Oleh :
SORAYA MOURINA HTS
090100164
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARAKTERISTIK DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT
POLIP HIDUNG DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN
2009-2011
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
SORAYA MOURINA HTS.
090100164
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011
Nama : Soraya Mourina Hts NIM : 090100164
Pembimbing Penguji
(dr. Yahwardiah, Siregar Ph.D) (dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes ) NIP: 19550807 198503 2001 NIP: 19690609 199903 2001
(dr. Putri Chairani Eyanoer, MS, Epi, Ph.D) NIP: 19720901 199903 2001
Medan, 15 Januari 2013 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan KTI
(Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul “Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011”. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp. PD-KGEH selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. Dosen - dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu
Kedokteran Komunitas (IKM / IKK ) Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
3. Dr. Yahwardiah Siregar, Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk,
saran dan bimbingan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat
diselesaikan
4. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes selaku dosen penguji I serta dr. Putri
Chairani Eyanoer, MS selaku dosen penguji II yang telah bersedia
menguji, memberikan masukan, dan saran kepada penulis
5. Drh. Zulkarnaen Hutasuhut dan Henita Dewi Batu Bara selaku orang tua
penulis dan dr. Sofia Marlina, Sonia Ramadhani dan Muhammad Imran
aziz selaku saudara kandung penulis yang telah banyak memberikan
semangat dan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
6. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
7. Bidang Penelitian dan Pengembangan Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan yang telah memberikan izin melakukan penelitian
8. Teman – teman seperjuangan penulis Baginda Yusuf Siregar, Tengku
Nanda Edwina, dan Diniy Yolanda serta teman – teman yang selalu
mendukung penuh dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini
Chairunissa Oktavira, Ferdian Ramadhan, Gaby Tania Olivia Siahaan,
Karina Dwi Swastika, Hasfi Fauzan Raz, Ratih Fadhillah, Tryna Tania,
Jeffry Syaputra, Riefka Ananda zulfa, dan dr. Muhammad Arfiza Putra.
9. Seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran USU yang telah
membantu selama perkuliahan
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga Karya Tulis
Ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca, dan penulis mengharapkan saran dan kritik
dari pembaca.
Medan, 12 Desember 2012
Penulis
ABSTRAK
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung yang berupa massa lunak bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Polip memiliki gejala klinis bervariasi dan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pasien polip hidung. Penelitian ini bersifat deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip hidung yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel diperoleh dengan cara total sampling dan data diambil dari rekam medis.
Dari hasil penelitian diperoleh 36 orang pria (61%) dan 23 orang wanita (39%) dengan kelompok umur 45-54 tahun (27.1%), Faktor risiko paling banyak adalah sinusitis 33 orang dari 47 orang (70.2%), 58 pasien memiliki keluhan utama hidung tersumbat (98.1%), keluhan tambahan nyeri kepala sebanyak 25 orang (42.4%). Semua pasien dijumpai massa di hidung pada pemeriksaan fisik dan yang paling sering stadium III 16 orang dari 24 orang (60.7%). Hampir semua pasien diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah 54 orang (91.5%) tidak ada yang mengalami komplikasi pasca operasi, dijumpai 14 orang (23.7%) yang mengalami rekurensi dan 58 pasien pulang dalam keadaan menbaik (98.3%). Rata – rata pasien polip hidung dirawat selama 5 hari.
Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko terkena pada pria dengan kelompok umur dewasa dan memiliki riwayat sinusitis. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan pada pemeriksaan fisik dijumpai massa pada hidung. Penatalaksanaan yang diberikan kombinasi medikamentosa dan terapi bedah. Pada penelitian ini tidak dijumpai komplikasi pasca operasi dan jarang ditemukan rekurensi.
ABSTRACT
Nasal polyposis are abnormal masses in the nasal mucosa, soft-stemmed, round or oval, grayish-white color. Polyps have the various clinical symptoms and affect the quality of life of patients. This study aimed to investigate the characteristics and management of patients with nasal polyps. This research is descriptive design and presented in the form of a frequency distribution table. The population in this study were all patients whose hospitalization nasal polyps in RSUP H. Adam Malik Medan. Samples obtained by total sampling and data extracted from medical records.
The result showed 36 men (61%) and 23 women (39%) in the age group 45-54 years (27,1%), most risk factors are sinusitis, 33 out of 47 people (70,2%), 58 patients had the main complain nasal congestion (98,1%), an additional complaint of headache by 25 people (42,4%). All patients were found with the nasal mass on physical examination and most often suspected in 3rd stage (16 out of 24 people, 60,7%). Almost all patients are given a pharmacotherapy management and surgical therapy 54 people (91.5%) had no postoperative complications, encountered 14 people (23.7%) experienced recurrence and 58 patients go home with improvement (98.3%). The average nasal polyp patients treated for 5 days.
The conclusions of this study are patients more at risk of nasal polyps in men with adult age groups and have a history of sinusitis. The main complaint of patients is usually nasal congetion and mass found on physical examination in the nose. Treatment given by both pharmacotherapy and surgical. There were no postoperative complication in this study and recurrence is rare
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN ………... i
LEMBAR PENGESAHAN……….. ii
2.3.6. Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan Penunjang... 14
2.3.7. Penatalaksanaan……... 14
2.3.8. Komplikasi………... 15
2.4. Alergi dan Polip Hidung... 15
2.4.1. Alergi……… 15
2.4.2. Patogenesis……….. 15
2.4.3. Hubungan Polip Hidung dengan Alergi……….. 16
2.5. Sinusitis dan Polip Hidung……… 17
2.5.1. Sinusitis………. 17
2.5.2. Patofisiologi………... 17
2.5.3. Hubungan Sinusitis dan Polip Hidung……….. 18
2.6. Asma bronkiale dan Polip Hidung……….. 18
2.6.1. Asma Bronkiale……… 18
2.6.2. Patogenesis………. 18
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 23
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ………... 23
3.2. Definisi Operasional ………... 24
BAB4 METODE PENELITIAN ……….… 26
4.1. Jenis Penelitian ………... 26
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………... 26
4.3. Populasi dan Sampel ………... 26
4.3.1. Populasi ………... 26
4.4. Teknik Pengumpulan Data ………... 27
4.5. Pengolahan dan Analisis Data... 27
BAB5HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……... 28
5.1 Hasil Penelitian... 28
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 28
5.2 Pembahasan... 34 BAB6 KESIMPULAN DAN SARAN... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1. Hubungan antara polip nasal, asma, dan intoleransi aspirin. 21
3.1. Definisi operasional 24
5.1. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan jenis kelamin di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 29
5.2. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan umur di RSUP H.
Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 29
5.3. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan faktor risikodi
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 30
5.4. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan utama di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 30
5.5. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan tambahan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011an 30
5.6. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan pemeriksaan fisik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 31
5.7. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan stadium di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 31
5.8. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32
5.9. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32
5.10. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keadaan saat pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32
5.11. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan rekurensi di RSUP
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Anatomi Hidung Luar 7
2.2. Anatomi Hidung Dalam 8
2.3. Gambar Hasil Pembedahan Polip Hidung 13
2.4. Gambar Pemeriksaan Fisik Polip Hidung 14
2.5. Gambar Reaksi Alergi 16
DAFTAR SINGKATAN
AIA : Aspirin Induced Asthma
ARIA : Allergic Rhinitis and its impact on Asthma
COX : Cyclooxigenase
NSAIDs : Non-steroidal Antiinflamatory Drugs
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
WHO : World Health Organization
PAPS : Pulang Atas Permintaan Sendiri
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Data Induk Penelitian
Lampiran 3 Output Komputerisasi Penelitian
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian
ABSTRAK
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung yang berupa massa lunak bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Polip memiliki gejala klinis bervariasi dan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pasien polip hidung. Penelitian ini bersifat deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip hidung yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel diperoleh dengan cara total sampling dan data diambil dari rekam medis.
Dari hasil penelitian diperoleh 36 orang pria (61%) dan 23 orang wanita (39%) dengan kelompok umur 45-54 tahun (27.1%), Faktor risiko paling banyak adalah sinusitis 33 orang dari 47 orang (70.2%), 58 pasien memiliki keluhan utama hidung tersumbat (98.1%), keluhan tambahan nyeri kepala sebanyak 25 orang (42.4%). Semua pasien dijumpai massa di hidung pada pemeriksaan fisik dan yang paling sering stadium III 16 orang dari 24 orang (60.7%). Hampir semua pasien diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah 54 orang (91.5%) tidak ada yang mengalami komplikasi pasca operasi, dijumpai 14 orang (23.7%) yang mengalami rekurensi dan 58 pasien pulang dalam keadaan menbaik (98.3%). Rata – rata pasien polip hidung dirawat selama 5 hari.
Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko terkena pada pria dengan kelompok umur dewasa dan memiliki riwayat sinusitis. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan pada pemeriksaan fisik dijumpai massa pada hidung. Penatalaksanaan yang diberikan kombinasi medikamentosa dan terapi bedah. Pada penelitian ini tidak dijumpai komplikasi pasca operasi dan jarang ditemukan rekurensi.
ABSTRACT
Nasal polyposis are abnormal masses in the nasal mucosa, soft-stemmed, round or oval, grayish-white color. Polyps have the various clinical symptoms and affect the quality of life of patients. This study aimed to investigate the characteristics and management of patients with nasal polyps. This research is descriptive design and presented in the form of a frequency distribution table. The population in this study were all patients whose hospitalization nasal polyps in RSUP H. Adam Malik Medan. Samples obtained by total sampling and data extracted from medical records.
The result showed 36 men (61%) and 23 women (39%) in the age group 45-54 years (27,1%), most risk factors are sinusitis, 33 out of 47 people (70,2%), 58 patients had the main complain nasal congestion (98,1%), an additional complaint of headache by 25 people (42,4%). All patients were found with the nasal mass on physical examination and most often suspected in 3rd stage (16 out of 24 people, 60,7%). Almost all patients are given a pharmacotherapy management and surgical therapy 54 people (91.5%) had no postoperative complications, encountered 14 people (23.7%) experienced recurrence and 58 patients go home with improvement (98.3%). The average nasal polyp patients treated for 5 days.
The conclusions of this study are patients more at risk of nasal polyps in men with adult age groups and have a history of sinusitis. The main complaint of patients is usually nasal congetion and mass found on physical examination in the nose. Treatment given by both pharmacotherapy and surgical. There were no postoperative complication in this study and recurrence is rare
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Polip hidung merupakan masalah kesehatan karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas harian (Dewi,
2012). Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan ( Nizar &
Mangunkusumo, 2001). Polip hidung umumnya berasal dari penonjolan keluar
dari mukosa yang menutup sinus maksilaris atau etmoidalis (Bluementhal, 1997).
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal, yaitu pseudostratified columnar epithelium dengan submukosa
yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan
makrofag. Mukosa mengandung sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan
tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah lama mengalami metaplasia
epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi (Nizar &
Mangunkusumo, 2001).
Prevalensi polip hidung pada seluruh populasi di dunia adalah sekitar 4%
biasanya dijumpai pada orang dewasa yang berumur diatas 20 tahun, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 1. Hampir 1/3 dari pasien polip hidung
memiliki riwayat asma. Hampir 50% penderita polip hidung memiliki riwayat
keluarga yang sama. Pada pasien polip hidung yang mengalami intoleransi dari
NSAIDs akan meningkatkan risiko polip sekitar 36-60 % (Newton & Sheh, 2008;
Patel & Rowe-Jones, 2007).
Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai
pada penderita dewasa muda berusia antara 30–60 tahun, sedangkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada
Di R.S. Haji Adam Malik Medan selama Januari 2003 sampai Desember
2003 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 32 orang terdiri dari 20 pria dan 12
wanita, selama Maret 2004 sampai Februari 2005 didapatkan kasus polip hidung
sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%), dan selama
September 2009 sampai Oktober 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak
21 orang terdiri dari 15 pria (71,4%) dan 6 wanita (28.6%) (Dewi, 2012).
Gejala klinis dari penderita polip hidung adalah penurunan indra
penciuman, hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, terkadang bisa terlihat
massa seperti anggur (Spafford, 2002).
Gejala yang timbul pada penderita polip hidung adalah hiposmia dan
postnasal drip. Gejala lainnya seperti demam yang persisten, bersin, dan
terkadang sakit kepala. Polip etmoidal terlihat pucat, dan terdapat massa yang
halus (Maqbool, 2001).
Perjalanan timbulnya gejala-gejala tersebut disebabkan patogenesis polip
hidung yaitu ditemukannya edema mukosa yang kebanyakan terjadi di daerah
meatus media. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Fenomena Bernoulli menyatakan
bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan
tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh
tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang
sempit di kompleks osteo meatal di meatus media. Walaupun demikian polip
dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan sering kali
bilateral atau multipel (Drake-Lee, 1997). Polipektomi merupakan pilihan utama
dari penanganan polip hidung. Setelah operasi pasien diberikan obat antihistamin
untuk mencegah terjadinya rekurensi (Maqbool, 2001).
Etiologi pasti dari polip hidung belum diketahui, tetapi ada tiga faktor
penting yaitu adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan
interstisial dan edema mukosa hidung. Polip hidung bukan merupakan penyakit
tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering
dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rhinitis alerg (Nizar & Mangunkusumo,
2001).
Salah satu etiologi dari polip hidung yaitu alergi. Rhinitis alergi mengenai
kira-kira 10-25% penduduk dunia. Rhinitis alergi dapat mengenai laki-laki
maupun perempuan dari semua golongan umur, tetapi biasanya mulai timbul
pada anak dan dewasa muda. Kekambuhan dan berat ringannya rhinitis alergi
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu genetik dan sistem imun tubuh (Pratiwi,
2008).
Walaupun rhinitis alergi tidak membahayakan jiwa tetapi gejala-gejala
yang ditimbulkannya sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup.
Komplikasi tersering dari rhinitis alergi yaitu polip hidung (Irawati, 2006).
Dalam kasus polip hidung yang menjalani polipektomi 66% mengalami positif
allergi setelah melakukan skin test (Keith & Dolovic, 1997).
Kemungkinan dari keterkaitan polip hidung dan rhinitis alergi dalah
reaksi alergi di mukosa hidung mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan berpindah
keluar dari intravaskular dan menyebabkan cairan masuk kedalam jaringan.
Menyebabkan edema dan menimbulkan massa polipoid (Maqbool, 2001).
Polip hidung sering terjadi pada penderita asma karena seringnya terpapar
reaksi inflamasi (Muchid, 2007). Antara 21% hingga 34% dari polip hidung
dihubungkan dengan riwayat asma. Hubungan polip hidung dan asma juga
bergantung pada umur, dari penelitian Settipane antara rentang umur 10-50 tahun
terdapat 3,1% pasien asma dengan umur dibawah 40 tahun mengalami polip
hidung, 12,4% memiliki polip dengan umur diatas 40 tahun (Jankowski, 1997).
Hal lain yang berhubungan dengan asma yang bisa mengakibatkan polip hidung
adalah masalah pengobatannya yaitu NSAIDs yang mengalami intoleransi. F.
Widals pada tahun 1992 menyatakan bahwa didapatkan hubungan antara aspirin,
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Pada sinusitis kronis
telah terjadi kerusakan silia, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung.
Hubungan polip hidung dengan sinusitis adalah akibat terjadinya perubahan
jaringan menjadi hipertropi sehingga membentuk polip (Maqbool, 2001;
Mangunkusumo & Rizki, 2001).
Dikarenakan hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya polip hidung masih
belum jelas dan seringnya terjadi rekurensi, karena itu penulis mencoba meneliti
kejadian gambaran klinis dan penanganan pada penderita polip hidung yang
terjadi di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah pada penelitian ini adalah bagaimana karakteristik dan
penatalaksanaan penyakit polip hidung di bagian THT-KL Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pada penderita polip
hidung di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan ditahun 2009-2011
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan
sosiodemografi
b. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan stadium
polip.
c. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keluhan
utama.
d. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keluhan
tambahan.
e. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan
f. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan faktor
resiko.
g. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan
penanganan yang dilakukan.
h. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan
komplikasi setelah dilakukan penanganan.
i. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan terjadinya
rekurensi
j. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan lama
rawatan.
k. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keadaaan
pasien saat pulang
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi mahasiswa untuk
melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis.
2. Bagi RSUP H. Adam Malik Medan, hasil penelitian dapat dijadikan
sumber informasi di bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan
Tenggorokan.
3. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung
Secara anatomi, hidung terbagi dua, external nose (hidung luar) dan
internal nose (hidung dalam). Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara
pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian ,
yang paling atas disebut kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan. Dibawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah
adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah yaitu aperture
piriformis hanya kerangka tulang saja, memisahkan hidung luar dan hidung
dalam. Pada bagian superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus
maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh
prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian perpendikularis tulang
etmoidalis. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis
tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis.
Lobulus hidung dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior.
Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela.
Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan
bersin. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di sebelah
inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum
nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral
(Higler, 1997; Ballenger, 2003).
Hidung dalam struktur ini membentang dari os. internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah secara anatomi
Dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yang tidak
teratur diantaranya meatus superior, media dan inferior. Duktus nasolakrimalis
bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus
media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris
(Pasha & Marks, 2008).
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial
dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga ke kubah hidung. Deformitas
struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah
aliran udara masuk dan mencapai daerah olfaktorius, dan dengan demikian dapat
sangat mengganggu indra penciuman (Higler, 1997)
Gambar 2.2. Anatomi Hidung Dalam
Suplai darah ke hidung bagian dalam berasal dari cabang anterior dan
posterior etmoid (menyilang etmoid plate) dari arteri ophtalmica dan arteri
sphenopalatina, kemudian berakhir di ujung terminal dari arteri maksilaris
interna. Bagian septum anterior dan superior serta dinding lateral hidung
mendapat darah dari arteri etmodalis anterior. Cabang terkecil arteri posterior
memperdarahi hanya sebagian kecil daerah posterior, termasuk olfactory area
(area penciuman). Arteri maksilaris internal, cabang lain dari arteri karotid
eksternal, melewati bagian lateral pterygoideus plate kemudian masuk ke
pterygoideus fossa dan berlanjut menjadi arteri sphenopalatina ke dalam rongga
hidung, berjalan melalui foramen sphenopalatina pada akhir posterior tengah
turbinate.Di dalam hidung, arteri terbagi menjadi cabang posterior lateral hidung
dan posterior septal hidung yang beriringan dengan divisi kedua dan ketiga dari
saraf trigeminus. Terdapat anastomosis antara arteri nasalis lateral dan arteri
ethmoidalis, dengan demikian, perdarahan bisa timbul dari keduanya. Cabang
lain dari arteri sphenopalatina turun ke kanal palatina mayor, memasuki rongga
mulut dan menyebar di bawah permukaan palatum. Vena berjalan melalui jalur
dan sinus kavernosa. Sistem vena pada hidung tidak mempunyai katup, sehingga
infeksi mudah menyebar ke sinus kavernosa (Ballenger, 2003).
Menurut Hollinshead (1966) dalam Dewi (2012) bagian antero-superior
septum nasi memiliki persarafan sensori dari nervus ethmoidalis anterior yang
merupakan percabangan dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus
oftalmikus. Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan
persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar
septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris
nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian
tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke
septum bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai
palatum durum melalui kanalis insisivus.
2.2. Fisiologi Hidung
Fungsi hidung ialah untuk jalan nafas, alat pengukur kondisi udara,
penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, membantu
proses bicara dan refleks nasal.
1. Sebagai jalan nafas pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu
naik
ke atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan
melalui nares anterior dan sebagian lain akan kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran udara.
2. Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembapan udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Mengatur
suhu fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
berlangsung secara optimal. Dengan demikian, suhu udara kurang lebih 37
derajat celcius.
3. Sebagai penyaring dan pelindung berguna untuk membersihkan udara inspirasi
dari debu dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu
dan silia akan lengket pada palut lendir dan partikel besar dikeluarkan melalui
refleks bersin.
4. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau bisa mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara.
Sumbatan di hidung menyebabkan resonansi suara berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau. Hidung membantu proses pembentukan kata-
kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Mukosa hidung
merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan ( Grevers, 2006).
2.3. Polip Hidung
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan (Patel &
Rowe-Jones, 2007). Prevalensi polip hidung yaitu sekitar 4 % pada di seluruh
dunia. Biasanya terjadi pada umur di atas 20 tahun, jika terjadi pada umur
dibawah 10 tahun dinamakan cystic fibrosis. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan yaitu 2:1. Sampai sepertiga pasien polip hidung memiliki riwayat
asma (Newton & Ah-See, 2008).
2.3.1. Etiologi Polip Hidung
Terdapat beberapa teori yang berbeda dalam patogenesis dari polip
hidung. Ada beberapa teori yang diduga patogenesis polip hidung: fenomena
dengan terjadinya polip hidung, tetapi tidak ada satupun etiologi yang jelas
(Drake-Lee, 1997).
1. Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat
yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan membentuk polip.
2. Tidak seimbangnya vasomotor dilibatkan karena sebagian besar kasus tidak
atopik dan tidak ada alergi yang jelas yang bisa ditemukan. Pasien ini terkadang
memiliki masa prodromal dari rhinitis yang lama kelamaan bisa menjadi polip.
Polip memiliki serabut-serabut saraf yang sangat sedikit, sehingga saat dilakukan
palpasi tidak akan terasa sakit. Masalah vasomotor ini mungkin menyebabkan
polip.
3. Infeksi yang biasanya beresiko menjadi polip hidung ada dua tipe dari sinusitis
maxillar yaitu purulen dan hiperplastik. Sinusitis purulen terjadi karena infeksi
biasanya disebabkan bakteri atau infeksi virus dari saluran pernafasan atas.
Hiperplastik sinusitis biasanya dikaitkan dengan hipersekresi mukus sehingga
mengakibatkan tumbuhnya organisme. Operasi yang tidak tuntas di sinus
maxillar meninggalkan sisa mukosa yang mengalami perubahan dan
lama-kelamaan akan terjadi prolaps pada ostium. Polip bisa muncul dari meatus media
dan meatus inferior.
4. Reaksi inflamasi sendiri tidak jelas mekanismenya bisa mengakibatkan polip.
Kemungkinan karena perubahan mukosa sinus maxilla yang dikarenakan
sinusitis. Organisme yang sering tumbuh biasanya adalah Haemophilus influenza.
Haemophilus influenza adalah organisme yang biasa di hidung dan orofaring.
5. Allergi dihubungkan dengan polip hidung dikarenakan tiga faktor: gambaran
histologi dari polip hidung 90% pasien polip hidung ditemukaan eosinofilia, yang
dikaitkan dengan asma dan ternyata polip hidung memiliki gejala mirip seperti
alergi. Degranulasi dari mediator inflamasi yang cepat dalam waktu 30 menit.
Asam arakidonat dari permukaan sel membran dimetabolisme dalam dua jalur
limfosit dan eosinofil untuk lengket ke sel dan mengeluarkan mediator inflamasi.
Pada fase ini mengakibatkan obstruksi hidung dan hipersekresi mukus. Mast sel
juga berperan dalam proses ini. Sekarang jelas bahwa mast sel akan dirangsang
oleh reaksi-reaksi lain seperti IgG, aktivasi komplemen, beberapa obat, kimia,
dan faktor non spesifik. Akibatnya degranulasi dan menghasilkan histamin,
heparin dan vasoaktif lainnya kemudian faktor kemotaktik, metabolit dari asam
arakidonat, prostaglandin dan leukotrin, sehingga gejala yang ditimbulkan adalah
rinore, bersin, hidung tersumbat seperti alergi (Drake-Lee, 1997; Nizar &
Mangunkusumo, 2001).
2.3.2. Gambaran Polip
Secara makroskopis polip terlihat pucat, massa yang halus dan lunak.
Secara histologi jaringan polip terlihat fibrillar stroma dengan isi cairan
interseluler di submukosa. Dapat terlihat eosinofil di sekitar jaringan tersebut
(Maqbool, 2001). Polip terkadang berwarna merah jika terkena trauma dan bila
terkena infeksi. Biasanya polip hidung memiliki epitel ciliated columnar dan
goblet sel. Jika ada trauma menjadi squamous metaplasia. Jaringan submukosa
biasanya kemerahan dan terdiri dari pembuluh darah, kapiler dan serabut saraf, di
jaringan tersebut terdapat plasma sel, limfosit, makrofag dan yang paling banyak
adalah eosinofil, terkadang juga terdapat netrofil (Lane & kennedy, 2003).
2.3.3. Patogenesis Polip
Patogenesis polip yaitu pada awalnya di temukan edema mukosa yang
kebanyakan terjadi di meatus media. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi massa polipoid. Bila proses
ini berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar daan kemudian akan turun
ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadilah polip.
Polip dapat timbul di hidung yang tidak terinfeksi kemudian bisa menyebabkan
sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip juga dapat timbul akibat
iritasi kronis yang disebabkan infeksi hidung dan sinusitis (Nizar &
Gambar 2.3. Hasil pembedahan polip hidung
2.3.4. Tanda dan Gejala Klinis Polip
Gejala utama polip hidung adalah obstruksi hidung, peenurunan fungsi
indra penciuman dan fungsi pengecapan, rinore (Spafford, 2002). Nyeri di
kening, pipi dan di hidung juga terkadang dijumpai pada pasien polip hidung,
pasien juga sering mengeluhkan postnasal drip yang dijumpai pada pasien ini
bisa berwarna putih atau terkadang hijau disebabkan karena polip hidung
merupakan inflamasi yang menyebabkan hipersekresi mukus. (Patel &
Rowe-Jones, 2007).
Tanda dari penyakit polip yaitu biasanya memiliki suara yang bindeng
dan apabila sumbatan polip sudah berat pada pasien bisa terlihat bernapas dengan
menggunakan mulut. Polip bisa terlihat dari luar tanpa menggunakan alat
(Drake-Lee, 1997).
2.3.5. Diagnosis
Diagnosis dari polip hidung yaitu dengan anamnesis, kasus polip biasanya
memiliki keluhan utama hidung tersumbat. Sumbatan menetap, tidak hilang
timbul, dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada
massa dalam hidung dan sukar membuang ingus. Terkadang juga sering
mengalami gangguan penciuman. Gejala lainnya seperti postnasal drip, sakit
2.3.6. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior polip sudah dapat dilihat. Polip
yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau ada fasilitas
endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih sangat kecil dan belum
keluar dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen polos atau CT-
scan dibuat untuk mendeteksi adanya sinusitis. Pemeriksaan biopsi dapat
diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia lanjut, jika penampakan
makroskopis menyerupai keganasan atau pada foto terdapat gambaran erosi
tulang (Lane & Kennedy, 2003).
Bagian stadium pada polip menurut Mackay dan Lund 1997 stadium I
yaitu polip masih terbatas di meatus medius. Stadium II yaitu polip sudah keluar
dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga
hidung. Stadium III yaitu polip yang massif (Mangunkusumo dan Wardani, 2007)
Gambar 2.4. Pemeriksan Fisik Polip Hidung
2.3.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari polip hidung yaitu polipektomi ataupun terapi
medikamentosa atau bisa kombinasi dari keduanya. Hal yang penting dalam
pengobatan ini adalah terapi medikamentosa dengan menggunakan kortikosteroid
Polipektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan dilakukan dengan
menggunakan senar polip untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga
hidung (Maqbool, 2001). Preoperatif terapi diberikan intranasal kortikosteroid
digunakan dua kali sehari digunakan selama satu bulan. Jika polip tidak memiliki
perbaikan dalam sebulan maka dilakukan operasi. Polipektomi sederhana
dilakukan pada pasien polip hidung yang cenderung mengalami rekurensi,
dilakukan dengan menggunakan forsep. Tehnik modern dengan menggunakan
endoskopi dalam pemeriksaan hidung dan dievaluasi dengan monitor kemudian
dapat terlihat bagian yang mengalami pembengkakan. Endoskop bisa digunakan
untuk etmoidektomi, ataupun bisa digunakan sebagai monitor setelah operasi.
Setelah operasi terkadang sering akan timbul rekurensi (Drake-Lee, 1997).
2.3.8. Komplikasi
Komplikasi setelah operasi yang biasa terjadi yaitu pendarahan.
Perdarahan dan mukus mungkin akan kering dalam dua minggu setelah operasi
dalam proses penyembuhan luka (Drake-Lee, 1997).
2.4. Alergi dan Polip Hidung 2.4.1. Alergi
Alergi merupakan manifestasi klinis dari kesalahan respon imun setelah
mendapat kontak dari allergen seperti debu, bulu binatang, gigitan serangga.
Rhinitis alergi merupakan inflamasi di mukosa hidung yang diperantarai IgE
(Shah dan Emanuel, 2005). Definisi rhinitis menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar allergen yang diperantarai IgE (Irawati, 2001).
2.4.2. Patogenesis
Respon alergi terutama diperantarai dengan reaksi hipersensitivitas tipe I.
sel-B dan plasma sel. Saat terjadi paparan allergen lagi maka antigen akan
berikatan langsung dengan antibodi IgE dan permukaan mast sel, reaksi ini bisa
di saluran pernapasan, sistem pencernaan, subkonjungtiva pada mata dan pada
kulit. Setelah reaksi tersebut maka terjadilah degranulasi dari sel mast kemudian
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, leukotrin, sitokin
dan prostaglandin. Hal ini mengakibatkan reaksi yang cepat dalam 10 sampai 15
menit setelah pajanan allergen. Pelepasan dari histamin mengakibatkan efek
pada hidung yaitu bersin, gatal, rinore, vasodilatasi dan sekresi mukus. Pelepasan
sitokin dan leukotrin disebut fase lambat karena mulai pada 4 sampai 6 jam
setelah fase sensitisasi atau mungkin lebih lama. Proses ini bisa berlangsung
dalam 48 jam. Hal ini dapat mengakibatkan gejala hidung tersumbat, postnasal
drip (Shah & Emanuel, 2005).
Gambar 2.5. Reaksi Alergi
2.4.3. Hubungaan Polip hidung dan Alergi
Polip hidung sering dihubungkan dengan kondisi alergi pada pernapasan.
Namun, untuk menjadi polip hidung pada riwayat alergi dipastikan dalam waktu
yang lama mungkin beberapa tahun. Polip yang disebabkan oleh alergi biasanya
cenderung untuk terjadi rekurensi pada pasien. Alergi merupakan faktor
alergi, terutama alergi lokal di hidung. Karakteristik dari polip hidung biasanya
adalah sumbatan pada hidung, anosmia, bersin, dan rinore (Keith & Dolovic,
1997).
Kemungkinan dari keterkaitan polip hidung dan rhinitis alergi dalah
reaksi alergi di mukosa hidung mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan berpindah
keluar dari intravaskular dan menyebabkan cairan masuk kedalam jaringan.
Menyebabkan edema dan menimbulkan massa polipoid (Maqbool, 2001).
2.5. Polip Hidung dan Sinusitis 2.5.1. Sinusitis
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai ssemua sinus paranasal disebut
pansinusitis (Mangunkusumo & Rifki, 2001).
Hal yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid. Sinusitis maksila merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena
merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.
Selain itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga memudahkan
terjadinya infeksi dari gigi, ostium dari sinus maksila terletak di meatus medius,
di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo & Rifki, 2001).
2.5.2. Patofisiologi
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertropi polipoid atau pembentukan polip dan kista
(Mangunkusumo & Rifki, 2001).
2.5.3. Hubungan Polip Hidung dan Sinusitis
Reaksi inflamasi disini mekanismenya belum jelas. Kemungkinan karena
perubahan mukosa di sebagian besar sinus maksila yang disebabkan sinusitis.
Bakteri yang sering mengakibatkan sinusitis adalah Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumonia, Staphylococus aureus (Drake-Lee, 1997).
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan oleh karena itu menciptakan
faktor predisposisi infeksi. Perubahan epitel pada sinus juga bisa mengakibatkan
terjadinya polip hidung (Higler, 1997).
2.6. Asma Bronkiale dan Polip Hidung 2.6.1. Asma Bronkiale
Asma bronkiale adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik
obstruksi saluran napas yang reversible, inflamasi saluran pernapasan,
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangasangan (hiperaktivitas)
(Sundaru & Sukamto, 2009).
2.6.2. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan
pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma
adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan. Terdapat dua jalur
untuk mendapat keadaan tersebut. Jalur immunologis yang diperantarai oleh IgE
dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya allergen ke dalam tubuh akan
sitokin agar sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain untuk
mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, leukotrin dan lain-lain akan memperngaruhi organ sasaran
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sehingga
mengakibatkan hiperaktivitas saluran napas. Saat terjadi inflamasi saluran napas
bias mengakibatkan kerusakan epitel sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi
(Sundaru & Sukamto, 2009).
2.6.3. Polip Hidung dan Asma
Polip hidung dan asma bronkiale merupakan inflamasi kronis yang
hampir sama bedanya pada polip hidung merupakan saluran pernapasan atas,
sedangkan pada asma bronkiale merupakan saluran pernapasan bawah.
Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rhinitis, sinusitis, dan polip
hidung karena memiliki hubungan yang erat. Sekitar 70-80% pasien asma
memiliki gejala rhinitis, sebaliknya sekitar 30% pasien rhinitis mempunyai asma
(Onerci, 2009).
Menurut Gottlieb hubungan asma dengan polip hidung adalah
1. Sekret yang ada pada hidung mungkin tertelan dan masuk ke faring
melalui sinus.
2. Sekret di sinus dan produksi racun yang dihasilkan bakteri mungkin
diabsorbsi melalui pembuluh darah dan system limfatik.
3. Obstruksi dari hidung contohnya ada polip hidung mengakibatkan
pasien bernapas dari mulut
4. Spasme otot pernapasan mengakibatkan refleks pada saraf dan iritasi di
ganglion nasal.
Polip hidung dihubungkan dengan asma bronkiale dikarenakan
biasanya pasien polip hidung memiliki riwayat asma bronkiale dalam
2.7. Intoleransi Aspirin dan NSAID dengan Polip Hidung
Aspirin (acetylsalicylic acid) dan non-steroidal antiinflamatory drugs
(NSAIDs) memiliki pebedaan patogenesis dalam mengakibatkan polip hidung.
Gejala dari toleransi NSAIDs dan AIA (aspirin-induced asthma) yang paling
sulit untuk diobati, dan memiliki resiko untuk terjadinya polip hidung.
Beberapa konsep telah dijelaskan dalam patogenesis dari AIA yaitu
mengenai inhibisi enzim siklooksigenase, di saluran pernapasan mengakibatkan
bronkokonstriksi. Inhibisi dari COX merangsang reaksi biokimia spesifik yang
bisa menyebabkan asma. Beberapa teori mengenai COX yaitu:
1. NSAIDs dengan aktivitas anti siklooksigenase mengakibatkan
bronkokonstriksi pada pasien yang sensitif terhadap aspirin
2. NSAIDs yang tidak memiliki aktivitas tidak mengganggu COX tidak
mengakibatkan bronkospasme
3. Ada hubungan positif antara NSAIDs yang memiliki potensi
menghambat COX dalam menginduksi asma pada pasien yang sensitif.
Biasanya kebanyakan pasien mengalami keluhan pada umur 30-40 tahun.
Biasanya keluhan utama dimulai dengan gejala rhinitis vasomotor yang terjadi
intermittent dengan rinore. Setelah beberapa bulan atau tahun, akan terjadi
sumbatan di hidung, dan lama kelamaan akan muncul polip hidung pada
pemeriksaan fisik. Polip hidung banyak ditemukan pada pasien AIA. Sebanyak
47 pasien dari 80 pasien asma yang mengalami intoleransi aspirin didiagnosis
polip hidung (Szczeklik, 1997).
Adanya suatu triad berupa kepekaan terhadap aspirin, polip hidung, dan
asma telah didokumentasikan. Salah satu manifestasi dari gangguan ini yaitu
rhinitis alergi kronik. Pada pasien dapat timbul polip dimana pengangkatan polip
dapat mencetuskan gejala asma atau memperburuk rhinitis. Mekanismenya
Tabel 2.1. Hubungan antara polip nasal, asma, dan intoleransi aspirin.
Onset asma Diagnosa polip
Hubungan antara polip hidung dan asma bergantung dari umur,
yaitu peningkatan umur (rentang umur: 10-50 tahun) menurut Settipane,
hanya 3,1% dari pasien asma dibawah umur 40 tahun mengalami polip
hidung, 12,4% pasien dengan umur diatas 40 tahun. Polip hidung
biasanya didiagnosis setelah terjadinya asma. Kesimpulannya polip
hidung yang memiliki riwayat asma bronkiale adalah 1/3 kasus,.
Diagnosis polip hidung biasanya dalam kurun waktu beberapa tahun
setelah asma. Sekitar 2/3 pasien polip hidung tidak ada keluhan mengenai
gejala asma, dan rhinitis terjadi lebih banyak dibanding asma pada seluruh
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah :
Variabel yang diamati
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Umur
Jenis kelamin Faktor risiko Keluhan utama Keluhan tambahan Stadium
Polip Hidung
Lama perawatan Keadaan saat pulang Rekurensi
Komplikasi pasca operasi
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
tambahan dirasakan pasien
8. Penanganan Pengobatan atau
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif .
4.2. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai September 2012. Lokasi
penelitian ini adalah di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan. mengingat bahwa RSUP H.
Adam Malik merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Sumatera Utara.
4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua pasien rawat inap yang berobat ke
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok, Bedah Kepala Leher
RSUP H. Adam Malik yang didiagnosis dengan polip hidung pada tahun
2009-2011.
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah total sampling yang
terdiagnosa polip hidung di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dari catatan rekam medis pasien polip hidung di
Rumah Sakit Umum Pendidikan Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2011.
Data didapat dari Instalansi Rekam Medik.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Statistic Product for
Social Science . Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di ruangan rekam medis RSUP H. Adam Malik,
Medan. Data diambil dari ruangan rekam medis, yang terletak di lantai bawah
rumah sakit, setelah mendapatkan izin dari Bagian Litbang. RSUP H. Adam
Malik merupakan sebuah Rumah Sakit Kelas A sesuai SK Menkes No.
335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK
Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan
pelayanan kesehatan dan pendidikan, juga merupakan pusat rujukan kesehatan
untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I Aceh,
Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ± 10Ha dan
terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km 12, Kecamatan Medan Tuntungan,
Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.
RSUP H. Adam Malik, Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari
pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat
darurat, bedah pusat, hemodialisis), pelayanan penunjang medis (instalasi
diagnostik terpadu, mikrobiologi, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi,
rehabilitasi medis, kardiovaskular, nefrologi, endokrinologi), pelayanan
penunjang penunjang non medis(instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization
Supply Depart(CSSD), bioelektromedik, Penyuluh Kesehatan Masyarakat Rumah
Tabel 5.1 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Jenis kelamin Frekuensi Persen (%)
Pria 36 61
Wanita 23 39
Total 59 100.
Pada tabel 5.1 terlihat bahwa dari 59 pasien rawat inap penderita polip
hidung sebagian besar terdapat pada jenis kelamin pria yaitu sebanyak 36 orang
(61%) dan pada jenis kelamin wanita sebanyak 23 orang (39%)
Tabel 5.2 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan umur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Umur (Tahun) Frekuensi Persen (%)
5 - 14 4 6.8
15 - 24 14 23.7
25 - 34 5 8.5
35 - 44 6 10.2
45 - 54 16 27.1
>55 14 23.7
Total 59 100
Dari tabel 5.2 diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap pasien polip
hidung terbanyak berada pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebanyak 16
orang (27.1%) sebagian lainnya terdapat pada umur diatas 55 tahun yaitu
sebanyak 14 orang (23.7%) dan pada kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak
14 orang (23.7%), dan yang terendah terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun
Tabel 5.3 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan faktor risiko di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 47)
Faktor Risiko Frekuensi Persen (%)
Rhinitis Allergi 8 17
Sinusitis 33 70.2
Rhinitis dan Sinusitis 6 12.7
Total 47 100
Dari seluruh subjek yang diteliti, sebanyak 47 pasien polip hidung yang
dirawat inap memiliki faktor risiko. Faktor risiko sinusitis dijumpai yang
terbanyak yaitu 33 orang (70.2%) .
Tabel 5.4 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan utama di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Keluhan Utama Frekuensi Persen (%)
Hidung Tersumbat 58 98.3
Hidung tersumbat dan gangguan penciuman 1 1.7
Total 59 100
Dari table 5.4 diketahui bahwa 59 pasien yang dirawat inap menderita
polip hidung semua mengalami keluhan hidung tersumbat yaitu sebanyak 58
orang ( 98.3%) dan hanya 1 orang (1.7%) yang mengalami hidung tersumbat dan
gangguan penciuman.
Tabel 5.5 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan tambahan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Nyeri Kepala 25 42.4
Suara Bindeng 2 3.4
PND 2 3.4
Bersin 21 35.6
Nyeri kepala dan pnd 6 10.2
Nyeri kepala dan suara bindeng 1 1.7
Sekret dari hidung 2 3.4
Total 59 100
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap polip hidung
sebagian besar mengalami keluhan nyeri kepala yaitiu sebanyak 25 orang
(42.4%) sebagian besar lainnya mengalami keluhan tambahan yang berbeda yaitu
bersin-bersin sebanyak 21 orang (35.6%) , sedangkan yang memiliki keluhan
terendah yaitu keluhan nyeri kepala dan suara bindeng yaitu sebanyak 1 orang
(1.7%).
Tabel 5.6 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan pemeriksaan fisik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n= 59)
Pemeriksaan fisik Frekuensi Persen(%)
Massa 59 100
Tidak ada massa 0 0
Total 59 100
Dari tabel 5.6 diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan fisik semua pasien
rawat inap polip hidung ditemukan massa di cavum nasi yaitu sebanyak 59 orang
(100%)
Tabel 5.7 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan stadium penyakit di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 24)
Stadium Frekuensi Persen(%)
Stadium I 3 12.5
Stadium II 5 20.8
Stadium III 16 66.7
Total 24 100
Data stadium polip tertera hanya pada 24 rekam medik dan ternyata dari
24 pasien polip hidung yang di rawat inap didapatkan yang mengalami polip
stadium III adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 16 orang (66.7%), sedangkan
yang lainnya stadium I dan II.(tabel 5.7)
Tabel 5.8 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Penatalaksanaan Frekuensi Persen(%)
Medikamentosa 5 8.5
Medikamentosa dan bedah 54 91.5
Total 59 100
Dari tabel 5.8 diketahui bahwa sebagian besar pasien rawat inap polip
hidung diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah yaitu
sebanyak 54 orang ( 91.5%) sedangkan sisanya hanya diberikan pengobatan
secara medikamentosa yaitu sebanyak 5 orang (8.5%).
Tabel 5.9 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 ( n= 59)
Komplikasi Frekuensi Persen (%)
Komplikasi Frekuensi Persen (%)
Epistaksis 0 0
Total 59 100
Dari tabel 5.9 diketahui bahwa semua paien polip hidung yang telah
diberikan pengobatan tidak mengalami komplikasi epistaksis yaitu sebanyak 59
orang (100%)
Tabel 5.10 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keadaan saat pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n= 59)
Keadaan Saat Pulang Frekuensi Persen(%)
Baik (pbj) 58 98.3
PAPS 1 1.7
Total 59 100
Dari tabel 5.10 diketahui bahwa keadaan saat pulang sebagian besar
pasien rawat inap polip hidung membaik (pbj: pasien berobat jalan) yaitu
sebanyak 58 orang (98.3%) dan sisanya 1 orang PAPS (Pulang Atas Permintaan
Sendiri) sebanyak (1.7%).
Tabel 5.11 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan rekurensi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)
Rekurensi Frekuensi Persen(%)
Rekuren 14 23.7
Tidak Rekuren 45 76.3
Total 59 100
Dari tabel 5.11 di atas diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap polip
hidung mengalami rekurensi yaitu sebanyak 14 orang (23.7%), sedangkan yang
Pasien rawat inap polip hidung biasanya dirawat di rumah sakit selama 5 hari
tetapi ada lama rawatan paling cepat yaitu 1 hari dan lama rawatan paling lama
yaitu 12 hari sebanyak 1 orang.
5.2 Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 59 orang penderita polip
hidung yang terdiri dari laki-laki 36 orang (61%), perempuan 23 orang (39%)
dengan perbandingan 1.6 : 1. Castillo et all (2009) pada penelitiannya juga
mendapatkan penderita polip paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak
121 orang (63.7%) dan perempuan sebanyak 69 orang (36.3%). Munir (2006)
pada penelitiannya mendapatkan perbandingan 1.8 : 1. Mangunkusumo (2007)
mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 1. Adanya perbedaan
perbandingan mungkin karena perbedaan pengambilan sampel dan jumlah
sampelnya.
Kelompok umur paling banyak terdapat pada golongan umur 45- 54 tahun
(27.1%) dengan umur termuda yaitu 9 tahun dan yang tertua adalah umur 83
tahun. Sedangkan menurut penelitian Munir (2006) kelompok umur teringgi
pasien polip hidung adalah pada umur 35 – 44 (30%) dengan umur termuda yaitu
10 tahun dan yang tertua yaitu 54 tahun. Menurut penelitian Castillo et all (2009)
kelompok umur yang menderita polip hidung di rentang 19 – 88 tahun dengan
standar deviasi laki-laki berkisar umur 49.8 tahun dan perempuan berkisar umur
45.5 tahun. Penelitian ini ternyata mendukung penelitian saya dan beberapa
perbedaan tersebut mungkin karena adanya perbedaan waktu pada pengambilan
sampel, dan banyaknya sampel yang di ambil.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa risiko polip hidung tertinggi yaitu
sinusitis sebanyak 33 orang dari 47 sampel (70.2%). Penelitian ini sejalan dengan
yang diungkapkan Yaman et all (2010) bahwa 65 % pasien polip memiliki
riwayat penyakit sinusitis kronis. Kim & Hanley (2002) juga mengatakan bahwa
polip hidung paling sering terjadi diakbatkan sinusitis kronis yaitu sebanya 40
Keluhan utama yang terjadi pada penderita polip hidung adalah hidung
tersumbat sebanyak 58 orang (98.3%) dengan 1 orang (1.7%) lagi mengalami
keluhan yang sama yaitu hidung tersumbat ditambah lagi gangguan penciuman.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Munir (2006) yang mendapatkan
keluhan utama terbanyak yaitu hidung tersumbat (54%). Gevaert (2005) juga
megatakan bahwa keluhan yang sering dilaporkan yaitu hidung tersumbat.
Penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Spfford (2002) bahwa gejala
utama yang paling sering yaitu hidung tersumbat.
Keluhan tambahan yang tesering dijumpai pada penelitian ini yaitu nyeri
kepala yaitu sebanyak 25 orang (42.4%) sedangkan 6 orang (10.2%) memiliki
keluhan tambahan yang sama yaitu nyeri kepala ditambah lagi dengan post nasal
drip. Keluhan lain yang sering terjadi yaitu bersin-bersin sebanyak 21 orang
(35.6%). Stjarne (2007) mengungkapkan bahwa keluhan tambahan yang sering
dijumpai pada pasien polip hidung yaitu nyeri kepala dan post nasal drip.
Menurut Castillo et all (2009) keluhan tambahan yang sering dijumpai yaitu
bersin-bersin (61%) sedangkan sakit kepala (51.6%). Sedikit perbedaan ini
dijumpai mungkin karena banyaknya keluahan yang dialami pasien dan
perbedaan reaksi yang dialami setiap orang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien polip hidung
semuanya ditemukan massa di hidung (100%). Penelitian ini didukung oleh teori
yang diungkapkan Lane & Kennedy (2003) bahwa pada pemeriksaan fisik dapat
terlihat massa di kavum nasi dengan menggunakan rinoskopi anterior.
Pada pemeriksaan fisik pasien polip hidung stadium yang paling banyak
adalah stadium III 16 orang dari 24 orang (66.7%). Hal ini membuktikan bahwa
pasien rawat inap polip hidung yang sebagian besar dilakukan terapi bedah
datang dengan stadium III. Pada penelitian ini juga didapatkan hampir semua
pasien polip hidung yang menjalani terapi medikamentosa dan terapi bedah yaitu
54 orang (94.1%) dan 5 orang lainnya hanya diberikan penatalaksanaan
medikamentosa ( 8.5%). Penelitian ini ternyata sejalan dengan prinsip
pengobatan polip hidung menurut Assanassen & Naclerio (2008) yaitu pemberian
melakukan operasi setelah itu pemberian kortikosteroid lagi untuk mencegah
rekurensi.
Pada penelitian ini tidak ditemukan komplikasi pasca operasi. Rekurensi
terjadi pada 14 orang (23.7%) dan 45 orang tidak mengalami rekurensi (76.3%)
Yaman et all (2010) mengungkapkan bahwa penanganan melalui FESS
meminimalisasi terjadinya rekurensi dan komplikasi. Cook et all dalam Yaman
et all (2010) menyatakan bahwa dari 33 pasien polip hidung yang menjalankan
FESS tidak terdapat pasien yang mengalami rekurensi. Hong et all dalam Yaman
et all (2010) mengatakan bahwa FESS direkomendasikan untuk melakukan
pengangkatan polip, 94.6 % pasien polip hidung tidak mengalami komplikasi
ataupun rekurensi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien polip hidung yang dirawat
inap 58 orang (98.3%) keadannya membaik dan melanjutkan pengobatan
dirumah dan 1 orang (1.7%) PAPS (Pulang Atas Permintaan Sendiri). Pasien
rawat inap polip hidung biasanya dirawat di rumah sakit selama 5 hari dengan
lama rawatan paling cepat yaitu 1 hari dan lama rawatan paling lama yaitu 12
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dijumpai kasus polip hidung di RSUP H. Adam Malik Medan dari
tahun 2009-2011 sebanyak 59 kasus, dengan banyak laki-laki 36
orang (61%) dan perempuan 23 orang (39%).
2. Didapatkan kelompok umur yang paling sering yaitu 45-54 tahun
(27.1 %).
3. Faktor risiko yang sering dijumpai pada pasien polip hidung adalah
sinusitis yaitu sebanyak 33 orang (70.2 %) dengan keluhan utama
yang paling banyak adalah hidung tersumbat (98.1%) dan keluhan
tambahan yang serring menyertai yaitu nyeri kepala sebanyak 25
orang (42.4%).
4. Semua pasien polip hidung dijumpai massa pada kavum nasi dengan
stadium yang paling sering dijumpai yaitu stadium III sebanyak 16
orang dari 24 orang (66.7%).
5. Hampir semua pasien polip hidung menjalankan terapi
medikamentosa terlebih dahulu kemudian menjalankan tindakan
operasi (91.5%).
6. Tidak ditemukan pasien polip hidung yang mengalami komplikasi
pasca operasi dan terjadinya rekurensi pada pasien polip hidung yaitu
sebanyak 14 orang (23.7%). Dari 59 pasien polip hidung hampir
semua pasien polip hidung pulang dalam keadaan yang membaik dan
menjalani pengobatan lanjutan setelah pulang.
7. Lama rawatan yang biasanya dijalani oleh pasien polip hidung