• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejadian Laminitis Dan Hubungannya Dengan Anestrus Pada Sapi Perah: Studi Kasus Di Kpbs Pangalengan, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kejadian Laminitis Dan Hubungannya Dengan Anestrus Pada Sapi Perah: Studi Kasus Di Kpbs Pangalengan, Jawa Barat"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KEJADIAN LAMINITIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN

ANESTRUS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus

di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

WURI WULANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

WURI WULANDARI. Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Dibimbing oleh KURNIA ACHJADI.

Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku sapi perah yang disebabkan oleh banyak faktor dan dapat terjadi secara akut, subakut, maupun kronis. Penyebab laminitis berkaitan erat dengan keadaan asidosis pada rumen akibat meningkatnya konsumsi pakan tinggi karbohidrat. Laminitis pada sapi perah telah dilaporkan menimbulkan rasa sakit pada lamina kuku, kepincangan, perubahan struktur kuku, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi. Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan laminitis terhadap kejadian anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Berdasarkan data jumlah kasus laminitis yang diambil tahun 2011 hingga 2013, dilaporkan persentase kasus laminitis yang diikuti dengan kejadian anestrus pada tahun 2011 yaitu sebanyak 40,93% (88/215), tahun 2012 sebanyak 29,76% (50/168), sedangkan tahun 2013 sebanyak 29,17% (77/264). Selanjutnya, digunakan perhitungan statistik menggunakan metode Correlation untuk menghitung tingkat korelasi antara laminitis dan anestrus. Hasil perhitungan didapatkan angka korelasi sebesar 0,473** (α = 0,05) yang menandakan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian laminitis dan anestrus pada sapi perah.

Kata kunci: laminitis, asidosis, anestrus, sapi perah

ABSTRACT

WURI WULANDARI. Laminitis and Its Correlation with Anestrus in Dairy Cows: A Case Study in KPBSPangalengan, West Java. Supervised by KURNIA ACHJADI.

Laminitis is the inflammation of laminar wall of the hoof which caused by various factors and may happen in acute, sub acute and chronic form. The cause of laminitis is associated with ruminal acidosis as a result of increased carbohydrate intake. Laminitis on dairy cows has been reported to cause hoof pain, lameness, deformation of hoof structure, decreased milk production, and reproductive disorders. This research aims to analyze the correlation between laminitis and anestrus occurrence in dairy cows in KPBS Pangalengan, West Java. Based on the data, the percentage of laminitis case followed by anestrus occurrence is 40,93% (88/215) in 2011, 29,76% (50/168) in 2012, and 29,17% (77/264) in 2013. A statistical analysis using correlation method was conducted to determine the correlation between laminitis and anestrus. Results showed that the correlation level is 0.473** (α = 0.05). Thus, it is concluded that there is a significant correlation between laminitis and anestrus on dairy cows.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KEJADIAN LAMINITIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN

ANESTRUS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus

di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

WURI WULANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Februari 2015 ini ialah Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh R Kurnia Achjadi, MS selaku pembimbing utama dan Ibu Dr Drh Chairun Nisa, MSi selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Drh H Asep Rahmat K sebagai manajer kesehatan hewan dan seluruh staf Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa dan Mama tersayang (Indrajati, SPd dan Herniwati), serta kakak dan adik saya (Ratih Anggia Puspa, Rangga Wisanggara, dan Wigiya Untari), seluruh keluarga, Bayu Firmala Kusuma, Partner saya Fitri Jati Nuralam, sahabat, serta teman-teman perwira 52 dan Ganglion 48 atas segala bentuk dukungan baik doa, saran, semangat, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Laminitis pada Sapi Perah 2

Patogenesa Laminitis 3

Dampak Laminitis pada Sapi Perah 3

Anestrus pada Sapi Perah 4

METODOLOGI 4

Tempat dan Waktu 4

Metode Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Profil dan Keadaan Umum KPBS Pangalengan 5

Populasi Sapi Perah di KPBS Pangalengan 5

Kasus Laminitis pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan 6 Hubungan Kasus Laminitis dengan Anestrus pada Sapi Perah di KPBS

Pangalengan 8

SIMPULAN DAN SARAN 9

Simpulan 9

Saran 9

DAFTAR PUSTAKA 10

LAMPIRAN 11

Kuisoner Peternak 11

Kuisoner Petugas Kesehatan 14

Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15

Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 17

(10)

DAFTAR TABEL

1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014 6 2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013 6 3 Jumlah kejadian laminitis yang disertai anestrus pada sapi post partus

di KPBS Pangalengan 2011-2013 8

4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan

anestrus post partus menggunakan metode Correlation 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisoner Peternak 11

2 Kuisoner Petugas Kesehatan 14

3 Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang berpotensi untuk pengembangan usaha di bidang peternakan, salah satunya peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Hal tersebut ditandai oleh kenaikan produksi susu sapi nasional. Produksi susu nasional pada tahun 2011 sebanyak 974,70 ribu ton. Produksi susu sapi tersebut mengalami kenaikan sekitar 7,16% dibandingkan produksi susu tahun 2010 sebesar 909,53 ribu ton (Ditjennak 2012). Peningkatan produksi susu sapi tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan susu dalam negeri. Produksi susu sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 21% kebutuhan susu sapi nasional, sedangkan 79% sisanya masih harus diimpor (Primandari 2013). Pemenuhan kebutuhan susu sapi nasional tersebut harus diimbangi oleh peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah dalam negeri.

Upaya peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia dalam praktiknya banyak mengalami kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk kandang, kondisi peternakan sapi perah, ketersediaan dan kualitas pakan, serta manajemen peternakan dan kesehatan reproduksi sapi perah yang belum maksimal (Firman 2007). Gangguan reproduksi masih menjadi masalah utama bagi peternakan sapi perah di Indonesia ditandai dengan masih rendahnya angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto 1995). Panjang jarak antar kelahiran (calving interval) dapat dipengaruhi oleh gangguan reproduksi pada sapi perah akibat adanya kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan hormonal dan abnormalias ovarium, serta akibat infeksi penyakit seperti endometritis, bruselosis dan leptospirosis (Nurhayati et al. 2007).

Kondisi kesehatan sapi perah mempunyai dampak terhadap optimalnya keberlangsungan reproduksi pada sapi perah. Kesehatan sapi perah salah satunya sangat dipengaruhi oleh kebersihan kandang. Kebersihan kandang yang selalu terjaga akan mencegah sapi terinfeksi penyakit. Penyakit yang sering ditemukan pada peternakan sapi perah antara lain: mastitis, bruselosis, dan laminitis. Penyakit pada sapi perah dengan kausa yang kompleks salah satunya adalah laminitis. Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang disebabkan oleh multi faktor, antara lain: trauma pada kuku, teknik pemotongan kuku yang salah, gangguan nutrisi, gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, gangguan hormonal, distensi pakan tinggi karbohidrat, infeksi sistemik atau kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya mastitis, metritis, endometritis yang terjadi pasca melahirkan, foot and rot disease (Bergsten 2009).

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kejadian laminitis terhadap anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang ada atau tidaknya hubungan kejadian laminitis terhadap anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Laminitis pada Sapi Perah

Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang menyebabkan ketidaknyamanan pada sapi perah (Kloosterman 2007). Laminitis umumnya terjadi pada sapi perah saat masa laktasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor - faktor manajemen seperti trauma pada kuku akibat lantai kandang yang keras dan kotor, perubahan pakan mendadak, ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat yang disertai penyakit lain sebagai faktor predisposisi. Laminitis merupakan gambaran kejadian penyakit yang telah berjalan sistemik yang memiliki satu atau lebih lesio pada kuku, diantaranya: perdarahan dan nekrosa pada bagian white line kuku (Kloosterman 2007). Penyebab peradangan yaitu akibat gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, menyebabkan hipoksia dan kekurangan nutrisi pada lamina dinding kuku. Penyebab laminitis lainnya diduga akibat tingginya konsentrasi karbohidrat di dalam rumen menyebabkan keadaan asidosis (Kloosterman 2007).

Laminitis dapat berjalan secara akut, subakut, dan kronis (Greenough 2012). Laminitis akut adalah laminitis yang terjadi dalam jangka waktu sangat pendek. Gejala laminitis akut yaitu sapi mengalami stres, tidak makan (anoreksia), dan berdiri dengan tidak seimbang, dan apabila dipaksa untuk berjalan, sapi akan berjalan dengan pincang dimana kaki yang sakit akan dipijakkan secepat mungkin. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan laminitis akut antara lain: metritis, mastitis yang disebabkan oleh E. coli, dan Bovine Viral Diarhea (BVD) (Kloosterman 2007). Laminitis subakut adalah bentuk paling umum terjadi pada sapi perah terutama pada saat melahirkan. Dimulai sekitar 7-10 hari sebelum melahirkan dan berlangsung 7-10 hari setelah melahirkan. Gejala kepincangan sering muncul 2-4 minggu setelah melahirkan. Kepincangan sering tidak terlihat meskipun sapi berjalan kaku dan kaki terlihat lemah (Kloosterman 2007). Laminitis kronis adalah lanjutan dari laminitis akut dan atau subakut dan sering terlihat setelah beberapa bulan. Kuku mengalami kerusakan pada lamina dan terjadi perubahan bentuk pada dinding dorsal kuku yang terlihat melengkung (Kloosterman 2007).

(13)

3

berhubungan dengan luka terkait dengan pakan dan kandang. Hal yang harus diperhatikan saat pemberian pakan ternak antara lain pengaturan komposisi pakan dan memperhatikan keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat fungsional yang cukup (keseimbangan antara rumput dan konsentrat) untuk meningkatkan ruminasi. Tindakan untuk mencegah laminitis, kandang ternak harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang yang beralaskan beton karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan kuku sapi. Sebaiknya kandang sapi dibuat beralaskan karet untuk mengurangi perlukaan kuku dan luas kandang yang cukup untuk ternak dapat exercise (Kloosterman 2007).

Patogenesa Laminitis

Laminitis pada sapi disebabkan oleh lesio yang sangat beragam. Kejadian dan keparahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor mekanik seperti abnormalitas bentuk kuku, permukaan kuku yang keras sedangkan pada bagian tanduk kuku lunak, dan kelainan bentuk pada kaki. Faktor mekanik tersebut berkaitan dengan gangguan mikrovaskularisasi pada daerah kuku akibat rusaknya bagian lamina kuku yang melipat ke dalam menyebabkan tekanan pada korium (Ossent et al. 1997). Faktor sistemik penyebab laminitis berhubungan dengan ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat akan menyebabkan tubuh mengalami asidosis rumen, ketosis, dan endotoksemia (Ossent et al. 1997).

Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan, ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).

Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti, mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).

Dampak Laminitis pada Sapi Perah

(14)

4

(2001), pada sapi perah yang dikatagorikan mengalami kepincangan (laminitis, sole ulcer, abscess, foot rot disease, dan lainnya) terjadi penurunan produksi susu sebesar 1,5 Kg/hari. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa adanya keterkaitan antara kepincangan dengan penundaan siklus estrus pada sapi Friesian Holstein (FH), sapi yang diklasifikasikan mengalami kepincangan memiliki peluang 3,5 kali lebih besar mengalami penundaan siklus estrus post partus dibandingkan dengan sapi normal (Garbarino et al. 2004).

Anestrus pada Sapi Perah

Kasus gangguan reproduksi pada sapi perah hingga saat ini masih menjadi kendala utama bagi usaha sapi perah rakyat yang mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak. Gangguan reproduksi berakibat pada kemajiran ternak betina, yang ditandai dengan rendahnya angka kelahiran (calving rate) (Nurhayati et al. 2007). Padahal perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi.

Salah satu kendala kasus gangguan reproduksi yang mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan adalah anestrus. Anestrus adalah suatu kondisi pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus secara klinis dalam jangka waktu yang lama. Hewan betina yang menderita anestrus akan ditandai dengan tidak adanya manifestasi gejala berahi (Hardjopranjoto 1995). Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anestrus, diantaranya: umur hewan, sapi dalam periode kebuntingan dan laktasi, kekurangan pakan, musim, lingkungan yang kurang mendukung, adanya kondisi patologis pada ovarium dan uterus serta penyakit kronis (Achjadi 2013).

Menurut Achjadi (2013), bentuk anestrus pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu kegagalan berahi dengan corpus luteum persisten (CLP) dan kegagalan berahi karena insufisiensi gonadotropin. Kegagalan berahi dengan adanya CLP setelah palpasi perektal disebabkan oleh faktor uterus dimana ditemukan faktor penyebab anestrus karena kebuntingan, peradangan, pyometra dan mumifikasi. Anetrus kelompok kedua karena kagagalan berahi adalah insufisiensi gonadodotropin dan dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor abnormalitas ovarium. Faktor lingkungan yang menyebabkan anestrus adalah musim, pakan, nutrisi dan laktasi, sedangkan faktor abnormalitas ovarium yang menyebabkan anestrus adalah hipofungsi ovari, hipoplasi ovari, sistik ovari dan freemartinism (Achjadi 2013).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

(15)

5

Metode Penelitian

Laminitis merupakan peradangan pada lamina kuku sapi perah yang menjadi salah satu penyakit dengan kejadian cukup tinggi di KPBS Pangalengan. Anestrus post partus merupakan tidak munculnya gejala estrus setelah 50-60 hari post partus. Analisa mengenai hubungan kejadian laminitis dan anestrus post partus perlu dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara keduanya.

Data penelitian diperoleh dari dokumen KPBS Pangalengan berupa jumlah populasi sapi, rekap data kejadian laminitis, data waktu sapi partus dan inseminasi buatan (IB), serta status kesehatan sapi pada tahun 2011-2013. Kuisoner sebagai sumber data sekunder diberikan kepada peternak dan petugas kesehatan untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana pengetahuan peternak dan petugas kesehatan tentang laminitis dan karakteristik peternak dan petugas kesehatan. Data yang didapatkan akan dianalisa secara deskriptif dan statistik. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat kejadian laminitis dan anestrus pada sapi perah di wilayah kerja KPBS Pangalengan.

Data kejadian laminitis dan anestrus dikumpulkan dan direkapitulasi terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan pengolahan dan diuji secara statistik menggunakan metode Correlation untuk mengetahui hubungan kasus laminitis dengan anestrus sapi perah di KPBS Pangalengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil dan Keadaan Umum KPBS Pangalengan

Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan sebuah koperasi yang beranggotakan peternak sapi perah yang berada di Kecamatan Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. KPBS diresmikan oleh tanggal 1 April 1969. KPBS Pangalengan memiliki luas wilayah kerja 49.700,21 hektar. Wilayah kerja KPBS berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000– 1.420 meter di atas permukaan laut, suhu udara antara 12–28 °C, dan kelembaban antara 60–70 %. Kondisi alam tersebut selain cocok untuk perkembangan sapi perah juga cocok untuk perkebunan serta tanaman sayuran (KPBS 2011).

Wilayah kerja KPBS Pangalengan meliputi tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet, yang terbagi kedalam 36 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dengan 614 kelompok peternak sapi perah, dan sekitar 6993 jumlah peternak. Tugas pokok KPBS diantaranya memulihkan iklim perekonomian dalam bidang peternakan khususnya di Bandung Selatan, ikut serta bersama pemerintah meningkatkan pendapatan dibidang peternakan, dan berperan aktif dalam melaksanakan program pemerintah yang digariskan dalam pola pengembang 5 tahun (KPBS 2011).

Populasi Sapi Perah di KPBS Pangalengan

(16)

6

menengah. Berdasarkan hasil kuisoner didapatkan bahwa tiap anggota memiliki jumlah ternak yang bervariasi mulai dari satu hingga puluhan ekor. Perkembangan populasi merupakan indikator yang paling sering dilakukan terhadap produktivitas sapi perah dan perkembangan pertenakan. Berdasarkan data empat tahun terakhir yaitu 2011, 2012, 2013, dan 2014 yang bersumber dari data KPBS Pangalengan tahun 2014, jumlah populasi sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014

Tahun Jumlah (ekor)

2011 21991

2012 16952

2013 13366

2014 12439

Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

Berdasarkan data yang diperoleh dari KPBS Pangalengan (2014), jumlah sapi perah mengalami penurunan dari tahun 2011 hingga 2014. Penurunan jumlah tersebut kemungkinan disebabkan oleh banyaknya sapi perah milik peternak yang dijual untuk dijadikan sapi pedaging akibat mahalnya biaya operasional seperti harga konsentrat serta sulitnya memperoleh hijauan, serta ditambah harga susu yang tidak sebanding dengan tingginya biaya operasional.

Kasus Laminitis pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Laminitis atau peradangan pada lamina kuku sapi merupakan penyakit yang masih menjadi kendala di peternakan sapi perah di Indonesia, khususnya di KPBS Panglengan. Berdasarkan data KPBS Pangalengan (2013), laminitis menjadi salah satu penyakit yang banyak terjadi di KPBS Pangalengan (Tabel 2). Pada tahun 2011 dilaporkan kejadian laminitis pada sapi perah betina dewasa yaitu mencapai 215 ekor atau 1,6% dari total populasi. Tahun 2012 kejadian laminitis yang terjadi yaitu 168 ekor (1,5%). Sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 264 kasus (3,1%).

Tabel 2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013 Tahun Populasi Sapi Perah Betina

Dewasa (ekor)

Kasus Laminitis

(ekor) (%)

2011 12874 215 1,6

2012 10675 168 1,5

2013 8444 264 3,1

Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

(17)

7

potong, sapi terlalu gemuk, 10% responden tertusuk benda tajam dan infeksi bakteri, dan 37% responden lainnya menjawab tidak tahu penyebab laminitis. Menurut Kloosterman (2007), lantai kandang yang keras dan kotor dapat menyebabkan trauma pada kuku dan memicu terjadinya laminitis. Terbatasnya jumlah hijauan di KPBS Pangalengan akibat keterbatasan lahan tanam menjadi pemicu ketidakseimbangan antara pemberian konsentrat dan hijauan, serta kandungan serat pada pakan yang terlalu rendah. Menurut Kloosterman (2007), rasio konsentrat dan hijauan yang terlalu tinggi dan pakan yang rendah kadar serat dapat memicu kondisi asidosis yang berhubungan erat dengan kejadian laminitis.

Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan, ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).

Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti, mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).

Tindakan untuk pencegahan laminitis berdasarkan keterangan responden yaitu 70% responden melakukan pemotongan kuku, dan membersihkan kandang secara rutin, serta memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang. Sebanyak 30% responden lainnya menjawab membersihkan kandang saja. Menurut Kloosterman (2007), pencegahan laminitis ada dua langkah penting yaitu terkait pakan dan kandang. Pemberian pakan ternak harus diperhatikan keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat fungsional yang cukup. Kandang harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang dengan lantai terbuat dari beton semen karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan kuku sapi (Kloosterman 2007).

(18)

8

Hubungan Kasus Laminitis dengan Anestrus pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Kejadian laminitis pada sapi perah diduga dapat menimbulkan dampak penundaan siklus estrus post partus (anestrus post partus). Menurut Achjadi (2013), anestrus post partus adalah tidak munculnya tanda estrus secara nyata (dari pengamatan) setelah 50-60 hari post partus. Menurut Nurhayati et al. (2007), anestrus post partus yang diperpanjang dapat memperpanjang calving interval sehingga tingkat produktivitas sapi menurun. Apabila laminitis terbukti memperpanjang waktu anestrus (>60 hari post partus), tentu saja menimbulkan permasalahan dan kerugian ekonomi bagi peternak di KPBS Pangalengan terkait biaya pakan dan biaya pengobatan.

Tabel 3 Jumlah kejadian laminitis yang diikuti anestrus pada sapi post partus di

Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

Tabel 3 menyajikan informasi jumlah kejadian laminitis yang diikuti kejadian anestrus yang diperpanjang pada sapi setelah 60 hari post partus dalam rentang waktu dari tahun 2011 hingga 2013. Tahun 2011 tercatat sebanyak 40,93% (88/215) kejadian laminitis yang diikuti anestrus yang lebih panjang, normalnya siklus estrus mulai berjalan kembali pada hari 50-60 post partus (Achjadi 2013). Apabila sapi betina yang terkena laminitis mengalami penundaan siklus estrus setelah 50-60 hari post partus (panjang 1 siklus estrus sapi 19-21 hari (Achjadi 2013)), maka dikatakan sapi mengalami anestrus post partus yang diperpanjang. Tahun 2012 tercatat sebanyak 29,76% (50/168) kejadian laminitis yang diikuti gejala anestrus post partus. Sedangkan tahun 2013, kejadian laminitis yang diikuti gejala anestrus post partus tercatat sebanyak 29,17% (77/264).

Tabel 4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan anestrus post partus menggunakan metode Correlation

Korelasi

tingkat kesalahan 0,05 (2-tailed)

(19)

9

penelitian yang dilakukan Garbarino et al. (2004), disebutkan bahwa adanya keterkaitan antara kepincangan (laminitis, sole ulcer, abscess, foot rot disease, dan lainnya) dengan penundaan siklus estrus pada sapi Friesian Holstein (FH). Sapi yang diklasifikasikan mengalami kepincangan memiliki peluang 3,5 kali lebih besar mengalami penundaan siklus estrus post partus dibandingkan dengan sapi normal (Garbarino et al 2004). Penyebab penundaan siklus estrus tersebut akibat kurangnya suplai energi dikarenakan sapi terlalu lama berbaring, kesakitan dan tidak mampu berdiri, serta berkurangnya nafsu makan. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kiliç et al. 2007 menyebutkan bahwa sapi yang mengalami laminitis memiliki calving interval yang lebih lama, tingkat keberhasilan konsepsi IB pertama yang rendah, dan waktu untuk dikawinkan kembali setelah partus yang lebih lama dibandingkan sapi normal.

Tabel 4 merupakan hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan anestrus post partus menggunakan metode Correlation untuk mengetahui hubungan kasus laminitis dengan anestrus post partus pada sapi perah di KPBS Pangalengan. Metode correlation menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan α 0,05. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh angka korelasi sebesar 0,473, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kasus laminitis dengan anestrus post partus pada sapi perah. Hubungan korelasi ini kuat yang ditunjukan dengan korelasi mendekati 1 dengan angka signifikan 0,004 < 0,05 yang menandakan adanya hubungan yang signifikan antara laminitis dengan anestrus post partus. Tanda positif pada koefisien korelasi menunjukan bahwa korelasi yang terjadi antara laminitis dengan anestrus adalah hubungan yang berbanding lurus, artinya semakin tinggi kasus laminitis maka semakin tinggi pula waktu anestrusnya. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara kejadian laminitis dan anestrus adalah kuat, signifikan, dan berbanding lurus.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Studi kasus yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kejadian laminitis berkorelasi signifikan terhadap kejadian anestrus post partus pada sapi perah di KPBS Pangalengan. Dengan kata lain, laminitis dapat mengakibatkan penundaan siklus estrus post partus (anestrus) pada sapi perah di KPBS Pangalengan.

Saran

(20)

10

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti. Yogyakarta (ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia.

Bergsten C. 2009. Laminitis: Causes, Risk Factors, and Prevention. [internet]. Tersedia pada: http://www.txanc.org/proceedings/2011/BovineLaminitis .pdf. Diakses pada 2015 Februari 20.

[Ditjennak] Direktoral Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. (ID) 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Jakarta (ID). Kementrian Pertanian RI. Firman A. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah. [telaah pustaka]. Bandung

(ID): Universitas Padjadjaran.

Garbarino EJ, Hernandez JA, Shearer JK, Risco CA, Thatcher WW. 2004. Effect of lameness on ovarian activity in postpartum holstein cows. J Dairy Sci. 87: 4123-4131.

Greenough PR. 2012. Laminitis in cattle. [internet]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletalsystem/lamenessincattle /laminitisincattle.html. Diakses pada: 2015 Maret 17

Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya (ID): Universitas Airlangga Pr.

Kloosterman P. 2007. Laminitis – prevention, diagnosis, and treatmen. WCDS Advances in Dairy Technology. 19: 157-166.

Kiliç N, Serin I, Gökbulut C. 2007. Possible interaction between lameness, fertility, some minerals, and vitamine E in dairy cows. Bull Vet Inst Pulawy. 51: 425-429.

[KPBS] Koperasi Peternakan Bandung Selatan. 2011. Profil dan Sejarah KPBS Pangalengan. [internet]. Tersedia pada: http://www.kpbs.co.id. Diakses pada 2015 Juni 23.

Menzies GNJ, Stevens K, Barr A, Camm I, Pfeiffer D, Marr CM. 2010. Severity and outcome of equine pasture-associated laminitis managed in first opinion practice in the UK. JVet Rec. 167(10): 364-9.

Nurhayati IS, Saptati RA, Martindah E. 2007. Penanganan gangguan reproduksi guna mendukung pengembangan usaha sapi perah. [semiloka nasional]. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Ossent P. Greenough PR, Vermunt JJ. 1997. Laminitis. Di dalam: Lameness in Cattle. Philadelphia: Saunders Company. Hlm. 277-292.

Primandari T. 2013. Produksi susu lokal menurun. [internet]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2013/05/18/090481385/Produksi-Susu-Lokal-Menurun. Diakses pada 2015 Juni 28.

(21)

LAMPIRAN

Kuisoner Peternak

Petunjuk Pengisian Kuisioner :

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara :

Memberi tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia, sesuai dengan keadaan

Bapak/Ibu yang sebenar-benarnya

Jawaban boleh lebih dari satu, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang

sebenar-benarnya

Mengisi titik-titik pada pilihan lainnya jika ada jawaban yang tidak tersedia

Latar belakang peternak

1. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu?

SD  SMA/ SMK

SMP  D3,S1,S2

2. Pendidikan non formal:

Tidak ada

Penyuluhan dan pelatihan peternakan

Lain – lain (tuliskan) ...

3. Berapa lama pengalaman Bapak/Ibu berternak sapi?

 0 – 5 tahun  Lebih dari 10 tahun

 5 – 10 tahun  Lain – lain (tuliskan) ... 4. Apa mata pencaharian pokok Bapak/Ibu?

 Berternak  Berdagang

 Bertani  Pegawai negeri

5. Apa tujuan Bapak/Ibu memelihara ternak?

 Menjual susunya

 Menjual susu, pedet, dara atau induk

 Sekedar berternak

 Lain – lain (tuliskan) ...

6. Berapa jumlah sapi yang Bapak/Ibu pelihara?

Sapi Perah Jumlah

Jantan Betina

Sapi Pedet (anakan) .... ....

Sapi Dara .... ....

Sapi Dewasa

Laktasi .... ....

Kering Kandang .... ....

Jumlah total .... ....

(22)

12

Menagemen sapi perah

1. Lantai kandang sapi milik Bapak/Ibu terbuat dari apa?

 Tanah

 Beton

 Beton dilapisi karet

 Beton dilapisi sekam

 Lain-lain (tuliskan) ...

2. Berapa kali Bapak/Ibu membersihkan lantai kandang?

 1 kali sehari

 2 kali sehari

 3 kali sehari

 2 hari sekali

Lain-lain (tuliskan) ...

3. Berapa kali sapi Bapak/Ibu dikasih pakan dalam sehari?

 1 kali  3 kali

2 kali  Lain – lain (tuliskan) ...

4. Jenis pakan apa yang Bapak/ ibu berikan kepada sapi?

Konsentrat saja

 Hijauan saja

Hijaun dan konsentrat

Lain-lain (tuliskan) ...

5. Jika sapi perah milik Bapak/Ibu diberi pakan hijauan dan kosentrat berapa perbandingannya?

20% hijauan : 80% kosentrat

80% hijauan : 20% kosentrat

50% hijauan : 50% kosentrat

60% hijauan : 40% kosentrat

40% hijauan : 60% kosentrat

Lain-lain (tuliskan) ...

6. Jenis hijauan/rumput apa yang diberikan ke sapi perah milik Bapak/Ibu? Tuliskan

... 7. Jenis kosentrat apa yang diberikan ke sapi perah milik Bapak/Ibu?

Tuliskan

... ... 8. Apakah dilakukan pemotongan kuku pada sapi perah milik Bapak/Ibu

Ya

Jika Ya, tiap berapa bulan pemotongan kuku dilakukan (tuliskan) ...

Tidak

Jika Tidak, tuliskan alasannya

(23)

13

Pengetahuan peternak terhadap laminitis

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud dengan laminitis?

 Peradangan dinding kuku bagian bawah

Sakit pada kuku

Sakit pada persendian

Tidak tahu

2. Nama lain dari laminitis di daerah Bapak/Ibu biasanya disebut apa?

Kuku busuk

ingkeud

lain – lain (tuliskan) ...

3. Apakah sapi Bapak/Ibu pernah mengalami laminitis?

Ya

Tidak

4. Jika iya, berapa lama sapi Bapak/Ibu menderita laminitis?

... 5. Kejadian sapi menderita laminitis paling sering pada umur berapa?

Pedet

Sapi dara

Sapi dewasa

6. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang tanda – tanda sapi terkena laminitis?

Kepincangan, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku busuk, Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah

Sapi roboh, sapi demam

Sapi tidak mau berdiri

Produksi susu turun

Tidak mau makan

Tidak tahu

7. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang penyebab laminitis?

Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri

Tidak tahu

8. Apa dampak akibat laminitis terhadap sapi Bapak/ Ibu?

Tidak berahi/ beger (anestrus), produksi susu turun dan sapi telihat sakit

Nafsu makan menurun dan produksi susu turun

Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit

Lain–lain (tuliskan) ...

9. Jika sapi Bapak/Ibu menderita laminitis, tindakan awal apa yang dilakukan oleh Bapak/ Ibu?

Melapor petugas

Diobati sendiri

Dibiarkan saja

10. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan untuk mencegah laminitis?

Pemotongan kuku secara rutin, membersihkan kandang dengan rutin, dan memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang

(24)

14

Memotong kuku

Lain – lain (tuliskan) ...

Kuisoner Petugas Kesahatan

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud dengan laminitis?

 Peradangan dinding kuku bagian bawah

Sakit pada kuku

Sakit pada persendian

Tidak tahu

2. Nama lain dari laminitis di daerah Bapak/Ibu biasanya disebut apa?

Kuku busuk

ingkeud

lain – lain (tuliskan) ...

3. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang tanda – tanda sapi terkena laminitis?

Pincang, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku busuk, Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah

Sapi roboh, sapi demam

Sapi tidak mau berdiri

Produksi susu turun

Tidak mau makan

Tidak tahu

4. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang penyebab laminitis?

Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri

Tidak tahu

5. Menurut Bapak/Ibu apakah laminitis dapat menimbulkan masalah reproduksi pada sapi?

Ya

Jika Ya, tuliskan apa saja masalah tersebut

... ...

Tidak

6. Pengobatan apa yang diberikan jika sapi mengalami laminitis? Tuliskan

... 7. Saran-saran Bapak/Ibu untuk mengurangi kejadian laminitis apa saja?

Tuliskan

...

Petunjuk Pengisian Kuisioner :

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara :

(25)

15

Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak

Latar Belakang Responden Jumlah Responden (%)

Pendidikan Formal

 Penyuluhan dan pelatihan peternakan

 Lain-lain

 Menjual susu, pedet, dara atau induk

 Sekedar berternak

Menegemen Sapi Perah Jumlah Responden (%)

(26)

16

 Konsentrat saja

 Hijauan saja

 Hijauan dan konsentrat

 Lain – lain

Perbandingan pemberian hijauan dan konsentrat

 20% hijauan : 80% kosentrat

Pengetahuan Responden Terhadap Laminitis Jumlah Responden (%) Pengertian laminitis

 Peradangan dinding kuku bagian bawah

 Sakit pada kuku

 Sakit pada persendian

 Tidak tahu Nama lain dari laminitis

 Kuku busuk

Sapi sering menderita laminitis pada umur

 Pedet

 Sapi dara

 Sapi dewasa

Tanda – tanda sapi terkena laminitis

 Kepincangan, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku busuk, Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah

 Sapi roboh, sapi demam

 Sapi tidak mau berdiri

 Produksi susu turun

 Tidak mau makan

 Tidak tahu

Penyebab laminitis

 Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang

(27)

17

berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri

 Tidak tahu Dampak laminitis

 Tidak berahi/ beger (anestrus), produksi susu turun dan sapi telihat sakit

 Nafsu makan menurun dan produksi susu turun

 Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit

 Tidak tahu membersihkan kandang dengan rutin, dan memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang

Pengetahuan Responden Jumlah Responden (%)

Pengertian laminitis

 Peradangan dinding kuku bagian bawah

 Sakit pada kuku

 Sakit pada persendian

 Tidak tahu Nama lain dari laminitis

 Kuku busuk

 ingkeud

 Leuncangeun

Tanda – tanda sapi terkena laminitis

 Kepincangan, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku busuk, Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah

 Sapi roboh, sapi demam

(28)

18

 Sapi tidak mau berdiri

 Produksi susu turun

 Tidak mau makan

 Tidak tahu Penyebab laminitis

 Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk

 Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri

 Tidak tahu

Laminitis dapat menimbulkan masalah reporoduksi

 Ya

 Tidak

Pengobatan yang diberikan

 Antibiotik dan antiradang

40 40 10 0

100

20

30

0

100 0

(29)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Limau pada tanggal 7 Januari 1993 dari pasangan Bapak Indrajati dan Ibu Herniwati. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungai Limau pada tahun 2011 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan dengan jurusan Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Gambar

Tabel 1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014
Tabel 4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan anestrus post partus menggunakan metode Correlation

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jual beli follower Twitter sama halnya dengan jual beli yang ada dalam dunia maya lainnya, yaitu jual beli yang terdapat penjual, pembeli, barang yang dijual,

Lambung kapal adalah untuk menyediakan daya apung ( bouyancy ) yang mencegah kapal tenggelam dan menyediakan displacement. Bentuk lambung kapal juga akan

Hal yang penting dan fundamental di dalam sebuah organisasi adalah komitmen dari setiapnya yang akan sangat menentukan kemajuan dan perkembangan organisasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai nilai estetis kesenian Sintren Retno Asih Budoyo di Desa Sidareja Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, dapat

Sebuah arsitektur multi-tier adalah arsitektur tiga-tingkat yang terdiri dari manajemen data layer (kebanyakan meliputi satu atau beberapa database server),

[r]

“Konsep belajar dimana gur u menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya