• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN LALAT DIPTERA PADA BANGKAI KELINCI

DI DALAM RUANGAN

IMRAN SUKRI SINAGA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skiripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Imran Sukri Sinaga

(4)

ABSTRAK

IMRAN SUKRI SINAGA. Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan SUPRIYONO.

Lalat merupakan serangga pengganggu bagi masyarakat khususnya dalam bidang higiene pangan dan sanitasi lingkungan. Lalat merupakan serangga pertama yang datang pada proses dekomposisi bangkai. Penelitian tentang ragam jenis lalat yang datang ke bangkai belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman jenis lalat diptera pada bangkai kelinci di dalam ruangan. Penelitian ini menggunakan kelinci sebanyak 2 ekor. Kelinci dipotong pada bagian leher kemudian diletakkan di dalam ruangan. Lalat yang datang ke bangkai dikoleksi menggunakan sweeping net. Pengambilan data suhu dan kelembapan lingkungan serta pengamatan keadaan bangkai dilakukan setiap hari selama 30 hari. Lalat yang paling banyak ditemukan berturut-turut adalah lalat Chrysomya rufifacies, C. megacephala, Calliphora spp., Tachinidae,

C. saffranea, M. domestica, Lucilia sp., dan Sarcophaga sp. Suhu dan kelembapan lingkungan tidak mempengaruhi kedatangan lalat. Lalat yang tertangkap menurun setelah hari ke-17.

Kata kunci : bangkai, di dalam ruangan, dekomposisi, kelinci, lalat

ABSTRACT

IMRAN SUKRI SINAGA. The Diversity of Diptera Flies at Rabbit Carrion in Indoor. Supervised by SUSI SOVIANA and SUPRIYONO.

Flies are filth insect for society notably in food higiene and environment sanitation. Flies were first insect that came to carrion on decomposition process. So far, there only a few researcher about flies diversity on carrion in Indonesia. The purpose of this research was to determine the diversity of flies on carrion indoor. Two rabbits were used in this research. The rabbits were slaughtered at the neck and then were placed indoor area. Flies that came to the carrion were collected with sweep net. Data of environment termperature and humidity were collected for 30 days, included observation of carrion. Flies that were collected from the highest to lowest number were Chrysomya rufifacies, C. megacephala, Calliphora spp., Tachinidae, Chrysomya saffranea, M. domestica, Lucilia sp., and Sarcophaga sp. Fluctuation of environment temperature and humidity did not have correlation with to number of flies arrival. The number of flies were decrease after day of 17th

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KERAGAMAN LALAT DIPTERA PADA BANGKAI KELINCI

DI DALAM RUANGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan

Nama : Imran Sukri Sinaga NIM : B04090114

Disetujui oleh

Dr Drh Susi Soviana, MSi Pembimbing I

Drh Supriyono, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah Keragaman Lalat Diptera pada Bangkai Kelinci di dalam Ruangan.

Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si dan Drh. Supriyono, M.Si selaku pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH IPB.

3. Bapak Nazaruddin Sinaga, ibu Ratna Sari Nasution, abang Hendra Gunawan, kakak Desi Helvina, kakak Zulva Hajiniar, kakak Wildahanum,

adik Ilham Yunanda, dan adik Yusnida atas do’a restu, bantuan, dorongan,

dan kasih sayangnya selama ini.

4. Prof. Dr. Drh. Dondin Sajuthi, MSt dan Dr. Isdoni, M, Biomed selaku dosen penguji sidang sarjana kedokteran hewan yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksinya untuk menyempurnakan skripsi ini menjadi lebih baik lagi serta arahannya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

5. Hadi, Joni, Irfan, Rahmat, Ikhsan, Bang Indra, dan Muttaqinullah selaku teman yang terus mendorong untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih bantuan dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR i

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Jenis Lalat pada Bangkai 2

Pengaruh Suhu dan Kelembapan Lingkungan Terhadap Perkembangan Lalat

Miasis 4

MATERI DAN METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Metode Penelitian 5

Penempatan Bangkai Kelinci 5

Koleksi dan Identifikasi Lalat 5

Pengukuran Suhu dan Kelembapan Lingkungan serta Pengamatan Bangkai

5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Keragaman Jenis Lalat 6

Kelimpahan Nisbi dan Dominasi Lalat pada Bangkai 10

Suhu dan Kelembapan Lingkungan 12

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 17

(10)

DAFTAR TABEL

1. Kelimpahan nisbi dan dominasi lalat 11

DAFTAR GAMBAR

1A. Lalat C. rufifacies 8

1B. Vena dengan bristle pada lalat C. rufifacies 8

1C. Squama posterior berwarna coklat 8

1D. Proepisternal seta dan spirakel anterior berwarna putih 8

2A. Lalat C. megacephala 8

2B. Spirakel anterior berwarna hitam 8

3A. Lalat C. saffranea 8

3B. Setulae jarang 8

4A. Lalat Calliphora spp. 9

4B. Vena tanpa bristle 9

5A. Lalat Lucilia sp. 9

5B. Setulae rapat 9

6A. Lalat M. domestica 9

6B. Abdomen Abu-Abu Tua 9

7A. Lalat Tachinidae 9

7B. Subscetulum Tachinidae 9 8A. Lalat Sarcophaga sp

.

10 8B. Abdomen lalat Sarcophaga sp 10 9. Perbandingan jumlah lalat 11 10. Fluktuasi suhu, kelembapan ruangan, dan lalat C.rufifacies di

dalam ruangan 13

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lalat merupakan serangga pengganggu bagi masyarakat secara umum. Hal ini terutama karena lalat menimbulkan masalah dalam sanitasi makanan dan lingkungan. Lalat juga berperan sebagai penyebab miasis pada manusia dan hewan. Miasis adalah infestasi larva lalat pada jaringan tubuh (Wardhana 2006). Miasis terbagi menjadi 2 yaitu miasis fakultatif dan miasis obligat. Lalat penyebab miasis banyak ditemukan pada bangkai yang berperan sebagai dekomposer. Menurut Widyaningsih dan Supriyono (2011) lalat penyebab miasis adalah famili Calliphoridae, Muscidae, Sarcophagidae, Chloropidae, Gastrophilidae, Oestridae, dan Cuterebridae.

Menurut Jiron dan Cartin (1981), pada bangkai anjing terdapat kelompok-kelompok serangga tertentu yang akan datang pada tahap-tahap pembusukan bangkai. Serangga yang paling banyak mendatangi ke bangkai terutama adalah lalat (Lefebvre dan Gaudry 2009). Beberapa famili lalat yang berperan sebagai nekrofagus adalah lalat dari famili Muscidae, Calliphoridae, Phoridae, Piophilidae, dan Sarcophagidae (Carvalho et al. 2004). Lalat tersebut merupakan serangga yang mendatangi bangkai paling awal dan dalam jumlah paling besar dibandingkan jenis serangga lainnya. Keberadaan lalat tersebut dapat memberikan informasi yang akurat mengenai waktu kematian (Byrd dan Castner 2010; Firdaus

et al. 2007).

Lalat Calliphoridae datang beberapa jam setelah waktu kematian. Lalat ini memiliki sensitifitas yang lebih tinggi terhadap bau busuk bangkai daripada lalat lain. Bau busuk yang menarik lalat ini dihasilkan oleh reaksi bakteri dan reaksi enzimatis pada jaringan mati (Dahlan 2007). Kedatangan lalat ke bangkai juga dipengaruhi keadaan alam, misalnya suhu, kelembaban, dan curah hujan. Hal ini akan berpengaruh terhadap proses dekomposisi yang menjadi dasar kehadiran serangga-serangga tersebut (Goff 2003). Lalat yang datang akan meletakkan telur di bagian tubuh yang terbuka seperti mulut, hidung, dan bekas luka.

Lalat Muscidae adalah satu diantara lalat yang datang ke bangkai (Gennard 2007). Lalat ini tersebar di seluruh dunia dan mempunyai habitat yang dekat dengan manusia. Jenis lalat Muscidae yang sering ditemukan pada bangkai satu diantaranya adalah M. domestica. Lalat ini ditemukan sepanjang tahun, tetapi paling banyak pada musim panas (Byrd dan Castner 2010). M. domestica

biasanya tidak menyukai bangkai yang masih segar tetapi banyak ditemukan pada bangkai yang sudah memasuki tahap pembusukan. Lalat ini tertarik oleh cairan yang keluar dari bangkai.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman lalat Diptera pada bangkai kelinci di dalam ruangan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam perkembangan penelitian entomologi forensik baik pada hewan maupun manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Jenis Lalat pada Bangkai

Lalat ordo Diptera adalah serangga yang banyak ditemukan dalam bidang entomologi forensik. Menurut Hadi (2006) lalat diptera mempunyai ciri adanya 2 pasang sayap namun pasangan sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada yang disebut halter. Bagian kepala terdapat antena dan mata facet. Tipe mulut lalat bervariasi, umumnya memiliki tipe penjilat-penyerap atau penusuk-pengisap. Larvanya tidak berkaki, kepala kecil, dan tubuh halus. Menurut Tuzun et al. (2010) lalat ordo Diptera yang terdapat pada bangkai adalah lalat dari famili Calliphoridae (Calliphora vicina, C. vomitoria, Lucilia sericata, Chrysomya sp.), Muscidae (M. domestica, Muscina stabulans), Fannidae (Fannia canicularis), dan Sarcophagidae (Sarcophaga haemorrhoidalis,

Sarcophaga sp., Wohlfartia magnifica). Menurut Hadi (2006) lalat-lalat tersebut diklasifikasikan sebagai berikut :

Lalat famili Calliphoridae (blow fly) terdiri atas lebih dari 1000 spesies dan dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. Famili Calliphoridae terbagi atas subfamili Chrysomynae dan Calliphorinae. Lalat ini diketahui sebagai penyebab miasis obligat dan miasis fakultatif (Hadi dan Soviana 2010). Lalat penyebab miasis obligat di Indonesia adalah C. bezziana dan Sarcophaga sp. (Wardhana 2006). Lalat ini biasanya mendatangi bangkai pada awal kematian hewan maupun manusia. Spesies lalat famili Calliphoridae yang bisa dijadikan indikator waktu kematian diantaranya adalah C. megacephala, C. albiceps, C. rufifacies, dan

(13)

3

baik sehingga paling cepat dan paling banyak datang ke bangkai (Byrd dan Castner 2010; Firdaus et al. 2007).

Lalat famili Calliphoridae sering ditemukan di daerah tropis. Lalat ini merupakan lalat yang pertama aktif di pagi hari dan merupakan lalat yang terakhir meninggalkan bangkai pada sore hari. Periode aktivitas tersebut menyebabkan lalat ini sering ditemukan sebagai lalat pertama yang tiba di bangkai pada tahap awal pembusukan (fresh stage) (Byrd dan Castner 2010).

Panjang telur lalat Calliphoridae hampir 2 mm dan terdapat dalam kelompok-kelompok yang berisi 50–200 telur. Larva berwarna putih atau coklat muda dan segmen terminal memiliki enam atau lebih tuberkel berbentuk kerucut. Larva memiliki tiga stadium pertumbuhan yang disebut instar dan setiap stadium dipisahkan oleh molting. Lama larva instar I menjadi instar III adalah 6–7 hari. Akhir larva instar ketiga disebut pra-kepompong. Pada stadium ini kulit larva mulai menebal dan mengeras, akhirnya menjadi pupa. Tahap pupa memerlukan waktu lebih kurang 7–8 hari untuk menjadi lalat dewasa (Wardhana 2006).

Lalat famili Muscidae (Muscid flies) tersebar di berbagai belahan dunia, kebanyakan ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Jenis dari famili ini yang mendatangi bangkai adalah M. domestica, Fannia sp., Hydrotaea sp., dan Synthesiomyia sp (Leccese 2010). Satu diantaranya yang paling banyak didapatkan pada bangkai adalah M. domestica. Lalat ini berukuran 3–10 mm dengan warna abu-abu tua. Kebanyakan larva Muscidae berbentuk silindris dengan panjang rata-rata 5–12 mm berwarna putih, kuning atau coklat muda. Biasanya lalat Muscidae muncul pada bangkai setelah kedatangan lalat Calliphoridae. Lalat betina akan meletakkan telur pada substansi yang basah dan lembab (Bowmans 1999).

Jenis lalat dari famili Sarcophagidae (flesh flies) terdiri atas 2000 spesies yang dapat ditemukan di seluruh dunia. Sebagian besar spesies lalat ini ditemukan di daerah tropis dengan temperatur yang hangat. Lalat ini tertarik pada daging atau bangkai dan penyebab miasis obligat. Lalat dewasa memiliki panjang 2–14 mm, dengan warna belang abu-abu hitam pada thoraks. Beberapa spesies memiliki warna mata merah terang. Lalat Sarcophaga sp. tertarik pada bangkai hampir di semua situasi, terpapar ataupun terlindung dari matahari pada lingkungan basah ataupun kering. Keistimewaan lalat ini adalah cara reproduksinya yang melahirkan larva (larvipara), yang langsung diletakkan pada media bertelur berupa daging atau bangkai. Lalat-lalat ini mendatangi bangkai setelah lalat Calliphoridae (Hall 2001).

(14)

4

sedangkan lalat Calliphoridae dan Sarcophagidae sudah meninggalkan bangkai. Pada tahap ini bangkai dipenuhi oleh larva lalat Calliphoridae dan Sarcophagidae. Tahap ke-4 adalah post decay stage, pada tahap ini bangkai mulai mengering dan hanya tersisa kulit, tulang rawan, tulang, dan rambut. Tahap ini juga dicirikan dengan jumlah lalat yang menurun. Tahap ke-5 adalah skeletonization, yang hanya menyisakan rambut dan tulang pada bangkai. Pada tahap ini lalat tidak ditemukan lagi pada bangkai.

Kedatangan berbagai famili lalat dalam hubungannya dengan waktu kematian dilaporkan oleh Byrd dan Castner (2010) pada bangkai babi. Lalat Calliphoridae mendatangi bangkai pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-13 setelah kematian. Lalat famili Sarcophagidae mendatangi bangkai pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-12. Lalat famili Muscidae mendatangi bangkai pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-12, dan lalat famili Piophilidae mendatangi bangkai pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-19.

Pengaruh Suhu dan Kelembapan Lingkungan Terhadap Perkembangan Lalat Miasis

Suhu dan kelembapan lingkungan mempengaruhi perkembangan lalat. Suhu mempengaruhi perkembangbiakan, perkembangan, dan interaksi lalat dengan organisme lain (Krebs 2001). Lalat tidak suka terbang pada cuaca dingin atau turun salju. Lalat dewasa mulai meletakkan telur 4 sampai 5 hari setelah eklosi dari pupa. Semakin tinggi suhu maka lama telur menetas menjadi larva (L1) membutuhukan waktu yang lebih cepat. Pada suhu 27 oC, 30 oC, dan 33 oC lalat

C. megacephala membutuhkan waktu selama 10.5 jam, 9 jam, dan 8.3 jam, sedangkan lalat C. rufifacies membutuhkan waktu selama 12 jam, 10 jam, dan 8.5 jam. Lama perkembangan lalat C. megacephala dari telur menjadi larva lebih cepat dibandingkan terhadap lalat C. rufifacies (Salleh et al. 2009).

Suhu dan kepadatan larva C. megacephala tidak mempengaruhi kemampuannya untuk menjadi lalat dewasa (Reigada dan Gadoy 2006), namun mempunyai pengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Dua puluh lalat betina yang diperoleh dari media dengan kepadatan 200 dan 1000 larva, menghasilkan telur sebanyak 274.03±9.8 dan 175.21±16.56 pada suhu 20 °C. Pada suhu 30 °C jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 232.34±21.93 dan 159.67±13.55 (Reigada dan Gadoy 2006).

Kelembapan relatif mempengaruhi lama perkembangan lalat. Semakin tinggi kelembapan relatif maka waktu perkembangan larva menjadi lalat dewasa semakin cepat. Pada kelembaban relatif 54.2%, 57.6%, 67.5%, dan 76.0% perkembangan larva menjadi lalat dewasa membutuhkan waktu yang semakin cepat, yakni 127±3 jam, 102±3 jam, 124±3 jam, dan 76.5±3.9 jam. (Ismail et al.

(15)

5

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2013. Pengumpulan sampel dilakukan pada bulan April hingga Mei 2013 di Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) FKH-IPB. Identifikasi lalat dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penempatan Bangkai Kelinci

Penelitian ini menggunakan 2 ekor kelinci jantan. Kelinci yang digunakan mempunyai bobot badan antara 2–3 kg. Kedua kelinci disembelih pada bagian leher dan dibiarkan dalam keadaan luka terbuka dan diletakkan dengan jarak sekitar 2 m pada pukul 08.00 WIB. Bangkai ditempatkan di dalam ruang tertutup berukuran 2 m x 2 m x 3 m. Ruangan dengan alas semen dan dinding terbuat dari bata semen yang terdapat lubang ventilasi pada bagian atas dinding yang memungkinkan serangga masuk ke dalam ruangan.

Koleksi dan Identifikasi Lalat

Koleksi lalat dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi 3 x /hari yaitu pada pagi (07.00–08.00 WIB), siang (12.00–13.00 WIB), dan sore (16.00–17.00 WIB) menggunakan sweeping net. Lalat hasil koleksi kemudian dimatikan menggunakan killing jar atau botol pembunuh yang berisi sianida. Lalat yang sudah mati kemudian dipreservasi menggunakan teknik pinning. Selanjutnya lalat dikeringkan menggunakan autoclaf. Lalat yang sudah kering disimpan di dalam kotak koleksi. Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 40x dan kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi Spradbery (2002).

Pengukuran Suhu dan Kelembapan Lingkungan serta Pengamatan Bangkai

Pengukuran suhu dan kelembapan lingkungan dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi 3 x /hari yaitu pada pagi (07.00–08.00 WIB), siang (12.00– 13.00 WIB), dan sore (16.00–17.00 WIB) dengan menggunakan termohigrometer. Pengamatan bangkai dilakukan setiap hari. Pengamatan yang diamati adalah kondisi fisik bangkai sampai bangkai hanya tersisa kulit, tulang, dan rambut.

Analisis Data

(16)

6

Kelimpahan Nisbi

Kelimpahan nisbi adalah perbandingan jumlah individu spesies lalat terhadap total jumlah spesies lalat yang diperoleh dan dinyatakan dalam persen.

Kelimpahan nisbi = X 100%

Frekuensi

Frekuensi lalat tertangkap dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah penangkapan diperolehnya lalat tertentu terhadap jumlah total penangkapan.

Frekuensi =

Dominasi Spesies

Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi lalat tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan.

Dominasi spesies = Kelimpahan nisbi X Frekuensi tertangkap

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Jenis Lalat

Lalat Ordo Diptera yang didapatkan dalam penelitian ini terdiri atas 4 famili yaitu Calliphoridae, Muscidae, Tachinidae, dan Sarcophagidae. Lalat dari famili Calliphoridae adalah C. rufifacies, C. megacephala, C. saffranea, Calliphora

spp., dan Lucilia sp., sedangkan dari famili Muscidae adalah M. domestica, serta famili Sarcophagidae adalah Sarcophaga sp.

Lalat C. rufifacies mempunyai ciri yaitu dasar batang vena sayap mempunyai rambut halus (bristle). Pada bagian thoraks terdapat squama posterior yang berwarna hitam kecoklatan dan ditutupi oleh rambut halus pada bagian atasnya. Pada bagian depan thoraks terdapat spirakel anterior yang berwarna kuning muda atau putih dan duri (proepisternal seta) (Gambar 1). Wajah dan bucca berwarna coklat gelap yang ditutupi oleh rambut tebal yang berwarna perak.Lalat C. rufifacies tersebar di negara yang beriklim tropis seperti di bagian Australia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Byrd dan Castner 2010). Lalat ini juga ditemukan di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia (April et al. 2012; Chin et al. 2009).

Lalat C. megacephala mempunyai ciri yaitu spirakel anterior berwarna gelap atau hitam kecoklatan. Terdapat setulae (rambut tebal) berwarna hitam yang melingkari vibrisa dan sedikit pada pinggir wajah (Gambar 2). Lalat C. megacephala tersebar di India, Asia Tenggara, Australia, Amerika Selatan, Afrika, dan Jepang (Spradbery 2002).

Lalat C. saffranea memiliki kesamaan dengan lalat C. megacephala yaitu

anterior spirakel berwarna hitam dan squama posterior berwarna coklat.

Jumlah individu lalat spesies tertentu Total jumlah lalat yang diperoleh

(17)

7 varifrons, dan C. dubia (Spradbery 2002), sedangkan jenis C. loewi ditemukan di Amerika. Lalat ini juga ditemukan di daerah pegunungan Alpen, Eropa bagian utara dan tengah, Asia Tengah, Mongolia. Jenis lalat dari famili ini yang pernah dilaporkan di Jepang adalah C. nigribarbis (Kyoko et al. 2011).

Lalat Lucilia sp. mempunyai ciri yaitu tubuhnya berwarna hijau metalik atau hijau tembaga dan berukuran kecil sampai sedang (<8 mm) dan dasar batang vena sayap tidak mempunyai bristle (Gambar 5). Jenis lalat ini yang umum ditemukan adalah L. sericata. Lalat ini tersebar di Inggris, Afrika Selatan, Selandia Baru, Korea, Australia, dan Malaysia. Jenis lalat L. porphyrina juga dilaporkan mendatangi bangkai di dalam hutan Malaysia (Goh et al. 2013). Jenis lalat dari famili ini yang ditemukan di Indonesia dan Malaysia adalah L. cuprina

(Esser et al. 1990; Bunchu 2012).

Lalat M. domestica mempunyai ciri yaitu thoraks bagian bawah (meropleuron) tidak mempunyai bristle atau jika ada sangat sedikit. Lalat ini berukuran 3–10 mm. Terdapat empat garis memanjang gelap pada bagian dorsal thoraks. Abdomen lalat ini berwarna abu-abu tua (Gambar 6). Lalat ini tersebar di seluruh dunia (Hadi dan Koesharto 2006). Lalat ini merupakan satu diantara lalat hama permukiman.

Lalat Tachinidae mempunyai ciri yaitu meropleuron mempunyai bristle

yang banyak. subscutellum terlihat jelas (Gambar 7). Pada antena terdapat arista

yang bersusun jarang dan hanya terletak pada satu sisi. Lalat ini mempunyai sekitar 10.000 spesies yang tersebar di seluruh dunia (Kara et al. 2010). Lalat Tachinidae yang terdapat di Asia adalah Cavillatrixequatrialis dari Singapura, C. papuana dari Papua Nugini, dan C. gymnops dari Jepang (Hiroshi 1999). Jenis lain yang ditemukan di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan adalah Paravibrissina argentifera, P. aurigera, P. leucogaster, P. pacifica dan P. parvula, dan P. Adiscalis (Hiroshi dan Takuji 2008).

(18)

8

Gambar 1 A: Lalat C. rufifacies. B: Vena dengan bristle. C: Squama posterior berwarna coklat. D: Proepisternal seta (a), Spirakel anterior berwarna putih (b).

Gambar 2 A: Lalat C. megacephala. B: Spirakel anterior berwarna hitam

Gambar 3 A: Lalat C. saffranea. B: Setulae jarang.

a

b

A B

C D

A B

(19)

9

Gambar 4 A: Lalat Calliphora spp. B: Vena tanpa bristle.

Gambar 5 A: Lalat Lucilia sp. B: Vena tanpa bristle.

Gambar 6 A: Lalat M. domestica. B: abdomen abu-abu tua.

Gambar 7 A: Lalat Tachinidae. B: Subscetulum Tachinidae. A

A

A

B

B

B

(20)

10

Gambar 8 A: Lalat Sarcophaga sp. B: Abdomen lalat Sarcophaga sp.

Kelimpahan Nisbi dan Dominasi Lalat pada Bangkai

Lalat yang paling banyak tertangkap adalah C. rufifacies diikuti lalat C. megacephala, Calliphora spp., Tachinidae, C. saffranea, M. domestica, Lucilia

sp. dan Sarcophaga sp. (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan lalat paling banyak adalah famili Calliphoridae. Tidak berbeda dengan Byrd dan Castner (2010) serta Zuha et al. (2009) yang menyatakan lalat famili Calliphoridae paling dominan ditemukan mendatangi bangkai babi dan bangkai monyet. Lalat Calliphoridae paling banyak terdapat pada hari ke-3 sampai ke-5. Pada hari-hari tersebut bangkai memasuki tahap bloated stage dengan ciri-ciri kondisi bangkai sangat bau, perut mengembung, lidah dan bola mata keluar, dan keluar cairan dari lubang tubuh.

Semua lalat Calliphoridae yang ditemukan adalah lalat penyebab miasis fakultatif. Lalat ini datang dan meletakkan telurnya pada jaringan tubuh yang sudah mati. Lalat ini mulai ditemukan pada bangkai yang sudah memasuki tahap pembusukan. Lalat Calliphoridae yang paling banyak didapatkan adalah C. rufifacies (Gambar 9). Menurut Kumara et al. (2011) lalat C. rufifacies

terstimulasi untuk mendeposit telur pada bangkai karena adanya telur lalat C. megacephala. Larva lalat ini dapat mengkonsumsi larva lalat C. megacephala

sebagai pakan tambahan, sehingga jumlah lalat C. rufifacies lebih banyak dibandingkan terhadap lalat C. megacephala.

Jumlah lalat Tachinidae didapatkan lebih banyak dibandingkan lalat M. domestica dan lalat Sarcophaga sp. Sebenarnya lalat ini bukan termasuk lalat nekrofagus, lalat ini merupakan parasitoid yang bersifat endoparasit terhadap serangga Lepidoptera, Hymenoptera, Coleoptera, Heteroptera, Orthoptera, dan beberapa serangga yang lain (Kara et al. 2009). Lalat ini meletakkan telur pada inangnya dan telur akan segera menetas menjadi larva (O’hara 2005). Larva lalat ini akan memakan larva atau pupa serangga lain. Sehingga kedatangan lalat ini bukan karena tertarik kepada bangkai melainkan akibat keberadaan serangga lain.

Lalat M. domestica merupakan lalat yang menyukai sampah organik sebagai makanan dan tempat meletakkan telur (Hadi dan Koesharto 2006). Lokasi penelitian yang digunakan dekat dengan tempat penampungan sampah sehingga lalat ini tidak mendatangi bangkai dalam jumlah yang banyak. Lalat Sarcophaga

sp. paling sedikit didapatkan pada bangkai. Menurut Hadi dan Koesharto (2006) lalat ini dilaporkan jarang memasuki rumah atau ruangan sehingga bangkai yang di dalam ruangan tidak didatangi lalat ini.

(21)

11

Tabel 1 Kelimpahan nisbi dan dominasi lalat

Spesies Jumlah Kelimpahan nisbi (%)

Frekuensi. Dominasi Spesies (%)

C. rufifacies 143 49.48 0.53 26.22

C. megacephala 63 21.80 0.40 8.72

Calliphora spp. 30 10.38 0.33 3.43

Tachinidae 19 6.57 0.23 1.51

C. saffranea 13 4.50 0.20 0.90

M. domestica 11 3.81 0.17 0.65

Lucilia sp. 8 2.77 0.17 0.47

Sarchopaga sp. 2 0.69 0.03 0.02

Total 289 100

Lalat Sarcophaga sp. merupakan lalat yang paling sedikit ditemukan. Lalat ini ditemukan hanya pada hari ke-15 dan tidak ditemukan larva pada bangkai, karena kondisi bangkai sangat kering dan hanya tersisa kulit, tulang, dan rambut. Menurut Byrd dan Castner (2009) bangkai yang telah memasuki tahap skeletal stage maka lalat tidak ditemukan lagi lalat.

Lalat adalah serangga yang paling cepat datang ke bangkai. Lalat yang pertama mendatangi bangkai adalah famili Calliphoridae, kemudian diikuti famili lainnya seperti Muscidae, Tachinidae, dan Sarcophagidae. Lalat-lalat ini terlihat mengumpul pada bagian tubuh bangkai yang terbuka dan lembab seperti kelopak mata, kantus mata, lubang hidung, mulut, bibir, genital, anus dan daerah yang terluka. Lalat datang untuk meletakkan telur pada bangkai.

Lalat datang karena adanya bau khas yang dikeluarkan bangkai yang akan ditangkap oleh antena lalat. Fungsi utama antena adalah indera sensoris. Berbagai tipe-tipe rambut kecil (sensila) yang terletak pada antena bertindak sebagai penangkap rangsangan fisik (taktil), pembau, suhu, kelembaban, dan penerima suara (Hadi dan Soviana 2010).

(22)

12

Suhu dan Kelembapan Lingkungan

Pada penelitian ini lalat yang paling banyak ditemukan adalah lalat C. rufifacies. Hasil pengukuran selama 30 hari dengan suhu lingkungan berkisar 27– 32 oC dan kelembapan lingkungan berkisar 71.50–85.37%. Lalat ini mulai datang pada hari ke-2 dan selanjutnya melakukan oviposisi pada bangkai paling banyak ditemukan pada hari ke-4. Jumlah lalat ini mencapai jumlah tertinggi pada hari ke-12 (Gambar 10). Populasi lalat yang tinggi pada hari ke-12 ini merupakan hasil perkembangan dari telur yang diletakkan lalat pada bangkai. Hal ini terlihat dari banyaknya sisa kepompong lalat yang berada pada dan di sekitar bangkai.

Pada penelitiannya terhadap lalat yang mendatangi bangkai babi di dalam ruangan, Byrd dan Castner (2010) melaporkan bahwa lalat mulai mendatangi bangkai mulai hari ke-7. Kedatangan lalat yang lebih lama pada penelitian ini dapat disebabkan berbagai hal, diantaranya proses pembusukan yang lebih lama karena ukuran tubuh babi yang lebih besar. Selain itu suhu ruangan tempat bangkai babi yang lebih rendah (17.8 oC) dibandingkan terhadap suhu ruangan di lokasi penelitian yang berkisar 27–32 oC dan kelembapan 71.50–85.37%. Pada suhu yang semakin tinggi maka proses pembusukan juga akan semakin cepat (Ekanem dan Dike 2010).

Berdasarkan uji korelasi Spearman hubungan antara suhu lingkungan dengan kedatangan lalat C. rufifacies menunjukkan tidak ada korelasi (r= 0.137, P= 0.469) (Lampiran 1). Kelembapan lingkungan dengan kedatangan lalat C. rufifacies menunjukkan korelasi yang lemah (r= –0.391, P= 0.033) (Lampiran 2). Kelembapan lingkungan akan mempengaruhi proses pembusukkan bangkai. Kelembapan lingkungan yang rendah akan mempercepat proses pembusukan bangkai (Ekanem dan Dike 2010). Perubahan suhu dan kelembapan lingkungan tidak berubah secara fluktuatif, dibandingkan dengan perubahan kedatangan lalat

C. rufifacies (Gambar 10). Hal ini menunjukkan suhu dan kelembapan ruangan tidak mempengaruhi kedatangan lalat secara langsung melainkan mempengaruhi proses pembusukan bangkai. Bau busuk dari bangkai akan menarik lalat untuk sampai dengan puncak eklosi lalat adalah berkisar 8–9 hari. Hal ini tidak berbeda dengan pernyataan Salleh et al. (2009), lama perkembangan lalat C. rufifacies

(23)

13

Gambar 10 Fluktuasi suhu, kelembapan ruangan, dan jumlah lalat C. rufifacies di dalam ruangan

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Lalat yang mendatangi bangkai kelinci selama 30 hari di dalam ruangan di daerah Dramaga, Bogor, Jawa Barat adalah lalat C. rufifacies, C. megacephala,

Calliphora spp., Tachinidae, C. saffranea, M. domestica, Lucilia sp., dan

Sarcophaga sp. Jumlah lalat menurun pada hari ke-17 setelah kematian. Lalat yang paling banyak ditemukan adalah C. rufifacies.

Saran

Untuk mengetahui perbedaan jenis lalat yang datang ke bangkai perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk daerah yang mempunyai topografi berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Bunchu N. 2012. Blow fly (Diptera: Calliphoridae) in Thailand: distribution, morphological identification and medical importance appraisals. Intern J Parasitol Res. 4(1);57–64.

Bowmans DD. 1999. Parasitology for Veterinarians 7th ed. Philadelphia (US): Wb Saunders Company.

(24)

14

Carvalho LML, Thyssen PJ, Goff ML, Linhares AX. 2004. Observations on the succession patterns of necrophagous insect on a pig carcass in an urban of Southeastern Brazil. J Med Tox [Internet].; 5:33–39.

Chin HC, Nazni WA, Lim LH, John J, Baharudin O, Dhang CC, Weng LK, Azirun MS. 2009. Predation on pupa of Chrysomya rufifacies (Marquart) (Diptera: Calliphoridae) by parasitoid, Exoristobia philippinensis Ashmead (Hymenoptera: Encyrtidae) and Ophyra spinigera larva (Diptera: Muscidae).Trop Biomed. 26(3):369–372.

Dahlan S. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang (ID): Badan Penerbit Universitas Diponegoro. hlm 47– 65.

Ekanem MS, Dike MC. 2010. Arthropod succession on pig carcasses in Southeastern Nigeria. Papéis Avuls Zool. 50(35):561–570.

Esser JR, Hanson SW, Wiryante J, Sunarya, Tausin S. 1990. Prevention of insect infestation and losses of salted-dried fish in Indonesia by treatment with an insecticide approved for use on fish. FAO Fisher Rep; 401:168–179.

Firdaus A, Marwi MA, Jeffery J, Hamid NA, Zuha RM, Omar B. 2007. A review of forensic entomology cases at Ipoh Kuala Lumpur Hospital and Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia for the year 2003. J Trop Med Parasitol. 30(2):51–54.

Gennard DE. 2007. Forensic Entomology: An Introduction. University of Lincoln,London (UK).

Goff L. 2003. Forensic Entomology. Dalam: VH Resh & RT Carde, editor.

Encyclop Ins. Amsterdam (ND): Academic Pr. hlm 919–926.

Goh TG, Chee DC, Jeffery J, Izzul AA, Koon WL, Han LL, Ramli R, Nazni WA, Azirun MS. 2013. Evaluation of bait attractiveness for forensically important flies in lowland and montane forest in peninsular Malaysia. Asian Biomed. 7:523–528.

Hadi UK. 2006. Pengenalan Arthropoda dan Biologi Serangga. di dalam : Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Singgih HS, Upik KS, editor. 2:14–22. Bogor (ID): IPB Pr. Forensic Entomology: The Utility of Arthropods in Legal Investigation. New York (NC): CRC press,: 1–11.

Hiroshi S. 1996. A systematic study of the genus Cavillatrix richter (Diptera, Tachinidae). Bull Grad Sch Soc Cultl Stud Kyushu Univ. 2:133-148.

Hiroshi S dan Takuji T. 2008 New species of the genus Paravibrissina shima (Diptera: Tachinidae) from Southeast Asia and South Pacific.Zootaxa. hlm 43–60.

Ismail MI, Osman K, King OH, Hasan N, Elias E, Ambia KMD, Ghazali AR, Mohamed J, Omar BHJ. 2007. Accelarating Chrysomya megacephala

(25)

15

Jiron LF, Cartin VM. 1981. Insect succession in the decomposition of a mammal in Costa Rica. J New York Entomol Soc. 89:158–165.

Kara K, Kormaz Y, Kirikoğlu S. 2010. New records for Turkish Tachinidae

(Diptera) fauna. Turk J Zool. 34; 275–277.

Krebs CJ. 2001. Ecology: The experimental analysis of distribution and Abundance. New York: Harper dan Row. hlm 619–695.

Kumara TK, Disney RHL, Hassan AA, Flores M, Hwa Tan SH, Mohamed Z, Chesalmah MR, dan Bhupinder S. 2011. Occurrence of oriental flies associated with indoor and outdoor human remains in the tropical climate of north Malaysia. J. Vec Ecol. 37(1):62–68.

Kyoko S, Keita H, Haruhiko I, Toshinori S, Kyeong SK, Toshihiko H, Yoshio T, Hiromu K, Mutsuo K. 2011. Blow flies were one of the possible candidates for transmission of highly pathogenic H5N1 avian influenza virus during the 2004 outbreaks in Japan.Hindawi Pub Corp Infl Res Treat.

Leccese A. 2010. Insect as forensic indicator :methodological aspects. J.Med Tox. 5:26–32.

Lefebvre F, Gaudry E. 2009. Forensic entomology: a new hypothesis for the chronological succession pattern of necrophagous insect on human corpses.

Int J Entomol. 45(3):377–392.

Maurice T. James. 1971. Genus Chrysomya in New Guinea (Diptera: Calliphoridae). Pacific Ins. 13(2):361–369.

O’hara J E. 2005. A Review Of The Tachinid Parasitoids (Diptera: Tachinidae) Of Nearctic Choristoneura Species (Lepidoptera: Tortricidae), With Keys To Adults and Puparia.Canada (CD): Magnolia Pr. hlm 1–46.

Reigada C, Godoy WAC. 2006. Larval density, temperature and biological aspect

of Chrysomya megacephala (Diptera: Calliphoridae). Arq Bras Med Vet Zootec; 58(4):562–566.

Salleh AFM, Talib A, Marwi MA, Isa NHM, Abdullah SR, Bashah RMZRK,

Omar B. 2009. Pengaruh suhu ke atas perkembangan larva lalat Chrysomya megacephala (Fabricius) dan Chrysomya rufifacies (Macquart) (Diptera:Calliphoridae): Aplikasi dalam sains forensik [komunikasi singkat]. J Sains Kes Malay; 7(2):89–96.

Spradbery JP. 2002. A Manual for the Diagnosis of Screw-Worm Fly. Australia (AU): Departement of Agriculure, Fisheries and Forestry.

Tuzun A, Dabiri F, Yuksel S. 2010. Preliminary study and identification of insects species of forensic importance in Urmia, Iran. Afric J Biotech. 9(24):3649–3658

Wardhana AH. 2006. Chrysomya bezziana penyebab myasis pada hewan dan manusia: permasalahan dan penanggulangannya. Wartazoa; 16(3):146–159. Wardhana AH, Muharsini S, Ready PD, Cameron MM, Hall MJR. 2012.

Geographical characteristics of Chrysomya bezziana based on external morphology study. JITV. 17(1):36-48.

Widyaningsih I, Supriyono B. 2011. Miasis. J Ilm Ked Wijaya Kusuma; 2:1–6. Zuha RM, Kurahashi H, Heo CC, Osman K, Rashid RA, Hassan RA, Abdullah

(26)

16

Lampiran 1 Korelasi jumlah lalat dengan suhu lingkungan.

Correlations

Jmllalat suhu

Spearman's rho Jmllalat Correlation Coefficient 1.000 .137

Sig. (2-tailed) . .469

N 30 30

Suhu Correlation Coefficient .137 1.000

Sig. (2-tailed) .469 .

N 30 30

Lampiran 2 Korelasi jumlah lalat dengan kelembapan lingkungan

Correlations

jmllalat kelembapan

Spearman's rho Jmllalat Correlation Coefficient 1.000 -.391*

Sig. (2-tailed) . .033

N 30 30

kelembapan Correlation Coefficient -.391* 1.000

Sig. (2-tailed) .033 .

N 30 30

(27)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tebing Tinggi, pada tanggal 19 Februari 1991. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, putra pasangan Bapak Nazaruddin Sinaga dan Ibu Ratna Sari Nasution. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1997-2003 di SD IMPRES 164524 Tebing Tinggi. Pada tahun 2003-2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Tebing Tinggi, kemudian melanjutkan pendidikanya di SMAN 1 Tebing Tinggi dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasisa IPB melalui jalur USMI( Undangan Seleksi Masuk IPB).

Gambar

Gambar 1  A: Lalat C. rufifacies. B: Vena dengan bristle. C: Squama posterior berwarna
Gambar 7  A: Lalat Tachinidae. B: Subscetulum Tachinidae.
Gambar 8  A: Lalat Sarcophaga sp. B: Abdomen lalat Sarcophaga sp.
Tabel 1 Kelimpahan nisbi dan dominasi lalat
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kepulauan Anambas” adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

Denise Alchin Bangun : Kajian Beberapa Metode Perangkap Lalat Buah (Diptera;Tephritidae) Pada Pertanaman Jeruk Manis (Citrus spp.) Di Desa Sukanalu Kabupaten Karo, 2009..

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Pohon Bisbul (Diospyros blancoi) di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Suksesi Serangga Pada Bangkai Burung Yang Keracunan Insektisida Di Lingkungan Kampus IPB Dramaga” adalah karya saya dengan

Hasil: Genus larva lalat yang ditemukan pada bangkai tikus wistar diletakan di darat adalah chrysomyia (28,9%) dan lucillia (4,4%); di air tawar adalah cochliomyia (31,6%)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Analisis Kebijakan Strategis PT Aneka Tambang Tbk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keragaman Jenis Lalat Buah dan

Hasil: Genus larva lalat yang ditemukan pada bangkai tikus wistar diletakan di darat adalah chrysomyia (28,9%) dan lucillia (4,4%); di air tawar adalah cochliomyia (31,6%)