• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit “Aclinop” Dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher Terhadap Kualitas Karkas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit “Aclinop” Dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher Terhadap Kualitas Karkas"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TARAF PEMBERIAN ZEOLIT “ACLINOP”

DALAM RANSUM BABI PERIODE

GROWER-FINISHER

TERHADAP KUALITAS KARKAS

SKRIPSI

RONALD BAKTIAR HUTAHAEAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2012

(2)

RINGKASAN

Ronald Baktiar Hutahaean. D14096014. 2011. Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit “Aclinop” dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher terhadap Kualitas Karkas. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Penelitian ini dilaksanakan di Usaha Peternakan Babi Rachel Farm, Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini dimulai dari 16 Mei 2011 sampai dengan 04 Desember 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh taraf pemberian zeolit “Aclinop” dalam ransum babi, sehingga didapatkan taraf penambahan Aclinop yang tepat dalam ransum terhadap kualitas karkas babi. Ternak percobaan yang digunakan adalah 15 ekor ternak babi persilangan periode grower-finisher, namun ternak babi yang diamati hanya 12 ekor ternak babi yang terdiri dari tujuh ekor jantan kastrasi dan lima betina dengan rataan berat badan awal 20,20±2,09 kg dikarenakan tiga ekor ternak babi lainnya mengalami masalah kesehatan (sakit) saat dilakukan pemeliharaan.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jumlah ransum perlakuan yang dicobakan sebanyak empat jenis yaitu R0 (0% Aclinop/100 kg ransum), R1 (1 kg Aclinop/100 kg ransum), R2 (3 kg Aclinop/100 kg ransum), dan R3 (4 kg Aclinop/100 kg ransum), masing-masing perlakuan dengan tiga ulangan. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis peragam (ANCOVA) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, panjang karkas, tebal lemak punggung (TLP) dan Loin Eye Area (LEA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan Aclinop yang nyata (P<0,05) berbeda terhadap bobot dan dan persentase karkas yaitu pada taraf perlakuan 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum. Bobot dan persentase karkas tertinggi dihasilkan oleh ternak babi yang mendapatkan ransum perlakuan R1 masing-masing rataan 61,47±0,15 kg dan 76,05±1,17%. Bobot karkas terendah adalah ransum perlakuan R2 dengan rataan 58,37±0,60 kg dan persentase karkas terendah adalah ransum perlakuan R0 dengan rataan 72,86±0,72%. Pada parameter karkas yang lain penambahan Aclinop dalam ransum babi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum dapat digunakan sebagai bahan feed additive dalam ransum babi untuk meningkatkan bobot dan persentase karkas.

Kata kunci: Zeolit (Aclinop), kualitas karkas, ternak babi

(3)

ABSTRACT

Zeolite “Aclinop” Level in Diet on Carcass Quality of Pigs

Hutahaean, R. B., P. H. Siagian and Rudy Priyanto

This research was carried out at pig’s commercial farm Rachel Farm, Kampung Cina, Bogor, West Java from Mey 16th 2011 until December 4th 2011. The study aimed to examined the effect of zeolite in the diet on pig carcass quality. The experiment used 12 crossbreed pigs, which consist of 7 males castrated pigs and 5 female pigs with initial body weight, averaging 20,20±2,09 kg. This research used completely random design with level of zeolite in the diet: R0 (0 kg Aclinop/100 kg diet), R1 (1 kg Aclinop/100 kg diet), R2 (3 kg Aclinop /100 kg diet), and R3 (4 kg Aclinop /100 kg diet). Each treatments had three replications. The result showed that zeolite had significant (P<0,05) effects on carcass weight and carcass percentage. The highest carcass weight and carcass percentage obtained from 1 kg Aclinop/100 kg diet averaging 61,47±0,15 kg and 76,05±1,17%, respectively. The lowest carcass weight obtained from 3 kg Aclinop /100 kg diet averaging 58,37±0,60 kg and the lowest carcass percentage obtained from the 0 kg Aclinop/100 kg diet averaging 72,86±0,72 %. The other parameters did not affected by zeolite levels in the diet. The result showed that level of 1 kg Aclinop/ 100 kg diet to increased carcass weight and carcass percentage.

Keywords: Zeolite “Aclinop”, carcass quality and pigs

(4)

PENGARUH TARAF PEMBERIAN ZEOLIT “ACLINOP”

DALAM RANSUM BABI PERIODE

GROWER-FINISHER

TERHADAP KUALITAS KARKAS

RONALD BAKTIAR HUTAHAEAN

D14096014

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(5)

Judul : Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit “Aclinop” Dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher Terhadap Kualitas Karkas

Nama : Ronald Baktiar Hutahaean

NIM : D14096014

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS) (Dr. Ir. Rudy Priyanto )

NIP: 19460825 197711 1 001 NIP: 19601216 198603 1 003

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 17 Januari 2012 Tanggal Lulus:

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ronald Baktiar Hutahaean, dilahirkan di Medan pada tanggal 21 Februari 1987. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Harapan Hutahaean dan Ibu Netty br. Pardede.

Tahun 1994 Penulis lulus dari TK Pertiwi kemudian melanjutkan ke SD Antonius V/VI Medan dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2003 Penulis lulus dari SLTP Trisakti 1 Medan dan 2006 Penulis lulus dari SMKN 1 Pematang Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penulis diterima sebagai mahasiswa program keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Diploma Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2009 Penulis melanjutkan ke Program Ahli Jenis Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.

Penulis aktif dalam mengikuti organisasi dan kepanitiaan. Penulis menjabat sebagai Ketua OSIS SMKN 1 Pematang Raya tahun 2004 dan 2005. Penulis menjabat sebagai Koordinator Logistik dan Transportasi Malam Keakraban 2007 GMKI cabang Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit “Aclinop” dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher terhadap Kualitas Karkas”. Skripsi ini merupakan tugas akhir pada program Sarjana di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging sebagai sumber protein hewani salah satunya berasal dari ternak babi, sehingga diperlukan usaha peningkatan produksi dan kualitas karkas babi untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah konsumen.

Ransum yang diberikan pada ternak babi selama pertumbuhannya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas karkas babi. Penambahan zeolit (Aclinop) dalam ransum merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas karkas babi karena zeolit (Aclinop) dapat memperlambat laju pakan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zat-zat makanan lebih besar dalam proses pencernaan pakan pada ternak babi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penambahan Aclinop dalam ransum babi periode grower-finisher terhadap kualitas karkas.

Penulis sadar sepenuhnya dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini tidaklah sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan demi perbaikan diri Penulis pada waktu yang akan datang. Skripsi ini bukan hanya menjadi salah satu syarat kelulusan dari Fakultas Peternakan IPB namun diharapkan juga Penulis dapat bermanfaat bagi masyarakat yang berkecimpung pada bidang peternakan Indonesia.

Bogor, Januari 2012

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... ii 

ABSTRACT ... iii 

LEMBAR PERNYATAAN ... iv 

LEMBAR PENGESAHAN ... v 

RIWAYAT HIDUP ... vi 

KATA PENGANTAR ... vii 

DAFTAR ISI ... viii 

Tujuan Penelitian ... 2 

Manfaat ... 2 

TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

Deskripsi Umum Zeolit ... 3 

Struktur Zeolit ... 3 

Penyaring atau Pemisah Molekul ... 6 

Mekanisme Aksi Zeolit ... 6 

Penggunaan Zeolit Secara Umum ... 7 

Penggunaan Zeolit Dalam Ransum Ternak Babi ... 8 

Pengaruh Ransum terhadap Kualitas Daging ... 9 

Tinjauan Umum tentang Karkas Babi ... 10 

Bobot Potong dan Berat Karkas ... 10 

Persentase Bobot Karkas, Panjang Karkas dan Tebal Lemak Punggung ... 10 

“Loin Eye Area ” ... 13 

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 14 

(9)

Waktu dan Tempat ... 14 

Materi ... 14 

Ternak ... 14 

Kandang dan Perlengkapan ... 14 

Metode ... 14 

Pemeliharaan Babi ... 14 

Ransum Penelitian ... 15 

Pemotongan Ternak ... 16 

Peubah yang Diukur dan Diamati ... 17 

Rancangan Percobaan ... 17 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19 

Keadaan Umum Penelitian ... 19 

Kondisi Ternak dan Lingkungan Kandang ... 19 

Kandungan Nutrien Ransum ... 21 

Penampilan Produksi Ternak Babi pada Periode Grower-Finisher .. 22 

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Potong, ... 25 

Bobot Karkas dan Persentase Karkas ... 25 

Pengaruh Perlakuan terhadap Panjang Karkas dan Tebal Lemak Punggung 27  Pengaruh Perlakuan terhadap Loin Eye Area ... 29 

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31 

Kesimpulan ... 31 

Saran ... 31 

UCAPAN TERIMA KASIH ... 32 

DAFTAR PUSTAKA ... 33 

LAMPIRAN ... 37 

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Beberapa Jenis Zeolit, Rumus Kimia dan Sifatnya ... 5  2. Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang

Dihasilkan terhadap Golongan Ternak Menurut Mutunya ... 11  3. Komposisi Bahan Penyusun Aclinop (Na K Al Si O 24.H O) ... 154 4 8 40 96 2   4. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Selama Penelitian ... 20  5. Hasil Analisa Proksimat Ransum Penelitian ... 21  6. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas dan

Persentase Karkas ... 25  7. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Panjang Karkas dan Tebal

Lemak Punggung ... 28  8. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Loin Eye Area ... 30 

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hubungan Antara Tebal Lemak Punggung, Panjang dan Berat Karkas dalam menentukan Kelas Karkas Babi (Krider dan Carrol, 1971) ... 13  2. Aclinop yang Digunakan dalam Ransum dan Ransum yang Telah Dicampur

Aclinop dalam Berbagai Taraf ... 16  3. Diagram Proses Pemotongan Ternak Babi ... 16 

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Penimbangan Bobot Awal (BA) dan Lama Pemeliharaan ... 37 

2. Rataan Penampilan Produksi Ternak Babi Penelitian ... 37 

3. Rataan Laju Makanan Ternak Babi Penelitian ... 38 

4. Analisis Peragam (ANCOVA) Bobot Potong (kg) ... 38 

5. Analisis Peragam (ANCOVA) Bobot Karkas (kg) ... 38 

6. Analisis Peragam (ANCOVA) Persentase Karkas (%) ... 39 

7. Analisis Peragam (ANCOVA) Panjang Karkas (cm) ... 39 

8. Analisis Peragam (ANCOVA) Tebal Lemak Punggung (cm) ... 39 

9. Analisis Peragam (ANCOVA) Loin Eye Area (LEA) (cm ) ... 392   10. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas, Persentase Karkas, Panjang Karkas, TLP, dan LEA ... 40 

11. Rataan Karakteristik Karkas Babi Penelitian ... 41 

12. Pengukuran Panjang Karkas Babi (cm) Menurut Boggs dan Merkel (1984) ... 42 

13. Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Punggung (cm) pada Karkas Babi Menurut Boggs dan Merkel (1984) ... 43 

14. Lokasi Pengukuran Loin Eye Area (cm ) pada Karkas Babi Menurut Boggs dan Merkel (1984) ... 44 

2

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk yang terus bertambah dan pola pikir masyarakat yang semakin berkembang tentang pangan bergizi tidak hanya menyebabkan peningkatan tingkat konsumsi daging sebagai sumber protein, akan tetapi konsumen cenderung mangharapkan daging yang berkualitas. Hal ini terlihat dari semakin selektifnya konsumen sekarang dalam memilih daging dan ini berarti suatu permintaan kepada peternak dan industri.

Ternak babi merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging sebagai sumber protein hewani. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan usaha meningkatkan produksi dan kualitas dari daging babi yang dihasilkan. Sebagai penghasil daging, ternak babi mempunyai beberapa keunggulan diantaranya pertumbuhan cepat sehingga dapat dipotong atau dijual hidup dalam waktu yang relatif singkat, cepat berkembangbiak dan dapat beranak banyak (prolifik) dengan interval beranak lebih singkat daripada ternak ruminansia besar dan kecil serta efisien dalam mengubah pakan menjadi daging.

Sifat-sifat unggul dari ternak babi akan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan ransum yang diberikan. Pemberian ransum yang tepat dengan memperhatikan kebutuhan nutrisi dan komposisi bahan makanan ternak yang diberikan akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Bahan ransum yang lazim terutama sumber protein harganya relatif mahal, disamping itu biaya ransum juga merupakan biaya tunggal terbesar dalam usaha peternakan babi yaitu mencapai 60-80% dari total biaya produksi.

Komposisi bahan makanan dan kandungan nutrisi ransum walaupun sudah memenuhi kebutuhan ternak, namun hal tersebut belum dapat menjamin ternak untuk memanfaatkan zat-zat nutrisi tersebut dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa metode yang dapat dilakukan, diantaranya dengan memberikan feed additive (makanan tambahan) yang bentuk dan cara pemakaiannya bermacam-macam.

(14)

Salah satu dari jenis feed additive yang bisa digunakan adalah mineral zeolit (Aclinop). Mineral ini mempunyai sifat-sifat khusus yaitu memiliki daya serap dan kapasitas tukar kation yang tinggi serta dapat memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan, maka dengan sifat yang dimiliki ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein dalam tubuh dan dapat meningkatkan kualitas karkas ternak babi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf pemberian zeolit (Aclinop) dalam ransum babi, sehingga didapatkan taraf penambahan Aclinop yang tepat dalam ransum terhadap kualitas karkas babi.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dan gambaran tentang kualitas karkas babi yang dihasilkan akibat pemberian zeolit (Aclinop) pada taraf tertentu dalam ransum.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Umum Zeolit

Zeolit ditemukan oleh seorang ahli mineral bangsa Swedia bernama Baron Axel Fredrick Cronsted pada tahun 1756. Nama zeolit berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata Zein dan Lithos yang artinya batu mendidih (Mumpton, 1999). Barrer (1982), menyatakan bahwa nama zeolit berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu). Nama ini menggambarkan perilaku mineral tersebut yang dengan cepat melepaskan air bila dipanaskan sehingga kelihatan seolah-olah mendidih.

Zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Sifat katalitik zeolit pertama kali ditemukan oleh Weisz dan Frilette pada tahun 1960 dan dua tahun kemudian mulai diperkenalkan penggunaan zeolit Y sebagai katalis (Augustine, 1996).

Zeolit alam merupakan mineral multiguna yang keberadaannya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan jumlah sumber daya sekitar 400 juta ton. Istilah multiguna digunakan karena zeolit alam dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang diantaranya konstruksi, pertanian, peternakan, perikanan, kesehatan, lingkungan, dan industri. Jenis zeolit alam yang banyak ditemukan adalah klipnotilolit dan modernit dengan mutu yang bervariasi yaitu memiliki nilai KTK antara 26-170 meq/100 g dan kandungan total zeolit berkisar 28,1-77% (Husaini, 2009). Modernit umumnya banyak mengandung aluminium sehingga kemampuan menyerap airnya lebih tinggi dibandingkan hidrokarbon (gas). Klinoptilolit umumnya banyak mengandung silikat sehingga kemampuan menyerap hidrokarbon (gas) lebih tinggi dibandingkan air (Muchtar, 2005).

Struktur Zeolit

Zeolit merupakan mineral alam yang tersusun atas ion-ion yang berupa alkali dan alkali tanah. Ion-ion tersebut terdapat pada rongga-rongga pembentuk struktur kerangka tiga dimensi zeolit. Tetrahedral alumina (AlO45-) dan silika (SiO44-) adalah

(16)

pembentuk kerangka zeolit (Mumpton 1999). Kandungan air yang terperangkap dalam rongga zeolit biasanya berkisar 10-50%. Bila terhidrasi kation-kation yang berada dalam rongga tersebut akan terselubungi molekul air. Molekul air ini bersifat labil atau mudah lepas. Secara umum zeolit mempunyai rumus empiris sebagai berikut (Mumpton dan Fishman, 1977):

M2nO. Al2O3. xSiO2yH2O

Keterangan: M = kation logam alkali atau alkali tanah N = valensi logam alkali

X = angka 2 hingga 10 Y = angka 2 hingga 7

Sifat dan Jenis Zeolit

Zeolit mempunyai sifat-sifat umum antara lain berbentuk kristal yang agak lunak, air kristalnya mudah dilepaskan dengan pemanasan dan mudah menyerap air kembali dari udara (dehidrasi), mudah melakukan pertukaran ion-ion alkali dengan ion-ion lainnya (pertukaran ion), adsorpsi dan katalis. Zeolit mempunyai struktur berongga dan biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation dapat dipertukarkan dan memiliki ukuran pori-pori tertentu. Oleh karena itu, zeolit dapat dimanfaatkan sebagai: penyaring molekular, penukar ion, penyerap bahan dan katalisator (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Rumus kimia dan sifat dari beberapa jenis zeolit dapat dilihat pada Tabel 1.

Dehidrasi

Sifat dehidrasi akan berpengaruh terhadap sifat adsorpsinya. Zeolit dapat melepaskan molekul air dari rongga permukaan yang menyebabkan medan listrik meluas kedalam rongga utama dan akan efektif berinteraksi dengan molekul yang akan diadsorpsi. Jumlah molekul air sesuai dengan jumlah pori-pori atau volume ruang hampa yang akan terbentuk bila unit sel kristal zeolit tersebut dipanaskan (Sutarti dan Rachmawati, 1994).

Adsorbsi

Zeolit mempunyai struktur berongga dan berpori sehingga rongga-rongga tersebut dapat diisi oleh air dan kation yang dapat dipertukarkan. Berdasarkan sifat

(17)

tersebut, maka zeolit dapat berfungsi sebagai penyerap (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Zeolit dijumpai pada batuan sedimen asal vulkanik. Beberapa jenis zeolit yang penting dapat dilihat pada Tabel 1. Setiap jenis zeolit mempunyai struktur kristal yang unik sehingga memiliki sifat kimia dan fisik sendiri. Hampir semua struktur dapat digambarkan sebagai ikatan tetrahedral SiO4 dan AlO4 dalam suatu bangun geometri yang sederhana (Mumpton dan Fishman, 1977).

Tabel 1. Beberapa Jenis Zeolit, Rumus Kimia dan Sifatnya

Jenis Rumus Kimia

Ukuran Pori-pori Linde X Na86(Al86Si106O384).264H2O 7,4 4,73 Sumber : Mumpton dan Fishman (1977)

Penukar Ion

Ion-ion pada rongga atau kerangka elektrolit berguna untuk menjaga kenetralan zeolit. Ion-ion ini dapat bergerak bebas sehingga pertukaran ion yang terjadi bergantung kepada ukuran dan muatan maupun jenis zeolitnya. Sifat sebagai penukar ion dari zeolit antara lain bergantung kepada kation, suhu dan jenis anion. Penukaran kation dapat menyebabkan perubahan beberapa sifat zeolit seperti stabilitas terhadap panas, sifat adsorpsi dan aktivitas katalitis (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai

(18)

KTK berkisar 100-300 meq/100 g (Bachrein, 2001). Warmada dan Titisari (2004), menyatakan bahwa zeolit tersusun oleh silikon, oksigen dan aluminium dalam suatu kerangka tiga dimensi dengan pori-pori yang mengandung molekul air yang dapat menyerap kation dan saling bertukar.

Katalis

Sutarti dan Rachmawati (1994), menyatakan sifat khusus dari zeolit yang secara praktis akan menentukan sifat khusus mineral ini adalah adanya ruang kosong yang akan membentuk saluran didalam strukturnya. Bila zeolit digunakan pada proses penyerapan atau katalitis, maka akan terjadi difusi molekul kedalam ruang bebas di antara kristal-kristal.

Zeolit telah diketahui memainkan peranan penting sebagai katalis asam pada industri pengolahan minyak bumi dan petrokimia, termasuk dalam isomerisasi hidrokarbon. Mengingat zeolit alam sangat melimpah dan murah, maka penggunaannya sebagai katalis dapat menurunkan biaya produksi (Handoko, 2003). Penyaring atau Pemisah Molekul

Zeolit dapat memisahkan molekul gas atau zat lain dari suatu campuran tertentu karena mempunyai rongga yang cukup besar dengan garis tengah yang bermacam-macam tergantung dari jenis zeolitnya. Volume dan ukuran garis tengah ruang hampa dalam kisi-kisi kristal mempunyai dasar kemampuan zeolit untuk bertindak sebagai penyaring molekul. Molekul yang berukuran lebih kecil dapat melintas sedangkan yang berukuran lebih besar dari rongga akan tertahan atau ditolak (Sutarti dan Rachmawati, 1999).

Mekanisme Aksi Zeolit

Mekanisme aksi zeolit dalam memperbaiki performans ternak belum seluruhnya terungkap, tetapi mekanisme diperkirakan terpusat pada struktur klinoptilolit yang stabil pada lingkungan asam dapat melakukan pertukaran ion dan penyerapan tanpa terjadi pencernaan zeolit (Quarles, 1985). Selanjutnya Cool dan Willard (1982) menyatakan zeolit dapat memelihara keseimbangan elektrolit zat-zat makanan di saluran pencernaan. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ternak babi dipengaruhi oleh keseimbangan elektrolit zat makanan. Ketidakseimbangan

(19)

zat makanan dapat memperlambat pertumbuhan dan berefek lanjut terhadap performans (Sihombing, 1997).

Mekanisme aksi zeolit dalam pencernaan ternak menurut hasil penelitian Cool dan Willard (1982) adalah dengan mengurangi pembentukan NH4+ dalam saluran pencernaan. Reaksi NH4+ + OH- akan menghasilkan NH3 + H2O. Jika pembentukan NH4+ dapat dihambat maka pembentukan NH3 yang merupakan senyawa beracun juga dapat dikurangi.

Cool dan Willard (1982) yang melakukan penelitian pada ternak babi menunjukkan bahwa senyawa NH4+ terikat pada struktur zeolit mulai dari lambung sampai akhir duodenum, secara bertahap kemudian dilepas di saluran pencernaan bagian bawah karena pengaruh pH lumen usus. Kenyataan ini dibuktikan dengan meningkatnya konsentrasi NH4+ sebesar 10 kali pada jejunum dalam saluran pencernaan babi. Zeolit menukar kation Na+ ketika berada di duodenum sehingga aliran digesta mulai dari lambung sampai duodenum diperlambat, hal ini mengakibatkan proses deaminasi protein meningkat.

Handayani dan Widiastuti (2010) menyatakan mekanisme penghilangan amonium menggunakan zeolit termasuk reaksi pertukaran ion dimana zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si4+ dengan Al3+. Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan posisinya dengan ion amonium (NH4+).

Penggunaan Zeolit Secara Umum

Menurut Aritonang dan Silalahi (1990), penggunaan zeolit di Indonesia terutama pada bidang pertanian secara luas yaitu sebagai pupuk tanaman, pupuk tanaman air, penyerap amoniak pada kolam ikan, pengendali bau busuk dan kelembaban limbah ternak sebagai suplemen non nutritive pada ransum ternak.

(20)

Siagian et al. (2006) melaporkan, bahwa pemberian zeolit sampai dengan taraf 9% sangat nyata menurunkan konsumsi BK dan protein ransum, konversi pakan, dan kadar air feses, serta meningkatkan PBB. Pertukaran ion dan kemampuan penyerapan dari zeolit dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen ransum dalam makanan ternak, untuk mengurangi penyakit usus pada anak babi dan ruminansia, mengontrol kandungan air dan ammonia dalam kotoran ternak, untuk penyaringan air buangan dari industry penetasan dan untuk menurunkan kandungan nitrogen dalam pemberian makanan ternak serta air buangan industri peternakan (Mumpton dan Fishman, 1977).

Yuliana (2005) menyatakan bahwa pemberian zeolit bersama dengan pupuk kandang ayam memberikan pertumbuhan dan produksi yang lebih baik disbanding pemberian zeolit bersama pupuk kandang lainnya. Sutamba (2011) melaporkan bahwa Penambahan Aclinop pada taraf 0, 1, 2, dan 3 kg/100 kg ransum dan zeolit pada taraf 0; 2,5; dan 5,0 kg/m2 litter tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan Feed Conversion Ratio (FCR).

Kamaludin (2011) menyatakan bahwa penambahan Aclinop 3 kg/ 100 kg ransum dan tanpa penaburan zeolit pada litter menghasilkan produksi gas amonia ekskreta ayam broiler terendah (1,03 ppm) dibandingkan perlakuan lainnya. Penambahan Aclinop 3 kg/100kg ransum dan penaburan zeolit pada litter

menghasilkan kadar protein ekskreta terendah dibandingkan perlakuan lainnya. Penambahan Aclinop 3 kg/100 kg ransum dan penaburan zeolit pada litter secara deskriptif mampu meningkatkan nilai kapasitas tukar kation, menurunkan kadar air, dan pH manur dibandingkan perlakuan lainnya.

Penggunaan Zeolit Dalam Ransum Ternak Babi

Gurmilang (2003) menyatakan bahwa pemberian taraf zeolit dalam ransum tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kualitas karkas, yang berarti bahwa pemberian taraf zeolit hingga enam persen dapat digunakan dalam ransum tanpa memberikan pengaruh terhadap kualitas karkas babi. Gurmilang (2003) menambahkan lagi bahwa interaksi zeolit dan tepung darah sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi bobot potong, berat karkas, panjang karkas dan loin eye area, tetapi

(21)

tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase karkas dan tebal lemak punggung karkas babi.

Siagian et al. (2004) melaporkan bahwa kualitas daging babi yang dihasilkan akibat pemberian taraf zeolit dan tepung darah yang berbeda dalam ransum relatif sama, meskipun terlihat kualitas daging yang semakin baik dengan meningkatnya taraf pemberian zeolit dan dengan pemberian tepung darah hingga taraf 5% dalam ransum. Kualitas daging dengan interaksi pemberian antara taraf 3% zeolit dan 5% tepung darah dalam ransum relatif paling baik.

Esabara (2003) menyatakan bahwa interaksi taraf zeolit dan tepung darah sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum harian, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, kadar air feses, dan kadar protein feses. Poulsen dan Niels (1995) menyatakan bahwa pemberian 0 dan 3% klinoptilolit dalam ransum ternak babi sedang bertumbuh dapat meningkatkan ekskresi nitrogen pada kotoran ternak dan menurunkan ekskresi nitrogen pada urin. Pemberian 3% klinoptilolit dalam ransum ternak babi periode bertumbuh dan bertumbuh pengakhiran dapat meningkatkan konversi ransum dan laju pertumbuhan serta meningkatkan kandungan nitrogen yang terdapat dalam kotoran sebesar 0,33 gram setiap harinya.

Pengaruh Ransum terhadap Kualitas Daging

Jumlah nutrien yang tersedia berbeda diantara ransum. Peningkatan atau penurunan konsumsi ransum berhubungan dengan kualitas ransum yang tersedia, sehingga dapat mempengaruhi kualitas daging. Pengaruh dari ransum yang berbeda komposisi atau kualitasnya terhadap daging adalah bervariasi karena adanya variasi dari faktor seperti umur, spesies, bangsa, jenis kelamin, bahan aditif, berat potong atau berat karkas, laju pertumbuhan, tipe ternak, dan perlakuan sebelum dan setelah pemotongan (Soeparno, 1998).

Soeparno (1998) menyatakan bahwa ransum yang mengandung konsentrat rendah dan berserat tinggi menghasilkan daging yang kurang berlemak dibandingkan dengan daging ternak yang mengkonsumsi ransum konsentrat tinggi berserat rendah. Babi yang kekurangan nutrisi sebelum dipotong dapat menghasilkan daging dengan

(22)

kualitas yang lebih rendah daripada babi yang mendapat makanan cukup dan berkualitas tinggi.

Tinjauan Umum tentang Karkas Babi

Karkas merupakan bagian tubuh ternak tanpa darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, kantung urin, jantung, paru-paru, ginjal, limpa dan hati (Lawrie, 2003). Pengukuran kualitas karkas umumnya dilakukan dengan mengamati sifat-sifat karkas tertentu berdasarkan kebutuhan konsumen. Penilaian karkas dapat dilakukan dengan mengukur bobot potong, berat karkas, persentase karkas, panjang karkas, tebal lemak punggung dan luas penampang otot longissimus dorsii atau loin eye area

(LEA).

Bobot Potong dan Berat Karkas

Secara ekonomis bobot hidup 90 kg merupakan bobot potong optimum yang terbaik. Menurut Gurmilang (2003) bobot potong ternak babi yang tinggi cenderung akan menghasilkan berat karkas yang tinggi pula. Bobot potong yang dihasilkan dipengaruhi oleh komposisi zat makanan dalam ransum yang diberikan dan cara pemberiannya.

Bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi atau sebaliknya karena bobot karkas dipengaruhi juga oleh bobot saluran pencernaan dan organ-organ yang tidak termasuk dalam karkas (Berliana, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Gurmilang (2003), babi dengan bobot potong 85 kg menghasilkan berat karkas sebesar 66 kg, selanjutnya Whittemore (1980) menyatakan bahwa kisaran berat karkas sekitar tiga per empat dari bobot potong. Hasil penelitian Gurmilang (2003) memperlihatkan, bahwa babi jantan kastrasi dan babi betina yang diberi pakan dengan kandungan protein berbeda serta dipotong pada bobot potong yang lebih dari 90 kg menyebabkan penampilan lemak yang berlebihan, yang mengakibatkan menurunnya kualitas karkas.

Persentase Bobot Karkas, Panjang Karkas dan Tebal Lemak Punggung

Persentase karkas dihitung dengan mengalikan rasio antara bobot karkas per bobot potong dengan 100% (Blakely dan David, 1982). Persentase karkas normal berkisar antara 60-70% dari berat hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi

(23)

dibandingkan dengan ternak lain seperti domba dan sapi karena ternak babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta ternak babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade, 1998).

Tabel 2. Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan terhadap Golongan Ternak Menurut Mutunya

Grade

Tebal Lemak Punggung (cm) Persentase Daging (%)

U.S. no. 1 < 3,56 > 53,00

U.S. no. 2 3,57 – 4,32 50,00 – 52,90 U.S. no. 3 4,33 – 5,08 47,00 – 49,90

U.S. no. 4 > 5,08 < 47,00

Sumber: Krider dan Carrol (1971)

Peringkat mutu karkas menurut standar Amerika Serikat adalah US No. 1, US No. 2, US No. 3 dan US No. 4. US No. 1 mempunyai kualitas daging tanpa lemak yang tinggi, dan mempunyai persentase lemak punggung yang rendah, serta karkas ini mempunyai tingkatan sedang, perototan baik dan mempunyai panjang yang ideal. US No. 2 mempunyai kualitas daging tanpa lemak yang dapat diterima (akseptabel), hasil potongan daging tanpa lemak agak tinggi dan lemak punggung agak lebih tebal dibandingkan karkas US No. 1. US No. 3 mempunyai persentase potongan daging tanpa lemak agak rendah dan persentase potongan lemaknya tinggi. US No. 4 mempunyai persentase potongan daging tanpa lemak yang rendah dan lemak punggung tinggi dengan persen potongan lemak yang tinggi, tapi mempunyai kualitas daging tanpa lemak yang masih dapat diterima (akseptabel).

Keempat peringkat mutu tersebut dipakai untuk hewan hidup dan tingkatan mutu hewan hidup didasarkan pada korelasi hewan hidup untuk menghasilkan peringkat mutu karkas yang sesuai. Penilaian mutu karkas diukur dengan pemeriksaan kualitas lemak dan daging tanpa lemak (keteguhan, warna, ketebalan lemak punggung yang nyata, lemak di sekitar perut, dan penyebaran lemak atau marbling pada daerah loin) dan persentase dari empat potongan utama.

Tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter untuk menentukan kualitas karkas karena 2/3 bagian dari total lemak karkas merupakan lemak sub-cutan (Whittemore, 1980). Pengukuran dilakukan pada garis punggung setengah karkas

(24)

pada tiga tempat yakni tulang rusuk pertama, tulang rusuk terakhir dan diatas persendian paha. Hasil pengukuran tersebut kemudian dijumlahkan dan diambil rataannya (Blakely dan David, 1982). Sihombing (1997) menyatakan, bahwa dalam populasi ternak babi dalam kondisi lingkungan normal, 50% variasi tebal lemak punggung disebabkan oleh warisan dan 50% lagi oleh lingkungan. Taraf protein juga berpengaruh terhadap tebal lemak punggung dan persentase karkas. Semakin tinggi taraf protein dalam ransum maka akan semakin tipis lemak punggung yang dihasilkan dan semakin besar persentase karkas yang diperoleh (Miller et al., 1991). Gurmilang (2003) menyatakan, bahwa ternak dengan bobot potong yang minimum akan menghasilkan panjang karkas dan tebal lemak punggung yang lebih rendah dibandingkan ternak dengan bobot potong optimum. Ternak babi yang dipotong pada bobot 55, 61, 73, 84, 95, dan 101 kg menghasilkan tebal lemak punggung masing-masing sebesar 2,16; 2,20; 3,10; 3,60; 3,70 dan 3,60 cm. Sihombing (1997) menyatakan, bahwa manajemen nutrisi seperti pemberian pakan ad libitum pada periode pengakhiran akan meningkatkan tebal lemak punggung. Total lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas dan dapat memperkirakan persentase daging dari karkas seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. Arganosa et al. (1972) menambahkan, bahwa tebal lemak punggung mempunyai hubungan yang erat dengan jenis kelamin. Dinyatakan bahwa babi muda kastrasi mempunyai lemak punggung yang lebih tebal daripada babi dara. Menurut Krider dan Carrol (1971), tebal lemak punggung (TLP) memiliki hubungan yang erat terhadap nilai potongan karkas yang dihasilkan, seperti terlihat pada Tabel 2.

Menurut Whittemore (1987), terdapat hubungan yang negatif antara tebal lemak punggung dengan panjang karkas. Babi dengan badan yang lebih pendek akan menghasilkan ketebalan lemak yang lebih dalam. Panjang karkas erat hubungannya dengan dengan panjang badan pada waktu ternak hidup dan sangat mempengaruhi lemak punggung yang terbentuk, semakin pendek bentuk tubuh ternak maka akan cenderung mempunyai lemak punggung yang semakin tebal. Panjang karkas diukur dari tulang rusuk pertama sampai dengan “aitch bone” (Boggs dan Merkel, 1984).

Hubungan antara tebal lemak punggung, panjang karkas dan bobot karkas dapat dilihat pada Gambar 1.

(25)

56,40 75,00 93,20 115,90 B. Karkas (Kg) Gambar 1. Hubungan Antara Tebal Lemak Punggung, Panjang dan Berat Karkas

dalam menentukan Kelas Karkas Babi (Krider dan Carrol, 1971) “Loin Eye Area ”

Loin eye area (LEA) merupakan luas penampang otot longissimus dorsi yang diukur diantara tulang rusuk ke 10 dan 11. Loin eye area berhubungan dengan jumlah perototan karkas dan luasan penampang tersebut mengandung lemak intramuskuler (marbling) yang berpengaruh terhadap keempukan daging. Miller et al. (1991) faktor genetik sangat mempengaruhi Loin Eye Area yang nilai heritabilitasnya pada ternak babi adalah 40-60%.

(26)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan di usaha peternakan babi Rachel Farm yang berlokasi di Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dan untuk pemotongan dan penilaian kualitas karkas babi dilaksanakan di tempat pemotongan babi masyarakat sekitar peternakan. Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan mulai dari 16 Mei 2011 sampai dengan 04 Desember 2011.

Materi

Ternak

Ternak babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak babi hasil persilangan (bangsa Yorkshire dan Duroc) pada periode grower-finisher berumur tiga bulan dan jumlah ternak babi yang digunakan sebanyak 15 ekor yang terdiri dari 9 ekor jantan kastrasi dan 6 ekor betina dengan rataan bobot badan awal 20,18±2,04 kg. Namun ternak babi yang diamati hanya 12 ekor dengan rataan bobot badan awal 20,20±2,09 kg, dikarenakan tiga ekor ternak babi lainnya mengalami masalah kesehatan (sakit) saat dilakukan pemeliharaan.

Kandang dan Perlengkapan

Babi dipelihara dalam kandang individual berukuran 2 x 3 x 0,8 m yang dilengkapi dengan nipple. Kandang yang digunakan sebanyak 15 petak kandang, masing-masing petak berisi satu ekor babi yang merupakan satu satuan unit percobaan. Perlengkapan yang digunakan untuk pemeliharaan ternak babi adalah sekop, ember, timbangan 10 kg untuk menimbang ransum, thermohygrometer dan untuk penilaian kualitas karkas menggunakan timbangan gantung berkapasitas 100 kg, pita ukur, kantong plastik, spidol, penggaris, planimeter, dan alat tulis.

Metode

Pemeliharaan Babi

Sebelum pemeliharaan ternak babi dimulai kandang dan ruangan dibersihkan. Tiap petak kandang berisi seekor ternak babi dan penempatan serta perlakuan ransum

(27)

dilakukan secara acak. Pemberian makan dilakukan tiga kali setiap hari yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Setelah mencapai bobot badan sekitar 80 kg (78-82 kg) ternak selanjutnya dapat dipotong.

Ransum Penelitian

Ransum yang digunakan selama penelitian adalah dibuat atau dicampur sendiri secara manual dengan menggunakan bahan makanan yang terdiri dari jagung kuning, dedak padi, bungkil kacang kedelai, bungkil kelapa, tepung ikan, CaCO3,

Meat Bone Meal (MBM), dan premix.

Ransum yang telah dicampur kemudian ditambah dengan Aclinop (Produksi CV. Minatama, Lampung). Komposisi bahan penyusun Aclinop dapat dilihat pada Tabel 3. Sumber: CV. Minatama Lampung (2010)

Aclinop yang ditambahkan kedalam ransum ada empat taraf (Gambar 2) yaitu:

RR0 = 0 kg Aclinop (ransum tanpa penambahan Aclinop)

RR1 = 1 kg Aclinop dalam 100 kg ransum

RR2 = 3 kg Aclinop dalam 100 kg ransum

RR3 = 4 kg Aclinop dalam 100 kg ransum

(28)

Gambar 2. Aclinop yang Digunakan dalam Ransum dan Ransum yang Telah Dicampur Aclinop dalam Berbagai Taraf

Pemotongan Ternak

Ternak dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam sebelum akan dipotong. Ternak babi dipotong di tempat pemotongan babi masyarakat sekitar peternakan di Kampung Cina, karena tidak tersedia lagi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kabupaten atau di Kotamadya Bogor. Penyembelihan dilakukan antara pukul 17.00 – 18.00 WIB dengan cara penyembelihan yang masih sederhana, demikian juga dengan peralatan yang digunakan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Proses Pemotongan Ternak Babi Penimbangan Karkas

Pembelahan Karkas Menjadi Dua Bagian

Pengeluaran Jeroan (Organ Pencernaan dan Reproduksi) Pencabutan Bulu dan Pemisahan Kepala

Perebusan

Penusukan dan Pengeluaran Darah Pemingsanan

(29)

Peubah yang Diukur dan Diamati

Bobot Potong. Penimbangan dilakukan sesaat sebelum dipotong. Pemotongan dilakukan setelah ternak babi dipuasakan sebelumnya selama 12 jam dengan pemberian air minum ad libitum.

Berat Karkas. Karkas diperoleh setelah ternak disembelih dan darah dikeluarkan, bulu, isi perut, kepala dipisahkan dari tubuh dan kaki pada lutut dipotong. Karkas ditimbang untuk mendapatkan berat karkas.

Pesentase Karkas. Persentase karkas dihitung dengan mengalikan rasio antara bobot karkas per bobot potong dengan 100% (Blakely dan David, 1982).

Panjang Karkas. Panjang karkas diukur dari tulang rusuk pertama sampai dengan “aitch bone” (Blakely dan David, 1982). Pengukuran dilakukan dengan pita ukur biasa.

Tebal Lemak Punggung. Pengukuran dilakukan pada garis punggung setengah karkas pada tiga tempat yakni tulang rusuk pertama, tulang rusuk terakhir dan diatas persendian paha. Hasil pengukuran tersebut kemudian dijumlahkan dan diambil rataannya (Blakely dan David, 1982). Alat yang digunakan adalah penggaris plastik.

Loin Eye Area.Loin eye area diukur pada penampang otot longissimus dorsii

yang terdapat diantara tulang rusuk ke-10 dan ke-11 (Blakely dan David, 1982) dengan cara melukiskan luas penampang otot tersebut pada plastic grid. Luasan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan planimeter.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan masing-masing dengan tiga ulangan. Penempatan ternak babi dalam masing-masing kandang dan untuk mendapatkan perlakuan ransum dilakukan secara acak. Pada awal penelitian, masing-masing ternak ditimbang untuk mengetahui bobot badan awal, dan dimasukkan kedalam kandang yang telah diberi nomor untuk memudahkan tatalaksana. Setelah itu ternak dibiarkan selama satu minggu untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru.

(30)

18 Data yang diperoleh dianalisa dengan analysis of covariance (ANCOVA) dengan bobot awal dan lama pemeliharaan sebagai kovariabel menggunakan program SPSS 11.2 dengan prosedur General Linear Model (GLM) untuk meningkatkan presisi sebuah percobaan karena didalamnya dilakukan pengaturan terhadap pengaruh peubah bebas lain yang tidak terkontrol. Jika hasil analisis berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut yang menggunakan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1989). Model matematika percobaan ini (Steel dan Torrie 1989) adalah:

Yij = µ + Acpi +

α

Xij + β (Zij)i +

ε

ij

Keterangan: Yij = nilai harapan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j µ = nilai rataan umum

Acpi = pengaruh taraf zeolit “Aclinop” ke-i = 0, 1, 3, 4

α

= koefisien regresi yang menunjukkan ketergantungan Yij pada Xij

Xij = pengukuran lama pemeliharaan yang dihasilkan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j yang berkaitan dengan Yij

Β(Zij)= pengukuran bobot awal yang dihasilkan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j yang berkaitan dengan Yij

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Kondisi Ternak dan Lingkungan Kandang

Minggu pertama penelitian, ternak babi masih menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang dan ransum perlakuan yang diberikan. Hasil pengamatan menunjukkan konsumsi ransum yang masih rendah dan ada juga beberapa ternak babi yang mengalami penyakit pernafasan yang ditandai dengan batuk-batuk hingga muntah dan susah bernapas. Kejadian ini berlanjut hingga enam minggu pertama penelitian berlangsung. Ternak babi penelitian juga terserang gatal-gatal atau scabies

yang terjadi pada empat ekor babi secara bergantian. Ternak babi yang mendapat taraf perlakuan 2 kg Aclinop/ 100 kg ransum kondisi ketiga ternaknya mengalami masalah. Ketiga ternak babi tersebut sakit, sehingga kelompok perlakuan tersebut tidak diikutkan dalam pengamatan. Ternak babi penelitian diberi obat cacing contra worm yang dicampurkan dalam ransum dan pemberiannya dilakukan pada bulan pertama dan pada bulan kedua penelitian.

Ternak babi betina (enam ekor) penelitian sering gelisah, mengeluarkan suara, sering memanjat dinding kandang, vulva berwarna merah dan berlendir. Gejala-gejala tersebut biasanya terjadi jika ternak babi tersebut sedang mengalami berahi. Semua ternak babi betina mengalami berahi yang berulang setelah mencapai dewasa kelamin. Penurunan konsumsi ransum berlangsung dua sampai tiga hari selama masa berahi.

Pencatatan suhu dan kelembaban kandang selama penelitian dilakukan tiga kali setiap hari, yaitu pada pagi hari jam 07.00-08.00, siang hari jam 12.00-13.00 dan sore hari jam 18.00-19.00. Suhu kandang selama penelitian berlangsung berkisar antara 22,85 – 33,010C, dengan rataan suhu pagi hari adalah 24,01±0,630C, siang hari 32,00±0,610C, dan sore hari 28,34±0,620C. Rataan suhu selama penelitian masih jauh diatas kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan ternak babi, yang menurut Sihombing (1997) suhu optimum bagi pertumbuhan ternak babi periode grower

(bobot badan 5-40 kg) adalah 18-240C, sedangkan untuk periode finisher (bobot badan 40-90 kg) adalah 12-220C. Kelembaban minimum disekitar kandang penelitian

(32)

yaitu 46,07% dan kelembaban maksimum 92,86% dengan rataan kelembaban pada pagi hari adalah 88,84±2,94%, siang hari 54,42±5,01% dan sore hari 68,95±5,93%. Hasil pencatatan suhu dan kelembaban harian disekitar kandang selama penelitian dengan rataan tiap periode dua minggu disajikan pada Tabel 4.

Pada suhu yang tinggi ternak babi akan kehilangan nafsu makan dan energi banyak digunakan untuk evaporasi, sedangkan jika suhu lebih rendah daripada suhu optimum maka babi akan makan lebih banyak dan sebagian energi dari makanan dialihkan untuk produksi panas. Rataan suhu selama penelitian melebihi suhu optimum sehingga energi dari makanan digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh yang dapat dilihat dari tingkah lakunya yang terengah-engah. Kelembaban disekitar kandang penelitian juga mempengaruhi pemindahan panas dari tubuh ternak, kelembaban yang tinggi selama penelitian menyebabkan terlambatnya pemindahan panas dari tubuh ternak babi oleh aliran udara sehingga ternak babi mengalami cekaman panas. Untuk mengatasi masalah ini maka ternak babi dimandikan baik pada pagi, siang maupun sore hari. Dengan demikian walaupun temperatur sekitar kandang tinggi diharapkan tidak akan mempengaruhi penampilan ternak babi.

Tabel 4. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Selama Penelitian Periode

(2 minggu)

Temperatur Lingkungan (0C) Kelembaban Lingkungan (%) Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam Minimum 22,85 31,12 27,58 84,71 46,07 59,57 Maksimum 24,91 33,01 29,35 92,86 65,50 77,85

Rataan 24,01 32,00 28,34 88,84 54,42 68,95 Keterangan : Pagi (07.00-08.00 WIB), Siang (12.00-13.00 WIB), Malam (18.00-19.00 WIB)

(33)

Kandungan Nutrien Ransum

Ransum yang digunakan selama penelitian ada empat macam yaitu: R0, R1, R2 dan R3. Ransum R0 merupakan ransum kontrol, sedangkan ransum R1, R2 dan R3 merupakan ransum yang ditambahkan Aclinop berturut-turut 1, 3 dan 4 kg/ 100 kg ransum. Hasil analisa proksimat dari ransum penelitian merupakan hasil pengambilan sampel setiap kali pencampuran ransum selama penelitian. Hasil analisa proksimat ransum penelitian ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ransum Penelitian

Perlakuan BK Abu PK SK LK

Beta-Sumber: Hasil Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2011)

Pada Tabel 5 terlihat bahwa semakin tinggi taraf penggunaan Aclinop dalam ransum maka akan semakin tinggi kadar abunya. Hal ini disebabkan abu adalah bahan anorganik berupa mineral yang merupakan komponen penyusun zeolit “Aclinop”. Dengan penambahan Aclinop yang semakin meningkat dalam ransum berarti terjadi penambahan mineral selain mineral yang berasal dari bahan makanan lainnya sebagai penyusun ransum.

Kebutuhan kandungan protein kasar, energi metabolisme, Ca, dan P ternak babi pada periode grower (bobot badan 20-50 kg) masing-masing adalah 15%; 3260 kkal/kg; 0,6%; dan 0,5% sedangkan untuk periode finisher (bobot badan 40-90 kg) masing-masing adalah 13%; 3275 kkal/kg; 0,5% dan 0,4% (NRC, 1988).

(34)

Berdasarkan Tabel 5 protein kasar, energi metabolisme, Ca dan P ransum penelitian yang diberikan pada babi periode grower sudah sesuai anjuran NRC (1988), namun untuk ransum penelitian pada perlakuan R0, R1 dan R3 energi metabolisme masih dibawah anjuran NRC (1988).

Hasil analisa proksimat ransum penelitian yang diberikan pada babi periode

finisher, kandungan protein kasar, Ca dan P sudah sesuai dengan anjuran NRC (1988) sedangkan energi metabolisme masih dibawah anjuran NRC (1988). Perbedaan hasil perhitungan dengan hasil analisa laboratorium dapat disebabkan perbedaan kandungan zat makanan yang digunakan dalam perhitungan dengan zat makanan yang terdapat dalam ransum. Perbedaan zat makanan dalam setiap bahan makanan dapat disebabkan oleh varietas, musim, jenis tanah, cara pemanenan, proses pengolahan, dan lamanya penyimpanan (Parakkasi, 1990).

Rataan kadar serat kasar hasil analisa proksimat ransum penelitian yang diberikan pada babi periode grower adalah 5,09% sedangkan rataan kadar serat kasar pada babi periode finisher adalah 6,83%. Parakkasi (1990) menyatakan, bahwa hingga taraf 6%, kadar serat kasar tidak mempengaruhi penampilan ternak babi. Kadar serat kasar yang tinggi dalam ransum dapat menurunkan pertambahan berat badan dan nilai efisiensi penggunaan makanan.

Kandungan lemak ransum penelitian hasil analisa proksimat yang diberikan pada babi periode grower memiliki rataan 1,91% dan untuk babi periode finisher

adalah 2,51%. Berdasarkan hasil penelitian Allen yang dikutip oleh Parakkasi (1990) dengan menggunakan minyak jagung sebagai sumber lemak pada taraf 1, 4, 7, 10, dan 13% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap berat akhir, pertambahan berat badan, dan efisiensi penggunaan makanan.

Penampilan Produksi Ternak Babi pada Periode Grower-Finisher

Rataan penampilan produksi ternak babi dari masing-masing perlakuan yang diamati disajikan pada Lampiran 2. Penampilan produksi ternak babi pada penelitian ini meliputi rataan konsumsi ransum harian, rataan pertambahan bobot badan harian dan efisiensi penggunaan ransum.

(35)

Konsumsi Ransum Harian. Penambahan zeolit “Aclinop” dalam ransum menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi ransum harian. Dengan perkataan lain, Aclinop kelihatannya dapat merangsang konsumsi ransum dengan sifatnya yang khas, hingga pemanfaatan 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum. Rataan konsumsi ransum harian babi selama periode grower, finisher dan selama penelitian masing-masing adalah 1373,65±346,36; 2058,50±215,35 g/ekor dan 1716,08±280,86 g/ e/ h (Lampiran 2).

Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa konsumsi ransum harian babi periode grower tidak berbeda nyata akibat penambahan Aclinop dalam ransum, sedangkan konsumsi harian babi periode finisher sangat berbeda (P<0,01) nyata akibat penambahan Aclinop dalam ransum. Hasil uji beda memperlihatkan ransum perlakuan R0 dan R1 tidak berbeda nyata, sedangkan ransum perlakuan R0, R2 dan R3 memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata terhadap R1. Rataan konsumsi ransum harian pada perlakuan 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum sangat berbeda nyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 3 dan 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum. Hal ini diduga karena adanya penyerapan nutrien dalam ransum sehingga ternak babi harus mengkonsumsi ransum lebih banyak agar kebutuhan nutriennya terpenuhi terutama kebutuhan energinya. Lubis (1963) menyatakan, bahwa faktor yang mempengaruhi ternak babi dalam mengkonsumsi ransum diantaranya adalah palatabilitas dan bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan.

Pertambahan Bobot Badan Harian. Rataan pertambahan bobot badan harian babi selama periode grower, finisher dan selama penelitian masing-masing adalah 328,97±110,97; 480,75±219,50 dan 404,86±165,24 g/ e/ h (Lampiran 2). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sangat jauh lebih rendah dibanding rataan pertambahan berat badan periode pertumbuhan yang hampir sama (50 – 110 kg) yaitu sebesar 820 g/ e/ h menurut NRC (1988). Siagian (2003) menyatakan, bahwa hal yang paling menonjol menyebabkan perbedaan ini adalah faktor genetik karena sifat pertambahan berat badan adalah sifat yang diturunkan, sedangkan faktor lain yang dapat menyebabkan pertambahan berat badan yang rendah adalah lingkungan yang kurang mendukung termasuk suhu dan kelembaban.

(36)

Hasil analisa statistik memperlihatkan, bahwa taraf Aclinop dalam ransum tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan harian baik pada babi periode grower maupun finisher.

Efisiensi Penggunaan Makanan. Efisiensi penggunaan makanan adalah jumlah konsumsi ransum dibagi dengan pertambahan berat badan dalam satuan waktu yang sama (feed/gain). Semakin kecil nilai penggunaan makanan, maka semakin efisien seekor ternak memanfaatkan ransum menjadi daging. Rataan efisiensi penggunaan makanan babi periode grower, finisher dan selama penelitian masing-masing adalah 4,40±0,74; 4,29±0,59; dan 4,35±0,67 (Lampiran 2).

Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa taraf penggunaan Aclinop dalam ransum babi periode grower dan finisher tidak berpengaruh nyata terhadap rataan umum efisiensi penggunaan makanan babi periode grower-finisher masing-masing adalah 4,40±0,74 dan 4,29±0,59. Devendra dan Fuller (1979) menyatakan, faktor yang mempengaruhi efisiensi makanan disamping nutrisi adalah juga bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak dan keseimbangan zat gizi ransum.

Laju Makanan dalam Saluran Pencernaan. Pada penelitian ini, ternak babi yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan Aclinop (R1, R2, dan R3), laju makanan dalam saluran pencernaan lebih lama dibandingkan ternak babi yang ransumnya tanpa diberi penambahan Aclinop. Taraf Aclinop yang semakin tinggi hingga 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum pada babi periode finisher sangat nyata (P<0,01) meningkatkan waktu atau memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan (18 jam 42 menit ± 2 jam 16 menit). Sihombing (1997) menyatakan, bahwa kecepatan laju makanan dalam sistem pencernaan pada babi remaja atau dewasa berkisar antara 10 – 24 jam.

Cool dan Willard (1982) menyatakan zeolit “Aclinop” seharusnya dapat memperlambat laju pencernaan sehingga makanan tinggal lebih lama dalam usus dan konsumsi ransum juga akan ikut berkurang karena jeda ternak makan menjadi lebih panjang. Penambahan zeolit “Aclinop” dalam penelitian ini memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan, namun konsumsi ransum ternak babi dengan penambahan Aclinop (1, 3, dan 4 kg/ 100 kg ransum lebih tinggi dibandingkan babi yang diberi ransum tanpa penambahan Aclinop (Lampiran 3). Hal ini diduga karena

(37)

adanya penyerapan nutrien dalam ransum sehingga babi harus mengkonsumsi ransum lebih banyak agar kebutuhan nutriennya terpenuhi terutama kebutuhan energinya.

Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Potong, Bobot Karkas dan Persentase Karkas

Semua ternak babi penelitian dipotong di tempat pemotongan pedagang daging babi Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, setelah dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam. Pemotongan dilakukan apabila ternak babi telah mencapai bobot potong berkisar antara 78 – 82 kg. Pada akhir penelitian rataan bobot potong ternak terlebih dahulu babi adalah 80,54±1,28 kg (Tabel 6). Hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan yang diutarakan oleh Whittemore (1980) yang menyebutkan, bahwa kisaran bobot potong yang optimum adalah antara 50 – 120 kg.

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas dan Persentase Karkas

Perlakuan Rataan

*

Bobot Potong (kg)a Bobot Karkas (kg)b Persentase Karkas (%)c R0 80,33±1,76 58,53±1,47ab 72,86±0,72A R1 80,83±1,26 61,47±0,15d 76,05±1,17D R2 79,33±1,53 58,37±0,60a 73,58±0,66B R3 81,67±0,58 60,20±0,70c 73,71±0,35BC Rataan Umum 80,54±1,28 59,64±0,73 74,05±0,72 a

* = dikoreksi terhadap bobot awal (20,2 kg) dan lama pemeliharaan (162,42 hari) Superskrip huruf kecil dan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama masing-masing menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisa statistik memperlihatkan, bahwa taraf Aclinop dalam ransum tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap bobot potong. Tabel 6 memperlihatkan bahwa perlakuan 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum (R3) menghasilkan bobot potong tertinggi (81,67±0,58 kg), sedangkan perlakuan 3 kg Aclinop/ 100 kg ransum (R2) menghasilkan bobot potong paling rendah (79,33±1,53 kg). Bobot

(38)

potong yang berbeda lebih disebabkan oleh waktu pemotongan yang disesuaikan dengan keinginan para pemotong. Para pemotong hanya melakukan pemotongan pada hari Jumat dan Sabtu, sehingga ternak babi yang sudah mencapai bobot potong (78-82 kg) pada hari sebelum pemotongan harus menunggu hari tersebut. Bobot potong erat kaitannya dengan PBBH dan lama hari mencapai bobot potong. Pertambahan bobot badan harian yang semakin tinggi akan lebih cepat dalam mencapai bobot siap potong. Hal ini terbukti bahwa perlakuan R1 dan R3 yang memiliki PBBH tinggi (Lampiran 2) lebih cepat mencapai bobot siap potong (Lampiran 1).

Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa pemberian Aclinop dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot karkas. Hasil uji beda memperlihatkan bobot karkas pada perlakuan taraf 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum (R1) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Ternak babi pada perlakuan taraf 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum menghasilkan berat karkas yang tertinggi. Perbedaan berat karkas diduga disebabkan oleh adanya perbedaan besar kapala, isi rongga perut dan dada. Hasil ini didukung oleh pernyataan Soeparno (1998) yang menyatakan, bahwa bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Hal ini dikarenakan sering adanya perbedaan pada kepala, bulu, isi rongga dada dan perut.

Rataan hasil persentase karkas yang diperoleh dari berat karkas dibagi bobot potong dikalikan 100% dapat dilihat pada Tabel 6, dengan rataan umum penelitian adalah 74,05±0,72%. Hasil penelitian menunjukkan rataan persentase karkas dengan urutan dari tertinggi hingga terendah secara berurutan adalah perlakuan R1 (76,05±1,17%), R3 (73,71±0,35%), R2 (73,58±0,66%), dan R0 (72,86±0,72%). Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa perlakuan yang diberikan sangat nyata (P<0,01) berbeda mempengaruhi persentase karkas. Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe, ukuran dan penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan. Penelitian yang dilakukan oleh Whittemore dan Elsley (1976), menyatakan bahwa persentase karkas babi periode pengakhiran adalah 73% dari bobot hidup. Dari keseluruhan perlakuan yang diberikan hanya persentase karkas babi yang dihasilkan dengan ransum R0 yang tidak sesuai dengan nilai tersebut. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa zeolit

(39)

“Aclinop” yang ditambahkan dalam ransum dapat meningkatkan persentase karkas ternak babi. Hal ini sesuai dengan sifat zeolit “Aclinop” yang berperan dalam meningkatkan proses penyerpan zat-zat nutrien dari ransum.

Rataan persentase karkas tertinggi (76,05±1,17%) adalah ternak babi yang memperoleh perlakuan R1 (1 kg Aclinop/ 100 kg ransum) dan yang terendah (72,86±0,72%) adalah ternak babi yang tidak diberi Aclinop dalam ransumnya. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa persentase karkas tertinggi dihasilkan oleh berat karkas yang tinggi meskipun dengan bobot potong yang relatif rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dengan penambahan 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum menghasilkan bobot dan persentase karkas yang tinggi dibandingkan tanpa pemberian Aclinop. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pemberian 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum sudah cukup dalam meningkatkan bobot dan persentase karkas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Panjang Karkas dan Tebal Lemak Punggung

Rataan umum panjang karkas hasil penelitian adalah 71,67±0,64 cm. Tabel 7 memperlihatkan, bahwa pemberian Aclinop dengan taraf 4 kg/100 kg ransum (R3) menghasilkan karkas paling panjang 72,17±0,29 cm dan diikuti dengan perlakuan R1, R2, dan R0, masing-masing 71,83±0,76; 71,50±0,87, dan 71,17±1,76 cm (Tabel 7). Panjang karkas relatif sama walaupun kenyataannya karkas cenderung semakin panjang seiring dengan meningkatnya penggunaan Aclinop dalam ransum. Perbedaan panjang karkas pada kelompok ternak babi ini berhubungan dengan bobot badan yang berbeda saat dilakukan penelitian, penampilan yang berbeda pada kelompok ternak babi dan perbedaan dalam tingkat protein yang diberikan, sebagaimana Nold et al. (1997) menyatakan, bahwa karkas lebih panjang pada ternak babi yang diberi ransum berprotein lebih tinggi daripada yang berprotein rendah.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian taraf Aclinop yang berbeda dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap panjang karkas. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Siagian (2003). Siagian (2003) melaporkan, bahwa pemberian zeolit dan tepung darah dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap panjang karkas. Rataan panjang karkas dalam penelitian tersebut adalah

(40)

71,90±5,80 cm yang diperoleh dari ternak babi dengan rataan bobot badan 79,78±12,65 kg. Miller et al. (1991), nilai heritabilitas panjang karkas ternak babi adalah 40-60%. Panjang karkas diukur dari tulang rusuk pertama sampai dengan “aitch bone”, dan cara pengukuran panjang karkas dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Panjang Karkas dan Tebal Lemak

Punggung

Perlakuan Rataan

*

Panjang Karkas (cm)a Tebal Lemak Punggung (cm)b

R0 71,17±1,76 2,36±0,27

R1 71,83±0,76 2,72±0,10

R2 71,50±0,87 2,72±0,39

R3 72,17±0,29 2,93±0,20

Rataan Umum 71,67±0,64 2,68±0,24

a

* = dikoreksi terhadap bobot awal (20,2 kg) dan lama pemeliharaan (162,42 hari)

Nilai rataan tebal lemak punggung (TLP) akibat pengaruh taraf penggunaan Aclinop dalam ransum diperlihatkan pada Tabel 7. Tebal lemak punggung tiap ekor babi diukur pada karkas yang dilakukan pada tiga lokasi pengukuran yaitu diatas tulang rusuk pertama, terakhir dan diatas persendian tulang paha seperti diperlihatkan pada Lampiran 13 (Blakely dan David, 1982).

Nilai rataan umum TLP dari ternak penelitian adalah 2,68±0,24 cm, dengan urutan dari yang paling tipis hingga paling tebal adalah R0 (2,36±0,27 cm), R1 (2,72±0,10 cm), R2 (2,72±0,39 cm), dan R3 (2,93±0,20 cm). Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa taraf Aclinop dalam ransum tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap TLP. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Siagian (2003) yang melaporkan, bahwa pengaruh taraf zeolit dan tepung darah dan interaksi keduanya dalam ransum tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap TLP. Berdasarkan analisis regresi diperoleh hubungan fungsional antara bobot awal/BA (kg) dan lama pemeliharaan/LP (hari) dengan rataan TLP (cm), dengan persamaan regresi sebagai berikut: TLP = 5,495-0,062 BA-0,010 LP dengan koefisien determinasi (R2=0,944). Persamaan regresi ini menunjukkan bahwa setiap penurunan

(41)

satu kg bobot awal akan mengurangi TLP 0,062 cm dan menunjukkan juga bahwa setiap pengurangan satu hari pemeliharaan akan menurunkan TLP 0,010 cm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak yang mempunyai TLP yang tipis (R0) ternyata karkasnya tidak lebih panjang. Tebal lemak punggung juga berkaitan dengan bobot potong dan berat karkas. Mili et al. (1999 ) menyatakan, bahwa ternak dengan bobot potong yang minimum akan menghasilkan berat karkas dan tebal lemak punggung yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ternak yang memiliki bobot potong optimum.

Menurut Whittemore (1980), tebal lemak punggung merupakan indikator yang baik untuk menentukan kualitas karkas ternak babi dan erat kaitannya dengan persentase daging yang dihasilkan dimana kedua hal ini merupakan faktor penentu kualitas karkas dan standar babi siap potong. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat hubungan positif antara bobot karkas, TLP dan panjang karkas. Babi dengan bobot karkas tertinggi menghasilkan panjang karkas relatif tinggi dan ketebalan lemak yang lebih dalam. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan Whittemore (1980) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara TLP dengan panjang karkas. Hal ini diduga akibat adanya perbedaan lama pemeliharaan hingga mencapai bobot potong pada penelitian ini.

Pengaruh Perlakuan terhadap Loin Eye Area

Loin eye area (LEA) atau disebut juga urat daging mata rusuk (udamaru) atau

loin merupakan salah satu indikator kualitas karkas yang sangat penting karena merupakan petunjuk untuk persentase daging. Semakin luas udamaru, persentase daging biasanya meningkat dan grade karkas semakin baik. Loin eye area diukur pada penampang otot longissimus dorsiii yang terletak diantara tulang rusuk ke-10 dan ke-11 dengan cara melukiskan luas penampangnya pada plastik tembus pandang, luasan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan planimeter. Pengaruh taraf zeolit “Aclinop” dalam ransum terhadap LEA diperlihatkan pada Tabel 8.

Hasil analisa statistik menunjukkan, bahwa taraf Aclinop dalam ransum tidak memberi pengaruh nyata terhadap LEA. Hasil penelitian LEA memperlihatkan rataan umum 35,99±1,89 cm2 dengan urutan dari yang terluas hingga terkecil adalah perlakuan R1 (37,99±1,35 cm2), R0 (35,56±1,15 cm2), R2 (35,50±3,01 cm2), dan R3

(42)

(34,91±2,03 cm2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa LEA pada perlakuan R0 masih lebih luas daripada perlakuan R2 dan R3, diduga terjadi mineralisasi pada proses metabolisme yang menyebabkan terjadinya peningkatan absorbsi zat nutrient oleh zeolit sehingga tidak dapat secara optimal diserap didalam saluran pencernaan pada taraf penambahan 3 dan 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum.

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan terhadap Rataan Loin Eye Area

Perlakuan Rataan (cm2)*

R0 35,56±1,15 R1 37,99±1,35 R2 35,50±3,01 R3 34,91±2,03

Rataan Umum 35,99±1,89

CV = 4.74%

Keterangan : R0= 0 kg Aclinop/ 100 kg ransum R1= 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum R2= 3 kg Aclinop/ 100 kg ransum R3= 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum

* = dikoreksi terhadap bobot awal (20,2 kg) dan lama pemeliharaan (162,42 hari)

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kenaikan LEA hanya pada penambahan taraf Aclinop 1 kg/ 100 kg ransum (R1). Taraf Aclinop yang semakin tinggi yaitu 3 dan 4 kg Aclinop/ 100 kg ransum memperlihatkan rataan luasan LEA yang semakin kecil. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Siagian (2003) yang melaporkan, bahwa dengan semakin meningkatnya taraf penggunaan zeolit dalam ransum menghasilkan LEA yang semakin luas.

Ternak babi dengan perlakuan 1 kg Aclinop/ 100 kg ransum memiliki LEA yang tertinggi diduga karena tebal lemak punggung yang relatif tipis, protein ransum yang relatif tinggi, bobot karkas yang lebih tinggi dan status kesehatan yang lebih baik yang dapat dilihat dari penampilan ternak babi yang lebih baik daripada perlakuan lainnya. Christian et al. (1980) menyatakan, bahwa tingkat protein ransum yang tinggi menghasilkan LEA yang lebih luas. Soeparno (1998) menambahkan, bahwa selain bobot potong dan tingkat protein ransum, faktor genetis sangat mempengaruhi luas LEA. Hal ini diketahui dari nilai heritabilitas LEA ternak babi yang tergolong cukup tinggi, yaitu 48%.

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan 1 kg zeolit “Aclinop”/ 100 kg ransum menghasilkan bobot dan persentase karkas yang berbeda nyata (P<0,05) masing-masing dengan hasil tertinggi 61,47±0,15 kg dan 76,05±1,17%. Bobot dan persentase karkas terendah masing-masing adalah babi dengan perlakuan 3 kg Aclinop/ 100 kg ransum (R2) dan tanpa penambahan Aclinop dalam ransum (R0).

Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan Aclinop dalam ransum ternak babi terhadap kadar NH3 dari kotoran atau feses ternak babi.

(44)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas kasih karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Taraf Pemberian Zeolit (Aclinop) dalam Ransum Babi Periode Grower-Finisher terhadap Kualitas Karkas.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS dan Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto, selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan dan curahan waktu yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MSi dan Ibu Ir. Sri Rahayu, MSi, selaku dosen penguji yang telah memberi banyak saran guna penyempurnaan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, Bapak H. Hutahaean, SE dan Ibu Netty br. Pardede yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kepada Leny Theresia, Sari Dharma, Nurita Natalia dan Afri Romawaty Saragih, S.Kom beserta keluarga yang telah menjadi penyemangat bagi Penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

Ucapan terima kasih kepada Ribka br. Brahmana atas kerjasama dan dukungannya dalam tim ini. Terima kasih kepada Bapak Yoseph Sinaga beserta keluarga besar, Mas Andi dan Bapak Kim beserta keluarga atas kerjasamanya dalam penyelesaian tugas akhir ini. Akhir kata Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat yang bergerak dibidang peternakan babi.

Januari 2012

Penulis

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Arganosa, V. G., P. I. Ibarra, P. F. Alcantara, R. A. Icasas & M. B. De Ramos. 1972. Some Selected Carcas Measurement as Measure of Pork Carcass Monetary Values. South East Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture Laguna, Philippines.

Aritonang, D. & M. Silalahi. 1990. Penggunaan zeolit alam dalam ransum babi: Pengaruhnya terhadap produktivitas babi sedang bertumbuh. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Augustine, R. L. 1996. Heterogeneous Catalysis for Chemist. Mercel Dekker. New York.

Bachrein, S.2001. Peningkatan efisiensi pemupukan dengan penggunaan mineral zeolit pada padi sawah pengairan. Lembaga Informasi Pertanian (LIPTAN) No: 15. Seri: Tanaman Pangan/ PAATP/2001/djs. Departemen Pertanian. Jakarta. Blakely, J. & H. B. David. 1982. The Science of Animal Husbandry, 3rd Edition.

Reston Publishing Company, Inc. Reston A. Prentice-Hall Company, Virginia. Blakely, J. & D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Terjemahan: B. Srigandono. Edisi

keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Barrer, R. M, 1982. Hydrotermal Chemistry of Zeolites. Academic Press, London. Berliana, D. C. 2007. Karakteristik Karkas Dan Lemak Babi Dengan Pemberian

Ransum Mengandung Curcumin. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Boggart, R. 1977. Scientific Farm Animal Production. Burgess Publishing Company,

Minnesota.

Christian L.L., Stock K.L., Carlson, J.P. 1980. Effect of protein, breed cross, sex and slaughter weight on swine performance and traits. J. Anim Sci 51 (1):51-58 Cool, W. M. & J. M, Williard. 1982. Effect of Clinoptilolite and Swine Nutrition.

Nutr. Rep. Int. 26 (5): 759.

Devendra C, Fuller M. F. 1979. Pig Production in Tropics. London. Oxford University Press.

Esabara, T. 2003. Penampilan ternak babi periode lepas sapih dengan pemberian tepung darah dan zeolit dalam pakan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gambar

Tabel 1. Beberapa Jenis Zeolit, Rumus Kimia dan Sifatnya
Gambar 1. Hubungan Antara Tebal Lemak Punggung, Panjang dan Berat Karkas
Gambar 2. Aclinop yang Digunakan dalam Ransum dan Ransum yang Telah
Tabel 4. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang  Selama Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian beberapa taraf cacing tanah dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik karkas dan preferensi konsumen

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa taraf zeolit (0, 3, 6, dan 9%) dalam ransum terhadap penampilan mencit (Mus musculus) lepas

PENGARUH BUNGKIL BIJI KARET (m brasiliensis) SEBAGAI SUBSTITUSI BUNGKIL KACANG KEDELAI DALAM RANSUM.. TERHADAP KUALITAS KARKAS

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa substitusi ransum komersial de- ngan zeolit tidak berpengaruh nyata terhadap berat karkas, persentase karkas, gi- bler dan

Penambahan Aclinop dalam ransum dan penaburan zeolit pada litter serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot potong, bobot dan persentase

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan zeolit sampai 4.5% dalam ransum berpengaruh nyata (P ≤ 0.05) meningkatkan tebal kerabang, mengurangi persentase penurunan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian ransum komersial dengan ampas tahu memberikan pengaruh berbeda nyata (P&lt;0,05) terhadap komponen karkas, sedangkan

Pemberian ransum yang mengandung bungkil inti sawit selama 6 minggu akhir penelitian meningkatkan persentase daging karkas dan lemak punggung lebih tipis, sedangkan