons
yang menguntungkan. Efektifitas penuh umumnya dicapai dalam 4-6 minggu
pengobatan. Keuntungan risperidon umumnya terlihat dalam 4 minggu
pengobatan.2 Lama terapi adalah sama seperti pengaturan pada penggunaan antipsikotik konvensional.21 Jika pasien menghentikan risperidon untuk periode waktu lebih dari 36 jam, maka pemberian risperidon harus dimulai kembali
sesuai jadwal titrasi permulaan.2
Risperidon merupakan pilihan yang tepat untuk pasien yang gagal
berespons terhadap antipsikotik konvensional. Pada studi yang dilakukan di
AS, pasien skizofrenik yang telah dirawat inap di rumah sakit paling sedikit 6
bulan sebelum studi, cenderung memperlihatkan keuntungan lebih besar
dengan risperidon dibandingkan dengan haloperidol. Keadaan ini mengusulkan
bahwa risperidon mungkin efektif untuk beberapa pasien yang resisten
terhadap pengobatan atau yang kurang berespons terhadap antipsikotik
konvensional. 21
Pada perbandingan langsung dengan klozapin dosis sedang (300-400
mg sehari), risperidon dengan dosis 4-8 mg sehari adalah sama efektif, dengan
lebih sedikit efek samping seperti somnolens, baik pada pasien skizofrenik akut
maupun yang resisten terhadap pengobatan.2
Karena efikasi dan keamanannya, risperidon beralasan dijadikan
sebagai medikasi lini pertama untuk pengobatan fase akut skizofrenia, dengan
dosis efektif harian sebesar 4-6 mg sehari.2 Menurut Expert Consensus Guidelines for the Treatment of Schizophrenia 2003, dosis risperidon pada fase
pemeliharaan skizofrenia adalah 2-4,5 mg sehari untuk pasien episode
Banyak pasien menunjukkan respons yang optimal dengan dosis
risperidon yang dianjurkan (2-6mg sehari).21 Peuskens tahun 1995 pada penelitiannya selama 8 minggu pada 1.362 pasien skizofrenik dengan
memakai Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) menunjukkan
BAB IV
KERANGKA KONSEP
Pasien Skizofrenik
BPRS minggu ke-1
BPRS
Pre treatment
BPRS minggu ke-4
BPRS minggu ke-2
BPRS minggu ke-6
BAB V
METODE PENELITIAN
V.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan
pra-eksperimen One Group Pretest-Posttest Open Trial 24, selama 8 minggu untuk melihat efikasi risperidon memakai BPRS dengan periode waktu penelitian 1
April 2009 sampai dengan 30 Juni 2009 di BLUD RS Jiwa Pempropsu.
V.2. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat : BLUD Rumah Sakit Jiwa Pempropsu
2. Waktu : 1 April 2009 – 30 Juni 2009
V.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah pasien skizofrenik rawat jalan/inap di
BLUD RS Jiwa Pempropsu Medan.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah 30 pasien skizofrenik dari populasi penelilitian
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
V.4. Kriteria Inklusi dan Eklusi
1. Kriteria Inklusi adalah :
penderita skizofrenik berdasarkan PPDGJ III 9 berumur 15-55 tahun
kooperatif dan dapat diwawancarai
pasien rawat inap/jalan Psikiatri BLUD RS Jiwa Pempropsu
bersedia ikut dalam penelitian ini.
2. Kriteria Ekslusi adalah :
hipersensitif terhadap risperidon
mempunyai komorbiditas gangguan psikiatri lainnya
ibu hamil ataupun yang sedang menyusui
sedang menggunakan obat antipsikotik <1 bulan.
Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling25
dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan,
sedangkan parameter hasil dilihat dengan BPRS skala 18.
Analisa data akan menampilkan hasil penilaian BPRS, distribusi sampel
penelitian berdasarkan tipe Skizofrenia dan gambaran pasien skizofrenik yang
mendapat pemberian risperidon berdasarkan karakteristik demografi sampel.
V.5. Cara Kerja
Dilakukan wawancara psikiatrik secara autoanamnesis dan
alloanamnesis kepada pasien dan keluarga pasien serta pemeriksaan
status mental kepada pasien rawat jalan/inap di BLUD RS Jiwa Pempropsu
Medan dengan pedoman Status Psikiatrik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara (lampiran 3). Pasien yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III dan kriteria inklusi penelitian dijadikan
sampel penelitian. Pihak keluarga pasien yang menyetujui pasien
diikutsertakan dalam penelitian setelah mendapat penjelasan yang
Keluarga Responden’ (lampiran 4), wajib memberikan persetujuan secara tertulis / written informed consent (lampiran 5).
Pada awal penelitian (Pre-treatment), kepada sampel dilakukan
penilaian BPRS untuk mengukur keparahan gejala skizofrenik pasien dan
pemberian medikasi risperidon oral dengan dosis awal 2 mg sehari (dosis
tunggal pada malam hari). Pengamatan lanjutan dilakukan pada minggu
pertama, minggu kedua, minggu keempat, minggu keenam dan terakhir
minggu kedelapan.26
Titrasi dosis risperidon dilakukan pada setiap pengamatan lanjutan
dengan cara meningkatkan dosis risperidon sebesar 1 mg setiap kali
kenaikan, sampai pasien mencapai remisi klinis (memasuki fase stabilisasi),
dengan pedoman penurunan nilai keseluruhan BPRS >50% dibandingkan
dengan nilai keseluruhan BPRS awal dan nilai BPRS untuk semua item
psikotik <3, dan setelah itu dosis risperidon tidak dinaikkan lagi.2,21
Bila pada setiap pengamatan lanjutan ditemui simtom EPS (distonia
akut, akatisia dan parkinsonisme [tremor, rigiditas dan bradikinesia]), maka
kepada pasien akan diberikan medikasi tambahan berupa triheksiphenidil
dengan dosis awal 2 mg sehari peroral (dibagi menjadi 2 kali pemberian),
dan dapat dititrasi sampai dosis 16 mg sehari (dibagi menjadi 3 kali
pemberian).27 Bila EPS yang ditemui pada pasien tidak dapat diatasi dengan triheksipenidil 16 mg sehari, maka pasien dianggap tidak dapat
mentolerir efek samping dari risperidon dan akan dikeluarkan dari
penelitian. Selanjutnya kepada pasien akan diberikan pengobatan dengan
Cara Titrasi Dosis Risperidon pada Penelitian ini Minggu Dosis Harian
Risperidon
Cara pemberian (pagi-siang-malam)
Pre treatment 2 mg 0 – 0 - 2 mg
1 3 mg 0 – 0 - 3 mg
2 4 mg 2 mg - 0 - 2 mg
4 5 mg 2 mg - 0 - 3mg
6 6 mg 3 mg - 0 - 3 mg
8 7 mg 3 mg - 0 - 4 mg
V.6. Identifikasi Variabel
Variabel tergantung : nilai BPRS
Variabel bebas : medikasi risperidon dan triheksipenidil
V.7. Besar Sampel
Besar sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi
menggunakan ketepatan absolut dengan rumus yang digunakan adalah24:
Zα2PQ n =
d2
Z = Nilai batas bawah dari table Z yang besarnya tergantung pada
Nilai yang ditentukan ; untuk nilai = 0,05 Z = 1,96
P = Proporsi Skizofrenia (1%)
q = 1-p
n = (1,96)2 x 0,01x0,99 (0,05)2 = 3,84 x 0,01 x 0,99 (0,05)2 = 0,038
0,0025
= 15,2 sampel diperbesar menjadi 30
V.8. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pasien skizofrenik adalah pasien yang memenuhi kriteria diagnostik
‘Skizofrenia’(F20) berdasarkan PPDGJ-III.9
2. BPRS adalah skala terkategorisasi (7 kategori, nilai 1-7) dengan 18
nomor (item) serta rentang nilai 18-126, untuk mengukur keparahan
gejala skizofrenik.
3. Efikasi yang baik adalah bila telah mencapai remisi klinis dengan
pedoman penurunan nilai keseluruhan BPRS >50% dibandingkan
dengan nilai keseluruhan BPRS awal15 dan nilai BPRS untuk semua
item psikotik <3.14
4. Jenis kelamin, dibedakan atas laki-laki dan perempuan.
5. Kelompok usia, dibedakan atas kelompok umur <40 tahun dan
kelompok umur >40 tahun.
V.9. Rencana Manajemen dan Analisis Data
Untuk menilai efikasi risperidon pada pasien skizofrenik yang diteliti
pada penelitian ini dipakai uji t berpasangan dengan kemapanan 5%.
Pengelolahan dan analisis statistik dari data dilakukan secara komputerisasi
dengan menggunakan alat bantu program Statistical Package for Social
BAB VI
KERANGKA OPERASIONAL
Pasien rawat jalan/inap BLUD RS Jiwa Medan
Status Psikiatrik FK USU PPDGJ-III
Kriteria eksklusi Non Skizofrenia
Kriteria inklusi
BPRS awal (Pre-treatment)
Skizofrenia
Jenis kelamin Kelompok usia
Remisi klinis
• Penurunan nilai keseluruhan BPRS >50%
dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal
• Nilai semua itempsikotik BPRS < 3 Medikasi
risperidon 2-8 mg
BAB VII HASIL PENELITIAN
Sebanyak 30 pasien skizofrenik rawat jalan/inap di BLUD RS Jiwa
Pempropsu Medan, yang dipilih secara consecutive sampling, diikutsertakan
dalam penelitian ini. Karakteristik demografik dari sampel penelitian
digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, status perkawinan dan alamat.
Karakteristik demografik sample n %
Tabel 1 memperlihatkan bahwa karakteristik demografik dari sampel didominasi oleh laki-laki (16 orang [53,3%]), kelompok usia 15-<40 tahun (18
orang [60%]), tingkat pendidikan SMA (19 orang [86,7%]), tidak bekerja (22
orang [73,3%]), suku Batak (19 orang [63,3,3%]), single (23 orang [76,7%]) dan
beralamat di Medan (16 orang [53,3%]).
Tabel 2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan tipe skizofrenia dan episode skizofrenia.
Karakteristik sample n %
Tipe skizofrenia
Skizofrenia paranoid 21 70
Skizofrenia simpleks 4 13,4
Skizofrenia katatonik 1 3,3
Skizofrenia tak terinci 3 10
Skizofrenia residual 1 3,3
Jumlah 30 100
Episode skizofrenia
Episode pertama 14 46,7
Episode berulang 16 53,3
Jumlah 30 100
Tabel 2 memperlihatkan bahwa tipe skizofrenia yang paling banyak dijumpai pada sampel adalah skizofrenia paranoid, yaitu sebanyak 21 orang
(70%). Episode skizofrenia yang paling banyak dijumpai pada sampel adalah
Tabel 3. Gambaran dosis risperidon (mg/hari) dari pre treatment sampai mingggu kedelapan.
Follow up n Rerata
(mg/hr)
Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada keadaan awal (pre treatment) semua sampel diberi risperidon dengan dosis 2 mg/hari. Pada keadaan akhir
(minggu kedelapan) rerata±simpang baku dari dosis risperidon adalah 4,5±0,7
mg/hari (3-6 mg/hari).
Tabel 4. Gambaran kejadian EPS berdasarkan dosis harian risperidon dari sampel penelitian.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan dijumpai sebanyak 7/30 (23,3%) sampel yang mengalami EPS, dan kejadian EPS paling banyak
dijumpai pada sampel yang mendapat dosis harian risperidon sebesar 6 mg,
yaitu sebanyak 1/3 (33,3%) sampel. Rerata+simpang baku dari dosis risperidon
Tabel 5. Perubahan nilai BPRS per follow up
Waktu Jumlah kasus Rerata± sd P
Pre-treatment 30 40,9± 1,8
Minggu 1 30 34,1±3,0 p< 0,0001 Minggu 2 30 27,3± 3,5 p< 0,0001 Minggu 4 30 21,8± 2,9 p< 0,0001 Minggu 6 30 19,3± 1,6 p< 0,0001 Minggu 8 30 18,4± 0,8 p< 0,0001
Tabel 5 memperlihatkan Rerata±simpang baku dari nilai BPRS mulai
pre treatment sampai minggu kedelapan, memperlihatkan bahwa pada
keadaan awal (pre treatment) dengan rerata+simpang baku dari nilai BPRS
adalah 40,9+1,8 (38-44). Pada keadaan akhir (minggu kedelapan) dengan
rerata+simpang baku dari nilai BPRS adalah 18,4 + 0,8 (18-21).
Secara keseluruhan waktu yang diperlukan sampel untuk mencapai
keadaan remisi (penurunan nilai keseluruhan BPRS akhir >50% dibandingkan
dengan nilai keseluruhan BPRS awal dan nilai BPRS untuk semua item
psikotik <3) adalah 2-8 minggu. Sebanyak 1/30 (3,3%) sampel mencapai
keadaan remisi pada minggu kedua pemberian risperidon, Sebanyak 14/30
(46,7%) sampel mencapai keadaan remisi pada minggu keempat pemberian
risperidon, 12/30 (40%) sampel mencapai keadaan remisi pada minggu
keenam pemberian risperidon dan 3/30 (10%) sampel mencapai keadaan
Grafik 1 Perubahan Nilai BPRS per follow up
Grafik 1 memperlihatkan kurva penurunan rerata BPRS dari pre treatment
sampai dengan rerata BPRS minggu kedelapan.
BPRS
8 6
4 2
1 0
Estimated Marginal Means
45
40
35
30
25
20
15
Estimated Marginal Means of MEASURE_1
N I L A I
B P R S
BAB VIII PEMBAHASAN
Penelitian ‘Pengobatan Risperidon Pada Pasien Skizofrenik’ ini
merupakan suatu penelitian pra-eksperimental yang berbentuk one group
pretest–posttest design.25 Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian pra-eksperimental karena penelitian ini tidak menggunakan kontrol sebagai
pembanding.
Penelitian ini memilih kelompok pasien skizofrenik yang berusia antara
15-55 tahun sebagai sampel karena menurut kepustakaan sekitar 90% pasien
yang mendapat pengobatan untuk skizofrenia berusia antara 15-55 tahun.2 Pada tabel 1 terlihat bahwa pasien skizofrenik yang menjadi sampel
dalam penelitian ini menunjukkan sebagian besar subjek didominasi oleh
laki-laki (53,3%). Hill dan Sahhar tahun 2006 pada penelitiannya menunjukkan
sebagian besar subjek adalah laki-laki.28 Simanjuntak tahun 2006 pada penelitian pada 111 subjek skizofrenia menunjukkan sebagian besar subjek
adalah laki-laki.29
Pada tabel 1 terlihat juga subjek lebih banyak ditemui pada kelompok
usia 15-<40 tahun (60%) dibandingkan dengan kelompok usia 40-55 tahun
(40%), lebih banyak yang tidak bekerja (73,3%) dan single (76,7%). Gambaran
demografik di atas sesuai dengan yang dinyatakan dalam kepustakaan. Dalam
Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry, 9th edition, sekitar 75% pasien
dengan skizofrenia berat tidak dapat bekerja dan tidak memiliki pekerjaan serta
pasien skizofrenik sering hidup sendiri dan tidak menikah. 2
Pada tabel 2 terlihat bahwa tipe skizofrenia yang paling banyak ditemui
pada sampel penelitian adalah skizofrenia paranoid (70%) dan sebanyak
dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa skizofrenia paranoid merupakan
tipe skizofrenia yang paling banyak ditemui dan pasien skizofrenik cenderung
mengalami episode multipel dalam perjalanan penyakitnya.2
Pada tabel 3 terlihat bahwa dosis harian risperidon yang diperlukan
untuk mencapai keadaan remisi (penurunan nilai keseluruhan BPRS akhir
>50% dibandingkan dengan nilai keseluruhan BPRS awal dan nilai BPRS
untuk semua item psikotik <3) adalah 3-6 mg sehari. Setelah mencapai
keadaan remisi, pasien dianggap memasuki pengobatan fase stabilisasi. Hal
diatas sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa dosis target
risperidon berkisar antara 3-6 mg sehari.12,13 Menurut Expert Consensus Guidelines for the Treatment of Schizophrenia 2003, dosis risperidon pada fase
pemeliharaan skizofrenia adalah 2-4,5 mg sehari untuk pasien episode
pertama dan 3,5-5,5 mg sehari untuk pasien dengan episode multipel.17
Banyak pasien menunjukkan respons yang optimal dengan dosis
risperidon yang dianjurkan (2-6mg sehari).21 Peuskens tahun 1995 pada penelitiannya selama 8 minggu pada 1.362 pasien skizofrenik dengan
memakai Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) menunjukkan
respons risperidon pada dosis 4-8 mg sehari.5
Janssen dan kawan-kawan, penelitian pada skizofrenia kronis,
risperidon lebih efektif secara bermakna daripada haloperidol dalam mengobati
simtom afektif. Risperidon dengan dosis 6 mg sehari mengurangi secara
bermakna skor rata-rata BPRS dari kelompok ansietas/depresi dibandingkan
dengan haloperidol 20 mg sehari (p < 0,05).7
Pada penelitian ini waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan
remisi klinis pada pengobatan fase akut adalah 2-8 minggu. Kepustakaan yang
selama 4-8 minggu.12,13 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa efektifitas penuh dari suatu antagonis serotonin-dopamin umumnya dicapai dalam 4-6
minggu pengobatan.2
Zhang JZ dan kawan-kawan pada tahun 1998 dalam suatu studi open
label trial dengan pemberian risperidon pada 30 pasien skizofrenik dengan
penilaian memakai BPRS selama 8 minggu secara statistik menunjukkan
perbaikan yang signifikan.26
Sebuah perbandingan langsung yang lebih besar antara beberapa dosis
risperidon (2, 6, 12, atau 16 mg sehari) dengan haloperidol (20 mg sehari) atau
placebo pada pasien skizofrenia akut menemukan bahwa risperidon pada
dosis di atas 2 mg sehari dan haloperidol pada dosis 20 mg sehari adalah lebih
efektif secara bermakna terhadap simtom positif daripada placebo. Risperidon
6 mg sehari adalah lebih efektif secara bermakna terhadap simtom positif
daripada haloperidol. Risperidon 6 mg dan 16 mg sehari menghasilkan
perbaikan simtom negatif, tetapi haloperidol dan placebo tidak. Kriteria
perbaikan yang dipakai adalah perbaikan sebesar 20 persen atau lebih dari
skor Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) total atau BPRS. Simtom
ekstrapiramidal yang disebabkan oleh risperidon nampak lebih sering dari
placebo hanya pada dosis lebih besar dari 6 mg sehari.11
Pada tabel 4 terlihat bahwa EPS dijumpai pada dosis harian risperidon 4
mg (3/14 [21,4%] sampel), 5 mg (3/12 [25%] sampel) dan 6 mg (1/3 [33,3%]
sampel). EPS tidak dijumpai pada penggunaan risperidon dibawah 4 mg
sehari. Rerata + simpang baku dari dosis risperidon yang menimbulkan EPS
adalah 5,3 + 0,9 mg/hari (4-6 mg/hari). Pada penelitian ini, secara keseluruhan
EPS dijumpai pada 7/30 (23,3%) sampel. Kejadian EPS pada penelitian ini,
dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa insidens EPS pada
penggunaan risperidon adalah terkait dosis.22 Kejadian EPS pada penelitian ini lebih tinggi (mulai terlihat pada penggunaan risperidon 4 mg sehari)
dibandingkan dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa EPS pada
penggunaan risperidon umumnya terlihat pada dosis > 6 mg.2,6
Pada penelitian ini, kejadian EPS yang dialami sampel dapat diatasi
dengan pemberian trihexipenidil dengan rerata + simpang baku dosis sebesar
3,2 + 1,0 mg/hari (2-4 mg/hari).
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
risperidon menunjukkan efikasi yang baik untuk mengobati pasien skizofrenik.
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
IX.1. Kesimpulan
Dari pembahasan terhadap hasil penelitian dan pengkajian lebih lanjut
dari keseluruhan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
Kesimpulan :
a. Dari 30 sampel penelitian, karakteristik demografik dari sampel
didominasi oleh laki-laki (16 orang [53,3%]), kelompok usia 15-<40
tahun (18 orang [60%]), tingkat pendidikan SMA (19 orang [63,3%]),
tidak bekerja (22 orang [73,3%]), suku Batak (19 orang [63,4%]), single
(23 orang [76,7%]) dan beralamat di Medan (16 orang [53,3%]).
b. Dari 30 sampel penelitian, tipe skizofrenia yang paling banyak dijumpai
adalah skizofrenia paranoid (21 orang [70%]). Episode skizofrenia yang
paling banyak dijumpai adalah episode berulang (16 orang [53,3%]),
dengan rentang usia awitan pertama 23-40 tahun.
c. Dosis harian risperidon yang diperlukan untuk mencapai keadaan remisi
klinis (penurunan nilai keseluruhan BPRS akhir >50% dibandingkan
dengan nilai keseluruhan BPRS awal dan nilai BPRS untuk semua item
psikotik <3) adalah 3-6 mg sehari, dan waktu yang diperlukan sampel
untuk mencapai keadaan remisi adalah 2-8 minggu).
d. Secara keseluruhan, EPS dijumpai pada 7/30 (23,3%) sampel, dan
kejadian EPS paling banyak dijumpai pada sampel yang mendapat
dosis harian risperidon sebesar 6 mg, yaitu sebanyak 1/3 (30,3%)
sehari. Rerata + simpang baku dari dosis risperidon yang menimbulkan
EPS adalah 5,3 + 0,9 mg/hari (4-6 mg/hari). EPS yang dialami sampel
dapat diatasi dengan pemberian trihexiphenidil dengan rerata + simpang
baku dosis sebesar 3,2 + 1,0 mg/hari (2-4 mg/hari).
e. Hasil penelitian dari 30 sampel ini menunjukkan bahwa risperidon
menunjukkan efikasi yang baik dilihat dari parameter BPRS untuk
mengobati pasien skizorenik.
IX.2. Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa risperidon mempunyai
efikasi yang baik untuk pengobatan pasien skizofrenik dan dosis risperidon
yang dapat kita berikan pada pasien skizofrenik untuk mencapai keadaan
DAFTAR PUSTAKA
1. Buchanan RW, Carpenter TW. Concept of Schizophrenia. Dalam :
Sadock BJ, Sadock VA. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Vol 1.
Edisi kedelapan. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2005. h.
1329-45
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry.
Edisi kesembilan. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2003. h.
497-8.
3. SW Tang, Helmeste D. Aripiprazole. Medical Progress. Vol 33 No 2.
February 2006. h 84-88
4. Sadock BJ, Sadock VA. Schizophrenia. Dalam : Kaplan & Sadock’s.
Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Edisi kedua. Philadelphia;
Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h. 134-71
5. Goff DC. Risperidone. Dalam : Schatzberg AF, Nemeroff CB, eds.
Textbook of Psychopharmacology. Edisi ketiga. Washington, DC :
American Psychiatric Publishing, Inc, 2004. h. 495-505.
6. Owens MJ, Risch SC. Atypical Antipsychotics. Dalam : Schatzberg AF,
Nemeroff CB, eds. Essentials of Clinical Psychopharmacology. Edisi
pertama. Washington, DC : American Psychiatric Publishing, Inc. 2001.
h. 141-4.
7. Janssen Pharmaceutica. Risperidone Monograph. Oxford Clinical
Communications. 1993.
8. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Pocket Handbook of Clinical
Psychiatry. Edisi keempat. Philadelphia : Lippincot William & Wilkins ;
2005. h. 117-31
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). Jakarta,
1993. h. 105-18
10. American Psychiatric Association. Practice Guideline for the Treatment
of Patients with Schizophrenia. Edisi pertama. Washington DC, 1997. h.
35-42.
11. American Psychiatric Association. Practice Guideline for the Treatment
of Patients with Schizophrenia. Edisi kedua. Washington DC, 2004. h.
12. Kane JM, Marder SR. Schizophrenia : Somatic Treatment. Dalam :
Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. Edisi kedelapan. Vol I. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005. h. 1467-75.
13. Meltzer HY, Fatemi SH. Schizophrenia. Dalam : Ebert MH, Loosen PT,
Nurcombe B, eds. Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry.
International Edition 2000. Singapore : Lange Medical
Books/McGraw-Hill, 2000. h. 260.
14. Peuskens J. The Evolving Definition of Treatment Resistance. J Clin
Psychiatry 1999; 60 (suppl 12) : 4-8.
15. Davis JM, Chen N. Clinical Profile of an Atypical Antipsychotic :
Risperidone. Schizophrenia Bulletin, 2002; 28, 1 : 43-61.
16. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi
ketiga, Jakarta, 2001. p. 14-22.
17. Expert Consensus Guidelines for the Treatment of Schizophrenia 1999.
J Clin Psychiatry 1999; 60 (suppl 11). p. 16
18. Gelder M, Gath D, Mayou R, Cowen P. Oxford Textbook of Psychiatry.
Edisi ketiga, New York : Oxford Univ Press, 1996. p. 286-8.
19. Bech P, Kastrup M, Rafaelsen OJ. Mini-Compendium of Rating Scales
for States of Anxiety, Depression, Mania, Schizophrenia with
Corresponding DSM-III Syndromes. Acta Psychiatrica Scandinavica
1986; 73 (suppl 326). P. 7, 9-10, 23.
20. Blacker D. Psychiatric Rating Scale. Dalam : Sadock BJ, Sadock VA,
eds. Vol I. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Edisi kedelapan. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2005. h.
938-43.
21. Van Kammen DP, Marder SR. Serotonin-Dopamine Antagonists. Dalam
: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. Vol II. Edisi kedelapan. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005. h. 2914-37
22. Arana GW, Rosenbaum JF. Handbook of Psychiatric Drug Therapy.
23. Janicak PG, Davis JM, Preskom SH, Ayd FJ, Marder SR, Pavuluri MN.
Principles and Practice of Psychopharmacotherapy. Edisi keempat.
Philadelphia: Williams & Wilkins. 2006. h.103
24. Portney LG, Watkins MP. Foundation Of Clinical Research. Edisi kedua.
Upper Saddle River, New Jersey. 2000. h. 193-4
25. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi ke-3. Sagung Seto. Jakarta 2008. h. 88
26. Zhang JZ, Hou YZ, Wang XL, Hong X. Risperidone For The Treatment
Of Schizophrenia. Hong Kong Journal of Psychiatry. 1998. 8 (1) : 30-1
27. Herz IH, Merder SR. Schizophrenia Comprehensive Treatment and
Management. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2002.h.107
28. Volk DW, Lewis DA. Schizophrenia. Dalam: The Moleculer and Genetic
Basis of Neurologic and Psychiatric Disease. Rosenberg et al. Edisi
keempat. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2008. h.788-801.
29. Simanjuntak YP. Faktor Terjadinya Relaps pada Pasien Skizofrenia
Paranoid. Tesis Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
LAMPIRAN 1
Pedoman Diagnostik Skizofrenia Berdasarkan PPDGJ III F20 Skizofrenia
Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik khusus, dalam
praktik terdapat manfaat bila membagi gejala-gejala skizofrenik ke dalam
kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat
secara bersama-sama, misalnya :
a. thought echo, thought insertion atau withdrawal, dan thought broadcasting;
b. waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of
influence), atau ‘passivity’, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau
pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan
(sensations) khusus; persepsi delusional;
c. suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;
d. waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak
wajar serta sama sekali mustahil, misalnya mengenai identitas keagamaan
atau politik, atau kekuatan dan kemampuan ‘manusia super’ (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing
dari dunia lain);
e. halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (
over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
f. arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
g. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan
stupor;
h. gejala-gejala ‘negatif’ seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
i. suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude)
dan penarikan diri secara sosial.
Pedoman Diagnostik
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada
sedikitnya 1 gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya 2 gejala atau
lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala yang
termasuk salah satu dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau
paling sedikit 2 gejala dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada
secara jelas selama kurun waktu 1 bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang
memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari 1 bulan
(baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan
psikotik lir skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklarifikasi ulang kalau