• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

NOVITA PUJI HANDAYANI. The Association between Family Characteristics with Weaning Practices, Infant Feeding Practices and Nutritional Status of Children in Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Supervised by ALI KHOMSAN.

The purpose of this study was to identify the characteristic of family and the association between mother and family characteristics, with weaning practices, infant feeding practices and nutritional status of children. The study design was a cross sectional study. Total sampel of the study were 58 children. Almost all children were born with enough birthweight and they had been given a feeding food when the age of them less than 6 month. The reason of their mothers giave them feeding food in ealier age are to make their babies calm. Almost all mother started to wean their children when their children become in 24 months. They did that because they think their children was already became a kid. The analysis by Spearman association between mother and family characteristic with weaning practices showed no significant association (p>0.05). The analysis between mother and family characteristic with nutritional status (W/A) showed significant association (p<0.05), but there is no significant association (p>0.05) between mother and family characteristic with nutritional status (H/A) and (W/A). The analysis between weaning practices and nutritional status showed no significant association (p>0.05).

(2)

RINGKASAN

NOVITA PUJI HANDAYANI. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan, Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh Ali Khomsan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan tambahan dan status gizi balita. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui karakteristik keluarga(pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga); (2) Mengetahui umur penyapihan dan praktek pemberian makanan tambahan pada balita ; (3) Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB ; (4) Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal balita ; (5) Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita ; (6) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita ; (7) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita. Penelitian ini didesain dengan metode cross-sectional study. Penelitian ini dilakukan di RW 03 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Agustus 2012. Contoh dalam penelitian ini adalah 58 anak balita berusia 24-60 bulan. Contoh merupakan populasi dari seluruh balita yang ada di wilayah kerja posyandu Anggrek, yang kemudian disaring kembali menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian.

Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamat SD/sederajat (48.3%). Sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (70.7%). Berdasarkan garis kemiskinan Propinsi Jawa Barat tahun 2012 maka pada keluarga balita diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak 39.7% dan sebagian besar lainnya tergolong dalam keluarga tidak miskin (60.3%). Sebagian besar (79.3%) keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang.

(3)

Pola pemberian MP-ASI balita pada penelitian ini sebagian besar tergolong tidak baik dengan persentase sebanyak 53.4%.Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak tergolong kategori gizi baik dengan persentase sebesar 89.7%. Berdasarkan indeks TB/U sebanyak 55.2% anak balita tergolong dalam kategori normal. Indeks BB/TB sebanyak 77.6% anak balita tergolong dalam kategori normal

.

Berdasarkan praktek higiene dan kebersihan diri, sebanyak 77.6% balita memotong kukunya 1 kali dalam seminggu, mandi 2 kali dalam sehari (91.4%) dan hampir seluruh balita mandi menggunakan sabun mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi balita sebagian besar balita menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tempat buang besar balita sebagian besar di WC dengan persentase sebessar 84.5%. Berdasarkan praktek higiene, sebagian besar ibu balita mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar (98.3%), 77.6% ibu mencuci tangan sebelum makan, 56.9% mencuci tangan sebelum menyuapi anak. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak hanya sebesar 32.8% ibu yang melakukannya. Penggunaan air dalam wadah dan sabun untuk mencuci tangan dilakukan ibu untuk mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar dan sebelum makan dengan persentase masing-masing sebesar 70.7% dan 46.6%. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyuapi anak 43.1% ibu hanya menggunakan air saja tanpa sabun. Kejadian sesak nafas pada balita sebagian besar balita tidak mengalami sesak nafas (72.4%). Kejadian diare saat penelitian dan dalam satu bulan terakhir sebagian besar balita juga tidak mengalami diare dengan persentase masing-masing sebesar 91.4% dan 79.3%. Kehadiran ibu balita diposyandu masih tergolong dalam kategori rendah (41.4%). Kehadiran selama 6 bulan terakhir juga masih tergolong dalam kategori rendah (58.6%). Alasan ibu balita tidak hadir adalah malas dengan persentase sebesar 36.2%.
(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik tangguh, mental kuat dan kesehatan prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu faktor yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah kekurangan gizi (Atmarita 2004).

Menurut Atmarita (2004), pada saat ini sebagian besar atau 50 % penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita serta rendahnya umur harapan hidup.

Dalam siklus kehidupan manusia, bayi berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat. Bayi yang dilahirkan dengan sehat, pada umur 6 bulan akan mencapai pertumbuhan atau berat badan 2 kali lipat dari berat waktu dilahirkan. Oleh karena itu peralihan ASI kepada makanan tambahan harus dilakukan sesuai dengan kondisi anatomi dan fungsional alat pencernaan bayi (Notoatmodjo 2003).

Status gizi yang kurang baik atau buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pada pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja. Keadaan ini berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya gizi merupakan unsur yang penting bagi pembentukan tubuh manusia yang berkualitas. Pertumbuhan dimulai sejak dalam kandungan sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan pangan dan zat gizi di samping pemenuhan kebutuhan – kebutuhan lainnya. Makanan bayi sangat penting diperhatikan karena mereka merupakan generasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Anak dapat berkembang dengan normal bila pertumbuhannya tidak terganggu.

(5)

kuantitatif dan kualitatif bagi bayi sangat berbeda dengan kebutuhan bagi anak dan orang dewasa (Launer 1989).

Data kasus kekurangan gizi di Indonesia pada tahun 2010 tidak terjadi penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 2007 ke tahun 2010 yaitu dengan prevalensi sebesar 13 %, sedangkan untuk gizi buruk terjadi penurunan prevalensi dari 18.4 % pada tahun 2007 menjadi 17.9% pada tahun 2010. Prevalensi nasional balita pendek (stunting) tahun 2010 adalah sebesar 35.7 % dan prevalensi nasional balita kurus (wasting) sebesar 13.3 % (Riskesdas 2010).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan indikator BB/U di provinsi Jawa Barat. 3.1 % dan 9.9%. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek berdasarkan indikator TB/U di provinsi Jawa Barat adalah sebesar 16.6 % dan 17.1%, sedangkan prevalensi balita sangat kurus dan kurus berdasarkan indikator BB/TB di provinsi Jawa Barat adalah 4.6 % dan 6.4%.

Dilihat dari kebutuhan gizi, kematangan fisiologis dan keamanan immunologi, pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan adalah tidak perlu dan juga dapat membahayakan karena kemampuan kemampuan pencernaan bayi masih terbatas, dan juga kondisi bayi yang baru lahir masih lemah dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar rahim ibu. Banyak resiko – resiko yang akan terjadi pada anak apabila telah diberikan makanan pelengkap terlalu dini diantaranya adalah meningkatkan terjadinya diare, meningkatkan resiko infeksi dan alergi pada bayi dan obesitas yang berupa efek jangka panjang (Akre 1993). Peneilitian yang dilakukan di Bangladesh, India menujukkan sebanyak 28 responden yang diteliti (48.1%) memberikan ASI kepada anaknya ketika baru lahir sisanya sekitar 28 ibu (51.9%) menyatakan telah memberikan madu, susu sapi, dan air gula sesaat setelah melahirkan bayinya (Kamruzzaman et al. 2009).

(6)

penghentian ASI (penyapihan) sementara bayi belum siap menerima makanan pendamping ASI atau tambahan yang terlalu dini yang mengakibatkan kurangnya konsumsi jumlah ASI untuk bayi dan pengenalan makanan pendamping atau tambahan yang terlambat terutama bila produksi ASI sudah tidak seimbang dengan kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr M. Abdus Shalam Khan di Dhaka (2007) menunjukkan bahwa hanya sebanyak 59% ibu di sana yang memiliki pengetahuan yang kurang dalam pola penyapihan anak. Hal ini disebabkan karena status ekonomi keluarga yang rendah sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan dalam pola penyapihan pada anak. Semakin tinggi status ekonomi keluarga maka pengetahuan dalam pola penyapihan anak akan semakin baik dan sebaliknya.

Saat ini di Indonesia ada kecenderungan penurunan penggunaan ASI dan meningkatnya pemberian susu formula pada sebagian besar masyarakat terutama di kota – kota besar. Prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Data SDKI tahun 1986 terdapat 86%, tahun 1991 menjadi 53.8% tahun 1997 tinggal 52% dan tahun 2002 hanya 39.5%. Pada kenyataannya di lapangan pemberian ASI eksklusif atau pemberian hanya ASI tanpa tambahan cairan lain/makanan lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan masih belum sesuai target yang diharapkan. Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, didapati data jumlah pemberian ASI pada bayi di bawah usia dua bulan sebesar 64% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yakni 46% pada bayi usia 2-3 bulan dan 14% pada bayi usia 4-5 bulan, yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Lukman 2007).

(7)

lainnya karena ASI tidak keluar sehingga sang ibu merasa sang anak butuh makanan tambahan (Maseta dkk 2008).

Adanya penurunan prevalensi ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sangat disayangkan, hal ini tentu akan menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penyapihan yang terlalu dini dan pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan anak tentunya akan berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya. Kebanyakan ibu yang tinggal di daerah pinggiran kota yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai usia 6 bulan sedangkan ibu- ibu yang tinggal diperkotaan sebagian besar tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya dan telah memberikan makanan pendamping seperti bubur susu, buah dan susu formula ( Batal et al. 2005).

Dari kenyataan tersebut diatas, tampak bahwa keberhasilan pembangunan, kemajuan teknologi dan modernisasi yang terjadi pada masyarakat di Indonesia akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap pola pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan pada balita. Dampak tersebut pastinya akan sangat berpengaruh di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bekasi. Berdasarkan hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melihat secara langsung bagaimana karakteristik keluarga yang mempunyai anak balita tentang umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendaping ASI dan dihubungkan dengan status gizinya.

Tujuan

Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita.

Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik keluarga (pendidikan,pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga).

b. Mengetahui umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI pada balita.

c. Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. d. Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar

(8)

e. Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita. f. Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur

penyapihan balita

g. Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

Kegunaan Penelitian

(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Bayi

Air Susu Ibu (ASI)

Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi, selain itu juga mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. Kandungan protein ASI yang lebih rendah dari susu sapi memiliki kualitas yang sangat tinggi karena kandungan asam-asam amino essensial yang dibutuhkan oleh bayi dan sesuai dengan daya cerna usus bayi (Widjaya 2002).

Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung sangat cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan juga akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus merupakan makanan utama pada usia dini (Muchtadi 2002).

ASI dihasilkan oleh setiap ibu setiap ibu setelah melahirkan. Kemampuan produksi ASI sangat dipengaruhi oleh refleks isapan bayi. Refleks isapan bayi akan mencapai puncaknya pada 20 – 30 menit pertama setelah bayi lahir. Volume ASI mencapai 100 ml pada hari kedua setelah melahirkan dan jumlah tersebut akan meningkat sampai kira – kira 500 ml pada minggu kedua (Roesli 2001).

Konsep ASI eksklusif, yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu – ibu. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Di samping itu ada pula ibu – ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004).

(10)

yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI seperti dukungan yang diberikan keluarga, kondisi sosial lingkungan tempat tinggal, serta persepsi ibu terhadap makanan pendamping ASI. Eckhardt et al. (2001) menyebutkan bahwa perbedaan pola serta lama pemberian ASI akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Penelitian yang dilakukan Griffiths et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI mengalami pertambahan yang sangat cepat dan cenderung kelebihan berat badan.

Makanan Tambahan

Makanan tambahan (MP ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI diberikan mulai umur 6 – 24 bulan dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP ASI (Depkes RI 2004).

Makanan tambahan adalah makanan untuk bayi selain ASI atau susu botol sebagai penambah kekurangan ASI atau susu pengganti (PASI) (Husaini 2001). Pemberian makanan tambahan adalah memberi makanan selain ASI untuk megisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dengan jumlah yang didapat dari ASI (Rosidah 2004).

Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Proses ini membutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflex menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani 2008).

(11)

a. Melengkapi zat-zat gizi yang kurang, karena kebutuhan bayi yang semakin meningkat.

b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan beragam rasa dan bentuk.

c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.

d. Melakukan penyesuaian terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi. Membantu menanamkan kebiasaan makan yang baik.

Penyapihan

Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya diberi ASI menjadi campuran antara ASI dan makanan yang berbentuk padat. Penyapihan adalah masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selam proses ini dibandingkan dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi (Muchtadi 2002).

Menurut Lewis (2004) menyapih merupakan proses peralihan pemberian makan bayi dari susu ke bubur yang sangat halus, kemudian ke bubur yang lebih kasar, sampai bayi berumur sekitar 12 bulan dan sudah sepenuhnya mampu menyantap makanan keluarga. Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak dilakukan sebelum bayi menginjak usia enam bulan, dan dapat berlangsung sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang – kadang sampai empat tahun. Pada golongan masyarakat lain, hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Penelitian yang dilakukan oleh Mushaphi et al. (2008) menunjukkan hasil hanya sebesar 7.6 % ibu balita yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sedangkan sebanyak 43.2 % telah diberikan makanan padat pada usia tiga bulan dan 15 % sebelum usia dua bulan.

(12)

minggu (Muchtadi 2002). Penelitan yang dilakukan Mushaphi et al. (2008) juga menyebutkan sebanyak 45 % ibu bayi mengatakan bahwa mereka memberikan makanan padat kepada bayinya karena mendapat saran dari kerabat atau teman, 35 % karena merasa bayinya lapar dan 3.5 % lainnya karena bayinya susah tidur.

Pemberian MP – ASI

Pemberian MP ASI pertama kali diberikan kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran antara ASI dengan makanan lain yang berbentuk padat (Muchtadi 2002).

Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat umur 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak, kejadian infeksi meningkat, dan ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali (Ariani 2008).

Hanya sedikit ibu yang sadar dan memberikan anaknya makanan pendamping ASI setelah usia anaknya diatas 6 bulan. Hal ni terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2006) di Malaysia menunjukkan bahwa sebanyak 117 anak (21.3%) dari 551 anak di sana telah diberikan makanan pendamping sebelum berusia 4 bulan dan hanya 12.8% yang diberikan makanan pendamping setelah berusia 6 bulan.

Jenis dan Pola Pemberian MP – ASI

(13)

Adapun jenis – jenis makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) terbagi atas (Chintia 2008) :

a. Makanan lunak yaitu semua makanan termasuk yang disajikan dalam bentuk halus dan diberikan pada bayi pertama kali, misalnya bubur susu dan sari buah.

b. Makanan lembik yaitu makanan peralihan dari makanan lunak menuju makanan biasa seperti nasi tim.

c. Makanan biasa yaitu makanan seperti yang disajikan untuk orang dewasa seperti nasi.

Makanan pertama yang baik untuk bayi adalah biji-bijian, sereal bayi yang diperkaya zat besi, biasanya sereal beras (nasi bubur). Makanan tambahan harus mudah dicerna oleh bayi dan mengandung zat-zat gizi dalam keseimbangan yang baik. Karena lambung bayi masih kecil makanan yang diberikan harus cepat meninggalkan lambung. Makanan baru berupa nasi yang bersama-sama ditim dengan sayuran (misalnya bayam, wortel, tomat) dan ati ayam seyogyanya tidak diberikan sebelum umur 6 atau 7 bulan (Pudjiadi 2001).

Tabel 1 Pola pemberian makanan anak balita

Umur Jumlah Pemberian Dalam Sehari

(kali)

0 – 6 bulan

6 – 8 bulan

8 – 10 bulan

10 – 12 bulan

12 – 24 tahun

ASI

ASI Bubur Susu Nasi Tim Saring

ASI Buah Bubur Susu Nasi Tim dihaluskan

ASI Buah Nasi Tim

ASI

Nasi Tim atau Makanan Makanan Kecil Sekehendak Sekehendak 1 1 Sekehendak 1 1 2 Sekehendak 1 3 Sekehendak 3 1

Sumber : Depkes 2000

(14)

tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2 – 3 tahun dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tetapi dengan porsi kecil. Hal ini dikarenakan anak umur 1 – 3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200 – 300 ml makanan (Muchtadi 2002). Berikut merupakan tabel pola pemberian makanan pada anak balita

Karakteristik Keluarga

Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat meningkatan mutu modal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi umumnya akan memberikan stimulasi lingkungan baik dari segi fisik, sosial, emosional dan psikologis bagi anak – anaknya dibanding dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah (Hartoyo & Hastuti 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2007) menyatakan bahwa sebanyak 62 % ibu dalam kategori pendidikan rendah memiliki pengetahuan dalam pola penyapihan yang rendah juga. Penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa ibu yang berasal dalam kategori pendidikan rendah cenderung memiliki anak yang bergizi kurang bahkan bergizi buruk.

Pekerjaan

Faktor yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga tersebut. Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya. Hal ini menyebabkan mereka cenderung memberikan makanan tambahan bagi anaknya terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Senorita dan Laukau (2005) menyatakan bahwa balita yang orangtuanya khususnya ibu bekerja sebanyak 67 % memberikan makanan tambahan pada anaknya pada umur tiga bulan.

Pengetahuan

(15)

kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 5 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI 2000).

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 2003). Selanjutnya, Sediaoetama (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Menurut Khomsan et al. (2007) tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang maka diharapkan lebih baik juga keadaan gizinya

Besar Keluarga

Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989).

Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian anak, juga kebutuhan makanan, sandang dan perumahanpun tidak terpenuhi oleh karena itu keluarga berencana tetap diperlukan (Soetjiningsih 1999).

Pendapatan Keluarga

(16)

untuk makanan atau pangan semakin kecil (Berg 1986). Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga. Padahal anak – anak yang sedang dalam masa pertumbuhan cepat, terutama anak balita, memerlukan protein dan gizi mikro yang sangat penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan individu di kemudian hari (Djalal 2009).

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005).

(17)

Dengan batasan (cut-off point) tertentu, nilai-nilai indeks antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Jahari 2002). Kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang cukup panjang (dua tahun atau lebih) pilihan utama adalah indeks TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau tujuan penilaian status gizi adalah untuk assessment seperti dalam evaluasi suatu kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dapat memberikan informasi yang rinci tentang status gizi, baik gambaran masa lalu maupun masa kini atau keduanya (kronis dan akut).

Penelitian yang dilakukan oleh Medhi (2004) menunjukkan hasil bahwa anak usia 0-6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan anak yang telah diberikan susu formula dan makanan pendamping.

Tabel 2 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U, BB/TB

No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang

- 2 s/d +2 SD Gizi baik

> +2 SD Gizi lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

- 3 s/d <-2 SD Pendek

> +2 SD Normal

3 BB/PB < -3 SD Sangat Kurus

- 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk

Sumber : Depkes 2007

Infeksi

(18)

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji 2003).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia Dua penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes 2004).

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Ibu menyusui dan anak balita merupakan 2 dari 4 kelompok sasaran utama program perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan anak., diharapkan ibu-ibu memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya sampai umur 2 tahun. Meskipun kerugian-kerugian langsung yang ditimbulkan akibat dari menyusui tidak ada, akan tetapi banyak ibu-ibu yang menyapih anaknya lebih awal dengan berbagai alasan.

Kecenderungan semakin menurunnya ibu –ibu menyusui anaknya, tentu akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Anak yang telah disapih sebelum waktunya, kekebalan anak terhadap infeksi, penyakit diare, dan penyakit lainnya sangat rendah dan pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan status gizi, terutama bila pemberian makanan tambahan setelah disapih tidak sesuai dengan kebutuhan tubuhnya.

Depkes RI (2004) menyatakan bahwa makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai usia 6-24 bulan, dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga, pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya. Pemberian MP-ASI yang jenis, bentuk dan frekuensinya tidak sesuai dengan kebutuhan bayi akan mempengaruhi pola makan bayi. Selain itu pemberian MP-ASI yang tidak tepat baik jumlah maupun kualitasnya dalam jangka waktu yang panjang akan mempengaruhi status gizi bayi. Fokus utama yang akan diteliti mencakup variabel perilaku ibu dalam pemberian makanan tambahan yang meliputi usia pertama kali diberikan makanan tambahan, jenis makanan tambahan, jumlah makanan tambahan, waktu pemberian makanan tambahan, frekuensi makanan tambahan serta jenis makanan tambahan dan selingan yang diberikan kepada balita saat penelitian berlangsung.

(20)

bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini

(21)

Gambar 1 Bagan konsep analisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita

:

variabel diteliti : hubungan diteliti : hubungan tidak diteliti

Karakteristik keluarga :

- Pendidikan - Pekerjaan - Jumlah anggota

keluarga

- Pendapatan keluarga

Umur Penyapihan

Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI :

- Awal pemberian makanan tambahan

- Jenis makanan tambahan pertama kali

- Jenis makanan yang diberikan pada saat penelitian

- Frekuensi pemberian - Pemberian makanan

selingan

- Jenis makanan selingan - Frekuensi pemberian

Status Gizi Balita

Kebersihan Lingkungan

Infeksi Internal :

(22)

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian, Waktu danTempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Penelitian dilakukan pada bulan Agustusi 2012. Desain penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan rancangan penelitian dilakukan secara cross sectional (potong lintang), dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada saat yang sama.

Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah ibu – ibu yang mempunyai balita dan terdaftar di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Sampel penelitian ini diambil dari sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu – ibu yang mempunyai balita usia 2-5 tahun di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi yang bersedia mengikuti penilitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian . Besarnya populasi yang ada yaitu sebesar 150 anak balita. Besarnya sampel yang dijadikan responden penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus:

n = Z2 1-α/2 P (1-P) d2

dimana n : Jumlah sampel

Z2 1-α/2 : derajat kepercayaan (1.96)

D : presisi (0.10)

P : proporsi ibu balita pada populasi (0.5)

Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebanyak 58 orang dengan derajat kepercayaan 95%.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(23)

alat bantu berupa timbangan dacin dengan kapasitas maksimal 25 kg dengan kelitelitan 0.1 kg, sedangkan data tinggi badan balita diambil dengan menggunakan alat ukur panjang badan untuk balita yang belum dapat berdiri tegak dan microtoise untuk anak yang sudah dapat berdiri tegap. Pembedaan alat ukur tinggi badan ini dilakukan karena jika balita yang belum dapat berdiri tegap diukur menggunakan microtoise maka akan terjadi bias dalam pengukurannya sehingga data yang diperoleh pun tidak valid. Data karakteristik ibu yang terdiri dari data umur ibu, pekerjaan ibu,pendidikan ibu diperoleh dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan diambil dengan metode wawancara. Data karakteristik ibu ini berguna dalam mencari hubungan dengan variabel lainnya. Data pendidikan ibu dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD,SMP, SMA/sederajat, Akademi, dan Sarjana, sedangkan pekerjaan ibu dibedakan menjadi ibu rumah tangga, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lain-lain. Data karakteristik keluarga terdiri dari pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga, umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI kepada balita yang terdiri dari umur pertama kali diberikan makanan pendamping ASI, jenis makanan pertama, jenis makanan pendamping ASI yang saat ini dikonsumsi, frekuensi pemberian makanan pendamping ASI, pemberian makanan selingan dan frekuensi pemberian makanan selingan diperoleh menggunakan alat bantu berupa kuesioner dengan metode wawancara. Data umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI kepada balita ditanyakan kepada ibu balita dengan pertanyaan yakni hingga usia berapa balita diberikan ASI, usia berapa balita mulai diberikan makan pendamping ASI, jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan, berapa kali dalam sehari atau frekuensi pemberian makanan pendamping ASI dan makanan selingan, alasan pemberian makanan pendamping ASI dan makanan selingan

(24)

Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data

No Variabel Indikator Cara Pengumpulan Data

1 Karakteristik contoh - Jenis kelamin - Umur

- Berat badan - Tinggi badan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran menggunakan

microtoise.

2 Karakteristik keluarga

- Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan keluarga - Besar keluarga - Umur

- Jumlah anggota keluarga

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner

3 Umur penyapihan - Usia awal penyapihan - Pemberian ASI

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner

4 Pemberian makanan tambahan

- Usia awal pemberian - Jenis makanan - Frekuensi

pemberian

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

5 Kebersihan diri dan lingkungan

- Kebersihan balita - Kebersihan ibu balita - Praktek cuci tangan - Keberadaan tempat

sampah dan mck

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

7 Penyakit infeksi - Diare - Demam - Batuk

Pilek

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

8 Pola pemberian MP-ASI

- Umur pertama kali diberikan MP-ASI - Frekuensi pemberian - Jenis makanan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

8 Frekunsi pangan sumber protein

- Kebiasaan konsumsi pangan sumber protein dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

9. Frekuensi jajanan - Kebiasaan konsumsi jajanan dalam satu hari

(25)

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data terdiri atas editing semua data yang sudah terkumpul diteliti kembali dengan cara memeriksa kuesioner (data identitas responden) untuk menghindari terjadinya kesalahan/ adanya data yang belum terisi, coding dimana setelah dilakukan editing, selanjutnya adalah memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data, sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data. Tahap selanjutnya tabulating dimana pada tahap ini hasil dikelompokkan dengan teliti dan teratur, dijumlahkan dan dituliskan dalam bentuk tabel dan yang terakhir adalah analiting dimana data status gizi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara manual, data asupan zat gizi menggunakan komputer dengan program food prosessor paket dan dianalisis dengan menggunakan paket analisis program statistik.Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan computer menggunakan program Microsoft Excel dan program Statistical program for Social Science (SPSS) for Windows versi 17.0.

Untuk memperoleh data status gizi balita diperlukan data berat badan (BB) serta tinggi badan (TB) serta umur yang diperoleh dari penimbangan dan wawancara. Setelah mendapatkan data berat badan dan tinggi badan responden, peneliti menghitung status gizi menggunakan z-score berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, kemudian setelah didapat data status gizi dkelompokkan menurut klasifikasi yang telah ada. Umur penyapihan diklasifikasikan atas 3 kategori yaitu : <12bulan, 12-24 bulan dan >24bulan.

(26)

umur penyapihan dengan status gizi balita dan yang terakhir adalah mengetahui hubungan antara praktek pemberian makanan tambahan dengan status gizi balita. Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis dua variabel. Data yang didapat kemudian dianalisisdengan uji statistik yaitu Spearman.

Definisi Operasional

Umur adalah Lamanya responden hidup sejak lahir sampai dengan pengumpulan data yang dinyatakan dalam tahun.

Jenis kelamin adalah status gender seseorang yang dapat dilihat dari postur fisik atau dengan kartu identitas.

Status Gizi adalah keadan gizi responden pada saat pengambilan data yang didapat berdasarkan skor z –score

MP-ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari enam bulan.

Pola Pemberian MP-ASI adalah cara pemberian MP –ASI yang meliputi usia pertama kali pemberian, bentuk MP-ASI yang diberikan, dan frekuensi pemberian MP-ASI.

Karakteristik keluarga adalah ciri yang dimiliki oleh keluarga seperti besar keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan menjadi tanggunan dari kepala keluarga.

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan keluarga per kapita perbulan baik dalam bentuk uang atau bahan makanan yang dikonfersikan kedalam nilai uang.

Pengetahuan gizi ibu adalah sejumlah skor yang diperoleh ibu bayi dari sejumlah pertanyaan yang diberikan meliputi manfaat ASI, cara pemberian ASI dan MP-ASI serta alasan pemberian ASI dan MP-ASI.

Penyapihan adalah keadaan dimana anak balita sudah tidak diberikan ASI lagi oleh ibu.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Sumur Batu merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini terdiri dari 7 Rukun Warga dan 41 Rukun Tetangga dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya - Sebelah Timur : Desa Burangkeng Kabupaten Bekasi

- Sebelah Selatan : Desa Taman Rahayu Kabupaten Bekasi - Sebelah Barat : Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang

Letak kota pemerintahan Kelurahan Sumur Batu berada di sebelah tenggara dari kota pemerintahan Kecamatan Bantar Gebang, dengan luas ± 568 995 ha. Dari luas ± 568 995 ha areal yang ada, sekitar 318 ha dipergunakan untuk pemukiman penduduk dan pertanian, sedangkan sisanya dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta tempat pembuangan akhir (TPA) Pemda DKI 20 ha dan Kota Bekasi 17 ha. Keberadaan lokasi TPA Bantar Gebang membawa dampak tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Permasalahan lain yang dihadapi dengan adanya lokasi TPA sampah adalah adanya udara yang tidak bersahabat di wilayah Kelurahan Sumur Batu dan sekitarnya akibat bau yang tidak sedap apabila tersengat hidung.

Wilayah peneilitian terletak pada RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, dimana termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I. Puskesmas Bantar Gebang I terletak di jalan Narogong Raya Km.10 No.75 Kelurahan Bantar Gebang. Luas wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I adalah 18.54 km2 . Jumlah penduduk di Kelurahan SumurBatu adalah sebesar 7 703 jiwa dengan kategori penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 1 460 jiwa, 7-12 tahun sebanyak 817 jiwa, 13-15 tahun sebanyak 1 266 jiwa, 16-21 tahun sebanyak 961 jiwa, 22-59 tahun sebanyak 2 778 jiwa dan yang berusia ≥ 60 tahun sebanyak 421 jiwa.

(28)

Bantar Gebang I tergolong dalam kategori baik, yakni sebanyak 91. 8 % balita berstatus gizi baik.

Wilayah RW 03 termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I yang paling banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga di RW 03 tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata – rata sebagai pemulung sampah. Kejadian diare serta kecacingan di wilayah ini pun tergolong tinggi yakni sebesar 89.8%. Hal ini mungkin disebabkan karena RW 03 merupakan wilayah yang terdekat dengan tempat pembuangan akhir.

Karakteristik Keluarga

Ibu merupakan orang yang memiliki peranan utama dan penting dalam keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh pada perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam konsumsi pangan, perawatan kesehatan dan higiene, serta pemberian stimulasi yang tepat kepada anak. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak yang akan membantu ibu memberikan pengasuhan yang maksimal.

Umur Ibu

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita berusia 24 – 60 bulan di wilayah kerja posyandu Melati 3 dan Melati 9 RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Jawa Barat. Responden yang ada sebanyak 50 orang dan jumlah balita sebanyak 58 orang, dimana terdapat 4 ibu yang memiliki 2 orang anak balita.

(29)

Tabel 4 Sebaran umur ibu balita

Umur (tahun) n %

19-29 32 55.2

30-49 26 44.8

Total 58 100.0

Pekerjaan

Salah satu faktor yang memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang ada di dalam keluarga tersebut.

Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga (70.7%), 12.1% bekerja sebagai buruh pabrik, 10.3% sebagai karyawan swasta, 3.4% sebagai pemulung, dan sisanya masing – masing sebanyak 1.7% sebagai wiraswasta dan guru.

Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita

Jenis pekerjaan n %

Buruh pabrik 7 12.1

Guru 1 1.7

Ibu Rumah Tangga 41 70.7

Karyawan Swasta 6 10.3

Pemulung 2 3.4

Wiraswasta 1 1.7

Total 58 100.0

(30)

Pendidikan ibu

Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi makanan. Tingkat pendidikan yang rendah akan lebih kuat mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi dalam bidang gizi. Kemampuan ibu dalam memberikan makanan tambahan kepada balitanya salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan. Pada tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita sampel dalam penilitian ini masih rendah. Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamatan SD/sederajat (48.3%). Pada Tabel 6 juga terlihat hanya sebanyak 25.9% ibu yang berpendidikan SLTP/sederajat dan masih terdapat 8.6% ibu yang tidak tamat SD serta 1.7% yang tidak bersekolah. Jenjang pendidikan tertinggi pada ibu balita adalah D1 sebanyak 1.7%.

Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu balita

Jenjang pendidikan n %

Tidak Sekolah 1 1.7

Tidak Tamat SD 5 8.6

SD 28 48.3

SLTP 15 25.9

SLTA 8 13.8

D1 1 1.7

Total 58 100.0

Tingkat pendidikan orang tua sampel penelitian ini paling banyak adalah tamat SD. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan orang tua.Penelitian yang dilakukan oleh Murniningsih & Sulastri (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 54.2% ibu memiliki latar belakang pendidikan setingkat SD

Besar keluarga

(31)

sedang dengan anggota keluarga 5-7 orang dan sisanya 1.7% merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota ≥8 orang.

Tabel 7 Sebaran jumlah anggota keluarga balita

Besar keluarga n %

Kecil (≤4 orang) 46 79.3

Sedang (5-7 orang)

11 19.0

Besar (≥8 orang) 1 1.7

Total 58 100.0

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah besarnya keluarga atau jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota keluarga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat terbagi secara merata.

Pendapatan keluarga

(32)

Tabel 8 Sebaran keluarga balita berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat (2012)

Status ekonomi keluarga n %

Miskin (< Rp.231 438) 23 39.7

Tidak miskin (> Rp.231 438) 35 60.3

Total 58 100.0

Rata-rata ± SD Rp 297 841 ± Rp 163 680

Pendapatan yang kurang tidak memungkinkan keluarga dapat menyiapkan makanan yang terbaik untuk anak. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktifitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga (Yuliana 2004). Akan tetapi besarnya pendapatan pada keluarga tidak miskin, juga tidak menjamin pola konsumsi pangan yang lebih baik. Kadang-kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal terutama apabila tidak didukung oleh pengetahuan gizi yang baik. Berg (1986) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran untuk makanan atau pangan akan semakin kecil. Namun menurut Suhardjo (1989) mengatakan bahwa sebagian pada umumnya keluarga miskin mnggunakan dua per tiga dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Karakteristik Anak Balita

Usia

Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Usia anak balita pada penelitian sebagian besar berada pada rentang usia 24-35 bulan dengan persentase sebesar 60.3% dan rata–rata 34.7 bulan. Sisanya berada pada rentang 36-47 bulan sebesar 24.1% dan pada rentang 48-60 bulan sebesar 15.5%. Sebaran usia balita dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia

Usia (bulan) n %

24-35 35 60.3

36-47 14 24.1

48-60 9 15.5

Total 58 100.0

(33)

Jenis kelamin

Masalah gizi dapat terjadi pada setiap orang baik karena kurangnya asupan maupun karena faktor adanya penyakit infeksi. Anak laki- laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama dalam mengalami masalah gizi. Persentase jenis kelamin anak balita pada penelitian ini sebagian besar adalah perempuan dengan persentase sebesar 67.2%, sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki adalah sebesar 32.8%.

Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin n %

Laki-laki 19 32.8

Perempuan 39 67.2

Total 58 100.0

Berat badan lahir

Berat badan lahir adalah salah satu indikator penting bagi kesehatan anak. Bayi dengan berat badan lahir kurang dari dua ribu lima ratus gram (<2500 gram) termasuk dalam kategori berat badan lahir rendah. Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko tinggi dalam mengalami masalah gizi seperti kurang gizi.

Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang normal atau cukup (100%). Hasil ini menunjukkan bahwa keadaan masalah gizi yang ada tidak terjadi sejak kandungan, namun lebih disebabkan karena kualitas serta kuantitas dari makanan pendamping maupun pengganti ASI.

Tabel 11 Sebaran berat badan lahir anak balita

Berat badan lahir n %

Normal (≥ 2500 gram) 58 100

Kurang ( ≤ 2500 gram) 0 0

Total 58 100.0

Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI

(34)

inflamasi, sehingga ASI merupakan makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual (Purwanti 2004). Pemberian ASI secara tepat kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya. ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan tetapi bila memungkinkan sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih dari 2 tahun (Depkes 2004).

[image:34.595.109.477.545.747.2]

Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu balita memberikan ASI saja kepada anaknya saat berusia sebelum 4 bulan dan sebelum berusia 6 bulan yakni masing – masing sebesar 53.4% dan 51.7%. Peringkat kedua adalah dengan memberikan ASI dan susu formula kepada bayi masing-masing sebesar 41.4% dan 43.1%. Sisanya adalah dengan hanya memberikan susu formula saja kepada bayinya sebelum berusia 4 dan 6 bulan yakni masing-masing sebesar 5.2%. Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun, UNICEF memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama WHA dan banyak negara lainnya adalah menerapkan jangka waktu pemberian ASI ekskusif selama 6 bulan (Roesli 2005).

Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan riwayat pemberian ASI

Pemberian n %

Sebelum 4 bulan

- ASI saja 31 53.4

- ASI+ Susu Formula 24 41.4

- Susu Formula 3 5.2

Total 58 100.0

Sebelum 6 bulan

- ASI saja 30 51.7

- ASI+ Susu Formula 25 43.1

- Susu Formula 3 5.2

(35)

Dari data diatas menunjukkan bahwa tidak semua ibu memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Alasan ibu balita tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sebagian besar disebabkan karena bayi rewel (51.8%). Hal tersebut membuat ibu beranggapan bahwa ASI yang diberikannya tidak cukup sehingga ibu memberikan tambahan susu formula kepada bayinya. Alasan selanjutnya adalah karena ASI tidak keluar (22.2%), ibu bekerja (14.8%), bayi menolak saat diberi ASI (7.4%). Alasan terakhir sebanyak 3.7% atau satu orang ibu mengatakan bahwa dirinya memberikan susu formula sebelum bayi berusia 4 bulan karena diberikan susu formula oleh bidan.

Tabel 13 Sebaran alasan pemberian selain ASI

Alasan n %

ASI tidak keluar 6 22.2

Bayi rewel 14 51.8

Bayi tidak mau ASI 2 7.4

Diberi oleh bidan 1 3.7

Ibu bekerja 4 14.8

Total 27 100

(36)

Tabel 14 Sebaran balita berdasarkan pemberian ASI

Masih diberikan ASI

n %

Ya 19 32.8

Tidak 39 67.2

Total 58 100.0

ASI sebaiknya diberikan kepada balita saat ia berusia 0 – 6 bulan. Setelah itu dilanjutkan sampai anak berusia 24 bulan. Setelah anak berusia lebih dari 24 bulan maka kebutuhannya tidak hanya diperoleh dari ASI saja. Usia 24 tahun adalah usia dimana terjadi periode perkembangan otak anak. Pada saat inilah anak membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk perkembangan otaknya. Menyapih secara harfiah berarti membiasakan. Menurut Allan (2006) penyapihan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat.

Tabel 15 menunjukkan persentase usia penyapihan anak balita sebagian besar pada rentang usia 13-24 bulan yakni sebesar 65.8%. Sebagian besar dari anak balita tersebut mulai disapih saat berusia 24 bulan. Sisanya sebanyak 29.3% mulai menyapih pada saat anak berusia 1-12 bulan dan >24 bulan sebanyak 4.9%.

Tabel 15 Sebaran anak balita berdasarkan usia penyapihan

Kategori umur n %

1-12 12 29.3

13-24 27 65.8

>24 2 4.9

Total 41 100

(37)

pada usia 1-12 bulan sebagian besar mengaku menghentikan ASI karena alasan bekerja (20%).

Tabel 16 Sebaran anak balita berdasarkan alasan penyapihan

Alasan disapih n %

Anak sudah besar 22 55

ASI tidak keluar 3 7.5

Bayi tidak mau ASI 3 12.5

Ibu bekerja 8 20

Ibu hamil 2 5

Total 40 100.0

Alasan lainnya ibu menyapih saat berusia 1-12 bulan adalah karena ASI tidak keluar, anak tidak mau bayinya ASI dan ibu sedang hamil lagi dengan persentase masing-masing sebesar 5%. Ibu yang mulai menyapih saat anak berusia 13-24 bulan mengaku menyapih anak dengan alasan karena anaknya sudah besar (55%). Alasan lain yang membuat ibu tidak memberikan ASI kepada bayi adalah karena bayi sudah diberikan susu formula atau makanan tambahan lain yang menurut mereka dapat mencegah resiko bayi menderita kekurangan gizi dibanding ASI. Sebagian ibu juga mengaku mangalami ketakutan akan perubahan pada ukuran dan bentuk pada payudara apabila mereka menyusui anaknya (WHO IDAI 2005).

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan. Pudjiati (2000) menyatakan bahwa bayi belum siap untuk menerima makanan semi padat sebelum berusia 6 bulan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya berbagai penyakit seperti gangguan dalam meyesuaikan beban ginjal yang terlalu berat dan mungkin gangguan terhadap selera makan. Pemberian makanan tambahan kepada bayi bertujuan untuk melengkapi ASI dan diperlukan setelah kebutuhan energi dan zat-zat gizi tidak mampu dipenuhi dengan pemberian ASI saja (Sembiring 2009).

(38)

tambahan merupakan salah satu proses pendidikan dimana bayi diajarkan untuk mengunyah dan menelan makanan padat serta membiasakan selera-selera baru (Suharjo 2002).

(39)

Tabel 17 Sebaran anak balita berdasarkan makanan pendamping ASI.

Umur pemberian ASI (bulan)

n %

≤ 4 31 53.5

≤ 6 27 46.5

Total 58 100.0

Jenis MP-ASI yang pertama

diberikan n %

Biscuit bayi 4 6.9

Bubur susu 35 60.3

Pisang kerok 19 32.8

Total 58 100.0

Saat anak telah berusia 24 bulan pemberian makanan keluarga sekurang-kurangnya 3 kali sehari dengan porsi sebagian makanan orang dewasa setiap kali makan. Pemberian makanan selingan tetap diberikan 2 kali sehari (Satyanegara 2004). Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar anak makan sebanyak 3 kali dalam seharinya (55.2%). Namun masih ada juga anak yang makan hanya 2 kali dalam sehari (27.6%). Sisanya masih ada anak yang makan 1 kali, 4 dan 5 kali dalam sehari dengan persentase masing-masing sebesar 6.9%, 5.2% dan 5.2%. Hampir sebagian besar anak sudah makan makanan keluarga yakni makanan yang sama seperti makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lainnya dengan persentase sebesar 94.8%. Sisanya sebanyak 5.2% anak yang masih makan nasi tim sebagai menu makanan utamanya.

Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan makanan utama

Frekuensi makan utama n %

Frekuensi/hr

- 1-2 x 20 34.5

- ≥ 3 38 72.4

Total 58 100.0

(40)
[image:40.595.143.453.165.484.2]

masih terdapat anak yang belum makan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh orangtuanya. Makanan lainnya tersebut adalah sejenis bubur nasi dan juga nasi tim.

Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan makanan selingan.

Frekuensi selingan %

1 20.7

2 60.3

3 12.1

>3 6.9

Total 100

Jenis makanan jajanan Frekuensi (kali/hari)

Chiki 4.5

Biscuit 4.4

Roti 3.2

Wafer 3.1

Minuman kemasan 2.2

Permen 1.8

Makanan selingan diperlukan oleh anak untuk mencukupi kebutuhan energi seharinya. Makanan selingan setidaknya dapat diberikan sebanyak 2 kali dalam seharinya. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar anak mendapatkan makanan selingan sebanyak 2 kali (60.3%). Selanjutnya ada 20.7% anak mendapatkan makanan selingan 1 kali, 12.7% sebanyak 3 kali dan yang terakhir 6.9% anak mendapatkan makanan selingan lebih dari 3 kali. Usia balita adalah usia dimana anak mulai sering jajan. Makanan jajanan yang sering dibeli oleh anak adalah chiki dengan frekuensi sebanyak 4.5 kali perharinya. Jajanan lain yang sering dibeli adalah biscuit.

Pola Pemberian MP-ASI

(41)

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan zat gizi bayi. Perilaku pola pemberian MP-ASI yang baik hanya sebesar 46.6%. Pola pemberian MP-ASI yang baik dilihat berdasarkan umur pertama kali pemberian makanan tambahan, jenis makanan tambahan yang pertama kali diberikan dan frekuensi pemberian.

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein

Seiring dengan bertambahnya usia anak, maka kebutuhan akan asupan proteinnya akan semakin meningkat. Pertambahan protein pada anak yang diberi makanan tambahan untuk pertama kalinya (usia 6-12 bulan) tidak terlalu besar. Setelah menginjak usia satu tahun anak membutuhkan protein sekitar dua kali lipat dari masa sebelumnya (Krisnatuti 2000). Konsumsi pangan hewani yang cukup merupakan syarat penting untuk terpenuhinya gizi tubuh sehari-hari. Pangan hewani merupakan pangan bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, kaya akan vitamin B12 dan vitamin A, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi (Khomsan 2000) sehingga sangat penting peranannya untuk memberikan pertumbuhan secara optimal.

Khomsan (2004) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan dapat menjadi penduga tingkat kecukupan gizi. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang untuk terpenuhinya kecukupan gizi akan semakin besar.

(42)
[image:42.595.116.501.133.369.2]

Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein anak balita

Pangan sumber protein Frekuensi (kali/minggu)

Susu 1.75

Daging sapi 0.091

Daging ayam 4.06

Ikan 0.497

Telur 5.18

Tempe 11.62

Tahu 5.25

Status Gizi Balita

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa 2002). Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan, serta terjadinya infeksi, trauma dan faktor metabolik.

(43)
[image:43.595.116.495.121.492.2]

Tabel 21 Sebaran status gizi anak balita

Status gizi n %

BB/U

- Gizi kurang 5 8.6

- Gizi baik 52 89.7

- Gizi lebih 1 1.7

Total 58 100.0

Z-score ±SD -0.34 ± 1.27

TB/U

- Sangat pendek 9 15.5

- Pendek 15 25.9

- Normal 34 58.6

Total 58 100.0

Z-score±SD -1.41 ± 1.58

BB/TB

- Kurus 2 3.4

- Normal 45 77.6

- Gemuk 11 19.0

Total 58 100.0

Z-score±SD 0.82 ± 1.33

(44)

kurang, sedangkan prevalensi untuk stunted adalah sebesar 28.8%. Penelitian sejenis juga dilakukan di daerah kompleks perumahan dan diperoleh hasil prevalensi anak dengan gizi kurang hanya sebesar 19.8% dan yang tergolong stunted hanya sebesar 15.5%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata anak balita yang tinggal dilingkungan dengan keadaan sosial yang rendah masih cukup tinggi angka permasalahan gizi yang terjadi.

Higiene dan Sanitasi Lingkungan Tempat Tinggal

Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat seseorang berada. Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit yang berpusat pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Sukandar 2007). Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes (2007), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sejak dini, antara lain dengan memotong kuku setiap minggu, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar.

Tabel 22 Sebaran balita berdasarkan praktek kebersihan diri

Praktek kebersihan diri n %

Memotong kuku

- 1 kali/minggu 45 77.6

- Tidak pernah 13 22.4

Total 58 100.0

Frekuensi mandi

- 1 5 8.6

- 2 53 91.4

Total 58 100.0

Penggunaan sabun mandi

- Tidak 1 1.7

- Ya 57 98.3

Total 58 100.0

Sikat gigi/hari

- 0 7 12.1

- 1 31 53.4

- 2 20 34.5

(45)

Tabel 22 menunjukkan bagaimana higiene dan sanitasi yang dilakukan oleh ibu balita dan balita itu sendiri. Sebagian besar balita telah memotong kuku secara rutin 1 kali dalam seminggu (77.4%), mandi 2 kali dalam sehari (91.4%), dan menggunakan sabun saat mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi dalam sehari sebagian besar anak baru menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tabel diatas menggambarkan keadaan perilaku higiene balita. dalam tabel tergambarkan bahwa sebagian besar balita telah melakukan pratek higiene dengan baik. Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan manusia. Pembuangan kotoran yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water borne disease (Yulia 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak sudah buang air besar di WC (84.5%). Sisanya sebesar 10.3% buang air besar di kebon dan 5.2% di empang. Sebaran tempat buang air besar balita disajikan pada Tabel 23

Tabel 23 Sebaran tempat buang air besar anak balita

Tempat buang air besar n %

Empang 3 5.2

Kebon 6 10.3

WC 49 84.5

Total 58 100.0

Tempat pembuangan sampah yang merupakan salah satu indikator dari persyaratan rumah yang sehat. Menurut Latifah et al. (2000) rumah yang sehat sebaiknya memiliki tempat pembuangan yang tertutup sehingga tidak menyebarkan bau yang dapat mengundang lalat sebagai salah satu penyebab timbulnya penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan sebesar 53.4% ibu belum memiliki tempat pembuangan sampah di rumahnya. Mereka mengaku selama ini membuang sampah begitu saja di depan atau dibelakang rumah serta membuang sampah tersebut ke sungai.

Tabel 24 Sebaran kepemilikan tempat sampah

Kepemilikan tempat sampah n %

Ada 27 46.6

Tidak 31 53.4

(46)

Perilaku Higiene

Sanitasi dan higiene dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi, seperti diare dan ISPA yang nantinya menjadi salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi. Perilaku higiene ibu balita yang diteliti adalah mencuci tangan setelah buang air besar, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan sebelum menyuapi anak, dan mencuci tangan sebelum menyiapkan makan untuk anak. Tabel 25 menunjukkan sebaran perilaku higiene ibu balita serta media dalam cuci tangan. Berdasarkan tabel yang ada terlihat bahwa sebagian besar ibu telah berperilaku higiene yang baik. Hal ini dibuktikan dengan perilaku mencuci tangan sebagian besar ibu baik mencuci tangan setelah buang air besar (98.3%), mencuci tangan sebelum makan (77.6%), dan mencuci tangan sebelum menyuapi anak (56.9). Namun sebelum menyiapkan makan untuk anak, sebagian besar ibu mengaku tidak mencuci tangan dahulu (67.2%). Ibu yang tidak mencuci tangan sebelum makan dan sebelum menyuapi anaknya memberikan alasan karena telah menggunakan alat bantu makan seperti sendok sehingga mereka tidak perlu untuk mencuci tangan lagi.

Tabel 25 Sebaran perilaku higiene ibu balita

Perilaku hygiene ibu n %

Mencuci tangan setelah buang air besar/setelah membantu anak buang air besar

57 98.3

Mencuci tangan sebelum makan 45 77.6

Mencuci tangan sebelum menyuapi anak 33 56.9 Mencuci tangan sebelum menyiapkan makan

anak

19 32.8

(47)

penyebab utama timbulnya berbagai penyakit seperti diare dan penyakit infeksi saluran nafas akut.

Ibu yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar sebesar 70.7%. Sebelum makan persentase ibu yang mencuci tangan menggunakan sabun sebesar 46.6%, sedangkan sebelum menyuapi anak sebagian besar ibu menjawab tidak pernah mencuci tangan dengan alasan telah memakai alat bantu berupa sendok (43.1%). Sebanyak 67.2% ibu juga tidak mencuci tangan mereka dengan air atau sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anaknya.

Kejadian Infeksi Anak Balita

Kejadian infeksi anak balita ata

Gambar

Gambar 1 Bagan konsep analisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur
Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data
Tabel 4 Sebaran umur ibu balita
Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan riwayat pemberian ASI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini dilakukan perancangan alat bantu pada proses mengangkat beban yang mampu meminimasi gaya tekan pada lempeng tulang belakang bagian

Keadaan wanita di Indonesia memang tidaklah sempurna, akan tetapi meraka di sini relative tidak mengalami apa yang diderita oleh saudara-saudara kaum wanita Muslim dibelahan dunia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa roti manis dengan konsentrasi sourdough 30% merupakan perlakuan terbaik dengan pH 3,60, kadar air 29% b/b, warna, rasa, aroma dan tekstur yang

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel independen yaitu: yaitu; independensi, kompetensi, akuntabilitas, dan

diperbaiki. Sesuai dengan tujuan audit manajemen, yaitu menciptakan perbaikan terhadap program/aktivitas perusahaan, maka audit dititikberatkan pada.. berbagai hal yang

Particle size and degree of partial cement replacement by treated LUSI mud affect the compressive strength, the strength activity index (SAI), the rate of pozzolanic

− Tanggal terakhir penyelesaian transaksi saham dengan Nilai 15 Juli 2010 Nominal Lama di Pasar Reguler dan Pasar Negosiasi. − Tanggal Penentuan Rekening Efek yang Berhak

Diharapkan materi penyuluhan yang telah diberikan pada pengusaha emping melinjo di Desa Bernung Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran menghasilkan perubahan sikap yang