• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI HASIL PEMERIKSAAN SPUTUM BTA TERHADAP FOTO TORAKS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT(BBKPM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KORELASI HASIL PEMERIKSAAN SPUTUM BTA TERHADAP FOTO TORAKS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT(BBKPM) "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI HASIL PEMERIKSAAN SPUTUM BTA TERHADAP FOTO TORAKS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT(BBKPM)

Hasta Handayani Idrus Yusriani Mangerangi

Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia

Alamat Korespondensi :

Alamat : Jl. Urip Sumoharjo no 225 Makassar, Prodi FK UMI

Email : fkumi@umi.ac.id

(2)

ABSTRAK

Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pertamaka kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu. Sampai saat ini penyakit TBC masih merupakan masalah kesehatan masyarakat didunia. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi pemeriksaan sputum BTA terhadap foto thoraks di BBKPM Makassar periode januari-september 2010. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan teknik pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling. Jumlah sampel sebanyak 115 orang dari hasil pemeriksaan. Pengolahan data dengan menggunakan program SPSS dan analisis data pada penelitian ini adalah univariat dan bivariat.

Hasil penelitian hubungan pemeriksaan sputum mikroskopis terhadap foto thoraks adalah dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47.0%) dengan hasil positif pada pemeriksaan mikroskopis, dan dari 54 orang tersebut lebih banyak ditemukan dengan hasil positif pada pemeriksaan foto thoraks yaitu sebanyak 51 orang (44.3%) dan dari 61 orang (53.0%) dengan hasil negative pada pemeriksaan mikroskopis lebih banyak ditemukan hasil positif pada pemeriksaan foto thoraks sebanyak 33 orang (28.7%). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemeriksaan sputum BTA dan foto thoraks dalam mendiagnosis TB paru.

(3)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infection caused by Mycobacterium tuberculosis. This bacterium was first discovered by Robert Koch in 1882. This infection is most often about the lung, but it can also be widespread about certain organs. Until now, TB disease is still a public health problem in the world. One third of the world's population has been infected with tuberculosis and according to WHO regional, the largest number of TB cases occur in Southeast Asia, 33% of all TB cases in the world, but in terms of population there are 182 cases per 100,000 population The purpose of this research is to know correlation of sputum smear examination on thoracic photo in BBKPM Makassar period januari-september 2010. This research is descriptive research with sampling technique using nonprobability sampling. The number of samples is 115 people from the results of the examination. Data processing using SPSS program and data analysis in this research is univariat and bivariat.

The result of correlation study of sputum microscopic examination on thoracic photo is from 115 suspect tuberculosis tuberculosis patients there are 54 people (47.0%) with positive result on microscopic examination, and from 54 people more found with positive result on examination of thoracic photo that is 51 people (44.3 %) and from 61 people (53.0%) with negative results on microscopic examination more positive results were found on thoracic examination of 33 people (28.7%). The results of this study indicate that there is a significant relationship between sputum smear examination and thoracic photos in diagnosing pulmonary TB.

(4)

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Kuman ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Penyakit ini khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis.

Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai

organ-organ tertentu.1

Sampai saat ini penyakit TBC masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

didunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan

bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis. Pada tahun 2002, 3,9 juta adalah

kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi

kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di

Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari

jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali

lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.1

Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian

akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB

didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita

akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.2

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara

ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan

rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan

pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,

(5)

ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan

dikucilkan oleh masyarakat.2

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada

negara negara yang sedang berkembang.

2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:

1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak

terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan

pelaporan yang standar, dan sebagainya).

3. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan

obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang

telah didiagnosis)

4. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

5. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang

mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan

perubahan struktur umur kependudukan.

4. Dampak pandemi HIV.

Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan

banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada Negara yang dikelompokkan

dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal

tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia

(6)

permasalahan TB. Infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian

TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap

obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus

yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.2

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah

pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina

dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan

pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian

101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000

penduduk.2

TB paru masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang

berkembang, termasuk Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya hidup di

pedesaan dengan derajat kesehatan yang masih rendah. Untuk Indonesia keadaan ini

tercermin pada prevalensi TB paru dengan BTA (+) yang masih cukup tinggi yaitu 0,3

persen, berarti di antara 1000 orang penduduk Indonesia dapat dijumpai 3 orang

penderita TB paru yang masih potensial menular. Di Indonesia TB paru merupakan

penyebab kematian nomor empat setelah penyakit infeksi saluran napas bawah, diare

dan penyakit jantung koroner.3

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta

setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar

kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti

sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika

yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan

(7)

Pada masa sebelum ditemukannya kemoterapi dan antibiotika TB paru

merupakan salah satu penyakit yang ditakuti, karena pada masa itu dianggap sebagai

penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan dapat menyebabkan kecacatan seumur

hidup. Saat ini dengan ditemukannya obat-obatan yang ampuh terhadap kuman TB

dan kemajuan di bidang ilmu kedokteran, TB paru dapat disembuhkan. Berbagai

upaya perlu dilakukan untuk menurunkan prevalensi TB paru ini, salah satu adalah

usaha menemukan penderita yaitu dengan meningkatkan kemampuan menegakkan

diagnosis, agar dapat diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang tepat.3

Banyaknya cara dan metode pemeriksaan untuk penegakkan diagnosa TB paru

dan kesadaran akan keterbatasan kemampuan sehingga penulis hanya membatasi

penelitian penegakkan diagnosa TB paru dengan melihat gambaran korelasi hasil

pemeriksaan sputum BTA terhadap foto thoraks dalam mendiagnosis TB Paru di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar periode Januari

2010-September 2010.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan hasil diagnosa tersangka TB paru dari

korelasi hasil pemeriksaan pemeriksaan sputum dan pemeriksaan foto thoraks secara

mikroskopis. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BBKPM) Makassar. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar

dahulunya bernama Balai Pengobatan Penyakit Paru Makassar yang didirikan pertama

kali pada tanggal 27 juni 1959 bertempat di Jl. HOS. Ttjkroaminoto dan diresmikan

tanggal 30 April 1960. BBKPM Makassar merupakan salah satu Unit Pelaksana

(8)

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan, penunjang kesehatan,

promosi kesehatan dan kemitraan serta pengembangan sumber daya masyarakat.

Penelitian dilakukan pada tanggal 3 Januari 2011-30 Januari 2011. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua penderita penyakit paru di BBKPM Makassar periode

Januari 2010 -September 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita suspek

TB paru di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010. Pengambilan

sampel dilakukan melalui metode nonprobability sampling, dimana mengambil semua

data pasien suspek TB Paru pada rekam medik di BBKPM Makassar periode Januari

2010 -September 2010. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data yang

diambil dari rekam medik penderita suspek TB Paru di BBKPM Makassar periode

Januari 2010 -September 2010.

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Makassar. Pengumpulan data dimulai tanggal 3 Januari sampai 30 Januari 2011

dengan total sampel 115 orang. Proses pengumpulan data dilakukan dengan mencatat

diagnosis hasil pemeriksaan suspek TB paru dari hasil sputum mikroskopis dan

pemeriksaan foto toraks. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara analitik dan

diolah menggunakan SPSS yang hasilnya dapat dilihat sebagai berikut : Suspek TB

paru di BBKPM Makassar paling banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki.

Perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan banyak ditemukan

pada laki-laki yaitu 59 orang ( 51,3%) sedangkan pada perempuan sebanyak 56

orang (48%). Tabel menunjukkan bahwa umumnya responden berada pada kelompok

usia 27-31 tahun yaitu 28 orang (24.3%) dan paling sedikit pada kelompok usia 67-71

tahun dan pada usia 12-16 tahun yaitu masing-masing 1 orang (0.9%). Penderita TB

(9)

responden menurut pekerjaan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa

pekerjaan responden paling banyak sebagai ibu rumah tangga sebanyak 34 orang

(29.6%) dan paling rendah pada pekerjaan sebagai tukang kayu dan PNS,

masing-masing sebanyak 1 orang (0,9%) dari 115 responden. Pemeriksaan mikroskopis

sediaan sputum merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk mengidentifikasi

penderita TB paru. Distribusi responden menurut hasil pemeriksaan sputum secara

mikroskopis dapat dilihat pada Tabel 4. Table 4 menunjukkan bahwa distribusi

responden berdasarkan hasil pemeriksaan sputum secara mikroskopis suspek TB Paru

memberikan hasil positif sebanyak 54 orang (47,0%) dan negative sebanyak 61 orang

(53,0%) dari 115 suspek TB Paru. Pemeriksaan foto toraks merupakan gambaran

radiologi foto toraks yang sangat penting dan merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberculosis. Gambaran radiologi dapat memperkuat dugaan adanya

penyakit tuberculosis paru lebih dini. Distribusi responden menurut hasil pemeriksaan

foto toraks dilihat pada table 5. Table 5 menunjukkan bahwa distribusi suspek TB

Paru berdasarkan hasil diagnose foto toraks, hasil positif yang mendukung diagnose

penyakit TB Paru sebanyak 84 orang (73.0%). Selebihnya 31 orang (27.0%)

memperlihatkan hasil foto toraks negative yang terdiri dari berbagai macam kelainan

penyakit non TB paru. Pemeriksaan mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling

efisien, mudah dan murah dan hampir semua unit laboratorium dapat

melaksanakannya, hasilnya cukup spesifik tapi kurang sensitif. Untuk itu perlu

pemeriksaan tambahan berupa periksaan foto thoraks. Hubungan hasil pemeriksaan

sputum mikroskopis terhadap foto thoraks dapat dilihat pada Tabel 6. Table 6

menunjukkan bahwa dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47.0%) dengan hasil

positif pada pemeriksaan mikroskopis, dan dari 54 orang tersebut lebih banyak

(10)

orang (44.3%) dan dari 61 orang (53.0%) dengan hasil negative pada pemeriksaan

mikroskopis lebih banyak ditemukan hasil positif pada pemeriksaan foto thoraks

sebanyak 33 orang (28.7%). Table 7 menunjukkan bahwa dari 115 suspek TB paru

hasil akhir diagnosis yaitu 54 orang (47,0%) dinyatakan TB paru BTA positif , 33

orang (28.7%) dinyatakan TB paru BTA negatif dan 28 orang (24.3%) dinyatakan

tidak menderita TB paru yang terlihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 ini terlihat Cardia

biasa menduduki urutan pertama kasus bukan TB paru secara radiologis sebanyak 10

orang (35,7%), menyusul bronchopneumonia sebanyak 8 orang (28,6 %) dan di

urutan terakhir yang paling sedikit kasus bukan TB paru yaitu observasi nodul

sebanyak 1 orang (3,6%).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita suspek TB paru lebih

banyak terdistribusi pada laki-laki yaitu 59 orang (51.3%) dari perempuan sebanyak

56 orang (48.7%). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan faktor biologis

dimana laki-laki lebih rentan terhadap basil tahan asam dari kuman TB dibandingkan

perempuan. Selain itu pula laki-laki dipicu oleh perilaku merokok, depresi dan

kendala status pekerjaan sehingga mereka lebih rentan terhadap kuman TB. Adanya

faktor sosial ekonomi dimana perempuan memiliki akses terbatas pada perawatan

kesehatan yang mengakibatkan banyak perempuan yang menderita TB akhirnya tidak

terdiagnosis. Sehingga laki-laki mempunyai kesempatan terpapar kuman TB lebih

tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan artikel

yang diposting oleh Olivier neyrolles yang mengatakan bahwa penderita TB Paru

lebih tinggi didapatkan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Ia

(11)

Mycobacterium Tuberculosa tetapi wanita tampaknya lebih tahan terhadap basil

daripada pria ".

Distribusi penderita TB Paru pada penelitian ini paling banyak pada kelompok

umur produktif yaitu umur 27-31 sebanyak 28 orang (24.3%). Sedangkan yang paling

sedikit pada kelompok umur yang tidak produktif yaitu 67-71 tahun sebanyak 1 orang

(0,9%) . Penelitian ini sesuai dengan artikel dari Ottmani SE dan The global fund, to

fight AIDS, TB dan malaria yang memperoleh hasil bahwa Lebih dari 75 persen

penyakit terkait TB dan kematian terjadi antara orang-orang antara usia 15 sampai 54

tahun yang paling aktif secara ekonomi penduduk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

keterpaparan Mycobacterium tuberculosis pada umur produktif lebih besar

dibandingkan oleh usia lanjut didasarkan pada aktivitas mereka yang sangat tinggi

sehingga sering terpapar dengan droplet kuman TB dilingkungan kerja mereka.

Berdasarkan pekerjaan paling banyak pada pekerjaan IRT yaitu sebanyak 34

orang (29.6%) dan paling sedikit pada tukang kayu dan PNS, masing-masing

sebanyak 1 orang (0.8%). Hal ini dapat dijelaskan bahwa infeksi Mycobacterium

tuberculosa lebih banyak didapatkan pada pekerjaan sebagai ibu rumah tangga karena

para IRT sangat membatasi kemampuannya untuk mencari informasi tentang TB

sehingga banyak yang tidak terdiagnosis. Perempuan lebih cenderung mengurus

suami dan anaknya dan jarang mempedulikan dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh dr.Marlina Lacuesta yang memperoleh hasil bahwa

Mayoritas perempuan berasal dari-Rumah tangga yang dikepalai perempuan dengan

lebih anggota rumah tangga dan rumah yang lebih kecil. Hampir satu dari lima

wanita dilaporkan janda. Hal ini merugikan ekonomi meningkatkan risiko infeksi TB

(12)

informasi TB dan perawatan, yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan mereka

untuk mencari perawatan yang tepat.

Adapun pembahasan mengenai variable penelitian dengan diagnose TB paru

sebagai berikut :

1. Hasil Pemeriksaan Sputum Secara Mikroskopis

Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan yang penting, bukan saja untuk

memastikan diagnosis tuberculosis paru, tetapi lebih penting untuk mengidentifikasi

sumber penularan atau bukan karena hanya penderita dengan BTA dalam sputum yang

mempunya potensi menular.6

Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif hanya 20-70% saja dari

penderita TB paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sputum

secara mikroskopik, suspek TB paru paling banyak memberikan hasil negatif yaitu

sebanyak 61 orang (53,0%) dari 115 suspek TB paru. Dan dari 54 (47.0%) suspek TB

paru dengan hasil positif pada pemeriksaan mikroskopis. Hal ini menunjukkan bahwa

ditemukannya BTA negatif pada pemeriksaan sputum secara mikroskopis mungkin

disebabkan karena belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada

awal sakit, atau terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara

pengambilan bahan yang tidak adekuat, cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,

dan pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin. Penelitian ini sejalan

dengan karya sriwidodo dalam bukunya cermin dunia kedokteran yang menyatakan

bahwa untuk mendapatkan hasil yang positif dibutuhkan sekurang-kurangnya 5000

batang/ml dahak dan kuman BTA baru dapat ditemukan dalam sputum setelah

bronkus terlibat dalam penyakitnya.

Disamping itu secara teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB karena

(13)

Mycobacterium atipik yang jarang sekali ditemukan dan dalam praktek BTA dianggap

identik dengan basil TB.

2. Hasil Pemeriksaan Foto Thoraks

Pemeriksaan foto toraks adalah sangat penting dan merupakan cara yang praktis

untuk menemukan lesi TB paru. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan dengan pemeriksaan sputum. Tetapi dalam beberapa hal ia memberikan

keuntungan seperti pada TB anak dan TB milier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 115 suspek TB paru yang menjalani

pemeriksaan foto toraks, yang menderita TB paru sebanyak 84 orang (73.0%) dan

selebihnya 31 orang (27.0%) terdiri dari berbagai macam kelainan non TB Paru.

Kelainan gambaran radiologis bukan TB paru yang paling banyak ditemukan adalah

cardia biasa sebanyak 10 orang (35.7%), menyusul bronchopneumonia 8 orang

(28.6%) dan bronchitis akut diurutan ketiga sebanyak 4 orang (14.3%). Dari

gambaran tersebut menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan foto thoraks lebih banyak

yang positif karena karena semua gambaran foto thoraks yang menunjukkan adanya

tanda-tanda dicurigai TB atau gambaran foto thoraks yang non spesifik maka

dianggap penyebabnya adalah TBC. Oleh karena itu hasil foto thoraks lebih banyak

menunjukkan hasil positif. Penelitian ini sesuai dengan Depkes RI 2009 yang

mengatakan bahwa tidak ada gambaran foto thoraks yang khas untuk TBC paru,

hanya ada beberapa gambaran yang patut dicurigai sebagai proses spesifik seperti

infiltrate, kavitas, kalsifikasi dan fibrosis. Selain itu adanya gambaran yang non

spesifik yang ditemukan pada foto thoraks penderita yang diduga infeksi paru lain dan

tidak menunjukkan perbaikan dengan antibiotic maka dianggap penyebabnya adalah

TBC. Dapat dikatakan bahwa diagnosa TB paru tidak bisa ditegakkan berdasarkan

(14)

foto thoraks peluang untuk terjadinya kesalahan dalam diagnosis TB paru relative

cukup besar.

3. Hubungan Hasil Pemeriksaan Sputum Mikroskopis Terhadap Foto Thoraks

Dalam Diagnosis Penyakit TB Paru

Hasil penelitian menunjukkan hubungan pemeriksaan sputum mikroskopis

terhadap foto thoraks bahwa dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47%) dengan

hasil positif pada pemeriksaan mikroskopis, dan dari 54 orang tersebut lebih banyak

ditemukan dengan hasil positif pada pemeriksaan foto thoraks yaitu sebanyak 51

orang (44.3%). Dari pemeriksaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

persentase pemeriksaan sputum BTA berbanding lurus dengan pemeriksaan foto

thoraks. Dalam hal ini, semakin banyak temuan hasil pemeriksaan mikroskopis yang

positif maka akan semakin banyak pula hasil positif pada pemeriksaan foto thoraks. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan foto thoraks sangat

diperlukan dalam menentukan diagnosa TB paru , tetapi diagnosis utama tetap

menggunakan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pemeriksaan sputum dan foto

thoraks merupakan jalinan yang sangat logis untuk dikerjakan pada seorang penderita

dengan gejala yang mencurigakan akan tuberculosis. Hal ini terbukti dari hasil

penelitian tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa pentingnya korelasi antara

pemeriksaan mikroskopis terhadap foto thoraks dalam mendiagnosis TB paru.

Penelitian ini sesuai dengan buku Depkes RI 2007 yang menjelaskan bahwa Pada

sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu,

(15)

 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru

BTA positif.

 Ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus seperti pneumothoraks, pleuritis eksudativa,

efusi perikarditis atau efusi pleura dan pasien yang mengalami hemoptisis berat

untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma.

4. Diagnosis TB Paru

Hasil penelitian menunjukkan kompilasi akhir diagnose TB paru dari semua

pemeriksaan diperoleh bahwa dari 115 suspek TB paru terdapat 54 orang (47,0%)

dinyatakan TB Paru BTA positif, 33 orang (28.7%) dinyatakan TB Paru BTA negatif

dan 28 orang (24.3%) dinyatakan tidak menderita TB paru. Dari 54 orang yang

menderita TB Paru BTA Positif, 51 orang adalah hasil dari sputum mikroskopis yang

positif dan pemeriksaan foto thoraks yang mendukung diagnose TB sedangkan dari

33 orang menderita TB Paru BTA Negatif menunjukkan hasil dari sputum

mikroskopis yang negatif dan pemeriksaan foto thoraks yang mendukung diagnosa

TB Paru.

5. Keterbatasan Penelitian

Kendala yang ditemukan dalam penelitian ini turut berperan dalam

memperoleh informasi secara lengkap. Kendala yang dimaksud adalah sistem

pencatatan dan penyimpanan dokumen yang tidak rapi pada bagian laboratorium

(16)

lagi, sehingga peneliti harus menelusuri lagi dari awal proses pencatatan status pasien

pada rekam medik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Yoga Tjandra aditama. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006

2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke 2 cetakan

pertama. Jakarta. 2009

3. Anonym. Penyakit TBC. [cited 01 desember 2010]. Available From : URL :

http://www.medicastore.com

4. Ahmadi, Umar Fahmi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta :

Penerbit Buku Kompas. 2005

5. Danusanto, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta. 2000

6. Bingkusnan, dr. Diagnosis dan Pengobatan TBC Paru. Dalam : sriwidodo,

editor. Cermin Dunia Kedokteran. Semarang : UPF Penyakit Dalam FK

Universitas Diponegoro, RS.dr.kariadi. 1990

7. Yunus. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006

8. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang

Pedoman Penanggulangan TB Menteri Kesehatan RI

9. Mardisantoso. Pola Penyakit TB Pada Pasien Rawat Inap di RSUD Koja Periode

Juli 2000- Juli 2005. Jakarta : FK Universitas Kristen Krida Wacana. 2005. 10. Amin zulkifli, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam : Aru w sudoyo, editor.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FK

Universitas Indonesia. 2006

11. Anonym. Diagnosis Tuberkulosis paru. [cited 01 desember 2010]. Available

From : URL : http://www.ilmusehat.com

12. Nawas, Arifin. Diagnosis Tuberkulosis. Jakarta : UPF Paru bagian Pulmonologi

FK UI. 2009

13. Anonym. Diagnosis Tuberkulosis. [cited 01 desember 2010]. Available From :

(17)

14. Price, Sylvia A. Standridge, Mary P. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Price,

Sylvia A. Wilson, Lorraine. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

15. Yinski, Theresia. Tuberkulosis-Diagnosis dan Terapi. [cited 29 November 2010].

Available From : URL : http://www.indomedia.com

16. Hilaluddin Sembiring. Hubungan Pemeriksaan Dahak Dengan Kelainan

Radiologis Pada Penderita TBC Paru dewasa. Sumatera Utara : FK Universitas

Sumatera Utara. 2005

17. Anonym. TBC Menyerang Kaum Wanita. [cited 01 desember 2010]. Available

From : URL : http://www.infokesehatan.com

18. Chinnok, Paul. Mengapa Laki-laki Lebih Mungkin Di Diagnosis Dengan TB.

Plos Medicine. 2010

19. Sorra Cecille. Riset Operasi Untuk Menilai Ketidaksetaraan Gender Akses

Terhadap Layanan TB Untuk Wanita. Filipina. 2008

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

Tabel 2

Distribusi Responden Berdasarkan Usia di

BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010 Jenis kelamin Frekuensi persentase

Laki-laki 59 51,3

Perempuan 56 48,7

(18)

Tabel 3

Distribusi Responden Berdasarkan pekerjaan di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

(19)

Total 115 100 Tabel 4

Distribusi Responden Menurut Hasil Pemeriksaan Sputum Mikroskopis di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

Distribusi Responden Menurut Hasil Pemeriksaan Foto Thoraks di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

No Foto Thoraks Frekuensi persentase

1 Positif 84 73

2 Negatif 31 27.0

Total 115 100,0

Tabel 6

Hasil pemeriksaan sputum mikroskopis terhadap foto thoraks Di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

(20)

Distribusi Responden Menurut Diagnosis Akhir TB Paru di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

No Diagnosis Akhir Frekuensi Persentase

1 TB Paru BTA Positif 54 47,0

2 TB Paru BTA Negatif 33 28.7

3 Negatif 28 24.3

Total 115 100,0

Tabel 8

Distribusi Responden Penderita Non TB Paru

di BBKPM Makassar periode Januari 2010 -September 2010

No Diagnosis Frekuensi Persentase

1 Bronchitis akut 4 14,3

2 Bronchitis spesifik 3 10,7

3 Bronkopneumonia 8 28,6

4 Obsevasi nodul 1 3,6

5 Bronchiektasis 2 7,1

6 Cardia biasa 10 35,7

Gambar

Tabel 2Distribusi Responden Berdasarkan Usia di
Tabel 3
Tabel 7
Tabel 8Distribusi Responden Penderita Non TB Paru

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun

Sehingga hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat keikutsertaan ber-KB (H1), norma subjektif

Metode pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen dan metode studi pustaka ( library research ). Analisis data

pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan Oktober. ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang

Light massage dapat diterapkan sebagai terapi komplementer pada penderita hipertensi primer untuk pengendalian tekanan darah. Effects of Swedish massage onblood

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

The cultural dimension of science is helpful to put science in a broader context of human knowledge. Meaning is deeply rooted in metaphysical realms: the worldview of

Murizal, Yarman dan Yerizon (2012) memaparkan bahwa indikator pemahaman konsep matematika menurut NCTM dapat dilihat dari kemampuan peserta didik yaitu mampu :