• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga (1971-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias Di Sibolga (1971-2000)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

80

Daftar Informan

1. Nama : Warisuni Warasi S. kom

Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Agama : Protestan

Suku Bangsa : Nias

Pekerjaan : Wiraswasta

Ketokohan di Lingkungan Masyarakat : Sekretaris HIMNI

2. Nama : Jamil Zeb Tumor, SH

Umur : 48 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Agama : Islam

Suku Bangsa : Nias

Pekerjaan : PNS

(2)

81

3. Nama : Radjoki Nainggolan

Umur : 64 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Suku Bangsa : Pesisir

Ketokohan di lingkungan Masyarakat : Tokoh masyarakat pesisir

4. Nama : Riston Hutagalung

Umur : 63 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Protestan

Suku Bangsa : Batak Toba

5. Nama : Amasama Gulo

Umur : 68 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Protestan

Suku Bangsa : Nias

Pekerjaan : buruh

Ketokohan dalam masyarakat : Tokoh Masyarakat Nias

6. Nama : Muklis Gea

Umur : 54 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

(3)

82

Suku Bangsa : Nias

Pekerjaan : PNS

7. Nama : Melda Mendrofa

Umur : 44 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Katolik

Suku Bangsa : Nias

Perkerjaan : Ibu rumah tangga

8. Nama : L. Hutauruk

Umur : 53 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Protestan

Suku Bangsa : Batak Toba

9. Nama : Junivati Ziliiwu

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Agama : Protestan

Pendidikan : SMA

(4)
[image:4.612.110.455.126.384.2]

83 Lampiran

Gambar: Peta Kota Sibolga

[image:4.612.108.455.419.637.2]
(5)
[image:5.612.142.500.81.350.2]

84

gambar : Alat musik Tradisional Nias

[image:5.612.144.504.405.646.2]
(6)
[image:6.612.164.478.85.294.2]

85

Gambar; Pakaian adat pernikahan Nias

[image:6.612.164.480.337.593.2]
(7)

78 Daftar Pustaka

Bintarton, R, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989

Budhisantono, dkk, Studi Pertumbuhan Dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Barus dan Sibolga, Jakarta: Departemen dan Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1985.

Gulo, Hubaria., “Tradisi Lisan Masyarakat Nias di Desa Bawomataluo Kecamatan Panayama Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara”, Tesis belum diterbitkan,Medan : Program Pascasarjana USU, 2011.

Gulo,Talirazo., “Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias”, Tesis belum diterbitkan,Medan : Program Magister Studi Pembangunan USU, 2004. Hurgronje, C. Snouck, The Etjehers, Batavia: Landsdrukkerij, 1895

_________________, Tanah Gayo, Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad ke-20,(terj. Budiman), Jakarta: PN Balai Pustaka, 1996.

Johannes. P, Hammerle, Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi, Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2004.

Joedodibroto, Rijadi , Mengenal Arsitektur Nias dalam Nias Dari Masa Lalu Ke Masa Depan, Jakarta: BPPI, 2008.

Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Kecamatan Sibolga Selatan Dalam Angka, BPS: Sibolga, 2009.

Laia.M.A, Bampowo, Solidaritas Kekeluargaan: Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1983.

(8)

79

Simanihuruk, Muba, dkk,“Migrasi Orang Nias Ke Medan: Studi Kasus Tukang Becak di Kampus USU”, Laporan Penelitian belum diterbitkan, Medan: Lembaga Penelitian USU, 1997.

________________, “Adaptasi dalam Konteks Perkembangan Kota di Indonesia: Studi Migrasi Nias yang Bekerja di Sektor Informal di Kota Medan”, Tesis Jakarta: Program Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial UI, 1999.

Sianturi, E. Sostra M, “Adaptasi Sosial Budaya Penduduk Asli Dan Pendatang Antara Masyarakat Pakpak Dairi Dengan Batak Toba”, Skripsi, FISIPOL-USU.Tidak diterbitkan.

Sonjaya,J ajang A, M elacak Batu M enguak M itos: Petualangan Antarbuday a di

N ias, Yogyakarta: Impuls dan Kanisius, 2008.

Wiradnyana, Ketut dan Lucas P Koestoro, Osa-Osa dan Arca Manusia, benda cagar budaya dari Nias : Indentifikasi Barang Bukti Penyelundupan di Perairan Sibolga, Sumatera Utara, Medan : Balar Medan, 2000.

________________, Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias : Panduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.

(9)

37 BAB III

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI

SIBOLGA(TAHUN 1971-2000)

3.1 Sejarah Migrasi Etnis Nias ke Sibolga

Nias atau tanÖ niha adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai Barat Sumatera menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni yaitu Pulau Nias, Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa, Pulau Tello dan Pulau Pini. Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Nias merupakan yang berpenghuni paling padat dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan, termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak tertua di Nusantara.36

Etnis Nias memiliki masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebutfondraköyang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.37

36Tuanku Lukman Sinar, Mengenang Kewiraan Pemuka Adat dan Masyarakat Adatnya di

Sumatera Utara Menentang Kolonialisme Belanda, FORKALA, Medan: 2007, hlm. 10

37

Ibid.,

(10)

38

Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini.Etnis Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu.38

Pulau Nias bukan daerah yang cukup subur. Mata pencaharian di sana adalah bertani. Hasil pertanian di Nias seperti padi, ubi, kelapa dan hasil perkebunan seperti karet. Dalam pertanian tidak menggunakan irigasi yang baik, hanya mengandalkan turunya hujan sementara dalam perkebunan karet jika hujan turun tidak dapat menyadab karet. Jadi dapat di katakan perekonomian masyarakat Nias tidak begitu mendukung terhadap budaya mereka yang menuntut biayacukup besar. Boleh dikatakan budaya Nias merupakan suatu proses pemiskinan bagi masyarakat Nias itu sendiri.

Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

39

38Balugu merupakan simbol sosial dikalangan masyarakat Nias. Proses untuk mendapatkan gelar balugu sangat lama dan ketat. Khusus di Nias Utara, Tengah, dan Barat, dimulai dar Strata7 hingga ke-9 (ada yang menetapkan strata ke-12). Seorang yang akan di beri gelar balugu, harus melaksanakan upacara adat yang dikenal dengan “osawa’ (pesta adat menaikkan status sosial sekaligus untuk mendapatkan gelar balugu). Dalam pesta osawa ini seorang calon balugu harus mempersiapkan segalanya seperti mempersiapkan perhiasan yang nantinya dikenakan sang istri, mempersiapkan rumah adat, mendirikan gowe (patung), menyusun formasi pengikutnya (semacam kabinet), mempersiapkan putra yang kelak akan meneruskan kekuasaannya, mempersiapkan alat music dan hal-hal lain yang bertalian dengan gelar yang akan disandangnya.

39

Wawancara dengan Bapak Wr.Warasi ,tanggal 14 Maret 2015

(11)

39

manfaatkan oleh para pedagang-pedagang dari Aceh, Sumatera barat, Cina dan Eropa untuk untuk mendapatkan budak-budak dari Nias.40

Menurut sejarahnya, Etnis Nias sudah melakukan migrasi ke berbagai daerah sejak zaman kejayaan Aceh di abad ke-17 atau sebelumnya.41

40

Lukas Partanada Koestoro, dkk, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Medan: Badan Arkeologi, 2005 hlm. 27

41Sultan Iskandar Muda membentuk Aceh menjadi kerajaan yang kuat di Nusantara bagian Barat. Deli dikuasainya pada tahun 1612, Aru diduduki pada tahun1613. Kemudian pada tahun 1624/1625 ia berhasil menjadikan Nias dibawah pengaruhnya.(baca: Rickles, MC, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono hardjowidjono, 1998).

Kaum bangsawan pantai Barat Sumatera seperti di Padang dan Sibolga mengolah tanah mereka dengan bantuan tenaga budak, yang umumnya didatangkan dari Pulau Nias. Menurut J.T. Nieuwenhuisen dan H.C.B. Rosenberg (1863) tradisi bekerja untuk orang lain penebus hutang, gadai atau jadi budak sudah merupakan tradisi dalam kehidupan orang Nias di kampung halaman mereka. Dalam kebudayaan Nias dikenal dengan sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Ada tiga macam sawuyu di zaman kuno.

(12)

40

kata kunci hutang, kriminal dan tawanan.42

Beberapa surat dari raja-raja lokal di pantai barat Sumatra (seperti Singkil, Susoh,Sibolga dll)menunjukkan bahwa orang Aceh sering menggarong perkampungan orang Nias di Pulau Nias dan secara paksa membawa penduduknya ke Tanah Tepi untuk dijual kepada orang-orang kaya guna dipekerjakan di pelabuhan, di perkebunan dan sebagai jongos dan babu.

Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Nias, hingga kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang luar, seperti orang Aceh untuk mendapatkan budak dari Nias. Banyak diantara mereka menjadi orang yang tergadai karena tak mampu membayar utang (pandeling), semacam perbudakan terselubung.

43

Bagi KolonialBelanda (VOC)orang Nias dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan kekuatan fisik. Pada masa itu mereka dipekerjakan

Di Sibolga sendiri masuknya Etnis Nias diawali dari mulai dibukanya Sibolga sebagai kota pelabuhan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, secara masif migrasi Nias dimulai pada tahun1970-an. Mereka dibawa dari pelabuhan Nias ke Pelabuhan Sibolga dan dipekerjakan oleh Belanda dengan sistem kontrak. Jika masa kontraknya habisbanyak diantara mereka yang memilih untuk tidak kembali kekampung halamannya. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar pesisir pantai atau daerah pegunungan Sibolga.

42 Viktor Zebua, Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Yogyakarta: 2006, hlm. 59

(13)

41

sebagai budak, pengerajin atau pembuat atap rumbia. Selain itu mereka juga melakukan pekerjaan sebagai petani, buruh bangunan dan pekerjaan kasar lainnya. Budak-budak ini biasanya disebut warga setempat sebagai orang rantai, karena budak-budak ini adalah tahanan pemerintah Hindia Belanda yang bukan hanya orang Nias namun orang-orang dari berbagai daerah bahkan luar negeri. Kebanyakan orang rantai yang berasal dari Nias biasanya adalah orang-orang yang berada pada posisi paling rendah dalam sistem pengkastaan Etnis Nias dan juga orang-orang yang melanggar hukum adat serta tawanan-tawanan perang.

Perkembangan Kota Pelabuhan Sibolga begitu pesat pada tahun 1930 hingga tahun 1961. Hal ini menarik orang-orang dari berbagai daerah untuk bermigrasi ke Sibolga seperti Etnis Batak, Mandailing, Karo, Simalungun, Angkola, Padang Lawas, Aceh, Nias, Minang, Melayu, Jawa, Bugis, Keling dan Cina. Tahun 1961-1971 merupakan masa penurunan Pelabuhan Sibolga. Banyak orang memilih meninggalkan kota Sibolga. Akan tetapi, ada juga yang memilih tetap tinggal dan membangun pemukiman. Salah satu yang memilih tinggal menetap adalah mereka yang memiliki modal termasuk orang Cina, Batak, Bugis dan Minang. Etnis Nias sendiri juga banyak yang tinggal menetap dikarenakan malu untuk kembali ke kampung halaman jika masih dalam keadaan miskin.44

44Wawancara dengan Bapak Muklis Gea, tanggal 23 Mei 2015

(14)

42

Sejarah perkembangan kota maritim sangat mewaranai corak kehidupan masyarakat dan kebudayaan kota Sibolga. Gaya hidup sehari-hari dan pola hubungan antar masyarakat menggambarkan budaya dan norma yang dianut dan diyakini oleh masyarakat. Karena didiami oleh beragam etnis, maka kebudayaan yang berkembang di daerah ini masing-masing membawa budaya dari daerah asalnya dan berpadu dalam kota ini serta menyesuaikan pada kondisi setempat. Etnis Nias juga sebagai pendatang melakukan adaptasi dengan kondisi setempat. Mereka membawa kebudayaan mereka yang khas dan ikut berbaur dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya di Sibolga.

(15)

43

yang mengandung menjelek-jelekkan Etnis Nias, warga tidak akan segan-segan melakukan hukuman rimba.45

Dalam perkembangan berikutnya di tahun 1980 sudah banyak Etnis Nias yang meningkatkan pendidikannya. Seiring dengan perkembangan pendidikan di Sibolga juga menarik banyak orang Nias datang ke Sibolga untuk bersekolah. Hampir setiap desa di Sibolga telah tersedia sarana pendidikan baik itu sekolah TK, SD, SMTP,SMTA. Sarana pendidikan sudah lebih dari cukup untuk menampung anak-anak dari dalam maupun yang datang dari luar daerah Sibolga termasuk dari Pulau Nias. Anak-anak dari Etnis Nias juga tidak pernah dibatasi untuk memperoleh pendidikan. Hak bersekolah mereka miliki. Karekter mereka yang ulet, rajin, cerdas dan juga terbuka terhadap budaya lain membantu mereka beradaptasi dengan cepat dan baik terhadap lingkungan sekitar mereka. Banyak dari mereka yang telah berpendidikan akhirnya sukses. Hal ini dibuktikan mulai tahun 1980 mereka sudah mulai ada yang bekerja di pemerintahan dan di pekerjaan formal lainnya. Salah satu mantan menteri pernerangan Kota Sibolga adalah keturunan Etnis Nias kelahiran Sibolga, Beliau bermarga Mendrofa.46

Sibolga sebagai negeri berbilang kaum, menampung orang-orang dari berbagai daerah dan mengikatnya dalam satu kebudayaan yaitu budaya Sumando. Peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pribumi maupun pendatang

45

Wawancara dengan Bapak Wr.Warasi, tanggal 24 Mei 2015

(16)

44

ditetapkan oleh Penguasa-penguasa Sibolga terdahulu. Masyarakat mematuhi peraturan tersebut sehingga sangat jarang ada konflik yang mengandung SARA di dalam kehidupan bermasyarakatnya. Etnis Nias sebagai Etnis Minoritas mampu beradaptasi dengan budaya sumando dan mematuhi segala peraturan yang ada sehingga mereka juga hidup dengan damai dengan masyarakat dari etnis lain.

3.2 Kepercayaan

kepercayaan asli Etnis Nias sebelum masuknya agama di Pulau Nias adalah anismisme dan dinamisme, serta kepercayaan terhadap adanya dewa besar yang melebihi dewa-dewa yang lain. Menurut kepercayaan itu, seorang yang meninggal rohnya tetap hidup dan bertempat tinggal dimana-mana. Roh tersebut dapat mendatangkan sakit bagi manusia. Untuk menjauhkan diri dari hal itu seorang dukun (ere) melepas seekor ayam putih yang masih hidup di bawah pohon, pecahan periuk diletakkan di bawahnya agar roh yang ada di pohon (saho bela) menjauhkan mereka dari malapetaka.

(17)

45

diletakkan disamping kuburan tuhenori, salawa, atau balugu sebagai pendampingnya di dunia arwah.

Pengaruh Agama Islam di Nias diyakini melalui kegiatan perdagangan. Awalnya pengaruh Islam dibawah oleh pedagang-pedagang Arab, selanjutnya dibawah oleh Aceh dan Minang. Setelah pengaruh Aceh berhasil masuk ke Nias oleh Sultan Iskandar Muda. Pernikahan Tuanku Polem Putra Sultan Iskandar Muda dengan Putri Nias, Bowo Ana’a, putri Balugu Harimou Harefa memperkuat Asimilasi dengan masyarakat Nias terutama dalam memasukkan pengaruh Islam di sana.47

Agama Kristen dimulai sejak datangnya misi Katolik yang dibawa oleh misionaris dari Prancis oleh Missions Etragers de Parisyang berlangsung cukup singkat yaitu dari tahun 1832-1835.

Demikian pengaruh Islam yang dibawah oleh Datuk Raja Ahmad dari Pariangan, Padang Panjang (Sumatera Barat). Datuk Raja Ahmad pertama sekali datang ke Teluk Belukar dan memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat dan pembangunan mesjid pertama berada di sana.

48

Masuknya berita Injil melalui misi protestan dimulai pada 27 September 1865 oleh penginjil Jerman, E. Ludwig Denninger dari Rheinsche Missionsgesellschaft(RMG), setiap tanggal 27 September ditetapkan juga

sebagai hari Jubelium BNKP. Badan misi ini dibawa dari Kalimantan.49

47Ibid.,

48Internet, http://id.m.wikipedia.org/

Hingga tahun

(18)

46

1900, ketika Pemerintah Kolonial Belanda masuk pertumbuhan gereja disana berlangsung sangat lambat. Babtisan pertama dilakukan pada 1874. Sekitar 15 tahun kemudian (1890) jumlah orang Kristen yang dibabtis baru mencapai 706 orang jumlah ini bertambah hingga 20.000 orang pada tahun1915. Pada tahun 1915-1920 komunitas krisrten di Nias mengalami peningkatan yang besar, sehingga terjadilah pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1921 sudah 60.000 orang yang dibabtiskan pertambahan sejumlah 40.000 orang hanya dalam waktu 5 tahun.

Pada tahun 1936 sinode BNKP pertama dibentuk dan hingga tahun 1940 dipimpin oleh missionaries dari Jerman. Sementara itu di Nias berkembang juga gereja Advent dan Katolik Roma. Akan tetapi BNKP tetap merupakan gereja terbesar yang mencakup 60 persen dari seruluh penduduk. BNKP merupakan yang sangat penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat di pulau itu. Gereja ini beoleh dikatakan sebagai pemersatu masyarakat Nias menjadi satu kesatuan Etnik dan bahasa. Bahasa Nias Utara dijadikan bahasa Alkitab dan Gereja. Alkitab lengkap dalam bahasa Nias diterbitkan pada 1913. Perkembangan agama di Indonesia hampir merangkul semua Masyarakat Nias. Hingga tahun 1900an Etnis Nias sudah meilliki agama yakni: 73 persen beragama Kristen Protestan, 18 persen Katolik Roma, dan 7 persen beragama Islam sementara sisanya memeluk agama leluhur.

(19)

47

hampir semua sudah memiliki agama baik itu Kristen protestan, Katolik Roma ataupun Islam.50

Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, Adapun yang masih memeluk kepercayaan leluhur pada akhirnya mereka akan memeluk sebuah agama. Mereka yang beragama Kristen Protestan ataupun Kristen Katolik biasanya datang dari Nias Selatan, Gunung Sitoli, dan Nias Utara. Sementara mereka yang beragama muslim mereka kebanyakan dari Nias Barat.

Etnis Nias yang tersebar di Sibolga didominasi oleh mereka yang beragama Kristen Protestan. Pembangunan Gereka GNKP ditahun 1974 di kota Sibolga menjadi salah satu bukti keberadaan mereka dan BNKP menjadi lambang pemersatu Etnis Nias Di Sibolga.

3.3 Pemukiman

(20)

48

faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat.

Persebaran permukiman mempunyai kaitan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran penduduk membentuk persebaran permukiman, dengan pola-pola persebaran permukiman yang bervariasi. Persebaran migrasi Nias di Sibolga pada tahun 1970-an di pergaruhi oleh bagaimana mereka di daerah asal mereka. Etnis Nias yang berasal dari Nias selatan akan memilih bermukim kedaerah pedalam Sibolga di karenakan mata pencaharian yang ada disana sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki dari daerah asal mereka yaitu sebagai penyadap karet, penebang kayu, dan petani. Sementara mereka yang berasal dari daerah pesisir Nias yaitu Nias Barat mereka cenderung bermukim di daerah pesisir Sibolga.

(21)

49

kurang lebih 50 kepala keluarga Etnis Nias bermukim di daerah tersebut. Pada tahun 1980 bapak halawa di angkat menjadi kepala lingkungan di perkampungan tersebut.

Selain faktor di atas persebaran pemukiman etnis Nias juga di pengaruh oleh agama. Etnis Nias yang beragama Kristen memilih bermukim di daerah Sibolga Utara yang banyak dihuni masyarakat Kristen sementara Etnis Nias yang beragama Islam banyak terdapat di Sibolga kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam.Jika dilihat dari segi bentuk rumah Etnis Nias di Sibolga sama saja dengan bentuk rumah orang Sibolga lainnya. Bentuk perumahan Etnis Nias di Sibolga tidak ada sedikitpun dipengaruhi dari daerah asal mereka. Pola pemukiman cenderung terpusat51

Bentuk rumah mereka mengikuti bentuk rumah masyarakat setempat. Mereka yang berekonomi menengah kebawah bentuk rumah cukup sederhana, berbahan dasar kayu, pondasi rumah, tiang sampai lantai terbuat dari kayu. Terdiri dari satu atau 2 kamar bahkan ada yang tidak memiliki kamar. Mereka yang sudah membangun rumah dari beton, cenderung memilih membangun rumah dengan bentuk rumah di Eropa. Kebiasaan mereka yang hidup berkelompok, tidak jarang terlihat dalam satu rumah tinggal 2-3 keluarga. Biasanya hanya ada satu keluarga yang berhak atas bagi mereka yang tinggal di pegunungan sementara yang tinggal di daerah pesisir pemukimananya dibangun mengikuti garis pantai.

(22)

50

rumah itu, selebihnya hanya penumpang sementara, menunggu ada rumah yang akan ditempati. Akan tetapi tidak jarang mereka tinggal dalam waktu yang lama, satu tahun bahkan dua tahun.52 Hal ini dipicu oleh rasa persaudaraan mereka yang tinggi, merasa senasib diperantauan mendorong mereka untuk tidak segan-segan membantu sesama mereka. Kebersamaan inilah yang patut dicontoh dari Etnis Nias.53

Pada masa peralihan fungsi pelabuhan Sibolga, Orang Nias yang terlibat dalam kegiatan pelabuhan banyak yang beralih ke Pedalaman Sibolga. Mereka bekerja sebagai penyadap karet, penebang kayu, dan bertani di kebun-kebun milik

3.4 Matapencaharian

Sejarah migrasi Etnis Nias ke Sibolga dibawah oleh Kolonial Belandamereka dipekerjakan sebagai budak dengan sistem kontrak. Mereka diperkerjakan dipelabuhan sebagai kuli angkut di pelabuhan, membuka hutan untuk membangun jalan, perumahan masyarakat dan sarana lain yang mendukung kegiatan pelabuhan Sibolga. Di tahun 1971 adalah masa peralihan pelabuhan Sibolga yang biasanya pelabuhan Sibolga sebagai transit barang ekspor-import beralih pada sektor perikatanan. Orang Nias yang biasanya terlibat dalam kegiatan pelabuhan akhirnya kehilangan pekerjaan mereka. Mereka tidak berkeinginan untuk kembali kekampung halaman mereka. Mereka lebih memilih untuk tinggal menetap di Sibolga.

52

Wawancara dengan ibu Melda Mendrofa, tanggal 14 Mei 2015

(23)

51

masyarakat setempat. Sementara mereka yang tetap tinggal di pesisir Sibolga mereka bermata pencaharian sebagai buruh penyortir ikan dipelabuhan, tukang becak dayung, kuli bangunan dan sebagainya. Mereka sangat jarang bekerja sebagai nelayan mereka tidak memiliki keterampilan dibidang itu. Hingga ada istilah bagi mereka “anak pulo yang tak bisa berenang”.54

Dalam penjelasan sebelumnya bagaimana Etnis Nias datang ke Sibolga. banyak di antara mereka yang datang karena memiliki hutang adat, pelanggar hukum

Hingga tahun 1970-an sangat jarang dari mereka yang bekerja pada bidang formal. Hal ini disebabkan masih banyak mereka yang belum berpendidikan dan masih adanya streotip-streotip buruk mengenai Etnis Nias. Adanya anggapan bahwa mereka yang berwatak keras, pemarah dan jahat. Pandangan seperti itu menyebabkan mereka sedikit disisihkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu ada pula kelompok etnis yang merasa mendominasi. Meraka merasa etnisnya lebih banyak, lebih maju, sehingga merasa lebih pantas mendominasi pada segala bidang tata kehidupan di sibolga. Hal ini mengakibatkan sangat jarang Etnis Nias yang berkerja di bidang formal. Setelah tahun 1980 mereka sudah banyak yang berpendidikan dan bekerja sebagai pegawai dipemerintahan maupun di perusahaan swasta, dibidang medis, dan bekerja di bidang pertahanan atau keamanan.

3.5 Budaya dan Bahasa

54

(24)

52

adat, tawanan perang dan lain sebagainya. Akan tetapi kedatangan mereka ke Sibolga bukan berarti ingin menghapus kebududayaan itu di tempat rantau. Mereka dengan membawa budaya mereka menjalankan adat budaya secara bebas di Sibolga. Budaya Nias terdiri dari tarian, musik, pakaian tradisonal dan adat istiadat mereka membawah dan melaksanakannya di Sibolga.

Tari maena55

Di perkampungan Nias yang terdapat di Sibolga Julu juga sering dilaksanakan fahombo (lompat batu). Replika fahombo yang dibangun tahun 1980 dijadikan

sebagai akon atau bukti keberadaan orang Nias di Sibolga. Pelakasanaannya memang hanya di tujukan untuk alat olahraga pemuda Nias di perkampungan itu. Jika di Nias lombat batu bertujuan untuk menunjukkan kedewasaan seorang laki-laki namun di perkampungan ini hanya untuk olahraga dan jika ada yang berhasil melompat batu tersebut maka akan dipotong seekor ayam jago oleh masyarakat setempat.

merupakan salah satu seni tari yang sering mereka bawakan dalam resepsi pernikahan. Dalam setiap event yang dilaksana pemeritah Sibolga baik itu kegiatan kebudayaan maupun hari besar Sibolga seperti pesta manguri lawik, pemilihan ogek uning Sibolga, hari jadi Kota Sibolga, hari kemerdekaan, dan kegitan keagamaan seperti MTQ bagi masyarakat muslim dan kegiatan kekeristenan seperti KKR, Natal bersama dan OIKUMENE. Selain tarian maena juga ditampilakan tari perang, tari fataele/faluaya (tari perang), dan tari Moyo.

(25)

53

Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias . Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” ).

Bahasa mereka sedikit sekali perbedaannya dengan bahasa Batta dan Lampong daripada satu sama lain dan semuanya terbukti dari induk bahasa yang sama. Pengucapannya sangat guttural ( diucapkan dikerongkongan). Baik karena kebiasaan ataupun bentuk organ tubuh mereka yang unik, orang-orang ini tidak mampu mengucapkan huruf p. Kata-kata dalam bahasa Melayu yang sering mengandung huruf ini., mereka mengucapkan seperti f. Contohnya, mereka akan mengucapkan fulo finang dan bukan Pulo Pinang. Sementara itu sebaliknya, orang melayu itdak pernah menggunakan huruf f dan dalam mengucapakan kata bahasa Arab fikir menjadi pikir.56

Pada awal kedatangan Etnis Nias ditahun 1971, bahasa menjadi faktor penghambat mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat Sibolga. Streotip-streotip buruk mengenai budaya Nias menjadikan mereka disepelekan dan bahasa dijadikan

(26)

54

sebagai bahan ejekan oleh masyarakat Sibolga. Masalah bahasa ini menjadi salah satu pemicu konflik antara Etnis Nias dengan masyarakat Sibolga lainnya. Hal ini juga menjadi kendala dikarenakan dalam pelafalan masih banyak dari mereka yang membawa kebiasaan mengakhiri setiap kata dengan huruf vokal. Jadi kedengaran janggal jika saat mereka ingin mengatakan “tinggal di rumah” menjadi “tiga di rumah”, hal ini kedengaran seperti lelucon bagi mereka yang secara fasih menggunakan bahasa Indonesia. 57

57Wawancara dengan Bapak R. Hutagalung, tanggal 19 Mei 2015

Seiring dengan berjalannya waktu mereka akhirnya mampu beradaptasi dengan bahasa setempat dan mereka yang berpendidikan sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik.

(27)

55

Bagi masyarkat Nias yang ada di Sibolga kesadaran mempertahankan kebudayaan mereka sangat kurang. Streotip-streotip buruk tentang budaya Nias membuat mereka merasa malu terhadapat jadi diri mereka. Pada hal yang sangat disanyangkan jika Budaya Nias yang unik dan penuh dengan misteri harus hilang dan dilupakan.

(28)

56

Dalam setiap kegiatan kebudyaan di Sibolga yang melibatkan Etnis Nias di dalamnya memperlihatkan terjadinya asimilasi58

58

Asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi

perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorang atau kelompok manusia dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

. Dalam pernikahan campuran antara Etnis Nias dengan etnis lain misalnya Etnis Batak Toba, akan dilakukan musyawara antar keluarga. Bagaimana pesta pernikahan akan dilakukan. Jika dalam musyawara diputuskan untuk melakukan adat istiadat dari kedua belah pihak, biasanya mereka akan melakukan dua kali pesta adat atau menyatukan adat dalam satu resepsi pernikahan. Akan tetapi, selalu ada adat istiadat yang dominan dalam pesta tersebut dan yaung lainnya hanya diwakili dengan baju adat yang digunakan pengantin dan penampilan tarian atau musik tradisional.

Dalam pernikahan Etnis Nias yang beragama muslim mereka cenderung meninggalkan budaya mereka dan ikut dengan budaya sumando. Adapun yang melibatkan budaya dari Nias hanya nampak pada pakaian pengantin yang menggunakan pakaian Adat Nias dan penampilan tari maena dengan musik rebana.

(29)

57 BAB IV

INTERAKSI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NIAS DI SIBOLGA

Pada hakekatnya manusia memiliki sifat sebagai makhluk individual, makhluk sosial dan makhluk berkeTuhanan. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntun untuk menjadikan hubungan sosial antar sesamanya dalam kehidupan disamping tuntutan untuk hidup secara berkelompok. Melalui hubungan sosial, setiap individu harus menyadari kehadiranya disamping kehadiaran individu lain. Hubungan sosial tersebut dapat diterjemahkan sebagai bagian dari interaksi sosial.59 Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antar kelompok manusia dan antar orang perorangan dengan kelompok manusia. Selanjutnya apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan bahkan mungkin berkonflik. Aktifitas seperti itu merupakan syarat utama terjadinya interaksi sosial. Yoseph A. Roucek mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah suatu proses yang timbal balik dan mempuyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontrak langsung, melalui berita yang didengar atau dilihat.60

Etnis Nias adalah pendatang bersamaan dengan etnis lainnya yang ada di Sibolga. Beradaptasi di lingkungan baru bukan hal yang mudah bagi Etnis Nias

59Budhisantoso, S, Kebudayaan dan integrasi Nasional dalam Masyarakat Majemuk,Makalah

, PPS-PKN-UI, Jakarta: 1993, hlm. 13

60

(30)

58

mengingat Kota Sibolga adalah daerah yang sangat majemuk. Interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat majemuk bersifat lebih kompleks, karena menguhubungkan antar individu, antar kelompok dan antar suku bangsa yang berbeda-beda.61

Pengetahuan tentang asal-usul manusia sangat penting bagi kelangsungan hidup adat-istiadatnya. Hal ini disebabkan karena masa permulaan suatu komunitas masyarakat merupakan masa penentu yang sangat mendasar. Karena pada saat itulah dan bukan pada masa sesudahnya, unsur-unsur serta dasar-dasar suatu adat istiadat mereka terbentuk dan dasar-dasar itulah yang membuat komunitas masyarakat itu menjadi apa yang kini ada sesuai dengan hakekat mereka.

Interaksi Etnis Nias dengan etnis lainnya terjadi karena adanya kontak sosial. Kontak sosial antara Etnis Nias dengan sesama mereka maupun diluar etnis mereka terjadi melalui lingkungan sosial, perkerjaan, pendidikan, organisasi dan lain sebagainya.

4.1 Komunitas Etnis Nias di Sibolga

62

61

Royce Pelly, (dalam Usman Pelly), Hubugan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka Teoritis dalam , 1989 hlm. 182

62

(31)

59

Komunitas Masyarakat Nias (Ono Niha) di daerah Sibolga dan sekitarnya sudah ada sejak lama. Belum ada data pasti yang menceritakan sejak kapan persisnya kapan kedatangan komunitas Ono Niha dari Pulau Nias dan tinggal menetap di daerah Sibolga dan sekitarnya. Dari waktu ke waktu jumlah komunitas ini terus bertambah dan berkembang.

Sebagian besar Masyarakat Nias yang berada di Sibolga adalah buruh. Mereka umumnya buruh petani karet, sebagian penebang kayu ilegal dan legal untuk dijual. Mereka umumnya bekerja di perusahaan kecil milik orang lain atau kebun milik masyarakat setempat.Seperti masyarakat lain pada umumnya, Masyarakat Nias yang berada di perantauan terdorong untuk membentuk komunitas sendiri. Dengan membentuk perkampungan atau organisasi. Oleh karena pernyebaran Etnis Nias di Sibolga tidak merata, sehinggajarang terdapat perkampungan mereka di Sibolga. Perkampungan Niashanya terdapat di Simaremare Sibolga Utara. Perkampungan ini terbentuk sejak adanya pernyebaran Masyarakat Nias di daerah pegunungan pada tahun 1970-an. Mereka yang tinggal disana sudah sampai pada keturunan ke-2 bahkan ke-3 dari nenek moyang mereka yang pertama yang datang ketempat tersebut. Awalnya perkampungan itu hanya dihuni oleh mereka yang bekerja sebagai penyadap karet atau penebang kayu. Agar dekat dari tempat mereka bekerja menjadi alasan mereka untuk membangun pemukiman disana.

(32)

60

berdasarkan marga (mado), seperti persatuan Marga Harefa, Persatuan Marga Mendrofa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga Telaumbanuua, Persatuan Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan Marga Nazara. Selain itu juga masyarakat juga membentuk perkumpulan berdasarkan dimana mereka tinggal di Kota Sibolga seperti STM dan organisasi kepemudaan seperti PERMASI, dan Komisi Pemuda BNKP.

4.2 Interaksi Masyarakat Nias di Sibolga

4.1.1 Interaksi Antar Sesama Etnis Nias

Pemberian salam kepada sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi ketidakhamonisan. Hal ini dapat disebabkan oleh karakter, etiket dan gaya yang kurang diterima oleh kebanyakan orang. Sudah menjadi kebiasaan Etnis Nias menyapa dengan ucapan Ya’ahowu yang dilanjutkan dengan kata Yae nafoda atau bologö dödöu, lö afoda” (ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata ya’ami ba lala (selamat jalan) sebagai kata perpisahan.63

63Ya’ahowu bahasa Indonesia berarti semoga diberkati. Dari arti Ya’ahowu tersebut

terkandung makna memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih

Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap perhatian, tanggungjawab, rasa hormat dan

pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan

(33)

61

Kebiasaan makan sirih merupakan bagian penting dan memiliki fungsi yang hampir sama pada setiap etnis di Indonesia. Sirih digunakan sebagai sarana menjalin interaksi dalam setiap aktifitas kebudayaan maupun kehidupan sehari-hari seperti pernikahan, penghormatan, ritual, dan lain sebagainya.Di Sibolga sendiri Etnis Nias masih membawa kebiasaan ini dalam berinteraksi dengan sesama mereka. Akan tetapi, kebiasaan untuk makan sirih bersama saat berpapasan diluar sudah berkurang terkadang digantikan dengan rokok. Makan sirih hanya dilakukan saat sedang bertamu kerumah sanak saudara.64

Dalam berkomunikasi antar sesama mereka masih menggunakan bahasa Nias. Akan tetapi Seiring dengan perkembangan zamanada orang tua dari etnis ini yang Selain kebiasaan memberi salam dengan kata Ya’ahowu dan menawarkan sirih pada setiap orang yang disapa, mereka juga memiliki tatakrama dalam bertamu. Sirih memiliki peranan dalam komunikasi Etnis Nias. Setiap tamu yang datang mereka akan ditawarkan makan sirih sebagai basa-basi. Hal ini, sebelum pemilik rumah menanyakan maksud kedatangan tamu tersebut dan ditutup dengan menawarkan untuk makan terlebih dahulu. Kebiasaan seperti ini juga masih diterapkan oleh Etnis Nias di Sibolga sebagai tanda kerendahan hati dan sikap saling terbuka. Sikap tersebut juga berlaku pada setiap tamu yang datang baik itu dari sesama Etnis Nias atau dari Etnis lain.

persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam

pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

(34)

62

tidak lagi mengajarkan anak-anak mereka berbahasa Nias. Hal ini akibat adanya streotip-streotip buruk terhadap mereka dan dianggap sebagai penghambat bagi etnis Nias untuk beradaptasi. Dampaknya banyak anak-anak dari Etnis Nias yang tidak paham akan budaya asal mereka,yang lebih buruk bahkan ada yang malu mengakui adat dan budaya dari nenek moyang mereka.Hal ini sangat memprihatinkan bagi mereka yang peduli akan adat istiadat Nias.

Berdirinya PERMASNI 65 pada tahun 1995 dilatarbelakangi untuk menyatukan seluruh warga Etnis Nias yang ada di Sibolga juga untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mempertahankan adat istiadat mereka di tanah rantau. 66

65Pada saat penulisan Skripsi ini PERMASNI sudah di bubarkan pada tanggal 23 April 2003 dan pada tanggal 4 juli 2005 dibentuklah HIMNI (Perhimpunan Masyarakat Nias Indonesia) di Sibolga.

66Wawancara dengan Bapak Amasana Gulo, tanggal 22 Juli 2015

Kegiantan-kegiatan yang dilakukan PERMASNI seperti membentuk kelompok Pemuda dan diajarkan berbagai tradisi Nias seperti Tari Maean, Tari balance,moyo, Tari Ya’ahowu, hombo batu dan lainnya. Kelompok pemuda ini sering dipanggil untuk mengisi acara kebudayaan Nias dan juga kegiatan kebudayaan yang dilakukan pemerintah Sibolga. Mereka sering berpartispasi pada acara Pesta Laut mangure lawik, pemilihan ogek dan uningSibolga dan kegiatan keagamaan seperti

(35)

63

dari Etnis Minang, Barongsaidari Etnis Tionghoa dan ragam kesenian dari etnis yang berada di Sibolga.

4.1.2 Interaksi Etnis Nias dengan Etnis Lain di Sibolga

Etnis Nias yang ada di Sibolga tersebar di empat kecamatan. Mereka berbaur

dan berinteraksi dengan penduduk yang bukan hanya dari Etnis Nias saja tapi juga etnis lainnya. Mereka saling berbaur sehingga tidak ada perbedaan. Mereka saling menghargai dan rukun. Etnis Nias adalah sekelompok orang yang hidup atau menetap disuatu daerah. Etnis Nias yang ada di daerah pegunungan Sibolga umumnya beragama Kristen Protestan dan berbaur dengan etnis lain di daerah pedalaman Sibolga. Sementara mereka yang beragama Islam cenderung tinggal di daerah pesisir dan berbaur dengan etnis yang lebih beragam, seperti Bugis, Minang, Cina, dan sebagainya.

(36)

64

Indonesia memiliki masyarakat yang plural dalam lingkungan sosialnya. Berbagai macam etnis dan suku bangsa dapat hidup di satu tempat yang sama. Sehingga berbagai budaya berbaur dalam suasana toleransi. Hal ini juga terjadi Sumatera Utara terkhusus di Kota Sibolga. Banyak etnis yang menempati “negeri berbilang kaum” ini, seperti Jawa, China/Tionghoa,India, Batak, Bugis, dan juga Nias. Kemajemukan masyarakat Sibolga disebabkan oleh latar belakang sejarah yang pernah menjadi pusat transit para pedagang dari luar daerah Sibolga bahkan dari luar negeri.

(37)

65

juga akan ikut menortor dan memakai ulos batak dalam setiap pesta adat Batak Toba.67

Dalam interaksi antar umat beragama Etnis Nias juga menunjukkan sikap toleransi. Misalnya dalam pesta adat Etnis Nias yang beragama Kristen sangat identik dengan daging babi. Mereka akan menyiapkan makanan dan tempat terpisah untuk yang beragama Islam. Hal ini disebutparsubang.Akan tetapi, ada perbedaan dengan parsubang pada pesta Etnis Batak. Pada Etnis Batak makanan untuk parsubang,

disiapkan oleh pihak yang berpesta. Parsubang pada pesta adat Nias, undanganyang membawa bahan makanan dan memasak makanan mereka ditempat yang telah disiapkan di dalam pesta tersebut.68

Dalam kehidupan manusia, memerlukan hubungan timbal balik. Hubungan yang satu dengan yang lain, hubungan seseorang dengan kelompok, hubungan kelompok dengan kelompok itu sendiri. Hal ini menjadi sumber dinamika dalam perubahan dan perkembangan masyarakat.Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan karena interaksi sosial adalah suatu pendekatan yang dilakukan atau kebutuhan manusia sehari-hari. Dari keterangan di atas interaksi sosial adalah upaya yang dilakukan Etnis Nias dengan etnis lain di Sibolga yang merupakan hubungan timbal balik. Mereka hidup berdampingan secara harmonis satu dengan yang lain.

67

Wawancara dengan Bapak R. Hutagalung, tanggal 23 juli 2015

(38)

66

4.1.3 Faktor Penghambat Interaksi Masyarakat Nias di Sibolga

Pada dasarnya Etnis Nias adalah etnis yang terbuka terhadap budaya lain. Mereka menyadari keterbukaan itu penting untuk bisa bertahan hidup. Hal ini dapat dilihat dari Tari balanse. 69

Dalam catatan Snouck Hurgronje (terjemahan Budiman) dalam buku“Tanah Gayo dan penduduknya” (Het Gayo land en zijne bewoners), menjelaskan bagaimana Tari Balanse adalah tarian tradisional Nias yang berkembang di daerah Seberangan Paligam Kota Padang. Tarian ini adalah tarian tradisional Etnis Nias dan dikenal di Kota Padang. Keterbukaan Etnis Nias ini terhadap budaya lain yang menghasilkan suatu budaya baru menunjukkan kedekatan Etnis Nias terhadap etnis di luar Etnis Nias. Akan tetapi dalam hal ini terdapat sedikit perbedaan dengan Etnis Nias yang berada di Sibolga. Mereka agak tertutup. Ketertutupan Etnis Nias pada etnis lain menjadi penghambat interaksi mereka di sana. Hal ini di sebabkan oleh faktor sejarah dan mitos. Persepsi terhadap masyarakat Nias dan adanya kekuatan kelompok dominan (dilihat dari kekuatan ekonomi, penguasaan terhadap sumber daya alam, budaya dan hak historis yang menunjukkan penduduk asli dan pendatang). Adanya kelompok yang merasa dominan baik dilihat dari segi ekonomi, penguasaan sumber daya alam dan hak historis juga menjadi penghambat interaksi sosial. Persaingan dalam ekonomi, pemaksaan budaya oleh etnis pribumi, pendominasian suatu bidang oleh etnis tertentu menjadi pemicu adanya konflik.

(39)

67

orang Nias datang ke Aceh sebagai budak belian.70

Dari cerita diatas, bukan hanya di Aceh terdengar cerita tentang orang Nias. Di daerah lain dimana Etnis Nias bermigrasi selalu terdengar cerita mitos tentang Hurgronje menceritakan dalam bukunya seorang putri yang menderita penyakit kulit dan mengerikan, dibuang ke Pulau Nieh. Selama masa pembuangan, putri itu ditemani seekor anjing. Dipulau tersebut ia menemukan banyak tanaman peudang dan berangsur-angsur mulai mengenal khasiat penyembuhan dari akar peundang. Anehnya putri itu kemudian menikahi anjing tersebut dan menghasilkan seorang putra. Ketika putra itu dewasa dia ingin menikah. Akan tetapi, tidak ada penduduk lain selain ibunya di pulau itu. Lalu si ibu memberi cincin yang menunjukkan jalan bagi putranya; jika bertemu dengan wanita yang cocok dengan cincin itu maka itulah istrinya. Anak itu mengembara keseluruh pulau tanpa bertemu dengan seorang wanitapun. Pada akhirnya dia bertemu lagi dengan ibunya yang cincinnya cocok dengan jari ibunya. Mereka kemudia menikah dan dari pernikahan terlarang tersebut orang Nias berasal. Berdasarkan kisah geneologis itu, dalam silsilah orang Nias tidak ada yang menyatakan bahwa mereka keturunan babi atau anjing. Akan tetapi dalam percakapan sehari-hari mereka tetap dikatakan keturan anjing dan babi. Bahkan di Aceh ada sajak (hadi maja) yang mengejek orang Nias atau keturunan campuran Nias yang berbunyi “Nieh kemudee; uroe bee buy, malambee asee.” Artinya, “orang Nias yang makan buah mengkudu; bau seperti babi di siang hari, seperti bau anjing di malam hari.”

70

(40)

68

orang Nias. Walaupun cerita tersebut hanya sebuah mitos, namun bisa menimbulkan streotip buruk tentang Etnis Nias. hal ini akhirnya merubah cara pandang masyarakat terhadap Etnis Nias yang berujung menyepelekan atau menjauhi etnis tersebut.Di Sibolga sendiri mereka juga memiliki sebutan-sebutan yang mengejek seperti “lao”. Orang Batak di Sibolga juga sering menyebutan “Nias so jolma”.71

Etnis Nias di Sibolga merupakan salah satu etnis yang diakui di Sibolga. Budaya sumando merupakan budaya yang mengatur adat pernikahan beda etnis di Sibolga. Pernikahan beda etnis sudah banyak terjadi dikalangan Etnis Nias. Pernikahan campuran di Sibolga selalu di awali dengan musyawarah mengenai adat istiadat mana yang akan dilaksanakan dalam resepsi pernikahan. Walaupun dilakukan musyawarah, dalam pernikahan antara Etnis Nias dengan etnis lain mereka selalu mengikuti adat istiadat dari etnis lain.Contohnya,pekawinan dengan adat istiadat

Padangan-pandangan seperti ini pada akhirnya menimbulkan konflik. Konflik antara Etnis Nias dengan etnis lain memang tidak sampai pada konflik yang besar antar kelompok dan dapat di selesaikan secara kekeluargaan. Akan tetapi hal inimenyebabkan Etnis Nias agak tertutup terhadap masyarakat setempat. Kondisi ini semakin didukung oleh latarbelakang ekonomi, pendidikan dan pekerjaan mereka yang masih tertinggal. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, situasi ini telah mengalami perubahan.

4.3 Partisipasi Masyarakat Nias dalam budaya Sumando di Sibolga

(41)

69

Batak,jika salah satu pengantin berdarah batak, mengunakan adat istiadat Bugis jika pasangan yang dinikahai berdarah Bugis. Begitu juga pernikahan campuran antara Etnis Nias dengan Etnis pesisir maka adat istiadat yang digunakan adalah adat istiadat sumando. Bagi Masyarakat Nias pernikahan dengan mengikuti adat istiadat dari etnis

lain dianggap lebih baik. Hal ini dengan pertimbangan jika pesta pernikahan yang dilakukan dengan adat istiadat Nias akan memakan biaya yang sangat mahal. Selain itu juga kurang efesien jika dilakukan di Sibolga yang penduduknya sangat plural. Akan tetapi untuk tanda kecintaan terhadap budaya leluhur Nias dan penghargaan bagi Masyarakat Nias yang sama-sama merantau di Sibolga maka dalam pernikahan itu akan ditampilkan tarian maenadan menandu pengantin perempuan.72

Pada pernikahan campuran yang menggunakan adat istidat sumando, pihak keluarga dari salah satu pengantin yang beretnis Nias tidak berperan secara menyeluruh dalam pesta tersebut. Mereka hanya hadir dan mengikuti serangkaian adat istiadat yang dilaksanakan. Budaya Nias seperti tarian maena dan acara menandu pengantin wanita hanya dilakukan disela acara sebagai hiburan saja. Seperti pernikahan Bapak Jamil Zeb Tumori dengan istrinya yang bermarga Nasution. Dalam pernikahan yang dilakukan bapak Jamil Zeb Tumori memilih untuk menggunakan adat istiadat yang dianut sang istri yakni adat sumando. Dalam pelaksanaan pernikahan Bapak Jamil dan istri beliau menggunakan pakaian adat pesisir dan serangkaian adat istiadat Sumando. Walaupun Bapak Jamil Zeb tidak menanggalkan marganya, namun dalam kehidupan sehari-hari beliau dan keluarga menggunakan

(42)

70

adat istiadat pesisir. Seperti perayaan tujuh bulanan sang istri dan acara potong rambut sang anak. Dalam pernikahan campuran antara Etnis Nias dan Etnis Pesisir sangat minim partisipasi budaya Nias.

Berbeda dengan kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan pemerintah kota Sibolga. Budaya Nias sering ditampilkan dalam setiap kegiatan kebudayaan di Sibolga. Bahkan pada pesta laut mangure lawik yang dilaksanakan pada tahun 2000 Budaya Nias seperti tari maena dikombinasikan dengan tari-tarian dari semua etnis yang ada di Sibolga.73

Jumlah mahar perkawinan yang berlaku dalam adat perkawinan Etnis Nias menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat Nias untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Oleh karena itu melangsungkan pernikahan di daerah lain (di luar daerah Nias) seperti di Sibolga menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat Nias. Untuk

4.4 Tradisi Pernikahan Etnis Nias Di Sibolga

Salah satu upacara penting dan menentukan dalam adat lingkaran hidup di kalangan Etnis Nias adalah perkawinan. Pada upacara ini solidaritas kekeluargaan laksanakan dengan sungguh-sungguh. Segenap anggota masyarakat desa ikut terlibat sebagaimana lazimnya. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan di Nias bukan hanya merupakan urusan antara dua orang saja yaitu seorang pengantin laki-laki dan seorang perempuan. Akan tetapi perkawinan adalah urusan antara keluarga dengan keluarga yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

(43)

71

menghindari besarnya bowo (mahar) yang harus diberikan laki-laki kepada pihak perempuan. Untuk melakukan suatu pesta puluhan ekor ternak bawi (ternak babi), kefe (uang kertas), bora (beras), tiro (uang perak) dan ana’a(emas). Emas (cicin

untuk memperlai perempuan dan ibu mempelai perempuan), jumlah bawi sekitaran 30 ekor dan beras 20 karung. Pada tahun 2000 harga 1 ekor babi besar bisa mencapai 900000-1.000.000 rupiah perekornya. Jika dikalikan 30 ekor akan mencapai kurang lebih Rp. 30.000.000. Hal ini, Hanya untuk ternak saja sudah mencapai puluhan juta belum belum termasuk emas dengan tafsiran harga Rp. 300.000/gram. Selain pada mempelai perempuan dan ibu mempelai perempuan, paman, saudara, nenek, bahkan dari perwakilan masyarakat kampung si mempelai perempuan harus diberi emas. Sangat besar biaya yang akan dibayar untuk satu pesta pernikahan saja.

(44)

72

mempelai perempuan menandakan bahwa mempelai wanita tersebut adalah wanita yang suci dan mematuhi peraturan adat sebelum pesta pernikahan.74

Sangat jarangEtnis Nias yang berada di Sibolga melaksanakan adat pernikahan secara lengkap seperti yang dilaksanakan di Nias. Etnis Nias yang melakukan pernikahan di Sibolga umumnya secara sederhana, yakni pemberkatan ke gereja dan acara syukuran dirumah tanpa hiburan. Tari maena pun tidak dilaksanakan. Pernikahan dilaksanakan sesuai dengan adat istiadat di Nias, hanya bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Contoh, pernikahan anak dari Bapak Muklis Gea tahun 1999. Sejak pelaksanaan pertunangan hingga resepsi pernikahan hampir seluruh adat Nias itu dilaksanakan walaupun hanya seremoni semata. Mulai dari acara famaigi nono nohalo (melihat calon pengantin perempuan), famato gera-era mbowo (keputusan uang jujuran)famunu manu(tunangan dan penetapan hari

pernikahan), famozi aramba (pemberitahuan kepada keluarga pengantin pria tentang pernikahan yang akan dilaksanakan)75, fame’e nono nihalo (pemberian nasehat pada mempelai perempuan dan diapun melakukan tangisan kepada orang tuanya dan keluarganya yang lain), folau mbawi (mengantar babi pesta)76

74Wawancara dengan Bapak Muklis Gea, tanggal 25 juli 2015

75 Pelaksanaan Famozi aramba bukan hanya pemberitahuan kepada keluarga mempelai pria. Akan tatapi Etnis Nias di Sibolga menyamakan famozi aramba juga untuk mengundang warga kampung, teman, pejabat, atau orang –orang kenalan keluarga pengantin.

76 Dalam pernikahan anak Bapak Muklis Gea, ternak babi diganti dengan ternak kerbau , falowa (pelaksanaan

(45)

73

fanoro omo (memperkenalkan sanak saudara atau keluarga perempuan).77

Kendati demikian bagi Etnis Nias yang berada di Sibolga bukan bermaksud ingin melupakan adat istiadat dari leluhur mereka. Akan tetapi, besarnya biaya adat membuat mereka menyederhanakan pelaksanaannya. Pelaksanaan adat istiadat Nias di Sibolga selalu diusahakan oleh masyarakat Nias sejalan dengan adat istiadat dari leluhur tanpa mengurangi nilai-nilai kesakralan adat istiadat tersebut. Dalam penetapan bowo misalnya, bowo merupakan sebagai tanda bukti kasih kepada pihak perempuan. Pihak perempuan dengan meminta bowo menunjukkan penghargaan dan cinta mereka kepada putrinya. Jadi jujuran adalah suatu sikap yang baik antara kedua bela pihak keluarga yang mengikat tali kekeluargaan yang terjadi karena perkawinan antara kedua mempelai.

Semua dilaksanakan dengan baik walaupun ada dari adat di atas hanya sebagai seremoni semata.

78

Bowo tidak lagi ditetapkan berdasarkan hukum fondrako,

melainkan hasil musyawarah dan kesanggupan ekonomi dari pihak laki-laki. Jadi pelaksanaan adat istiadat diupayakan lebih efisien dan sesuaikan dengan kemampuan ekonomi. Akan tetapi kesakralan adat istiadat Nias tetap diutamakan.

77fanoro omo , famuli nukha , famego dilaksanakan dihari yang sama. Di Nias pesta adat bisa

sampai berhari-hari. hal ini juga yang membuat tingginya biasa pernikahan karena harus memberi

makan orang sekampung pada setiap tahapan adat pernikahan.

78

Bamlaowo Laia, solidaritas kekeluargaan dalam salah satumasyarkat desa di Nias

(46)

74 BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dalam sejarah migrasi Etnis Nias ke berbagai daerah dilatarbelakangi oleh budaya mereka yang mengenal pelapisan masyarakat. Kelompok sawuyu (budak) yang mendorong adanya penjualan budak dari Nias ke daerah-daerah di luar daerah Nias. Di Sibolga sendiri budak-budak dari Nias di bawa oleh Belanda sebagai buruh kontrak. Setelah habis masa kontrak mereka akan memilih melanjutkan kontrak mereka atau mencari pekerjaan lain di Sibolga. Mereka memilih untuk tidak kembali ke daerah asal mereka karena budaya mereka yang terlalu mengekang golongan sawuyu dan menguntungkan golongan siulu (bangsawan). Perkembangan Kota

Sibolga dalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, transportasi dan infrastruktur lainnya mendorong tingginya mobilitas penduduk Nias ke Sibolga di tahun 1971.

Sebagai kelompok pendatang, Etnis Nias melakukan penyesuaian dengan lingkungan baru mereka dengan berinteraksi terhadap masyarakat Sibolga. Dalam kehidupan sosial budaya Etnis Nias di Sibolga, mereka hidup dan berinteraksi dengan beragam etnis di Sibolga melalui pekerjaan, pendidikan, pergaulan lingkungan sosial serta adanya pernikahan campuran.

(47)

75

Masyarakat Nias di sana. Selain itu, adanya kelompok dominan, hak historis serta minimnya penguasaan mereka terhadappotensi alam dan keterbelakangan pendidikan juga menjadi penghambat interakasi sosial Etnis Nias di Sibolga.Akan tetapi, seiring perkembangan jaman mereka sudah banyak yang berpendidikan sehingga mereka mampu menyamai posisi mereka dengan etnis lainnya. Hal ini secara perlahan mengikis streotip buruk tentang mereka.

Pernikahan campuran antara Etnis Nias dengan Etnis Pesisir Sibolga lebih mengacu pada pernikahan dengan adat istiadat sumando. Partisipasi Etnis Nias dalam pernikahan tersebut hanya terlihat dalam penampilan Tari Maenadan acara menandu mempelai wanita.

Dalam pernikahan sesama Etnis Nias di Sibolga, mereka selalu berusaha untuk melaksanakan tahapan-tahapan pernikahan sesuai dengan adat istiadat yang ada di Nias. tahap-tahapan pernikahan Etnis Nias yang terdiri dari empat tahapan yakni Famuli mbola, fangoto bongi, fangowalu dan famuli nuchadilaksanakan secara

lengkap. Akan tetapi hal inipun telah disesuaikandengan kondisi tempat, waktu dan ekonomi mereka.

(48)

76

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan membuktikan bahwa perbedaan etnis di Sibolgadengan keragaman perbedaan tidak menghilangkan rasa solidaritas. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya Etnis Nias di Sibolga. Toleransi beragama dan berbudaya dapat terwujud dalam kehidupan bermasyarakatnya. Etnis Nias sebagai etnis minoritas dan hidup dalam streotip buruk terhadap mereka tidak menjadi hambatan untuk berkembang di daerah itu. Dalam kehidupan sosial budaya mereka selalu mendapatkan hak yang sama demgan etnis lain di Sibolga yang di wujudkan dalam peranan mereka pada berbagai kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan pemerintah Kota Sibolga. Mengacu pada sejarah dan pentingnya mempertahankan tolerasi antar umat beragama dan berbudaya, penulis mencoba memberi saran:

1. Kita sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat harus saling menghargai satu sama lain, walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan yang kita miliki dan rasa toleransi tinggi menjadi modal sebuah bangsa yang pluralis dapat bertahan dengan keberagamannya. Semoga penulisan skripsi ini dapat menjadi contoh bahwa perbedaan itu tidak selalu diwarnai oleh konflik.

(49)

77

3. Bagi Dinas Kebudayaan Kota Sibolga semakin meningkatkan fungsi Hombo Batu yang telah di bangun di daerah Simaremare. Serta memfasilitasi pembangunan rumah adat Nias sana. Oleh karena lokasi itu sangat potensial untuk menarik wisatawan.

(50)

26

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA TAHUN 1971-2000

2.1 Letak Geografi

Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan sosial budaya. Kota Sibolga terletak di Pantai Barat Sumatera. Posisi Pantai Barat Sumatera dari Singkil di Utara hingga Indrapura di Selatan. Di sebelah Utara daerah ini terdapat kerajaan Aceh, Sebelah Timur terdapat Daerah Batak, Kerajaan Siak dan Indragiri. Sebelah Selatan terdapat Daerah Kerincidan Bengkulu, di sebelah Barat terhampar Samudera Hindia. Ciri utama topografi kawasan pantai Barat adalah berbukit-bukit. Salah satu wilayah dari gugusan pegunungan ini adalah teluk Sibolga.15

Secara astronomi, Sibolga terletak pada 10 44-10 46 LU dan 980 44-980 48 BT. Batas Kota Madya Sibolga disebelah utara dan timur adalah kecamatan Sibolga, di sebelah Selatan adalah Kecamatan Pandan dan di sebelah Barat adalah Teluk Tapian Nauli. Kotamadya Sibolga merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada dalam wilayah daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara. Jaraknya lebih kurang 344 km dari Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Bentuk Kota

(51)

27

memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timur terdiri dari gunung dan sebelah Barat adalah lautan. Lebar kota yaitu jarak dari garis pantai ke pegunungan sangat sempit hanya lebih kurang 500 meter 25sedangkan panjangnya adalah 8. 520 km.Karena sempitnya daratan yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk, akhirnya banyak tepian pantai yang ditimbun menjadi daratan untuk dijadikan lahan pemukiman. Bahkan sebagian pemukiman didirikan di atas laut.16

Kota Sibolga mempunyai wilayah seluas 1077,00 Ha yang terdiri dari 889,16 Ha (82,5%) daratan, 187,84 Ha (17,44%) daratan kepulauan dan 2.171,6 luas lautan. Beberapa pulau-pulau yang tersebar di sekitar Teluk Tapian Nauli yang termasuk kedalam wilayah administratif kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng dan pegunungan.Wilayahnya terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter. Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian Nauli sebagian lagi merupakan dataran bekas rawa dipantai dataran Sumatera yang ditimbun, membujur dari barat Laut ke tenggara dengan ukuran 5,6 kali 0,5 km. dataran ini merupakan tempat pemukiman penduduk.17

16S. Budhisantoso,dkk ,Op. Cit., hlm.11 .

(52)

28

Bentuk Kota Sibolga memanjang dengan arah barat laut–tenggara dengan luas sekitar 2,8 km2. Panjang kota sekitar 5,6 km. Batas ko kea rah Tarutung pada kilometer 3,9; ke arah Padang Sidempuan pada kilometer 3,4; dan ke arah Barus pada kilometer 2.

Fasilitas jalan di dalam Kota Sibolga pada umumnya lurus-lurus dan sudah di aspal. Lebar jalan utama sekitar 4-6 m, sedangkan jalan-jalan cabang hanya sekitar 3 m. Panjang jalan kota sekitar 40 km. di kota ini terdapat 21 buah jembatan dengan kondisi empat jembatan Beton, 16 jembatan kayu, dan 1 satu jembatan besi karena adanya sungai-sungai kecil.18

Iklim kota Sibolga termasuk panas dengan suhu maksimum mencapai 32° C

dan minimum 621.6° C. Sementara curah hujan Sibolga cenderung tidak teratur

disepanjang tahunnya.19 Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah 798 mm, sedangkan hujan terbanyak terjadi pada Desember yakni 26 hari. Jika dibandingkan curah hujan di Nias yang mencapai 2.927,6 mm pertahun dengan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari.20

Secara geografis Sibolga terletak ± 85 mil laut dari Nias. Hal ini membutuhkan sedikitnya waktu 10 jam perjalanan dari Nias ke Sibolga dengan

Lokasi Sibolga lebih mendukung untuk perkebuanan karet dan juga pertanian di bandingkan dengan di Nias.

18 Budhisantono,dkk, Op .Cit., hlm. 13

19

Ibid,.hlm. 12.

20

(53)

29

menggunakan kapal pengangkutan. Hingga pada tahun 1970 Sibolga merupakan satu-satunya akses untuk menghubungan Nias dengan daerah lain di Sumatera Utara. Lokasi Sibolga yang begitu dekat dengan Nias menyebabkan Sibolga menjadi lokasi migrasi yang cukup strategis bagi Etnis Nias.

2.2 Budaya

Kejayaan Sibolga sebagai Kota Pelabuhan di masa lampau mewarnai corak sosial budaya masyarakat Sibolga. Pada abad ke-19, pulau ini sudah dikuasai Belanda. Selain para pedagang yang bermukim, Belanda mendirikan pula rumah tahanan untuk orang hukuman yang dikenal dengan nama orang rantai21

Kegiatan perdagangan dan pelayaran di Sibolga menyebabkan sebagian besar penduduknya merupakan pencampuran antara sesama orang perantau. Penataan penduduk oleh pemerintah Belanda bukan berdasarkan teritorial tetapi berdasarkan pada suku bangsa. Setiap kelompok etnis dipimpin oleh seorang penghulu, yaitu Etnis

yang sengaja didatangkan dari berbagai daerah ( Nias, Jawa, Batak, Madura, Bugis dan lain-lain). Mereka dipekerjakan untuk membuka hutan, membangun jalan dan perkampungan. Dalam perkembangan pelabuhannya, Sibolga berhasil menarik orang-orang dari dalam maupun luar negeri untuk ikut andil dalam aktifitas pelabuhan baik itu sebagai pedagang, pekerja buruh pelabuhan, maupun perkerjaan lainnya yang bersangkutan dengan kegiatan pelabuhan.

21

Orang rantai adalah sebutan orang yang tinggal di sekitar Sibolga terhadap budak -budak

(54)

30

Batak dipimpin oleh penghulu Toba, Etnis Minang diatur oleh Penghulu Darek, Etnis Nias dipimpin oleh Penghulu Nias dan demikian juga dengan etnis lokal lainnya. Berbeda dengan kelompok masyarakat asing, mereka dipimpin oleh seorang kapitan seperti Kapitan Keling, Kapitan Cina, Kapitan Arab untuk mengatur masyarakat. Akan tetapi, jumlah masyarakat Etnis Batak yang lebih mendominasi.22

Dalam upacara perkawinan dengan adat sumando biasanya diikuti kesenian khas pesisir yaitu sikambang.23 Kesenian Sikambang yang berasal dari Barus ini berakar dari cerita rakyat yang mengisahkan percintaan antara sikambang dengan putri Intan. Kesenian sikambang ini berkembang hampir diseluruh Pantai Barat Sumatera Utara bahkan sampai ke Pantai Sumatera Barat dan Pantai Bengkulu. Sementara itu masyarakat Batak dalam pesta selalu menyertakan kesenian Tortor dan Tumba.24

Tidak ada data statistik mengenai berapa jumlah penduduk berdasarkan Etnis. Akan tetapi dalam Buku Profil Sibolga tercatat. Selain keberagaman dari kelompok etnis, kota Sibolga juga memiliki keragaman agama. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, mayoritas penduduk Sibolga beragama Islam. Jumlah penganut agama

22Pemko Sibolga, Keberagaman Etnik Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 17

23Sikambang adalah kesenian yang memadukan musik, tarian, senandung, pantun yang paling populer di Kota Sibolga. kesenian Sikambang ini biasa dipertunjukkan pada saat upacara pernikahan, penyambutan, dan hari-hari besar.

(55)

31

Islam mencapai 47,763 jiwa, yaitu sebesar (58,48%) dari total penduduk. kemudian yang terbesar selanjutnya adalah agama protestan 26,436(32, 36%), Katolik 4.259 jiwa(5,21%), Budha 3.000 jiwa (2,67%) , Hindu 115 jiwa (0,14%). Masyarakat yang beragama protestas dan katolik cenderung bertempat tinggal di daerah pedalaman sementara yang beragama Islam berada di bagian pesisir Sibolga.25

Keragaman penduduk terlihat jelas pula pada adat istiadat yang berlaku ditengah masyarakat. Pada Etnis Batak berlaku adat jujuran,

Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam pergaulan adalah bahasa Pesisir dan Bahasa Batak. Bahasa pesisir adalah bahasa penduduk asli yang berdiam disekitaran pantai. Bahasa ini memiliki lagam sendiri, yakni perpaduan antara bahasa Melayu, Pesisir dan Batak Toba dan bahasa pendatang lainnya. Dalam masyarakat Nias pengunaan bahasa pesisir bertujuan untuk menjalin komunikasi yang baik bagi masyarakat etnis lain di Sibolga. Sementara Bahasa Nias digunakan pada sesama Etnis Nias. Akan tetapi, sama dengan bahasa dari etnis lain di Sibolga, Bahasa Nias juga ada yang diserap ke bahasa pesisir seperti, godo-godo dalam bahasa pesisir Godok-godok, ini juga merupakan makanan khas Nias yang berbahan baku ubi yang

juga makanan ini di kenal di Sibolga.

26

25

Budhisantono,dkk, Op .Cit.,

26

Adat jujuran adalah pemberian mahar yang dalam adat batak mahar di tentukan dalam acara pertunangan (martuppol)

(56)

32

dikalangan masyarakat Sibolga.27

Masyarakat yang datang ke Sibolga memang diwajibkan untuk menyesuaikan diri dengan budaya asli Sibolga, namun bukan berarti budaya asli mereka tidak boleh di laksanakan di Sibolga. Semua Etnis di Sibolga dengan bebas menampilkan budaya mereka di Sibolga asal masih dalam aturan budaya Sumando yang telah di tetapkan. Etnis Nias tidak mengunakan budaya Sumando dalam pernikahan sesama Etnis Nias. Akan tetapi, Etnis Nias yang menikah dengan etnis pesisir justru meninggalkan budaya mereka dan mengikuti budaya Sumando.Hanya saja mereka yang sudah beragama Islam dari daerah asalnya menyajikan budaya Nias berupa tari maena

Etnis lain yang bukan bagian dari budaya sumando bukan berarti tidak memiliki pengaruh terhadap budaya Sumando. Budaya dari Etnis lain juga sering ikut berpartisipasi dalam kegiatan budaya Sumando, misalnya dalam pesta laut masyarakat pesisir, Etnis Nias juga ikut berpatisipasi. Setidaknya dengan menampilkan tarian Maena. Demikian juga Etnis bugis, Etnis Jawa, Etnis Cina, dan India juga ikut serta dalam kegiatan budaya di Sibolga. Budaya Sumando menjadi alat untuk menyatukan seluruh perbedaan yang ada di Sibolga dalam satu kegiatan kebudayaan.

28

27

Pemko Sibolga, Keberagaman Etnis Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 17

28

Tari Maena adalah tari yang di iringi dengan alat music tradisional Nias. Namun oleh

masyarakat Nias Barat yang mayoritas Muslim tarian ini dipengaruhi budaya Arab Sehingga tarian ini

dalam penampilannya diiringi dengan musik rebana.

(57)

33

pihak yang melakukan pesta harus menyediakan makanan untuk parsubang.29

Kebersamaan dan toleransi yang ditunjukkan mereka dalam kehidupan bermasyarakat yang plural dapat dilihat dalam berbagai kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kegiatan kalender yang dilaksanakan pemerintah Kota Sibolga, seperti Mangure lawik,

Hal ini juga berlaku untuk etnis lainnya di Sibolga.

Sebelum adanya pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dengan slogan Bhineka Tunggal Ika. Sibolga telah terlebih dahulu menginplementasikannya dalam kehidupan kehari-hari dari masyarakatnya. Sibolga dihuni oleh berbagai etnis dan agama dengan berbagai ragam budaya dan adat istiadat dari setiap etnis yang ada. Sibolga merupaka negeri berbilang kaum perekat umat beragama adalah Kalimat yang mengisyaratkan tentang sebuah “kebersamaan dan toleransi” yang dibangun oleh masyarakat Sibolga dari sejak dahulu.

30

MTQ, pemilihan Ogek dan Uning,31

29

Parsubang adalah makanan khusus bagi mereka yang tidak memakan daging babi.

30

Mangure Lawik adalah acara budaya yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur

sekaligus memanjatkan doa untuk kelestarian laut. Biasanya dilaksanakan pada saat nelayan akan memulai musim penangkapan ikan, beragam acara budaya dari semua etnis di Sibolga juga ditampilkan pada kegiatan ini.

31Ogek dan Uning adalah sebutan untuk laki-laki dan perempuan dalam budaya pesisir.

Pemilihan ogek dan uning sama dengan pemilihan putra-putri di daerah lain, seperti jaka dan dara di

Medan, udo dan uni di Sumatera Barat atau abang dan nonedi Jakarta. Tujuan dari pemilihan ogek dan

uning ini adalah untuk mempertahankan dan menumbuh kembangkan seni dan budaya dan

pengetahuan kepariwisataan kepada generasi muda Kota Sibolga.

(58)

34

Sibolga, hari kemerdekaan dan sebagainya yang melibatkan seluruh Etnis yang ada di Sibolga tampa terkecuali. 32

Pada tahun 1930-1961 perkembangan penduduk Sibolga mencapai rata-rata 8,7% per tahun. Selanjutnya hingga tahun 1980 rata-rata itu adalah 3,8% pertahun.Hingga tahun 1970-1982 jumlah penduduk Sibolga bisa mencapai 61.527 sekitar 3,8% pertahun lebih besar dari laju pertambahan penduduk provinsi Sumatera Utara yang besarnya 2,6% pertahun. Sementara itu laju pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 1971-1980 menunjukkan angka 2,32% pertahun.

2.3 Penduduk

33

Penduduk usia 0-15 tahun berjumlah 26.792 jiwa, dengan penduduk usia SD berjumlah 9.606 jiwa. Penduduk usia belum sekolah (0-4 tahun) berjumlah 9.814 jiwa. Sementara jumlah penduduk tingkat usia TK (5-6 tahun) dan penduduk tingkat usia SMTP (13-15 tahun) berjumlah 7.372 jiwa dan usia SMTA (15-24 tahun) 13.429 jiwa. Untuk memenuhi pendidikan TK tersedia 7 buah STK, 59 buah SD, 9 buah untuk SMTP dan 7 buah SMTA. Dalam hal pendidikan Sibolga menjadi pusat Pada tahun 1980, penduduk Kota Sibolga berjumlah 59,466 jiwa yang terdiri dari 50,9% penduduk laki-laki dan 49,1% penduduk perempuan. Dari jumlah penduduk itu hanya sekitar 2% berwarga Negara asing (WNA Cina 1,5% dan sisanya SNA lain). Rata-rata kepadatan penduduk Kota Sibolga adalah 21.000 jiwa/km2.

32Wawancara dengan Bapak Radjoki Nainggolan, tanggal 12 Maret 2015

Gambar

Gambar: Peta Kota Sibolga
gambar : Alat musik Tradisional Nias
Gambar; Pakaian adat pernikahan Nias

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan Batak Toba Muslim yang terdapat di kota Sibolga dengan serangkaian dorongan yang memaksa mereka untuk berpindah

Tidak hanya dalam bersosialisasi, kehidupan berbudaya masyarakat Muslim Tionghoa setelah mereka menjadi muallaf juga akan dianalisa, antara lain pada saat

Adaptasi yang dilakukan oleh suku Nias terhadap suku Karo cukup baik, mereka berbaur dalam kehidupan suku Karo, serta menciptakan interaksi yang baik serta

Meskipun di Pasar Loak Dupak Rukun ini di dominasi oleh pedagang dari etnis Madura, namun tidak ada perbedaan perlakuan pedagang satu dengan yang lain.. Pedagang juga

Penduduk pendatang berasal dari berbagai etnis baik dari daerah lain di Indonesia, seperti orang Minang, Batak, Jawa, Banjar, dan lain-lain maupun bangsa asing

Akan tetapi ditahun 1980-an banyak dari Etnis Nias yang sudah berpendidikan dan juga telah terjadinya pernikahan campuran antar mereka dengan etnis lain di

Selain nama, bentuk penyajian tari bungkus juga berbeda dengan tari sapu tangan Pesisir Sibolga disajikan dengan cara berpasangan seperti muda-mudi diperbolehkan untuk

Begitu juga dalam Seni pertunjukan, disamping istilah nama yang sama, bentuk- bentuk dan hasil kesenian di Minang dan Adat Pesisir Kota Sibolga banyak juga yang sama,