• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Energi Dan Zat Gizi Serta Status Gizi Pasien Lansia Di Ruang Gayatri Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsumsi Energi Dan Zat Gizi Serta Status Gizi Pasien Lansia Di Ruang Gayatri Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI

PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI

RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Arina Manasik

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

ARINA MANASIK. Energy and Nutrients Intake, and Nutritional Status of Elderly Patients in Gayatri Room Marzoeki Mahdi Hospital. Supervised by SITI MADANIJAH and VERA URIPI.

Services and facilities of healthcare for elderly are the increasing number of elderly response in Indonesia. Gayatri Room in Marzoeki Mahdi Hospital (RSMM) is the only one special ward for elderly patients in Bogor. The purposes of this research are to identify and to analyze energy and nutrients intake, and nutritional status of elderly patients in Gayatri Room, RSMM, Bogor. This research uses cross sectional design and take place in Gayatri Room and Nutrition Unit. The subjects of this research are 30 hospitalized elderly in Gayatri Room. Descriptive and correlative statistical methode are used to process all the data. Hospital meals consists of meals provided by Nutrition Unit and commercial formula. Meals provided by Nutrition Unit gives availability of energy and nutrients sufficiently, except vitamin E and folic acid. It means that if patients consume it optimally, they would meet their nutrition requirement. Energy and nutrients availability of commercial formula is lower than meals provided by Nutrition Unit and it can not meet nutrition requirement. Combination of meals and commercial formula gives availability of energy and nutritients sufficiently, and more patients have excessive. But, energy and nutrients intake of hospital meals in most patients is still low. Some patients not only consume energy and nutrients from hospital meals, but also from non-hospital meals, parenteral nutrition, and supplement. Pearson’s correlative test shows that there is no significant correlation between age and Body Mass Index (BMI) (p = 0,537; r = -0,117), age and energy requirement (p = 0,129; r = -0,283), and age and level of energy intake from hospital meals (p = 0,574; r = 0,111). Spearman’s correlative test shows that there is no significant correlation between amount of disease and BMI (p = 0,466; r = -0,138).

(3)

RINGKASAN

ARINA MANASIK.Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. (Dibimbing oleh Siti Madanijah dan Vera Uripi)

Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan satu-satunya ruang rawat inap kelas II plus khusus lansia dengan diagnosa minimal tiga jenis penyakit yang tersedia di Kota Bogor. Penyelenggaraan makanan yang diberikan kepada pasien di Ruang Gayatri masih dilakukan secara bersama dengan pasien umum lainnya. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaan konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit, (2) Menganalisis status gizi pasien, (3) Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien, (4) Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula khusus), (5) Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS, (6) Menganalisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi (IMT), variabel status gizi (IMT) dengan jumlah penyakit, variabel usia dengan kebutuhan energi, dan variabel usia dengan tingkat konsumsi energi dari ketersediaan makanan RS.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan pada bulan Oktober hingga November 2010 berlokasi di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri RSMM Bogor. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di Ruang Gayatri RSMM Bogor yang berada saat penelitian berlangsung. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria inklusi yang terdiri dari (1) Bersedia diukur tinggi atau panjang badan dan berat badan atau lingkar lengan atas, (2) Bersedia diwawancara atau ada pihak keluarga yang dapat memberikan informasi mengenai pasien, (3) Dirawat di Ruang Gayatri selama minimal tiga hari, dan (4) Tidak dalam keadaan berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi pangannya selama tiga hari .

Jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi hingga batas waktu penelitian sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik pasien, jenis penyakit, status gizi, kebutuhan, ketersediaan, serta konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS. Data sekunder meliputi gambaran umum RSMM, Ruang Gayatri, dan Instalasi Gizi. Data diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuesioner, serta informasi yang diperoleh dari rekam medis dan dokumentasi RS. Pengolahan data meliputi perhitungan terhadap kebutuhan energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi pasien dari berbagai sumber, dan status gizi menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif serta analisis korelasi menggunakan Uji Pearson dan Uji Spearman.

(4)

kardiovaskuler.Selain itu, sebanyak 36,7% pasien menderita gangguan penyerta berupa anemia, dan 60% berisiko low intake.

Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS adalah energi sebanyak 117,5% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 1,8 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 34,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali vitamin E dan asam folat. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari formula komersial adalah energi sebanyak 65,1% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 0,5 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 43,7% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 14,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali asam folat, vitamin B12, mineral kalsium, dan besi. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah energi sebanyak 141,2% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 2,3 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 40,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali vitamin E dan asam folat.

Makanan RS merupakan sumber utama energi dan zat gizi ketika pasien dirawat di RS. Secara umum konsumsi makanan pokok dan sayuran cenderung rendah karena masih kurang dari konsumsi minimal yang disarankan dari ketersediaan. Lauk hewani dan nabati cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan batas konsumsi minimal yang disarankan dari ketersediaan. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah energi sebanyak 71,6% dari kebutuhan energi, protein sebanyak 1 g/kg BB, lemak sebanyak 19,9% dari total kebutuhan energi, dan karbohidrat sebanyak 44% dari total kebutuhan energi. Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral masih kurang dari 77% AKG, kecuali vitamin A.

Hasil Uji Korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel usia dengan IMT (p > 0,05) (p = 0,537; r = -0,117), variabel usia dengan kebutuhan energi (p = 0,129; r = -0,283), dan variabel usia dengan konsumsi energi dari makanan RS (p = 0,574; r = 0,111). Hasil Uji Korelasi Spearman memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara variabel jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p > 0,05) (p = 0,466; r = -0,138).

(5)

KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA

STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI

RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

ARINA MANASIK

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Konsumsi Energi dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

Nama : Arina Manasik NRP : I14060722

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Vera Uripi

NIP: 19491130 197603 2 001 NIP: 19511207 198803 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Konsumsi Energi dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor” dapat diselesaikan. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi I dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing skripsi II, yang telah memberikan arahan, nasehat, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M. Sc selaku dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan perhatian selama penulis melaksanakan studi.

3. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

4. dr. Erry Dharma Irawan, SpKj selaku Direktur Utama RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang memberi izin penulis melaksanakan penelitian di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri RSMM.

5. dr. Anna Hoengdrayana Then, SpGk, M.Gizi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian berlangsung.

6. Ns. Aldi Andeksa, S.Kep selaku Kepala Ruang Gayatri, Hj. Hera Ganefi TD, DCN, MARS selaku Kepala Instalasi Gizi, para perawat, dan tenaga gizi yang telah membantu penulis dalam proses penelitian.

7. Bapak, Ibu, dan Adik-adik (Dila, Jamil, Riris) atas doa dan dukungan selama ini yang tiada henti untuk penulis.

8. Teman-teman Gizi’ 43 (terutama Andris, Anne, Dini, Ghaida, dan Wulan), serta seluruh penghuni Griya MBL (terutama Sofi, Lia, Nana, dan Vika) atas kebersamaan selama ini Alhamdulillahi Jaza Kumullohu Khoiron. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Arina Manasik dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Februari 1988, dari pasangan Bapak H. Nur Ali dan Ibu Hj. Winarni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Pertiwi IV dan SD Negeri 08 Pagi Cilandak Barat. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 85 Pondok Labu dan SMA Negeri 46 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI, dan pada tahun 2007 penulis diterima pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..……….. x

DAFTAR GAMBAR ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiii

PENDAHULUAN ………...………... 1

Latar Belakang ………...………...……… 1

Tujuan Penelitian……...………...…………. 2

Kegunaan ………...……… 3

TINJAUAN PUSTAKA ….………... 4

Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia ... 4

Makanan untuk Pasien Rawat Inap ... 6

Perencanaan Menu ... 6

Pemilihan Bahan Makanan ... 7

Pengolahan Bahan Makanan ... 7

Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan ... 8

Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia ... 8

Energi ... 9

Protein ... 10

Karbohidrat ... 10

Lemak ... 11

Vitamin dan Mineral ... 12

Status Gizi Lansia ... 14

KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

METODE PENELITIAN ... 19

Desain, Tempat, dan Waktu ... 19

Cara Pengambilan Contoh ... 19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Pengolahan Data ... 22

Analisis Data ... 27

Definisi Operasional ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan R. Gayatri .... 30

Gambaran Umum Instalasi Gizi ... 31

Perencanaan Menu ... 32

Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahannya... 33

Pendistribusian ... 34

Karakteristik Pasien ... 35

Jenis Penyakit dan Status Gizi ... 36

Jenis Penyakit ... 36

Status Gizi ... 39

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi ... 39

Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS ... 40

Makanan Olahan RS ... 41

Formula Komersial ... 45

(10)

Konsumsi Makanan RS ... 50

Konsumsi Makanan Pokok ... 50

Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati ... 50

Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan ... 51

Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial ... 53

Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan ... 54

Konsumsi Energi ... 54

Konsumsi Protein ... 55

Konsumsi Karbohidrat dan Lemak ... 56

Konsumsi Vitamin dan Mineral ... 57

Hubungan antar Variabel ... 59

Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan ... 59

Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh ... 60

Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit ... 60

Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi ... 60

Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan Olahan RS terhadap Ketersediaan ... 61

KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

Kesimpulan ... 62

Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia ... 14

2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004... 15

3 Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data …... 21

4 Pengkategorian variabel karakteristik individu ………... 21

5 Faktor aktivitas ... 23

6 Faktor stress ……….….. 23

7 Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus ………... 24

8 Pengkategorian tingkat kecukupan energi dan zat gizi ………... 25

9 Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia ………... 27

10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan ………... 33

11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II …………... 34

12 Sebaran pasien berdasarkan karakteristik ………... 36

13 Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit ... 39

14 Sebaran pasien berdasarkan status gizi ………...….. 39

15 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi ……….. 40

16 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan ... 41

17 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS.... 42

18 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS ... 43

19 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS .... 43

20 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS terhadap AKG ... 45

21 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial ... 47

22 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan ... 47

23 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS dan formula komersial ... 48

24 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS dan formula komersial ... 49

25 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap AKG ... 49

26 Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan ... 50

27 Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan ... 51

(12)

29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan ... 52

30 Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan ... 52

31 Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap Ketersediaan... 53

32 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan... 55

33 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total ... 56

34 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total ... 56

35 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total ... 57

36 Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG ... 58

37 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia ... 59

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia

rawat inap ………....……….. 18

2 Cara penarikan contoh ……….……… 19

3 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penelitian ……… 68

2 Struktur organisasi Ruang Gayatri ……… 73

3 Keadaan Ruang Gayatri RSMM ……… 74

4 Struktur organisasi Instalasi Gizi RSMM ………..… 75

5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II ..………...… 76

6 Keadaan Instalasi Gizi dan Pantry ...………. 77

7 Data karakteristik pasien …..………... 78

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini kemajuan tingkat kesehatan, sosial ekonomi, kemajuan ilmu kedokteran, kebersihan lingkungan, keadaan gizi yang baik, dan kemajuan di bidang teknologi pangan telah meningkatkan usia harapan hidup Indonesia. Semakin meningkatnya usia harapan hidup, berarti jumlah manusia lanjut usia praktis akan bertambah banyak (Astawan & Wahyuni 1988). Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 16,02 juta orang naik menjadi sekitar 16,80 juta orang pada tahun 2005, dan naik lagi menjadi sekitar 18,96 juta orang pada tahun 2007 (BPS 2007). Jumlah lansia tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih (Depkominfo 2009).

Memiliki usia panjang bukanlah tanpa masalah. Sebagian lansia ada yang tergolong sehat, dan ada pula yang mengidap penyakit kronis (Arisman 2003). Berkurangnya fungsi imun selama proses penuaan juga mengakibatkan mudahnya lansia terserang penyakit infeksi (Harris 2004). Angka kesakitan penduduk lansia cenderung meningkat meskipun relatif kecil selama kurun waktu tahun 2003 hingga 2007, yaitu sebesar 28,5% pada tahun 2003, meningkat menjadi 30,0% pada tahun 2005, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 31,1% (BPS 2007).

Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Satu-satunya rumah sakit di Kota Bogor yang menyediakan pelayanan ruang rawat inap akut bagi pasien lansia yang memiliki minimal tiga macam gangguan kesehatan adalah Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi. Darmojo dan Martono (2006) menjelaskan bahwa bangsal geriatri akut adalah bangsal atau ruang rawat inap tempat penderita geriatri dengan penyakit akut atau subakut dilakukan tindakan penilaian, kuratif, dan rehabilitatif jalur cepat oleh tim geriatri. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) mendefinisikan penderita geriatri sebagai mereka yang secara kronologis dan biologis telah berusia lanjut (berusia 60 tahun ke atas) dan menderita lebih dari dua macam penyakit yang secara umum merupakan penyakit degeneratif.

(16)

makanan itu dihidangkan, tempat makan, waktu makan, dan sebagainya. Perubahan lingkungan dan kebiasaan ini dapat merupakan beban mental bagi penderita yang akan menghambat penyembuhan penyakitnya (Subandriyo & Santoso 1995).

Hasil penelitian McWhirter dan Pennington (1994) menemukan bahwa sebanyak 200 dari 500 pasien rumah sakit mengalami gizi kurang, 171 pasien mengalami gizi lebih, dan hanya 129 pasien yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan Data Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (2001) dalam Setiati (2006), menunjukkan bahwa di ruang rawat akut Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2001 didapatkan masalah gizi (gizi kurang, gizi buruk, hipoalbuminemia, dan anemia) sebesar 28,8% dari seluruh masalah pasien geriatri yang dirawat.

Perhitungan energi atau analisis diet sering digunakan untuk menilai asupan pangan dan zat gizi aktual pada pasien (Hammond 2004). Perhatian pada hal-hal tersebut kemudian menjadi gagasan dari penelitian yang berjudul “Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor”. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia rawat inap tersebut.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keadaan konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit. 2. Menganalisis status gizi pasien.

3. Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien.

4. Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial).

5. Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS.

(17)

kebutuhan energi, dan variabel usia dengan tingkat konsumsi energi dari ketersediaan makanan RS.

Kegunaan Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia

Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 – 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008).

Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Selama masa pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik (Harris 2004).

Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.

(19)

Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang atau keadaan gizi lebih (kegemukan). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata (kecelakaan), maupun gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).

Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada lansia. Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris 2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Darmojo & Martono 2006).

Masalah gizi merupakan masalah paling penting dalam perawatan pasien usia lanjut. Penurunan berat badan sebagai akibat kekurangan gizi merupakan masalah utama yang seringkali dijumpai pada usia lanjut yang dirawat (Setiati 2006). Angka kematian yang berhubungan dengan underweight adalah sama dengan angka kematian yang berhubungan dengan obesitas, terutama pada lanjut usia (Harris 2004).

Salah gizi adalah keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena asupan zat gizi di bawah atau di atas kisaran yang dianjurkan dalam waktu yang lama (Sandjaja et al. 2009). Kejadian salah gizi pada seorang pasien mempunyaki efek negatif untuk mental maupun fisik pasien. Salah gizi pada seorang pasien merupakan faktor yang memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan kebutuhan untuk pelayanan yang dengan tingkat ketergantungan perawat yang lebih tinggi, butuh perawatan intensif yang lebih tinggi, meningkatkan terjadinya komplikasi dari penyakit yang diderita pasien dan tentunya akan meningkatkan angka kematian baik karena penyakitnya atau komplikasi dari penyakitnya (Daldiyono & Syam 2002).

(20)

2006). Studi lain di luar negeri mendapatkan sekitar 60% lansia yang di rawat di rumah sakit mengalami kekurangan energi dan protein pada saat masuk rumah sakit atau mengalami salah gizi ketika dirawat sampai sebelum keluar dari rumah sakit (Sullivan et al. 1990 dalam Setiati 2006).

Makanan untuk Pasien Rawat Inap

Pengaturan makanan pada orang sakit sangat berperan dalam proses penyembuhan penyakitnya, sama halnya dengan perawatan dan pengobatan penyakit (Subandriyo & Santoso 1995). Pelayanan kesehatan paripurna seorang pasien memerlukan tiga jenis asuhan yang terdiri atas asuhan medik, asuhan keperawatan, dan asuhan gizi. Tujuan utama dari asuhan gizi adalah memenuhi kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Kerjasama tim dari unsur yang terkait untuk mewujudkan tujuan tersebut meliputi membuat diagnosa masalah gizi, menentukan kebutuhan terapi gizi, memilih dan mempersiapkan bahan atau makanan atau formula khusus (oral, enteral, dan parenteral) sesuai kebutuhan, melaksanakan pemberian makanan, evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan (Depkes RI 2003).

Cara pemberian terapi gizi dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu secara oral, enteral, dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara yang paling aman, mudah, dan terbaik. Pemberian gizi secara suplementasi oral dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan secara cukup, sehingga diperlukan dukungan gizi untuk memenuhi kebutuhannya (Setiati 2006). Penentuan terapi gizi pasien perlu berpedoman pada tepat gizi (bahan makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat dosis dan waktu (Depkes RI 2003). Porsi makanan yang dikonsumsi hendaknya kecil, tetapi frekuensinya lebih sering, supaya tidak memberi rasa jenuh, pengab atau mual (Roedjito 1989).

Perencanaan Menu

(21)

zat tenaga, makanan sumber zat pembangun, dan makanan sumber zat pengatur (Subandriyo & Santoso 1995).

Tujuan dari perencanaan menu adalah tersedianya siklus menu sesuai klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit. Siklus menu pada umumnya direncanakan pada waktu tertentu misalnya 10 sampai dengan 15 hari (Depkes RI 2003). Siklus menu satu sampai dua minggu cocok digunakan pada rumah sakit dengan masa rawat pasien sekitar dua sampai empat hari. Siklus menu selama tiga sampai empat minggu biasa digunakan pada masa rawat dalam jangka waktu yang lama (Gregoire & Spears 2007).

Pemilihan Bahan Makanan

Kejelian memilih bahan pangan adalah merupakan langkah awal untuk menentukan mutu akhir suatu hidangan. Pemilihan diusahakan bahan makanan yang masih segar secara alami (Astawan & Wahyuni 1988). Konsumsi supaya diutamakan pada makanan yang dapat mendukung penyembuhan penyakit dan menghindari makanan yang malah akan memperburuk kondisi penyakit (Wirakusumah 2001).

Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi (Depkes RI 2003). Tujuan dari pemasakan terdiri atas meningkatkan nilai estetik bahan makanan dengan memaksimalkan kualitas (warna, tekstur, dan cita rasa), membunuh organisme berbahaya sehingga makanan yang akan dikonsumsi terjamin aman secara mikrobiologi, dan meningkatkan daya cerna serta mempertahankan nilai gizi (Payhe-Palacio & Theis 2009).

(22)

Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan

Setelah mengalami proses pemasakan, makanan harus mengalami proses pemorsian dan penyaluran dari dapur ke ruang perawatan. Makanan diporsikan berdasarkan berat, ukuran, atau jumlah makanan. Standar porsi tidak hanya diperlukan untuk kontrol biaya, namun juga untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan konsumen (Payhe-Palacio & Theis 2009). Waktu pemorsian makanan khusus harus dilakukan bersamaan dengan makanan biasa sehingga penyajian pada satu ruangan dapat dilakukan secara serempak. Harus ada tanda khusus untuk plato dengan makanan biasa dan plato dengan makanan khusus (Subandriyo & Santoso 1995).

Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani (makanan biasa atau makanan khusus). Tujuannya adalah pasien mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit, yaitu sistem yang dipusatkan (sentralisasi), sistem yang tidak dipusatkan (desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI 2003).

Pendistribusian makanan secara sentralisasi dilaksanakan dengan ketentuan makanan pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat pengolahan makanan. Pendistribusian makanan secara desentralisasi yaitu makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan ke dapur ruang perawatan pasien dalam jumlah besar, untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan masing-masing pasien sesuai dengan permintaan makanan. Pendistribusian makanan kombinasi dilakukan dengan cara sebagian makanan ditempatkan langsung ke dalam alat makanan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam wadah besar, pendistribusiannya dilaksanakan setelah sampai di ruang perawatan (Depkes RI 2003). Waktu khusus bagi pasien untuk makan harus ditetapkan jika terdapat cukup staf. Alat makan seperti sendok, garpu, pisau, barang tembikar, dan tatanan makanan mungkin dibutuhkan (Watson 2003).

Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia

(23)

terkait dengan kebutuhan gizi lansia terdiri dari aktivitas fisik, kemunduran biologis, pengobatan, serta depresi dan kondisi mental (Wirakusumah 2001).

Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat ringannya penyakit (Almatsier 2005). Lansia yang sedang sakit akut dihitung kebutuhan energi dan zat gizinya berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan untuk merespon keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit (Arisman 2003). Menurut Depkes RI (2003), penentuan kebutuhan gizi diberikan kepada pasien atas dasar status gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium. Selain itu, perlu juga memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi, kebutuhan harian, kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan untuk pemulihan jaringan atau organ yang sedang sakit.

Energi

Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat diketahui dengan menghitung kebutuhan energi sehari, atau menghitung persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary & Johnson 2004).

Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary & Johnson 2004).

Kebutuhan energi pada pasien gagal jantung kongestif tergantung pada berat badan aktual, pembatasan aktivitas, dan tingkat keparahan. Pasien gagal jantung parah yang kurang gizi kebutuhan energinya meningkat sebesar 30 – 50% di atas energi metabolisme basal, atau sebesar 35 kkal/kg BB (Krummel 2004). Asupan energi yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal kronik adalah sebesar 30 – 35 kkal/kg BB/hari (Hartono 2006).

(24)

Weinsler 1997). Faktor stres pada keadaan infeksi ringan hingga sedang ialah sebesar 1,2 – 1,4 (Hartono 2006). Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu 25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).

Protein

Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Salah satu fungsi khas protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2006).

Asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg berat badan umumnya aman bagi lansia. Kebutuhan protein meningkat sehubungan dengan adanya penyakit infeksi dan kronis. Stres fisik dan psikologis dapat merangsang keadaan keseimbangan nitrogen negatif. Infeksi, penurunan fungsi saluran pencernaan, dan perubahan metabolisme yang disebabkan karena penyakit kronis dapat mengurangi efisiensi penggunaan nitrogen dari makanan dan meningkatkan ekskresi nitrogen (Harris 2004).

Menurut Adult Treatment Panel (ATP) III, konsumsi protein yang disarankan adalah 15% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Perencanaan makan bagi penyandang diabetes di Indonesia adalah hidangan dengan asupan protein sekitar 10 – 15% dari total kebutuhan energi (PERKENI 2002 dalam Hartono 2006). Asupan protein pada pasien paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi (Heimburger & Weinsler 1997). Dorfman (2004) menyatakan konsumsi protein sedang atau sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi dianjurkan bagi penderita asam urat. Kebutuhan protein dalam situasi stres, seperti alcoholic hepatitis, sepsis, infeksi, perdarahan pada gastrointestinal, dan asites yang parah dapat diberikan minimal 1,5 g protein perkilogram berat badan perhari (Hasse & Matarese 2004). Asupan protein sehari untuk pasien gagal ginjal yang belum mengalami dialisis (predialisis) adalah 0,6 – 0,8 g/kg BB/hari (PDGKI 2008). Konsumsi diet tinggi protein sebesar 1,5 g/kg BB/hari dalam keadaan anemia digunakan dalam regenerasi sel darah dan menjaga fungsi hati (Stopler 2004).

Karbohidrat

(25)

Selain jumlah, kebutuhan karbohidrat dalam keadaan sakit sering dinyatakan dalam bentuk karbohidrat yang dianjurkan. Contoh pada kasus diabetes melitus dan dislipidemia dengan trigliserida darah tinggi, tidak dianjurkan penggunaan gula sederhana (Almatsier 2005). Sumber karbohidrat kompleks supaya ditingkatkan, seperti sayuran, serealia, kacang-kacangan, serta buah-buahan yang mengandung serat, phytochemicals, vitamin, dan mineral (Harris 2004).

Menurut ATP III, konsumsi karbohidrat yang disarankan adalah 50 – 60% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Persentase kontribusi karbohidrat terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 50 – 60% (Heimburger & Weinsler 1997).

Lemak

Kontribusi lemak terhadap total kebutuhan energi yang disarankan adalah sebesar 25% sampai 35%, serta meningkatkan asupan lemak tak jenuh ganda dan tunggal, serta mengurangi asupan lemak jenuh (Harris 2004). Kebutuhan lemak dalam keadaan sakit bergantung jenis penyakit. Penyakit tertentu seperti dislipidemia membutuhkan modifikasi jenis lemak (Almatsier 2005). Pembatasan asupan lemak pada makanan bermanfaat dalam mengontrol berat badan dan pencegahan kanker. Pembatasan lemak sampai dengan kurang dari 20% total kebutuhan energi dapat mempengaruhi kualitas diet dan memberikan efek yang negatif dari segi cita rasa, rasa kenyang, dan asupan (Harris 2004).

Menurut ATP III, konsumsi lemak yang disarankan adalah 25 – 35% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Asupan lemak pada penderita asam urat harus lebih sedikit, sedangkan asupan karbohidrat harus mengandung lebih banyak untuk membantu pengeluaran asam urat yang lebih mudah larut dalam urin yang alkalis (Hartono 2006). Perbandingan komposisi zat gizi makro dalam menyumbang kebutuhan energi pada penderita asam urat ialah 50 – 55% dari karbohidrat, dan lemak tidak lebih dari 30% (Dorfman 2004). Persentase kontribusi lemak terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 20 – 30% (Heimburger & Weinsler 1997).

(26)

sisa diberikan kepada pasien diare berat, peradangan saluran cerna akut, serta pada pra dan pascabedah saluran cerna (Hartono 2005).

Vitamin dan Mineral

Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis, dan pengobatan (Harris 2004).

Seiring berlangsungnya proses penuaan maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi lebih diperhatikan. Makanan seseorang harus menyediakan cukup cairan, kalsium, serat, zat besi, protein, asam folat, dan vitamin A, B12, dan C tanpa energi yang ekstra (Harris 2004). Vitamin A, C, dan E juga sebagai antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas (Wirakusumah 2001). Fungsi utama vitamin E adalah untuk mencegah oksidasi PUFA pada membran sel. Karena kurangnya data yang mendukung, American Heart Association (AHA) tidak merekomendasikan suplementasi vitamin E untuk mencegah penyakit kardiovaskuler. Suplementasi β-karoten juga tidak memberikan keuntungan pada pencegahan penyakit kardiovaskuler. Karena itu, suplementasi vitamin E dan β-karoten tidak disarankan, sedangkan konsumsi makanan yang kaya antioksidan disarankan (Krummel 2004).

Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah daripada orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004). Penyerapan zat besi dan pencegahan anemia gizi besi dapat dilaksanakan dengan meningkatkan asupan pangan sumber zat besi, vitamin C, daging, ikan, dan unggas setiap waktu makan, serta mencegah mengkonsumsi teh dan kopi dalam jumlah besar bersamaan dengan waktu makan (Stopler 2004). Saran asupan vitamin C pada pasien dengan nefrolitiasis yang berusia di atas 50 tahun adalah kurang dari 2 g perhari (Wilkens 2004).

(27)

sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Eksresi vitamin B1 dilakukan melalui urin dalam bentuk utuh dan sebagian kecil dalam bentuk metabolit (Almatsier 2006).

Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam folat (Stopler 2004). Lansia sering juga mengalami masalah dengan vitamin B12, meskipun sudah mengkonsumsi dalam jumlah yang cukup. Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif sehingga dapat berfungsi dalam memproduksi sel darah merah. Terganggunya penyerapan vitamin B12 dapat menyebabkan pernicious anemia (Harris 2004). Lapisan lambung lansia mengalami penipisan, serta sekresi HCL dan pepsin berkurang. Hal itu mengakibatkan penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun (Arisman 2003). Anemia yang terjadi pada lansia lebih terkait pada penyakit dan pengobatan, atau menurunnya kemampuan penyerapan akibat pengobatan (Harris 2004).

Pengobatan pada penyakit TB dapat mengganggu metabolisme pyridoxine (vitamin B6) (Mueller 2004). Isoniazida (Asam Iso Nikotenat Hidroksida atau INH) yang dipakai untuk pengobatan penyakit paru-paru merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks dengan piridoksal fosfat yang tidak aktif (Almatsier 2006).

Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause, dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003).

Lansia yang dibatasi atau dilarang makan daging dan ikan berisiko mengalami defisiensi seng karena rendahnya bioavailibilitas seng dari sumber pangan lainnya. Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun, anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses penyembuhan (Harris 2004).

(28)

(2001) makanan yang mengandung cukup tinggi kalium merupakan salah satu obat yang cukup manjur bagi penderita hipertensi. Kalium berfungsi untuk memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol tekanan darah yang normal. Asupan natrium dalam sehari disarankan bagi pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah kurang dari 2400 mg (6,4 g garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari (3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002).

Di Indonesia telah direkomendasikan angka kecukupan gizi untuk lansia sehat, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia

Zat Gizi Pria Wanita

60-64 th ≥65 th 60-64 th ≥65 th

Vitamin A (RE) 600,0 600,0 500,0 500,0

Vitamin E (mg) 15,0 15,0 15,0 15,0 Vitamin B1 (mg) 1,2 1,0 1,0 1,0 Vitamin B6 (mg) 1,7 1,7 1,5 1,5 Vitamin B12 (mcg) 2,4 2,4 2,4 2,4

Asam Folat (mcg) 400,0 400,0 400,0 400,0

Vitamin C (mg) 90,0 90,0 75,0 75,0

Kalsium (mg) 800,0 800,0 800,0 800,0

Besi (mg) 13,0 13,0 12,0 12,0

Seng (mg) 13,4 13,4 9,8 9,8

Sumber:WNPG VIII dalam LIPI (2004)

Kebutuhan vitamin dan mineral pada orang sakit juga dapat diambil dari AKG yang dianjurkan. Vitamin dan mineral perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen untuk menjamin kebutuhan dalam keadaan tertentu (Almatsier 2005).

Status Gizi Lansia

(29)

Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT berdasarkan WHO untuk populasi Asia ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004

Klasifikasi IMT

(kg/m2)

BB kurang (underweight) < 18,5

Severe underweight < 16,0

Moderate underweight 16,0 – 16,9

Mild underweight 17,0 –

18,49

Normal 18,5 – 24,9

BB Lebih (overweight) ≥ 25

Pra-obes 25 – 29,9

Obes ≥ 30

Obes I 30 – 34,9

Obes II 35 – 39,9

Obes III ≥ 40

(30)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kejadian gizi salah akibat dirawat di rumah sakit (hospital malnutrition) disebabkan karena perhatian dari pengelola rumah sakit sebagian besar baru melihat kepada segi penyediaan makanan saja tetapi belum mempertimbangkan tentang kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan serta diterima oleh masing-masing pasien (Subandriyo & Santoso 1995). Pencegahan terjadinya salah gizi pada pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan pengamatan dan pengawasan yang cukup terhadap asupan atau konsumsi pangan pasien (Hammond 2004). Tujuan dari penyelenggaraan makanan adalah menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkannya (Depkes RI 2003).

Menurut Syafiq et al (2009), beberapa fungsi zat gizi antara lain sebagai sumber energi, mengatur metabolisme dan keseimbangan (air, mineral, dan asam basa), memelihara jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak, dan berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. Makanan RS merupakan sumber utama zat gizi untuk pasien yang dirawat di RS, namun pada beberapa pasien juga mengkonsumsi makanan dari luar RS, formula khusus, serta dalam bentuk non-pangan yaitu suplemen dan cairan infus (gizi parenteral).

Baliwati dan Retnaningsih (2004) menuturkan, kebutuhan gizi berbeda antar individu karena dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tahap perkembangan (usia), faktor fisiologis tubuh, keadaan sakit dan dalam masa penyembuhan, aktivitas fisik, dan ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan). Kebutuhan mineral dan vitamin dapat diambil dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Almatsier 2005). Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary & Johnson 2004). Hal ini mendasari analisis hubungan antara variabel usia dengan kebutuhan energi pasien.

(31)

analisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi, dan hubungan antara status gizi dengan jumlah penyakit.

Ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi, sedangkan energi yang mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan setelah cedera (Watson 2003). Hal ini mendasari dilakukannya analisis hubungan antara usia dan tingkat konsumsi energi dari makanan RS.

(32)

Keterangan: = variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

= hubungan antar variabel yang diteliti

= hubungan antar variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia rawat inap

- Perencanaan Menu makanan RS

- Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahan, dan Pendistribusiannya

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi

Penyakit/ Faktor Stres Konsumsi Makanan RS

Status Gizi

Ketersediaan Makanan RS (Makanan Olahan RS dan

Formula Komersial)

Makanan luar RS

- Jenis kelamin - BB dan TB - Biaya rawat - Status pernikahan - Pihak perawat

sebelum di RS - Lama rawat

- Usia

Karakteristik Pasien

Konsumsi Energi dan Zat Gizi

[image:32.595.86.513.106.554.2]
(33)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Ruang Gayatri merupakan ruang rawat inap khusus lansia dengan minimal tiga jenis penyakit dan satu-satunya yang ada di Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga November 2010.

Cara Pengambilan Contoh

Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di Ruang Gayatri RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang berada saat penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sebanyak 51 orang pasien berhasil dijumpai selama penelitian berlangsung di Ruang Gayatri, namun jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dan dapat diperoleh hingga batas waktu penelitian adalah sebanyak 30 orang. Kriteria inklusi yang ditetapkan meliputi:

- Pasien yang bersedia diukur tinggi atau panjang badan dan berat badan atau lingkar lengan atasnya.

- Pasien yang bersedia diwawancara, atau ada pihak keluarga yang dapat memberikan informasi mengenai pasien.

- Pasien yang dirawat selama minimal tiga hari dan tidak dalam keadaan berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi energi dan zat gizi selama tiga hari baik dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial) serta makanan luar RS.

[image:33.595.80.498.387.777.2]

Gambar 2 menjelaskan cara pengambilan contoh dalam penelitian.

Gambar 2 Cara penarikan contoh Populasi penelitian = 51 orang

Kriteria inklusi

(34)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 1). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi pihak rumah sakit (RS).

Data primer meliputi karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, perkiraan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), sumber pembiayaan perawatan RS, status pernikahan, dan pihak yang merawat), status gizi, kebutuhan energi dan zat gizi, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial), dan konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS). Data sekunder terdiri dari gambaran umum RSMM, Ruang Gayatri dan Instalasi Gizi, perencanaan menu, bahan makanan, standar porsi, pengolahan, pendistribusian makanan RS, usia, jenis penyakit, dan lama rawat.

Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS perhari beberapa bahan makanan diperoleh dengan cara penimbangan sampel makanan RS. Setelah diketahui kuantitas porsi setiap jenis makanan olahan RS dan formula komersial, data konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dapat diperoleh dengan cara mengamati banyaknya sisa yang tidak dikonsumsi oleh pasien. Data konsumsi makanan luar RS diperoleh melalui Recall Method.

Pengamatan sisa konsumsi makanan di RS memiliki kemiripan dengan recall method, karena kedua metode ini sama-sama mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa yang lalu. Recall method dilakukan selama dua hingga tiga hari. Metode ini memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitian, karena informasi yang diperoleh berdasarkan hasil ingatan responden (Soehardjo et al 1988). Mengingat kondisi pasien yang lemah maka untuk meminimalisir kesalahan informasi berdasarkan daya ingat, pengamatan sisa makanan dipilih sebagai metode dalam mengamati konsumsi makanan RS.

(35)

Tabel 3 Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data

Variabel Cara Pengumpulan Data Alat yang

Digunakan

Umur (≥ 60 tahun) Mencatat dari buku rekam medis (RM) Kuesioner

Karakteristik Pasien Wawancara langsung dan RM Kuesioner

Antropometri

(perkiraan BB dan TB dengan pengukuran LLA dan TB)

Penimbangan dan pengukuran Pita meter

Lama rawat Mencatat dari RM Kuesioner

Jenis penyakit Mencatat dari RM Kuesioner

Perencanaan menu, BM, standar porsi, pendistribusian,

gambaran RS, Instalasi Gizi, Ruang Gayatri

Mencatat dari dokumentasi RS Dokumen RS

Kebutuhan energi dan zat gizi pasien

Pengamatan, pencatatan data-data dari RM, dan perhitungan

Kuesioner

Ketersediaan energi dan dan zat gizi

Penimbangan sampel makanan RS Timbangan makanan dan kuesioner

Konsumsi energi dan zat gizi

Pengamatan sisa makanan RS, formula khusus, dan recall makanan luar RS

Kuesioner

Beberapa variabel karakteristik pasien dikategorikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu

Variabel Kategori

Jenis Kelamin 1= Laki-laki

2= Perempuan

Sumber pembiayaan perawatan RS 1= Penghasilan/uang pensiunan 2= Keluarga

3= Asuransi kesehatan 4= Lain-lain….

Status Perkawinan 1= Tidak Menikah

2= Menikah dan masih memiliki pasangan 3= Duda/Janda

(36)

Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data

Pengolahan data meliputi editing, coding, data entry, cleaning dan data analysis dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows. Selain itu dilakukan pula perhitungan terhadap kebutuhan energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS, dan status gizi pasien.

Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi

Komponen utama yang menentukan kebutuhan energi adalah Angka Metabolisme Basal (AMB) yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Harris – Bennedict (Almatsier 2005), yaitu:

− = + , × + × − , ×

� = + , × + , × −( , × )

Kebutuhan energi untuk AMB diperhitungkan menurut berat badan ideal jika IMT contoh pada saat itu berstatus gizi lebih atau gizi kurang tingkat ringan (IMT = 17,0 – 18,5), dan menggunakan berat badan aktual jika berstatus gizi normal atau gizi kurang tingkat sedang (IMT = 16,0 – 16,9) sampai berat (IMT < 16,0). Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary & Johnson 2004). Cara menetapkan BB ideal yang sederhana dengan menggunakan rumus Brocca (Almatsier 2005), yaitu:

� = − − %[ − ]

Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat diketahui dengan menghitung jumlah kilokalori kebutuhan energi sehari, atau menghitung persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary & Johnson 2004). Cara menentukan kebutuhan energi keadaan sakit dapat dilihat pada rumus (Almatsier 2005):

� = × ×

(37)

Tabel 5 Faktor aktivitas

Aktivitas Faktor Tirah-baring totala) 1,1

Dapat dudukb) 1,2

Ambulatoric) 1,3

Sumber: a) Frary dan Johnson (2004), b) Garrow et al. (2000), c) Hartono (2006) Faktor stres pada penyakit tertentu ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Faktor stres

Stres/jenis penyakit Faktor

Gagal jantung parah dengan gizi

kuranga) 1,3 – 1,5

Penyakit paru-parub) 1,2 – 1,5

Gagal ginjalb) 1,2 – 1,5

Peradangan saluran cernac) 1,3

Infeksi ringan hingga sedangd) 1,2 – 1,4

Sumber: a)Krummel (2004), b)Heimburger dan Weinsler (1997), c)Almatsier (2005),

d)

Hartono (2006).

Apabila kebutuhan energi yang diperoleh adalah berkisar antara 25 – 35 kkal/kg BB/hari maka perhitungan kebutuhan energi tersebut sudah sesuai untuk pasien yang berada dalam kondisi akut. Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu 25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).

(38)

Tabel 7 Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus

No Jenis Penyakit Energi Protein Lemak Karbohidrat Vitamin dan Mineral

1 Gangguan syaraf Cukup 15% total E 20 – 30% total E 55 – 60% total E Sesuai AKG

2 Kardiovaskuler Cukup (35 kkal/kg BB pada Gagal jantung kongestif)

15% total E 25 – 35% total E 55 – 60% total E Sesuai AKG

3 Asam urat Cukup 15 – 20% total E ≤30% total E 50 – 65% total E Sesuai AKG

4 Diabetes Melitus Cukup 10 –15% total E 25% total E 60 – 65% total E Sesuai AKG

5 Penyakit paru-paru (tanpa hiperkapnia)

Cukup 15 – 20% total E 25 – 30% total E 50 – 60% total E Sesuai AKG

6 Gastrointestinal Cukup 15% total E 25% total E 60% total E Sesuai AKG

7 Fatty liver Cukup 1,5 g/kg BB 25 – 30% total E Sisa total E Sesuai AKG

8 Cystitis dan Nefrolitiasis

Cukup 1 – 1,25 g/kg BB 25 – 30% total E 45 – 65% total E Sesuai AKG

10 Gagal ginjal kronik 30 – 35 kkal/kg BB 0,8 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG

11 Sindrom Steven Johnson

Cukup 1 – 1,25 g/kg BB 25 – 35% total E 45 – 65% total E Sesuai AKG

12 Anemia Cukup 1,5 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG

(39)

Perhitungan ketersediaan, konsumsi, dan kecukupan energi dan zat gizi

Data ketersediaan makanan yang disajikan dan data konsumsi makanan dalam sehari dikonversi ke dalam energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, kalsium, besi, seng, natrium, dan kalium berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia tahun 2009 dan daftar komposisi energi dan zat gizi dari buku The Composition of Foods (Mc Cance 2007).

Setelah diperoleh data kebutuhan, ketersediaan, dan konsumsi energi dan zat gizi pada setiap pasien, selanjutnya adalah menentukan tingkat ketersediaan dan tingkat kecukupan (konsumsi terhadap kebutuhan) menggunakan rumus-rumus berikut:

.� � � � =��

� × %

.� � � =�

��� × %

.� � = �

� × %

.� � � =

��� × %

Kemudian data tersebut selanjutnya akan dikategorikan seperti pada Tabel 8. Tabel 8 Pengkategorian tingkat ketersediaan dan kecukupan energi dan zat gizi

Variabel Kategori

Tingkat ketersediaan energi

- defisit, <90% angka kebutuhan - normal, 90 – 119% angka kebutuhan - lebih, ≥120% angka kebutuhan

Tingkat kecukupan energi - Defisiensi tingkat berat, <70% angka kebutuhan - Defisiensi tingkat sedang, 70 – 79% angka

kebutuhan

- Defisiensi tingkat ringan, 80-89% angka kebutuhan - Normal, 90 – 119% angka kebutuhan

- Lebih, ≥120% angka kebutuhan Tk. Kecukupan vitamin

dan mineral

- Kurang, <77% AKG - Cukup, ≥77% AKG Sumber: Depkes (1996) dalam Sukandar (2007).

(40)

buah-buahan, selingan, dan formula komersial). Batas konsumsi minimal yang ditetapkan disesuaikan dengan ketersediaan energi dan zat gizi yang terkandung pada makanan RS. Makanan pokok merupakan sumber utama energi sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk makanan pokok disesuaikan dengan ketersediaan energi. Lauk nabati dan hewani merupakan sumber utama protein sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk lauk nabati dan hewani disesuaikan dengan ketersediaan protein. Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama vitamin dan mineral sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk sayuran dan buah-buahan disesuaikan dengan ketersediaan vitamin dan mineral. Konsumsi makanan selingan dan formula komersial diamati tanpa batas konsumsi minimal karena bukan merupakan sumber utama energi dan zat gizi. Pengamatan pada pemberian makanan selingan dan formula dilakukan dengan menghitung frekuensi pasien yang mengkonsumsi 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% dari setiap jenis makanan yang disediakan. Hal ini bertujuan untuk melihat preferensi pasien terhadap makanan selingan dan formula komersial.

Perhitungan Status Gizi

Data BB dan TB digunakan untuk menghitung kebutuhan energi dan zat gizi, serta menilai status gizi contoh secara antropometri dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Kebanyakan pasien tidak dapat melakukan pengukuran TB dalam posisi berdiri tegak maka diganti dengan pengukuran panjang badan (PB) dengan menggunakan pita meter untuk menentukan perkiraan TB.

Pasien yang tidak dapat diukur BB menggunakan timbangan detecto maka perkiraan BB ditentukan dengan menggunakan lingkar lengan atas (LLA) dengan memakai pita meter. Nilai normal/ideal LLA bagi orang dewasa adalah 26,3 cm pada laki-laki, dan 25,7 cm pada perempuan (Hartono 2006). Adapun rumus memperkirakan BB menggunakan LLA adalah sebagai berikut:

=

. × [ − − % − ]

− =

. × [ − − % − ]

Keterangan: BB = berat badan (kg)

LLA= Lingkar lengan atas (cm)

(41)

Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut dan kategori status gizi pasien berdasarkan IMT ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Status Gizi Indeks Massa

Tubuh

Gizi Kurang < 18,5

Normal 18,5 – 25

Gizi lebih > 25

Sumber: WHO (2004) dalam PDGKI (2010)

Analisis Data

Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Adapun data yang dianalisis secara deskriptif adalah karakteristik pasien, jenis penyakit, status gizi, kebutuhan gizi, ketersediaan, serta konsumsi energi dan zat gizi. Data yang dianalisis secara tabulasi silang meliputi jenis kelamin dan usia, serta jenis kelamin dan status perkawinan. Analisis korelasi menggunakan Uji Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara variabel usia dengan status gizi, hubungan antara variabel usia dengan kebutuhan energi, dan hubungan antara usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan makanan RS. Uji Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara variabel jumlah penyakit dengan status gizi.

� = ( )

(42)

Definisi Operasional

Pasien lansia: adalah pasien yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan menjalani rawat inap di Ruang Gayatri RSMM Bogor.

Penyakit yang diderita: adalah jenis penyakit yang diderita oleh pasien Ruang Gayatri saat penelitian berlangsung.

Status gizi: merupakan suatu kondisi tubuh pasien lansia sebagai akibat konsumsi, absorbsi, dan utilisasi zat gizi yang ditentukan berdasarkan rumus IMT.

Lama rawat: yaitu jumlah hari contoh mendapat perawatan inap di Ruang Gayatri.

Makanan rumah sakit: adalah makanan yang disediakan oleh instalasi gizi melalui mekanisme penyelenggaraan makanan untuk pasien rawat inap Ruang Gayatri.

Pemilihan bahan makanan: adalah kegiatan memilih bahan makanan yang akan diolah menjadi makanan bagi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM.

Pengolahan makanan: merupakan proses mengubah bahan makanan menjadi makanan yang akan dihidangkan bagi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM.

Siklus menu: adalah susunan hidangan makanan yang disajikan untuk pasien Ruang Gayatri dalam satu putaran menu.

Standar porsi: merupakan ukuran, berat, dan jumlah bahan makanan yang diporsikan untuk setiap pasien Ruang Gayatri.

Kebutuhan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat-zat gizi yang dibutuhkan pada setiap individu (pasien) untuk mencapai dan mempertahankan status gizi adekuat, dengan mempertimbangkan angka metabolisme basal (AMB), faktor aktivitas fisik selama sakit, dan faktor stress akibat penyakit yang diderita.

Ketersediaan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat gizi yang terkandung dalam makanan yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit pada setiap pasien perhari.

(43)

Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi: adalah perbandingan antara jumlah energi dan zat gizi yang terkandung di dalam makanan RS terhadap kebutuhan atau AKG pasien.

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor (RSMM) terletak di Jalan dr. Semeru No. 114 Bogor. Rumah sakit ini berdiri pada tanggal 1 Juli 1882 sebagai rumah sakit jiwa pertama di Indonesia dan diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perawatan pasien gangguan jiwa yang sebelumnya dirawat di rumah sakit umum, rumah sakit tentara, penjara, dan kantor polisi dengan cara perawatan kurungan menjadi perawatan rumah sakit jiwa yang lebih manusiawi.

Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya perubahan status rumah sakit menjadi status badan layanan umum, maka pihak RSMM berusaha untuk memenuhi dan mengembangkan berbagai pelayanan, baik di pelayanan umum, pelayanan NAPZA, maupun di bagian pelayanan psikiatrik. Salah satu pengembangan di bidang pelayanan umum adalah dibentuknya pelayanan Psikogeriatri (Ruang Akut) yang merupakan salah satu pelayanan yang bersifat khusus dengan memerlukan keterampilan tersendiri karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh pasien lansia, sehingga dibutuhkan perawatan yang komprehensif dan bersifat spesialistik yang menangani rawat jalan, rawat inap, emergensi, dan homecare.

British Geriatric Society yang mempelopori ilmu ini, mendefinisikan geriatri sebagai cabang ilmu penyakit dalam yang berkepentingan dengan aspek pencegahan, peningkatan, pengobatan, rehabilitasi, dan psikososial dari penderita usia lanjut. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatri pada usia lanjut (Darmojo & Martono 2006). Ada empat ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu (Komnas Lansia 2008):

1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia.

2. Adanya akumulasi dan penyakit-penyakit degeneratif lanjut usia secara psikososial.

(45)

4. Munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, atau trauma psikis.

Pelayanan psikogeriatrik RSMM diresmikan oleh Direktur Utama RSMM pada tanggal 8 Juni 2009 dengan nama Ruang Gayatri serta memiliki visi, misi, dan tujuan yang mengacu pada rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang berkembang, dan merupakan satu-satunya ruang rawat lansia di Kota Bogor. Pelayanan psikogeriatrik RSMM mengedepankan pelayanan berbentuk Tim Psikogeriatrik yang terdiri dari Konsultan Geriatrik, Spesialis Gizi, Spesialis Internis, Spesialis Rehabilitasi Medis dan Perawat Profesional. Kriteria pasien yang dirawat di ruangan ini adalah berusia di atas 60 tahun, didiagnosa memiliki satu penyakit dan dua komplikasi yang dikonsultasikan ke bagian dokter Konsultan Geriatrik dan dokter Tim-nya.

Visi Ruang Gayatri adalah mengutamakan pelayanan yang bermutu, memuaskan, dan tepat bagi lansia sehingga dapat menjadi lansia yang sehat dan sejahtera. Misi ruang rawat inap ini adalah memberikan pelayanan secara profesional dengan mengedepankan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ruang Gayatri memiliki slogan yang berbunyi Bertambah Umur, Bertambah Sehat dan Berguna.

Ketenagaan dalam pelayanan keperawatan di Ruang Gayatri berjumlah 13 orang tenaga perawat, satu orang tenaga administrasi, dan dua orang cleaning service. Kapasitas ruang geriatrik adalah tujuh buah tempat tidur, yang terdiri dari empat tempat tidur untuk pasien perempuan, dan tiga tempat tidur untuk pasien laki-laki. Selain itu, terdapat pula Ruang Rehabilitasi Medik, dua kamar mandi untuk laki-laki dan perempuan, satu ruang perawatan, satu ruang pertemuan, untuk keluarga dan Tim Psikogeriatrik dan satu ruang dapur. Dinding di Ruang Gayatri dipasangi handball stainless hingga kamar mandi. Alat-alat kesehatan yang dipergunakan disesuaikan dengan kondisi lansia, mulai dari alat-alat standar hingga alat-alat-alat-alat kesehatan khusus. Ruang Gayatri termasuk dalam ruang rawat inap kelas II plus (Lampiran 2 dan 3).

Gambaran Umum Instalasi Gizi

(46)

Gambar

Gambar 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia
Gambar 2 Cara penarikan contoh
Tabel 10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan
Tabel 11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana Pasar Produksi Peternakan. Belanja Modal

Komunikasi non verbal adalah setiap bentuk perilaku manusia yang langsung dapat diamati oleh orang lain dan yang mengandung informasi tertentu tentang pengirim

Perilaku ingestif meliputi makan dan minum, termasuk perilaku mematuk (yang dikategorikan sebagai salah satu bentuk perilaku makan). Burung di alam pada umumnya

Merupakan sifat yang sulit di ukur dengan suatu cara yang benar karena uji-uji laboratorium berskala kecil pada umumnya tidak mencerminkan kelakuan pembakaran

Menurut Maquet (2008:47) seni yang diciptakan oleh masyarakat bagi kepentingan mereka sendiri dikenal sebagai art by destination sedangkan seni yang diciptakan

Inpres tersebut, selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 15 tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumsi Pengguna Jenis BBM tertentu, yang

Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis diolah. melalui tahapan

guru membantu pustakawan dalam hal penerapan gerakan literasi di sekolah, guru mendukung kegiatan budaya membaca dengan cara memeberikan kesempatan 15 menit kepada siswa