Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh :
Asep Dadan NIM : 106044101364
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
OLEH :
Asep Dadan NIM : 106044101364
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH
NIP:197210161998031004 NIP: 197252001121003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
OLEH :
Asep Dadan NIM : 106044101364
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH
NIP:197210161998031004 NIP: 197407252001121003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
OLEH :
Asep Dadan NIM : 106044101364
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH
NIP:197210161998031004 NIP: 197202241998031003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
iii
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1(satu) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 14 Desember 2010
iv
Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah, ma’unah serta
barokah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kepada
Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon
ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan
kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan Pencipta hukum yang tiada hukum
paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya. Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran
ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang disampaikan para Rasul, manusia pilihan
yang diutus-Nya.
Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang
yang mengikuti ajaran beliau hingga hari akhir. Dialah Nabi utusan Allah yang
terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia
dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling
taat akan perintah-perintah Allah, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha
Allah agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw. di surga merupakan
cita-cita para hamba-Nya.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan
dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan
tawakkal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik
v
untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh
orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang
kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.
Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak
pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa
bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi dan
Kamarusdiana, S.Ag., MH., sebagai Sekretaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang
diperlukan untuk penelitian ini.
5. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Naringgul Kabupaten
Cianjur dan jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam
memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
6. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum,
terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. seluruh Staf Akademik,
Jurusan, Kasubag. Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas
bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik
berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa
untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan.
8. Seluruh keluarga besarku, adik-adikku yang senantiasa memberi
dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam menempuh
studi di kampus tercinta ini.
9. Sahabat-sahabatku tercinta, teman-teman seperjuangan Peradilan
Agama Arud Badruddin, Eko Pratama, Abdul khoir, Maulana hamzah,
Firman, Anih Rabani, Lulu, Anis, Fitri dan semuanya yang tidak
mungkin dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang senantiasa
vii silaturahmi.
Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia
akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih
apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang
membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.
Akrinya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yang telah
kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat
membantu kita di yaumil akhir .
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 14 Desember 2010
viii
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan masalah dan pembatasan masalah ... 9
C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 10
D. Metode penelitian ... 11
E. Sistematika penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERKAWINAN DAN ISTERI HAMIL ZINA A. Dasar hukum dan tujuan perkawinan ... 16
B. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga ... 29
C. Zina dan status anak dalam keluarga ... 36
ix
Cianjur ... 52
D. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Responden ... 52
BAB IV PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN POSITIF TERHADAP KEHAMILAN ISTERI KARENA MENJADI TENAGA KERJA WANITA A. Faktor-faktor penyebab kehamilan TKW ... 55
B. Sikap dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya ... 59
C. Alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina ... 62
D. Tinjauan hukum terhadap isteri Yang hamil zina, sikap dan tindakan suami terhadap isteri dan anak zinanya ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72
B. Saran-Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
Pada masyarakat Jahiliah, wanita dipandang sebagai barang mainan, apabila
hatinya sudah puas mempermainkan, maka dia diperlakukan sekehendak hatinya,
sebagaimana dalam pribahasa “habis manis sepah di buang”. Begitulah nasib wanita
pada masa Jahiliah, yang dikenal dengan masa kebodohan karena cahaya Islam belum
memancar pada waktu itu.1
Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk hamba-Nya
melalui pelantara Nabi Muhammad saw. yang lengkap berisi petunjuk dan pelajaran
untuk pegangan hidup agar bahagia dunia dan akhirat. Agama Islam tidak
menghinakan kaum wanita, sebagaimana pada masa Jahiliah, tidak pula memanjakan
wanita dan tidak pula mempersamakan pria dan wanita, akan tetapi agama Islam
menghormati kaum wanita dan mengangkat kepada derajat yang lebih tinggi.2
Dalam ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Islam sejauh yang
mengenai kewanitaan, tampak jelas betapa agama Islam telah mengangkat derajat
kaum wanita dengan menyamakannya terhadap kaum pria dalam segala bidang
kecuali dalam bidang khusus bagi masing-masing sesuai dengan sifat kudratinya.
1
Hidayah Salim, Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1993), h.1
2
Faedah terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah, sebab seorang perempuan jika sudah menikah maka
nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berfungsi sebagi
pemelihara kelangsungan anak cucu (keturunan), sebab jika tidak dengan jalan nikah
siapa yang akan bertanggung jawab atas diri anaknya. Pernikahan juga dipandang
sebagai kemaslahatan umum, sebab jika tidak ada pernikahan tentu manusia akan
menuruti sifat binatang, dan dengan sifat tersebut akan menimbulkan bencana,
permusuhan dan lain sebagainya.
Pandangan yang liar adalah langkah awal dari keinginan untuk berbuat zina,
godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan beragam, suatu
kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Hal ini akan
menggiring manusia ke jalan yang sesat, apalagi di zaman yang fasilitas kemaksiatan
begitu mudah dan bertebaran, seolah-olah memanggil untuk memulai bergelimangan
dosa.3
Dalam hal ini Islam sudah lebih dulu memperingatkan dan menetapkan
hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan zina, juga menetapkan anak yang
dilahirkannya. Menurut Masfuk Juhdi, anak zina harus diperlakukan secara
manusiawi, diberei pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk
bekal hidupnya di masyarakat nanti yang bertanggung jawab untuk dicukupi
kebutuhan hidupnya materil dan spirituil adalah terutama ibunya yang
3
melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan
nasab dan perdata dengan ibunya saja.4
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoranng pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Apabila akad sudah sah dan berlaku, maka ada beberapa akibat hukum yang
harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Yaitu, hak isteri atas suaminya, hak
suami atas isterinya, hak bersama antara suami dan isteri. Apabila suami dan isteri
melaksanakan kewajibannya dengan bijaksana, ikhlas, sebagai teman hidup,
masing-masing merasa bertanggung jawab atas kewajibannya, maka suami isteri itu akan
mendapat kebahagiaan yang sempurna, Insya Allah keduanya akan hidup dalam
keridhoan Allah.
Syarat mutlak yang pertama untuk mendirikan gedung perkawinan yang
kokoh dan kuat ialah usaha bersama, saling membantu dari kedua belah pihak, baik
suami maupun isteri hendaklah bersama-sama menyadari bahwa usaha bersama yang
menjadi sendi kehidupan berumah tangga itu tidak akan ada jika masing-masing
hanya kenal akan dirinya sendiri dengan kata lain mementingkan kesenangannya
sendiri. Dalam setiap perkawinan yang tentram dan damai, harus ada sikap memberi
dan menerima (take and give) antara suami isteri yang bersangkutan.
4
Perkawinan bukanlah perjalanan kesenangan semata. Di dalam perkawinan
terdapat hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dipenuhi. Itulah
sebabnya, untuk memasuki kehidupan berumah tangga, selain dari perlengkapan lahir
yang harus disediakan, diperlukan pula persiapan rohani berupa jiwa yang cukup
matang dan dewasa untuk memikul tanggung jawab selaras dengan kewajiban
masing-masing.
Rumah tangga dapat dianalogikan sebagai sebuah negara kecil yang
didalamnya harus ada pembagian kerja yang teratur agar segala sesuatunya dapat
berjalan dengan lancar dan rapi. Jika kita mengambil perumpamaan pembagian kerja
antara suami dan isteri di dalam sebuah rumah tangga dengan sebutan yang lazim
dipakai dalam negara yang sebenarnya, dapatlah dikatakan bahwa isteri memegang
portefeuille urusan (dalam negeri), pendidikan dan pengajaran, perburuhan dan sosial.
Dalam hal ini, selain menjadi perdana menteri rumah tangga, suami memegang
urusan luar negeri, pertahanan, pengamanan perekonomian dan pekerjaan umum.
Atas dasar pembagian kerja inilah diletakkan pertanggung jawaban
masing-masing sehingga semua bagian merpukan kesatuan mesin yang berjalan sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suami adalah kepala bagi
keluarga, sedangkan isteri laksana jantung bagi keluarga.5
Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, faktor ekonomi tidak bisa
diabaikan begitu saja, karena merupakan kebutuhan sehari-hari. Suatu keluarga jika
5
H.S.M Nasrudin Latif, Ilmu Perkawinan (Problematika Seputar Keluarga Dan Rumah Tangga), Pustaka Hidayah, Bandung 2001.
tidak memiliki fungsi ekonomi akan goyah, karena bagaimanapun ekonomi adalah
penunjang secara materil bagi tegaknya rumah tangga. Hal ini diuraikan dalam pasal
80 ayat4 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yaitu:6
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung;
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya perawatan bagi isteri dan
anak;
c. Biaya pendidikan anak.
Kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi apabila suami mempunyai
pendapatan, dan pendapatan itu akan terwujud jika mempunyai pekerjaan karena
suami adalah pemimpin keluarga, maka suami wajib memenuhi dari segala apa yang
dibutuhkan dalam rumah tangga.
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa salah satu kewajiban suami
adalah memberikan nafkah dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perkawinan juga dapat
membentuk figur kepemimpinan yang baik bagi seorang laki-laki, yang pada
gilirannya dapat dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya.
Namun ketika adanya trend tentang Tenaga Kerja Wanita dapat menimbulkan
masalah dalam keluarga yang menyangkut antara hak dan kewajiban suami-isteri.
Bagi sebagian ibu rumah tangga di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten
Cianjur ketika masalah ekonomi terasa tidak tercukupi, maka menjadi Tenaga Kerja
6
Wanita menjadi pilihan alternatif, walaupun dengan resiko yang cukup berat yaitu
harus menanggung atau memenuhi kebutuhan keluarga selama ada di luar negeri.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa di Desa Mekarsari
seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama antara suami dan isteri, bahwa
setiap ibu rumah tangga yang memilih menjadi TKW itu berarti harus menanggung
kebutuhan keluarga selama berada di luar negeri.
Pada dasarnya dalam kehidupan berumah tangga, antara suami dan isteri
mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama. Hal ini sebagaimana teretuang
dalam KHI yaitu:
a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
b. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin.
c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasan dan pendidikan agamanya.
d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Nafkah sering kali menimbulkan problem dalam kehidupan berumah tangga
bahkan tidak terpenuhinya nafkah, maka tidak sedikit pihak isteri mencari jalan
keluar, salah satunya dengan cara menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagai
pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Pengiriman Tenaga Kerja Wanita akhir-akhir
ini semakin marak dan mayoritas mereka berasal dari berbagai pelosok pedesaan.
Akibat dari keputusan nekadnya itu mereka akhirnya mencapai apa yang
dicita-citakannya dengan nasib yang berbeda-beda.
Desa Mekarsari Kec. Naringgul Kab. Cianjur, merupakan salah satu daerah
yang terpengaruhi dengan maraknya pemberangkatan Tenaga Kerja Wanita ke Arab
Saudi dengan tujuan ingin meningkatkan tarap kehidupan ekonomi yang lebih baik
dari sebelumnya.
Berikut ini jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari tahun 2001-2006:
Tabel I7
No Tahun Jumlah TKW Negara tujuan Keterangan
1 2001 61 orang Arab saudi
Maka menurut data di atas, setiap tahun, dari tahun 2001 s/d awal April 2006
rata-rata penduduk yang menjadi TKW adalah sebanyak 41 orang. Walaupun dalam
tabel menunjukkan jumlah yang menurun dari tahun ke tahun, akan tetapi ada
kemungkinan adanya TKW yang berangkat ke luar negeri namun tidak terdata atau
tidak mau didata. Sebagian TKW tersebut sudah berkeluarga, artinya mempunyai
tanggung jawab terhadap anak dan suaminya.
Dari beberapa TKW sebagaimana dalam tabel di atas, terdapat tiga TKW
ketika mereka kembali dari Arab Saudi sudah dalam keadaan hamil. Seperti halnya
yang dialami oleh tiga pasangan keluarga yang isterinya pulang dalam keadaan hamil,
di antara mereka sempat terjadi percekcokan tapi tidak sampai ketingkat perceraian.
Bahkan sampai sekarang mereka masih tetap sebagai pasangan suami isteri yang
hidup rukun dan suami menerima anak dari isterinya yang hamil ketika pulang dari
Arab Saudi dengan lapang.
Peristiwa di atas telah menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Desa Mekarsari Kecamatan
Naringgul Kabupaten Cianjur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya TKW
yang berangkat ke Arab Saudi, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya
pada penyebab diterimanya anak hasil zina TKW oleh suaminya.
Sehubungan dengan banyaknya kasus TKW yang hamil akibat zina, maka
dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada
argumentasi dan pandangan suami terhadap penerimaan anak hasil zina isterinya.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari skripsi ini adalah:
Menurut teori,dalam pasal 99 di sebutkan bahwa:
Anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut.
Anak dianggap sah apabila lahir dari perkawinan yang sah. Kenyataannya di
Desa Mekarsari anak anak yang lahir dari perkawinan tidak sah dapat diakui sah
Rumusan tersebut penulis rinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika menjadi
TKW serta anak yang di lahirkannya?
2. Bagaimana persfektif hukum Islam dan positif tentang status anak zina
karena isteri hamil ketika menjadi TKW?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitin ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika
menjadi TKW serta anak yang di lahirkannya.
2. Untuk mengkaji persfektif hukum tentang status anak zina karena isteri
hamil ketika menjadi TKW?
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
a. secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan khazanah
keilmuan dalam bidang hokum keluarga islam, khususnya yang
berkaitan dengan status anak hasil zina Tenaga Kerja Wanita.
b. Secara empiris diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang ingin mengetahui status anak zina TKW, baik kalangan
Akademisi, Mahasiswa, Institusi, Ulama, bahkan mayrakat pada
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kualitatif. Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu”
atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam
wilayah-wilayah konsep mutu.8 yaitu dengan melakukan analisa terhadap kultur
masyarakat Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dan alasan
mereka menerima anak hasil zina. Kemudian menghubungkannya dengan masalah
yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan
sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data primer
Sumber data primer yaitu merupakan data yang diperoleh dari tiga pasangan
keluarga TKW, yaitu:
1. Pasangan Sarman dan Nia (nama disamarkan)
2. Pasangan Awo dan Ade (nama disamarkan)
3. Pasangan Arjun dan Anah (nama disamarkan)
Mereka berdomisili di Desa Mekarsari Kecamatan Naringul Kabupaten
Cianjur.
8
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku
ilmiah, Undang-Undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta
peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, maka penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda,
dan sebagainya.9
b. Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara10. Dalam hal
ini adalah wawancara dengan warga desa mekarsari khususnya keluarga yang
mempunyai hubungan dengan para pelaku.
9
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h.206
10
c. Observasi
Observasi yang dimaksud adalah observasi langsung terhadap tiga
keluarga yang diteliti dan melihat dari dekat permasalahan yang dialami oleh
keluarganya yang ada di desa Mekarsari, penulis dapat memperoleh data awal
untuk menyiapkan proposal penelitian ini kemudian dijadikan kerangka awal
bagi penelitian berikutnya.
4. Teknik Analisis Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat
mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.11
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan kasus
penerimaan anak hasil zina TKW oleh suaminya sehingga di dapat suatu kesimpulan
yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan
penulis dalam penelitian ini.
11
5. Pedoman Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi
tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:
a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama
b. Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari
enam baris.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika yang digunakan untuk memahami alur pemikiran dan pembahasan dari
setiap permasalahan yang ada menjadi beberapa bab dan kemudian diperinci ke dalam
beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini selengkapnya adalah
sebagai berikut:
1. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan secara umum tentang
latar belakang, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
2. Bab kedua berisi tinjauan tinjauan pustaka tentnag perkawinan dan isteri hamil
zina yang meliputi dasar hukum dan tujuan perkawinan, hak dan kewajiban
dalam rumah tangga, dan zina dan status anak dalam keluarga.
3. Bab ketiga berisi profil Masyarakat Desa Mekarsari, kondisi sosial, ekonomi
dan pendidikan masyarakat Desa Mekarsari, profil responden dan kondisi sosial,
4. Bab keempat mengenai tindakan suami terhadap kehamilan isteri karena
menjadi TKW. bab ini meliputi faktor-faktor penyebab kehamilan TKW, sikap
dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya,
alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina, tinjauan
hukum terhadap isteri hamil karena menjadi TKW dan sikap serta tindakan
suami terhadap anak dan isterinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERNIKAHAN DAN ISTERI HAMIL ZINA
A. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan 1. Dasar Hukum Pernikahan
Hukum pernikahan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat
penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang pernikahan ini diatur dan
diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum pernikahan Islam pada dasarnya
tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan pernikahan saja tetapi juga mengatur
segala persoalan yang erat hubunannya dengan pernikahan. Namun dengan melihat
pada sifatnya sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan
bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata muabah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan
telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan antara laki-laki dan
perempuan jadi muabah.12
Adapun pentingnya pernikahan bagi kehidupan manusia, khususnya bagi
orang Islam adalah sebagai berikut:
a. Dengan melakukan pernikahan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup
manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita
secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
12
makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
b. Dengan melaksanakan pernikahan dapat terbentuk suatu rumah tangga
dimana dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram
serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami-isteri.
c. Dengan melaksanakan pernikahan yang sah, dapat diharapkan memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam
keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.
d. Dengan terjadinya pernikahan maka timbullah sebuah keluarga yang
merupakan inti daripada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan
timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam
suasana damai.
e. Melaksanakan pemenikahan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam Al-Qur'an dan Sunah Rasul, adalah merupakan salah
satu ibadah bagi orang Islam.
Di negara-negara muslim ketika merumuskan undang- undang perkawian
melengkapi definisinya dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perkawinan itu. Di indonesia sendiri dirumuskaN DALAM pasal I
undamg-undang perkawinan no.1 tahun 1974.13
Selain yang dijelaskan diatas, dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip
dalam pernikahan, yaitu:
13
a. Harus ada persetujuan sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan
pernikahan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk
mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan
pernikahan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria sebab ada ketentuan
larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus
diindahkan.
c. Pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang
berhubungan dengan pelaksanan pernikahan itu sendiri.
d. Pernikahan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah
tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah tangga,
dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.14
Pernikahan merupakan perbuatan yang suci (sakramen), yaitu suatu ikatan
antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa. Agar
kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan
baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi pernikahan itu sendiri adalah
suatu 'perikatan jasmani dan rohani' yang membawa akibat hukum terhadap agama
14
yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.15
Ada beberapa ayat al- Qur'an dan hadis Rasulullah Saw, yang menjadi dasar
hukum untuk melakukan pernikahan.
Diantaranya adalah surat an-Nisa ayat 1
Artinya: “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan diciptakannya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa:4:1).
Ada beberapa pendapat mengenai kedudukan hukum pernikahan, segolongan
ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan adalah mandub (sunah). Ulama
Dzahiriah berpendapat bahwa menikah hukumnya wajib sedangkan golongan
Malikiyah berpendapat bahwa hukum menikah bagi sebagian orang adalah wajib
tetapi bagi sebagian lainnya adalah sunah dan mubah (boleh). Hal tersebut, menurut
mereka disesuaikan dengan kekhawatiran seseorang untuk berbuat zina.16
Penyebab perbedaan pendapat diantara mereka ialah apakah shighat amr
15
Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandarmaju, 2003) h.10
16
(bentuk kalimat perintah) menikah pada firman Allah SWT.
Artinya: “...maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat...” (Q.S. Al- Nisa/4: 3)
Selain itu, yang menjadi dasar perbedaan pedapat di kalangan ulama adalah
sighat amr pada sabda Nabi Saw.
Artinya: “Dari Mas’ud bin Zadan dari Muawiyah bin Qurrah dari Muaqqil bin
Yassar berkata: rasulullah SAW bersabda: Nikahilah wanita yang banyak
anak (subur) dan penuh kasih sayang, karena aku merasa bangga atas
banyaknya kaliani pada hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad yang dinilai shahih
oleh Ibnu Hibban)
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pemikahan itu wajib bagi sebagian
orang, sunnat dan mubah untuk yang lainnya, maka pendapat ini di dasarkan atas
pertimbangan kemaslahatan. Seperti yang disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas
17 Abu Daud, Sunan Abu Daud(babunnahri „an tazwiji man lam yalid minannisaa’i), (Bairut:
yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas
tersebat, tetapi mazhab Maliki berpegang pada qiyas tersebut.
Ulama Syafi'iyah yang mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah,
disamping ada yang sunat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia umumnya
masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah.
Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi'iyah.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mazhab, berdasarkan nash-nash, baik
al-Qur'an maupun al-Sunah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu
untuk melangsungkan pernikahan. Namun demikian, apabila dilihat dari kondisi
orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakanya, maka pernikahan itu dapat
dihukumi wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.
1. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menikah
dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina jika tidak menikah, maka
hukum melakuan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat
yang dilarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan
menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib sesuai
Artinya: "Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya kecuali dengan
adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula" 18
Kaidah lain mengatakan:
Artinya “Hukum wasilah/sarana adalah sama dengan hukum tujuan”19
Hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana
sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.
2. Melakukan pernikahan yang hukumnya sunnat.
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, akan tetapi tidak dikhawatirkan akan berbuat zina
apabila dia tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut
adalah sunnat.
3. Melakukan pernikahan yang hukumnya haram.
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam
18
A. Djazuli, Kaidah- Kaidah Fiqih, (Jakarta: kencana, 2007) h. 32
19
rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya
dan isterinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram.
al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan
mendatangkan kerusakan:
Artinya “...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan...” (Q.S. Al-Baqarah/2: 195)
Termasuk haram melakukan pernikahan apabila seseorang menikah dengan
tujuan untuk menelantarkan orang lain karena dia tidak rela orang tersebut menikah
dengan orang lain.
4. Melakukan pernikahan yang hukumnya makruh.
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah dan memiliki
kemampuan untuk menahan diri dari kemungkinan berbuat zina apabila tidak
menikah akan tetapi orang tersebut tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk
dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.
5. Melakukan pernikahan hukumnya yang mubah.
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan nikah, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga di
tunjukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu
sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang melakukan menikah, seperti
mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai
kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.20
2. Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan pada umumnya tergantung pada masing-masing individu
yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian juga ada
tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan
pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahtraan lahir batin dunia
dan akhirat.
Selain itu, tujuan pernikahan adalah untuk menegakkan agama Allah dalam
arti mentaati perintah dan larangan Allah, juga untuk mendapat keturunan yang sah,
dan untuk mencegah maksiat, yang terjadinya perzinaan dan pelacuran. Sebagaimana
dalam hadis Nabi:
20
Artinya “Dari Abdullah bin Mas'ud. Sesungguhnya Rasulallah SAW. Bersabda kepadaku, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nqfkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pemikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj. Barang siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karenapuasa merupakan benteng baginya. " (Muttafaq alaih).
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota
keluarga.22
Dari penjelasan di atas, maka tujuan pernikahan itu dapat dikembangkan
menjadi lima yaitu:
1. Mendapat dan melangsungkan keturuan.
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa naluri manusia mempunyai
21
Abi al-Husain Muslim, Sahih Muslim, (Istihbabi an-Nikah), (Bairut: Dar el- Kutub 2003)h.519.
22
kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah, dan keabsahanya diakui oleh
dirinya, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberi jalan
untuk itu. Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan
akhirat.
al- Qur'an juga menganjurkan agar manusia selalu berdo'a agar dianugerahi
anak yang menjadi mutiara dari isterinya, sebagaimana tercantum dalam surat al-
Furqan ayat 74:
Artinya “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenag hati(kami)”
(Q.S. al- Furqan: 74)
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai
pembantu dalam hidup di dunia. Bahkan anak akan memberi tambahan amal
kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang saleh,
sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah:
23
Artinya: "Dari Abu Hurairah RA berkata: Nabi salallahu alahi wasallam bersabda: Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang selalu mendo'akannya” (HR.Muslim dari Abu Hurairah).
Untuk memperoleh keturunan yang sah merupakan tujuan yang pokok dari
pernikahan itu sendiri. Memperoleh anak dalam pernikahan bagi penghidupan
manusia mengandung dua kepentingan, yaitu; kepentingan untuk diri pribadi dan
kepentingan yang bersifat umum. Setiap orang melaksanakan pernikahan tentu
mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan/anak. Bisa dirasakan bagaimana
perasaan suami isteri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu
kehidupannya terasa sepi dan hampa.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan rasa kasih sayang diantara mereka.
Sudah menjadi fitrah, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan
mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana dalam
al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 187 yang menyatakan:
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. al- Baqarah: 187)
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
merupakan jalan terbaik untuk menyalurkan hasrat saksual tersebut. Pernikahan dapat
mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal.
Suami isteri yang pernikahannya didasarkan pada pengamalan agama, jerih
payah dalam usahanya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang
dibina dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, melalui rumah
tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha
mencari harta yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan
bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk
melalui pernikahan, dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan
ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman yaitu untuk mencapai kebahagiaan.
Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman
anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan ketentraman keluarga
tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami isteri dalam satu
dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan pernikahan antara suami isteri dalam membentuk ketenangan dan
ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.24
B. Hak danKewajiban Suami Isteri Dalam Keluarga
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya,
maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian akan menimbulkan pula
hak dankewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga.
Menurut hukum Islam suami dan isteri dalam membina keluarga/rumah
tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma'ruf), maka kewajiban utama suami
dalam keluarga/rumah tangga adalah berbuat sebaik mungkin kepada isteri.
Pengertian berbuat yang ma'ruf ialah saling cinta mencintai dan hormat
menghormati, saling setia dan saling bantu membantu antara yang satu dan yang
lainnya.25
1. Pengertian Keluarga
Terdapat beragam istilah yang bisa dipergunakan untuk menyebut "keluarga".
Keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak atau seisi rumah, bisa juga disebut batih yaitu
seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti kaum, yaitu sanak
24
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakkarta: Kencana, 2003),h.30.
25
saudara dan kaum kerabat.
Pengertian ini mengacu pada aspek antropologis, yaitu manusia dalam
lingkungan keluarga. Istilah keluarga berbeda dengan rumah tangga. Rumah tangga
berarti sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah, seperti
belanja dan sebagainya. Oleh karena itu rumah tangga bersifat meterial dan
ekonomis.
Namun demikian istilah rumah tangga juga dapat disamakan artinya dengan
keluarga. Arti dari rumah tangga adalah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada
suatu keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang
belum menikah atau memisahkan diri.26
Keluarga adalah kelompok primer yang paling dasar yang merupakan
gabungan individu yang alamiah. Definisi lain dari keluarga adalah suatu kelompok
yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, pernikahan atau
adopsi serta tinggal bersama.
Salah satu prinsip moral paling penting menurut pandangan Islam, adalah
pernikahan dan pembentukan keluarga. Nabi Muhammad Saw. memandang keluarga
sebagai sebuah struktur tak tertandingi dalam masyarakat. Beliau sendiri memberikan
teladan mulia dalam hal ini dengan menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk
melakukan pernikahan serta melestarikan tradisi agung pernikahan.
Pernikahan mempersiapkan sepasang suami isteri bergerak menuju
26
kesempurnaan moral dan mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Ini pada
gilirannya mengakibatkan timbulnya kesejahteraan masyarakat.27
Lembaga keluarga dan pernikahan adalah diantara kondisi-kondisi dan bekal
yang menyiapkan sarana untuk tumbuh dan lahirnya berbagai kemampuan manusia
yang hebat. Umpamanya dalam Islam, apabila seorang pria dan seorang wanita
berkenalan lewat pernikahan dan membentuk sebuah bagian kecil dan murni dari
masyarakat yang disebut keluarga, mereka mengalami beberapa perkembangan baru
dan berhadapan dengan tugas-tugas keagamaan tertentu dan juga baru bagi mereka.
Meningkatkan hubungan, memperkuat rasa kasih sayang, meningkatkan rasa
tanggung jawab dan pengelolaan, kesabaran, ketenangan, kesehatan spiritual,
reproduksi, pengorbanan dan sebagainya, semuanya itu adalah bagian dari cerminan
dan indikator pernikahan yang berhasil.
Atas dasar ini, para ulama dan terutama sekali Al-Qur'an Suci, menganjurkan
pernikahan. Dalam hal ini Al-Qur'an surat An-Nuur ayat 32 menyatakan:
Artinya: “Dan menikahkanlah orang yang sendiri di antaramu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu laki-laki atau perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) serta maha mengetahui. (QS. al- Nuur: 32).
27
Dalam ayat ini, di samping penegasan langsung mengenai pentingnya
pernikahan bagi individu, masyarakat dan agama, pengabaian pernikahan lantaran
alasan kemiskinan dan ketidakmampuan pun ditolak. Pernikahan menjanjikan
kebaikan dan rahmat dalam kehidupan. Dalam ayat lain, pernikahan dan pasangan
suami-isteri diketahui sebagai sebab timbulnnya kemudahan dan ketenanngan.
Karena itu, secara alami, sikap tidak mau mengikuti ajaran al- Qur'an ini akan
menyebabkan kesengsaraan serta gangguan jiwa dan raga.
Islam menegaskan bahwa kesejahteraan keluarga menjamin kesejahteraan
masyarakat. Inilah sebabnya, Islam berulang kali menganjurkan pembentukan
keluarga dan melestarikan kehidupan bersama yang bahagia oleh suami-isteri
bersama anak-anak mereka. Pasangan suami isteri ini, setelah pernikahan, meletakkan
pondasi bagi sebuah bangunan baru sebuah lembaga yang lebih unggul ketimbang
lembaga-lembaga dan bangunan-bangunan lain. Masyarakat yang suci itulah tempat
mendidik secara benar anak-anak masa kini yang kelak akan menjadi orang-orang
besar di masa depan.28
Setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota yang ada didalamnya memiliki
tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan
keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan yang
harus dilakukan didalam atau diluar keluarga.
Fungsi di sini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada
28
akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangatlah
penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan
harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak
berfungsinya salah satu fungsi keluarga.
2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Sebagaimana kita ketahui, pernikahan adalah perjanjian hidup bersama antara
dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh kehidupan rumah tangga.
Semenjak mengadakan perjanjian melalui akad kedua belah pihak telah terikat dan
sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak, yang tidak mereka miliki
sebelumnya.
Pada masa Jahiliyah, hak-hak wanita hampir tidak ada dan yang tampak
hanyalah kewajiban. Hal ini karena status wanita dianggap sangat rendah dan bahkan
hampir dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna.29
Jika suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya
masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehinga
sempurnalah kebahagian hidup rumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuia dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah
warahmah.
a. Hak Bersama Suami Isteri
Dengan adanya akad nikah, maka anatara suami dan isteri mempunyai hak
29
dan tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai berikut:
1) Suami dan isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual.
Perbuatan ini merupakan kebutuhan antara suami isteri yang dihalalkan
secara timbal balik. Bagi suami halal melakukan apa saja terhadap isterinya,
demikian pula bagi isteri terhadap suaminya. Mengadakan kenikmatan
hubungan merupakan hak suami isteri yang dilakukan secara bersama.
2) Haram melakukan pernikhan, artinya baik suami maupun isteri tidak boleh
melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
3) Dengan adanya ikatan pernikahan,maka kedua belah pihak saling mewarisi
apabila salali seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun belum
bersetubuh.
4) Anak mempunyai nasab yang jelas bagi suami.
5) Kedua belah pihak wajib bertingkahlaku yang baik, sehingga dapat
melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup dala berrumah tangga.30
b. Kewajiban bersama suami isteri
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian umum pasal 77 disebutkan
bahwa Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddahdan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Kewajiban pokok suami isteri adalah menciptakan dan membentuk rumah
tangga yang bahagia, dimana dalam rumah tangga itu terasa ketenangan, ketentraman,
30
hidup rukun, damai, serta cukup makan pakaian dan keadaan suasana dalam rumah
itu sehat sehingga menimbulkan kebetahan, isi rumah sebab teratur rapi, sehingga.
bena-benar rumah itu merupakan tempat tinggal yang menyenangkan, tempat
beristirahat yang harmonis.
Dan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:
Artinya: “Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggalmu”
Perlu diketahui bahwa untuk mencapai rumah tangga bahagia itu tentu
membutuhkan persyaratan-persyaratan diantaranya:
1) Mengetahui dan menyadari kewajiban dan kedudukan masing-masing
suami isteri.
2) Saling mempercayai dan menghormati, tidak mudah terpancing emosi
(terburu nafsu), tidak mudah cemburu dan sebagainya.
3) Bermusyawarah dalam menghadapi masalah yang dihadapi dengan penuh
pengertian.
4) Bersabar dan rela atas kekurangan dan kelemahan masing-masing.
5) Saling menyayangi dan mencintai.
6) Menghormati keluarga kedua belah pihak.
8) Toleransi dan menjaga kerukunan dengan tetangga dalam hidup
bermasyarakat.
9) Menjaga rahasia keluarga terhadap orang lain. Hal tersebut sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw.:
Artinya: "Dari Amar bin Hamzah berkata: sesungguhnya rasulullah SAW bersabda: Sesunggunya manusia yang paling jelek kedudukannya disisi Allah nanti pada hari kiamat, yaitu laki-laki yang menjima' isterinya dan isterinya pun menjima' laki-laki itu, kemudian salah seorangnya menyebarkan rahasia temannya." (HR. Muslim dan Bukhari).
c. Hak dan kewajiban suami terhadap isteri.
1) Hak suami atas isteri
Diantara beberapa hak suami terhadapa isterinya yang paling pokok adalah:
a. Taat dalam perkara yang bukan maksiat.
b. Isteri dapat menjaga kehormatan dirinya dan harta suami.
c. Menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
d. Selalu bersikap menyenangkan dihadapan suami
31
Al- Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sahih Bukhari(bab tahrim
Penjelasan di atas sesuai dengan hadis Nabi saw.
Artinya: "Dari abi abbas sesungguhnya rasullullah SAW bersabda: Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya." (HR. Abu Daud dan Turmudzi dan Ibn Majah dan Ibn Hibban).
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan agama,
bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh isteri untuk
berbuat maksiat, maka isteri harus menolaknya. Di antara ketaatan isteri kepada
suami adalah tidak keluar rumah kecuali dengan seizinnya.33
Dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa isteri harus bisa
menjaga dirinya. Baik ketika berada dihadapan suami maupun dibelakangnya. Hal
tersebut merupakan salah satu ciri isteri shalihah.
2) Kewajiban suami terhadap isteri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan
dalam pasal 80 yang pada intinya adalah suami sebagai kepala keluarga yang wajib
melindungi keluarganya dan memberikan nafkah serta mendidik isteri agar menjadi
32
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mafasil Firraddi al- Assyubhati I’idail Islaa (bab al- khamis)), (Bairut: Daar el- Kutub)h.365.
33
isteri yang shalihah.
Kedudukan suami dalam rumah tangga adalah pemimpin, pelindung dan
pembimbing anggota keluarga baik secara lahir maupun batin dan
suami harus mempertanggungjawabkan keadaan keluarganya itu dunia dan akhirat.
Firman Allah surat An-Nisa ayat 34:
Artinya: “Adapun kaum pria (suami) itu adalah pemimpin bagi wanita (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka kepada sebagian lagi dan karena kaum pria itu telah memberi nafkah dari sebagian hartanya (kepada isterinya)." (QS. An-Nisa:34).
Perlu diketahui juga bahwa besar kecilnya pemberian nafkah itu tergantung
pada kemampun suaminya dan disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di
daerahnya. Adapun nafkah yang wajib suami penuhi meliputi sandang, pangan dan
papan. Kewajiban suami tersebut sudah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
81 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal
yang layak serta nafkah bagi keluarga sesuai dengan kemampuan.
d. Hak dan kewajibaan isteri terhadap suami
1) Hak isteri atas suami
Penjelasan hak isteri terhadap suaminya pada dasarnya tidak banyak yang
memiliki hubungan erat antara hak-hak isteri terhadap suami. Di antaranya adalah:
a. Hak kebendaan, yaitu seperti mas kawin dan uang belanja,
b. Hak bukan benda, yaitu perlakuan yang adil di samping isteri-isteri lainnya
apabila suami memiliki isteri lebih dari satu.34
2) Kewajiban isteri atas suami
Diantara kewajiban seorang isteri terhadap suami adalah sebagai berikut:
a. Taat dan patuh kepada suami;
b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman;
c. Menata rumah dengan baik;
d. Menghormati keluarga suami;
e. Bersikap sopan, penuh senyum pada suami;
f. Tidak mempersulit suami,dan selalu mendorong suami untuk maju;
g. Menerima dengan lapang atas apa yang diberikan suami;
h. Selalu berhemat dan suka menabung;
i. Selalu berhias, bersolek untuk atau di depan suami;
j. Jangan selalu cemburu buta.35
Akan tetapi dalam keterangan lain dijelaskan bahwa kewajiban isteri terhadap
suami adalah:
a. Membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
menimbulkan ketenangan pada suami.
34
al- Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pusataka Amani 2002) h.129
35
b. Mentaati segala perintah suaminya, kecuali dalam hal-hal yang
melanggar hukum.
c. Memelihara dan mendidik anaknya dengan baik.
d. Memelihara nama baik suami dan keluarga.
e. Pandai menghibur suami apabila sedang mendapat kesulitan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga telah dijelaskan tentang kewajiban isteri
terhadap suaminya pada pasal 83 yang pada intinya adalah kewajiban isteri untuk
berbakti terhadap suaminya dan mampu untuk mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan baik. Sedangkan pasal 84 menjelaskan tentang isteri yang tidak
patuh terhadap suaminya dianggap nusyuz sehingga suami tidak wajib memberikan
nafkah kecuali pada anaknya.
C. Zina dan Status Anak Dalam Keluarga
Sebagai seorang muslim yang taat akan ajarannya tentu akan memposisikan
al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan bergaul dengan orang lain sehingga tidak
tergelincir pada prilaku yang tercela dan dapat merugikan orang lain. Memilih
pasangan hidup yang sudah menjadi sunnah rasul dan diperintahkan dalam al-quran
tentunya harus melalui pemikiran yang matang agar rumah tangga yang dibangun
bisa memberikan ketenangan dan kebahagiaan.
Ada beberapa motifasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang
perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya dalam perkawinan begitupula
seorang perempuan atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan daari kediuanya
untuk mengharap keturunan; karena kekayaannay; karena kebangsawanannya dan
karena keberagamaannay. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang utama
dijadikan motifasi adalah keberagamaannya.36
Dalam rangka pencarian tersebut tentunya kita berharap agar mendapatkan
isteri yang shalihah. Isteri yang dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam
rumah tangga. Bukan isteri yang memiliki citra negatif atau memiliki akhlak yang
buruk. Mencari isteri yang baik demi kebahagiaan berumah tangga tersebut sesuai
dengan firman Allah:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang...." (QS. al- Ruum: 21)
Beberapa ulama fiqh berpendapat bahwa penetapan hukuman zina itu
bertahap sebagaimana penetapan pengharaman khamar dan penetapan kewajiban
berpuasa. Untuk pertama kalinya larangan zina itu berkaitan dengan teguran resmi
yang bernadakan ancaman. Hal ini terungkap dalam firman Allah surat an-Nisa ayat
16 sebagai berikut:
36
Artinya: “Dan terhadap dua orang di antara kamu yang melakukan perbuatan keji, maka sakitilah mereka. Kemudian jika mereka bertaubat dan memperbaiki dirinya, maka berpalinglah kalian dari keduanya." (QS. An-Nisa:16)
Pada tahap kedua, hukuman ini ditingkatkan dalam bentuk hukuman
kurungan rumah (tahanan rumah).37 hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam
firman Allah surat an-Nisa ayat 15 sebagai berikut:
Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksiannya. maka kurunglah mereka (wanita) di rumah, sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya." (QS. An-Nisa:15).
Apabila kita bandingkan antara KUHP dengan Hukum Pidana Islam
mengenai kasus zina, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara
lain sebagai berikut:
1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana.
Misalnya pasal 284 ayat (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara
paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah
seorang atau keduanya sudah menikah dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini
37
berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum/ tidak menikah,
tidak dapat diberi sanksi hukuman tersebut di atas, asal kedua-duanya sudah
dewasa dan dilakukan atas dasar suka sama suka (tidak ada unsur perkosaan).
Apabila ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan
sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana
Islam, semua pelaku zina baik pria atau wanita dapat diancam hukuman had dan
pukulan tongkat, tangan atau sepatu. Sedangkan bagi pelaku yang telah menikah
diancam dengan hukuman rajam (stoning to death) hal tersebut didasarkan pada
sunah Nabi.
2. Menurut KHUP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/isteri
yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang
zina hanya sebagai klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang
bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus
ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan.
Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi
masyarakat, antara lain sebagai berikut:
a. Bisa menimbulkan penyakit kelamin dan ketidakjelasan nasab bagi anak yang
dilahirkannya, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin
dan kemurnian nasab. Oleh karena itu Islam membolehkan seorang suami
dan tebukti anak tersebut merupakan hasil hubungan gelap isteri dengan pria
lain.
b. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan
kesehatan suami isteri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir.
Penularan penyakit HIV/AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa
disebabkan oleh prilaku zina atau free sex;
c. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau isteri
yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah
tangganya;
d. Teraniayanya anak-anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang-orang
yang tidak bertanggung jawab;
e. Pembebanan pada masyarakat dan negara untuk mengasuh dan mendidik
anak-anak terlantar yang tidak berdosa itu, sebab apabila masyarakat dan
negara tidak mau menyantuni mereka, maka mereka bisa menggangu
stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.38
3. Menurut KUHP, pelaku zina dincam dengan hukuman penjara yang lamanya
berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286 dan 287 (1), sedangkan
menurut hukum pidana Islam pelaku zina diancam dengan hukuman dera, jika ia
belum menikah; dan diancam hukuman rajam jika ia telah menikah.
38
Islam mensyariatkan bentuk hukuman di dunia dalam dua jenis, yaitu
an-nashiyah atau hudud yaitu bentuk hukuman yang sudah ada nash-Nya. Sedangkan
yang kedua adalah at-Tafwidiyah atau ta’zir yaitu bentuk hukuman yang ditetapkan
menurut keputusan hakim.
Adapun tujuan dari hukuman bagi orang yang melakukan zina adalah:
Pertama, mempersiapkan manusia untuk menjadi warga yang baik dan produktif bagi
pembinaan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Memberikan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Kebahagiaan tersebut akan terwujud apabila ada jaminan atas
hak-hak individu dan masyarakat secara adil dan saling berwasiat tentang kebaikan dan
mencegah kejahatan.39
Adapun anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah,
sedangkan pernikahan yang diakui di Indonesia ialah pernikahan yang dilakukan
menurut masing-masing agama dan kepercayaanya dan dicatat menurut peraturan
undang-undang yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974). Pencatatan
pernikahan dilakukan oleh pejabat KUA untuk mereka yang melangsungkan
pernikahanya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan
pernikahannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka
pencatat pernikahannya dilakukan oleh pegawai pencatat pernikahan pada Kantor
Catatan Sipil (vide pasal 2(1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No.
1/1974 tentang pernikahan).
39
Fauzan Al-Anshari dan Abdurrahman Madjrie, Hukum Bagi Pezina dan Penuduhnya