REISOLASI DAN IDENTIFIKASI FUNGI PADA TANAMAN GAHARU (Aquilaria
malaccencis Lamk.) YANG TALAH DIINOKULASI
SKRIPSI
Oleh : LISDAYANI
081202058
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
REISOLASI DAN IDENTIFIKASI FUNGI PADA TANAMAN GAHARU (Aquilaria
malaccencis Lamk.) YANG TELAH DIINOKULASI
SKRIPSI
Oleh: LISDAYANI
081202058
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Reisolasi dan Identifikasi Fungi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) yang telah Diinokulasi
Nama : Lisdayani
NIM : 081202058
Program Studi Minat
: :
Kehutanan Budidaya Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Nelly Anna S.Hut, M.Si Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M. S
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
Agarwood is the result of a fungus that normally penginfeksian using fungi Fusarium sp. The purpose of this study was to determine the presence of Fusarium sp consistency in agarwood (Aquilaria malaccencis Lamk.) Which has been in the fungal inoculation and what is widely available on the stem top, middle, and bottom of aloes. Sample which is to used is stem which is taken away from Desa Penungkiran Durin Jangah Pancur Batu. Isolation and identifying has been done in Laboratorium Bioteknologi Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, which is conducted from April - October2013.
The result of this research showed that there are fifteen isolat of fungi from the stem, that are5 isolat Fusarim sp, 2 isolat Acremonium sp, 1 isolat Alternaria alternaria, 1 isolat
Nigrospora sphaerica, 2 isolat Scopulariopsis sp, 1 isolat Arthrinium phaeospermum, 1 isolat
Cladosporium sp, 1 isolat Scytalidium lignicola, 1 isolat Mucorsp.
Keywords: fungi, Agarwood, Reisolation, consist
Gaharu merupakan hasil penginfeksian dari fungi yang biasanya menggunakan fungi
Fusarium sp. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsistensi keberadaan
Fusarium sp pada gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) yang telah di inokulasi dan fungi apa yang banyak terdapat pada batang atas, tengah, dan bawah gaharu. Sampel yang digunakan adalah batang yang telah diinokulasi yang diambil dari Desa Penungkiran Dusun II Durin Jangah Pancur Batu. Isolasi dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukannya 15 isolat fungi yang terdapat pada batang, yaitu Cladosporium sp1., Aspergillus sp1., Cladosporium sp3., Aspergillus sp2.,
Aspergillus sp3., dan Aspergillus sp4.; empat isolat pada daun, yaitu Fusarium sp.,
Acremonium sp., Cladosporium sp4., dan Aspergillus sp5.; dan satu isolat pada ranting muda, yaitu Cladosporium sp2. Genus Cladosporium ditemukan pada setiap jaringan muda A. malaccensis Lamk. yang diisolasi dan Acremonium yang digunakan untuk menginduksi gaharu hanya ditemukan pada isolat daun saja.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Adapun judul dari skripsi ini adalah
“Reisolasi dan Identifikasi Fungi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria Malaccencis Lamk) Yang Telah Diinokulasi”.
Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis jamur yang terdapat pada Aquilaria
malacceensis Lamk hasil inokulasi dan konsistensi fungi penginfeksi Aquilaria malacceensis
Lamk. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan perkuliahan
pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi
materi maupun teknik penulisannya. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi kita semua,
sebagai dasar penelitian selanjutnya dan menyumbangkan ilmu pengetahuan bagi kemajuan
dunia pendidikan khususnya dalam bidang kehutanan.
Medan, Agustus 2014
DAFTAR ISI
Proses Pembentukan Gaharu ... 8
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 12
Bahan dan Alat Penelitian ... 12
Pelaksanaan Penelitian ... 12
Pengambilan Sampel ... 12
Pembuatan Media PDA... 12
Isolasi, Pemurnian dan Identifikasi Fungi Endofit ... 13
Dokumentasi ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Fungi yang telah Di Inokulasi ... 14
Identifikasi Fungi ... 24
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 26
Saran ... 26
ABSTRAK
Agarwood is the result of a fungus that normally penginfeksian using fungi Fusarium sp. The purpose of this study was to determine the presence of Fusarium sp consistency in agarwood (Aquilaria malaccencis Lamk.) Which has been in the fungal inoculation and what is widely available on the stem top, middle, and bottom of aloes. Sample which is to used is stem which is taken away from Desa Penungkiran Durin Jangah Pancur Batu. Isolation and identifying has been done in Laboratorium Bioteknologi Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, which is conducted from April - October2013.
The result of this research showed that there are fifteen isolat of fungi from the stem, that are5 isolat Fusarim sp, 2 isolat Acremonium sp, 1 isolat Alternaria alternaria, 1 isolat
Nigrospora sphaerica, 2 isolat Scopulariopsis sp, 1 isolat Arthrinium phaeospermum, 1 isolat
Cladosporium sp, 1 isolat Scytalidium lignicola, 1 isolat Mucorsp.
Keywords: fungi, Agarwood, Reisolation, consist
Gaharu merupakan hasil penginfeksian dari fungi yang biasanya menggunakan fungi
Fusarium sp. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsistensi keberadaan
Fusarium sp pada gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) yang telah di inokulasi dan fungi apa yang banyak terdapat pada batang atas, tengah, dan bawah gaharu. Sampel yang digunakan adalah batang yang telah diinokulasi yang diambil dari Desa Penungkiran Dusun II Durin Jangah Pancur Batu. Isolasi dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukannya 15 isolat fungi yang terdapat pada batang, yaitu Cladosporium sp1., Aspergillus sp1., Cladosporium sp3., Aspergillus sp2.,
Aspergillus sp3., dan Aspergillus sp4.; empat isolat pada daun, yaitu Fusarium sp.,
Acremonium sp., Cladosporium sp4., dan Aspergillus sp5.; dan satu isolat pada ranting muda, yaitu Cladosporium sp2. Genus Cladosporium ditemukan pada setiap jaringan muda A. malaccensis Lamk. yang diisolasi dan Acremonium yang digunakan untuk menginduksi gaharu hanya ditemukan pada isolat daun saja.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Fungi adalah mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa atau sel tunggal,
eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Dalam
dunia kehidupan fungi merupakan kingdom tersendiri, karena cara mendapatkan makanannya
berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorpsi. Sebagian besar tubuh
fungi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin
semacam jala, yaitu miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang
berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan dan miselium fertil yang berfungsi dalam
reproduksi (Gandjar et al, 1999).
Fungi dapat hidup disetiap tanaman. Ada yang bersifat merugikan bagi tanaman dan
ada juga yang memberikan keuntungan bagi tanaman. Salah satu manfaat yang dihasilkan
fungi pada tanaman adalah fungi yang menyebabkan terbentuknya gubal pada gaharu yang
membuat tanaman ini menghasilkan batang yang berbau harum dan memiliki nilai jual yang
tinggi. Tapi tidak semua jenis jamur yang ada digaharu yang dapat menyebabkan
terbentuknya gubal, hanya jenis-jenis fungi tertentu yang dapat menghasilkan gubal pada
gaharu. Diantaranya yang telah banyak diteliti adalah Fusarium sp dan Acremonium sp.
Bertahun-tahun masyarakat dan pemerintah daerah Kalimantan dan Sumatera
menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat
maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi, dan pola
pemanenan yang berlebihan serta perdagangan yang masih mengandalkan pada alam
tersebut, maka jenis-jenis tertentu misalnya Aquilaria dan Gyrinops saat ini sudah tergolong
langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Spcies
Keberadaan gaharu di alam sudah semakin terancam jumlahnya akibat banyaknya
gaharu diambil untuk dijual produknya. Masyarakat yang mengambil gaharu di alam
biasanya tidak melihat apakah kayu tersebut sudah layak ditebang atau belum. Sehingga kayu
gaharu yang di alam semakin habis karena tidak diimbangi penanaman kembali. Akibat
eksploitasi yang berlebihan ini dapat mengancam kelestarian pohon penghasil gaharu.
Pada tahun 1984 Badan litbang Kehutanan (FORDA) merupakan lembaga pertama di
Indonesia yang telah melakukan serangkaian rekayasa bioinduksi gaharu dengan
menggunakan jamur Fusarium, tetapi menggunakan media padat serbuk gergaji, ukuran mata
bor sebesar (10-12 mm) yang mudah patah dengan harga Rp 40.000-80.000, dan lubang
batang yang telah diinduksi jamur harus ditutup plastisin sehingga sangat repot sekali dalam
aplikasinya. Teknologi ini kita sebut sebagai teknologi generasi I (pertama). Kelemahan dari
teknologi ini adalah produksi gaharu yang dihasilkan berkisar 40% terjadinya pembentukan
gaharu, sisanya batang yang disuntik mengalami kebusukan. Teknologi generasi pertama
bioinduksi ini telah diikuti oleh beberapa institusi perguruan tinggi dan lembaga riset yang
melaksanakan penelitian gaharu di daerah masing-masing. Selanjutnya pada tahun 2004,
FORDA melanjutkan pengimbangan bioinduksi generasi II dengan koleksi jamur Fusarium
yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Kehebatan dari teknologi generasi II ini
adalah aplikasi yang sangat sederhana digunakan oleh petani hutan termasuk keluarganya
dalam proses induksi gaharu. Spesifikasi dari teknologi generasi II adalah mata bor yang
digunakan adalah jari-jari sepeda motor berukuran kecil (3 mm) dengan harga produksi Rp
5000 dan mata bor yang tidak mudah patah. Kehebatan dari teknologi generasi II ini adalah
hasil produksi gaharu mencapai 100 % dengan cara mengikuti metode yang telah diterapkan.
Produk bioinduksi gaharu ini sangat mudah dikomersialisasikan karena jamur Fusarium
botol plastik berisi 600 cc. Biaya induksi pohon pengahasil gaharu berkisar antara Rp
400.000-Rp 1000.000, tergantung pada tinggi dan diameter pohon (Turjaman).
Adapun hal yang melatarbelakangi saya melakukan penelitian ini adalah untuk melihat
fungi-fungi apa saja yang tumbuh dan berkembang pada gaharu yang telah diinokulasikan.
Setelah dilakukan penelitian dengan melakukan isolasi kembali pada batang gaharu maka
akan diketahui apakah hanya Fusarium saja yang terdapat di batang yang telah
diinokulasikan tersebut atau ada jenis fungi lain yang tumbuh. Jika hanya ada spesies
Fusarium maka ada kemungkinan penginokulasian yang telah dilakukan oleh petani gaharu
berhasil dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsistensi keberadaan Fusarium sp pada
gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) yang telah di inokulasi dan fungi apa yang banyak
terdapat pada batang atas, tengah, dan bawah gaharu.
Manfaat Penelitian
Sebagai bahan informasi bagi umum pada bagian batang mana yang banyak terdapat
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Gaharu
Gaharu menjadi komoditas pertanian paling mahal di dunia. Lantaran populasinya di
alam yang kian langka, maka pembudidayaan menjadi alternatif yang paling rasional. Gaharu
adalah sejenis kayu yang dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki
kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang
tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik
secara atau buatan pada pohon tersebut, dan umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp.
(Nama daerah: Karas, Alim, Garu, dan lain-lain). Gaharu memiliki berbagai bentuk dan
warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, sebagai akibat infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon
Aquilaria sp (Thymelaeaceae).
Tumbuhan penghasil gaharu menurut Sumarna (2002) secara botanis memiliki
susunan tata nama sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Termatophta
Sub-Divisi : Angiospermae
Klas : Dikotiledonae
Ordo : Myrtales
Famili : Thymeleaceae
Genus : Aquilaria
Spesies : Aquilaria malaccensis Lamk
(Susetya,2012).
Saat ini diketahui gaharu dapt diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili
Cina, daratan Indochina (Myanmar dan Thailand), malay Peninsula (Malaysia, Brunai
Darussalam, dan Filipina), serta Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Mataram dan beberapa daerah lainnya). Potensi produksi gaharu
yang ada di Indonesia berasal dari jenis pohon Aquilaria malaccensis, A. filaria, A. birta, A.
agalloccba Roxb, A. macrophylum, Aetoxylon sympetalum, Ganystylum bancanus, G.
macrobyllus, Enkleia malacensis, Wikstroemia androsaemofolia, W. tenuriamis, Gyrinops
cumingiana, dalbergia parvifolia, dan Excoccaria agalloccb. Dari banyaknya jenis pohon
yang berpotensi sebagai penghasil gaharu tersebut, hanya satu diketahui penghasil gaharu
yang berkualitas terbaik dan mempunyai nilai jual yang tinggi dibanding dengan pohon
lainnya yaitu Aquilaria malacensis (Widiastuti, 2011).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Radian, dkk (2007) yang dilakukan di
Sengoret daerah Sanggau dan desa Jungat daerah Sintang yang diketahui banyak diperoleh
gaharu memiliki kesamaan terhadap jenis pohon penghasil gaharu. Pohon gaharu yang
berhasil ditemukan adalah pohon gaharu yang tumbuh secara alami di hutan primer, hutan
belukar dan lereng perbukitan. Pada kedua daerah tersebut pohon penghasil gaharu ada tiga
jenis dari genus Aquilaria. Sebenarnya masih banyak lagi pohon hutan yang telah diketahui
dapat membentuk gaharu tetapi karena pencarian lebih pada upaya untuk mendapatkan
gaharu dengan kualitas baik maka hanya didapatkan ketiga jenis pohon diatas. Fokus
pencarian yang dilakukan masyarakat setempat kebanyakan pada jenis gaharu yang diminta
oleh pedagang sehingga kemungkinan tidak ada keingginan untuk mencari jenis lainnya.
Maka wajar jenis pohon gaharu yang diperoleh hanya tiga jenis saja. Ketiga jenis yang
diperoleh adalah Aquilaria beccariana, A. malacensis, A. microcarpa.
Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan
buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya
oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi
resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin
tinggi (Siran, 2010).
Gaharu (A. malaccensis Lamk.) merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu. Proses pembentukan
gubal pada gaharu hingga saat ini masih harus diteliti. Di alam tidak semua pohon penghasil
gaharu membentuk gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Pada gaharu
budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau
luka yang diinokulasi dan kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi
hingga panen. Semakin lama maka semakin banyak resin wangi yang terakumulasi dan
semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan. Dengan demikian, maka pengembangan
gaharu hasil budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan produksi yang
mengandalkan gaharu bentukan alam (Mucharromah, 2010).
Tinggi tanaman mencapai 40-60 m dan diameter 60 cm. Kulit kayu muda berwarna
cokelat terang dengan rambut-rambut halus, sedangkan kulit kayu yang lebih tua dengan
warna yang keputih-putihan. Kayu tanpa resin berwarna putih, ringan dan lembut, ketika
kayu memiliki resin menjadi lebih keras, berwarna gelap dan berat. Susunan daunnya
alternate, berbentuk elips, lebarnya 3-3,5 cm dan panjangnya 6-8 cm dengan 12-18 daun
pasang setiap ranting. Susunan bunganya terminal atau axillary. Bunga bersifat hermaprodit,
dengan panjang lebih dari 5 mm, harum, dan berwarna hijau kekuningan atau putih
kekuningan (Adelina, 2004).
Fungi
Untuk mendapatkan gambaran dari golongan jamur seluruhnya dapat diberikan ihtisar
sebagai berikut (menurut Alexopoulus, 1962). Thallophyta yang tidak berklorofil dibagi atas:
2. phylum Myxomycophyta (jamur lendir)
3. phylum Eumycophyta (jamur benar)
Phylum Eumycophyta terbagi atas 4 kelas, yaitu:
1. kelas Phycomycetes (jamur ganggang)
2. kelas Ascomycetes
3. kelas Deuteromycetes atau fungi imperfecti (jamur tak sempurna)
4. kelas Basidiomycetes
Adapun yang penting dalam pembicaraan mikrobiologi ialah kelas Myxomycetes, kelas
Phycomycetes, kelas Ascomycetes, dan kelas Deuteromycetes (Dwidjoseputro,
1989).
Fungi yang hidup di darat dapat menghasilkan spora yang terbentuk di dalam sel-sel
khusus (askus), jadi merupakan endospora, ada yang di luar basidium dan disebut eksospora.
Di damping itu kebanyakan jamur dapat membiak aseksual dengan konidium. Pembuiakan
seksual dapat berlangsung dengan berbagai cara yaitu isogami, anisogami, oogami,
gametangiogami (perkawinan dua gametangium yang berlainan jenis kelaminnya) dan
somatogami (perkawinan dua sel talus yang tidak mengalami diferensiasi). Beberapa jenis
jamur dapat mengubah sel-sel tertentu menjadi alat-alat untuk mengatasi kala yang buruk,
yang disebut teletospora, klamidospora, atau gemma. Dapat juga sekumpulan benang-benang
miselium merupakan badan seperti umbi dan dinamakan sklerotium (Tjitrosoepomo, 2005).
Jamur hidup sebagai saprofit atau parasit, ada yang di dalam air, kebanyakan di
daratan. Dalam laut jarang sekali terdapat. Kebanyakan dari yang hidup sebagai saprofit
dapat dipiara pada subtrat buatan. Sebagai zat makanan cadangan terdapat glikogen, lemak,
dan kadang-kadang juga manit dan ureum (Tjitrosoepomo, 2005).
Secara alami, jamur dapat tumbuh pada musim tertentu dalam satu tahun. Hal ini
Menurut kemampuan hidup pada suhu tertentu, jamur terbagi dalam tiga golongan, yaitu
psikrofilik, mesofilik, dan termofilik. Jamur psikrofilik merupakan jamur yang tumbuh pada
kisaran suhu 0º-30ºC dengan suhu optimum sekitar 15ºC. Jamur mesofilik merupakan jamur
yang tumbuh pada kisaran suhu 25º-37ºC dengan suhu optimum sekitar 30ºC. Sementara itu,
jamur termofilik merupakan jamur yang tumbuh pada kisaran suhu tinggi, yaitu 40º-75ºC,
dengan suhu optimum sekitar 55ºC (Sinaga,2011).
Fungi dapat ditemukan pada aneka substrat, baik dilingkungan darat, periran,
mapupun udara. Tidaklah sulit menemukan fungi di alam, karena bagian vegetatifnya yang
umumnya berupa miselium berwarna putih mudah terlihat pada substrat yang membusuk
(kayu lapuk, buah-buahan yang terlalu masak, makanan yang membusuk). Konidianya atau
tubuh buahnya dapat mempunyai aneka warna (merah, hitam, jingga, kuning, krem, putih,
abu-abu, coklat, kebiruan, dan sebagainya) pada daun, batang kertas, tekstil, kulit, dan
lain-lain. Tubuh buah fungi lebih mencolok karena langsung dapat dilihat dengan kasat mata,
sedangkan miselium vegetatif yang menyerap makanan hanya dapt dilihat dengan
menggunakan mikroskop (Gandjar et al. ,1999).
Proses Pembentukan Gaharu
Gaharu adalah sejenis resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu dimana terbentuk
karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada
pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi
tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan
penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat
phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon karas dari jenis
Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar ini tidak keluar dari batang gubalnya,
tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan
batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan
konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000).
Hasil uji laboratoris (screening) terhadap isolat yang diperoleh dari pohon penghasil
yang telah terinfeksi penyakit, sesuai jenis pohon dan kondisi ekologis lingkungan tumbuh
pada media agar (PDA) dijumpai variasi beberapa genus jamur penyakit yang hidup
berasosiasi. Hasil pengamatan terhadap isolat dari pohon terinfeksi, sesuai jenis dan kondisi
ekologis lingkungan tempat tumbuh, teridentifikasi adanya jamur (fungi) penyakit antara lain
genus Fusarium sp., Phytium sp., Rhizoctonia sp., Libertella sp., Lasiodiplodia sp.,
Thielaviopsis sp., Trichoderma sp., Botrydiplodia sp., Diplodia sp., Penicilium sp.,
Cylindracarpon sp., dan Acremonium sp. Hasil uji dominansi menunjukkan bahwa penyakit
dari genus Fusarium spp. diduga kuat merupakan penyakit utama dalam proses terbentuknya
gaharu pada berbagai jenis pohon penghasil (Sumarna,2002).
Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan fungi yang banyak dijadikan inokulan
dalam penginfeksi gaharu adalah dari spesies Fusarium sp dan Acremonium sp. Pada
penelitian Wulandari (2009) beliau mencoba mengkombinasikan pemakaian kedua jenis
fungi ini untuk meninduksi A.malaccensis. dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa sema
pohon yang inokulasi menurun kebugarannya sejal 1 bulan setelah inokulasi. Intensitas warna
kayu, panjang dan leba zona perubahan warna serta tingkat wangi kayu pada pemberian
inokulan ganda cenderung tinggi dibandingkan pemberian inokulan tunggal. Inokulan ganda
AF merangsang pembentukan wangi dengan tingkat dan frekuensi titik inokulasi yang
wanginya lebih tinggi daripada FA. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang
pohon membentuk triterpenoid.
Berdasarkan hasil penelitian Iskandar dan ahmad (2012) inokulasi yang menggunakan
4 isolat Fusarium, didapatkan bahwa perlakuan inokulasi berpengaruh nyata terhadap potensi
adalah F4, kemudian diikuti oleh F1,F3,F2,F0(kontrol). Fusarium F4 adalah inokulan yang
dikembangkan oleh badab Litbang Kehutanan Bogor dengan asal isolat dari Gorontalo.
Inokulan yang berasal dari Gorontalo ini relatif efektif dalam merangsang pembentukan
gaharu dan wangi pada pengukuran 3 bulan setelah inokulasi dibandingkan dengan Fusarium
yang berasal dari daerah lain.
Pada penelitian Fauzi, et al. (2010) yang mencoba menginfeksikan Fusarium pada
gulma enceng gondok didapatkan hasil bahwa suhu dan lama kebasahan daun mempengaruhi
tingkat intensitas penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. pada gulma eceng
gondok. Suhu yang ditunjukkan dengan perlakuan inokulasi pada waktu yang berbeda (pagi
dan sore) menunjukkan pada suhu bagaimana tanaman terekspos (terpapar) segera setelah
inokulasi. Inokulasi pagi hari, akan menyebabkan tanaman terpapar pada suhu panas (tinggi)
siang segera setelah inokulasi, sedangkan inokulasi sore hari akan menyebabkan tanaman
terpapar pada suhu malam yang dingin(rendah) segera setelah inokulasi. perkembangan
penyakit dipengaruhi oleh suhu segera setelah inokulasi, dimana gulma yang terpapar pada
suhu rendah cenderung penyakitnya berkembang lebih lambat dibandingkan dengan penyakit
pada gulma yang terpapar pada suhu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Fusarium sp.
lebih sesuai untuk tumbuh dan berkembang pada suhu tinggi dibandingkan dengan suhu
rendah. Beberapa penelitian tentang kebutuhan suhu jamur Fusarium sp. menunjukkan hasil
yang sama dengan penelitian yang dilaporkan ini.
Berdasarkan penelitian ini dapat kita ketahui bahwa pertumbuhan Fusarium sp.
dipengaruhi oleh suhu yang juga didukung oleh beberapa penelitian lainnya. Hal ini bisa jadi
juga berlaku pada saat penginokulasian pada tanaman penghasil gaharu dengan
memperhatikan suhu pada saat dilakukan inokulasi agar fungi dapat berkembang secara
Berdasarkan penelitian Novriyanti (2008) yang melihat pengaruh zat ekstraktif
terhadap pembentukan gaharu pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria
microcarpa Baill diperoleh hasil melalui Analisis mikrobiologi dilakukan per periode 2
bulanan untuk mengetahui perubahan mikrobiologis yang terjadi pada titik luka inokulasi.
Analisis dilakukan dengan mengambil bagian batang antara area nekrosis dengan area yang
sehat, dimana bagian yang mengandung miroba ini kemudian dibiakkan pada media agar.
Koloni-koloni mikroba yang muncul selanjutnya diisolasi dan diidentifikasi jenisnya. Dari
hasil analisis mikrobiologis ini diketahui bahwa pada umur enam bulan inokulasi belum
terjadi perubahan mikroorganisme yang bersifat predasi pada pohon-pohon A. microcarpa
dan A. crassna. F. Bulbigenum yang diinokulasikan merupakan satu-satunya jamur yang
ditemukan di daerah nekrosis batang A. crassna dan A. microcarpa. Namun, terjadi asosiasi
antara F. bulbigenum dengan serangga kecil seperti semut dan kumbang di daerah inokulasi
tersebut. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa zat ekstraktif juga berpengaruh
terhadap pembentukan gaharu. Karena pada tanaman A. crassna yang diteliti Novriyanti
(2008) ini mengandung senyawa fenolik yang merupakan metabolit sekunder yang diketahui
memiliki fungsi sebagai senyawa pertahanan terhadap pengaruh lingkungan dan penyakit.
Sehingga berpengaruh terhadap efektifitas penginokulasian pada pohon penghasil gaharu.
Dalam penelitian Radian, dkk (2007) juga diperoleh bahwa yang fungi yang
membentuk gubal gaharu yang teridentifikasi adalah dari genus Fusarium dan Thielaviopsis.
Kedua genus fungi ini tercatat sebagai patogen lemah yang menyerang tanaman ketika dalam
kondisi pertumbuhan yang kurang baik. Mikroba ini berasosiasi dengan setiap gubal yang
diambil. Ada 3 spesies dari genus Fusarium yaitu Fusarium solani, Fusarium oxysporum dan
Fusarium monilifone. Genus Fusarium terkenal sebagai patogen tanah yang terkadang dapat
mulai dari tanaman semusim sampai tahunan. Biasanya akhir dari serangan Fusarium dapat
mengakibatkan kematian tanaman.
Rahmawati et al. (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam uji ganda
antar isolat Acremonium spp. (isolat Sr dan F) dengan planlet A. malaccensis menunjukkan
bahwa seluruh cendawan yang diuji bersifat patogenik dan mampu menghasilkan tingkat
wangi yang beragam. Seluruh isolat Sr dan F menghasilkan tingkat wangi yang lebih
menyengat dibandingkan dengan isolat MP, sedangkan isolat LM2 tidak menghasilkan aroma
wangi. Rahmawati et al. (2006), juga melaporkan bahwa berdasarkan ciri-ciri morfologi
koloni semua isolat yang diuji, hanya terdapat sedikit perbedaan bentuk koloni, warna koloni,
dan miselium udara. Di samping itu, kecepatan tumbuh isolat juga berbeda. Pada umumnya,
koloni isolat yang diuji berwarna oranye pucat, sedangkan koloni isolat Sr2 dan Sr5 yang
berasal dari inang Aquilaria spp., dari Sorong, koloninya berwarna sedikit kemerah-merahan.
Sebagian besar dari isolat memiliki miselium udara yang agak tipis. Hasil pengamatan
histologis menunjukkan adanya tingkat kesamaan yang tinggi antar sebagian besar isolat Sr
dengan isolat F.
Berdasarkan hasil penelitian Ilyas (2006) didapatkan hasil bahwa Kapang marga
Fusarium diperoleh hampir di seluruh rizosfir akar tanaman yang menjadi sampel penelitian,
terkecuali pada akar ampupu, jambu biji, kacang tanah, kentang, kopi, sayur putih, dan tebu.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Oktober 2013. Penelitian dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian batang yang telah terinfeksi
jamur dari tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.), media PDA, alkohol 70%, spirtus,
kloroks,tisu, kertas label dan aquades.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air Flow Cabinet
(LAFC), otoklaf, cawan petri, jarum ose, bunsen, scalpel, pinset, erlenmeyer, beker glass,
mikroskop, kaca preparat dan cover glass.
Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Sampel
Sampel penelitian diperoleh dari Desa Penungkiran Dusun II Durin Jangah Pancur
Batu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Bagian tanaman A. Malaccensis yang diambil
adalah bagian dalam batang pohon dimana tanaman tersebut telah diinfeksi dengan jamur.
Pembuatan Media PDA
Sebanyak 19,5 g ditimbang serbuk media PDA, kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan aquades hingga 500 ml. Selanjutnya erlenmeyer
ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Kemudian serbuk PDA dipanaskan di atas kompor
sampai larut dan disterilkan dalam aotuklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Pada saat akan
dipakai, media PDA padat dipanaskan dan dicairkan di atas kompor. Kemudian didinginkan
dalam cawan petri sebanyak ± 10 ml. Sebelum digunakan, media PDA dalam cawan petri
dibiarkan menjadi dingin dan memadat.
Isolasi, Pemurnian, dan Identifikasi Fungi
Fungi diisolasi dari sampel tanaman A. Malaccensis yang telah ditaman pada media
PDA. Sterilisasi permukaan pada sampel dilakukan dengan menggunakan clorox 2% selama
2 menit sebanyak tiga kali, kemudian dibilas dengan menggunakan aquadest steril sebanyak
tiga kali. Setelah dilakukan sterilisasi permukaan lalu sampel diletakkan ke dalam botol yang
telah di beri tissu yang dibasahi dengan aquades lalu setelah itu di tutup dengan alumunium
foil. Setelah itu sampel dibiarkan selama 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam, sampel
lalu diletakkan pada cawan petri yang berisi media Potato Dextrose Agar (PDA) yang telah
diberi antibiotik untuk menghindari kontaminasi oleh bakteri.
Fungi yang tumbuh, masing-masing dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi
media PDA dan diinkubasi pada suhu 250C, kemudian diberi tanda. Fungi endofit yang telah
tumbuh pada media isolasi PDA kemudian secara bertahap dimurnikan satu persatu.
Masing-masing isolat murni fungi endofit yang diperoleh kemudian dipindahkan ke dalam media
PDA dalam cawan Petri. Pemurnian ini bertujuan untuk memisahkan koloni endofit dengan
morfologi berbeda untuk dijadikan isolat tersendiri. Pengamatan morfologi dilakukan
kembali setelah inkubasi selama 5-7 hari, dan apabila masih ditemukan pertumbuhan koloni
yang berbeda secara makroskopik maka harus dipisahkan kembali sampai diperoleh isolat
murni. Fungi diinkubasi pada suhu kamar selama 3-5 hari sesuai dengan pertumbuhannya.
Pengamatan dilakukan terhadap warna koloni, konidiofor dan spora yang dihasilkan.
Selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku identifikasi fungi Gandjar et al (1999).
Pendokumentasian jenis fungi
Biakan fungi kemudian didokumentasi untuk menunjukkan strukturnya, dokumentasi
dilakukan terhadap satu biakan atau lebih untuk membandingkan bentuk dari beberapa jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada batang gaharu yang telah
diinokulasi dengan mengambil sampel batang gaharu pada bagian atas, tengah, dan bawah
terdapat beberapa jenis fungi yang terdapat pada tiga bagian batang tersebut. Setelah
dilakukan identifikasi terhadap fungi yang telah diisolasi diperolehlah hasil bahwa fungi yang
banyak dijumpai pada ketiga bagian batang adalah jenis Fusarium sp. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terbentuk konsistensi pada batang gaharu yang telah diinokulasi, dimana yang
menjadi isolat adalah Fusarium sp. Hasil yang telah didapatkan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel jenis-jenis fungi yang terdapat pada tiga bagian batang gaharu
54 Fusarium sp5,
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa fungi yang banyak terdapat pada ketiga
bagian batang adalah jenis Fusarium sp. Hal ini menunjukkan bahwa proses penginokulasian
gaharu menggunakan inokulan Fusarium sp dapat dikatakan menunjukkan hasil yang baik.
Dibuktikan dengan konsistensi fungi yang terdapat pada ketiga bagian batang gaharu. Dari
hasil yang didapat juga menunjukkan bahwa Fusarium sp banyak terdapat dibagian batang
atas dan bawah. Sedangkan pada bagian batang tengah dapat dilihat dari tabel bahwa jenis
fungi cukup bervariasi. Bagian yang paling banyak terdapat Fusarium sp adalah batang
bagian atas. Berdasarkan Gandjar (1999) spesies Fusarium sp ini banyak terdapat didaerah
tropis dan subtropis dan banyak dijumpai pada tumbuhan terutama pada bagian batang
tanaman.
Isolasi fungi pada A.malaccensis yang telah diinokulasi
Dari isolasi yang telah dilakukan dan hasil identifikasi yang dicocokkan
batang tanaman A. malaccensis Lamk yang telah diinokulasi. Dari 15 isolat ini terdapat 5
isolat Fusarim sp, 2 isolat Acremonium sp, 1 isolat Alternaria alternaria, 1 isolat Nigrospora
sphaerica, 2 isolat Scopulariopsis sp, 1 isolat Arthrinium phaeospermum, 1 isolat
Cladosporium sp, 1 isolat Scytalidium lignicola, 1 isolat Mucorsp.
(a) (b)
Gambar 1. Koloni Acremonium sp1. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Gandjar et al. (1999) menyatakan bahwa koloni Acremonium pada awal
pertumbuhannya koloni agak basah, kemudian menjadi seperti tepung dan tampak seperti
kapas dengan mycelium pustles yang berwarna pituh hingga merah muda. Seperti yang
terlihat pada gambar 1(a) koloni dari fungi ini telah berwarna merah muda. Pada gambar 1 (b)
terlihat bahwa konidiofor dari Acremonium berbentuk cabang dan memiliki konidia yang
berbentuk bulat. Sesuai dengan pernyataan Gandjar et al. (1999).
(a) (b)
konidia
konidofor
Gambar 2. Koloni Nigrospora sphaerica. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
Pada gambar 2 (a) terlihat bahwa warna dari koloni Nigrospora sphaerica berwana
putih agak kecokelatan dan pada gambar (b) menunjukkan bahwa koloni memiliki konidiofor
yang bercabang dan memiliki konidia yang berbentuk elips. Sesuai dengan pernyataan
Gandjar et al. (1999) yang menyebutkan bahwa koloni semula berwarna putih kemudian
terlihat titik-titik yang semula coklat kemudian menjadi hitam. Konidiofor tidak berwarna
hingga coklat, dan berdinding halus.. sel pembentuk konidia tidak berwarna dan soliter.
Konidia tunggal berwarna agak hitam agak violet, berbentuk bulat atau elips yang lebar
seperti ditekan pada dorsiventralnya, berdinding halus, dan tidak berspektrum.
(a) (b)
Gambar 3. Koloni Alternaria alternata. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
Berdasarkan Gandjar et al. (1999) koloni Alternaria ini berwarna hitam atau hijau tua
kehitaman atau abu-abu kehitaman atau abu-abu tua. Konidiofor bersepta 1 hingga 3, tampak
sederhana atau bercabang, lurus atau membengkok. Konidia berwarna coklat, berdinding
halus atau sedikit kasar, membentuk rantai yang seringkali becabang, berbentuk obclavate,
obpyriform, ovoid atau elips, dan sel yang paling ujung menyerupai paruh bebek.
konidiofor
(a) (b)
Gambar 4. Koloni Fusarium sp1. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Pada gambar (a) terlihat bahwa koloni berwarna merah muda dan seperti berbentuk
kapas. Pada awal pertumbuhan semula berbentuk kapas berwarna putih lalu setelah
memasuki beberapa hari lalu berubah menjadi merah muda. Pada pengamatan mikroskopis
terlihat bahwa konidiofor berbentuk cabang dan memiliki septa. Hal ini sesuai dengan
Gandjar et al. (1999) yang menyatakan bahwa konidiofor bercabang dan bersepta 3-5.
(a) (b)
Gambar 5. Koloni Fusarium sp2. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Pada gambar terlihat bahwa warna koloni adalah putih berbentuk seperti kapas dan
pada pengamatan mikroskopis terlihat bahwa konidiofor berbentuk cabang dan memiliki
septa.
konidiofor konidia
konidiofor
(a) (b)
Gambar 6. Koloni Scopulariopsis sp1. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
Pada pengamatan makroskopis terlihat bahwa koloni berwarna abu-abu yang
berbentuk seperti tepung pada permukaannya. Pada pengamatan mikroskopis konidiofor
berbentuk seperti bulatan yang bersatu membentuk garis. Sesuai dengan pernyataan Gandjar
et al. (1999) koloni semula berwarna putih dan agak funiculose pada bagian pusat kemudian
menjadi keabu-abuan dengan tepi koloni berwrna putih. Sebalik koloni berwarna kecoklatan
seperti warna madu. Konidiofor bercabang satu atau dua secara vertisilata. Sel pembentuk
konidia pada basisnya agak membengkak dan memiliki daerah analedik. Konidia berbentuk
bulat hingga oval, berbasis rata dengan ujung agak meruncing.
(a) (b)
Gambar 7. Koloni Alrenaria alternata 2. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
konidia konidiofor
konidia
Pada pengamatan makroskopis terlihat bahwa koloni berwarna hijau tua. Pada
pengamatan makroskopis terlihat bahwa bahwa konidiofor memiliki septa, sementara itu
konidia berbentuk agak lonjong. Hal ini dijelaskan dalam Gandjar et al. (1999) Konidiofor
bersepta 1 hingga 3, tampak sederhana atau bercabang, lurus atau membengkok. Konidia
berwarna coklat, berdinding halus atau sedikit kasar, membentuk rantai yang seringkali
becabang, berbentuk obclavate, obpyriform, ovoid atau elips, dan sel yang paling ujung
menyerupai paruh bebek.
(a) (b)
Gambar 8. Koloni Fusarium sp3. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Pada koloni Fusarium sp3 ini terlihat bahwa warna koloni putih seperti kapas
ditengah dan coklat dilingkaran yang lebih besar. Bagian koloni yang berwarna coklat lebih
tipis permukaannya dibandingkan dengan yang berwarna putih. Pada saat diamati melalui
pengamatan mikroskopis dapat dilihat bahwa konidiofor dari koloni ini memiliki cabang dan
juga memiliki septa. Setelah dicocokkan dengan buku identifikasi Gandjar et al. (1999)
disimpulkan bahwa fungi ini termasuk kedalam spesies Fusarim sp. Konidiofor
(a) (b)
Gambar 9. Koloni Cladosporium sp. setelah berumur 5 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Berdasarkan Gandjar et al. (1999) dijelaskan bahwa fungi ini memiliki penampakan
awal seperti beludru, kemudian seperti tepung halus karena pembentukan konidia yang lebat.
Koloni berwarna hijau tua kecoklatan, atau hijau keabu-abuan. Pada gambar 9 (a) dapat kita
lihat bahwa penapakan dari fungi ini berwarna keabu-abuan dan pada gambar (b) bentuk dari
konidia dari Cladosporium ini membentuk bulatan yang menyatu seperti rantai.
(a) (b)
Gambar 10. Koloni Scopulariopsis sp2. setelah berumur 3 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
Pada gambar 10 (a) terlihat bahwa koloni jamur berwarna cokelat muda dengan tepian
berwarna putih, koloni ini berbentuk seperti kapas yang menyebar keseluruh media dalam
bentuk bulatan-bulatan kecil berdiameter sekitar ± 1 cm. Sesuai pernyataan Gandjar et al.
(1999) dalam buku pengenalan kapang tropik umum dijelaskan bahwa koloni pada medium
konidia konidiofor
MEA mencapai diameter 1,9-2,5 cm (24ºC), semula berwarna cokelat muda dengan tepian
berwarna putih sedangkan pada bagian pusat seperti kapas, kemudian menjadi hitam
kecokelatan dan seluruh koloni menjadi seperti kapas. Sebalik koloni berwarna merah muda
agak cokelat muda yang kemudian menjadi cokelat tua. Pada gambar 10 (b) konidia terlihat
berbentuk bulat dan menyatu setiap bulatannya seperti membentuk sebuah rantai dan
bercabang.
(a)
(b)
Gambar 11. Koloni Fusarium sp4. setelah berumur 5 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengidentifikasian menggunakan buku panduan
pengenalan kapang oleh Gandjat et al. (1999) diketahui bahwa fungi pada gambar 11 ini
adalah Fusarium sp. Dari gambar 11 (a) terlihat bahwa koloni berbentuk kapas berwarna
putih dengan tengah koloni berwarna abu-abu. Koloni berbentuk lingkaran yang hampir
memenuhi seluruh permukaan media PDA. Pada gambar 11 (b) apabila diamati
menggunakan mikroskop terlihat konidiofor dari fungi ini bercabang dengan konidia yang
bersepta.
(a) (b)
Gambar 12. Koloni Acremonium sp2. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Setelah dilakukan pengamatan di laboraturium dengan menggunakan mikroskop dan
bantuan buku pengenalan kapang tropis oleh Gandjat et al. (1999) didapatkan bahwa gambar
12 merupakan Acremonium sp. Gandjat et al. (1999) dalam bukunya menyatakan bahwa pada
awal pertumbuhan koloni Acremonium sp agak basah, kemudian menjadi seperti tepung dan
tampak seperti kapas dengan mycelium pustles yang berwarna ptih hingga merah muda.
Konidiofor seringkali bercabang. Konidia bergerombol membentuk suatu kepala yang
berlendir, berbentuk elips hingga silindris pendek, berukuran (3,2-4,5) * (1,4-2,0) ��,
berwarna hialin, dan berdinding halus. Khlamispora tidak ada. Spesies ini bersifat kosmopolit
dan telah diisolasi dari dinding ruangan yang lembab, serta karpet yang berjamur. Mungkin
sekali spesies ini penyebab pembusukan pada buah apel dan pir.
Pada beberapa penelitian mengenai gaharu spesies ini juga dijadikan sebagai inokulan
penginfeksi gaharu yang menghasilkan ubal gaharu seperti halnya Fusarium sp. konidi
(a) (b)
Gambar 13. Koloni Scytalidium lignicola. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan
bentuk mikroskopik (b)
Pada gambar 13 (a) dapat dilihat bahwa koloni dari fungi menyebar diseluruh media
agar dan ditengah-tengah koloni terdapat hifa yang berbentuk seperti kapas. Pada buku
panduan pengenalan kapang tropis oleh Gandjat et al. (1999) dinyatakan bahwa koloni
Scytalidium lignicola berwarna hitam kecoklatan. Sebalik koloni berwarna hitam. Miselium
tumbuh pada permukaan agar tetapi ada juga yang masuk kedalam agar. Hifa memiliki
ketebalan 1,5-6,0 mm, kecuali pada sel-sel yang membengkok dapat mencapai 10 mm.
Spesies ini membentuk arthrokonidia. Konidia berdinding halus, dan pada umumnya tidak
bersepta. Pabila konidia bersepta, maka tebal, lebar dan berwarna gelap. Ada dua macam
konidia, yaitu bila berwarna hialin maka berukuran (6,0-10,0)*(1,0-3,0) mm, sedangkan
apabila berwarna coklat maka berukuran (6,0-15,0)*(5,0-10,) mm. Spesies ini dapat diisolasi
dari kayu pinus, akar tanaman anggur dan tanah. Pada gambar 13 (b) adalah penampakan
fungi apabila diamati melalui mikroskop.
(a) (b)
Gambar 14. Koloni Fusarium sp5. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Pada gambar 14 (a) terlihat penampakan makroskopis fungi dimana dapat dilihat
bahwa fungi berwarna agak gelap dan ditutupi oleh hifa yang berbentuk seperti kapas.
Dimana pada awal pertumbuhannya fungi berwarna merah muda yang kemudian berubah
menjadi agak kecoklatan. Pada gambar (b) merupakan penampakan mikroskopis fungi yang
dengan bantuan dari buku panduan pengenalan kapang maka diketahui bahwa fungi ini
termasu kedalam spesies Fusarium sp.
(a) (b)
Gambar 15. Koloni Mucor sp. setelah berumur 7 hari pada media PDA (a) dan bentuk
mikroskopik (b)
Pada gambar 15 (a) dapat dilihat bahwa fungi menyebar keseluruh media agar dimana
penyebarannya tidak merata, terjadi penumpukan-penumpukan pada beberapa sisi. Fungi
berwarna abu-abu dimana terdapat warna putih diatas permukaan fungi. Pada gambar 15 (b)
konidiofor
mikrokonidia
adalah penampakan mikroskopis fungi yang diamati melalui mikroskop dengan perbesaran
40×. Dengan bantuan buku panduan pengenalan kapang tropis maka didapatkan bahwa fungi
ini merupakan spesies Mucor sp.
Identifikasi fungi
Terbentuknya gaharu pada tanaman penghasilnya, terpicu oleh faktor biotik maupun
abiotik. Untuk menghasilkan gaharu secara artifisial, pelukaan mekanis pada batang,
pengaruh bahan-bahan kimia seperti metal jasmonat, oli, gula merah, dan yang lainnya dapat
memicu pembentukan gaharu. Namun pembentukan gaharu oleh faktor abiotik, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya tidak menyebabkan terjadinya penyebaran mekanisme
pembentukan ini ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik
tersebut. Lain halnya jika pembentukan gaharu dipicu oleh faktor biotik seperti jamur atau
jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan dapat menyebar ke bagian lain pada pohon,
karena penyebab mekanisme ini adalah makhluk yang melakukan semua aktivitas yang
diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke
jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan
akan lebih memuaskan. Adapun fungi yang telah banyak digunakan untuk menginokulasi
gaharu diantaranya adalah Fusarium dan Acremonium.
Dari tiga belas titik sampel yang diuji rata-rata fungi yang terdapat adalah Fusarium
sp. jadi dari hasil identifikasi ini didapatkan bahwa hasil inokulasi dilapangan dapat
dikatakan menunjukkan hasil yang baik dengan berkembangnya Fusarium sp. pada tanaman
gaharu yang dijadikan inokulan.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga dinyatakan
Sedangkan fungi yang lainnya belum ada penelitian yang menyangkut dengan keberadaannya
di tanaman gaharu. Jadi bisa jadi fungi selain Fusarium dan Acremonium yang terdapat pada
sampel batang gaharu yang diidentifikasi merupakan kontaminan yang tanpa sengaja ikut
tumbuh didalam batang yang telah diinokulasi.
Dari hasil penelitian Iskandar dan ahmad (2012) didapatkan bahwa perlakuan
inokulasi dengan Fusarium sp. berpengaruh nyata terhadap potensi hasil gaharu. Inokulan
yang paling potensial pada peringkat pertama dari hasil penelitian adalah F4 yaitu inokulan
yang dikembangkan oleh badab Litbang Kehutanan Bogor dengan asal isolat dari Gorontalo.
Inokulan yang berasal dari Gorontalo ini relatif efektif dalam merangsang pembentukan
gaharu dan wangi pada pengukuran 3 bulan setelah inokulasi dibandingkan dengan Fusarium
yang berasal dari daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa setiap isolat yang berasal dari
daerah yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam proses pembentukan
gubal gaharu. Selain itu, diketahui juga bahwa Fusarium berpotensi dalam proses
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Fungi yang ditemukan pada A. malaccensis Lamk. yang telah diinokulasi dengan proses
isolasi dan identifikasi, yaitu Acremonium, Alternaria alternaria, Arthrinium
phaeospermum, Cladosporium, Fusarium, Nigrospora sphaerica, Mucor, Scopulariopsis,
Scytalidium lignicola.
2. Fungi yang banyak terdapat pada batang gaharu yang dijadikan sampel adalah Fusarium
sp
3. Terdapat konsistensi isolat yang dijadikan penginfeksi batang gaharu yang ditunjukkan
dengan banyaknya Fusarium sp yang ditemukan pada batang gaharu
4. Fusarium sp banyak ditemukan adalah pada batang atas dan bawah
Saran
Perlu dilakukan aplikasi pada tanaman A. malaccensis Lamk. untuk mengetahui
manfaat yang dihasilkan oleh fungi selain Acremonium dan Fusarium yang didapat pada
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjoseputro, Prof.Dr.D. 1989. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Surabaya
Fauzi, Mohamad Taufik dan Murdan dan Irwan Muthahanas. 2010. Potensi Jamur Fusarium
sp. Sebagai Agen Pengendali Hayati Gulma Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Universitas Mataram. Mataram.
Gandjar, I., R. A. Samson, Karin van den Tweel-Vermeulen dan A. Oetari. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ilyas, Muhammad. 2006. Isolasi dan Identifikasi Kapang pada Relung Rizosfir Tanaman di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur. Universitas Surabaya. Surabaya
Iskandar, Dudi dan Ahmad Suhendra. 2012. Uji Inokulasi Fusarium sp. Untuk Produksi Gaharu Pada Budidaya A. beccariana. Pusat Teknologi Produksi Pertanian, BPPT. Jakarta.
Mucharromah.2010. Pengembangan Gaharu Di Sumatera. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Novriyanti, Eka. 2008. Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada Aquilaria crassna Pierre ex lecomte Dan Aquilaria microcarpa baill. IPB. Bogor.
Rahmawati, Dewi dan Nurita Toruan-Mathius. 2006. Analisis Keragaman Genetik
Acremonium yang Berasosiasi dengan Tanaman Gaharu Menggunakan Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Laboraturium bioteknologi, SEAMEO BIOTROP. Jurnal Agrobiogen vol.5 no.2. Bogor.
Radian dan Fadjar Rianto dan Masitoh dan Yuaner. 2007. Identifikasi Tanaman dan Mikroba Pembentuk Gubal Gaharu Di Kalimantan Barat. Untan. Pontianak.
Sinaga, Meity Suradji. 2002. Budidaya Jamur Merang. Penebar Swadaya. Jakarta
Siran, Sulistyo A. 2010. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Sumarna, Yana. 2009. Gaharu Budidaya dan Rekayasa Produksi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Susetya, Darma. 2012. Budidaya Gaharu. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Tjitrosoepomo, Gembong. 2005. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta, Bryphyta, Pteridophyta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Turjiman, Dr. Maman. Forest Microbiology Research Groups. Bogor
Widiastuti, Ira. 2011. Sukses Agribisnis Minyak Atsiri. Pustaka Baru Press.Yogyakarta.