• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dyan Riza Indah Tami Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir: Palembang / 3 Agustus 1994 Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dr. Sumarsono No. 18 Kompleks USU, Medan Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1. TK YPPI Tualang Perawang, Riau (1999 – 2000) 2. SD YPPI Tualang Perawang, Riau (2000 – 2006) 3. SMP YPPI Tualang Perawang, Riau (2006 – 2009) 4. SMA Plus Negeri 17 Palembang (2009 – 2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012 – sekarang) Riwayat Organisasi :

1. Purna Paskibraka Indonesia tahun 2010

2. Anggota Divisi Pembinaan PHBI FK USU tahun 2014

3. Sekretaris Departemen Kerohanian Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FK USU Periode 2014

4. Anggota Bidang Medical Education and Profession Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) Wilayah 1

5. Kepala Departemen Pendidikan dan Profesi Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FK USU Periode 2015

(2)

Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN

Dengan hormat,

Saya, Dyan Riza Indah Tami, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Saat ini, saya sedang menjalankan penelitian dengan judul “Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-Rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara”. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat kelulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap peningkatan kadar pH hidung

pada pedagang kaki lima yang berjuanalan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan melakukan cuci hidung

menggunakan NaCl 0,9% setiap hari selama 4 minggu. Untuk keperluan tersebut, saya memohon kesediaan Saudara untuk menjadi responden. Jika Saudara bersedia, Saudara saya persilahkan menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawan Saudara. Identitas pribadi Saudara sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Saudara dapat bertanya langsung pada saya atau dapat menghubungi saya di nomor 08999323326.

Atas perhatian dan kesediaan Saudara menjadi partisipan dalam penelitian ini, saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

(3)

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :

Umur :

Alamat :

telah benar-benar paham atas penjelasan yang disampaikan oleh peneliti mengenai penelitian ini yang berjudul “Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-Rata Kadar pH Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara”.

Oleh karena itu, saya menyatakan BERSEDIA menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Demikianlah persetujuan ini saya sampaikan dengan sukarela dan tanpa

ada paksaan dari pihak manapun.

Hormat Saya,

(4)
(5)

Lampiran 5

Data Induk Hasil Penelitian

No. Responden Usia Paparan per hari pH pre pH post

1. SMN 37 600 5.20 5.40

2. SPR 40 660 5.90 6.00

3. RMN 32 540 6.90 7.00

4. AND 33 840 5.20 5.30

5. KHR 43 540 4.50 4.40

6. AGS 35 540 6.60 6.80

7. MWN 40 660 4.40 4.50

8. YNT 42 720 6.50 6.60

9. DN 32 600 6.50 6.30

10. ATN 35 480 7.10 7.20

11. PRMN 40 720 5.20 5.40

12. RDT 35 720 6.60 6.60

13. BDM 35 540 6.70 6.80

14. MSN 43 660 4.50 4.60

15. SPN 38 600 4.90 4.80

16. DW 23 540 6.20 6.20

17. ANI 42 720 6.90 7.00

18. ABD 40 600 4.70 4.80

19. ANI 33 660 6.90 7.00

20. SHR 56 540 6.70 6.80

21. SLR 54 600 7.20 7.40

22. DF 36 660 6.00 5.90

23. ZHR 54 720 6.60 6.70

24. IDH 35 840 4.90 5.00

25. DFI 23 720 5.30 5.40

26. SPR 57 600 7.20 7.40

27. SS 60 660 4.80 4.70

28. WR 20 480 6.70 6.80

29. RN 20 540 6.50 6.60

30. MBI 21 600 6.90 7.00

31. TT 31 540 5.20 5.40

32. AF 45 480 6.50 6.70

33. NB 50 660 4.80 4.90

(6)

Lampiran 6

Hasil Analisis Data Penelitian

DISTRIBUSI FREKUENSI

Statistics

Usia Rata-rata paparan per hari Lama bekerja

N Valid 34 34 34

Missing 0 0 0

Karakteristik Usia

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

20 - 29 Tahun 5 14.7 14.7 14.7

30 - 39 Tahun 13 38.2 38.2 52.9

40 - 49 Tahun 10 29.4 29.4 82.4

> 50 Tahun 6 17.6 17.6 100.0

Total 34 100.0 100.0

Karakteristik rata-rata paparan debu dalam satu hari

Rata-rata paparan per hari

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 - 480 Menit 3 8.8 8.8 8.8

481 - 600 Menit 16 47.1 47.1 55.9

> 600 Menit 15 44.1 44.1 100.0

(7)

Descriptives

Statistic Std. Error

pHpre

Mean 5.9235 .16221

95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 5.5935 Upper Bound 6.2535

5% Trimmed Mean 5.9350

Median 6.3500

Variance .895

Std. Deviation .94582

Minimum 4.40

Maximum 7.20

Range 2.80

Interquartile Range 1.80

Skewness -.269 .403

Kurtosis -1.579 .788

pHpost

Mean 6.0059 .16632

95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 5.6675 Upper Bound 6.3443

5% Trimmed Mean 6.0154

Median 6.2500

Variance .941

Std. Deviation .96983

Minimum 4.40

Maximum 7.40

Range 3.00

Interquartile Range 1.83

Skewness -.249 .403

Kurtosis -1.478 .788

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

pHpre .229 34 .000 .879 34 .001

pHpost .201 34 .001 .902 34 .005

(8)

Npar Test

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

pHpre 34 5.9235 .94582 4.40 7.20

pHpost 34 6.0059 .96983 4.40 7.40

Wilcoxon Signed Rank Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

pHpost - pHpre

Negative Ranks 5a 15.70 78.50

Positive Ranks 27b 16.65 449.50

Ties 2c

Total 34

a. pHpost < pHpre b. pHpost > pHpre c. pHpost = pHpre

Test Statisticsa

pHpost - pHpre

Z -3.665b

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., & Higler, P.A., 1997. Hidung dan Sinus Paranasalis.Boies Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: EGC, 173-189.

Agusnar H. 2008. Analisa Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan. Medan: USU Press.

Am fam physician, 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions, NIH Public Access, 80(10), 1117-1119.

Ballenger JJ, 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal dalam Peyakit Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 2 Edisi 13, Bina Rupa Aksara. Jakarta. Hal. 1-25.

Beule, A.G., 2010. Physiology and Pathophysiology of Respiratory Mucosa of The Nose and The Paranasal Sinuses. Current Topics in Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 9, 1-4. Available from: http://www.egms.de/en/journals/cto/2011-9/cto000071.shtml [Accesed 29 Maret 2015].

Dahlan, Sopiyudin. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 70-71.

Darsika, D.Y et al. 2009. Faktor-faktor Risiko Rinitis Akibat Kerja oleh Pajanan Polusi Udara pada Polisi Lalu Lintas.Hal: 1-9. Available from: http://www.perhati-kl.or.id/v1/wp-content/uploads/2011/11/Faktor-Polusi-dr.pdf [Accesed 29 Maret 2015].

(10)

Gaga M, Vignola AM, Chanez P. 2001. Upper and lower airways: similarities and differences. Eur Respir Mon 18:1–15.

Hernandez, J.G., 2007. Nasal Saline Irrigation for Sinosal Disorders, Philippine Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 22, 37-39 Available

from:

http://apamedcentral.org/Synapse/Data/PDFData/0011PJOHNS/pjohns-22-37.pdf. [Accesed 20 April 2015].

Jin Lee, Ho et al. 2009. The Study of pH in Nasal Secretion in Normal and Chronic Rhinosinusitis.Department of Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery, College of Medicine, Konyang University, Daejeon, Korea.

Jorissen, M., Willems, T., & Boeck, K.D., 2000. Diagnostic Evaluation of Mucociliary Transport: From Symptoms to Coordinated Ciliary Activity after Ciliogenesis in Culture. American Journal Rhinology, 14, 345-52.

Manual for Collection and Processing of Mucosal Specimens, University of

Alabama at Birmingham.Available from

https://www.aidsreagent.org/support_docs/manual.pdf [Accesed 25 Maret 2015].

Mukhtar, Zulfikri. 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran. Medan: USU Press. Hal: 47-61.

Mukono H.J., 2005. Toxicology Lingkungan. Surabaya: Airlangga University

Press.

(11)

Mygind N. 1981. Nasal Allergy.Dalam Suryadi. 2012. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis Kronik pada Pengobatan Gurah. Available from core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

Nasal Irrigation Instructions, University of Wisconsin Department of Family

Medicine. Available from:

https://www.fammed.wisc.edu/sites/default/files//webfmuploads/documents/r esearch/nasalirrigationinstructions.pdf [Accesed 20 April 2015].

Notoatmodjo, Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Papsin, B., dan McTavish, A., 2003.Saline Nasal Irrigation.Canadian Family

Physician, 49, 168-173. Available from:

http://www.cfp.ca/content/49/2/168.full.pdf. [Accesed 25 Maret 2015].

Parnia S, Brown JL, Frew AJ. 2002. The Role of Pollutants in Allergic Sensitization and The Development of Asthma. Dalam Suryadi. 2012. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis

Kronik pada Pengobatan Gurah. Available from

core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

Passali D, Damiani V., Passali FM, Passali GC, Bellusi L. Atomized Nasal Douche vs Nasal Lavage in Acute Viral Rhinitis. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery. 2005; 131 (9): 788-790.

(12)

Rabago, D. & Zgierska, A., 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions, American Family Physician, 80, 117-119

Sakakura, Y.,1997. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease. Dalam: Bunnag, C. & Muntarbhorn, K., ed. Asean Rhinological Practice. Bangkok: Siriyot Co, 137-43

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2014.Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.Edisi

ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

Shusterman, D., 2003. Toxicology of Nasal Irritans, Curr Allergy Asthma Rep. Dalam Suryadi. 2012. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis Kronik pada Pengobatan Gurah. Available from core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

Snell, R.S., 2008. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah Serta Struktur yang Terkait.Anatomi Klinis. Jakarta: EGC, 35-42

Soetjipto D. Mangunkusumo E. 2001. Sinus Paranasal dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Jakarta. Hal. 115-119

Steven M. 2000. Anatomy of the Nose and Sinuses. Dalam Suryadi. 2012. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis

Kronik pada Pengobatan Gurah. Available from

core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

(13)

pada Pengobatan Gurah. Available from core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

Walsh, W.E. & Kern, R.C, 2006.Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation.Dalam: Bailey, B.J., Johnson, J.T., & Newlands, S.D, ed. Head & Neck Surgery Otolaryngology 4th Edition. Philadelphia : Lippincot Williams

&Wilkins, 314-319.

Weir N, Golding – Wood DG. 1997. Scott-Brown Otolaryngology (Rhinologi). Dalam Suryadi. 2012. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis Kronik pada Pengobatan Gurah. Available from core.ac.uk/download/pdf/11736096.pdf

(14)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Gambar 3.1 Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Cuci Hidung

dengan NaCl 0,9%

Perubahan kadar pH hidung Polusi Udara

Perubahan Komposisi Sekret dan pH

Kerusakan epitel dan silia

Polutan yang tertangkap oleh palut lendir menembus mukosa

Menumpuk / Obstruksi

Membersihkan polutan dengan cairan fisiologis

NaCl 0,9%

Sinusitis Kronik

(15)

3.3 Definisi Operasional 3.3.1. pH Hidung

pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. pH normal dalam rongga hidung yang dapat mempertahan frekuensi denyut silia adalah 7-9.

3.3.2. Cuci Hidung

Cuci hidung adalah terapi adjuvan untuk kondisi-kondisi saluran

pernafasan bagian atas dengan cara mencuci daerah cavum nasi dengan semprotan atau cairan.

3.4 Variabel Penelitian

No Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1. Cuci hidung

NaCl 0,9% dan spuit 15cc

Ada / tidak ada melakukan cuci hidung

Nominal

2. Kadar Ph pH meter Skala ph normal, skala asam, skala basa

Numerik

3.5 Hipotesis

(16)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat pra-eksperimental denganone group pretest-posttest design (Notoatmojo, 2010). Tujuannya adalah untuk melihat peningkatan kadar pH setelah dilakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9%.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan pada bulan September 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara. Proses diagnosis kadar pH hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara. Populasi memiliki intensitas terhadap paparan polutan yang hampir sama saat bekerja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karakteristik individu dalam populasi tidak terlalu berbeda.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi serta tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Kriteria Inklusi

- Pedagang kaki lima yang minimal terpapar polutan 8 jam sehari - Jenis kelamin laki-laki dan perempuan

(17)

- Bersedia menjadi responden penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan.

b. Kriteria Eksklusi - Penderita asma

- Memiliki kelainan kongenital pada hidung - Memiliki riwayat operasi pada hidung

Besar sampel yang ditentukan dengan menggunakan rumus perhitungan

data sampel untuk penelitian analitik kategorik-numerik berpasangan karena data diukur dua kali pada individu yang sama:

n = [(� +� )� � −� ]

Ket:

n = besar sampel minimum � = deviat baku alfa

� = deviat baku beta

S = simpang baku dari selisih nilai antarkelompok � - � = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

Nilai � dan � bergantung pada besarnya kesalahan dan jenis hipotesa

penelitian:

Tabel 4.1. Nilai � dan � berdasarkan besar kesalahan tipe I dan II serta hipotesis penelitian

Kesalahan (%) Zβ dan Zα satu arah Deskriptif Zα dua arah

1 2,326 2,576

5 1,645 1,960

10 1,282 1,645

15 1,036 1,440

20 0,842 1,282

(18)

Kesalahan tipe I adalah kesalahan untuk menolak hipotesis nol dimana seharusnya hipotesis nol di terima. Kesalahan tipe II adalah kesalahan untuk menerima hipotesis nol yang seharusnya ditolak. Dari kesalahan tipe II dapat ditentukan power dari suatu penelitian. Hipotesis nol adalah jawaban sementara pada uji hipotesa yang menyatakan tidak adanya perbedaan atau tidak adanya korelasi (Dahlan, 2013).

Probabilitas untuk melakukan kesalahan Tipe II disebut Beta (β), nilai

kekuatan yang direkomendasikan adalah di atas 0,8 atau 80%. Nilai probabilitas

untuk melakukan kesalahan Tipe I dinamakan dengan level signifikansi yang

disebut alpha (α), nilai yang direkomendasikan adalah 95% (Widhiarso, 2012).

Peneliti menetapkan kesalahan Tipe I sebesar 5%, hipotesa satu arah,

sehingga Zα = 1,64 dan kesalahan Tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka Zβ =

1,28.

Menghindari kejadian adanya subjek yang tidak menyelesaikan penelitian, maka peneliti memasukkan kemungkinan jumlah drop out sebesar 10%. Karena pada penelitian klinis, biasanya drop out sebanyak 5-10% dianggap masih tidak mengganggu hasil penelitian (Sastroasmoro, 2014).

n = [(� +� )� � −� ]

n = [ ,64+ , 8 ]

n = 34,01, dibulatkan menjadi 34 DO 10 % = 3,4, dibulatkan menjadi 4 Jumlah sampel = 34 + 4

= 38 orang

Maka jumlah sampel yang digunakan adalah 38 orang. Sampel di dapat dari

(19)

4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer. Data diperoleh dari pengamatan dan pencatatan hasil pengukuran.

i. Langkah-langkah dalam Penelitian

Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Calon responden diberi penjelasan mengenai penelitian hingga mengerti,

kemudian calon yang setuju untuk mengikuti penelitian diminta untuk mengisi lembar persetujuan (Lampiran 2). Selanjutnya responden diwawancara untuk menentukan apakah responden memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jika responden memiliki kriteria eksklusi maka tidak diikutsertakan dalam penelitian.

b. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pretest yaitu dengan mengukur kadar pH cairan hidungnya pada hari pertama. c. Kemudian responden melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9%

selama 10 hari.

d. Setelah 10 hari, dilakukan posttest yaitu dilakukan kembali pengukuran kadar pH cairan hidung.

e. Semua hasil pengukuran dikumpulkan dan dianalisis.

f. Penelitian dilakukan secara bertahap sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.

ii.Cara Pengambilan Cairan Hidung

Teknik yang digunakan untuk mengambil cairan hidung ini adalah dengan menggunakan teknik nasal wash. Adapun alat dan bahan yang diperlukan serta

teknik pengambilannya adalah sebagai berikut: Alat dan bahan yang digunakan adalah:  Pipet steril 5 ml atau jarum suntik 10 mL  Larutan garam steril

(20)

Teknik pengambilan cairan hidung:

1) Subjek duduk di kursi dengan sandaran dan kepala sedikit menengadah ke

atas. Meminta relawan untuk membuat suara “K-K-K” untuk menutup glottis agar tidak menelan air garam ataupun agar tidak tersedak.

2) Meletakkan dengan pipet plastik steril atau jarum suntik plastik 2,5 mL

saline steril yang telah disimpan di suhu kamar atau sedikit hangat sampai

37oC ke setiap lubang hidung (masing-masing lubanghidung bisa dibilas secara terpisah ). Instruksikan relawan untuk menahan napas dan tidak

menelan, jaga larutan garam dihidung selama 10-30 detik.

3) Memiringkan kepala relawan ke depan , meletakkan sterile specimen

collecting cup di bawah hidung , dan kemudian menghembuskan udara

lewat hidung ke dalam cangkir (University of Alabama at Birmingham,

1999).

iii. Cara Mengukur pH Cairan Hidung

Cara mengukur pH cairan hidung adalah dengan menggunakan micro pH elektroda. Dimana cara pengukurannya adalah sebagai berikut:

1) Setelah cairan hidung dikumpulkan, cairan hidung di centrifuge untuk didapatkan supernatannya

2) Setelah itu supernatannya diperiksa menggunakan micro pH electrode (Jin Lee et al, 2009)

(21)

4.5 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini,akan diolah melalui beberapa tahapan dengan menggunakan proses pengolahan komputer,yaitu:

1. Editing

Dilakukan pengecekan pada hasil pengamatan untuk melihat kelengkapan data identitas responden, dan konsistensi jawaban responden apakah sesuai dengan petunjuk atau tidak.

2. Coding

Mengubah data dari bentuk kalimat menjadi angka untuk mempermudah proses memasukkan data.

3. Entry

Memasukan data yang sudah dilakukan editing dan coding ke dalam program komputer.

4. Cleaning

Melihat kembali data yang sudah dimasukkan unuk mengetahui apakahterdapat kesalahan dalam pemberian kode maupun ketidaklengkapan data.

Proses pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Package for Sosial Science). Data hasil pengukuran dipresentasikan dalam bentuk tabel. Pengujian menggunakan metode komputerisasi.

Sebelumnya dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika dari hasil uji didapat nilai p < 0,05, maka data dikatakan mempunyai distribusi tidak normal. Sebaliknya, bila nilai p > 0,05, maka data mempunyai distribusi normal (Mukhtar, 2011).

Jika data berdistribusi normal, uji hipotesis yang digunakan untuk menganalisis data adalah uji t - berpasangan (t – paired test). Apabila ditemukan

(22)

4.6 Ethical Clearance

(23)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara, Medan, dimana setiap tahunnya Universitas Sumatera Utara menerima 3.968 mahasiswa baru (Universitas Sumatera Utara, 2014).

Dengan begitu, setiap tahunnya kawasan kampus Universitas Sumatera Utara akan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya kadar polusi, terutama polusi udara karena banyaknya kendaraan bermotor.

Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kawasan kampus Universitas Sumatera Utara termasuk ke dalam golongan yang rentan terkena polusi udara. Polusi udara dapat merusak mukosa hidung dan dapat menimbulkan manifestasi klinis yang beberapa diantaranya dapat mengganggu kualitas hidup. Rutin mencuci hidung dengan NaCl 0.9% diharapkan dapat mengurangi masalah yang timbul pada hidung akibat polusi udara tersebut.

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 – 20 September 2015 di kawasan sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Proses penelitian dimulai dari mendata para pedagang kaki lima yang secara menetap berjualan di sekitar kampus USU, pembagian pot untuk menampung sampel pre-test, mengedukasi responden tentang cara pengambilan cairan hidung, pengumpulan pot yang berisi sampel pre-test, mengedukasi responden tentang cara mencuci hidung dengan NaCl 0,9%, pembagian pot untuk menampung sampe post-test, follow-up responden selama 10 hari, dan pengumpulan pot yang berisi sampel post-test.

(24)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan pada 38 responden pedagang kaki lima yang berjualan secara menetap di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara. Karakteristik yang diamati dari responden adalah usia dan lama terpapar debu, dimana 4 diantaranya drop out. Sehingga jumlah sampel sampai akhir penelitian adalah 34 orang.

5.1.2.1.Umur

Karakteristik usia responden terbagi atas empat yaitu 20 – 29 tahun, 30 –

39 tahun, 40 – 49 tahun, dan > 50 tahun. Berdasarkan karakteristik kelompok usia, hasil penelitian mendapatkan kelompok responden yang paling banyak berada pada kelompok usia 30 – 39 tahun, yaitu sebanyak 13 orang (38,2%). Sedangkan kelompok responden yang paling sedikit berada pada kelompok usia 20 – 29 tahun yaitu sebanyak 5 orang (14,7%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur:

Umur (tahun) Frekuensi Persentase

20 – 29 tahun 5 14,7 %

30 – 39 tahun 13 38,2 %

40 – 49 tahun 10 29,4 %

50 - 60 tahun 6 17,6 %

TOTAL 34 100 %

5.1.2.2.Lama Terpapar Debu

Intensitas terpapar debu dapat dilihat dari rata-rata lama paparan debu dalam satu hari.

(25)

rata-rata paparan debunya dalam satu hari adalah >720 menit/hari yaitu sebanyak 2 orang (5,9%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan rata-rata terpapar debu dalam satu hari:

Rata-rata paparan debu (menit/hari)

Frekuensi Persentase

481 – 720 menit/hari 32 94,1 %

>720 menit/hari 2 5,9 %

TOTAL 34 100 %

5.1.3. Hasil Analisis Data

5.1.3.1 Hasil Pengukuran pH Cairan Hidung

Hasil pengukuran pH Cairan Hidung sebelum dan sesudah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% selama 10 hari dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Rata-rata Hasil Pengukuran pH Cairan Hidung Sebelum (pre-test) dan Sesudah (post-test) Cuci Hidung Selama 10 Hari

Rata-rata Hasil Pengukuran pH Cairan Hidung

Pre-test 5,92

Post-test 6,00

Berdasarkan analisis data pada tabel 5.4. menunjukkan bahwa rata-rata pH cairan hidung sebelum dilakukan cuci hidung (pre-test) adalah 5,92 dan rata-rata pH cairan hidung sesudah dilakukan cuci hidung (post-test) adalah 6,00. Terdapat

peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% selama 10 hari pada pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara.

5.1.3.2.Hasil Uji Statistik

Pada penelitian ini, uji statistik didahului dengan melakukan uji normalitas

(26)

dapat dilanjutkan penganalisisan dengan uji yang sesuai. Metode yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan uji tersebut, didapatkan hasil seperti pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Uji Normalitas Variabel Penelitian

Variabel Sebelum (pretest) Sesudah (posttest)

P Ket P Ket

pH Cairan Hidung

0,000 Tidak Normal 0,001 Tidak

Normal

Hasil normalitas data menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Maka, untuk menilai peningkatan kadar pH cairan hidung dilakukan analisis data dengan uji Wilcoxon. Hasil uji Wilcoxon terhadap peningkatan kadar pH cairan hidung dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5. Hasil Uji Wilcoxon

Variabel Mean pre Mean post Mean Rank Z p-value pH cairan hidung 5,9235 6,0059 0,0824 -3,665 0,000

Berdasarkan analisis data pada tabel 5.6. didapatkan hasil uji Wilcoxon dalam peningkatan kadar pH cairan hidung adalah peningkatan yang bermakna (p=0,000; p<0,05) dan memiliki rata-rata peningkatan pH cairan hidung yaitu sebesar 0,0824.

5.2. Pembahasan

(27)

Polusi udara merupakan zat iritan yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan nervus V. Pengaktifan beberapa neurotransmiter peptida pada sistem pernafasan saluran napas menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, dan gangguan penghidu. Komponen polusi udara juga dapat mencetuskan keluhan alergi pada saluran nafas lewat beberapa faktor (Shusterman, 2003).

Pada orang-orang yang kesehariannya sering terpapar debu dan iritan dari

polusi udara, terjadi perubahan kadar pH mukosa hidung akibat inflamasi dan sebagai upaya mencegah infeksi menjadi 5,5 – 6,5; mengakibatkan penurunan fungsi dari transpor mukosiliar. Hal ini disebabkan karena silia hidung yang harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif menjadi kering dan frekuensi denyut silia hanya bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9. Diluar pH tersebut akan terjadi penurunan frekuensi dan kekeringan akan cepat merusak silia (Ballenger,1994; Waguespack,1995; Quraishi, Jones, and Mason, 1998).

Mencuci hidung secara rutin dengan NaCl 0,9% adalah suatu metode yang mudah untuk dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya gangguan pada saluran pernafasan, terutama hidung. Disamping mudah dilakukan, cara ini juga relatif murah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Namun pengetahuan masyarakat tentang keutamaan mencuci hidung ini masih sangat rendah. Hal ini mungkin dikarenakan belum ada bukti-bukti yang jelas akan manfaat mencuci hidung ini.

Manfaat dari cuci hidung ini dapat dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah dengan meneliti kadar pH cairan hidung. Peneliti telah menelaah lewat berbagai sumber bahwa zat-zat dalam polusi udara dapat mempengaruhi pH cairan hidung, dimana pH yang terlalu asam dapat merusak mukosa hidung dan

menyebabkan gangguan saluran pernafasan. Mencuci hidung dengan NaCl 0,9% ini diharapkan dapat membersihkan zat-zat polutan yang tertempel di mukosa hidung dan jika dilakukan secara rutin dapat menjaga pH cairan hidung.

(28)

kampus Universitas Sumatera Utara selama 10 hari dan dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari. Peneliti belum menemukan referensi lain yang mendukung hasil dari penelitian ini untuk dijadikan perbandingan.

Namun melihat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar pH cairan hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% dengan peningkatan rata-rata sebesar 0,0824 dan setelah dilakukan hasil uji analisis data dengan menggunakan uji Wilcoxon, didapat perbedaan bermakna secara statistik dari rata-rata peningkatan kadar pH cairan hidung (p=0,000;

p<0,05) sehingga hipotesis peneliti dapat diterima.

(29)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah terdapat peningkatan yang signifikan pada pH cairan hidung yang telah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% pada pedagang kaki lima di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara yang sering

terpapar debu.

6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan berdasarkan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemeriksaan kadar pH cairan hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9% dengan lebih efektif, efisien dan dalam rentang waktu yang lebih lama.

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam (Hilger; 1997).

Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares. Hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yaitu yang paling atas adalah kubah tulang yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan dan dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior(Gray’s Anatomy, 2008; Hilger, 1997).

Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Mobilitas lobulus hidung yang dijamin oleh otot ekspresi wajah yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas juga penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan bersin (Hilger, 1997).

Sedangkan hidung dalam, dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum yang membatasi bagian posterior dengan nasofaring melewati apertura nasalis posterior atau choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang terdiri dari tulang dan kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah

(31)

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Dinding Lateral Hidung (Ballenger, 2003)

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas

(32)

2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga (sinus) di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran dan simetri yang bervariasi. Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat di dalam tulang yang sama dengan namanya yaitu, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris. Pada orang sehat, sinus umumnya berisi udara. Sinus-sinus tersebut berhubungan dengan dinding lateral

kavum nasi melalui apertura-apertura yang relatif kecil. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, maka sinus-sinus tersebut mampu menghasilkan mukus, dan bersilia sehingga sekret dapat disalurkan ke dalam rongga hidung. (Hilger, 1997; Gray’s Anatomy, 2008)

Gambar 2.2 Struktur Anatomi Hidung Secara Horizontal (Ballenger, 2003)

2.1.2.1 Sinus Maksilaris

(33)

posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Muara dari sinus maksilaris tersebut adalah meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris (Ballenger, 1994; Weir N, 1997; Snell, 2008).

2.1.2.2 Sinus Frontalis

Terdapat dua buah sinus frontalis terletak pada os frontalis yang keduanya dipisahkan oleh septum tulang. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Masing-masing sinus frontalis ini bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum (Ballenger, 1994; Snell, 2008).

2.1.2.3 Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidale terletak di anterior, medius, posterior, dan terdapat di dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Terdapat tiga kelompok sinus ethmoidalis yaitu kelompok anterior yang bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media yang bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior yang bermuara ke dalam meatus nasi superior. Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting karena dapat merupakan sumber infeksi bagi sinus-sinus lainnya (Snell, 2008; Steven M, 2000)

2.1.2.4 Sinus Sphenoidalis

Ada dua buah sinus sphenoidalis, masing-masing berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Dua buah

(34)

sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah interornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ballenger, 1994; Mangunkusumo, 2001; Snell, 2008)

2.1.2.5 Fungsi Sinus Paranasal

Mangunkusumo dalam Supri (2012), menjelaskan bahwa fungsi-fungsi sinus paranasal antara lain; sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), sebagai penahan suhu (thermal insulator), membantu resonansi suara, membantu

keseimbangan kepala, sebagai peredam perubahan tekanan udara dan membantu produksi mukus.

2.1.3 Sistem Mukosiliar Hidung 2.1.3.1 Histologi Mukosa Hidung

Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda (Mygind N, 1981).

Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, pseudostratified, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel squamous berlapis tanpa silia-lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar, silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.

(35)

yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria. Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih

lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit (Hilger, 1997)

2.1.3.2 Silia Respiratorik

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak di dalam silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema (Ballenger, 1994; Hilger, 1997; Weir N, 1997).

Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian

(36)

arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam mengangkut mukus ke nasofaring. (Hilger,1997)

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi

berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Pada gambar 2.3 menyebabkan pola gerak silia dengan frekwensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Ballenger, 1994).

Gambar 2.3 Pola Gerak Silia

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang

menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995; Mygind; 1981).

(37)

dan bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel dan tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia ini akan membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Ballenger, 1994; Waguespack R, 1995).

2.1.3.3 Palut Lendir (mucous blanket)

Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai lubrikan dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L per hari. Pada kondisi sehat, pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir disusun oleh glikoprotein (2.5-3%), garam (1-2%), dan air (9%). Mukus dijumpai di semua bagian hidung kecuali vestibulum nasi dan sinus paranasal. Pergerakan silia mendorong mukus beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus. (Ballenger, 2003)

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994; Weir N, 1997).

2.3.3.4 Transpor Mukosiliar

(38)

lokal pada mukosa hidung. Transport mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar (Weir N, 1997).

Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif silia mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong serpihan-serpihan tersebut ke esofagus (Ballenger, 2003).

Lapisan tipis dari mukus melapisi epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri dari 2 lapisan: lapisan viskositas rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan

lapisan yang lebih kental (gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seros-mucus dan kelenjar serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain sama seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia menyebabkan mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian anterior dari konka inferior dimana transpor mukosa hidung berada di depan. Partikel dan zat yang terperangkap atau terlarut di dalam mukus akan ditelan dan dihancurkan oleh enzim-enzim yang terdapat di saluran cerna. Peningkatan atau penurunan dari lapisan mukosa menghasilkan gangguan pada transportasi. Pembersihan mukosiliar juga dapat terganggu akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik atau diskinesia silia primer. (Gaga, Vignola, Chanez, 2001).

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian

hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Hilger, 1997).

(39)

kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari permukaan mukosa yang berlawanan. (Walsh, Kern, 2006)

Lapisan mukosa bergerak dengan kecepatan 2-25mm/menit. Secara terperinci, yang mengontrol frekuensi gerakan silia belum diketahui. Namun, frekuensi gerakan silia akan meningkat jika sel-sel tersebut terpapar oleh NO atau sebuah mekanis, calsium-mediated stimulus, sedangkan IL-3 akan menurunkan frekuensinya. Selain itu, aktivitas fisik yang intensif juga dapat menurunkan fungsi transpor mukosiliar. Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi

gerakan silia dan memperbaiki fungsi transpor mukosiliar. (Beule, 2010)

2.1.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar

Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)

Menurut Waguespack (1995), keadaan yang mempengaruhi transpor mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.

2.1.3.6 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Fungsi transpor mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-µm alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide. (Waguespack, 1995; Jorissen, Willems,

Boeck, 2000)

(40)

a. Pembersihan Mukosiliar

Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan 0.5 mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya kurang dari 30 menit.

b. Frekuensi Kecepatan Silia

Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung

dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe) dan amatii aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik. Normalnya 12-15 Hz pada konka inferior.

c. Mikroskop Elektron

Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia abnormal, sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung untuk diperiksa dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-kondisi seperti primary ciliary dyskinesia (PCD).

d. Pengukuran Nitric Oxide

Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-paru dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika terjadi inflamasi, makan akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide. (Lund, 2003)

2.1.4 Kadar pH hidung

pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Defenisi yang formal tentang pH adalah negative logaritma dari aktivitas ion Hydrogen. pH adalah

(41)

keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit/konduktivitas suatu larutan (Hartas, 2010).

Normalnya, kadar pH dalam mukosa hidung adalah 7-9, dimana dalam keadaan normal ini mukosilia dalam hidung dapat bekerja dengan optimal (Waguespack,1995).

2.2 Polusi Udara

2.2.1 Kandungan dalam Polusi Udara

Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).

Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976:690),

penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara

No. Parameter Udara bersih Udara tercemar

1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m3 0,07- 0,7 mg/m3

2. SO2 0,003-0,02 ppm 0,02- 2 ppm

3. CO < 1 ppm 5- 200 ppm

4. NO2 0,003- 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm

5. CO2 310- 330 ppm 350 – 700 ppm

6. Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 20 ppm

Sumber : Buletin Who dalam Mukono, 2005

(42)

2.2.2 Nilai Ambang Batas Debu di Udara

Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 μm) adalah 150 μg/m3.

2.2.3 Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung

Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Materi-materi yang terkandung dalam polutan dapat menyebabkan perubahan suasana rongga hidung menjadi asam dalam upaya proteksi terhadap sumber-sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).

Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini

(43)

2.3 Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% 2.3.1 Pengertian Cuci Hidung

Cuci hidung adalah terapi adjuvan untuk kondisi-kondisi saluran pernafasan bagian atas dengan cara mencuci daerah kavum nasi melalui semprotan atau cairan. Metode cuci hidung berasal dari tradisi medis Ayurvedic (am fam physician, 2009).

2.3.2 Mekanisme Kerja Larutan NaCl 0,9%

Cuci hidung menggunakan salin mampu meningkatkan kemampuan mukosa hidung untuk melawan pengaruh dari agen-agen infeksi, mediator-mediator inflamasi, dan berbagai jenis iritan. Metode ini juga dapat memperbaiki fungsi dari mukosa hidung melalui beberapa efek fisioligis termasuk pembersihan secara langsung akibat irigasi cairan, membuang mediator-mediator inflamasi, dan memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi kecepatan cilia. Selain itu, penggunaan salin secara signifikan mampu menurunkan konsentrasi histamin dan leukotrien. Meskipun mekanisme kerja dari cuci hidung menggunakan salin belum diketahui dengan pasti, terdapat beberapa hipotesis yang mengatakan bahwa cuci hidung mampu memicu perbaikan gejala-gejala pada hidung dengan cara memperbaiki pembersihan mukosiliar, menurunkan edema mukosa, menurunkan jumlah mediator-mediator inflamasi dan secara langsung membersihkan kerak-kerak pada hidung dan mukus yang telah menebal (am fam physician, 2009; Hernansez, 2007).

2.3.3 Bahan-bahan Untuk Cuci Hidung

Larutan garam yang tersering digunakan adalah NaCl 0,9 % dan NaCl 3%. Beberapa literatur mengatakan bahwa larutan isotonis lebih baik dibandingkan

(44)

2.3.4 Metode Cuci Hidung

Putar kepala (sekitar 45 derajat) sehingga salah satu lubang hidung berada di atas yang lainnya. Lalu masukkan ujung dari spuit ke dalam lubang hidung dengan nyaman tanpa menekan ke bagian tengah atau septum hidung. Bernafas melalui mulut dan larutan akan masuk ke lubang hidung bagian atas dan kemudian mengalir ke lubang hidung bagian bawah. Ketika spuit sudah kosong, hembuskan nafas secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk membersihkan larutan yang berlebih dan mukus. Lakukan prosedur untuk lubang

hidung lainnya (University of Wisconsin).

(45)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencemaran udara merupakan masalah utama kesehatan lingkungan di daerah perkotaan yang padat penduduk. Hal ini disebabkan karena padatnya lalu lintas dan tingkat pembangunan industri yang tinggi. Kendaraan bermotor menjadi penyumbang polusi udara terbesar yang mengandung partikel padat, sulfur dioksida, nitrogen oksida, ozon, dan lain-lain (Darsika et al. 2009).

Pada tahun 2009 jumlah sarana transportasi jalan raya di Kota Medan berjumlah 2.708.511 kendaraan. Dari tahun 2004 sampai tahun 2009 menunjukkan kenaikan 23,82% per tahun. Pertumbuhan yang sangat signifikan terlihat pada sepeda motor dengan rata-rata pertumbuhan 31,2% per tahun(Dinas Perhubungan Kota Medan, 2010).

Komponen polusi udara dapat mengakibatkan banyak keluhan gangguan pernafasan dan hidung merupakan target potensial pajanan yang akan menimbulkan iritasi mukosa hidung, perubahan resistensi aliran udara dan perubahan pada bersihan mukosilia (Darsika et al. 2009).

Salah satu yang menyebabkan polusi udara dapat menimbulkan keluhan pada daerah hidung adalah karena polutan merupakan zat iritan yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan nervus V. Pengaktifan beberapa neurotransmiter peptida pada saluran napas menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, rasa menyengat atau terbakar dan gangguan penghidu (Shusterman, 2003).

(46)

Komponen polusi khususnya ozon, partikel debu, sulfur dioksida memiliki efek inflamasi pada jalan napas yang akan meningkatkan permeabilitas membran, sehingga mempermudah penetrasi alergen pada membran mukus dan mempermudah terjadinya interaksi dengan sel sistem imun. Sedangkan partikel asap di sel telah ditunjukkan memiliki efek peningkatan produksi IgE secara langsung.

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan,maka menjaga kesehatan hidung penting

untuk selalu diperhatikan. Sebab di dalam hidung terdapat suatu mekanisme pertahanan tubuh pertama pada jalan nafas, yaitu sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu bersih dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, alergen dan toksin lain yang tertangkap pada lapisan mukosa ke arah nasofaring untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Proses pengangkutan benda asing ini disebut dengan transportasi mukosiliar atau TMS (Ballenger, 1994).

Menurut Sakakura,bahwa yang dapat mempengaruhi TMS ada tiga faktor yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi mukosiliar dapat terjadi (Sakakura, 1997).

Pada orang-orang yang kesehariannya sering terpapar debu dan iritan dari polusi udara, terjadi perubahan kadar pH mukosa hidung akibat inflamasi dan sebagai upaya mencegah infeksi menjadi 5,5 – 6,5, hal ini menyebabkan penurunan fungsi dari transpor mukosiliar. Hal ini disebabkan karena silia hidung yang harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif menjadi kering dan frekuensi denyut silia hanya bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9. Diluar pH

tersebut akan terjadi penurunan frekuensi dan kekeringan akan cepat merusak silia (Ballenger,1994; Waguespack,1995; Quraishi, Jones, and Mason, 1998).

(47)

adalah untuk memicu perbaikan pembersihan mukosiliar dengan melembabkan rongga hidung dan mengangkat material-material yang melekat pada membran mukosa (Papsin, McTavish, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung sebelum dan sesudah melakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9%.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

Apakah metode cuci hidung dengan NaCl 0,9% dapat meningkatkan rata-rata kadar pH cairan hidung pada pedagang kaki lima di kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung pada pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kadar pH cairan hidung pada pedagang kaki lima di kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara sebelum melakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9%

(48)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir peneliti dan sebagai

sarana untuk mengaplikasikan ilmu di masyarakat.

b. Sebagai sarana untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang THT.

c. Memberikan landasan ilmiah sebagai saran atau informasi kepada masyarakat mengenai metode sederhana cuci hidung dengan NaCl

0,9% yang dapat digunakan untuk merawat mukosa hidung setelah terpapar polusi udara

(49)

ABSTRAK

Latar Belakang: Pedagang kaki lima adalah orang-orang yang rentan terkena polusi udara. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting dan menjadi target utama dari polusi udara. Polusi udara dapat menurunkan kadar pH hidung dan menyebabkan sistem transpor mukosilia hidung tidak bisa bekerja optimal. Terapi cuci hidung telah lama digunakan sejak berabad-abad yang lalu, untuk mengobati penyakit sinus karena dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung. Terapi cuci hidung juga dapat mmbersihkan partikel-partikel debu dan polusi yang terperangkap di mukus hidung.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung pada pedagang kaki lima yang rentan terkena debu dan polusi udara.

Metode: Penelitian ini bersifat pra-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara dan sampel adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data hasil penelitian diolah dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon.

Hasil: Berdasarkan uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov didapati nilai P pretest 0,000 dan P posttest 0,001. Kedua data tersebut tidak terdistribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan Uji Wilcoxon. Didapatlah hasil Wilcoxon dalam peningkatan kadar pH cairan hidung adalah peningkatan yang bermakna (p=0,000; p<0,05) dan memiliki peningkatan rata-rata pH cairan hidung yaitu sebesar 0,0824.

Kesimpulan: Terdapat peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0.9% selama sepuluh hari sebanyak dua kali sehari pada pedagang kaki lima di kawasan USU

(50)

ABSTRACT

Background: Vendors are vulnurable people affected by air pollution. Nose is one of the most important organs of body protector and become the main target of air pollution. Air pollution can reduce levels of pH nose and causes nasal mucociliary system can not work optimally. Nasal wash treatment has long beenb used since centuries ago to treat sinus disease because it can prevent crusting secretion in the nasal cavity. Nasal wash treatment also clean the dust particles and pollutants that trapped in the nasal mucous.

Objective: The purpose of this study was to observe the effect of washing the nose with NaCl 0,9% to the increase the average levels of pH nasal fluid form vendors in USU.

Method: This study is a pre-experimental with one group pretest-posttest design. The population of this study are all vendors around USU and sample is a population that meet the inclusion criteria and exclusion criteria. Reseacrh data processed by the normality test, Kolmogorov-Smirnov Test, and continued with Wilcoxon Test.

Result: Based on Kolmogorov-Smirnov Test result obtained P pretest 0,000 and P posttest 0,001. Both of them is not distibuted normally, and then continued with Wilcoxon Test. Wilcoxon results in increased levels of nasal fluid pH is significantly increased and the average increase in the amount of nasal fluid pH is 0,0824.

Conclusion: There is an average increase in nasal fluid pH levels after washing the nose with NaCl 0,9% in twice a day for ten days on vendors around USU.

(51)

PENGARUH CUCI HIDUNG DENGAN NaCl 0,9% TERHADAP PENINGKATAN RATA-RATA KADAR PH CAIRAN HIDUNG PADA

PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Oleh :

DYAN RIZA INDAH TAMI 120100329

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(52)

PENGARUH CUCI HIDUNG DENGAN NaCl 0,9% TERHADAP PENINGKATAN RATA-RATA KADAR PH CAIRAN HIDUNG PADA

PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

DYAN RIZA INDAH TAMI

120100329

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(53)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara Nama : Dyan Riza Indah Tami

NIM : 120100329

Pembimbing

(dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL) NIP: 198109142009121002

Penguji I

(Dr. dr. Elmeida Effendy, Sp.KJ) NIP: 197205011999032004

Penguji II

(dr. Riri Andri Muzasti, M.Ked(PD), SpPD) NIP: 197912242008122000

Medan, 7 Januari 2016

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(54)

ABSTRAK

Latar Belakang: Pedagang kaki lima adalah orang-orang yang rentan terkena polusi udara. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting dan menjadi target utama dari polusi udara. Polusi udara dapat menurunkan kadar pH hidung dan menyebabkan sistem transpor mukosilia hidung tidak bisa bekerja optimal. Terapi cuci hidung telah lama digunakan sejak berabad-abad yang lalu, untuk mengobati penyakit sinus karena dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung. Terapi cuci hidung juga dapat mmbersihkan partikel-partikel debu dan polusi yang terperangkap di mukus hidung.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung pada pedagang kaki lima yang rentan terkena debu dan polusi udara.

Metode: Penelitian ini bersifat pra-eksperimental dengan one group pretest-posttest design. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara dan sampel adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data hasil penelitian diolah dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon.

Hasil: Berdasarkan uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov didapati nilai P pretest 0,000 dan P posttest 0,001. Kedua data tersebut tidak terdistribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan Uji Wilcoxon. Didapatlah hasil Wilcoxon dalam peningkatan kadar pH cairan hidung adalah peningkatan yang bermakna (p=0,000; p<0,05) dan memiliki peningkatan rata-rata pH cairan hidung yaitu sebesar 0,0824.

Kesimpulan: Terdapat peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0.9% selama sepuluh hari sebanyak dua kali sehari pada pedagang kaki lima di kawasan USU

(55)

ABSTRACT

Background: Vendors are vulnurable people affected by air pollution. Nose is one of the most important organs of body protector and become the main target of air pollution. Air pollution can reduce levels of pH nose and causes nasal mucociliary system can not work optimally. Nasal wash treatment has long beenb used since centuries ago to treat sinus disease because it can prevent crusting secretion in the nasal cavity. Nasal wash treatment also clean the dust particles and pollutants that trapped in the nasal mucous.

Objective: The purpose of this study was to observe the effect of washing the nose with NaCl 0,9% to the increase the average levels of pH nasal fluid form vendors in USU.

Method: This study is a pre-experimental with one group pretest-posttest design. The population of this study are all vendors around USU and sample is a population that meet the inclusion criteria and exclusion criteria. Reseacrh data processed by the normality test, Kolmogorov-Smirnov Test, and continued with Wilcoxon Test.

Result: Based on Kolmogorov-Smirnov Test result obtained P pretest 0,000 and P posttest 0,001. Both of them is not distibuted normally, and then continued with Wilcoxon Test. Wilcoxon results in increased levels of nasal fluid pH is significantly increased and the average increase in the amount of nasal fluid pH is 0,0824.

Conclusion: There is an average increase in nasal fluid pH levels after washing the nose with NaCl 0,9% in twice a day for ten days on vendors around USU.

(56)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas beribu karunia, rahmat dan segala nikmat yang telah diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Laporan hasil penelitian dengan judul “Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-Rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara” ini disusun sebagai tugas akhir dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Suksesnya perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan hasil penelitian ini, tak lepas dari dukungan yang telah diberikan oleh banyak pihak. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL, selaku dosen pembimbing yang telah b

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9%

posttest (p=0,001) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% dengan penurunan rata-rata waktu transpor mukosiliar pada

posttest (p=0,001) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% dengan penurunan rata-rata waktu transpor mukosiliar pada

Polusi udara dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan, inflamasi saluran pernapasan dan penurunan waktu pembersihan mukosiliar hidung.. Pengendara motor di

Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi.. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut

Impact of isotonic and hypertonic saline solutions on mucociliary activity in various nasal. pathologies:

Sebagai pengetahuan atau informasi tentang pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap kualitas hidup pada individu yang terpapar polutan. Sebagai dasar

Ketika udara melewati hidung, terdapat tiga fungsi pernafasan normal yang dilakukan oleh kavum nasi yaitu, udara dipanaskan oleh permukaan luas pada konka dan