• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

SORAYA MOURINA HTS

090100164

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT

POLIP HIDUNG DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN

2009-2011

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

SORAYA MOURINA HTS.

090100164

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011

Nama : Soraya Mourina Hts NIM : 090100164

Pembimbing Penguji

(dr. Yahwardiah, Siregar Ph.D) (dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes ) NIP: 19550807 198503 2001 NIP: 19690609 199903 2001

(dr. Putri Chairani Eyanoer, MS, Epi, Ph.D) NIP: 19720901 199903 2001

Medan, 15 Januari 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan KTI

(Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul “Karakteristik Dan Penatalaksanaan Penderita Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011”. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoteran Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp. PD-KGEH selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Dosen - dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu

Kedokteran Komunitas (IKM / IKK ) Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

3. Dr. Yahwardiah Siregar, Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk,

saran dan bimbingan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat

diselesaikan

4. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes selaku dosen penguji I serta dr. Putri

Chairani Eyanoer, MS selaku dosen penguji II yang telah bersedia

menguji, memberikan masukan, dan saran kepada penulis

5. Drh. Zulkarnaen Hutasuhut dan Henita Dewi Batu Bara selaku orang tua

penulis dan dr. Sofia Marlina, Sonia Ramadhani dan Muhammad Imran

aziz selaku saudara kandung penulis yang telah banyak memberikan

semangat dan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini

6. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

(5)

7. Bidang Penelitian dan Pengembangan Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik Medan yang telah memberikan izin melakukan penelitian

8. Teman – teman seperjuangan penulis Baginda Yusuf Siregar, Tengku

Nanda Edwina, dan Diniy Yolanda serta teman – teman yang selalu

mendukung penuh dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini

Chairunissa Oktavira, Ferdian Ramadhan, Gaby Tania Olivia Siahaan,

Karina Dwi Swastika, Hasfi Fauzan Raz, Ratih Fadhillah, Tryna Tania,

Jeffry Syaputra, Riefka Ananda zulfa, dan dr. Muhammad Arfiza Putra.

9. Seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran USU yang telah

membantu selama perkuliahan

Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga Karya Tulis

Ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca, dan penulis mengharapkan saran dan kritik

dari pembaca.

Medan, 12 Desember 2012

Penulis

(6)

ABSTRAK

Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung yang berupa massa lunak bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Polip memiliki gejala klinis bervariasi dan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pasien polip hidung. Penelitian ini bersifat deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip hidung yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel diperoleh dengan cara total sampling dan data diambil dari rekam medis.

Dari hasil penelitian diperoleh 36 orang pria (61%) dan 23 orang wanita (39%) dengan kelompok umur 45-54 tahun (27.1%), Faktor risiko paling banyak adalah sinusitis 33 orang dari 47 orang (70.2%), 58 pasien memiliki keluhan utama hidung tersumbat (98.1%), keluhan tambahan nyeri kepala sebanyak 25 orang (42.4%). Semua pasien dijumpai massa di hidung pada pemeriksaan fisik dan yang paling sering stadium III 16 orang dari 24 orang (60.7%). Hampir semua pasien diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah 54 orang (91.5%) tidak ada yang mengalami komplikasi pasca operasi, dijumpai 14 orang (23.7%) yang mengalami rekurensi dan 58 pasien pulang dalam keadaan menbaik (98.3%). Rata – rata pasien polip hidung dirawat selama 5 hari.

Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko terkena pada pria dengan kelompok umur dewasa dan memiliki riwayat sinusitis. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan pada pemeriksaan fisik dijumpai massa pada hidung. Penatalaksanaan yang diberikan kombinasi medikamentosa dan terapi bedah. Pada penelitian ini tidak dijumpai komplikasi pasca operasi dan jarang ditemukan rekurensi.

(7)

ABSTRACT

Nasal polyposis are abnormal masses in the nasal mucosa, soft-stemmed, round or oval, grayish-white color. Polyps have the various clinical symptoms and affect the quality of life of patients. This study aimed to investigate the characteristics and management of patients with nasal polyps. This research is descriptive design and presented in the form of a frequency distribution table. The population in this study were all patients whose hospitalization nasal polyps in RSUP H. Adam Malik Medan. Samples obtained by total sampling and data extracted from medical records.

The result showed 36 men (61%) and 23 women (39%) in the age group 45-54 years (27,1%), most risk factors are sinusitis, 33 out of 47 people (70,2%), 58 patients had the main complain nasal congestion (98,1%), an additional complaint of headache by 25 people (42,4%). All patients were found with the nasal mass on physical examination and most often suspected in 3rd stage (16 out of 24 people, 60,7%). Almost all patients are given a pharmacotherapy management and surgical therapy 54 people (91.5%) had no postoperative complications, encountered 14 people (23.7%) experienced recurrence and 58 patients go home with improvement (98.3%). The average nasal polyp patients treated for 5 days.

The conclusions of this study are patients more at risk of nasal polyps in men with adult age groups and have a history of sinusitis. The main complaint of patients is usually nasal congetion and mass found on physical examination in the nose. Treatment given by both pharmacotherapy and surgical. There were no postoperative complication in this study and recurrence is rare

(8)

DAFTAR ISI Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ………... i

LEMBAR PENGESAHAN……….. ii

2.3.6. Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan Penunjang... 14

2.3.7. Penatalaksanaan……... 14

2.3.8. Komplikasi………... 15

2.4. Alergi dan Polip Hidung... 15

2.4.1. Alergi……… 15

2.4.2. Patogenesis……….. 15

2.4.3. Hubungan Polip Hidung dengan Alergi……….. 16

2.5. Sinusitis dan Polip Hidung……… 17

2.5.1. Sinusitis………. 17

2.5.2. Patofisiologi………... 17

2.5.3. Hubungan Sinusitis dan Polip Hidung……….. 18

2.6. Asma bronkiale dan Polip Hidung……….. 18

2.6.1. Asma Bronkiale……… 18

2.6.2. Patogenesis………. 18

(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 23

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ………... 23

3.2. Definisi Operasional ………... 24

BAB4 METODE PENELITIAN ……….… 26

4.1. Jenis Penelitian ………... 26

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………... 26

4.3. Populasi dan Sampel ………... 26

4.3.1. Populasi ………... 26

4.4. Teknik Pengumpulan Data ………... 27

4.5. Pengolahan dan Analisis Data... 27

BAB5HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……... 28

5.1 Hasil Penelitian... 28

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 28

5.2 Pembahasan... 34 BAB6 KESIMPULAN DAN SARAN... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1. Hubungan antara polip nasal, asma, dan intoleransi aspirin. 21

3.1. Definisi operasional 24

5.1. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan jenis kelamin di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 29

5.2. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan umur di RSUP H.

Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 29

5.3. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan faktor risikodi

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 30

5.4. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan utama di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 30

5.5. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan tambahan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011an 30

5.6. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan pemeriksaan fisik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 31

5.7. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan stadium di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 31

5.8. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32

5.9. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32

5.10. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keadaan saat pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 32

5.11. Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan rekurensi di RSUP

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Anatomi Hidung Luar 7

2.2. Anatomi Hidung Dalam 8

2.3. Gambar Hasil Pembedahan Polip Hidung 13

2.4. Gambar Pemeriksaan Fisik Polip Hidung 14

2.5. Gambar Reaksi Alergi 16

(12)

DAFTAR SINGKATAN

AIA : Aspirin Induced Asthma

ARIA : Allergic Rhinitis and its impact on Asthma

COX : Cyclooxigenase

NSAIDs : Non-steroidal Antiinflamatory Drugs

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

WHO : World Health Organization

PAPS : Pulang Atas Permintaan Sendiri

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Data Induk Penelitian

Lampiran 3 Output Komputerisasi Penelitian

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian

(14)

ABSTRAK

Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung yang berupa massa lunak bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan. Polip memiliki gejala klinis bervariasi dan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pasien polip hidung. Penelitian ini bersifat deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip hidung yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel diperoleh dengan cara total sampling dan data diambil dari rekam medis.

Dari hasil penelitian diperoleh 36 orang pria (61%) dan 23 orang wanita (39%) dengan kelompok umur 45-54 tahun (27.1%), Faktor risiko paling banyak adalah sinusitis 33 orang dari 47 orang (70.2%), 58 pasien memiliki keluhan utama hidung tersumbat (98.1%), keluhan tambahan nyeri kepala sebanyak 25 orang (42.4%). Semua pasien dijumpai massa di hidung pada pemeriksaan fisik dan yang paling sering stadium III 16 orang dari 24 orang (60.7%). Hampir semua pasien diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah 54 orang (91.5%) tidak ada yang mengalami komplikasi pasca operasi, dijumpai 14 orang (23.7%) yang mengalami rekurensi dan 58 pasien pulang dalam keadaan menbaik (98.3%). Rata – rata pasien polip hidung dirawat selama 5 hari.

Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko terkena pada pria dengan kelompok umur dewasa dan memiliki riwayat sinusitis. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan pada pemeriksaan fisik dijumpai massa pada hidung. Penatalaksanaan yang diberikan kombinasi medikamentosa dan terapi bedah. Pada penelitian ini tidak dijumpai komplikasi pasca operasi dan jarang ditemukan rekurensi.

(15)

ABSTRACT

Nasal polyposis are abnormal masses in the nasal mucosa, soft-stemmed, round or oval, grayish-white color. Polyps have the various clinical symptoms and affect the quality of life of patients. This study aimed to investigate the characteristics and management of patients with nasal polyps. This research is descriptive design and presented in the form of a frequency distribution table. The population in this study were all patients whose hospitalization nasal polyps in RSUP H. Adam Malik Medan. Samples obtained by total sampling and data extracted from medical records.

The result showed 36 men (61%) and 23 women (39%) in the age group 45-54 years (27,1%), most risk factors are sinusitis, 33 out of 47 people (70,2%), 58 patients had the main complain nasal congestion (98,1%), an additional complaint of headache by 25 people (42,4%). All patients were found with the nasal mass on physical examination and most often suspected in 3rd stage (16 out of 24 people, 60,7%). Almost all patients are given a pharmacotherapy management and surgical therapy 54 people (91.5%) had no postoperative complications, encountered 14 people (23.7%) experienced recurrence and 58 patients go home with improvement (98.3%). The average nasal polyp patients treated for 5 days.

The conclusions of this study are patients more at risk of nasal polyps in men with adult age groups and have a history of sinusitis. The main complaint of patients is usually nasal congetion and mass found on physical examination in the nose. Treatment given by both pharmacotherapy and surgical. There were no postoperative complication in this study and recurrence is rare

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Polip hidung merupakan masalah kesehatan karena dapat mempengaruhi

kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas harian (Dewi,

2012). Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang

bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan

permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan ( Nizar &

Mangunkusumo, 2001). Polip hidung umumnya berasal dari penonjolan keluar

dari mukosa yang menutup sinus maksilaris atau etmoidalis (Bluementhal, 1997).

Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa

hidung normal, yaitu pseudostratified columnar epithelium dengan submukosa

yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan

makrofag. Mukosa mengandung sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan

tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah lama mengalami metaplasia

epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi (Nizar &

Mangunkusumo, 2001).

Prevalensi polip hidung pada seluruh populasi di dunia adalah sekitar 4%

biasanya dijumpai pada orang dewasa yang berumur diatas 20 tahun, dengan

perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 1. Hampir 1/3 dari pasien polip hidung

memiliki riwayat asma. Hampir 50% penderita polip hidung memiliki riwayat

keluarga yang sama. Pada pasien polip hidung yang mengalami intoleransi dari

NSAIDs akan meningkatkan risiko polip sekitar 36-60 % (Newton & Sheh, 2008;

Patel & Rowe-Jones, 2007).

Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai

pada penderita dewasa muda berusia antara 30–60 tahun, sedangkan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada

(17)

Di R.S. Haji Adam Malik Medan selama Januari 2003 sampai Desember

2003 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 32 orang terdiri dari 20 pria dan 12

wanita, selama Maret 2004 sampai Februari 2005 didapatkan kasus polip hidung

sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%), dan selama

September 2009 sampai Oktober 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak

21 orang terdiri dari 15 pria (71,4%) dan 6 wanita (28.6%) (Dewi, 2012).

Gejala klinis dari penderita polip hidung adalah penurunan indra

penciuman, hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, terkadang bisa terlihat

massa seperti anggur (Spafford, 2002).

Gejala yang timbul pada penderita polip hidung adalah hiposmia dan

postnasal drip. Gejala lainnya seperti demam yang persisten, bersin, dan

terkadang sakit kepala. Polip etmoidal terlihat pucat, dan terdapat massa yang

halus (Maqbool, 2001).

Perjalanan timbulnya gejala-gejala tersebut disebabkan patogenesis polip

hidung yaitu ditemukannya edema mukosa yang kebanyakan terjadi di daerah

meatus media. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga

mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang

sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil

membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Fenomena Bernoulli menyatakan

bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan

tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh

tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.

Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang

sempit di kompleks osteo meatal di meatus media. Walaupun demikian polip

dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan sering kali

bilateral atau multipel (Drake-Lee, 1997). Polipektomi merupakan pilihan utama

dari penanganan polip hidung. Setelah operasi pasien diberikan obat antihistamin

untuk mencegah terjadinya rekurensi (Maqbool, 2001).

Etiologi pasti dari polip hidung belum diketahui, tetapi ada tiga faktor

penting yaitu adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan

(18)

interstisial dan edema mukosa hidung. Polip hidung bukan merupakan penyakit

tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering

dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rhinitis alerg (Nizar & Mangunkusumo,

2001).

Salah satu etiologi dari polip hidung yaitu alergi. Rhinitis alergi mengenai

kira-kira 10-25% penduduk dunia. Rhinitis alergi dapat mengenai laki-laki

maupun perempuan dari semua golongan umur, tetapi biasanya mulai timbul

pada anak dan dewasa muda. Kekambuhan dan berat ringannya rhinitis alergi

dipengaruhi oleh faktor internal yaitu genetik dan sistem imun tubuh (Pratiwi,

2008).

Walaupun rhinitis alergi tidak membahayakan jiwa tetapi gejala-gejala

yang ditimbulkannya sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup.

Komplikasi tersering dari rhinitis alergi yaitu polip hidung (Irawati, 2006).

Dalam kasus polip hidung yang menjalani polipektomi 66% mengalami positif

allergi setelah melakukan skin test (Keith & Dolovic, 1997).

Kemungkinan dari keterkaitan polip hidung dan rhinitis alergi dalah

reaksi alergi di mukosa hidung mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas dari pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan berpindah

keluar dari intravaskular dan menyebabkan cairan masuk kedalam jaringan.

Menyebabkan edema dan menimbulkan massa polipoid (Maqbool, 2001).

Polip hidung sering terjadi pada penderita asma karena seringnya terpapar

reaksi inflamasi (Muchid, 2007). Antara 21% hingga 34% dari polip hidung

dihubungkan dengan riwayat asma. Hubungan polip hidung dan asma juga

bergantung pada umur, dari penelitian Settipane antara rentang umur 10-50 tahun

terdapat 3,1% pasien asma dengan umur dibawah 40 tahun mengalami polip

hidung, 12,4% memiliki polip dengan umur diatas 40 tahun (Jankowski, 1997).

Hal lain yang berhubungan dengan asma yang bisa mengakibatkan polip hidung

adalah masalah pengobatannya yaitu NSAIDs yang mengalami intoleransi. F.

Widals pada tahun 1992 menyatakan bahwa didapatkan hubungan antara aspirin,

(19)

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Pada sinusitis kronis

telah terjadi kerusakan silia, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung.

Hubungan polip hidung dengan sinusitis adalah akibat terjadinya perubahan

jaringan menjadi hipertropi sehingga membentuk polip (Maqbool, 2001;

Mangunkusumo & Rizki, 2001).

Dikarenakan hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya polip hidung masih

belum jelas dan seringnya terjadi rekurensi, karena itu penulis mencoba meneliti

kejadian gambaran klinis dan penanganan pada penderita polip hidung yang

terjadi di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah pada penelitian ini adalah bagaimana karakteristik dan

penatalaksanaan penyakit polip hidung di bagian THT-KL Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik dan penatalaksanaan pada penderita polip

hidung di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan ditahun 2009-2011

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan

sosiodemografi

b. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan stadium

polip.

c. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keluhan

utama.

d. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keluhan

tambahan.

e. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan

(20)

f. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan faktor

resiko.

g. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan

penanganan yang dilakukan.

h. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan

komplikasi setelah dilakukan penanganan.

i. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan terjadinya

rekurensi

j. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan lama

rawatan.

k. Untuk mendata distribusi frekuensi polip hidung berdasarkan keadaaan

pasien saat pulang

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi mahasiswa untuk

melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis.

2. Bagi RSUP H. Adam Malik Medan, hasil penelitian dapat dijadikan

sumber informasi di bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan

Tenggorokan.

3. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Secara anatomi, hidung terbagi dua, external nose (hidung luar) dan

internal nose (hidung dalam). Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara

pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian ,

yang paling atas disebut kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan. Dibawahnya

terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah

adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah yaitu aperture

piriformis hanya kerangka tulang saja, memisahkan hidung luar dan hidung

dalam. Pada bagian superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus

maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh

prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian perpendikularis tulang

etmoidalis. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat

digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis

tengah serta berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis.

Lobulus hidung dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior.

Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela.

Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan

bersin. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi di sebelah

inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh septum

nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral

(Higler, 1997; Ballenger, 2003).

Hidung dalam struktur ini membentang dari os. internum di sebelah

anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah secara anatomi

(22)

Dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yang tidak

teratur diantaranya meatus superior, media dan inferior. Duktus nasolakrimalis

bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus

media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris

(Pasha & Marks, 2008).

Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial

dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga ke kubah hidung. Deformitas

struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah

aliran udara masuk dan mencapai daerah olfaktorius, dan dengan demikian dapat

sangat mengganggu indra penciuman (Higler, 1997)

(23)

Gambar 2.2. Anatomi Hidung Dalam

Suplai darah ke hidung bagian dalam berasal dari cabang anterior dan

posterior etmoid (menyilang etmoid plate) dari arteri ophtalmica dan arteri

sphenopalatina, kemudian berakhir di ujung terminal dari arteri maksilaris

interna. Bagian septum anterior dan superior serta dinding lateral hidung

mendapat darah dari arteri etmodalis anterior. Cabang terkecil arteri posterior

memperdarahi hanya sebagian kecil daerah posterior, termasuk olfactory area

(area penciuman). Arteri maksilaris internal, cabang lain dari arteri karotid

eksternal, melewati bagian lateral pterygoideus plate kemudian masuk ke

pterygoideus fossa dan berlanjut menjadi arteri sphenopalatina ke dalam rongga

hidung, berjalan melalui foramen sphenopalatina pada akhir posterior tengah

turbinate.Di dalam hidung, arteri terbagi menjadi cabang posterior lateral hidung

dan posterior septal hidung yang beriringan dengan divisi kedua dan ketiga dari

saraf trigeminus. Terdapat anastomosis antara arteri nasalis lateral dan arteri

ethmoidalis, dengan demikian, perdarahan bisa timbul dari keduanya. Cabang

lain dari arteri sphenopalatina turun ke kanal palatina mayor, memasuki rongga

mulut dan menyebar di bawah permukaan palatum. Vena berjalan melalui jalur

(24)

dan sinus kavernosa. Sistem vena pada hidung tidak mempunyai katup, sehingga

infeksi mudah menyebar ke sinus kavernosa (Ballenger, 2003).

Menurut Hollinshead (1966) dalam Dewi (2012) bagian antero-superior

septum nasi memiliki persarafan sensori dari nervus ethmoidalis anterior yang

merupakan percabangan dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus

oftalmikus. Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan

persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar

septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris

nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian

tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke

septum bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai

palatum durum melalui kanalis insisivus.

2.2. Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk jalan nafas, alat pengukur kondisi udara,

penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, membantu

proses bicara dan refleks nasal.

1. Sebagai jalan nafas pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu

naik

ke atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara

masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara

inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan

melalui nares anterior dan sebagian lain akan kembali ke belakang membentuk

pusaran dan bergabung dengan aliran udara.

2. Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara

mengatur kelembapan udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Mengatur

suhu fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel

(25)

berlangsung secara optimal. Dengan demikian, suhu udara kurang lebih 37

derajat celcius.

3. Sebagai penyaring dan pelindung berguna untuk membersihkan udara inspirasi

dari debu dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu

dan silia akan lengket pada palut lendir dan partikel besar dikeluarkan melalui

refleks bersin.

4. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau bisa mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut

lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara.

Sumbatan di hidung menyebabkan resonansi suara berkurang atau hilang,

sehingga terdengar suara sengau. Hidung membantu proses pembentukan kata-

kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Mukosa hidung

merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernapasan ( Grevers, 2006).

2.3. Polip Hidung

Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang

bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan

permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan (Patel &

Rowe-Jones, 2007). Prevalensi polip hidung yaitu sekitar 4 % pada di seluruh

dunia. Biasanya terjadi pada umur di atas 20 tahun, jika terjadi pada umur

dibawah 10 tahun dinamakan cystic fibrosis. Perbandingan antara laki-laki dan

perempuan yaitu 2:1. Sampai sepertiga pasien polip hidung memiliki riwayat

asma (Newton & Ah-See, 2008).

2.3.1. Etiologi Polip Hidung

Terdapat beberapa teori yang berbeda dalam patogenesis dari polip

hidung. Ada beberapa teori yang diduga patogenesis polip hidung: fenomena

(26)

dengan terjadinya polip hidung, tetapi tidak ada satupun etiologi yang jelas

(Drake-Lee, 1997).

1. Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat

yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.

Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga

mengakibatkan edema mukosa dan membentuk polip.

2. Tidak seimbangnya vasomotor dilibatkan karena sebagian besar kasus tidak

atopik dan tidak ada alergi yang jelas yang bisa ditemukan. Pasien ini terkadang

memiliki masa prodromal dari rhinitis yang lama kelamaan bisa menjadi polip.

Polip memiliki serabut-serabut saraf yang sangat sedikit, sehingga saat dilakukan

palpasi tidak akan terasa sakit. Masalah vasomotor ini mungkin menyebabkan

polip.

3. Infeksi yang biasanya beresiko menjadi polip hidung ada dua tipe dari sinusitis

maxillar yaitu purulen dan hiperplastik. Sinusitis purulen terjadi karena infeksi

biasanya disebabkan bakteri atau infeksi virus dari saluran pernafasan atas.

Hiperplastik sinusitis biasanya dikaitkan dengan hipersekresi mukus sehingga

mengakibatkan tumbuhnya organisme. Operasi yang tidak tuntas di sinus

maxillar meninggalkan sisa mukosa yang mengalami perubahan dan

lama-kelamaan akan terjadi prolaps pada ostium. Polip bisa muncul dari meatus media

dan meatus inferior.

4. Reaksi inflamasi sendiri tidak jelas mekanismenya bisa mengakibatkan polip.

Kemungkinan karena perubahan mukosa sinus maxilla yang dikarenakan

sinusitis. Organisme yang sering tumbuh biasanya adalah Haemophilus influenza.

Haemophilus influenza adalah organisme yang biasa di hidung dan orofaring.

5. Allergi dihubungkan dengan polip hidung dikarenakan tiga faktor: gambaran

histologi dari polip hidung 90% pasien polip hidung ditemukaan eosinofilia, yang

dikaitkan dengan asma dan ternyata polip hidung memiliki gejala mirip seperti

alergi. Degranulasi dari mediator inflamasi yang cepat dalam waktu 30 menit.

Asam arakidonat dari permukaan sel membran dimetabolisme dalam dua jalur

(27)

limfosit dan eosinofil untuk lengket ke sel dan mengeluarkan mediator inflamasi.

Pada fase ini mengakibatkan obstruksi hidung dan hipersekresi mukus. Mast sel

juga berperan dalam proses ini. Sekarang jelas bahwa mast sel akan dirangsang

oleh reaksi-reaksi lain seperti IgG, aktivasi komplemen, beberapa obat, kimia,

dan faktor non spesifik. Akibatnya degranulasi dan menghasilkan histamin,

heparin dan vasoaktif lainnya kemudian faktor kemotaktik, metabolit dari asam

arakidonat, prostaglandin dan leukotrin, sehingga gejala yang ditimbulkan adalah

rinore, bersin, hidung tersumbat seperti alergi (Drake-Lee, 1997; Nizar &

Mangunkusumo, 2001).

2.3.2. Gambaran Polip

Secara makroskopis polip terlihat pucat, massa yang halus dan lunak.

Secara histologi jaringan polip terlihat fibrillar stroma dengan isi cairan

interseluler di submukosa. Dapat terlihat eosinofil di sekitar jaringan tersebut

(Maqbool, 2001). Polip terkadang berwarna merah jika terkena trauma dan bila

terkena infeksi. Biasanya polip hidung memiliki epitel ciliated columnar dan

goblet sel. Jika ada trauma menjadi squamous metaplasia. Jaringan submukosa

biasanya kemerahan dan terdiri dari pembuluh darah, kapiler dan serabut saraf, di

jaringan tersebut terdapat plasma sel, limfosit, makrofag dan yang paling banyak

adalah eosinofil, terkadang juga terdapat netrofil (Lane & kennedy, 2003).

2.3.3. Patogenesis Polip

Patogenesis polip yaitu pada awalnya di temukan edema mukosa yang

kebanyakan terjadi di meatus media. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan

interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi massa polipoid. Bila proses

ini berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar daan kemudian akan turun

ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadilah polip.

Polip dapat timbul di hidung yang tidak terinfeksi kemudian bisa menyebabkan

sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip juga dapat timbul akibat

iritasi kronis yang disebabkan infeksi hidung dan sinusitis (Nizar &

(28)

Gambar 2.3. Hasil pembedahan polip hidung

2.3.4. Tanda dan Gejala Klinis Polip

Gejala utama polip hidung adalah obstruksi hidung, peenurunan fungsi

indra penciuman dan fungsi pengecapan, rinore (Spafford, 2002). Nyeri di

kening, pipi dan di hidung juga terkadang dijumpai pada pasien polip hidung,

pasien juga sering mengeluhkan postnasal drip yang dijumpai pada pasien ini

bisa berwarna putih atau terkadang hijau disebabkan karena polip hidung

merupakan inflamasi yang menyebabkan hipersekresi mukus. (Patel &

Rowe-Jones, 2007).

Tanda dari penyakit polip yaitu biasanya memiliki suara yang bindeng

dan apabila sumbatan polip sudah berat pada pasien bisa terlihat bernapas dengan

menggunakan mulut. Polip bisa terlihat dari luar tanpa menggunakan alat

(Drake-Lee, 1997).

2.3.5. Diagnosis

Diagnosis dari polip hidung yaitu dengan anamnesis, kasus polip biasanya

memiliki keluhan utama hidung tersumbat. Sumbatan menetap, tidak hilang

timbul, dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada

massa dalam hidung dan sukar membuang ingus. Terkadang juga sering

mengalami gangguan penciuman. Gejala lainnya seperti postnasal drip, sakit

(29)

2.3.6. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior polip sudah dapat dilihat. Polip

yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau ada fasilitas

endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih sangat kecil dan belum

keluar dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen polos atau CT-

scan dibuat untuk mendeteksi adanya sinusitis. Pemeriksaan biopsi dapat

diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia lanjut, jika penampakan

makroskopis menyerupai keganasan atau pada foto terdapat gambaran erosi

tulang (Lane & Kennedy, 2003).

Bagian stadium pada polip menurut Mackay dan Lund 1997 stadium I

yaitu polip masih terbatas di meatus medius. Stadium II yaitu polip sudah keluar

dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga

hidung. Stadium III yaitu polip yang massif (Mangunkusumo dan Wardani, 2007)

Gambar 2.4. Pemeriksan Fisik Polip Hidung

2.3.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari polip hidung yaitu polipektomi ataupun terapi

medikamentosa atau bisa kombinasi dari keduanya. Hal yang penting dalam

pengobatan ini adalah terapi medikamentosa dengan menggunakan kortikosteroid

(30)

Polipektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan dilakukan dengan

menggunakan senar polip untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga

hidung (Maqbool, 2001). Preoperatif terapi diberikan intranasal kortikosteroid

digunakan dua kali sehari digunakan selama satu bulan. Jika polip tidak memiliki

perbaikan dalam sebulan maka dilakukan operasi. Polipektomi sederhana

dilakukan pada pasien polip hidung yang cenderung mengalami rekurensi,

dilakukan dengan menggunakan forsep. Tehnik modern dengan menggunakan

endoskopi dalam pemeriksaan hidung dan dievaluasi dengan monitor kemudian

dapat terlihat bagian yang mengalami pembengkakan. Endoskop bisa digunakan

untuk etmoidektomi, ataupun bisa digunakan sebagai monitor setelah operasi.

Setelah operasi terkadang sering akan timbul rekurensi (Drake-Lee, 1997).

2.3.8. Komplikasi

Komplikasi setelah operasi yang biasa terjadi yaitu pendarahan.

Perdarahan dan mukus mungkin akan kering dalam dua minggu setelah operasi

dalam proses penyembuhan luka (Drake-Lee, 1997).

2.4. Alergi dan Polip Hidung 2.4.1. Alergi

Alergi merupakan manifestasi klinis dari kesalahan respon imun setelah

mendapat kontak dari allergen seperti debu, bulu binatang, gigitan serangga.

Rhinitis alergi merupakan inflamasi di mukosa hidung yang diperantarai IgE

(Shah dan Emanuel, 2005). Definisi rhinitis menurut WHO ARIA (Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung

dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa

hidung terpapar allergen yang diperantarai IgE (Irawati, 2001).

2.4.2. Patogenesis

Respon alergi terutama diperantarai dengan reaksi hipersensitivitas tipe I.

(31)

sel-B dan plasma sel. Saat terjadi paparan allergen lagi maka antigen akan

berikatan langsung dengan antibodi IgE dan permukaan mast sel, reaksi ini bisa

di saluran pernapasan, sistem pencernaan, subkonjungtiva pada mata dan pada

kulit. Setelah reaksi tersebut maka terjadilah degranulasi dari sel mast kemudian

mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, leukotrin, sitokin

dan prostaglandin. Hal ini mengakibatkan reaksi yang cepat dalam 10 sampai 15

menit setelah pajanan allergen. Pelepasan dari histamin mengakibatkan efek

pada hidung yaitu bersin, gatal, rinore, vasodilatasi dan sekresi mukus. Pelepasan

sitokin dan leukotrin disebut fase lambat karena mulai pada 4 sampai 6 jam

setelah fase sensitisasi atau mungkin lebih lama. Proses ini bisa berlangsung

dalam 48 jam. Hal ini dapat mengakibatkan gejala hidung tersumbat, postnasal

drip (Shah & Emanuel, 2005).

Gambar 2.5. Reaksi Alergi

2.4.3. Hubungaan Polip hidung dan Alergi

Polip hidung sering dihubungkan dengan kondisi alergi pada pernapasan.

Namun, untuk menjadi polip hidung pada riwayat alergi dipastikan dalam waktu

yang lama mungkin beberapa tahun. Polip yang disebabkan oleh alergi biasanya

cenderung untuk terjadi rekurensi pada pasien. Alergi merupakan faktor

(32)

alergi, terutama alergi lokal di hidung. Karakteristik dari polip hidung biasanya

adalah sumbatan pada hidung, anosmia, bersin, dan rinore (Keith & Dolovic,

1997).

Kemungkinan dari keterkaitan polip hidung dan rhinitis alergi dalah

reaksi alergi di mukosa hidung mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas dari pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan berpindah

keluar dari intravaskular dan menyebabkan cairan masuk kedalam jaringan.

Menyebabkan edema dan menimbulkan massa polipoid (Maqbool, 2001).

2.5. Polip Hidung dan Sinusitis 2.5.1. Sinusitis

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus

yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis

frontal dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis, sedangkan bila mengenai ssemua sinus paranasal disebut

pansinusitis (Mangunkusumo & Rifki, 2001).

Hal yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis

etmoid. Sinusitis maksila merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena

merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,

sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.

Selain itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga memudahkan

terjadinya infeksi dari gigi, ostium dari sinus maksila terletak di meatus medius,

di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat

(Mangunkusumo & Rifki, 2001).

2.5.2. Patofisiologi

Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya

berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir

(33)

sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan

retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi

perubahan jaringan menjadi hipertropi polipoid atau pembentukan polip dan kista

(Mangunkusumo & Rifki, 2001).

2.5.3. Hubungan Polip Hidung dan Sinusitis

Reaksi inflamasi disini mekanismenya belum jelas. Kemungkinan karena

perubahan mukosa di sebagian besar sinus maksila yang disebabkan sinusitis.

Bakteri yang sering mengakibatkan sinusitis adalah Haemophilus influenza,

Streptococcus pneumonia, Staphylococus aureus (Drake-Lee, 1997).

Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan

menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya

terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan oleh karena itu menciptakan

faktor predisposisi infeksi. Perubahan epitel pada sinus juga bisa mengakibatkan

terjadinya polip hidung (Higler, 1997).

2.6. Asma Bronkiale dan Polip Hidung 2.6.1. Asma Bronkiale

Asma bronkiale adalah penyakit paru yang memiliki karakteristik

obstruksi saluran napas yang reversible, inflamasi saluran pernapasan,

peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangasangan (hiperaktivitas)

(Sundaru & Sukamto, 2009).

2.6.2. Patogenesis

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan

pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma

adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan. Terdapat dua jalur

untuk mendapat keadaan tersebut. Jalur immunologis yang diperantarai oleh IgE

dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya allergen ke dalam tubuh akan

(34)

sitokin agar sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain untuk

mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin,

prostaglandin, leukotrin dan lain-lain akan memperngaruhi organ sasaran

sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema

saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sehingga

mengakibatkan hiperaktivitas saluran napas. Saat terjadi inflamasi saluran napas

bias mengakibatkan kerusakan epitel sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi

(Sundaru & Sukamto, 2009).

2.6.3. Polip Hidung dan Asma

Polip hidung dan asma bronkiale merupakan inflamasi kronis yang

hampir sama bedanya pada polip hidung merupakan saluran pernapasan atas,

sedangkan pada asma bronkiale merupakan saluran pernapasan bawah.

Pada pasien asma perlu dipikirkan adanya rhinitis, sinusitis, dan polip

hidung karena memiliki hubungan yang erat. Sekitar 70-80% pasien asma

memiliki gejala rhinitis, sebaliknya sekitar 30% pasien rhinitis mempunyai asma

(Onerci, 2009).

Menurut Gottlieb hubungan asma dengan polip hidung adalah

1. Sekret yang ada pada hidung mungkin tertelan dan masuk ke faring

melalui sinus.

2. Sekret di sinus dan produksi racun yang dihasilkan bakteri mungkin

diabsorbsi melalui pembuluh darah dan system limfatik.

3. Obstruksi dari hidung contohnya ada polip hidung mengakibatkan

pasien bernapas dari mulut

4. Spasme otot pernapasan mengakibatkan refleks pada saraf dan iritasi di

ganglion nasal.

Polip hidung dihubungkan dengan asma bronkiale dikarenakan

biasanya pasien polip hidung memiliki riwayat asma bronkiale dalam

(35)

2.7. Intoleransi Aspirin dan NSAID dengan Polip Hidung

Aspirin (acetylsalicylic acid) dan non-steroidal antiinflamatory drugs

(NSAIDs) memiliki pebedaan patogenesis dalam mengakibatkan polip hidung.

Gejala dari toleransi NSAIDs dan AIA (aspirin-induced asthma) yang paling

sulit untuk diobati, dan memiliki resiko untuk terjadinya polip hidung.

Beberapa konsep telah dijelaskan dalam patogenesis dari AIA yaitu

mengenai inhibisi enzim siklooksigenase, di saluran pernapasan mengakibatkan

bronkokonstriksi. Inhibisi dari COX merangsang reaksi biokimia spesifik yang

bisa menyebabkan asma. Beberapa teori mengenai COX yaitu:

1. NSAIDs dengan aktivitas anti siklooksigenase mengakibatkan

bronkokonstriksi pada pasien yang sensitif terhadap aspirin

2. NSAIDs yang tidak memiliki aktivitas tidak mengganggu COX tidak

mengakibatkan bronkospasme

3. Ada hubungan positif antara NSAIDs yang memiliki potensi

menghambat COX dalam menginduksi asma pada pasien yang sensitif.

Biasanya kebanyakan pasien mengalami keluhan pada umur 30-40 tahun.

Biasanya keluhan utama dimulai dengan gejala rhinitis vasomotor yang terjadi

intermittent dengan rinore. Setelah beberapa bulan atau tahun, akan terjadi

sumbatan di hidung, dan lama kelamaan akan muncul polip hidung pada

pemeriksaan fisik. Polip hidung banyak ditemukan pada pasien AIA. Sebanyak

47 pasien dari 80 pasien asma yang mengalami intoleransi aspirin didiagnosis

polip hidung (Szczeklik, 1997).

Adanya suatu triad berupa kepekaan terhadap aspirin, polip hidung, dan

asma telah didokumentasikan. Salah satu manifestasi dari gangguan ini yaitu

rhinitis alergi kronik. Pada pasien dapat timbul polip dimana pengangkatan polip

dapat mencetuskan gejala asma atau memperburuk rhinitis. Mekanismenya

(36)

Tabel 2.1. Hubungan antara polip nasal, asma, dan intoleransi aspirin.

Onset asma Diagnosa polip

(37)

Hubungan antara polip hidung dan asma bergantung dari umur,

yaitu peningkatan umur (rentang umur: 10-50 tahun) menurut Settipane,

hanya 3,1% dari pasien asma dibawah umur 40 tahun mengalami polip

hidung, 12,4% pasien dengan umur diatas 40 tahun. Polip hidung

biasanya didiagnosis setelah terjadinya asma. Kesimpulannya polip

hidung yang memiliki riwayat asma bronkiale adalah 1/3 kasus,.

Diagnosis polip hidung biasanya dalam kurun waktu beberapa tahun

setelah asma. Sekitar 2/3 pasien polip hidung tidak ada keluhan mengenai

gejala asma, dan rhinitis terjadi lebih banyak dibanding asma pada seluruh

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

Variabel yang diamati

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Umur

Jenis kelamin Faktor risiko Keluhan utama Keluhan tambahan Stadium

Polip Hidung

Lama perawatan Keadaan saat pulang Rekurensi

Komplikasi pasca operasi

(39)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional

(40)

tambahan dirasakan pasien

8. Penanganan Pengobatan atau

(41)
(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif .

4.2. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai September 2012. Lokasi

penelitian ini adalah di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,

Bedah Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan. mengingat bahwa RSUP H.

Adam Malik merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua pasien rawat inap yang berobat ke

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok, Bedah Kepala Leher

RSUP H. Adam Malik yang didiagnosis dengan polip hidung pada tahun

2009-2011.

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah total sampling yang

terdiagnosa polip hidung di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun

(43)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari catatan rekam medis pasien polip hidung di

Rumah Sakit Umum Pendidikan Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2011.

Data didapat dari Instalansi Rekam Medik.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Statistic Product for

Social Science . Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di ruangan rekam medis RSUP H. Adam Malik,

Medan. Data diambil dari ruangan rekam medis, yang terletak di lantai bawah

rumah sakit, setelah mendapatkan izin dari Bagian Litbang. RSUP H. Adam

Malik merupakan sebuah Rumah Sakit Kelas A sesuai SK Menkes No.

335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK

Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan

pelayanan kesehatan dan pendidikan, juga merupakan pusat rujukan kesehatan

untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I Aceh,

Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ± 10Ha dan

terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km 12, Kecamatan Medan Tuntungan,

Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

RSUP H. Adam Malik, Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari

pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat

darurat, bedah pusat, hemodialisis), pelayanan penunjang medis (instalasi

diagnostik terpadu, mikrobiologi, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi,

rehabilitasi medis, kardiovaskular, nefrologi, endokrinologi), pelayanan

penunjang penunjang non medis(instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization

Supply Depart(CSSD), bioelektromedik, Penyuluh Kesehatan Masyarakat Rumah

(45)

Tabel 5.1 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

Jenis kelamin Frekuensi Persen (%)

Pria 36 61

Wanita 23 39

Total 59 100.

Pada tabel 5.1 terlihat bahwa dari 59 pasien rawat inap penderita polip

hidung sebagian besar terdapat pada jenis kelamin pria yaitu sebanyak 36 orang

(61%) dan pada jenis kelamin wanita sebanyak 23 orang (39%)

Tabel 5.2 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan umur di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

Umur (Tahun) Frekuensi Persen (%)

5 - 14 4 6.8

15 - 24 14 23.7

25 - 34 5 8.5

35 - 44 6 10.2

45 - 54 16 27.1

>55 14 23.7

Total 59 100

Dari tabel 5.2 diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap pasien polip

hidung terbanyak berada pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebanyak 16

orang (27.1%) sebagian lainnya terdapat pada umur diatas 55 tahun yaitu

sebanyak 14 orang (23.7%) dan pada kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak

14 orang (23.7%), dan yang terendah terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun

(46)

Tabel 5.3 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan faktor risiko di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 47)

Faktor Risiko Frekuensi Persen (%)

Rhinitis Allergi 8 17

Sinusitis 33 70.2

Rhinitis dan Sinusitis 6 12.7

Total 47 100

Dari seluruh subjek yang diteliti, sebanyak 47 pasien polip hidung yang

dirawat inap memiliki faktor risiko. Faktor risiko sinusitis dijumpai yang

terbanyak yaitu 33 orang (70.2%) .

Tabel 5.4 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan utama di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

Keluhan Utama Frekuensi Persen (%)

Hidung Tersumbat 58 98.3

Hidung tersumbat dan gangguan penciuman 1 1.7

Total 59 100

Dari table 5.4 diketahui bahwa 59 pasien yang dirawat inap menderita

polip hidung semua mengalami keluhan hidung tersumbat yaitu sebanyak 58

orang ( 98.3%) dan hanya 1 orang (1.7%) yang mengalami hidung tersumbat dan

gangguan penciuman.

Tabel 5.5 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keluhan tambahan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

(47)

Nyeri Kepala 25 42.4

Suara Bindeng 2 3.4

PND 2 3.4

Bersin 21 35.6

Nyeri kepala dan pnd 6 10.2

Nyeri kepala dan suara bindeng 1 1.7

Sekret dari hidung 2 3.4

Total 59 100

Dari tabel 5.5 diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap polip hidung

sebagian besar mengalami keluhan nyeri kepala yaitiu sebanyak 25 orang

(42.4%) sebagian besar lainnya mengalami keluhan tambahan yang berbeda yaitu

bersin-bersin sebanyak 21 orang (35.6%) , sedangkan yang memiliki keluhan

terendah yaitu keluhan nyeri kepala dan suara bindeng yaitu sebanyak 1 orang

(1.7%).

Tabel 5.6 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan pemeriksaan fisik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n= 59)

Pemeriksaan fisik Frekuensi Persen(%)

Massa 59 100

Tidak ada massa 0 0

Total 59 100

Dari tabel 5.6 diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan fisik semua pasien

rawat inap polip hidung ditemukan massa di cavum nasi yaitu sebanyak 59 orang

(100%)

Tabel 5.7 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan stadium penyakit di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 24)

(48)

Stadium Frekuensi Persen(%)

Stadium I 3 12.5

Stadium II 5 20.8

Stadium III 16 66.7

Total 24 100

Data stadium polip tertera hanya pada 24 rekam medik dan ternyata dari

24 pasien polip hidung yang di rawat inap didapatkan yang mengalami polip

stadium III adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 16 orang (66.7%), sedangkan

yang lainnya stadium I dan II.(tabel 5.7)

Tabel 5.8 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

Penatalaksanaan Frekuensi Persen(%)

Medikamentosa 5 8.5

Medikamentosa dan bedah 54 91.5

Total 59 100

Dari tabel 5.8 diketahui bahwa sebagian besar pasien rawat inap polip

hidung diberikan penatalaksanaan secara medikamentosa dan terapi bedah yaitu

sebanyak 54 orang ( 91.5%) sedangkan sisanya hanya diberikan pengobatan

secara medikamentosa yaitu sebanyak 5 orang (8.5%).

Tabel 5.9 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 ( n= 59)

Komplikasi Frekuensi Persen (%)

(49)

Komplikasi Frekuensi Persen (%)

Epistaksis 0 0

Total 59 100

Dari tabel 5.9 diketahui bahwa semua paien polip hidung yang telah

diberikan pengobatan tidak mengalami komplikasi epistaksis yaitu sebanyak 59

orang (100%)

Tabel 5.10 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan keadaan saat pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n= 59)

Keadaan Saat Pulang Frekuensi Persen(%)

Baik (pbj) 58 98.3

PAPS 1 1.7

Total 59 100

Dari tabel 5.10 diketahui bahwa keadaan saat pulang sebagian besar

pasien rawat inap polip hidung membaik (pbj: pasien berobat jalan) yaitu

sebanyak 58 orang (98.3%) dan sisanya 1 orang PAPS (Pulang Atas Permintaan

Sendiri) sebanyak (1.7%).

Tabel 5.11 Distribusi penderita Polip Hidung berdasarkan rekurensi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2011 (n = 59)

Rekurensi Frekuensi Persen(%)

Rekuren 14 23.7

Tidak Rekuren 45 76.3

Total 59 100

Dari tabel 5.11 di atas diketahui bahwa dari 59 pasien rawat inap polip

hidung mengalami rekurensi yaitu sebanyak 14 orang (23.7%), sedangkan yang

(50)

Pasien rawat inap polip hidung biasanya dirawat di rumah sakit selama 5 hari

tetapi ada lama rawatan paling cepat yaitu 1 hari dan lama rawatan paling lama

yaitu 12 hari sebanyak 1 orang.

5.2 Pembahasan

Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 59 orang penderita polip

hidung yang terdiri dari laki-laki 36 orang (61%), perempuan 23 orang (39%)

dengan perbandingan 1.6 : 1. Castillo et all (2009) pada penelitiannya juga

mendapatkan penderita polip paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak

121 orang (63.7%) dan perempuan sebanyak 69 orang (36.3%). Munir (2006)

pada penelitiannya mendapatkan perbandingan 1.8 : 1. Mangunkusumo (2007)

mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 1. Adanya perbedaan

perbandingan mungkin karena perbedaan pengambilan sampel dan jumlah

sampelnya.

Kelompok umur paling banyak terdapat pada golongan umur 45- 54 tahun

(27.1%) dengan umur termuda yaitu 9 tahun dan yang tertua adalah umur 83

tahun. Sedangkan menurut penelitian Munir (2006) kelompok umur teringgi

pasien polip hidung adalah pada umur 35 – 44 (30%) dengan umur termuda yaitu

10 tahun dan yang tertua yaitu 54 tahun. Menurut penelitian Castillo et all (2009)

kelompok umur yang menderita polip hidung di rentang 19 – 88 tahun dengan

standar deviasi laki-laki berkisar umur 49.8 tahun dan perempuan berkisar umur

45.5 tahun. Penelitian ini ternyata mendukung penelitian saya dan beberapa

perbedaan tersebut mungkin karena adanya perbedaan waktu pada pengambilan

sampel, dan banyaknya sampel yang di ambil.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa risiko polip hidung tertinggi yaitu

sinusitis sebanyak 33 orang dari 47 sampel (70.2%). Penelitian ini sejalan dengan

yang diungkapkan Yaman et all (2010) bahwa 65 % pasien polip memiliki

riwayat penyakit sinusitis kronis. Kim & Hanley (2002) juga mengatakan bahwa

polip hidung paling sering terjadi diakbatkan sinusitis kronis yaitu sebanya 40

(51)

Keluhan utama yang terjadi pada penderita polip hidung adalah hidung

tersumbat sebanyak 58 orang (98.3%) dengan 1 orang (1.7%) lagi mengalami

keluhan yang sama yaitu hidung tersumbat ditambah lagi gangguan penciuman.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Munir (2006) yang mendapatkan

keluhan utama terbanyak yaitu hidung tersumbat (54%). Gevaert (2005) juga

megatakan bahwa keluhan yang sering dilaporkan yaitu hidung tersumbat.

Penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Spfford (2002) bahwa gejala

utama yang paling sering yaitu hidung tersumbat.

Keluhan tambahan yang tesering dijumpai pada penelitian ini yaitu nyeri

kepala yaitu sebanyak 25 orang (42.4%) sedangkan 6 orang (10.2%) memiliki

keluhan tambahan yang sama yaitu nyeri kepala ditambah lagi dengan post nasal

drip. Keluhan lain yang sering terjadi yaitu bersin-bersin sebanyak 21 orang

(35.6%). Stjarne (2007) mengungkapkan bahwa keluhan tambahan yang sering

dijumpai pada pasien polip hidung yaitu nyeri kepala dan post nasal drip.

Menurut Castillo et all (2009) keluhan tambahan yang sering dijumpai yaitu

bersin-bersin (61%) sedangkan sakit kepala (51.6%). Sedikit perbedaan ini

dijumpai mungkin karena banyaknya keluahan yang dialami pasien dan

perbedaan reaksi yang dialami setiap orang.

Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien polip hidung

semuanya ditemukan massa di hidung (100%). Penelitian ini didukung oleh teori

yang diungkapkan Lane & Kennedy (2003) bahwa pada pemeriksaan fisik dapat

terlihat massa di kavum nasi dengan menggunakan rinoskopi anterior.

Pada pemeriksaan fisik pasien polip hidung stadium yang paling banyak

adalah stadium III 16 orang dari 24 orang (66.7%). Hal ini membuktikan bahwa

pasien rawat inap polip hidung yang sebagian besar dilakukan terapi bedah

datang dengan stadium III. Pada penelitian ini juga didapatkan hampir semua

pasien polip hidung yang menjalani terapi medikamentosa dan terapi bedah yaitu

54 orang (94.1%) dan 5 orang lainnya hanya diberikan penatalaksanaan

medikamentosa ( 8.5%). Penelitian ini ternyata sejalan dengan prinsip

pengobatan polip hidung menurut Assanassen & Naclerio (2008) yaitu pemberian

(52)

melakukan operasi setelah itu pemberian kortikosteroid lagi untuk mencegah

rekurensi.

Pada penelitian ini tidak ditemukan komplikasi pasca operasi. Rekurensi

terjadi pada 14 orang (23.7%) dan 45 orang tidak mengalami rekurensi (76.3%)

Yaman et all (2010) mengungkapkan bahwa penanganan melalui FESS

meminimalisasi terjadinya rekurensi dan komplikasi. Cook et all dalam Yaman

et all (2010) menyatakan bahwa dari 33 pasien polip hidung yang menjalankan

FESS tidak terdapat pasien yang mengalami rekurensi. Hong et all dalam Yaman

et all (2010) mengatakan bahwa FESS direkomendasikan untuk melakukan

pengangkatan polip, 94.6 % pasien polip hidung tidak mengalami komplikasi

ataupun rekurensi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien polip hidung yang dirawat

inap 58 orang (98.3%) keadannya membaik dan melanjutkan pengobatan

dirumah dan 1 orang (1.7%) PAPS (Pulang Atas Permintaan Sendiri). Pasien

rawat inap polip hidung biasanya dirawat di rumah sakit selama 5 hari dengan

lama rawatan paling cepat yaitu 1 hari dan lama rawatan paling lama yaitu 12

(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dijumpai kasus polip hidung di RSUP H. Adam Malik Medan dari

tahun 2009-2011 sebanyak 59 kasus, dengan banyak laki-laki 36

orang (61%) dan perempuan 23 orang (39%).

2. Didapatkan kelompok umur yang paling sering yaitu 45-54 tahun

(27.1 %).

3. Faktor risiko yang sering dijumpai pada pasien polip hidung adalah

sinusitis yaitu sebanyak 33 orang (70.2 %) dengan keluhan utama

yang paling banyak adalah hidung tersumbat (98.1%) dan keluhan

tambahan yang serring menyertai yaitu nyeri kepala sebanyak 25

orang (42.4%).

4. Semua pasien polip hidung dijumpai massa pada kavum nasi dengan

stadium yang paling sering dijumpai yaitu stadium III sebanyak 16

orang dari 24 orang (66.7%).

5. Hampir semua pasien polip hidung menjalankan terapi

medikamentosa terlebih dahulu kemudian menjalankan tindakan

operasi (91.5%).

6. Tidak ditemukan pasien polip hidung yang mengalami komplikasi

pasca operasi dan terjadinya rekurensi pada pasien polip hidung yaitu

sebanyak 14 orang (23.7%). Dari 59 pasien polip hidung hampir

semua pasien polip hidung pulang dalam keadaan yang membaik dan

menjalani pengobatan lanjutan setelah pulang.

7. Lama rawatan yang biasanya dijalani oleh pasien polip hidung

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi hidung Luar
Gambar 2.2. Anatomi Hidung Dalam
Gambar 2.3. Hasil pembedahan polip hidung
Gambar 2.4. Pemeriksan Fisik Polip Hidung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Sumatera Utara... Universitas

Panti Asuhan Putra Muhammadiyah Cabang Medan merupakan panti asuhan yatim, yang memberikan metode pelaksanaan bimbingan agama, karena pertumbuhan anak- anak di panti

Astri Aslam dkk, 201 3, “Pengaruh Perilaku Kerja, Lingkungan Kerja dan Interaksi Sosial terhadap Kepuasan Kerja dengan Motivasi sebagai Variabel Pemediasi (Studi

Hasil penelitian hubungan pemeriksaan sputum mikroskopis terhadap foto thoraks adalah dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47.0%) dengan hasil positif pada

Lakukan instalasi Sistem Operasi pada PC Proxy Server menggunakan OS Linux Debian 6 (tanpa GUI), selanjutnya lakukan proses konfigurasi Proxy Server sesuai

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis

Rancangan sistem yang diusulkan dalam studi ini masih menggunakan konsep programa linear obyektif tunggal khususnya pada perencanaan produksi agregat sehingga masih bisa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:(1)manakah yang memberikanprestasi belajar lebih baik antara siswa yang dikenakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berbantuan