• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai Perapuh Gigi Seri pada Tikus Putih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai Perapuh Gigi Seri pada Tikus Putih"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BAKTERI

Streptococcus mutans

SEBAGAI PERAPUH GIGI SERI PADA TIKUS PUTIH

ESI ADLIYAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

ABSTRAK

ESI ADLIYAH. Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai Perapuh Gigi Seri pada Tikus Putih. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus memiliki gigi seri yang terus tumbuh sepanjang siklus hidupnya. Pertumbuhan gigi seri tersebut dapat dikendalikan dengan mengerat, namun perilaku tersebut dapat megakibatkan kerugian terhadap manusia, salah satunya kerusakan pada tanaman budidaya dan alat-alat rumah tangga. Gigi tikus memiliki kekuatan yang tinggi sehingga mampu mengonsumsi pakan dengan nilai kekerasan yang tinggi. Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai perapuh gigi seri pada tikus merupakan salah satu pengendalian terhadap masalah ini. Bakteri S. mutans diuji dengan 4 tingkat konsentrasi, yaitu 3x104, 3x106, dan 3x108 cfu/ml dan 2 lama pemberian, yaitu 4 dan 8 hari. Peubah yang diamati adalah kekerasan gigi seri tikus dan tingkat konsumsinya terhadap gabah dan pelet. Bakteri mampu mengurangi kekerasan gigi seri tikus dan konsumsi untuk padi pada semua konsentrasi. Konsumsi untuk pelet meningkat setelah aplikasi, namun tidak sesuai pada selama aplikasi. Interaksi dari kedua faktor, semakin lama pemberian bakteri S. mutans semakin menurun kekerasan gigi seri dan konsumsi gabah, kecuali kontrol dan 3x108 cfu/ml. Penurunan konsumsi gabah sebesar 46.8% sampai 59.4%.

Kata kunci: gigi seri tikus, bakteri perapuh gigi, kekerasan gigi, tingkat konsumsi.

ABSTRACT

ESI ADLIYAH. Usage of Streptococcus mutans as White Rat Incisor Fragility Agent. Supervised by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Rat incisor keeps growing along with rat’s life. Rat incisor can be controlled by gnawing, however it may bring disadvantages to human such as plant cultivation damage and household tool. The strenght of rat’s teeth is high, so they can consume something hard. Usage of Streptococcus mutans as rat incisor fragility agent is one of the ways to solve this matter. S. mutans can be examined 4 treatment, i.e. control, 3x104, 3x106, and 3x108 cfu/ml and different period of time, i.e. 4 and 8 days. The variable which observed are hardness of the rat incisor and preference of consumption to paddy and pellets. In this experiment, the bacteria decreases the hardness of rat incisor and consumption to paddy in all consentration. Consumption to pellets increased after the application but it’s not appropriate during application. Interaction of those factors is the longer S. mutans given to the rat, the more fragility will happen to rat incisor and will impact to the paddy consumption, except control and 3x108cfu/ml. Decreasing of paddy consumption could be taken place between 46.8% to 59.4%.

(4)
(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PEMANFAATAN BAKTERI

Streptococcus mutans

SEBAGAI PERAPUH GIGI SERI PADA TIKUS PUTIH

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai Perapuh Gigi Seri pada Tikus Putih

Nama : Esi Adliyah

NIM : A34100092

Disetujui oleh

Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan Tugas Akhir yang berjudul Pemanfaatan Bakteri Streptococcus mutans sebagai Perapuh Gigi Seri pada Tikus Putih. Tugas Akhir sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Departemen Proteksi Tanaman. Tugas Akhir tersebut dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertania; Laboratorium Mikrobiologi Klinis, Fakultas Kedokteran Hewan; dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan sumber dana pribadi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku pembimbing dan Bapak drh Usamah Affif, MSc yang telah banyak memberi saran, Bapak Soban, Bapak Syarif, dan Ibu Esih yang telah membantu di Laboratorium sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga pada Ibu, Bapak, Teteh, Echa, Mahib, dan seluruh keluarga, serta Nurisna, Shiddiq, Jodi, Kiki, Hana, Bunga, Dwi, Dhita, Uput, Ka Iza, Aslia, Aan, Eka, Retno, dan teman-teman lainnya atas bantuan, doa, dan kasih sayangnya.

Bogor, Januari 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Tujuan 2

Manfaat 2

BAHAN DAN METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Bahan dan Alat 3

Metode 3

Persiapan bahan bakteri 3

Pengujian pada tikus 4

Pengukuran kekerasan gigi seri dan pakan tikus 5

Pengolahan data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kekerasan gigi seri tikus dan proses kerapuhan oleh bakteri S. mutans 6

Pengaruh kerapuhan gigi terhadap konsumsi pakan tikus 7

Hubungan kekerasan gigi, konsumsi, dan kemampiuan mengerat 10

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengaruh konsentasi dan lama pemberian bakteri terhadap nilai

kekerasan gigi seri 6

Tabel 2 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap

konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi 7

Tabel 3 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap

konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi 9

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Prosedur pembiakan bakteri S. mutans (A) Isolat murni bakteri 3

Gambar 2 Prosedur pengenceran berseri (A) McFarland 1, (B) Shaker, 4

Gambar 3 Kandang pengujian 4

Gambar 4 Prosedur pengujian pada tikus (A) Penetesan pada tikus,

(B) tikus 5

Gambar 5 Kiya Hardness Tester 5

Gambar 6 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap

konsumsi gabah selama aplikasi 8

Gambar 7 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap

konsumsi gabah setelah aplikasi 9

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian

bakteri terhadap kekerasan gigi seri 14

Lampiran 2 Analisis ragam preferensi pakan tikus terhadap konsumsi gabah

dan pelet 14

Lampiran 3 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi 14

Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah sebelum, selama, dan setelah

aplikasi 15

Lampiran 5 Analisis ragam pengaruh interaksi konsentrasi dan lama

pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah sebelum, selama,

dan setelah aplikasi 15

Lampiran 6 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi pelet sebelum, selama, dan setelah

aplikasi 16

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Rodentia berasal dari bahasa latin “rodere” artinya hewan pengerat. Tikus merupakan salah satu jenis hewan pengerat yang menjadi hama, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Hewan pengerat dicirikan dengan adanya 2 pasang gigi seri pada rahang atas dan bawah yang tumbuh terus sepanjang hidupnya (Marbawati & Ismanto 2011). Apabila dibiarkan, pertumbuhan ini akan mengganggu aktivitas tikus, untuk mengendalikannya tikus mengerat benda-benda keras.

Perilaku mengerat ini mengakibatkan berbagai kerugian pada manusia, diantaranya kerusakan pada bangunan, alat-alat rumah tangga, tanaman budidaya, dan berkurangnya simpanan bahan makanan di penggudangan, selanjutnya dapat mengakibatkan kontaminasi pada bahan makanan, dan terbawanya beberapa patogen dari tikus ke manusia atau hewan peliharaan lain pada habitat rumah (Priyambodo 2003).

Meskipun hewan Rodentia identik dengan perilaku mengerat, terdapat satu spesies, Paucidentomys vermidax, yang ditemukan di Sulawesi oleh peneliti biologi dari Kanada yang tidak dapat mengerat. Spesies ini adalah satu-satunya Rodentia di dunia yang tidak memiliki gigi geraham dan hanya memiliki gigi seri yang sangat kecil. Gigi seri tersebut berfungsi sebagai pemotong pakan yang lunak (Esselstyn et al. 2012). Hal ini disebabkan gigi tersebut tidak tumbuh terus menerus seperti hewan Rodentia lainnya.

Hal lain yang dapat mempengaruhi perilaku mengerat tikus adalah penurunan kekerasan gigi seri melalui perapuhan. Gigi yang rapuh mengakibatkan tikus mengurangi perilakunya dalam mengerat sehingga tikus tidak mampu mengendalikan pertumbuhan gigi serinya dan mengganggu aktivitasnya. Menurut Priyambodo (2003), tikus mampu mengerat bahan-bahan keras sampai nilai 5.5 pada skala kekerasan geologi. Bahan-bahan yang dikerat tersebut termasuk kayu pada bangunan, lembaran alumunium, beton berkualitas buruk, dan aspal.

Gigi seri tikus erupsi saat berumur 10 hari sampai 11 hari (Priyambodo 2003). Menurut Murdoch (1999), panjang dan kecepatan rata-rata erupsi gigi seri atas (2.4 mm dan 0.16 mm/hari) sedangkan gigi seri bawah (2.6 mm dan 0.1 mm/hari). Selain untuk mengerat, gigi seri digunakan untuk memotong pakan. Tikus biasanya mengonsumsi serelia, yang memiliki nilai kekerasan relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Argasasmita (2008), rata-rata kekerasan dari sepuluh varietas beras di Indonesia adalah 6.31 kgf. Nilai kekerasan untuk beberapa kacang-kacangan, yaitu kedelai 12.81 kgf (Ratnaningtyas 2003) dan kacang hijau 12.95 kgf (Sirojudin 1996). Penurunan konsumsi pada tikus terhadap pakan keras menjadi salah satu indikator penurunan kekerasan gigi seri.

Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri utama dalam pembentukan plak gigi dan karies pada manusia. Plak merupakan dekstran yang melekatkan bakteri-bakteri yang berkoloni di sekitar gigi dan membentuk massa berwarna krem dan lengket. Karies gigi adalah daerah yang membusuk di dalam gigi, yang terjadi akibat suatu proses yang secara bertahap melarutkan email dan terus berkembang ke bagian dalam menghancurkan struktur internal gigi. Keduanya adalah penyebab demineralisasi yang memicu kerapuhan gigi (Houwink 1993).

(18)

2

dikatalisator oleh enzim glikosiltransferase (GTFs) dan fruktosiltransferase (FTFs) mengakibatkan fermentasi di dalam mulut. S. mutans memproduksi 3 jenis GTFs, yaitu GTF B, GTF C, dan GTF D. GTF B merupakan enzim yang berperan dalam sintesis insoluble glucans, yaitu proses akumulasi dan pelekatan antara bakteri dengan polimer glukosa pada permukaan gigi membentuk plak yang tidak larut dalam saliva. Penempelan plak yang berkembang ini, memicu larutnya email gigi yang mengakibatkan kerapuhan (Gronroos 2000).

Bakteri S. mutans termasuk dalam kelompok mutans streptococci. Kelompok ini berperan sebagai penghasil senyawa asam, yang juga mampu mengakibatkan proses demineralisasi. Namun, yang memiliki enzim GTF B hanya S. mutans sehingga pengurangan mineral akibat aktivitas kelompok mutans streptococci lainnya dapat segera digantikan oleh ion-ion yang terkadung dalam saliva. Kelompok mutans streptococci yang terdapat pada tikus terdiri dari

S. cricetus, S. rattus, dan S. ferus (Houwink 1993). Bakteri S. mutans dapat dikaji untuk merapuhkan gigi seri tikus dan menurunkan konsumsinya terhadap pakan yang keras. Menurut Hendrik et al . (2013), komposisi gigi tikus serupa dengan gigi manusia, yaitu 93% sampai 95% tersusun oleh material anorganik seperti mineral, sehingga perapuhan gigi menggunakan bakteri S. mutans dapat berpengaruh sama terhadap gigi seri tikus.

Tujuan

Mengkaji pengaruh bakteri S. mutans terhadap kekerasan gigi seri tikus dengan konsentrasi dan lama pemberian berbeda serta mengukur konsumsi tikus terhadap pakan yang keras dan lunak.

Manfaat

(19)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian; Laboratorium Mikrobiologi Klinis, Fakultas Kedokteran Hewan; dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dari Bulan April sampai dengan Juni 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah isolat murni bakteri S. mutans, tikus putih, gabah, pelet, Blood Agar (BA), alkohol 70%, NaCl fisioligis 0.9%, lilin, plastik, dan kloroform. Alat yang digunakan adalah kandang tikus, wadah kecil untuk pakan tikus, gelas, sendok, pinset, ice pack, tabung reaksi, wadah tertutup, Kiya

Hardness Tester, timbangan, cawan petri, pipet, jarum suntik 1 ml, bunsen,

shaker, anaerobic jar, autoklaf, jarum inokulasi, lemari pendingin, dan inkubator.

Metode

Persiapan bahan bakteri

Isolat murni bakteri S. mutans didapat dari Laboratorium Mikrobiologi, Universitas Indonesia. Isolat murni tersebut kemudian dibiakkan di Laboratorium Mikrobiologi Klinis menggunakan teknik cawan gores pada media Blood agar

(BA). BA dibuat dari 40 g blood agar base/1 l air destilasi, dimasukkan pada cawan petri dan distrerilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit, lalu didinginkan hingga 45 sampai 50°C, ditambahkan darah steril sebanyak 7%. Cawan petri dimasukkan pada anaerobic jar beserta lilin yang dinyalakan sehingga tercipta lingkungan anaerobik (tersalurkan gas N2, CO2, dan H2)

kemudian anaerobic jar ditutup dan disimpan di inkubator selama 2x24 jam (Volk & Wheeler 1993).

(A) (B)

(C)

Gambar 1 Prosedur pembiakan bakteri S. mutans (A) Isolat murni bakteri

S. mutans, (B) Anareobic jar, (C) Hasil biakanbakteri S. mutans

(20)

4

siap dimasukkan pada wadah tertutup disertai ice pack terlebih dahulu, hingga dipindahkan ke lemari pendingin di Laboratorium Vertebrata Hama untuk diujikan pada tikus putih.

(A) (B)

(C)

Gambar 2 Prosedur pengenceran berseri (A) McFarland 1, (B) Shaker, (C) Hasil pengenceran

Pengujian pada tikus

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus albinous) yang didapat dari peternak tikus di Jakarta. Pengujian ini dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama. Pada pengujian tikus, tahapan pertama yang disiapkan adalah kandang uji yang berisi 2 wadah kecil (diisi pakan, yaitu gabah dan pelet sebanyak 20% dari bobot tubuh) dan gelas (diisi air minum). Pemilihan gabah dan pelet sebagai indikator kekerasan pakan yang berbeda. Bobot tikus yang digunakan saat aplikasi adalah 95 sampai 195 g atau berumur 40 sampai 60 hari. Gigi seri tikus tumbuh sempurna saat berumur lebih dari 40 hari (Smith & Mangkoewidjojo 1988; Hendrik et al. 2013). Tikus putih ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot tubuh awal.

Gambar 3 Kandang pengujian

Pengujian pada tikus dilakukan dengan tiga tahap, yaitu sebelum, selama, dan setelah aplikasi. Pada semua tahapan, tikus diberi pakan, yaitu gabah dan pelet serta air minum. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan dengan cara menimbang pakan setiap 24 jam. Tahapan sebelum aplikasi dimaksudkan untuk mengetahui preferensi makan tikus terhadap gabah dan pelet, dilakukan selama 2 sampai 10 hari bergantung bobot awal tikus. Perlakuan berbeda hanya terdapat pada tahap selama aplikasi, yaitu tikus diberi perlakuan berupa pemberian larutan yang mengandung bakteri. Larutan bakteri diambil dari lemari pendingin, dimasukkan ke dalam jarum suntik berukuran 1 ml. Selanjutnya, larutan bakteri yang telah siap, diaplikasikan pada tikus dengan cara meneteskan ke bagian gigi serinya.

(21)

karena saat ini rodentisida mampu mengendalikan tikus dalam jangka waktu yang singkat (Priyambodo 2012). Tahap setelah aplikasi, dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada tahap selama aplikasi terhadap preferensi pakan dan kekerasan gigi seri tikus. Tikus dimatikan menggunakan kloroform kemudian ditimbang bobot akhir, gigi serinya dicabut dengan pinset dan dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam plastik.

(A) (B) (C)

Gambar 4 Prosedur pengujian pada tikus (A) Penetesan pada tikus, (B) tikus yang telah dimatikan, (C) gigi seri tikus

Pengukuran kekerasan gigi seri dan pakan tikus

Pengukuran kekerasan gigi seri dan pakan tikus dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan menggunakan alat Kiya Hardness Tester (Webb et al.

1986). Perhitungan konversi konsumsi pakan tikus menurut Priyambodo (2012) digunakan rumus:

C mx̅ x

C: konsumsi pakan tikus (g), x̅: rata-rata konsumsi pakan tikus (g), m: rata-rata bobot tubuh tikus (g).

Menurut penelitian Argasasmita (2008), satuan kekerasan alat kiya

hardness tester adalah kgf, satuan ini menunjukkan gaya. Pengukuran kekerasan gigi untuk setiap tikus sebanyak 4 gigi seri, terdiri dari satu pasang gigi seri atas dan satu pasang gigi seri bawah. Pengukuran kekerasan lainnya adalah pakan tikus, yaitu gabah dan pelet sebanyak 20 butir untuk mengetahui rata-rata kekerasannya.

Gambar 5 Kiya Hardness Tester

Pengolahan data

(22)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekerasan gigi seri tikus dan proses kerapuhan oleh bakteri S. mutans

Kekerasan gigi menunjukkan kekuatan gigi dalam menerima beban hingga gigi patah atau hancur. Kekerasan gigi seri tikus menurun dengan pemberian bakteri dengan konsentrasi yang berbeda (Tabel 1 dan Lampiran 1). Kekerasan gigi seri tikus tanpa perlakuan bakteri (kontrol) menunjukkan nilai kekerasan lebih dari 20 kgf. Nilai ini tidak terukur secara akurat karena alat yang digunakan memiliki nilai maksimal sebesar 20 kgf. Menurut Hendrik et al. (2013) rata-rata kekerasan email gigi seri tikus adalah 315.80 VHN sampai 326.89 VHN atau 32 kgf sampai 33 kgf.

Kekerasan gigi seri tikus menurun pada konsentrasi yang lebih tinggi. Kekerasan untuk konsentrasi 3x106 dan 3x108 cfu/ml lebih kecil dari konsentrasi 3X104 cfu/ml. Lama pemberian bakteri tidak berpengaruh, hal ini karena selang waktu saat pengujian singkat. Namun, penurunan kekerasan gigi seri pada tikus ini berlangsung lebih cepat dibandingkan pada manusia. Menurut Houwink (1993), karies pada gigi manusia memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk berkembang. Hal ini terjadi karena pada manusia terdapat proses penghambatan, yaitu pembersihan mulut secara teratur.

Kesamaan antara manusia dan tikus dalam proses penghambatan adalah pergantian mineral dari ion-ion yang terdapat pada saliva saja. Namun, apabila bakteri S. mutans sudah berkoloni dan membentuk plak, serta berlanjut pada tahap berikutnya, yaitu karies, pergantian mineral ini akan sulit dilakukan. Perapuhan pun terjadi seiring dengan menurunnya nilai kekerasan gigi seri tikus.

Hal lain yang mendukung proses perapuhan gigi seri lebih cepat adalah jumlah bakteri yang tinggi diteteskan pada gigi seri tikus dengan pemberian satu kali selama 4 dan 8 hari berturut-turut. Menurut Houwink (1993), plak mulai menyatu dengan gigi sekitar 20 menit setelah makan. Proses demineralisasi terjadi sejak plak gigi terbentuk. Karies inilah yang memicu keropos pada gigi, meskipun pengaruhnya kecil, namun kekerasan gigi seri tetap menurun. Hasil pengujian ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi dan lama pemberian bakteri S. mutans semakin menurun kekerasan gigi seri tikus.

Tabel 1 Pengaruh konsentasi dan lama pemberian bakteri terhadap nilai kekerasan gigi seri

(23)

Pengaruh kerapuhan gigi terhadap konsumsi pakan tikus

Penurunan kekerasan pada gigi seri tikus dapat mengurangi kemampuan tikus dalam mengerat dan memotong pakan yang keras. Menurut Priyambodo (2003), pertumbuhan gigi seri yang tidak diimbangi dengan mengerat akan terganggu aktivitasnya, terutama dalam mengonsumsi pakan. Saat tikus tidak dapat menstabilkan pertumbuhan gigi serinya karena kerapuhan yang terjadi pada gigi seri, tikus akan mengurangi konsumsinya terhadap gabah (indikator pakan yang keras), kemudian memilih pelet (indikator pakan yang lunak).

Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) mengonsumsi semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia. Meskipun demikian, tikus cenderung memilih biji-bijian (serelia) seperti padi, jagung, dan gandum serta kacang-kacangan, umbi-umbian, daging, ikan, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran (Priyambodo 2003). Pada pengujian, pakan yang digunakan adalah gabah dan pelet. Rata-rata konsumsi gabah 6.71 ± 1.83 g lebih tinggi dibandingkan dengan pelet 3.77 ± 2.16 g (P<0.05). Hal ini menunjukkan tikus lebih menyukai gabah dibandingkan pelet (Lampiran 2).

Kandungan yang terdapat pada gabah adalah 75% karbohidrat dan 8% protein. Penyusun lainnya adalah lemak, serat, dan abu (Haryadi 2008). Kandungan yang terdapat pada pelet diantaranya 40% sampai 50% jagung, 7% sampai 8% dedak padi, dan 30% sampai 35% biji-bijian. Penyusun lainnya adalah minyak kelapa, garam, campuran mineral, campuran vitamin, dan lain-lain (Lusiana 2008). Tikus memerlukan kandungan dasar pada makanannya, yaitu 45% sampai 50% karbohidrat, 20% sampai 25% protein, 5% lemak, 5% serat kasar, 4% sampai 5% abu, serta vitamin (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Komponen utama tersebut memenuhi kebutuhan dasar tikus.

Pada tahap sebelum, selama, dan setelah aplikasi, semakin tinggi konsentrasi bakteri mengakibatkan konsumsi gabah semakin menurun (Tabel 2 dan Lampiran 3). Penurunan tertinggi terjadi pada konsentrasi bakteri 3x108 cfu/ml. Lama pemberian bakteri tidak berpengaruh terhadap konsumsi gabah, meskipun pemberian bakteri telah dihentikan.

Tabel 2 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi

Perlakuan Konsumsi pakan tikus (g)

Sebelum Selama Setelah

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

(24)

8

lebih rendah (3.67 ± 0.70 g) dibandingkan dengan kontrol, 3x104, dan 3x106 cfu/ml (6.55 ± 1.42, 5.94 ± 2.29, dan 5.45 ± 2.26 g). Sementara itu, pengaruh lama pemberian terhadap konsumsi gabah adalah semakin lama pemberian larutan bakteri semakin rendah konsumsi gabahnya (6.03 ± 2.28 g untuk 4 hari dan 4.88± 1.60 g untuk 8 hari). Setelah aplikasi, konsumsi gabah untuk konsentrasi 3x106 dan 3x108 cfu/ml (4.46 ± 2.78 dan 2.80 ± 0.83 g) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (6.37 ± 2.22), begitu juga konsentrasi 3x108 cfu/ml (2.80 ± 0.83 g) lebih rendah dibandingkan dengan 3x104 cfu/ml (5.38 ± 2.14 g). Lama pemberian bakteri tidak berpengaruh (5.40 ± 2.56 g untuk 4 hari dan 4.23 ± 2.19 g untuk 8 hari) pada P<0.05 (Lampiran 4).

Hal tersebut menunjukkan pengaruh bakteri terhadap konsumsi gabah tidak berhenti pada saat aplikasi selesai. Penghentian pemberian bakteri membuat jumlah bakteri dalam mulut tidak bertambah dalam jumlah tinggi sehingga lama pemberian setelah aplikasi tidak berpengaruh terhadap konsumsi. Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah selama dan setelah aplikasi dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7, dan Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 6, konsumsi gabah pada konsentrasi 3x104 cfu/ml untuk 8 hari lebih rendah dibandingkan dengan 4 hari, sedangkan untuk konsentrasi lainnya tidak dipengaruhi lama pemberian bakteri.

Gambar 6 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah selama aplikasi

(25)

Gambar 7 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah setelah aplikasi

Konsumsi pelet selama aplikasi tidak dipengaruhi oleh konsentrasi namun oleh lama pemberian (Lampiran 6). Kosumsi pelet setelah aplikasi dipengaruhi oleh konsentrasi bakteri dan lama pemberian, semakin tinggi konsentrasi dan lama pemberian semakin meningkat konsumsi terhadap pelet, namun tidak terdapat interaksi antara keduanya. Konsumsi untuk 3x106 (5.44 ± 1.44 g) dan 3x108 cfu/ml (5.48 ± 1.32 g) konsumsi lebih besar dibandingkan dengan 3x104 cfu/ml (3.84 ± 1.64 g) dan kontrol (2.90 ± 1.17 g) pada P<0.05.

Berdasarkan tahapan aplikasi, pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi pelet adalah penurunan pada tahap selama aplikasi. hal ini, disebabkan tikus mengalami cekaman selama aplikasi dan mulai beradaptasi untuk mengosumsi pelet (Tabel 3 dan Lampiran 7).

Tabel 3 Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi pelet berdasarkan tahapan aplikasi

Perlakuan Konsumsi pakan tikus (g)

Sebelum Selama Setelah

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang

tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Ketidaksesuaian konsumsi pelet selama aplikasi karena kandungan utama pada pelet adalah jagung (palawija), menurut (Priyambodo 2003), palawija tidak

(26)

10

sesuai untuk metabolisme tikus. Pada tahapan ini, tikus masih beradaptasi untuk mengonsumsi pelet dan mengalami cekaman akibat perlakuan.

Hubungan kekerasan gigi, konsumsi, dan kemampuan mengerat

Tikus dapat mengerat benda dengan kekerasan kurang dari 5.5 skala geologi (Priyambodo 2003). Nlai kekerasan menurut geologi ini didasarkan pada skala kekerasan mineral Mohs. Skala kekerasan Mohs menunjukkan kemampuan suatu sampel dari materi alami menggores materi lainnya. Sampel materi yang digunakan adalah mineral (Gerrard 1987). Kekerasan 1 sampai 2 skala Mohs setara dengan kuku jari, 2 sampai 5 besi-besi kecil pisau, 5 sampai 6.5 baja, dan 6.5 sampai 10 intan. Kekerasan 5.5 skala Mohs setara dengan 60 kgf (Railsback 2006).

(27)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kekerasan gigi seri tikus menunjukkan penurunan sebanding dengan kenaikan konsentrasi bakteri S. mutans yang diberikan. Konsentrasi bakteri berpengaruh terhadap penurunan kekerasan gigi seri tikus, sedangkan lama pemberian tidak tidak berpengaruh. Konsumsi gabah menurun antar perlakuan dengan nilai konsumsi terendah pada konsentrasi 3x108 cfu/ml. Konsumsi pelet tidak menunjukkan perubahan besar pada tahap selama aplikasi, sedangkan setelah aplikasi semakin tinggi konsentrasi dan lama pemberian semakin meningkat konsumsi tikus terhadap pelet.

Interaksi kedua faktor tersebut adalah lama pemberian bakteri tidak menunjukkan pengaruh untuk konsentrasi tertinggi dan kontrol, namun sebaliknya untuk konsentrasi lainnya. Bakteri S. mutans dapat menurunkan kekerasan gigi seri dan konsumsi gabah serta meningkatkan konsumsi pelet. Konsentrasi 3x108 cfu/ml adalah konsentrasi yang paling efektif untuk menurunkan kekerasan gigi seri dan konsumsi tikus terhadap gabah.

Saran

(28)

12

DAFTAR PUSTAKA

Argasasmita TU. 2008. Karakterisasi sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas beras beramilosa rendah dan tinggi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Esselstyn JA, Achmadi AS, Rowe KC. 2012. Evolutionary novelty in a rat with no molars. Biology Letter 8(6):990-993. doi 10.1098/rsbl .2012.05 74 Biol. Lett.rsbl 20120 574.

Gerrard AJ. 1987. Discussion on an observation on Mohs scale of hardness by G. West. Quarterly Journal of Engineering Geology and Hydrogeology

20:99. doi: 10.1144/GSL.QJEG.1987.020.01.10

Gronroos L. 2000. Quantitative and qualitative characterization of mutans Streptococci in saliva and in dentition [disertasi]. Helsinki (FL): University of Helsinki.

Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta (ID): UGM Press. Hendrik YC, Gunawan HA, Puspitawati R. 2013. Pengaruh pemberian substrat

ikan teri jengki (Stolephorus insularis) terhadap kekerasan mikro permukaan email gigi tikus Sprague dawley (in vivo) [Internet]: Jakarta (ID) [diunduh 2013 Okt 1]. Tersedia pada: www.lib.ui.ac.id.

Houwink B. 1993. Prevalensi penyakit gigi dan mulut. Di dalam: Maulana C, editor. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Yogyakarta (ID): UGM Press. hlm 12-19.

Lusiana EA. 2008. Efektivitas penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) terdetoksifikasi dalam ransum dan adanya fase recovery

terhadap performa ayam broiler [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Marbawati D, Ismanto H. 2011. Identifikasi tikus (hasil pelatihan di laboratorium mamalia lembaga ilmu pengetahuan Jakarta). Balaba 7: 46-48.

Murdoch RAB. 1999. The length and eruption rates of incisors teeth in rats after one or more of them had been unimpeded. European Journal of Orthodontics 21(1):49-56.

Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Priyambodo S. 2012. Buku Praktikum Vertebrata Hama. Bogor (ID): IPB Press. Railsback RB. 2006. Some fundamental of mineralogy and geochemistry

[internet] Georgia (GE): University of Georgia [diunduh 2013 Nov 18]. Tersedia pada: http://www.gly.uga.edu/railsback/Fundamentals/ Hardness Trends29IL.pdf

Ratnaningtyas A. 2003. Tahu dari kacang non kedelai; studi kasus kacang komak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sirojudin. 1996. Mempelajari karakteristik fisikokimia produk teksturisasi kacang hijau (Vigna radiata L. Wilcjeck) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan percobaan di daerah tropis. Mangkoewidjojo S, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: The Care, Breeding and Management of Experimental Animals for Research in the Tropics.

(29)

Veld H, Helderman VP, Dirks B. 1993. Plak gigi. Di dalam: Maulana C, editor.

Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Yogyakarta (ID): UGM Press. hlm 58-103.

Volk WA, Wheeler MF. 1993. Mikrobiologi Dasar. Ed ke-5. Adisoemarto S, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Basic Microbiology. Webb BD, Pomeranz Y, Afework S, Lai FS, Bollich CN. 1986. Rice grain

(30)

14

Lampiran 1 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap kekerasan gigi seri

Total terkoreksi 23 211.2942640

Lampiran 2 Analisis ragam preferensi pakan tikus terhadap gabah dan pelet Sumber

keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung Pr > F

Model 1 138.4740563 138.4740563 34.52 <.0001

Galat 62 248.7209187 4.0116277

Total terkoreksi 63 387.1949750

Lampiran 3 Analisis ragam pengaruh tahapan aplikasi terhadap konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi

Sumber keragaman db Jumlah

(31)

Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah sebelum, selama, dan setelah aplikasi Sumber

Total terkoreksi 31 129.8977529

Selama aplikasi

Total terkoreksi 31 135.5234118

Setelah aplikasi

(32)

16

Lampiran 6 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi pelet sebelum, selama, dan setelah aplikasi

(33)

Lampiran 7 Analisis ragam pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi gabah berdasarkan tahapan aplikasi

Sumber keragaman db Jumlah

(34)

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 September 1991 sebagai anak ketiga dari pasangan Siti Jubaedah dan Aat Sapaat. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 11 Bandung. Pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk IPB melalui jalur Uji Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, di tahun pertama, penulis aktif pada organisasi daerah dan mengikuti magang BEM TPB untuk acara bakti sosial dan BEM KM Bina Desa tahun 2010/2011. Penulis aktif mengikuti magang di laboratorium Vertebrata Hama pada alih tahun 2011/2012 dan menjadi asisten pratikum untuk mata kuliah tersebut pada tahun 2012. Pada tahun 2013 bulan Juli sampai Agustus penulis melaksanakan kuliah kerja profesi di Desa Kertawaluya Kabupaten Karawang dengan melaksanakan program yang berjudul pengembangan pertanian mandiri dan kebersihan serta kesehatan di Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang. Selain itu, penulis aktif mengajar privat dalam bimbingan belajar Sony Sugema College (SSC) tahun 2013.

Gambar

Gambar 2  Prosedur pengenceran berseri (A) McFarland 1, (B) Shaker,
Tabel 2  Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi     gabah berdasarkan tahapan aplikasi
Gambar 6  Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap
Tabel 3  Pengaruh konsentrasi dan lama pemberian bakteri terhadap konsumsi

Referensi

Dokumen terkait

Laporan telah melunasi Pajak tahun terakhir (SPT/PPh) atau Surat Keterangan Fiskal serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 25 atau Pasal 21/Pasal 23 atau PPN sekurang

SctLrh N.nJar.rtlxtr Losr l:,txLtr, Afi!ns AnJr l,JruLm urrrk ltbrh

Kemampuan Menulis Karangan Argumentasi dengan Menggunakan Media Iklan Animasi Layanan Masyarakat (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas.. X-2 SMA PGRI 1

Bila disimpulkan, analisis sistem informasi kepegawaian adalah menyelidiki rancangan suatu sistem yang terdiri dari kumpulan data yang diorganisir dan berkaitan antara satu tabel

Assignment Errors Correct forms Linguistic Description Surface Structure Description most beautiful more beautiful most beautifulest the most beautiful Noun phrase;

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “ Pengaruh Suplementasi Jahe Emprit (Zingiber Officinale Var. Rubrum) Terhadap Karakteristik Fisik

[r]

Ras ini termasuk dalam Ras Mongoloid (sub ras Malayan Mongoloid) berasal dari daerah Yunan (Asia Tengah) masuk ke Indonesia melalui Hindia Belakang (Vietnam)/