• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vernalization and Growth Regulator Role on Flowering and Seed Yield of Shallot at Highland and Lowland

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Vernalization and Growth Regulator Role on Flowering and Seed Yield of Shallot at Highland and Lowland"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

   

PERAN VERNALISASI DAN ZAT PENGATUR TUMBUH

DALAM PENINGKATAN PEMBUNGAAN DAN PRODUKSI

BIJI BAWANG MERAH DI DATARAN RENDAH DAN

DATARAN TINGGI

DIAN FAHRIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2013

Dian Fahrianty A 252100151

(4)
(5)

 

ABSTRACT

DIAN FAHRIANTY. Vernalization and Growth Regulator Role on Flowering and Seed Yield of Shallot at Highland and Lowland. Supervised by Roedhy Poerwanto, Winarso D Widodo and Endah R Palupi.

The aim of this research was to observe the effect of vernalization and growth regulator in increasing flowers and true shallot seed yield in lowland and highland. This reaserch was conducted at lowland, Dramaga (250 masl, t=25-260C, rainfall: 105-548 mm/month, RH:71-87%), and highland, Cipanas (1250 masl, t=20-210C, rainfall 204-479 mm/month, RH:80-87%). Shallot bulb 5-7 g was used as planting material. This research was conducted in two experiments. In the first experimental completely Randomized Block Design with two factors was used. The first factor was vernalisation, i.e.without vernalisation (V0) and vernalisation at 10 0C for thirty five days (V1) s, and the second factor was GA3

concentration, i.e. 0 ppm (G1), 100 ppm (G2), and 200 ppm (G3). In the second experiment, NAA at concentration of 0 (A1), 50 (A2), 100 (A3) and 200 ppm(A4) was used. Before planting, the bulbs was vernalized and submerged in 200 ppm GA3 solution for one hour. NAA is given by spraying to the plants aged 3 and 5

weeks after planting. The result showed that vernalization and GA3 affected

flowering and TSS production. In lowland, combination of vernalization and 200 ppm GA3 increased flowering 233 times compared to the control and increased

one-half times compared to the vernalization treatment without GA3 and in

highland it increased four times compared to the control and one-half times compared to the vernalization without GA3. Combination of vernalization and 200

ppm GA3 resulted in the TSS production 3.93 g/m2 (39.3 kg/ha) in lowland and

4:41 g/m2 (44.1 kg/ha) in highland. Aplication of 200 ppm GA3 without

vernalization and combination of vernalization until 200 ppm GA3 produced >

80% germination in lowland and highland. Aplication of 50 ppm NAA increase 24% flowering, 4.80 g or equal to 48.00 kg/ha TSS production with 87% germination. The result also show that vernalization can be substituted by GA3

aplication to enhance flowering and TSS production in highland however in lowland as well as high land area a combination of vernalization and GA3 was the

best treatment.

(6)
(7)

 

RINGKASAN

DIAN FAHRIANTY. Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.

Peningkatan produksi dan produktivitas bawang merah dihadapkan pada masalah ketersediaan benih bermutu. Bawang merah umumnya ditanam menggunakan umbi bibit. Biaya penyediaan umbi bibit dapat mencapai 40% dari biaya produksi total. Untuk mendapatkan benih berdaya hasil tinggi, banyak petani yang menggunakan benih umbi dari bawang konsumsi asal impor yang harganya relatif mahal. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah melalui introduksi teknologi budidaya menggunakan biji botani atau true shallot seed (TSS).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh vernalisasi dan GA3,

terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah dan dataran tinggi serta mempelajari pengaruh NAA terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah yang dikombinasikan dengan vernalisasi dan GA3 baik di dataran

rendah dan dataran tinggi.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua percobaan. Percobaan I: pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran

rendah dan dataran tinggi, menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan dua faktor yaitu vernalisasi (tanpa vernalisasi dan vernalisasi pada suhu 10

0

C) sebagai faktor pertama dan GA3 (0, 100 dan 200 ppm) sebagai faktor kedua

dengan empat ulangan. Percobaan II: pengaruh NAA terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah kali ulangan di dataran rendah dan dataran tinggi, menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan menggunakan NAA (0, 50, 100, 200 ppm) yang sebelumnya telah diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 pada umbi bibitnya dengan empat kali ulangan. NAA diberikan dengan

(8)

umbel, bobot biji per rumpun, bobot biji per petak dan daya kecambah biji.

Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan dan produksi TSS di

dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pembungaan dan produksi TSS tertinggi diperoleh pada kombinasi vernalisasi dan 200 ppm GA3. Kombinasi perlakuan

tersebut meningkatkan pembungaan 233 kali lipat jika dibandingkan perlakuan kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3, sedangkan di dataran tinggi terjadi peningkatan hingga 4 kali lipat

dibandingkan perlakuan kontrol dan meningkat 1.5 kali lipat dibandingkan perlakuan vernalisasi tanpa GA3. Produksi TSS yang dihasilkan sebesar 3.93 g/m2

atau (39.3 kg/ha) di dataran rendah dan 4.41 g/m2 (44.1 kg/ha) di dataran tinggi. Persentase daya kecambah untuk bawang merah di dataran rendah dan dataran tinggi tertinggi diperoleh pada perlakuan 200 ppm GA3 tanpa vernalisasi serta

kombinasi perlakuan vernalisasi dan 100-200 ppm GA3, dan vernalisasi tanpa

GA3 yaitu > 80%.

Hasil penelitian pada percobaan kedua menunjukkan bahwa untuk penanaman yang dilakukan di dataran rendah hanya sampai pertumbuhan vegetatif saja. Hal ini disebabkan oleh keadaan cuaca yang tidak mendukung terjadinya inisiasi pembungaan walaupun umbi bawang merah sudah diberi perlakuan vernalisasi dan GA3. Percobaan di dataran tinggi menunjukkan bahwa

perlakuan NAA dengan konsentrasi 50 ppm pada tanaman yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 pada umbi bibit meningkatkan

pembungaan sebesar 32% dari perlakuan kontrol dengan produksi TSS sebesar 4.80 g atau setara dengan 48.00 kg/ha. Perlakuan 50 ppm NAA menghasilkan daya kecambah sebesar 87%. Namun demikian hasil terbaik diperoleh pada perlakuan 50 ppm NAA yang tidak berbeda nyata dengan hasil perlakuan 0 ppm NAA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3, baik tanpa maupun dengan penambahan perlakuan 50 ppm NAA, dapat

(9)

 

Perlakuan GA3 sampai 200 ppm di dataran rendah tidak dapat

menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan pembungaan dan produksi TSS bawang merah. Walaupun perlakuan vernalisasi bisa meningkatkan pembungaan dan produksi TSS, hasil tertinggi diperoleh dengan kombinasi perlakuan vernalisasi dan GA3. Di dataran tinggi GA3 bisa menggantikan vernalisasi. Untuk

meningkatkan pembungaan dan produksi TSS di dataran rendah maupun di dataran tinggi, sebaiknya umbi bibit diberi kombinasi perlakuan vernalisasi dan GA3.

(10)

     

               

           

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)

 

   

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

PERAN VERNALISASI DAN ZAT PENGATUR TUMBUH

DALAM PENINGKATAN PEMBUNGAAN DAN PRODUKSI

BIJI BAWANG MERAH DI DATARAN RENDAH DAN

DATARAN TINGGI

 

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)

   

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Thesis : Dr. Ir Ketty Suketi M.Si  

(13)

 

Judul : Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

Nama : Dian Fahrianty NIM : A252100151

Disetujui Komisi Pembimbing

Mengetahui

Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc Ketua

Ir. Winarso D. Widodo, MS., PhD Anggota

Dr. Ir. Endah R. Palupi, M.Sc Anggota

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam yang telah membawa umatnya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini berjudul “Peran Vernalisasi dan Zat Pengatur Tumbuh dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi”. Penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr. Roedhy Poerwanto, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dua orang Anggota Komisi Pembimbing yaitu: Dr Winarso D Widodo, MS dan Dr. Endah R Palupi, MSc. Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan atas arahan keilmuan, bimbingan dan dorongan yang telah diberikan. Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua yaitu Ayahanda Fahruddin, SH dan Ibunda Sunarti, kepada adik tercinta Kurniati Statistiani, M. Fachry Ali Usmaini serta kepada Wahyu Wijaya Kusuma Abadi atas kesabaran serta penantian dan seluruh keluarga atas segala pengorbanan yang tak terhingga serta limpahan kasih sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada penanggung jawab Laboratorium Terpadu Departemen Agronomi dan

(16)

Widyawati, Bapak Engelbert Manaroinsong, Nope Gromikora, Nofrianil, Bapak Thoyip, Bapak Halim, Anita Darwis, Desty Sulistiyowati, Kartika Kirana, Jorge Araujo Rerenstradika Tizar Terryana, Apriana Vinasyiam, Siti Gusti Ningrum dan Nadia Mega Aryani atas motivasinya selama ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para sahabat: Intan Pramudita, Yulfa Rizki Amita, Dita Paramitha, Gita Oktaviana, Ni luh Putu Janur Asih dan BQ. Arinita Adriantini beserta keluarga yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan dorongan agar penulis bisa menyelesaikan Sekolah PascaSarjana di Institut Pertanian Bogor ini.

Penghargaan dan terima kasih setulusnya kepada para pembimbing penulis di Universitas Mataram: Bapak Dr. Ir Bambang Budi Santoso MS.c, dan Ir Nurrachman M.Si yang senantiasa memberi masukan, nasihat serta dorongan pada penulis agar segera menyelesaikan pendidikan di sekolah Pascasarjana IPB.

Penelitian ini dibiayai dari hibah penelitian KKP3T yang berjudul “Teknologi True Shallot Seed (TSS) Sebagai Bahan Tanam Untuk Meningkatkan Produktivitas Bawang Merah” yang dihibahkan kepada Ir. Winarso D Widodo,

MS.,PhD, untuk ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Akhirnya penulis mengucapkan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu demi kelancaran penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2013

Dian Fahrianty    

(17)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 28

Agustus 1987 sebagai anak pertama diantara tiga bersaudara dari pasangan Fahruddin dan Sunarti.

Tahun 2005, penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri 2 Mataram. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, Mataram. Penulis memperoleh gelar sarjana tahun 2010.

Tahun 2010 penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah mengikuti Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Internasional pada 10 November 2011 serta bergabung pada Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) sebagai anggota pada bidang Olah raga dan Seni pada periode 2010-2011.

(18)
(19)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... xiv

Latar belakang ... 1

Tujuan penelitian ... 5

Hipotesis ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi bawang merah ... 6

Pembungaan ... 8

Vernalisasi ... 10

Giberelin ... 12

Auksin ... 14

Aplikasi zat pengatur tumbuh ... 16

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu ... 19

Bahan dan alat ... 19

Metode penelitian ... 19

Percobaan I ... 19

Percobaan II ... 20

Pelaksanaan penelitian ... 21

(20)
(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap persentase tanaman

berbunga, waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar dan waktu panen biji ... 27 2. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah umbel per rumpun

dan jumlah umbel per m2 ... 29 3. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah bunga per umbel,

jumlah bunga per m2, persentase pembentukan buah (fruitset) ... 32 4. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap bobot umbel per rumpun,

bobot umbel per m2, bobot biji per umbel, bobot biji per rumpun ... 34 5. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap daya kecambah biji bawang

merah ... 37 6. Pengaruh NAA terhadap persentase tanaman berbunga, waktu

muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar dan waktu panen biji ... 39 7. Pengaruh NAA terhadap jumlah umbel per rumpun dan jumlah

umbel per m2 ... 40 8. Pengaruh NAA terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah bunga

per m2, persentase pembentukan buah (fruitset) ... 41 9. Pengaruh NAA terhadap bobot umbel per rumpun, bobot umbel per

m2, bobot biji per umbel ... 41

(22)

 

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data iklim bulanan pada percobaan I di Sawah Baru, Dramaga ... 64

2. Data iklim bulanan pada percobaan II di Kebun percobaan Cipanas ... 64

3. Denah percobaan I ... 65

4. Denah percobaan II ... 66

5. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh vernalisasi dan GA3 di Dramaga ... 67

6. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh vernalisasi dan GA3 di Cipanas ... 68

7. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh NAA di Dramaga dan Cipanas ... 69

8. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap tinggi tanaman bawang merah

di Dramaga dan Cipanas ... 70 9. Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah daun bawang merah

di Dramaga dan Cipanas ... 71 10.Pengaruh NAA terhadap tinggi tanaman bawang merah di Dramaga

dan Cipanas ... 72 11.Pengaruh NAA terhadap jumlah daun bawang merah di Dramaga dan

Cipanas ... 72 12.Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap panjang tangkai bnga, jumlah

anakan per rumpun dan bobot biji per m2 ... 73

13.Pengaruh NAA terhadap panjang tangkai bunga, jumlah anakan per rumpun di Cipanas ... 74

14.Sidik ragam percobaan 1, Dramaga ... 74

15.Sidik ragam percobaan 1, Cipanas ... 80

16.Sidik ragam percobaan 2, Dramaga ... 86

17.Sidik ragam percobaan 2, Cipanas ... 87

(24)

 

(25)

DAFTAR GAMBAR  

Halaman 1. Gambar bunga dan biji bawang merah ... 5

2. Gambar tanaman tanpa GA3 dan tanaman dengan perlakuan 200 ppm

GA3 ... 46

3. Kurva hubungan perlakuan vernalisasi dan pemberian GA3 terhadap bobot

biji per m2 di dataran rendah Dramaga dan dataran tinggi Cipanas ... 34

(26)
(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran unggulan yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, serta mempunyai prospek pasar yang baik. Dalam dekade terakhir ini, permintaan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan.

Namun produktivitas tanaman bawang merah di Indonesia tergolong masih rendah. BPS (2011) mencatat, selama setahun terakhir ini, produksi bawah merah Nasional menurun tajam hingga 155.810 ribu ton atau sekitar 14.85 persen. Produksi bawang merah di tahun 2011 mencapai 893.124 ribu ton dengan luas panen sebesar 93.667 ribu hektar. Adapun untuk rata-rata produksinya adalah 9.54 ton per hektar. Untuk memenuhi permintaan akan bawang merah yang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri yang memerlukan bahan baku bawang merah, maka produksi dan kualitas hasil bawang merah harus senantiasa ditingkatkan, dan penanaman bawang merah harus dapat dilakukan sepanjang tahun agar pasokan dan harganya tidak berfluktuasi.

(28)

mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan biji botani atau true shallot seed (TSS).

Penggunaan biji botani bawang merah untuk budidaya bawang merah belum banyak dilakukan. Sebagai bahan tanam, TSS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan menggunakan umbi antara lain penyimpanan yang mudah, biaya pengangkutan lebih murah, kebutuhan benih lebih sedikit (6 kg/ha setara Rp 7.2 juta) dibandingkan umbi bibit biasa (+1,5 t/ha setara Rp 37.5 juta) (Permadi 1993; Ridwan et al.1989), menghasilkan tanaman yang lebih sehat dan biji bebas virus dan penyakit tular benih, serta menghasilkan umbi dengan kualitas yang lebih baik yaitu lebih besar dan bulat (Permadi 1993). Penelitian Sumarni et al (2005) menunjukkan bahwa produksi bawang merah kultivar Bima asal TSS dapat mencapai 33,30 ton/ ha.

Masalah utama dalam produksi TSS adalah rendahnya kemampuan

berbunga dan menghasilkan biji bawang merah yang secara alami rata-rata hanya 30% di dataran tinggi sedangkan di dataran rendah tidak berbunga (Putrasamedja & Permadi 1994). Rendahnya persentase pembungaan bawang merah disebabkan oleh keadaan cuaca, terutama fotoperiodisitas yang pendek (<12 jam) dan rata-rata suhu udara harian yang cukup tinggi (>180C), sehingga tidak mendukung terjadinya pembungaan secara optimal. Tanaman bawang merah membutuhkan suhu yang rendah (7-12 0C) dan fotoperiodisitas yang panjang (>12jam) untuk keperluan inisiasi pembungaan (Brewster 1990).

(29)

di dataran tinggi karena untuk pembentukan buah dan biji dibutuhkan suhu yang lebih tinggi.

Pembungaan tanaman bawang merah dapat dirangsang oleh suhu rendah selama pertumbuhannya. Pemberian perlakuan suhu rendah secara buatan (vernalisasi) pada umbi bibit dapat merangsang pembungaan bawang merah. Satjadiputra (1990) melaporkan bahwa perlakuan vernalisasi dengan suhu 10 0C selama 30-35 hari pada umbi bibit bawang merah, dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah.

Penelitian yang dilakukan di dataran tinggi menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi pada umbi bibitnya menghasilkan persentase tanaman yang berbunga sebanyak 51.33% dengan hasil biji 6.89 kg/ha di dataran tinggi (Sumarni & Soetiarso 1998). Peningkatan pembungaan dapat dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh secara eksogen seperti giberelin yang dapat menginduksi dan

merangsang pembungaan, dan dapat menggantikan sebagian atau seluruh fungsi suhu rendah dalam merangsang pembungaan (Galston & Davies 1970). Auksin juga dapat merangsang pembungaan, mengatur perkembangan bunga dan pembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan bakal buah (Leopold & Kriedemann 1979). Sumarni dan Sumiati (2001) melaporkan bahwa perlakuan vernalisasi yang dikombinasikan dengan 200 ppm GA3 dan 50 ppm NAA dengan

aplikasi penyemprotan pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam menghasilkan pembungaan sebesar 51.67% dengan produksi biji sebesar 3.36 atau setara dengan 22.40 kg/ha.

Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga metode aplikasi yang sering digunakan, salah satunya adalah perendaman. Perendaman yang dilakukan ada umbi bibit bawang merah pada lautan GA3

diharapkan dapat meningkatkan induksi bunga pada titik tumbuh karena apabila diberikan dengan penyemprotan, GA3 akan merangsang pemanjangan sel

(30)

dilakukan dengan cara penyemprotan karena fungsi NAA lebih pada perkembangan bunga danpembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan bakal buah (Leopold & Kriedemann 1979). 

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu diketahui pengaruh vernalisasi dan zat pengatur tumbuh terhadap pembungaan dan produksi TSS di dataran rendah, karena selama ini penelitian tentang pembungaan untuk memproduksi TSS baru dilakukan di dataran tinggi. Sumarni et al (2005) melaporkan bahwa pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang (150 mdpl) tidak optimal dibandingkan di dataran tinggi Lembang (1250 mdpl) sehingga perlu dilakukan penanaman baik di dataran tinggi dan dataran rendah untuk melihat respon pembungaan di kedua tempat tersebut yang mendapatkan perlakuan vernalisasi dan zat pengatur tumbuh. Perlakuan vernalisasi dan pemberian zat pengatur tumbuh diharapkan dapat meningkatkan pembungaan bawang merah terutama di

(31)

Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1. Mempelajari peran vernalisasi dan GA3 terhadap pembungaan serta hasil

biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.

2. Mendapatkan konsentrasi GA3 terbaik terhadap pembungaan dan hasil biji

bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.

3. Mempelajari peran NAA terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi + GA3.

4. Mendapatkan konsentrasi NAA terbaik terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi.

Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Kombinasi vernalisasi dengan konsentrasi 100 ppm GA3 dapat

meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah.

2. GA3 dapat menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan pembungaan

dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah

3. NAA yang diberikan pada tanaman yang sudah divernalisasi + 100 ppm GA3 dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di

dataran tinggi dan dataran rendah.  

(32)
(33)

   

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Bawang Merah

Bawang merah merupakan tanaman semusim, membentuk rumpun dan

tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm. Perakarannya berupa akar

serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti

halnya bawang putih, tanaman ini termasuk tidak tahan kekeringan. Daun bawang

merah berbentuk silindris seperti pipa dengan bagian ujungnya meruncing yang

bewarna hijau muda sampai hijau tua, memiliki batang sejati atau “diskus” yang

bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran

dan mata tunas (titik tumbuh) yang memanjang antara 50-70 cm. Pangkal daun

bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan

berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni &

Rosliani 1996). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki

variasi dalam bentuk, ukuran dan warna (Rabinowitch & Brewster 1990).

Gambar 1. bunga bawang merah (a), biji bawang merah (b)

Bunga bawang merah termasuk bunga majemuk yang berbentuk tandan,

yang bertangkai, bunga berwarna putihyang terdiri dari 50-200 kuntum bunga.

Bunga bawang merah adalah bunga sempurna (hermaphrodite) yaitu memiliki dua

organ kelamin yaitu stamen dan stigma dalam satu bunga. Bawang merah pada

umumnya terdiri atas 5-6 helai benang sari, satu putik, dengan daun bunga yang

berwarna putih, termasuk hypogenous yaitu posisi ovarium berada diatas calix

dengan posisi superior. Bakal buah terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel

(34)

yang membentuk tiga ruang dan dalam tiap ruang terdapat dua bakal biji

(Rabinowitch & Brewster 1990).

Pertumbuhan vegetatif bawang merah dibagi menjadi dua tahap yaitu :

fase vegetatif yaitu terjadinya perkembangan akar dan daun serta fase generatif

yaitu pembungaan dan pertumbuhan umbi. Pada perkembangan akar dan daun

terjadi akumulasi karbohidrat yang lebih besar daripada penggunaannya (Brewster

1990). Aktivitas pembentukan umbi meningkat pada pertumbuhan vegetatif dan

pembentukan umbi dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, panjang hari dan

suhu. Pembentukan daun terhenti ketika pembentukan umbi dimulai.

Pertumbuhan umbi selanjutnya akan ditentukan oleh jumlah daun yang sudah ada

sebelumnya. Daun bawang merah berbentuk sederhana dengan permukaan yang

sempit sehingga kemampuan untuk berfotosintesis rendah (Splittosser 1978 &

Edmond et al. 1983 dalam Abdullatif 1999).

Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam

mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut)

dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan

kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi & Hilman 1997).

Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800

m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil umbinya

lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah termasuk

tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar

matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni &

Rosliani 1996). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman bawang merah

memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan dan

perkembangannya. Menurut Rabinowitch dan Brewster (1990), Inisiasi

pembungaan terjadi pada suhu rendah 9-12 0C, sedangkan untuk pembuahan dan

pembijiannya diperlukan suhu yang lebih tinggi yaitu 35 0C serta curah hujan

sekitar 100-200 mm/bulan.

Bawang merah dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur,

banyak mengandung bahan organik atau humus, aersinya baik, dan tidak becek

(35)

   

Tanahyang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi secara

optimal (Brewster 1990).

Pembungaan

Perubahan dari fase vegetatif ke fase reproduktif cukup dramatis. Pada

masa vegetatif, tanaman secara teratur menumbuhkan daun baru, cabang, dan

akar. Perubahan ketahap pembungaan melibatkan perubahan utama di pola

diferensiasi pada meristem apical pucuk. Perubahan ini sepertinya dipicu oleh

senyawa biokimia (dikenal sebagai florigen) yang dikirim dari bagian akar

kebagian apeks tanaman, terutama dari daun. Jadi pembungaan menggambarkan

struktur kompleks yang sangat terspesialisasi, dimana struktur ini sangat berbeda

dengan bentuk dari bagian vegetatif dan juga berbeda antara spesies yang satu

dengan yang lain (Taiz & Zeiger 1991). Disamping kompleksitas ini, pembungaan

disemua spesies tumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang

menghubungkan perkembangan reproduktif tanaman dengan lingkungannya.

Faktor internal meliputi umur (Taiz & Zeiger 1991), hormon

pertumbuhan, dan nutrisi (Wareing & Phillips 1970; Berreiet al. 1987). Tanaman

mencapai fase pembungaan pada umur (atau ukuran) yang berbeda.

Hormon-hormon yang mempengaruhi pembungaan terutama adalah asam giberelin dan

auksin (Bleasdale 1981). Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi

bervariasi dari suhu, fotoperiodisme (Bleasdale 1981; Berrie et al. 1987), curah

hujan hingga stres air (Wareing & Phillips 1970; Kinet et al. 1985).

Induksi bunga merupakan suatu peristiwa penting dalam proses

pembungaan, yang menandai terjadinya perubahan pola pertumbuhan dan

perkembangan dari fase vegetatif menuju fase generatif (produktif). Pada fase ini

terjadi perubahan fisiologis dan biokimia pada mata tunas sedangkan secara

secara morfologi belum terjadi perubahan secara visual. Pembungaan juga

merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor yaitu faktor eksternal/lingkungan

(cahaya, suhu, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal

(genetik dan fitohormon) (Gardner et al. 1991).

Proses pembungaan tanaman melalui empat tahapan yaitu induksi,

inisiasi bunga, deferensiasi bunga, pendewasaan bagian-bagian bunga dan

(36)

tanaman. Pada tahap induksi terjadi perubahan respon biokimia pada lapisan

sruktur apeks, yang menjadi sinyal utama perubahan dari fase vegetatif ke fase

generatif. Inisiasi bunga merupakan tahap yang penting pada pembungaan

tanaman, karena tahap ini terjadi perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup

generatif dan transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup generatif yang dapat

dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses

selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ generatif. Perubahan tunas apikal

dan aksilar dari fase vegetatif menjadi tunas bunga merupakan hasil dari aktivitas

hormonal yang berlangsung pada tanaman tersebut yang umumnya diinduksi oleh

kondisi lingkungan tertentu, seperti suhu dan perubahan panjang hari (lama

penyinaran) (Lang 1952).

Pada tahap diferensiasi, struktur primordia bunga terlihat jelas dibawah

mikroskop; terdiri atas sepal, petal, stamen, pistil maupun karpelnya. Pada tahap

ketiga terjadi pematangan bagian-bagian bunga, seperti jaringan sporogenous,

stigma dan pollen. Peristiwa mekarnya bunga dikenal dengan anthesis. Pada tahap

ini, bagian-bagian bunga akan mencapai ukuran maksimum, stigma menjadi

reseptifserta serbuk sari berkembang sempurna (Lang 1952).

Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi

jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari

membentuk tabung sari dan masuk ketangkai putik melalui jaringan transmisi

tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji.

Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di

dalam bakal buah. Perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan

penyerbukan pada stigma sampai pada pembentukan biji pada buah dan banyak

proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan

bunga betina (Herrero et al. 1988).

Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. Perkembangan

ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. Pembelahan sel, pembentukan biji dan

perkembangan awal embrio, 3. Pembesaran sel dan pematangan embrio. Secara

garis besar perkembangan buah dari mulai fruitset sampai senescence meliputi

(37)

   

fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan penuaan

(senescence) (Gillaspy et al. 1993).

Buah dan biji terbentuk dari hasil penyerbukan dan pembuahan yang

terjadi pada ovul/bakal biji. Jumlah buah dan biji masak yang terbentuk pada

tanaman dipengaruhi beberapa faktor. Banyaknya buah masak yang dapat dipanen

ditentukan oleh: (1) Jumlah bunga yang dihasilkan oleh tanaman, (2) Persentase

bunga yang mengalami pembuahan, (3) Persentase buah muda yang dapat terus

tumbuh hingga menjadi buah masak dan (4) umur buah. Sedangkan kualitas dan

kuantitas biji pada buah ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah

kuantitas polen viabel yang berhasil membuahi ovul. Perkembangan buah dan biji

sangat dipengaruhi oleh suhu dan lingkungan penyinaran matahari (Goldsworthy

1992).

Pada prinsipnya, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi

pembungaan, yaitu : (1) adanya hormon pembungaan atau florigen atau produksi

stimulus pembungaan pada daun yang mengalihkan fase vegetatif menjadi

reproduktif, (2) adanya kondisi nutrisi yang optimum pada saat yang sama dengan

perubahan dalam apeks, (3) terjadinya perubahan biokomia pada apeks yang

mengubah dan mengkonversi nutrient sehingga terjadi induksi pembungaan

(Ryugo 1990). Pembungaan dan peristiwa-peristiwa reproduktif hingga selesainya

pembentukan biji dicapai melalui sejumlah proses penyesuaian termasuk

penyesuaian suhu rendah seperti vernalisasi, kepekaan terhadap panjang hari, atau

terhadap intensitas sinar matahari yang dapat diterima oleh tanaman. Menurut

Barnier et al (1985) terdapat dua teori pembungaan, teori pertama yaitu inisiasi

pembungaan tidak akan terjadi kecuali ada yang menstimulasi, sedangkan teori

kedua menyatakan bahwa tanaman memiliki potensi untuk berbunga akan tetapi

kadang-kadang tertekan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Dengan

mengetahui teori pembungaan, maka pengaturan pembungaan tanaman dapat

ditentukan sesuai dengan kebutuhan tanaman

Vernalisasi

Pembungaan tanaman, sebagaimana perkembangan pertumbuhan tanaman

(38)

udara. Pengaruh dari suhu ini berbeda antara masa vegetatif dan masa reproduktif

(Penning de Vries et al. 1989). Selain itu, suhu dapat mengubah atau

memodifikasi respon terhadap fotoperiode pada spesies dan varietas, banyak

spesies yang membutuhkan periode dingin selama 2-6 minggu agar dapat

berbunga. Perlakuan dingin ini disebut vernalisasi (Gardner et al. 1991).

Istilah vernalisasi pertama kali digunakan pada perlakuan suhu dingin

pada benih yang berimbibisi atau semai kecambah, kemudian meluas kepada

semua perlakuan yang mempunyai efek yang sama terhadap tanaman seperti

halnya perlakuan terhadap umbi sebelum ditanam. Tujuan vernalisasi biasanya

adalah untuk mempercepat keluarnya bunga karena suhu dapat merangsang

inisiasi bunga. Tunas atau meristem yang lazimnya memberikan respon terhadap

suhu rendah dengan cara mengalami vernalisasi. Hanya jika tunas diberi suhu

rendahlah, tumbuhan akan berbunga (Salisbury & Ross 1995). Akan tetapi selain

dipengaruhi oleh vernalisasi, periode menuju waktu berbunga juga di pengaruhi

oleh suhu dan panjang hari selama masa pertumbuhan dan pengaruhnya saling

berinteraksi. Banyak tanaman-tanaman dwi musim yang berasal dari daerah

subtropik yang memerlukan vernalisasi. Suhu-suhu rendah yang diperlukan oleh

tanaman-tanaman subtropik dapat diperoleh secara alami dari daerah asalnya,

tetapi untuk daerah tropis suhu yang rendah sukar sekali diperoleh kecuali

ditempat-tempat tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suhu rendah secara buatan,

yaitu dengan teknik vernalisasi (Peat 1983).

Menurut Wareing dan Philips (1981), periode vernalisasi minimal yang

dibutuhkan untuk pembungaan berbeda dari spesies ke spesies, tetapi biasanya

berlangsung selama beberapa minggu. Sebagian besar spesies suhu antara -1

sampai 10 0C efektif untuk vernalisasi. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap

vernalisasi maka dapat dibentuk dua kelompok tanaman yaitu (1) tanaman yang

memberikan tanggap kuantitatif, artinya perlakuan suhu rendah hanya

mempercepat pembungaan dimana tanaman akan berbunga meskipun tanpa

perlakuan vernalisasi. Hal ini terjadi pada ”petkus rye” (Secale cereale) yang

divernalisasi hanya membutuhkan waktu 7 minggu untuk berbunga dan jika tanpa

vernalisasi membutuhkan waktu 14-18 minggu. (2) tanaman yang memberikan

(39)

   

untuk pembungaan sehingga tanpa perlakuan vernalisasi, tanaman tidak akan

berbunga dan ini ditemukan pada tanaman bienial Hyoscyamus niger (Salisbury &

Ross 1978).

Vernalisasi biasanya terjadi antara suhu -5 hingga 16 0C dengan pengaruh

maksimun antara 0 hingga 8 0C (Whyte 1960). Lamanya perlakuan vernalisasi

mulai beberapa hari hingga 60 hari hingga lebih lama lagi, tergantung pada

spesies dan genotipe tanaman dan suhu yang digunakan. Bawang merah pada fase

post-juvenile merespon suhu dingin baik pada saat penyimpanan ataupun pada saat tumbuh dilapangan, dan sensitifitasnya terhadap suhu dingin meningkat, yaitu

semakin tua umur bibit maka membutuhkan induksi dingin lebih sedikit. Saragih

(1994) dalam penelitiannya terhadap lobak menunjukkan bahwa tanaman lobak

yang divernalisasi, lebih cepat berbunga dibandingkan tanaman yang

tidakdivernalisasi. Suhu dingin dapat menginduksi pembungaan namun

sebaliknya suhu yang tinggi (28-30 0C) dapat memperlambat pembungaan

(Kamenetsky & Rabinowitch 2002). Suhu yang tinggi selama penyimpanan tidak

hanya menghambat pembungaan namun juga menunda umur berbunga,

mengurangi jumlah bunga serta menekan munculnya rangkaian bunga yang telah

terinisiasi (Krontal et al. 2000).

Giberelin

Hormon tanaman merupakan senyawa-senyawa kimia yang terjadi secara

alamiah di dalam tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan dan

perkembangan tanaman secara aktif pada konsentrasi yang rendah. Hormon

tanaman adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10

-6

– 10-5Mm), yang diseintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada

umumnya diangkut kebagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan

tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena 1988). Bahan

kimia sintetik yang mempunyai peranaan sama dengan hormon tanaman disebut

zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Fitohormon yang secara umum dikenal

adalah auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Slisbury & Ross

1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam bidang hortikultura sudah banyak

dilakukan. Zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman dengan tujuan untuk

(40)

secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan tersebut meliputi: peningkatan

hasil dan memperbaiki kualitas produksi (Wattimena 1988).

Selain faktor genotipe dan lingkungan, zat pengatur tumbuh yang berperan

mempengaruhi pembungaan diantaranya adalah asam giberelat (GA3). Giberelin

(GA3) adalah senyawa tetrasiklik diterpenoid dengan sistem cincin ent-giberelan

yang ditemukan pada tahun 1926 olek E. Kurosawa, ilmuan Jepang yang

menemukan cendawan penyebab elongasi pada batang padi. Kemudian cendawan

tersebut diberi nama Gibberella fujikuroi. Giberelin (GA3) merupakan salah satu

zat pengatur tumbuh yang diketahui dapat mendorong terjadinya pembungaan.

Giberelin dapat menggantikan kondisi lingkungan spesifik guna

mengendalikanpembentukan bunga. Induksi pembungaan yang disebabkan oleh

giberelin merupakan peran pengganti hari panjang dan menginduksi pembungaan

pada tanaman hari pendek (Sponsel 1995).

Giberelin terdapat pada berbagai organ dan jaringan tanaman seperti akar,

tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan halus. Giberelin

berpengaruh terhadap pertambahan panjang batang, memperbesar luas daun dari

berbagai jenis tanaman serta bunga dan buah. Giberelin memacu pemanjangan sel,

pertumbuhan serta pembesaran sel. Hormon ini meningkatkan hidrolisi pati dan

fruktan menjadi fruktosa dan glukosa. Heksosa-heksosa hasil dari hidraksi pati

tersebut merupakan sumber energi terutama untuk pembentukan sel dan

menyebabkan potensial air menjadi rendah yang menyebabkan penurunan

potensial air kemudian air dari luar sel mudah berdifusi masuk ke dalam sel,

sehingga sel dapat membesar. Pembesaran sel yang disebabkan oleh GA3 dapat

mencapai 15 kali lebih besar dari sel yang tidak diberi perlakuan GA3 (Davies

1995).

Pada beberapa jenis tanaman tertentu menghasilkan GA3 yang berbeda.

Pada kondisi tertentu tanaman menghasilkan GA3 endogen yang berlebih.

Sementara pada kondisi lainnya tanaman menghasilkan GA3 dalam jumlah yang

rendah. Tidak semua GA3 yang terdapat pada tanaman aktif. Oleh karena itu,

pemberian GA3 pada tanaman harus disesuaikan dengan waktu yang diinginkan

oleh tanaman. Pemberian GA3 pada saat kandungan GA3 eksogen rendah akan

(41)

   

untuk merangsang (Wattimena 1988). Menurut Annis et al (1992), pada tanaman

Craspedia globosa pemberian GA3 dengan penyemprotan pada konsentrasi 0 dan 500 mg/l merangsang pembungaan. Namun pemberian GA3 pada tanaman ini

tidak meningkatkan produksi bunga, meningkatkan tinggi tanaman dan

pemanjangan batang.

Menurut Chaari-Rkhis et al (2006) pemberian GA3 10 mg/l dapat

menginduksi pembungaan tanaman zaitun (Olive). Pertumbuhan dan pembungaan

philodendron dapat meningkat dengan pemberian konsentrasi GA3 125 mg/l

hingga 1.000 mg/l (Chen et al. 2003). Yursak (2003) dalam penelitiannya

menyatakan hal yang sama bahwa pemberian GA3 selain meningkatkan

pertumbuhan tinggi dan jumlah ruas batang juga merangsang pembungaan lily.

Selain itu, Wuryaningsih dan Sutater (1993) melaporkan bahwa pemberian 230

ppm GA3 sebanyak tiga kali pada tanaman krisan meningkatkan tinggi tanaman

sampai dengan minggu ke 12 dan produksi bunga dan panjang tangkai lebih dari

60 cm serta kesegaran bunga 5 hari.

Auksin

Auksin merupakan hormon pertama yang ditemukan dalam tanaman dan

merupakan penanda utama yang mengontrol perkembangan tanaman. Bentuk

alami auksin umumnya adalah IAA (indole -3-acetic acid). Auksin mengatur

pertumbuhan dan gerak tropisme, selain itu berperan dalam dominasi apikal,

inisiasi akar lateral, absisi daun, diverensiasi vascular, pembentukan tunas bunga

dan perkembangan buah (Taiz dan Zeiger 2002).

Istilah auksin digunakan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki

fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang.

Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA

(indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya merupakan auksin

sintetik, misalnya NAA (napthalene acetic acid), 2,4 D (2,4

(42)

Auksin berperan penting dalam meningkatkan pembelahan dan

pembesaran sel. Pembelahan dan pembesaran sel mengakibatkan buah aktif

tumbuh dan membesar, akibatnya buah yang terbentuk akan memiliki sink

strength yang tingi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi kemampuan buah untuk memmobilisasi asimilat kebuah tersebut. Dengan

demikian buah akan tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum.

Buah yang rontok memiliki kandungan auksin yang rendah sehingga sink

strength-nya rendah. Tingkat ketersediaan asimilat yang lebih tinggi selama perkembangan buah sangat diperlukan untuk memperoleh retensi buah yang

tinggi (Taiz & Zeiger 2002).

Menurut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa NAA bekerja

lebih efektif daripada IAA, tampaknya NAA tidak dirusak oleh IAA oksidase atau

enzim lain sehingga bisa bertahan lebih lama. Auksin berperan penting dalam

perkembangan bunga dan auksin adalah kunci regulasi dalam penyusun sel pada

primordia bunga. Auksin dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu atau

menghambat pembungaan tanaman (Weaver 1997). Penghambatan pembentukan

bunga akibat penggunaan auksin disebabkan oleh produksi etilen yang dirangsang

oleh auksin tersebut. Penghambatan pembungaan tanaman merupakan salah satu

pengaruh mekanisme alami etilen (Metzger 1987).

Peranan auksin selain berpengaruh terhadap perkembangan bunga, auksin

juga dapat menghambat gugur bunga dan buah, karena auksin merangsang

aktivitas fotosintesis melalui peningkatan pembukaan stomata, fosforilasi dan

fiksasi CO2. Dengan meningkatnya aktivitas fotosintesis akan meningkatkan

suplai asimilat, sehingga buah akan tumbuh dan berkembang dengan baik

(Bangerth 2000). Secara fisiologis gugur buah berkorelasi dengan suplai

terbatasnya fotosintat (Marshner 1986). Rendahnya asimilat yang diterima buah

dapat menginduksi terjadinya kerontokan buah (Stopar et al. 2001). Konsentrasi

auksin yang cukup akan menjaga zona absisi tidak peka terhadap etilen. Kepekan

zona absisi terhadap etilen disebabkan karena kandungan auksin yang rendah,

ditandai dengan meningkatnya aktivitas enzim hidrolitik. Peningkatan aktivitas

enzim hidrolitik menyebabkan kerusakan dinding sel pada zona absisi dan

(43)

   

Menurut Aneja dan Gianfagna (1999) asam absisat dan etilen

mempercepat proses absisi bunga cacao, proses tersebut dapat dicegah dengan

pemberian NAA pada saat bunga mekar penuh. pemberian hormon tumbuh seperti

GA3 dan auksin sintetis dapat memperkuat sink strength, sehingga buah lebih kuat

menarik fotosintat, dengan demikian buah dapat tumbuh dan berkembang

mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Aplikasi auksin sintetis

pada tanaman leci dapat mengurangi gugur buah (Stern & Gazit 1997).

Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh

Tanaman secara alamiah mengandung hormon pertumbuhan yang

disebut hormon endogen. Namun, hormon ini kurang optimum mempengaruhi

proses pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman. Penambahan Zat Pengatur

Tumbuh (ZPT) secara eksogen sering kali dilakukan untuk mengoptimalkan

pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman misalnya giberelin yang mampu

mempercepat pertumbuhan dan pembungaan, serta menggantikan suhu rendah

dalam menginisiasi pembungaaan (Gardner et al. 1991).

Giberelin atau GA3 adalah salah satu ZPT tanaman golongan terpenoid,

yang berperan tidak hanya memacu pemanjangan batang, tetapi juga dalam proses

pengaturan perkembangan tanaman. Haryantini (2000) dan Budiarto (2007)

menyatakan bahwa salah satu jenis GA3 yang bersifat stabil dan mampu memacu

pertumbuhan dan pembungaan tanaman (meningkatkan pembungaan dan

memperkecil kerontokan bunga), selain itu GA3 mampu meningkatkan aktivitas

pertumbuhan tanaman dalam hal pemanjangan batang, dan jumlah biji.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhriyah (2004), GA3 pada

konsentrasi 200 ppm mampu meningkatkan pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah

daun, dan luas daun) dan perkembangan (masa primordia bunga, masa panen,

diameter bunga, dan panjang tangkai bunga) tanaman krisan. Frekuensi

penyemprotan berdasarkan umur tanaman juga mempengaruhi jumlah cadangan

makanan yang nantinya akan menentukan kesiapan tanaman untuk berbunga.

Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga

(44)

1. Comercial Powder Preparations (Pasta) 2. Dilute Solution Soaking Method (Perendaman)

3. Concentrated Solution Dip Method (Pencelupan cepat)

Perendaman umbi kentang selama 30 menit dalam larutan GA3

meningkatkan tinggi tunas (Mandang 2003). Hal ini disebabkan giberelin

meningkatkan pembelahan dan pemanjangan sel yang selanjutnya meningkatkan

jumlah sel dan panjang sel (Taiz & Zeiger 1991). Giberelin berperan pada

enzim-enzim yang melemahkan dinding-dinding sel dan mendorong enzim-enzim-enzim-enzim

proteolitik yang diduga melepaskan triptotan yang merupakan prekursor auksin.

Peningkatan kandungan auksin selanjutnya akan menghambat proses absisi bunga

karena bila kadar auksin rendah maka bunga akan cepat menua dan akan

terbentuk zona absisi bunga sehingga menyebabkan bunga akan gugur sebelum

waktunya (Taiz & Zeiger 1991). Pemanjangan sel dapat terjadi karena hidrolisis

pati yang dikatalisis enzim α-amilase yang didorong giberelin. Akibatnya terjadi

peningkatan gula yang akan meningkatkan tekanan osmotik cairan sel dan

mengakibatkan air masuk serta cenderung menyebabkan pembesaran sel (Weaver

1972).

Perendaman umbi bibit bawang merah dalam larutan GA3 dapat

merangsang pembungaaan. GA3 mampu mempercepat pembungaan tanaman

melalui pengaktifan gen meristem bunga dengan menghasilkan protein yang akan

menginduksi ekspresi gen-gen pembentukan organ bunga (seperti corolla, calix,

stamen, dan pistillum). Giberelin juga mampu meningkatkan perbandingan C/N.

Semakin tinggi perbandingan C/N, tanaman akan mengalami peralihan dari masa

vegetatif ke reproduktif. Hal tersebut menyebabkan waktu inisiasi bunganya lebih

cepat. Harbaugh dan Wilfret (1979) juga melaporkan bahwa perendaman umbi 3

kultivar Caladium hortulanum dalam larutan 250 ppm GA3 selama 8-16 jam

meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi per tanaman. Perlakuan GA3

(100-400 ppm) menyebabkan peningkatan pembungaan Aglaonema commutatum tetapi

tidak dapat mempercepat munculnya bunga (Henny 1983). Perlakuan GA3 400

ppm meningkatkan jumlah bunga yang diproduksi paling banyak dibandingkan

perlakuan lainnya. Aplikasi GA3 konsentrasi 100, 200, dan 400 ppm

(45)

   

sementara tanaman yang tidak diperlakukan tidak berbunga (Henny 1988).

Katsura et al (1989) melaporkan bahwa GA3 berperan penting dalam pembungaan

tanaman Colocasia esculenta.

Perkembangan bunga lebih lanjut akan diatur oleh pemberian auksin

dengan aplikasi penyemprotan sebelum dan sesudah antesis, dimana auksin dalam

bunga akan meningkat dengan pemberian giberelin maupun auksin secara

eksogen. Peningkatan produksi auksin dalam bunga berperan dalam pengangkutan

asimilat dari daun ke bunga. Hal itu diperlukan untuk perkembangan buah dan

biji. Sehubungan dengan itu, maka pemberian GA3 dan auksin selain memacu

produksi auksin dalam bunga, juga dapat menghambat gugur bunga. Apabila

kadar GA3 dan auksin yang diberikan tidak sesuai maka banyak bunga yang akan

gugur dan akhirnya fruitset serta hasil biji akan rendah (Leopold & Kriedemann

1979).

(46)
(47)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan-percobaan pada penelitian ini dilaksanakan dari bulan

Agustus 2011 – Mei 2012. Percobaan dilaksanakan di Dataran Rendah yang

bertempat di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Kecamatan Dramaga

Kabupaten Bogor dengan ketinggian 240 mdpl dan di dataran tinggi pada Kebun

Percobaan Cipanas Balai Penelitian Tanaman Hias dengan ketinggian 1250 mdpl.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang varietas

Bima dengan ukuran 5-7 g, GA3 (0 ppm, 100 ppm, 200 ppm), NAA (0 ppm, 50

ppm, 100 ppm, 200 ppm), 20 t pupuk kandang ayam/ha, NPK Phonska (15-15-15)

dengan dosis 1000 kg/ha. Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, cold

storage, sungkup plastik dan alat pertanian lain.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang dilakukan secara terpisah

yaitu Percobaan I: Peran vernalisasi dan GA3 dalam peningkatan pembungaan dan

produksi biji bawang merah di dataran rendah dan dataran tinggi, Percobaan II:

Peran NAA dalam peningkatan pembungaan dan produksi biji bawang merah di

dataran rendah dan di dataran tinggi.

Percobaan I Peran Vernalisasi dan GA3 dalam Peningkatan Pembungaan

dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan di Dataran Tinggi.

Percobaan I di dataran rendah dilakukan pada bulan Agustus sampai bulan

Desember 2011, sedangkan di dataran tinggi dilakukan pada bulan Desember

hingga Maret 2011. Percobaan I yang dilakukan di dataran rendah dan dataran

tinggi masing-masing menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap.

Percobaan 1 terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah vernalisasi (V) yang

dilakukan selama 30 hari pada umbi bibit yang terdiri dari dua taraf yaitu V0

(tanpa vernalisasi) dan V1 (vernalisasi=10 0C). Faktor kedua adalah aplikasi GA3

(48)

(200 ppm) yang dilakukan setelah vernalisasi dengan cara merendam umbi bibit

dalam larutan GA3 selama 1 jam. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 6

kombinasi perlakuan yang setiap kombinasinya diulang sebanyak 4 kali sehingga

diperoleh 24 satuan percobaan untuk dataran rendah dan 24 satuan percobaan

untuk dataran tinggi. Model linear aditif dari rancangan perlakuan ini adalah

sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ) ij +εijkl

i = 1,2; j = 1,2,3 keterangan :

Yijkl : Respon pada perlakuan vernalisasi ke- i dan GA3 ke-j

μ : Nilai rataan umum

αi : Pengaruh perlakuan vernalisasi ke-i

βj : Pengaruh perlakuan GA3 ke-j

(αβ) ij :Pengaruh kombinasi perlakuan vernalisasi ke-i dan GA3 ke-j

ε

ijkl :Galat interaksi vernalisasi ke-i dan GA3 ke-j

Pada peubah daya berkecambah untuk tanaman bawang merah, percobaan

dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6

perlakuan (V0G0, VOG1, VOG2, V1G0, VIG1, VIG2) yang diulang sebanyak 4

kali sehingga diperoleh 24 satuan percobaan.

Data yang diperoleh diuji menggunakan Uji F dan jika berpengaruh nyata

secara statistik maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple

Range Test) pada taraf 5%.

Percobaan II Peran NAA dalam Peningkatan Pembungaan dan Produksi Biji Bawang Merah di Dataran Rendah dan di Dataran Tinggi.

Percobaan II di dataran rendah dilakukan pada bulan Januari sampai bulan

Maret 2012, sedangkan di dataran tinggi dilakukan pada bulan Februari hingga

Mei 2012. Percobaan II terdiri dari pemberian NAA dengan 4 taraf konsentrasi

yaitu A1 (0 ppm), A2 (50 ppm), A3 (100 ppm), A4 (200 ppm) yang diulang

sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 16 satuan percobaan untuk di dataran rendah

(49)

digunakan divernalisasi terlebih dahulu di dalam cool storage pada suhu 10 0C selama 30 hari. Sebelum penanaman, umbi bibit direndam selama 1 jam di dalam

larutan 200 ppm GA3. Perlakuan yang digunakan di dalam percobaan II diperoleh

dari perlakuan terbaik yang dihasilkan pada percobaan I. Aplikasi NAA diberikan

dua kali dengan cara disemprotkan pada tanaman dengan volume semprot 250 ml

per petak yaitu pada umur tiga minggu dan lima minggu setelah tanam.

Model linear aditif dari rancangan perlakuan ini adalah sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + εijkl

i = 1,2; j = 1,2,3,4 keterangan :

Yijkl : Respon pada perlakuan NAA ke-i dan ulangan ke-j

Μ : Nilai rataan umum

αi : Pengaruh perlakuan NAA ke-i

βj : Pengaruh acak pada perlakuan NAA ke-i dan ulangan ke-j

ε

ijk :Pengaruh galat dari perlakuan NAA ke-i dan ulangan ke-j

Pada peubah daya berkecambah untuk tanaman bawang merah, percobaan

dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4

perlakuan (Au0, Au1, Au2, Au4) yang diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh

16 satuan percobaan.

Data yang diperoleh diuji menggunakan Uji F dan jika berpengaruh nyata

secara statistik maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple

Range Test) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan Bibit

Umbi bibit bawang merah yang digunakan adalah varietas Bima dengan

ukuran 5-7 g yang berumur 2 bulan setelah panen. Sebelum penanaman, umbi

divernalisasi terlebih dahulu dengan suhu 10 0C selama 30 hari didalam cold

storage dan setengahnya lagi disimpan di gudang penyimpanan dengan suhu

kamar. Sebelum penanaman dilakukan, umbi dikeluarkan dari cold storage

(50)

GA3 yang dilarutkan didalam 1 liter air sesuai dengan konsentrasi yang telah

ditentukan, kemudian dikering anginkan selama 1 jam.

Umbi bibit bawang merah ditanam pada petak-petak percobaan berukuran

1 x 2 m dengan jarak tanam 15 x 20 cm (50 tanaman per petak). Semua petak

percobaan diberi naungan plastik transparan yang dipasang pada saat tanaman

sudah berbunga untuk melindungi pembungaan dan pembijian bawang merah dari

curah hujan. Pada percobaan kedua, semua bibit bawang merah di vernalisasi

terlebih dahulu di dalam cool storage selama 30 hari pada suhu 10 0C. Sebelum

penanaman, umbi bibit bawang merah direndam didalam larutan GA3 dengan

konsentrasi terbaik yang diperoleh pada percobaan I, aplikasi NAA diberikan

dengan cara penyemprotan pada umur 3 minggu dan 5 minggu setelah tanam

dengan volume semprot 250 ml per petak pada bunga bawang merah.

Pemupukan dasar dilakukan pada saat tanam (preplant), sedangkan

pemupukan susulan dilakukan pada umur 14 hari dan umur 35 hari setelah tanam.

Pemupukan dilakukan dengan cara dibenamkan ke dalam larikan yang dibuat

disamping barisan tanaman. Pengairan diberikan melalui penyiraman

menggunakan gembor. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari

kecuali pada saat hari hujan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman

tanaman, penyiangan apabila terdapat gulma, pembumbunan, serta pengendalian

hama penyakit jika diperlukan (jika terdapat serangan yang mengganggu dan

melebihi ambang batas) dapat dilakukan secara mekanik dan menggunakan

insektisida serta fungisida.

Pengamatan

Pengamatan mulai dilakukan 10 hari setelah tanam. Tanaman contoh

setiap satuan percobaan ditentukan 10 secara acak dari 50 sampel tanaman.

Peubah yang diamati meliputi:

1. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dengan cara mengukur

daun atau tajuk tertinggi pada tanaman dari atas permukaan tanah

menggunakan alat bantu penggaris. Pengamatan dilakukan 10 HST – 31

(51)

2. Jumlah daun (helai). Jumlah daun dihitung pada daun yang telah terbentuk sempurna per individu tanaman. Pengamatan dilakukan 10

HST – 31 HST.

3. Panjang tangkai bunga (cm). Panjang tangkai bunga diukur dari

permukaan tanah sampai dengan dasar dari rangkaian bunga

(inflorescence).

4. Jumlah anakan (umbi). Jumlah anakan yang terbentuk per tiap lubang

tanam/ per tanaman dihitung setelah panen.

5. Waktu muncul kuncup bunga (HST). Waktu muncul kuncup bunga

dihitung dengan cara menghitung jumlah hari sejak saat tanam sampai

dengan kuncup bunga pertama yang muncul.

6. Waktu bunga mekar (HST). Waktu bunga mekar dihitung dengan cara

menghitung jumlah hari setelah kuncup bunga muncul hingga bunga

mekar secara keseluruhan di dalam satu umbel.

7. Jumlah bunga per umbel. Jumlah bunga per umbel dihitung dengan

menghitung jumlah bunga yang terbentuk per umbelnya.

8. Persentase pembentukan buah (%). Persentase bunga menjadi buah

dihitung dengan cara jumlah buah per umbel dibagi jumlah bunga per

umbel x 100%.

9. Jumlah bunga per petak.Jumlah bunga per petak dihitung dengan cara

jumlah bunga per umbel x jumlah bunga per rumpun.

10. Persentase tanaman berbunga (%). Persentase tanaman berbunga

dihitung dengan cara menghitung jumlah rumpun tanaman yang

menghasilkan bunga pada tiap tanaman sampel.

11. Waktu panen biji. Waktu panen dihitung sejak penanaman hingga panen.

Panen dilakukan pada saat buah/kapsul berwarna kehitaman dan

dilakukan dengan cara memotong tangkai umbel.

12. Jumlah umbel per rumpun. Jumlah umbel per tanaman dihitung dengan

cara menghitung jumlah umbel bunga yang terbentuk setiap rumpunnya.

13. Jumlah umbel per petak (buah). Jumlah umbel per petak dihitung dengan

cara mengitung jumlah umbel yang dihasilkan didalam satu petak

(52)

14. Bobot umbel per rumpun (g). Bobot umbel per rumpun dihitung dengan cara menimbang umbel yang dihasilkan oleh tiap rumpunnya.

15. Bobot umbel per petak (g). Bobot umbel per tanaman dan per petak

dihitung dengan cara menimbang umbel yang dihasilkan oleh tiap

tanaman.

16. Bobot biji per umbel (g). Bobot biji per umbel dihitung dengan cara

menimbang bobot biji per rumpun dibagi dengan jumlah umbel per

rumpun yang dihasilkan.

17. Bobot biji per rumpun (g). Bobot biji per rumpun dihitung dengan cara

menimbang biji bawang merah pada tiap rumpun yang dihasilkan.

18. Bobot biji per petak (g). Bobot biji per rumpun dihitung dengan cara

menimbang biji bawang merah yang dihasilkan tiap petak perlakuan.

19. Daya kecambah biji (%). Daya kecambah biji dihitung dengan cara

menghitung jumlah biji yang berkecambah setiap 100 biji dengan metoda

Uji Diatas Kertas. Daya berkecambah benih dihitung berdasarkan

persentae kecmbah normal (KN) pada hitungan I dan hitungan ke II.

Daya kecambah dihitung dengan rumus:

DB= ∑ KN hitung I + KN hitung II x 100%

(53)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

Lokasi penelitian pada percobaan I di Dramaga adalah lahan bekas

pertanaman padi. Pada awal pertumbuhan, secara visual pertumbuhan tanaman

bawang merah terlihat cukup baik. Kematian umbi pada awal pertanaman

disebabkan oleh penyakit busuk umbi (Botrytis alli). Penyakit ini menyebabkan

umbi membusuk pada bagian pangkal dan ujung, sehingga umbi yang terserang

tidak dapat tumbuh. Penyakit lain yang teramati adalah penyakit moler (twisting

desease). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Penyakit moler

tergolong penyakit yang terbawa umbi (seed born) dan terbawa tanah (soil born).

Ciri yang terlihat pada tanaman bawang merah adalah daun yang menguning serta

mudah ditarik bila dicabut karena pertumbuhan akar yang tidak sempurna dan

daun membusuk. Tanaman yang terserang daunnya akan mengalami kematian

dari ujung dengan cepat. Untuk tanaman yang mati, dilakukan penyulaman.

Pengendalian penyakit pada bawang merah menggunakan fungisida Antracol 70

WP. Gulma yang terdapat pada petak percobaan adalah Mimosa pudica, rumput,

dan ciplukan, yang dikendalikan secara manual selama percobaan.

Pada percobaan I dan II yang dilakukan di Cipanas, lahan penanaman yang

digunakan adalah lahan bekas penanaman wortel. Hama yang menyerang antara

lain adalah ulat grayak (Spodoptera exigua). Serangan hama ulat bawang mulai

terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah daun pada tanaman bawang dengan

indikasi serangan yaitu adanya lubang pada daun, terdapatnya telur ulat dan ulat

pada batang daun, daun yang terserang menjadi transparan serta akan terlihat

bercak-bercak putih, hingga akhirnya daun menjadi terkulai. Pengendalian yang

dilakukan adalah mengambil dan memusnahkan telur maupun ulat dewasa yang

terdapat pada tanaman bawang merah selama masa tanam. Seiring dengan

bertambahnya serangan, maka pengendalian dilakukan dengan cara menyemprot

tanaman dengan insektisida (Confidor 5 WP).

Menurut Rabinowitch dan Brewster (1990), inisiasi pembungaan terjadi

pada suhu rendah antara 9-12 0C, sedangkan untuk pembuahan dan pementukan

(54)

100-200 mm/bulan. Suhu rata-rata di Dramaga berkisar 25 – 26 0C, curah hujan

105-457 mm/bulan, jumlah hari hujan 7-28 hari/bulan dan kelembaban nisbi udara

73-87% (Lampiran 1). Suhu rata-rata di Cipanas mencapai 20 – 21 0C, curah hujan

204-479 mm/bulan, hari hujan 16-29 hari/bulan dan kelembaban nisbi udara

80-87%. Hasil pengamatan meliputi pertumbuhan fase vegetatif dan fase generatif.

Hasil

Percobaan I. Peran vernalisasi dan GA3 terhadap peningkatan pembungaan

dan produksi biji bawang merah di Dramaga dan Cipanas.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa vernalisasi meningkatkan persentase

tanaman berbunga (Tabel 1). Perlakuan vernalisasi yang diberikan pada umbi

bibit bawang merah menghasilkan 100% tanaman berbunga baik di Dramaga

maupun di Cipanas. Umbi bibit yang tidak diberi vernalisasi hanya menghasilkan

pembungaan sebesar 9.17% di Dramaga, namun jika penanaman dilakukan di

Cipanas, umbi bibit yang tidak divernalisasi menghasilkan pembungaan yang

cukup tinggi yaitu sebesar 80%.

Perlakuan 200 ppm GA3 meningkatkan persentase tanaman berbunga di

Dramaga menghasilkan 60% tanaman berbunga dan lebih tinggi jika

dibandingkan dengan perlakuan lain, namun pemberian GA3 memberikan

persentase tanaman berbunga yang masih rendah jika dibandingkan dengan

perlakuan vernalisasi saja. Nampaknya perlakuan GA3 yang diberikan secara

tunggal belum bisa menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan persentase

tanaman yang berbunga. Pada percobaan di Cipanas, perlakuan 100-200 ppm GA3

menghasilkan 100% tanaman yang berbunga. Umbi bibit yang tidak diberi

perlakuan GA3 menghasilkan pembungaan yang cukup tinggi yaitu sekitar 82%.

Hal ini menunjukkan bahwa secara alami bawang merah dapat berbunga tanpa

perlakuan vernalisasi maupun GA3 jika penanaman dilakukan di dataran tinggi.

Terdapat pengaruh interaksi perlakuan vernalisasi dan GA3 terhadap

pesentase tanaman berbunga baik di Dramaga maupun di Cipanas (Tabel 1).

Kombinasi perlakuan vernalisasi dan 100-200 ppm GA3 menghasilkan 100%

(55)

 

Tabel 1 Pengaruh Vernalisasi dan GA3 terhadap persentase tanaman bunga (%), waktu muncul kuncup bunga (HST), waktu bunga mekar (HST), wktu panen biji (HST)

Perlakuan

Persentase tanaman Waktu muncul Waktu bunga Waktu panen

berbunga (%) kuncup bunga (HST) mekar (HST) biji (HST)

Dramaga Cipanas Dramaga Cipanas Dramaga Cipanas Dramaga Cipanas

Tanpa vernalisasi 9.17 b 88.33 b 25.54 b 22.41 a 55.27 a 52.89 a 109.00 a 103.81 a

Vernalisasi (t=10 0C) 100.00 a 100.00 a 15.21 a 15.32 b 47.94 b 46.86 b 105.00 b 100.29 b

0 ppm GA3 51.25 b 82.50 b 21.34 a 23.14 a 54.41 a 53.75 a 106.00 104.14 a

100 ppm GA3 52.50 b 100.00 a 19.66 b 17.03 b 51.07 a 48.80 b 106.29 101.11 b

200 ppm GA3 60.00 a 100.00 a 15.62 c 16.43 b 46.93 b 47.08 b 106.67 100.87 b

Tanpa vernalisasi+0 ppm GA3 2.50 c 65.00 b 35.00 a 29.72 a 63.00 59.86 a 110.00 107.44 a

Tanpa vernalisasi+100 ppm GA3 5.00 c 100.00 a 33.00 b 18.95 b 58.50 51.17 b 110.00 101.57 b

Tanpa vernalisasi+200 ppm GA3 20.00 b 100.00 a 17.42 c 18.55 b 50.56 47.65 c 108.00 102.43 b

Vernalisasi+0 ppm GA3 100.00 a 100.00 a 15.83 d 16.55 bc 52.26 47.65 c 105.00 100.85 b

Vernalisasi+100 ppm GA3 100.00 a 100.00 a 15.51 d 15.10 c 47.36 46.53 c 105.00 100.17 b

Vernalisasi+200 ppm GA3 100.00 a 100.00 a 14.27 d 14.30 c 44.20 46.43 c 105.00 99.85 b

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji jarak berganda dari (DMRT) 5%.

(56)

vernalisasi tanpa GA3. Tanaman yang diberi perlakuan 200 ppm GA3 tanpa

vernalisasi bisa menghasilkan bunga, namun hasilnya masih sangat rendah yaitu

hanya 20%, sehingga untuk menghasilkan persentase tanaman yang berbunga

cukup diberi perlakuan verrnalisasi saja pada umbi bibitnya. Penanaman yang

dilakukan di Cipanas menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan

100-200 ppm GA3 tanpa vernalisasi menghasilkan pembungaan bawang merah sebesar

100%. Hasil ini tidak berbeda dengan tanaman yang diberi perlakuan vernalisasi

serta vernalisasi yang dikombinasikan dengan perlakuan GA3 .

Perlakuan vernalisasi dan GA3 mempercepat munculnya kuncup bunga,

waktu bunga mekar serta panen biji bawang merah jika dibandingkan dengan

perlakuan tanpa vernalisasi maupun tanpa GA3 baik di Dramaga maupun di

Cipanas (Tabel 1). Terdapat interaksi antara vernalisasi dan GA3 dimana

kombinasi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3 di Dramaga mempercepat

munculnya kuncup bunga 21 hari, waktu bunga mekar 17 hari serta waktu panen

biji 5 hari lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol. Penanaman di Cipanas

menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan vernalisasi dan 200 ppm GA3

mempercepat munculnya kuncup bunga 15 hari, waktu bunga mekar 13 hari serta

waktu panen biji 8 hari lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi GA3 yang diberikan semakin

cepat waktu muncul kuncup bunga, waktu bunga mekar serta waktu panen biji

bawang merah.

Tidak terdapat interaksi antara perlakuan vernalisasi dan GA3 terhadap

waktu panen biji bawang merah. Hal ini disebabkan waktu menjelang panen

berlangsung hujan yang cukup tinggi, sehingga pemanenan dilakukan hampir

secara bersamaan karena dikhawatirkan dapat menurunkan produksi biji bawang

merah.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi dan GA3

meningkatkan jumlah umbel per rumpun di Dramaga dan Cipanas (Tabel 2).

Perlakuan vernalisasi menghasilkan rata-rata 1 umbel per rumpun di Dramaga dan

2 umbel per rumpun di Cipanas. Perlakuan 200 ppm GA3menghasilkan rata-rata 1

umbel per rumpun di Dramaga sedangkan di Cipanas perlakuan 100-200 ppm

Gambar

Tabel 1 Pengaruh Vernalisasi dan GA3 terhadap persentase tanaman bunga (%), waktu muncul kuncup bunga (HST), waktu bunga mekar
Tabel 2 Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah umbel per rumpun dan jumlah umbel per m2
Tabel 3 Pengaruh Vernalisasi dan GA3 terhadap persentase jumlah bunga per umbel, jumlah bunga per m2, dan persentase pembentukan
Tabel 4 Pengaruh vernalisasi dan GA3 terhadap jumlah bobot umbel per rumpun (g), bobot umbel per m2 (g), bobot biji per umbel (g) dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diantara peranan program ini ialah ia dapat merangsang perkembangan peribadi dan profesionalisme, berkongsi strategi yang berkesan dalam proses pengajaran,

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081,

Model Pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah Berbasis Komoditas Batik Banyumas Dalam Upaya Mendorong Pengembangan Ekonomi Lokal. 45 UNIVERSITAS JENDERAL

Alamat Tinggal (lengkap). Map Merah Map Kuning Map

Sistem mulai bekerja pada saat komputer mengirimkan arus listrik ke Arduino. Kemudian Arduino akan meneruskan arus listrik untuk mengaktifkan sensor PIR. Sensor PIR akan

Lampiran 5b : Hasil SPSS Deskripsi Frekuensi Variabel Kedekatan Hubungan-Tabel frekuensi. Lampiran 6 : Hasil SPSS Deskripsi Frekuensi

Media Laboratorium Kimia Realitas Virtual dalam pembelajaran hibrid dapat membantu meningkatkan pengaturan diri dan hasil belajar kognitif peserta didik pada materi Redoks,

Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya [8] yang menyimpulkan bahwa penyebab pemahaman konsep siswa yang rendah yaitu siswa sulit