• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Ine Rahmatin. Marital Readiness and Preschool Family Developmental Task. Supervised by Euis Sunarti and Megawati Simanjuntak.

The aims of this research were to analyze the difference of marital readiness between husband and wife and the influence of marital readiness towards preschool family developmental task. The research was conducted in Bubulak, Bogor, West Java where the location was determined by purpossive method. Ninety preschool families were chosen by simple random sampling method. Primary data was collected by interviewing the respondent with questionnaire. Data was analyzed by using descriptive, T-test, correlation analysis, and regression analysis. Result of this study showed that the husband’s marital readiness was higher than the wife’s. A significant correlation was found not only in husband’s marital readiness (intelectual, emotion, personality, financial, and mental dimensions) and family developmental task, but also in wife’s marital readiness (intelectual, emotion, and financial dimensions) and family developmental task. In addition, marital readiness of husband and wife had a significant influence toward family developmental task. Child development also influenced by family developmental task.

Keywords: marital readiness, family developmental task, preschool family, child development

ABSTRAK

Ine Rahmatin. Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti dan Megawati Simanjuntak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah antara suami dan istri, serta menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Bogor, Jawa Barat, dimana lokasi ditentukan dengan metode purposive. Contoh dipilih secara acak sederhana yaitu sebanyak 90 keluarga dengan anak pertama usia prasekolah. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, uji beda T-test, korelasi, dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal kesiapan menikah dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri. Hubungan yang signifikan tidak hanya ditemukan pada hubungan kesiapan menikah suami (aspek kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental) dengan tugas perkembangan keluarga, tetapi juga pada hubungan kesiapan menikah istri (aspek kesiapan intelektual, emosi, dan finansial) dengan tugas perkembangan keluarga. Selain itu, kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh terhadap tugas perkembangan keluarga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh tugas perkembangan keluarga.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta mencari pasangan hidupnya. Hal ini yang dapat menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup untuk dapat saling melengkapi, mengasihi, dan saling menyempurnakan satu sama lain, sehingga muncul suatu perasaan yang tenang, senang, tentram, damai, dan bahagia yang akan dirasakan bersama pasangannya (Martyastanti 2009).

Seorang individu yang telah menemukan pasangan hidup pastinya akan melanjutkan kejenjang yang lebih serius yaitu berkomitmen untuk menikah dan membangun sebuah keluarga. Menikah merupakan masa yang sangat penting dalam siklus kehidupan manusia (Martyastanti 2009). Pengertian menikah sama halnya dengan pengertian perkawinan. Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menikah menurut Hogg (2002) diacu dalam Putri (2010) adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam menjalani kehidupan bersama dimasa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan.

Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan (Blood 1978). Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Selain itu kesiapan menikah juga mencangkup aspek kematangan kepribadian, ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya manusia yang memadai (Burgess & Locke 1960). Kesiapan menikah menjadikan pasangan suami-istri lebih percaya diri untuk menempuh kehidupan baru setelah pernikahan yaitu menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam membangun sebuah keluarga yang diinginkannya.

(3)

finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah menikah (Duvall 1971). Pasangan suami-istri yang telah memiliki kesiapan menikah yang baik kemudian berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga, hurus siap untuk dapat menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga. Selain itu, individu juga harus mampu untuk melaksanakan tugas perkembangannya disetiap tahapan perkembangan keluarga. Tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya (Havighurst dalam Hurlock 1980).

Tugas perkembangan berasal dari dua hal utama, yaitu kematangan fisik dan tekanan budaya (Duvall 1971). Proses kematangan ditandai oleh kematangan potensi-potensi dari dalam diri individu, baik secara fisik maupun psikis untuk terus maju menuju perkembangan secara maksimal (Rizal 2008). Pada pelaksanaan tugas perkembangan dibutuhkan tingkat kematangan diri individu baik secara fisik maupun psikis yang dapat dipersiapkan sebelum menikah. Pasangan suami-istri yang telah memiliki kematangan diri diharapkan dapat melaksanakan tugas perkembangan individu maupun tugas perkembangan keluarganya dengan baik. Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang harus dicapai oleh keluarga dalam setiap tahap perkembangannya.

(4)

Pasangan yang sejak dari awal sebelum memasuki gerbang pernikahan memiliki kesiapan menikah yang baik seperti kematangan kepribadian, ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya yang memadai setidaknya akan membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan dalam setiap tahapan perkembangan keluarga. Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi sehingga nantinya akan membawa keberhasilan pada tahapan keluarga selanjutnya. Kesiapan menikah dari setiap pasangan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian tugas-tugas perkembangan dalam keluarga.

Perumusan Masalah

Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk menyatukan dua individu yang berbeda; laki-laki dengan perempuan, dimana masing-masing individu pastinya memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Pernikahan juga berarti menyatukan dua orang manusia berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Penyesuaian perlu dilakukan oleh setiap individu dalam sebuah perkawinan, karena hal tersebut merupakan hal yang penting. Dua kepribadian yang berbeda kemudian dipersatukan melalui ikatan perkawinan tentunya akan menimbulkan berbagai masalah yang harus dihadapi bersama (Oktaviani 2010).

(5)

penyesuaian pernikahan yang buruk dan oleh karena itu pasangan suami istri yang bercerai merasa gagal atau tidak mampu membina rumah tangganya.

Penyesuaian pernikahan sangatlah penting karena pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan sering menjadi pangkal masalah yang dapat mengganggu suasana kebahagiaan dalam keluarga. Upaya dalam mencapai kebahagiaan dalam keluarga dapat dilakukan dengan saling pengertian dan penyesuaian satu sama lain. Kenedi (2005) diacu dalam Oktaviani (2010) menyebutkan salah satu penyebab gagalnya pasangan dalam mempertahankan pernikahan dan mewujudkan kebahagiaan adalah terbatasnya upaya persiapan pernikahan yang dilakukan. Maka ketika akan memasuki kehidupan pernikahan dibutuhkan tingkat kematangan yang lebih tinggi dalam kesiapan pernikahan bagi individu-individu yang akan menjalankannya (Puspitasari 1997).

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang dua sampai enam tahun. Keluarga dengan anak prasekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan pribadi anak terutama dalam hal perilakunya, karena anak pada usia prasekolah ini masalah yang sering timbul adalah masalah perilaku anak yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik (Hurlock 1980). Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas perkembangan yang harus dilaksanakan, dimana keluarga harus mampu memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut agar keluarga dapat menghadapi tugas perkembangan berikutnya. Pemenuhan tugas perkembangan dalam setiap tahapan perkembangan keluarga memerlukan dukungan baik dari segi materi maupun non materi. Tingkat kesiapan menikah dari setiap pasangan sebelum memasuki kehidupan berkeluarga dapat memberikan kontribusi karena dengan individu yang sudah siap maka akan lebih berkomitmen dalam membangun kehidupan berkeluarga. Meninjau kepada fenomena diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah responden dan pemenuhan tugas perkembangan keluarganya?

2. Adakah perbedaan tingkat kesiapan menikah antara laki-laki dan perempuan?

(6)

4. Adakah pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga?

5. Adakah pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah.

Tujuan Khusus

Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk:

1. Menganalisis tingkat kesiapan menikah dan pemenuhan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah,

2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri, 3. Menganalisis hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan

pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah,

4. Menganalisis pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah, dan

5. Menganalisis pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya yaitu:

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi setiap individu mengenai kesiapan menikah atau hal-hal yang harus dipersiapkan ketika akan memasuki gerbang pernikahan dan membina keluarga,

2. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu keluarga mengenai hubungan kesiapan menikah dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga, dan

(7)
(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Keluarga

Pengertian keluarga menurut BKKBN adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Menurut Duvall (1971), keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota keluarganya. Selain itu pengertian keluarga menurut Puspitawati (2006) adalah unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi; merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan, dan adopsi.

Pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga adalah pendekatan struktural-fungsional. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap sistem sosial, seperti menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga sama seperti sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan keluarga sebagai sistem kesatuan (Megawangi 1999).

Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga dapat terlihat dari aspek struktural dan aspek fungsional yang diterapkan. Dilihat dari aspek struktural terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu yang mengacu pada: (1) Status sosial, (2) Fungsi sosial, dan (3) Norma sosial. Sedangkan dari aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari peranannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut (Megawangi 1999).

(9)

dalam Puspitawati (2006) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi dua fungsi yaitu: (1) Fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan (2) Fungsi instrumental, yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengambangan anggota keluarga. Selain itu, fungsi keluarga menurut BKKBN terdiri dari delapan fungsi yaitu; fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga meliputi fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, perawatan atau fisik, dan ekonomi.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sehingga keluarga memiliki kewajiban untuk dapat memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi pemenuhan kebutuhan agama, psikologi, makan dan minum, dan lain sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya (Puspitawati 2006).

Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) yang diacu dalam Sunarti (2001) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area tersebut adalah: (1) Area tugas dasar (penyediaan pangan, uang, transportasi, dan perlindungan); (2) Area tugas perkembangan (berkaitan dengan urutan tahapan perkembangan keluarga); dan (3) Area tugas penuh resiko (berkaitan dengan cara keluarga menangani krisis seperti kecelakaan, sakit dan kehilangan). Namun demikian fungsi utama keluarga adalah menyediakan lingkungan bagi pemeliharaan dan perkembangan dari aspek biologis, sosial dan psikologis anggota keluarganya (Sunarti 2001).

Tugas Perkembangan Keluarga

(10)

Keluarga memiliki siklus perkembangan sebagaimana layaknya individu. Perkembangan itu terutama dalam hal besarnya keluarga dan kemampuannya (Ali 2010). Siklus kehidupan setiap keluarga mempunyai tahapan-tahapan yang berturut-turut, karena siklus keluarga merupakan cara untuk melihat bagaimana potret kehidupan sebuah keluarga tersebut. Tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall (1971) dibagi menjadi delapan tahapan yaitu:

Tahap 1 Keluarga baru menikah,

Tahap 2 Keluarga “child-bearing” (kelahiran anak pertama), Tahap 3 Keluarga dengan anak prasekolah,

Tahap 4 Keluarga dengan anak sekolah, Tahap 5 Keluarga dengan anak remaja,

Tahap 6 Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa, Tahap 7 Keluarga usia pertengahan, dan

Tahap 8 Keluarga usia lanjut.

Masing-masing tahapan perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas yang harus terpenuhi agar menimbulkan kebahagian dan membawa keberhasilan untuk tugas perkembangan selanjutnya. Setiap tahapan mempunyai tantangan tersendiri dalam pencapaiannya, termasuk pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah.

Tahapan Keluarga dengan Anak Prasekolah

Keluarga dengan anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5 tahun (Duvall 1971). Sedangkan menurut Hurlock (1980) usia anak prasekolah berkisar antara 2 sampai 6 tahun yang disebut sebagai awal masa kanak-kanak. Sebagian besar orangtua menganggap awal masa kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Datangnya masa kanak-kanak atau usia prasekolah, sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik pada masa bayi. Masalah perilaku lebih sering terjadi pada usia prasekolah karena anak-anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil (Hurlock 1980).

(11)

mempengaruhi tahap-tahap berikutnya. Keluarga sebagai anggota dan lingkungan yang terdekat dengan anak hendaknya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pencapaian perkembangan anak secara optimal.

Menurut Abernethy et al dalam Duvall (1971) indikasi seorang anak telah mencapai seluruh tugas perkembangannya adalah bahwa anak secara mental dan emosional telah sehat dan perkembangan fisiknya cenderung baik. Tugas perkembangan yang harus dicapai oleh anak usia prasekolah menurut Duvall yaitu: (1) Terbentuknya rutinitas harian yang sehat dan seimbang antara aktivitas dan istrahat; (2) Terbentuknya pola makan yang baik dan sehat; (3) Menguasai dasar-dasar toilet training; (4) Mengembangkan keterampilan fisik yang sesuai untuk tahap perkembangan motoriknya; (5) Anak dapat berpartisipasi sebagai anggota keluarga; (6) Anak dapat menguasai dirinya yang sesuai dengan harapan orang lain; (7) Mengembangkan keterampilan mengekspresikan emosi secara sehat melalui berbagai pengalaman; (8) Belajar untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain; (9) Memiliki kemampuan untuk menghindari situasi yang membahayakan; (10) Belajar menjadi anak yang mandiri; dan (11) Memiliki kemampuan untuk memahami situasi disekitarnya.

Duvall berpendapat bahwa keluarga terutama orangtua membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya melalui penerimaan berbagai peningkatkan keterampilan dan aktifitas fisik anak. Tugas perkembangan orangtua dalam membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya menurut Duvall yaitu: (1) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang mendukung keingintahuan anak; (2) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang penuh kasih sayang; (3) Menciptakan suasana rumah yang penuh maaf; dan (4) Orangtua mengembangkan diri sebagai individu dan pasangan menikah.

(12)

depan anak; (5) Pasangan suami-isteri mengembangkan komunikasi efektif; (6) Mempererat hubungan dengan keluarga besar; (7) Pasangan suami-isteri dapat menggali sumberdaya di luar rumah untuk membantu dalam pengasuhan anak; dan (8) Dapat menghadapi masalah yang berpegang pada agama.

Pencapaian tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak prasekolah ini sangatlah penting. Jika tugas perkembangan tercapai dengan sukses, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan dalam menghadapi tugas perkembangan selanjutnya. Namun sebaliknya, apabila gagal maka akan mempengaruhi pada pencapaian tugas perkembangan pada tahap berikutnya.

Kesiapan Menikah

Pengertian

Kata dasar pernikahan adalah nikah. Nikah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Kata nikah memiliki persamaan makna dengan kata kawin. Pengertian pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan dapat dirumuskan sebagai satu aqad pertalian antara dua manusia (laki-laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud bersama-sama menyelenggarakan satu penghidupan yang lebih akrab, menurut syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan (Latief 1968).

Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin (Wiyata 1986). Menurut Duvall dan Miller (1985) perkawinan adalah suatu hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang diketahui oleh umum dan diatur melalui suatu aturan tertentu, serta perkawinan membolehkan terjadinya hubungan seksual, adanya anak yang diasuh oleh orangtua, serta adanya pembagian tugas antara suami dan istri.

(13)

2002). Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Old, & Feldman 1998). Pernikahan juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal (Putri 2010). Puspitasari (1997) menyebutkan bahwa menikah sama artinya dengan memasuki kehidupan yang sarat dengan tanggung jawab. Individu dituntut untuk dapat mempertahankan sekaligus membangun hubungan interpersonal seumur hidupnya, serta dapat berempati dan peka terhadap kebutuhan orang lain.

Membentuk keluarga yang bahagia tidaklah mudah. Terkadang timbul perselisihan atau kesalahpahaman yang terjadi antara pasangan suami-istri di dalam keluarga, karena hakekatnya pernikahan merupakan penyatuan dua orang manusia yang berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa masing-masing partner (suami-istri) adalah manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelemahan (Turner dan Helms 1995 diacu dalam Oktaviani 2010). Maka dari itu untuk dapat membangun sebuah keluarga bahagia diperlukan kesiapan untuk menikah.

Kesiapan menurut Corsini (2002) diacu dalam Dewi (2006) adalah berkembang atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa tugas perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik, sosial dan intelektual. Menurut Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985).

(14)

membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum, dan masyarakat (Dewi 2006). Jika seseorang telah memiliki kesiapan sebelum pernikahan, maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami istri.

Kriteria Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting, agar tugas-tugas perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi (Dewi 2006). Menurut Rapaport (1963) diacu dalam Duvall dan Miller (1985), seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria: (1) Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelambutan dan kasih sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteristik orang lain; (11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab.

Menurut Sunarti (2001) terdapat tiga prasyarat minimal bagi calon pasangan yang akan berkomitmen membangun sebuah keluarga, dimana ketiga prasyarat tersebut merupakan pengembangan dari model hubungan antar konsep-konsep keluarga. Prasyarat minimal tersebut dapat dikatakan sebagai aspek kesiapan menikah yang harus dipersiapkan oleh individu sebelum memasuki gerbang pernikahan. Ketiga prasyarat tersebut yaitu; (1) Mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan perkembangan anggota keluarga; (2) Memiliki kualitas SDM yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem; dan (3) Memiliki kematang kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga1.

Kesipan menikah menurut Blood (1978) dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesiapan menikah pribadi (personal) dan kesiapan menikah situasional (circumstantial).

(15)

1. Kesiapan Pribadi (Personal) a) Kematangan Emosi

Konsep penting dalam kesiapan pribadi adalah kematangan emosi. Konsep kematangan emosi adalah konsep normatif dalam psikologi perkembangan yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. Individu yang telah matang secara emosi maka sudah dapat dikatakan dewasa. Orang dewasa adalah orang yang telah mengembangkan kemampuannya untuk membangun dan memelihara hubungan pribadi. Kematangan melibatkan dua kemampuan yaitu kemampuan untuk memberi dan menerima. Kematangan orang dewasa dapat dilihat dalam hal empati (kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain), tanggung jawab, dan stabilitas. Orang dewasa yang memutuskan untuk menikah berarti telah sanggup untuk membangun suatu tanggung jawab dan memasuki suatu komitmen. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggun jawab dalam suatu pernikahan, yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan. b) Kesiapan Usia

Kesiapan usia sama halnya melihat berapakah usia yang cukup untuk menikah. Pada dasarnya usia dikaitkan dengan kedewasaan atau kematangan, karena proses untuk menjadi individu yang matang atau dewasa membutuhkan waktu sampai individu tersebut menjadi dewasa secara emosi atau pribadi. Individu yang telah dewasa dari segi usia tentunya akan memutuskan untuk menikah. Kematangan individu merupakan faktor keberhasilan dalam perkawinan. Usia bukan satu-satunya penentu untuk keberhasilan atau kegagalan dalam suatu pernikahan (Duvall 1971).

c) Kematangan Sosial

Kematangan sosial dapat dilihat dari:

(16)

2) Pengalaman hidup sendiri (enough single life), selain seseorang telah cukup melakukan kencan, seseorang juga memerlukan waktu untuk hidup mandiri sementara waktu tanpa harus bergantung kepada orangtua. Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, orangtua, dan pasangan bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri.

d) Kesehatan Emosional

Kepribadian manusia begitu kompleks sehingga permasalahan emosional yang dirasakannya juga dapat dalam berbagai bentuk. Permasalahan yang biasanya dimiliki manusia dalam ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan emosional diantaranya adalah kemurungan, kecemasan, merasa tidak aman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut berada tetap pada diri seseorang, maka ia akan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. e) Kesiapan Model Peran

Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Dalam prosesnya seseorang belajar menjadi suami atau istri yang baik dengan melihat dari figur ayah dan ibu mereka. Orangtua yang memiliki figur suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka. Setiap pasangan perlu mengetahui apa saja peran mereka setelah menikah. Peran yang ditampilkan harus sesuai dengan tugas-tugas mereka sebagai suami ataupun istri.

2. Kesiapan Situasional (Circumstantial)

a) Kesiapan Finansial (Sumberdaya Keuangan)

Penghasilan minimum yang harus dimiliki pasangan bervariasi tergantung kepada standar hidup yang diinginkan. Seseorang menunjukkan kesiapan untuk menikah yang cenderung mengukur sumberdaya mereka dari potensi penghasilannya. Seseorang yang siap secara finansial kemungkinan akan semakin siap juga untuk menikah.

b) Kesiapan Waktu

(17)

Anak Usia Prasekolah

Rentang usia anak prasekolah menurut para ahli berbeda-beda. Menurut Duvall anak prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang antara 2,5-5 tahun. Menurut Hurlock usia anak prasekolah berada diantara usia 2-6 tahun, sedangkan menurut Erikson anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5 tahun yang masuk kedalam tahap initiative vs guilt (inisiatif lawan rasa bersalah). Anak usia prasekolah secara umum lebih independen dan berinisiatif untuk mencoba hal baru, mulai menelusuri penggunakan kata dan kalimat, pertumbuhan fisik lebih lamban dari tahun pertama, mulai belajar melompat, menendang, melempar, memegang pensil, menulis, memasang kancing baju, menggunakan resleting, dan menggosok gigi (Maila 2002).

Pengertian perkembangan menurut Hurlock adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Kematangan adalah terbukanya sifat-sifat bawaan individu, sedangkan pengalaman dapat diartikan sebagai proses belajar dimana belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha dari pihak individu. Dua faktor tersebut merupakan faktor penting dari perkembangan (Hurlock 1980). Perkembangan anak sangat bervariasi tergantung individu dan tergantung pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh (Duvall 1971).

Menurut Evans, Myers, dan Ilfeld (2000) dalam Lestari (2010), perkembangan memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah bahwa perkembangan itu bersifat holistik yang terdiri dari beberapa dimensi yang saling berkaitan. Dimensi perkembangan tersebut yaitu dimensi psikomotorik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, dan moral. Terdapat berbagai macam cara untuk mengukur perkembangan anak, salah satunya adalah dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Aspek-aspek perkembangan yang diukur dalam instrumen BKB diantaranya yaitu;

1. Perkembangan motorik kasar, yaitu keterampilan bergerak yang dilakukan dengan melibatkan sebagian besar otot-otot tubuh. Dalam keterampilan ini, anak laki-laki biasanya mengungguli anak perempuan, karena anak laki-laki sedikit lebih kuat dan memiliki lebih banyak otot dibandingkan anak perempuan (Papalia & Olds 2008).

(18)

laki-laki. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kerangka tulang ataupun karena perbedaan perilaku sosial yang diharapkan lingkungan dari anak laki-laki maupun anak perempuan (Papalia & Olds 2008).

3. Perkembangan bahasa. Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi baik secara lisan tertulis atau isyarat yang berdasarkan pada simbol-simbol. Komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu; komunikasi aktif dan pasif. Komunikasi aktif adalah kemampuan untuk mengungkapan perasaan, keinginan, dan pikiran melalui kata-kata, sedangkan komunikasi pasif adalah kemampuan untuk mengerti bahasa isyarat dan pembicaraan orang lain. Papalia dan Olds (2008) menyebutkan bahwa perbendaharaan kata anak usia tiga hingga empat tahun adalah sekitar 900-1.200 kata dan meningkat menjadi sebanyak 1.500-2.000 kata ketika berusia empat hingga lima tahun. Saat berusia lima hingga enam tahun, perbendaharaan kata anak menjadi 2.000 hingga 2.500 kata.

4. Perkembangan kognitif, yaitu kemampuan anak dalam hal daya tangkap, daya pikir, daya ingat, dan memecahkan masalah. Kemampuan kognitif anak mulai berkembang pada tahun kedua, terutama kemampuan untuk mengenal dan menggunakan simbol-simbol. Pada akhir tahun keempat, perkembangan fungsi kemampuan melihat, mengendalikan emosi, kebiasaan dalam merespon dan pemahaman simbol sudah berakhir. Namun kemampuan untuk memahami konsep kuantitas seperti membandingkan besaran atau volume mulai berkembang (Papalia & Olds 2008).

5. Perkembangan kemandirian, yaitu kemampuan anak untuk dapat melakukan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau dapat diartikan sebagai keterampilan untuk membantu diri sendiri. Orangtua yang memberikan kepercayaan dan kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan, akan membentuk kepribadian anak menjadi lebih mandiri (Papalia & Olds 2008).

(19)

mengembangakan kecakapan sosialnya sehingga mereka lebih populer daripada anak yang berinteraksi sosialnya terbatas (Hurlock 1980).

Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian yang dilakukan Carroll, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen, dan Barry (2009) menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang oleh orang dewasa muncul sebagai proses pengembangan kompetensi interpersonal, membuat komitmen seumur hidup, dan memperoleh kapasitas untuk merawat orang lain. Temuan ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa muncul banyak hal menuju kedewasaan dan menjadi siap untuk menikah sebagai dua transisi yang berbeda dalam kehidupan, pertama melibatkan pergeseran dari yang awalnya dirawat oleh orang lain (orangtua) menjadi merawat diri sendiri dan kedua transisi dari perawatan diri sendiri menjadi merawat orang lain (suami atau isteri dan anak).

Kematangan emosi merupakan aspek yang penting dalam kesiapan menikah (Blood 1978). Hasil penelitian yang dilakukan Katyal dan Awasthi (2005) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki. Kecerdasan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari kemampuan empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya, sehingga perempuan lebih mampu menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki.

Stabilitas perkawinan dan kepuasan dapat diprediksi berdasarkan kualitas hubungan pranikah (Fowers, Montel, & Olson 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Fowers, Montel, dan Olson (1996) adalah mengenai empat tipe hubungan pranikah, yaitu tipe penuh vitalitas, harmonis, tradisional, dan berkonflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe hubungan berkonfilk yang paling mungkin untuk bercerai. Tipe penuh vitalitas memiliki tingkat kepuasan tertinggi diikuti oleh tipe harmonis, tradisional, dan berkonflik. Pasangan tradisional lebih kecil kemungkinan untuk bercerai dibandingkan pasangan harmonis, meskipun pasangan harmonis memiliki skor kepuasan yang lebih tinggi sebelum menikah.

(20)

pasangan nonregulasi memiliki; (1) masalah pernikahan, (2) kepuasan penikahan lebih rendah, (3) kesehatan yang lebih buruk, (4) amplitudo denyut nadi lebih kecil, (5) penilaian negatif untuk interaksi, (6) ekspresi emosi yang lebih negatif, (7) ekspresi emosional yang kurang positif, (8) lebih keras kepala dan menarik diri dari interaksi, dan (9) resiko yang lebih besar untuk perceraian perkawinan.

Larsen dan Olson (1989) menunjukkan pentingnya masa pranikah sebagai dasar untuk pernikahan dan kemampuan mempersiapkan diri untuk mengenali pasangan yang beresiko tinggi sebelum menikah melalui konseling pranikah. Konseling pranikah berpotensi membantu pasangan beresiko tinggi untuk membangun sebuah pernikahan yang lebih memuaskan.

Perkembangan anak tidak terlepas dari keberadaan keluarga terutama orangtua. Stimulasi yang diberikan oleh orangtua diyakini memiliki efek sebagai penguat yang berguna untuk perkembangan anak. Hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan keluarga yang harus dijalankan agar anak dapat mencapai perkembangannya secara optimal. Hasil penelitian Sartono (1996) menyebutkan bahwa pendidikan agama, kasih sayang, perkembangan anak, situasi kondusif, pembentukan kebiasaan, keteladanan, motivasi, bimbingan serta komunikasi merupakan faktor-faktor penting untuk keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dikatakan merupakan tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh keluarga.

Pemberian stimulasi yang dilakukan oleh orangtua dan pengasuh dapat mendukung perkembangan anak secara optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Briawan (2008) menunjukkan bahwa ibu pada keluarga miskin umumnya kurang perhatian terhadap perkembangan anak, sehingga pemberian stimulasi pada anak masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kasuma (2001) dalam Briawan (2008) bahwa keadaan ekonomi dapat mempengaruhi pengasuhan orangtua terhadap anaknya.

(21)
(22)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pernikahan merupakan jalan untuk memulai membangun suatu keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin. Ketika akan memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan dari masing-masing pasangan individu. Kesiapan menikah dapat mencakup berbagai macam aspek kehidupan dari diri inividu itu sendiri. Kesiapan menikah merupakan keadaan individu yang siap dan bersedia dalam menjalani hubungan dengan pasangannya, siap menanggung tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri setelah menikah, siap untuk mengatur keluarga, serta siap untuk mengasuh anak. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa setiap pasangan harus memiliki kesiapan yang menuntutnya untuk siap menerima tangung jawab dalam membangun suatu keluarga dan siap menyandang peran barunya dalam keluarga. Kesiapan menikah tidak hanya dipersiapkan dari aspek kehidupan manusia, namun faktor usia menikah dan rencana karir atau pekerjaan juga dapat menentukan kesiapan menikah seseorang.

Peran individu dalam keluarga sangat berkaitan dengan keberfungsian keluarga, dimana setiap individu memiliki peran berbeda-beda di dalam keluarga dan diharapkan dapat menjalankan peranannya tersebut dengan baik sehingga fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi. Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area tersebut adalah: (1) Area tugas dasar; (2) Area tugas perkembangan; dan (3) Area tugas penuh resiko atau dapat disebut juga sebagai tugas krisis. Dari ketiga area tersebut tugas perkembangan keluarga perlu untuk dipenuhi, karena tugas perkembangan keluarga merupakan tugas yang muncul pada setiap siklus kehidupan keluarga. Apabila keluarga berhasil dalam tugas tersebut, maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada tahapan selanjutnya.

(23)

Pencapaian perkembangan anak usia prasekolah tidak terlepas dari peranan lingkungan yang ada disekitarnya termasuk peran orangtua. Orangtua berperan penting dalam pencapaian perkembangan anak karena orangtua merupakan pihak yang paling dekat dengan anak. Orangtua bertanggung jawab untuk memfasilitasi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Keluarga yang telah mampu menjalankan semua tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak prasekolah dengan baik maka keluarga juga akan mampu untuk mendukung perkembangan anak.

(24)

Keterangan:

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Pekembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah Kesiapan Menikah

(25)
(26)

METODE PENELITIAN

Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang hanya dilakukan pada satu waktu tertentu, dan retrospective study yaitu penggalian informasi dimasa lalu. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pertimbangan kemudahan akses dalam melakukan penelitian. Untuk pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Juli 2011.

Teknik Pemilihan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak usia prasekolah yang tinggal dikawasan Kelurahan Bubulak. Kelurahan Bubulak memiliki 13 Rukun Warga (RW) yang kemudian dipilih delapan RW secara purposive sebagai daerah yang terpilih untuk diambil datanya. Penentuan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu keluarga yang memiliki anak pertama usia prasekolah (3-5 tahun) dan bersedia untuk dijadikan contoh. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 keluarga dimana pengambilan contoh dilakukan secara simple random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah suami-istri dari keluarga yang menjadi contoh. Adapun cara penarikan contoh yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian Kecamatan Bogor Barat

Kelurahan Bubulak

Populasi dari 8 RW N=118 keluarga

n=90 keluarga

Purposive

Purposive

(27)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor kelurahan dan kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi;

1. Karakteristik sosial-demografi keluarga (usia, besar keluarga dan tingkat pendidikan), dan karakteristik ekonomi keluarga (pekerjaan dan pendapatan); 2. Kesiapan menikah setiap pasangan. Kuesioner untuk mengukur kesiapan

menikah suami dan istri, dikembangkan dari aspek kehidupan individu yang meliputi kesiapan intelektual, moral, emosi, dan sosial. Untuk kesiapan intelektual dan moral merupakan pengembangan dari indikator Personal Value Scale (Scott 1965), sedangkan kesiapan emosi dan sosial merupakan pengembangan dari indikator Goleman. Selain itu ditambahkan juga kuesioner kesiapan menikah yang meliputi kesiapan individu, finansial, dan mental dari indikator kesiapan menikah menurut Rapaport dalam Duvall (1971). Kuesioner kesiapan menikah sudah cukup reliabel dengan nilai cronbach alpha 0,636; 3. Tugas perkembangan keluarga (tugas perkembangan keluarga dimensi anak

dan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua). Kuesioner tugas perkembangan keluarga merupakan pengembangan indikator dari Duvall (1971). Kuesioner tugas perkembangan keluarga sudah reliabel dengan nilai cronbach alpha 0,732;

4. Perkembangan anak (motorik kasar, motorik halus, komunikasi pasif, komunikasi aktif, kognitif, kemandirian, dan kemampuan sosial). Kuesioner untuk mengukur perkembangan anak yaitu menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB) dari Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Pengolahan dan Analisis Data

(28)

uji pengaruh. Untuk memperoleh kategori rendah, sedang, dan tinggi digunakan teknik skoring dengan menggunakan rumus interval kelas (Slamet 1993):

Pengelompokan kategori adalah:

Rendah : skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK Sedang : skor minimum + IK < x ≤ skor minimum + 2 IK Tinggi : x > skor minimum (NR) + 2 IK

Mengukur kesiapan menikah dibagi ke dalam beberapa aspek yang terdiri dari kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral serta kesiapan menikah secara umum, yaitu kesiapan individu, finansial, dan mental. Total seluruh pertanyaan yang mengukur kesiapan menikah terdiri atas 60 pernyataan dan diberi skor 0 untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Selanjutnya total skor yang diperoleh distandarisasi sehingga diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 100%. Pengkategorian yang digunakan adalah interval kelas dengan kategori rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,7%), dan tinggi (66,8-100%).

Tugas perkembangan terdiri dari 28 pernyataan dan diberi skor 0 untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Kemudian skor yang diperoleh distandarisasi sehingga diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 100%. Kemudian dikategorikan kedalam tiga kategori dengan menggunakan interval kelas, yaitu rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,7%), dan tinggi (66,8-100%). Sedangkan untuk pencapaian perkembangan anak menggunakan kategori rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%). Secara rinci pengkategorian data disajikan pada Tabel 1

Tabel 1 Variabel penelitian, skala data, dan kategori data Variabel Penelitian Skala

Data Kategori Data

Karakteristik keluarga

a. Besar keluarga Rasio Berdasarkan Hurlock (1980): 1. Kecil: ≤ 4 orang

2. Sedang: 5-7 orang 3. Besar: ≥ 8 orang

(29)

Variabel Penelitian Skala

Data Kategori Data

c. Tingkat pendidikan Ordinal Berdasarkan jenjang pendidikan: 1. Tidak tamat SD

2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA

5. Tamat PT/akademik d. Lama pendidikan Rasio Berdasarkan wajib belajar 9

tahun: 1. ≤ 9 tahun 2. > 9 tahun

e. Pendapatan per kapita keluarga Rasio Berdasarkan BPS (2011): 1. Baik: > Rp 212.210

1. Motorik kasar dan halus 2. Bahasa pasif dan aktif

Data yang telah diskoring kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain sebaran frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu dilakukan analisis inferensia yaitu uji statistik untuk melihat hubungan antar variabel, perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri, dan melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji statistik kemudian disajkan dalam bentuk tabel yang kemudian dijelaskan secara deskriptif. Uji statistik yang digunakan adalah:

(30)

2. Uji beda Independent Samples T-test. Uji beda dilakukan pada seluruh aspek kesiapan menikah yaitu untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masing-masing aspek kesiapan menikah antara suami dan istri.

3. Uji regresi linear berganda, digunakan untuk melihat pengaruh variabel kesiapan menikah terhadap pencapaian tugas perkembangan keluarga. Model regresi linear berganda dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:

Keterangan:

Y : tugas perkembangan keluarga (skor) a : bilangan konstanta

b1, b2 : koefisien regresi

X1 : kesiapan menikah suami (skor) X2 : kesiapan menikah istri (skor)

Selain itu uji regresi linear berganda juga digunakan untuk melihat pengaruh tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak. Model regresi dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:

Keterangan:

Y : perkembangan anak (skor) a : bilangan konstanta

b1, b2 : koefisien regresi

X1 : tugas perkembangan keluarga dimensi anak (skor) X2 : tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua (skor)

Definisi Operasional

Contoh adalah keluarga yang memiliki anak pertama yang berusia prasekolah di dalam keluarganya.

Responden adalah suami dan istri yang diwawancara pada saat pengumpulan data primer.

Besar keluarga adalah jumlah individu yang terikat melalui perkawinan dan ada hubungan darah yang tinggal di bawah satu atap.

Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima individu setelah melakukan sebuah pekerjaan sebagai bentuk upah.

(31)

Lama pernikahan adalah lamanya waktu yang telah ditempuh pasangan suami istri semenjak disahkannya pernikahan hingga saat penelitian ini berlangsung.

Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang disahkan secara hukum sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Kesiapan menikah adalah hal-hal yang dipersiapkan suami dan istri sebelum

memasuki gerbang pernikahan dimana kesiapannya diukur dari aspek kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami/bapak,

istri/ibu dan anak yang dipersatukan melalui ikatan perkawinan, darah, dan adopsi serta tinggal di bawah satu atap yang saling ketergantungan satu sama lain.

Tahapan perkembangan keluarga adalah urutan dalam siklus kehidupan keluarga yang dimana setiap urutannya memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai untuk mendapatkan kebahagian dalam berkeluarga. Tugas perkembangan keluarga adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan

yang harus dicapai atau dilaksanakan oleh keluarga pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah, sehingga akan membawa kebahagian dalam keluarga dan dasar bagi keberhasilan untuk tahap selanjutnya. Tugas perkembangan anak adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang

harus dicapai oleh anak sesuai dengan usianya sehingga akan membawa kebahagian dan keberhasilan pada tahapan selanjutnya.

Tugas perkembangan orangtua (suami-istri) adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang harus dicapai atau diselesaikan oleh orangtua atau suami istri pada setiap tahapan perkembangannya sebagai individu dan anggota keluarga.

Anak Prasekolah adalah individu yang berusia antara 3-5 tahun.

(32)

HASIL

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Luas wilayahnya adalah 157,9 Ha. Batas wilayah Kelurahan Bubulak adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Semplak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Margajaya, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sindang Barang. Kelurahan Bubulak berada pada ketinggian 160 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2500 mm per tahun. Jarak Kelurahan Bubulak ke pusat pemerintahan (orbitas) tidak begitu jauh, yaitu 6 km ke pusat pemerintahan kecamatan, 9 km ke pemerintahan kota, 129 km ke ibukota provinsi, dan 70 km ke ibukota negara. Pertanahan di Kelurahan Bubulak sebagian besar diperuntukan sebagai ladang yaitu sebanyak 68,3 Ha, pemukiman 47,2 Ha, jalan 16,1 Ha, sawah 8 Ha, dan sisanya diperuntukan sebagai perkuburan, bangunan umum, empang, dan lain-lain. Kelurahan Bubulak memiliki 13 RW dan 49 RT yang dihuni oleh 3.574 kepala keluarga. Jumlah penduduknya adalah sebanyak 13.177 jiwa yang terdiri atas laki-laki sebanyak 6.576 jiwa dan perempuan sebanyak 6.601 jiwa. 2

Karakteristik Contoh

Besar keluarga

Besar keluargamenunjukkan jumlah individu atau anggota keluarga yang terikat melalui perkawinan, ada hubungan darah, serta tinggal di bawah satu atap. Besar keluarga contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan kategori besar keluarga menurut Hurlock (1980), yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Hampir seluruh (98,9%) keluarga contoh berada pada ketegori keluarga kecil dan hanya ada satu keluarga yang termasuk ke dalam kategori keluarga sedang (Tabel 2).

Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga Jumlah (n=90) Persentase

Keluarga kecil (≤ 4 orang) 89 98,9

Keluarga sedang (5-7 orang) 1 1,1

Rata-rata ± std 3,21 ± 0,44

Min - Max 3 - 5

2

(33)

Usia

Usia adalah lamanya waktu hidup yang dijalani oleh seseorang yang dinyatakan dalam tahun. Pada penelitian ini, pembagian rentang usia menggunakan pendapat Hurlock (1980), yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (≥ 60 tahun). Hasil uji deskriptif menunjukkan bahwa usia suami dan istri berkisar antara 22 sampai 47 tahun. Pada Tabel 3 disajikan sebaran contoh berdasarkan usia.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia

Usia Suami (n=90) Istri (n=90) Total (n=180) terdapat perbedaan yang nyata antara usia suami dengan usia istri. Rataan usia suami lebih tinggi daripada rataan usia istri. Rataan usia pada suami sebesar 32,93 tahun, sedangkan rataan usia pada istri sebesar 28,08 tahun.

Usia Menikah

Usia menikah merupakan usia seseorang ketika menikah dimana batas usia yang diperbolehkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku disuatu negara. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 dan 7, batas usia seseorang yang diperbolehkan untuk menikah adalah untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, namun jika usia keduanya masih dibawah 21 tahun, maka disyaratkan harus mendapatkan izin dari kedua orangtua. Pada Tabel 4 disajikan sebaran contoh berdasarkan usia menikah.

(34)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rataan usia menikah suami sebesar 27,81 tahun, sedangkan rataan usia menikah istri sebesar 22,96 tahun. Terdapat perbedaan yang nyata dimana usia menikah suami lebih tinggi daripada istri. Hampir seluruh (97,8%) suami dan dua pertiga (76,7%) istri usia menikahnya diatas 21 tahun. Hal tersebut menjelaskan bahwa usia menikah suami dan istri telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.

Tingkat Pendidikan

Memperoleh ilmu pengetahuan dapat melalui jalur pendidikan, baik secara formal maupun informal. Tingkat pendidikan yang ditamatkan contoh beragam yaitu mulai dari tamat SD hingga lulus Sarjana. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang akan diterimanya. Pada Tabel 5 disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat

Berdasarkan Tabel 5, persentase terbesar suami menamatkan pendidikannya hingga tingkat SMA yaitu sebesar 40 persen, sedangkan persentase terbesar istri tingkat pendidikan yang ditamatkan hanya sampai tingkat SD, yaitu sebesar 37,8 persen. Namun masih terdapat istri yang tidak tamat SD (2,2%). Kesulitan dalam hal biaya sekolah merupakan salah satu penyebab putus sekolah sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ketingkat berikutnya.

(35)

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama pendidikan

Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa lebih dari setengah (53,3%) suami dan istri (65,6%) menempuh pendidikan selama kurang dari dan sama dengan 9 tahun. Berdasarkan hasil uji beda rataan t-test, terdapat perbedaan dimana pendidikan suami lebih tinggi dibandingkan istri. Menurut Rachmawati (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik keadaan sosial ekonomi dan kemandirian keluarga. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluang kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih tinggi.

Pekerjaan

Pekerjaan pada suami dan istri sangat beragam. Pada dasarnya pekerjaan merupakan kegiatan yang bernilai ekonomi sehingga dapat menghasilkan uang sebagai upah dari pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan dapat menentukan besarnya pendapatan yang diterima. Secara umum pekerjaan contoh meliputi PNS, karyawan, wiraswasta, buruh, pembantu rumah tangga (PRT), serta guru ngaji (ustad). Pada Tabel 7 disajikan sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan Jenis

(36)

mengalokasikan waktunya untuk keluarga dan berada di rumah. Namun ada sebagian kecil istri yang bekerja sebagai PNS (2,2%), karyawan (3,3%), dan wiraswasta (3,3%), tetapi istri yang bekerja tersebut tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai ibu di dalam keluarganya.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan adalah imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai upah dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga yang bekerja, kemudian dikelompokan berdasarkan interval kelas dari sebaran data. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (52,2%) keluarga contoh memiliki pendapatan ≤ Rp 1.224.000. Rataan pendapatan yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah sebesar Rp 1.540.000. Menurut Nurulfirdausi (2010), pendapatan keluarga bergantung pada kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dimiliki. Hal tersebut berarti semakin tinggi kualitas dan semakin banyak anggota keluarga yang bekerja maka semakin besar pendapatan yang diperoleh.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga

(rupiah) Jumlah (n=90) Persentase

≤ Rp 1.224.000 47 52,2

Rp 1.224.001 – Rp 2.168.000 27 30,0

Rp 2.168.001 – Rp 3.112.000 6 6,7

Rp 3.112.001 – Rp 4.056.000 3 3,3

≥ Rp 4.056.001 7 7,8

Rata-rata ± std 1.540.000 ± 1.186.064

Min - Max 280.000 - 5.000.000

Pendapatan Per kapita

(37)

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga Pendapatan (Rp/kpt/bln) Jumlah (n=90) Persentase

Miskin (≤ 212 210) 12 13,3

Tidak miskin (> 212 210) 78 86,7

Rata-rata ± std 482.000 ± 357.654

Min - Max 70.000 – 1.666.667

Ket: GK Jawa Barat (2010)

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebesar 86,7 persen keluarga contoh tergolong ke dalam kategori tidak miskin dengan pendapatan per kapita lebih dari Rp 212.210. Sedangkan sebesar 13,3 persen keluarga contoh tergolong kategori miskin. Besarnya pendapatan per kapita keluarga tergantung pada besarnya pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga, semakin besar pendapatan keluarga namun jumlah anggota keluarga sedikit maka pendapatan per kapita keluarga akan tinggi.

Karakteristik Anak

Menurut Duvall (1971) tahapan keluarga dengan anak usia anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5 tahun. Adapun kisaran usia anak contoh dalam penelitian ini adalah antara 36 sampai 60 bulan atau usia 3 sampai 5 tahun. Lebih dari setengah (56,7%) anak contoh berusia antara 49 sampai 60 bulan dan sisanya sebesar 43,3 persen anak contoh berusia antara 36 sampai 48 bulan. Anak contoh yang diikutsertakan dalam penelitian ini lebih dari setengahnya berjenis kelamin perempuan (55,6%) dan sisanya sebesar 44,4 persen anak contoh berjenis kelamin laki-laki (Tabel 10). Semua anak contoh merupakan urutan anak pertama di dalam keluarga, karena contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak pertama usia prasekolah.

Tabel 10 Sebaran usia dan jenis kelamin anak contoh

Kategori Jumlah (n=90) Persentase

Usia (bulan)

36-48 39 43,3

49-60 51 56,7

Rata-rata ± std 48,24 ± 7,70

Min – Max 36 - 60

Jenis Kelamin Jumlah (n=90) Persentase

Laki-laki 40 44,4

(38)

Kesiapan Menikah

Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk menyatukan dua individu yang berbeda. Aspek kesiapan menikah dilihat berdasarkan dimensi perkembangan manusia. Dalam penelitian ini, kesiapan menikah dari setiap pasangan suami dan istri diukur dari ketujuh aspek kesiapan, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Kesiapan Intelektual

Intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Menurut Wechsler (1958) dalam Trihandini (2005), inteligensi adalah keseluruhan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat bertindak secara terarah dan berfikir secara bermakna. Terdapat enam item pernyataan untuk mengukur kesiapan intelektual suami dan istri. Hampir setengah dari suami (44,4%) dan istri (32,2%) sebelum menikah mereka kurang tertarik mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya. Selain itu, hanya sebesar 54,4 persen suami dan 41,1 persen istri menyukai perkembangan dunia politik dan sisanya menyatakan tidak memiliki ketertarikan mengenai dunia politik (Tabel 11). Alasan yang paling banyak diungkapkan oleh contoh mengenai hal tersebut adalah baik sebelum atau sesudah menikah mereka tidak begitu paham akan dunia politik. Namun untuk hal yang lainnya, lebih dari tiga perempat baik suami maupun istri memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan sesuatu hal baru, suka mencari berita melalui media, membaca buku, dan mengikuti kejadian suatu peristiwa hingga selesai, sehingga hanya sebagian kecil contoh saja yang tidak memiliki ketertarikan tentang hal-hal tersebut.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan intelektual

No Item Pernyataan Suami

(n=90)

Istri (n=90) 1 Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami

hal yang baru 91,1 81,1

2 Mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk

melestarikan budaya 44,4 32,2

3 Mencari berita untuk mendapatkan berita terbaru 94,4 85,6 4 Suka membaca buku mengenai ilmu pengetahuan 80,0 71,1 5 Akan mengikuti peristiwa yang menggemparkan dunia

hingga selesai 84,4 94,4

6 Menyukai perkembangan dunia politik 54,4 41,1

(39)

umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 65 persen item kesiapan intelektual. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara kesiapan intelektual suami dan istri (p=0,020), dimana kesiapan intelektual suami lebih tinggi dibandingkan dengan istri. Hal ini juga didukung dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan suami dengan persentase terbanyak adalah tamatan SMA, sedangkan tingkat pendidikan yang ditamatkan istri persentase terbanyak hanya sampai tamat SD. Memiliki kesiapan intelektual yang baik dapat membantu seseorang dalam mendapatkan pekerjaan. Menurut Papalia, Old, dan Fieldman (2008), bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan kognitif, pendidikan mengembangkan peluang pekerjaan dan kemungkinan mendapatkan uang.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan intelektual Kategori Tingkat

(40)

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan emosi

No Item Pernyataan Suami

(n=90)

Istri (n=90) 1 Merasa kecewa saat dikhianati oleh pasangan 81,1 57,8

2 Akan menggerutu ketika marah 66,7 75,6

3 Jika pasangan diganggu oleh orang lain, maka akan

langsung menghampiri orang yang mengganggu tersebut 55,6 10,0

4 Akan merokok jika stres 71,1 1,1

5 Mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas 93,3 93,3 6 Dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu 98,9 95,6 7 Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan, maka akan

langsung menyuruhnya pergi 42,2 47,8

8 Akan melempar barang dan berteriak jika merasa kesal

dengan beban pekerjaan 31,1 23,3

9 Ketika berbeda persepsi dengan teman, maka akan segera

menyamakan persepsi tersebut 58,9 42,2

10 Ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman 73,3 81,1

Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (54,4%) suami memiliki tingkat kesiapan emosi yang tergolong sedang, sedangkan tiga perempat (75,6%) istri memiliki tingkat kesiapan emosi yang tinggi. Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 60 persen item kesiapan emosi. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesiapan emosi antara suami dan istri, dimana kesiapan emosi istri lebih tinggi dibandingkan suami. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Katyal dan Awasthi (2005) dimana kecerdasan emosi perempuan lebih baik daripada laki-laki. Perempuan lebih menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki. Pada umumnya perempuan jauh lebih ekspresif secara emosi, namun dalam sejumlah situasi, perempuan dapat menyeimbangkan ekspresivitas dengan pembatasan dalam mempresentasikan diri (Goleman 2007).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan emosi Kategori Tingkat

(41)

Berdasarkan Tabel 15, lebih dari 60 persen suami dan istri ketika memutuskan untuk menikah mereka sudah merasa cukup umur, lebih suka menarik diri dari lingkungan baru, akan menyapa duluan saat ada tetangga baru, akan mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama. Selain itu, kurang dari 61 persen suami dan istri kurang cepat dalam menyelesaikan masalah dengan pasangannya dan dapat menilai seseorang dari kesan pertama yang tercermin dari penampilannya. Kesan tersebut terlihat seperti tidak menghormati terhadap orang baru, dimana penilaian hanya dilihat dari penampilan saja. Hanya sebagian kecil suami (11,1%) dan istri (20%) yang melarang temannya untuk bergaul atau berteman dengan orang lain, sehingga sebagian besar suami dan istri membebaskan temannya untuk menjalin hubungan pertemanan dengan yang lain.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasakan item pernyataan kesiapan sosial

No Item Pernyataan Suami

(n=90)

Istri (n=90)

1 Sudah cukup umur untuk menikah 90,0 85,6

2 Kurang cepat dalam menyelesaikan masalah dengan

pasangannya 60,0 52,2

3 Lebih suka menarik diri dari lingkungan baru 60,0 78,9 4 Akan menyapa duluan saat ada tetangga baru 86,7 88,9 5 Akan mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk

kepentingan bersama 84,4 67,8

6 Melarang teman dekat untuk bergaul dengan orang lain 11,1 20,0 7 Melihat kesan pertama terhadap orang lain tercermin dari

penampilan 61,1 58,9

(42)

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan sosial

Nilai moral adalah standar moral, sebuah konsep individu tentang relasi ideal yang digunakan untuk menilai benar atau salah dari sebuah relasi aktual yang dialami atau dihayati (Scott 1965). Terdapat 11 item pernyataan untuk mengukur kesiapan moral suami dan istri. Berdasarkan Tabel 17, hampir seluruh suami dan istri akan selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak disukainya dan selalu berkata jujur kepada semua orang. Kemudian lebih dari setengah suami (58,9%) dan istri (62,2%) tergolong egois, karena tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Kurang dari 55 persen suami istri pernah mengambil barang orang lain, menggunakan barang orang lain tanpa izin, pernah melakukan bullying terhadap junior, pernah tidak sengaja membeberkan rahasia teman, dan menceritakan kembali masalah temannya pada orang lain. Selain itu lebih dari 60 persen suami dan istri ketika ada seseorang yang dicela maka mereka akan ikut mencelanya, pernah nyontek saat ujian, dan tidak dapat menyembunyikan perasaannya ketika senang maupun sedih.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan moral

No Item Pernyataan Suami

(n=90)

Istri (n=90) 1 Selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak

disukainya 96,7 94,4

2 Saat ada orang yang dicela, maka akan ikut mencelanya

walaupun hanya bercanda 62,2 94,4

3 Tidak pernah memikirkan perasaan orang lain 58,9 62,2

4 Pernah menyontek saat ujian 65,6 60,0

5 Selalu berkata jujur kepada semua orang 93,3 93,3 6 Tidak dapat menyembunyikan perasaan ketika senang

maupun sedih 67,8 63,3

7 Saat teman terlibat dalam suatu masalah, dimana masalah tersebut diketahuinya dan jika ada seseorang yang bertanya maka akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuannya

53,3 46,7

8 Pernah mengambil barang orang 34,4 31,1

(43)

Lebih dari setengah (64,4%) suami tingkat kesiapan moralnya tergolong sedang. Begitu pula dengan istri, dua pertiganya (76,7%) memiliki kesiapan moral yang sedang (Tabel 18). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 55 persen item kesiapan moral. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan moral antara suami dan istri. Hal tersebut sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Carl Gilligan bahwa hasil risetnya tidak mendukung pembedaan pandangan moral antara perempuan dan laki-laki (Papalia, Olds, & Feldman 2008).

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan moral Kategori Tingkat

Gambar

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama pendidikan
Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (54,4%) suami memiliki
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan moral
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan individu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Strategi Pemasaran Bisnis Toko Dafi‟ Dalam Meningkatkan Jumlah Penjualan Barang di Kota Palangkaraya Perspektif

Seperti yang dikemukakan olen Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap sistem penjualan tiket dan penyewaan lokasi yang sedang berjalan pada dua objek wisata yang dikelola oleh pemerintah, yaitu Kebun

Melalui model pembelajaran Discovery Learning dengan menggali informasi dari berbagai sumber belajar, penyelidikan sederhana dan mengolah informasi, diharapkan peserta

Dalam setiap penerbitan Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah, selalu dilakukan berbagai upaya perbaikan, baik dari segi materi maupun tampilan fisiknya, sesuai

13 Price Earning Ratio (PER) Sedangkan secara parsial PER yang berpengaruh signifikan terhadap DPR 4 Rini Dwiyani Hadiwidjaja (2009) Variabel Dep: Divident Payout Ratio

Pada penelitian ini nilai profitabilitas setiap kali panen diketahui sebesar 15 juta setelah terjadinya transfer pengetahuan dalam bentuk penyuluhan yang diberikan

Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi,