• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem informasi E-auction berbasis web (studi kasus: kantor cabang pengadaian Syariah Cinere)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem informasi E-auction berbasis web (studi kasus: kantor cabang pengadaian Syariah Cinere)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh :

Asep Dadan NIM : 106044101364

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197252001121003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197407252001121003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(4)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197202241998031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(5)

iii

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1(satu) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 14 Desember 2010

(6)

iv

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah, ma’unah serta

barokah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kepada

Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon

ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan

kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan Pencipta hukum yang tiada hukum

paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya. Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran

ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang disampaikan para Rasul, manusia pilihan

yang diutus-Nya.

Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan

kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang

yang mengikuti ajaran beliau hingga hari akhir. Dialah Nabi utusan Allah yang

terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia

dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling

taat akan perintah-perintah Allah, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha

Allah agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw. di surga merupakan

cita-cita para hamba-Nya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan

dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan

tawakkal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik

(7)

v

untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh

orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang

kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.

Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak

pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan

skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa

bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi dan

Kamarusdiana, S.Ag., MH., sebagai Sekretaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

vi

telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang

diperlukan untuk penelitian ini.

5. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Naringgul Kabupaten

Cianjur dan jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam

memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

6. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum,

terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. seluruh Staf Akademik,

Jurusan, Kasubag. Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas

bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik

berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa

untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan.

8. Seluruh keluarga besarku, adik-adikku yang senantiasa memberi

dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam menempuh

studi di kampus tercinta ini.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, teman-teman seperjuangan Peradilan

Agama Arud Badruddin, Eko Pratama, Abdul khoir, Maulana hamzah,

Firman, Anih Rabani, Lulu, Anis, Fitri dan semuanya yang tidak

mungkin dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang senantiasa

(9)

vii silaturahmi.

Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa

saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia

akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih

apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang

membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.

Akrinya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yang telah

kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat

membantu kita di yaumil akhir .

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 14 Desember 2010

(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan masalah dan pembatasan masalah ... 9

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 10

D. Metode penelitian ... 11

E. Sistematika penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERKAWINAN DAN ISTERI HAMIL ZINA A. Dasar hukum dan tujuan perkawinan ... 16

B. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga ... 29

C. Zina dan status anak dalam keluarga ... 36

(11)

ix

Cianjur ... 52

D. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Responden ... 52

BAB IV PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN POSITIF TERHADAP KEHAMILAN ISTERI KARENA MENJADI TENAGA KERJA WANITA A. Faktor-faktor penyebab kehamilan TKW ... 55

B. Sikap dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya ... 59

C. Alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina ... 62

D. Tinjauan hukum terhadap isteri Yang hamil zina, sikap dan tindakan suami terhadap isteri dan anak zinanya ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran-Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(12)

BAB I Pendahuluan

A. Latar belakang masalah

Pada masyarakat Jahiliah, wanita dipandang sebagai barang mainan, apabila

hatinya sudah puas mempermainkan, maka dia diperlakukan sekehendak hatinya,

sebagaimana dalam pribahasa “habis manis sepah di buang”. Begitulah nasib wanita

pada masa Jahiliah, yang dikenal dengan masa kebodohan karena cahaya Islam belum

memancar pada waktu itu.1

Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk hamba-Nya

melalui pelantara Nabi Muhammad saw. yang lengkap berisi petunjuk dan pelajaran

untuk pegangan hidup agar bahagia dunia dan akhirat. Agama Islam tidak

menghinakan kaum wanita, sebagaimana pada masa Jahiliah, tidak pula memanjakan

wanita dan tidak pula mempersamakan pria dan wanita, akan tetapi agama Islam

menghormati kaum wanita dan mengangkat kepada derajat yang lebih tinggi.2

Dalam ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Islam sejauh yang

mengenai kewanitaan, tampak jelas betapa agama Islam telah mengangkat derajat

kaum wanita dengan menyamakannya terhadap kaum pria dalam segala bidang

kecuali dalam bidang khusus bagi masing-masing sesuai dengan sifat kudratinya.

1

Hidayah Salim, Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1993), h.1

2

(13)

Faedah terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara

perempuan yang bersifat lemah, sebab seorang perempuan jika sudah menikah maka

nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berfungsi sebagi

pemelihara kelangsungan anak cucu (keturunan), sebab jika tidak dengan jalan nikah

siapa yang akan bertanggung jawab atas diri anaknya. Pernikahan juga dipandang

sebagai kemaslahatan umum, sebab jika tidak ada pernikahan tentu manusia akan

menuruti sifat binatang, dan dengan sifat tersebut akan menimbulkan bencana,

permusuhan dan lain sebagainya.

Pandangan yang liar adalah langkah awal dari keinginan untuk berbuat zina,

godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan beragam, suatu

kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Hal ini akan

menggiring manusia ke jalan yang sesat, apalagi di zaman yang fasilitas kemaksiatan

begitu mudah dan bertebaran, seolah-olah memanggil untuk memulai bergelimangan

dosa.3

Dalam hal ini Islam sudah lebih dulu memperingatkan dan menetapkan

hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan zina, juga menetapkan anak yang

dilahirkannya. Menurut Masfuk Juhdi, anak zina harus diperlakukan secara

manusiawi, diberei pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk

bekal hidupnya di masyarakat nanti yang bertanggung jawab untuk dicukupi

kebutuhan hidupnya materil dan spirituil adalah terutama ibunya yang

3

(14)

melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan

nasab dan perdata dengan ibunya saja.4

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoranng pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Apabila akad sudah sah dan berlaku, maka ada beberapa akibat hukum yang

harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Yaitu, hak isteri atas suaminya, hak

suami atas isterinya, hak bersama antara suami dan isteri. Apabila suami dan isteri

melaksanakan kewajibannya dengan bijaksana, ikhlas, sebagai teman hidup,

masing-masing merasa bertanggung jawab atas kewajibannya, maka suami isteri itu akan

mendapat kebahagiaan yang sempurna, Insya Allah keduanya akan hidup dalam

keridhoan Allah.

Syarat mutlak yang pertama untuk mendirikan gedung perkawinan yang

kokoh dan kuat ialah usaha bersama, saling membantu dari kedua belah pihak, baik

suami maupun isteri hendaklah bersama-sama menyadari bahwa usaha bersama yang

menjadi sendi kehidupan berumah tangga itu tidak akan ada jika masing-masing

hanya kenal akan dirinya sendiri dengan kata lain mementingkan kesenangannya

sendiri. Dalam setiap perkawinan yang tentram dan damai, harus ada sikap memberi

dan menerima (take and give) antara suami isteri yang bersangkutan.

4

(15)

Perkawinan bukanlah perjalanan kesenangan semata. Di dalam perkawinan

terdapat hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dipenuhi. Itulah

sebabnya, untuk memasuki kehidupan berumah tangga, selain dari perlengkapan lahir

yang harus disediakan, diperlukan pula persiapan rohani berupa jiwa yang cukup

matang dan dewasa untuk memikul tanggung jawab selaras dengan kewajiban

masing-masing.

Rumah tangga dapat dianalogikan sebagai sebuah negara kecil yang

didalamnya harus ada pembagian kerja yang teratur agar segala sesuatunya dapat

berjalan dengan lancar dan rapi. Jika kita mengambil perumpamaan pembagian kerja

antara suami dan isteri di dalam sebuah rumah tangga dengan sebutan yang lazim

dipakai dalam negara yang sebenarnya, dapatlah dikatakan bahwa isteri memegang

portefeuille urusan (dalam negeri), pendidikan dan pengajaran, perburuhan dan sosial.

Dalam hal ini, selain menjadi perdana menteri rumah tangga, suami memegang

urusan luar negeri, pertahanan, pengamanan perekonomian dan pekerjaan umum.

Atas dasar pembagian kerja inilah diletakkan pertanggung jawaban

masing-masing sehingga semua bagian merpukan kesatuan mesin yang berjalan sebagaimana

mestinya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suami adalah kepala bagi

keluarga, sedangkan isteri laksana jantung bagi keluarga.5

Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, faktor ekonomi tidak bisa

diabaikan begitu saja, karena merupakan kebutuhan sehari-hari. Suatu keluarga jika

5

H.S.M Nasrudin Latif, Ilmu Perkawinan (Problematika Seputar Keluarga Dan Rumah Tangga), Pustaka Hidayah, Bandung 2001.

(16)

tidak memiliki fungsi ekonomi akan goyah, karena bagaimanapun ekonomi adalah

penunjang secara materil bagi tegaknya rumah tangga. Hal ini diuraikan dalam pasal

80 ayat4 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yaitu:6

Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung;

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya perawatan bagi isteri dan

anak;

c. Biaya pendidikan anak.

Kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi apabila suami mempunyai

pendapatan, dan pendapatan itu akan terwujud jika mempunyai pekerjaan karena

suami adalah pemimpin keluarga, maka suami wajib memenuhi dari segala apa yang

dibutuhkan dalam rumah tangga.

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa salah satu kewajiban suami

adalah memberikan nafkah dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perkawinan juga dapat

membentuk figur kepemimpinan yang baik bagi seorang laki-laki, yang pada

gilirannya dapat dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya.

Namun ketika adanya trend tentang Tenaga Kerja Wanita dapat menimbulkan

masalah dalam keluarga yang menyangkut antara hak dan kewajiban suami-isteri.

Bagi sebagian ibu rumah tangga di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten

Cianjur ketika masalah ekonomi terasa tidak tercukupi, maka menjadi Tenaga Kerja

6

(17)

Wanita menjadi pilihan alternatif, walaupun dengan resiko yang cukup berat yaitu

harus menanggung atau memenuhi kebutuhan keluarga selama ada di luar negeri.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa di Desa Mekarsari

seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama antara suami dan isteri, bahwa

setiap ibu rumah tangga yang memilih menjadi TKW itu berarti harus menanggung

kebutuhan keluarga selama berada di luar negeri.

Pada dasarnya dalam kehidupan berumah tangga, antara suami dan isteri

mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama. Hal ini sebagaimana teretuang

dalam KHI yaitu:

a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar

dari susunan masyarakat.

b. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi

bantuan lahir batin.

c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun

kecerdasan dan pendidikan agamanya.

d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

e. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Nafkah sering kali menimbulkan problem dalam kehidupan berumah tangga

(18)

bahkan tidak terpenuhinya nafkah, maka tidak sedikit pihak isteri mencari jalan

keluar, salah satunya dengan cara menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagai

pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Pengiriman Tenaga Kerja Wanita akhir-akhir

ini semakin marak dan mayoritas mereka berasal dari berbagai pelosok pedesaan.

Akibat dari keputusan nekadnya itu mereka akhirnya mencapai apa yang

dicita-citakannya dengan nasib yang berbeda-beda.

Desa Mekarsari Kec. Naringgul Kab. Cianjur, merupakan salah satu daerah

yang terpengaruhi dengan maraknya pemberangkatan Tenaga Kerja Wanita ke Arab

Saudi dengan tujuan ingin meningkatkan tarap kehidupan ekonomi yang lebih baik

dari sebelumnya.

Berikut ini jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari tahun 2001-2006:

Tabel I7

No Tahun Jumlah TKW Negara tujuan Keterangan

1 2001 61 orang Arab saudi

(19)

Maka menurut data di atas, setiap tahun, dari tahun 2001 s/d awal April 2006

rata-rata penduduk yang menjadi TKW adalah sebanyak 41 orang. Walaupun dalam

tabel menunjukkan jumlah yang menurun dari tahun ke tahun, akan tetapi ada

kemungkinan adanya TKW yang berangkat ke luar negeri namun tidak terdata atau

tidak mau didata. Sebagian TKW tersebut sudah berkeluarga, artinya mempunyai

tanggung jawab terhadap anak dan suaminya.

Dari beberapa TKW sebagaimana dalam tabel di atas, terdapat tiga TKW

ketika mereka kembali dari Arab Saudi sudah dalam keadaan hamil. Seperti halnya

yang dialami oleh tiga pasangan keluarga yang isterinya pulang dalam keadaan hamil,

di antara mereka sempat terjadi percekcokan tapi tidak sampai ketingkat perceraian.

Bahkan sampai sekarang mereka masih tetap sebagai pasangan suami isteri yang

hidup rukun dan suami menerima anak dari isterinya yang hamil ketika pulang dari

Arab Saudi dengan lapang.

Peristiwa di atas telah menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian

(20)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Desa Mekarsari Kecamatan

Naringgul Kabupaten Cianjur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya TKW

yang berangkat ke Arab Saudi, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya

pada penyebab diterimanya anak hasil zina TKW oleh suaminya.

Sehubungan dengan banyaknya kasus TKW yang hamil akibat zina, maka

dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada

argumentasi dan pandangan suami terhadap penerimaan anak hasil zina isterinya.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dari skripsi ini adalah:

Menurut teori,dalam pasal 99 di sebutkan bahwa:

Anak yang sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

isteri tersebut.

Anak dianggap sah apabila lahir dari perkawinan yang sah. Kenyataannya di

Desa Mekarsari anak anak yang lahir dari perkawinan tidak sah dapat diakui sah

(21)

Rumusan tersebut penulis rinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika menjadi

TKW serta anak yang di lahirkannya?

2. Bagaimana persfektif hukum Islam dan positif tentang status anak zina

karena isteri hamil ketika menjadi TKW?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitin ini adalah sebagi berikut:

1. Untuk mengetahui sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika

menjadi TKW serta anak yang di lahirkannya.

2. Untuk mengkaji persfektif hukum tentang status anak zina karena isteri

hamil ketika menjadi TKW?

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

a. secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan khazanah

keilmuan dalam bidang hokum keluarga islam, khususnya yang

berkaitan dengan status anak hasil zina Tenaga Kerja Wanita.

b. Secara empiris diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa

saja yang ingin mengetahui status anak zina TKW, baik kalangan

Akademisi, Mahasiswa, Institusi, Ulama, bahkan mayrakat pada

(22)

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

menggunakan pendekatan kualitatif. Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu”

atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam

wilayah-wilayah konsep mutu.8 yaitu dengan melakukan analisa terhadap kultur

masyarakat Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dan alasan

mereka menerima anak hasil zina. Kemudian menghubungkannya dengan masalah

yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan

sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Data primer

Sumber data primer yaitu merupakan data yang diperoleh dari tiga pasangan

keluarga TKW, yaitu:

1. Pasangan Sarman dan Nia (nama disamarkan)

2. Pasangan Awo dan Ade (nama disamarkan)

3. Pasangan Arjun dan Anah (nama disamarkan)

Mereka berdomisili di Desa Mekarsari Kecamatan Naringul Kabupaten

Cianjur.

8

(23)

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi

kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang

diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku

ilmiah, Undang-Undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta

peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, maka penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa

catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda,

dan sebagainya.9

b. Metode Interview

Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara10. Dalam hal

ini adalah wawancara dengan warga desa mekarsari khususnya keluarga yang

mempunyai hubungan dengan para pelaku.

9

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h.206

10

(24)

c. Observasi

Observasi yang dimaksud adalah observasi langsung terhadap tiga

keluarga yang diteliti dan melihat dari dekat permasalahan yang dialami oleh

keluarganya yang ada di desa Mekarsari, penulis dapat memperoleh data awal

untuk menyiapkan proposal penelitian ini kemudian dijadikan kerangka awal

bagi penelitian berikutnya.

4. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat

mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.11

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa

kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan kasus

penerimaan anak hasil zina TKW oleh suaminya sehingga di dapat suatu kesimpulan

yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan

penulis dalam penelitian ini.

11

(25)

5. Pedoman Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi

tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama

b. Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari

enam baris.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika yang digunakan untuk memahami alur pemikiran dan pembahasan dari

setiap permasalahan yang ada menjadi beberapa bab dan kemudian diperinci ke dalam

beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini selengkapnya adalah

sebagai berikut:

1. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan secara umum tentang

latar belakang, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab kedua berisi tinjauan tinjauan pustaka tentnag perkawinan dan isteri hamil

zina yang meliputi dasar hukum dan tujuan perkawinan, hak dan kewajiban

dalam rumah tangga, dan zina dan status anak dalam keluarga.

3. Bab ketiga berisi profil Masyarakat Desa Mekarsari, kondisi sosial, ekonomi

dan pendidikan masyarakat Desa Mekarsari, profil responden dan kondisi sosial,

(26)

4. Bab keempat mengenai tindakan suami terhadap kehamilan isteri karena

menjadi TKW. bab ini meliputi faktor-faktor penyebab kehamilan TKW, sikap

dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya,

alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina, tinjauan

hukum terhadap isteri hamil karena menjadi TKW dan sikap serta tindakan

suami terhadap anak dan isterinya.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERNIKAHAN DAN ISTERI HAMIL ZINA

A. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan 1. Dasar Hukum Pernikahan

Hukum pernikahan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat

penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang pernikahan ini diatur dan

diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum pernikahan Islam pada dasarnya

tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan pernikahan saja tetapi juga mengatur

segala persoalan yang erat hubunannya dengan pernikahan. Namun dengan melihat

pada sifatnya sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan

bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata muabah. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan

telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan antara laki-laki dan

perempuan jadi muabah.12

Adapun pentingnya pernikahan bagi kehidupan manusia, khususnya bagi

orang Islam adalah sebagai berikut:

a. Dengan melakukan pernikahan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup

manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita

secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai

12

(28)

makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

b. Dengan melaksanakan pernikahan dapat terbentuk suatu rumah tangga

dimana dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram

serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami-isteri.

c. Dengan melaksanakan pernikahan yang sah, dapat diharapkan memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam

keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.

d. Dengan terjadinya pernikahan maka timbullah sebuah keluarga yang

merupakan inti daripada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan

timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam

suasana damai.

e. Melaksanakan pemenikahan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang

telah diatur dalam Al-Qur'an dan Sunah Rasul, adalah merupakan salah

satu ibadah bagi orang Islam.

Di negara-negara muslim ketika merumuskan undang- undang perkawian

melengkapi definisinya dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan perkawinan itu. Di indonesia sendiri dirumuskaN DALAM pasal I

undamg-undang perkawinan no.1 tahun 1974.13

Selain yang dijelaskan diatas, dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip

dalam pernikahan, yaitu:

13

(29)

a. Harus ada persetujuan sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan

pernikahan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk

mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan

pernikahan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria sebab ada ketentuan

larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus

diindahkan.

c. Pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan

tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang

berhubungan dengan pelaksanan pernikahan itu sendiri.

d. Pernikahan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah

tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.

e. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah tangga,

dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.14

Pernikahan merupakan perbuatan yang suci (sakramen), yaitu suatu ikatan

antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa. Agar

kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan

baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi pernikahan itu sendiri adalah

suatu 'perikatan jasmani dan rohani' yang membawa akibat hukum terhadap agama

14

(30)

yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.15

Ada beberapa ayat al- Qur'an dan hadis Rasulullah Saw, yang menjadi dasar

hukum untuk melakukan pernikahan.

Diantaranya adalah surat an-Nisa ayat 1

Artinya: “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan diciptakannya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa:4:1).

Ada beberapa pendapat mengenai kedudukan hukum pernikahan, segolongan

ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan adalah mandub (sunah). Ulama

Dzahiriah berpendapat bahwa menikah hukumnya wajib sedangkan golongan

Malikiyah berpendapat bahwa hukum menikah bagi sebagian orang adalah wajib

tetapi bagi sebagian lainnya adalah sunah dan mubah (boleh). Hal tersebut, menurut

mereka disesuaikan dengan kekhawatiran seseorang untuk berbuat zina.16

Penyebab perbedaan pendapat diantara mereka ialah apakah shighat amr

15

Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandarmaju, 2003) h.10

16

(31)

(bentuk kalimat perintah) menikah pada firman Allah SWT.

Artinya: “...maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau

empat...” (Q.S. Al- Nisa/4: 3)

Selain itu, yang menjadi dasar perbedaan pedapat di kalangan ulama adalah

sighat amr pada sabda Nabi Saw.

Artinya: “Dari Mas’ud bin Zadan dari Muawiyah bin Qurrah dari Muaqqil bin

Yassar berkata: rasulullah SAW bersabda: Nikahilah wanita yang banyak

anak (subur) dan penuh kasih sayang, karena aku merasa bangga atas

banyaknya kaliani pada hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad yang dinilai shahih

oleh Ibnu Hibban)

Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pemikahan itu wajib bagi sebagian

orang, sunnat dan mubah untuk yang lainnya, maka pendapat ini di dasarkan atas

pertimbangan kemaslahatan. Seperti yang disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas

17 Abu Daud, Sunan Abu Daud(babunnahri „an tazwiji man lam yalid minannisaa’i), (Bairut:

(32)

yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas

tersebat, tetapi mazhab Maliki berpegang pada qiyas tersebut.

Ulama Syafi'iyah yang mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah,

disamping ada yang sunat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia umumnya

masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah.

Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi'iyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mazhab, berdasarkan nash-nash, baik

al-Qur'an maupun al-Sunah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu

untuk melangsungkan pernikahan. Namun demikian, apabila dilihat dari kondisi

orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakanya, maka pernikahan itu dapat

dihukumi wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.

1. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menikah

dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina jika tidak menikah, maka

hukum melakuan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan

pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat

yang dilarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan

menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib sesuai

(33)

Artinya: "Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya kecuali dengan

adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula" 18

Kaidah lain mengatakan:

Artinya “Hukum wasilah/sarana adalah sama dengan hukum tujuan”19

Hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana

sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

2. Melakukan pernikahan yang hukumnya sunnat.

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

melangsungkan pernikahan, akan tetapi tidak dikhawatirkan akan berbuat zina

apabila dia tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut

adalah sunnat.

3. Melakukan pernikahan yang hukumnya haram.

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai

kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam

18

A. Djazuli, Kaidah- Kaidah Fiqih, (Jakarta: kencana, 2007) h. 32

19

(34)

rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya

dan isterinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram.

al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan

mendatangkan kerusakan:

Artinya “...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam

kebinasaan...” (Q.S. Al-Baqarah/2: 195)

Termasuk haram melakukan pernikahan apabila seseorang menikah dengan

tujuan untuk menelantarkan orang lain karena dia tidak rela orang tersebut menikah

dengan orang lain.

4. Melakukan pernikahan yang hukumnya makruh.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah dan memiliki

kemampuan untuk menahan diri dari kemungkinan berbuat zina apabila tidak

menikah akan tetapi orang tersebut tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk

dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

5. Melakukan pernikahan hukumnya yang mubah.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan nikah, tetapi

apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila

(35)

hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga

kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga di

tunjukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu

sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang melakukan menikah, seperti

mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai

kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.20

2. Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan pada umumnya tergantung pada masing-masing individu

yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian juga ada

tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan

pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahtraan lahir batin dunia

dan akhirat.

Selain itu, tujuan pernikahan adalah untuk menegakkan agama Allah dalam

arti mentaati perintah dan larangan Allah, juga untuk mendapat keturunan yang sah,

dan untuk mencegah maksiat, yang terjadinya perzinaan dan pelacuran. Sebagaimana

dalam hadis Nabi:

20

(36)

Artinya “Dari Abdullah bin Mas'ud. Sesungguhnya Rasulallah SAW. Bersabda kepadaku, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nqfkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pemikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj. Barang siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karenapuasa merupakan benteng baginya. " (Muttafaq alaih).

Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya

terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir

batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota

keluarga.22

Dari penjelasan di atas, maka tujuan pernikahan itu dapat dikembangkan

menjadi lima yaitu:

1. Mendapat dan melangsungkan keturuan.

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa naluri manusia mempunyai

21

Abi al-Husain Muslim, Sahih Muslim, (Istihbabi an-Nikah), (Bairut: Dar el- Kutub 2003)h.519.

22

(37)

kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah, dan keabsahanya diakui oleh

dirinya, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberi jalan

untuk itu. Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan

akhirat.

al- Qur'an juga menganjurkan agar manusia selalu berdo'a agar dianugerahi

anak yang menjadi mutiara dari isterinya, sebagaimana tercantum dalam surat al-

Furqan ayat 74:

Artinya “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada

kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenag hati(kami)”

(Q.S. al- Furqan: 74)

Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai

pembantu dalam hidup di dunia. Bahkan anak akan memberi tambahan amal

kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang saleh,

sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah:

23

(38)

Artinya: "Dari Abu Hurairah RA berkata: Nabi salallahu alahi wasallam bersabda: Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang selalu mendo'akannya” (HR.Muslim dari Abu Hurairah).

Untuk memperoleh keturunan yang sah merupakan tujuan yang pokok dari

pernikahan itu sendiri. Memperoleh anak dalam pernikahan bagi penghidupan

manusia mengandung dua kepentingan, yaitu; kepentingan untuk diri pribadi dan

kepentingan yang bersifat umum. Setiap orang melaksanakan pernikahan tentu

mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan/anak. Bisa dirasakan bagaimana

perasaan suami isteri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu

kehidupannya terasa sepi dan hampa.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan rasa kasih sayang diantara mereka.

Sudah menjadi fitrah, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan

mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana dalam

al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 187 yang menyatakan:

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. al- Baqarah: 187)

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

(39)

merupakan jalan terbaik untuk menyalurkan hasrat saksual tersebut. Pernikahan dapat

mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan

yang halal.

Suami isteri yang pernikahannya didasarkan pada pengamalan agama, jerih

payah dalam usahanya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang

dibina dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, melalui rumah

tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha

mencari harta yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.

Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan

bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk

melalui pernikahan, dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan

ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman yaitu untuk mencapai kebahagiaan.

Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman

anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan ketentraman keluarga

tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami isteri dalam satu

(40)

dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga

yang dibina dengan pernikahan antara suami isteri dalam membentuk ketenangan dan

ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.24

B. Hak danKewajiban Suami Isteri Dalam Keluarga

Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya,

maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian akan menimbulkan pula

hak dankewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga.

Menurut hukum Islam suami dan isteri dalam membina keluarga/rumah

tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma'ruf), maka kewajiban utama suami

dalam keluarga/rumah tangga adalah berbuat sebaik mungkin kepada isteri.

Pengertian berbuat yang ma'ruf ialah saling cinta mencintai dan hormat

menghormati, saling setia dan saling bantu membantu antara yang satu dan yang

lainnya.25

1. Pengertian Keluarga

Terdapat beragam istilah yang bisa dipergunakan untuk menyebut "keluarga".

Keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak atau seisi rumah, bisa juga disebut batih yaitu

seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti kaum, yaitu sanak

24

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakkarta: Kencana, 2003),h.30.

25

(41)

saudara dan kaum kerabat.

Pengertian ini mengacu pada aspek antropologis, yaitu manusia dalam

lingkungan keluarga. Istilah keluarga berbeda dengan rumah tangga. Rumah tangga

berarti sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah, seperti

belanja dan sebagainya. Oleh karena itu rumah tangga bersifat meterial dan

ekonomis.

Namun demikian istilah rumah tangga juga dapat disamakan artinya dengan

keluarga. Arti dari rumah tangga adalah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada

suatu keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang

belum menikah atau memisahkan diri.26

Keluarga adalah kelompok primer yang paling dasar yang merupakan

gabungan individu yang alamiah. Definisi lain dari keluarga adalah suatu kelompok

yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, pernikahan atau

adopsi serta tinggal bersama.

Salah satu prinsip moral paling penting menurut pandangan Islam, adalah

pernikahan dan pembentukan keluarga. Nabi Muhammad Saw. memandang keluarga

sebagai sebuah struktur tak tertandingi dalam masyarakat. Beliau sendiri memberikan

teladan mulia dalam hal ini dengan menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk

melakukan pernikahan serta melestarikan tradisi agung pernikahan.

Pernikahan mempersiapkan sepasang suami isteri bergerak menuju

26

(42)

kesempurnaan moral dan mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Ini pada

gilirannya mengakibatkan timbulnya kesejahteraan masyarakat.27

Lembaga keluarga dan pernikahan adalah diantara kondisi-kondisi dan bekal

yang menyiapkan sarana untuk tumbuh dan lahirnya berbagai kemampuan manusia

yang hebat. Umpamanya dalam Islam, apabila seorang pria dan seorang wanita

berkenalan lewat pernikahan dan membentuk sebuah bagian kecil dan murni dari

masyarakat yang disebut keluarga, mereka mengalami beberapa perkembangan baru

dan berhadapan dengan tugas-tugas keagamaan tertentu dan juga baru bagi mereka.

Meningkatkan hubungan, memperkuat rasa kasih sayang, meningkatkan rasa

tanggung jawab dan pengelolaan, kesabaran, ketenangan, kesehatan spiritual,

reproduksi, pengorbanan dan sebagainya, semuanya itu adalah bagian dari cerminan

dan indikator pernikahan yang berhasil.

Atas dasar ini, para ulama dan terutama sekali Al-Qur'an Suci, menganjurkan

pernikahan. Dalam hal ini Al-Qur'an surat An-Nuur ayat 32 menyatakan:

Artinya: “Dan menikahkanlah orang yang sendiri di antaramu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu laki-laki atau perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) serta maha mengetahui. (QS. al- Nuur: 32).

27

(43)

Dalam ayat ini, di samping penegasan langsung mengenai pentingnya

pernikahan bagi individu, masyarakat dan agama, pengabaian pernikahan lantaran

alasan kemiskinan dan ketidakmampuan pun ditolak. Pernikahan menjanjikan

kebaikan dan rahmat dalam kehidupan. Dalam ayat lain, pernikahan dan pasangan

suami-isteri diketahui sebagai sebab timbulnnya kemudahan dan ketenanngan.

Karena itu, secara alami, sikap tidak mau mengikuti ajaran al- Qur'an ini akan

menyebabkan kesengsaraan serta gangguan jiwa dan raga.

Islam menegaskan bahwa kesejahteraan keluarga menjamin kesejahteraan

masyarakat. Inilah sebabnya, Islam berulang kali menganjurkan pembentukan

keluarga dan melestarikan kehidupan bersama yang bahagia oleh suami-isteri

bersama anak-anak mereka. Pasangan suami isteri ini, setelah pernikahan, meletakkan

pondasi bagi sebuah bangunan baru sebuah lembaga yang lebih unggul ketimbang

lembaga-lembaga dan bangunan-bangunan lain. Masyarakat yang suci itulah tempat

mendidik secara benar anak-anak masa kini yang kelak akan menjadi orang-orang

besar di masa depan.28

Setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota yang ada didalamnya memiliki

tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan

keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan yang

harus dilakukan didalam atau diluar keluarga.

Fungsi di sini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada

28

(44)

akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangatlah

penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan

harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak

berfungsinya salah satu fungsi keluarga.

2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Sebagaimana kita ketahui, pernikahan adalah perjanjian hidup bersama antara

dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh kehidupan rumah tangga.

Semenjak mengadakan perjanjian melalui akad kedua belah pihak telah terikat dan

sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak, yang tidak mereka miliki

sebelumnya.

Pada masa Jahiliyah, hak-hak wanita hampir tidak ada dan yang tampak

hanyalah kewajiban. Hal ini karena status wanita dianggap sangat rendah dan bahkan

hampir dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna.29

Jika suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya

masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehinga

sempurnalah kebahagian hidup rumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup

berkeluarga akan terwujud sesuia dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah

warahmah.

a. Hak Bersama Suami Isteri

Dengan adanya akad nikah, maka anatara suami dan isteri mempunyai hak

29

(45)

dan tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai berikut:

1) Suami dan isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual.

Perbuatan ini merupakan kebutuhan antara suami isteri yang dihalalkan

secara timbal balik. Bagi suami halal melakukan apa saja terhadap isterinya,

demikian pula bagi isteri terhadap suaminya. Mengadakan kenikmatan

hubungan merupakan hak suami isteri yang dilakukan secara bersama.

2) Haram melakukan pernikhan, artinya baik suami maupun isteri tidak boleh

melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.

3) Dengan adanya ikatan pernikahan,maka kedua belah pihak saling mewarisi

apabila salali seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun belum

bersetubuh.

4) Anak mempunyai nasab yang jelas bagi suami.

5) Kedua belah pihak wajib bertingkahlaku yang baik, sehingga dapat

melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup dala berrumah tangga.30

b. Kewajiban bersama suami isteri

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian umum pasal 77 disebutkan

bahwa Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga

yang sakinah, mawaddahdan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat.

Kewajiban pokok suami isteri adalah menciptakan dan membentuk rumah

tangga yang bahagia, dimana dalam rumah tangga itu terasa ketenangan, ketentraman,

30

(46)

hidup rukun, damai, serta cukup makan pakaian dan keadaan suasana dalam rumah

itu sehat sehingga menimbulkan kebetahan, isi rumah sebab teratur rapi, sehingga.

bena-benar rumah itu merupakan tempat tinggal yang menyenangkan, tempat

beristirahat yang harmonis.

Dan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:

Artinya: “Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggalmu”

Perlu diketahui bahwa untuk mencapai rumah tangga bahagia itu tentu

membutuhkan persyaratan-persyaratan diantaranya:

1) Mengetahui dan menyadari kewajiban dan kedudukan masing-masing

suami isteri.

2) Saling mempercayai dan menghormati, tidak mudah terpancing emosi

(terburu nafsu), tidak mudah cemburu dan sebagainya.

3) Bermusyawarah dalam menghadapi masalah yang dihadapi dengan penuh

pengertian.

4) Bersabar dan rela atas kekurangan dan kelemahan masing-masing.

5) Saling menyayangi dan mencintai.

6) Menghormati keluarga kedua belah pihak.

(47)

8) Toleransi dan menjaga kerukunan dengan tetangga dalam hidup

bermasyarakat.

9) Menjaga rahasia keluarga terhadap orang lain. Hal tersebut sebagaimana

sabda Nabi Muhammad saw.:

Artinya: "Dari Amar bin Hamzah berkata: sesungguhnya rasulullah SAW bersabda: Sesunggunya manusia yang paling jelek kedudukannya disisi Allah nanti pada hari kiamat, yaitu laki-laki yang menjima' isterinya dan isterinya pun menjima' laki-laki itu, kemudian salah seorangnya menyebarkan rahasia temannya." (HR. Muslim dan Bukhari).

c. Hak dan kewajiban suami terhadap isteri.

1) Hak suami atas isteri

Diantara beberapa hak suami terhadapa isterinya yang paling pokok adalah:

a. Taat dalam perkara yang bukan maksiat.

b. Isteri dapat menjaga kehormatan dirinya dan harta suami.

c. Menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suami.

d. Selalu bersikap menyenangkan dihadapan suami

31

Al- Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sahih Bukhari(bab tahrim

(48)

Penjelasan di atas sesuai dengan hadis Nabi saw.

Artinya: "Dari abi abbas sesungguhnya rasullullah SAW bersabda: Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya." (HR. Abu Daud dan Turmudzi dan Ibn Majah dan Ibn Hibban).

Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan agama,

bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh isteri untuk

berbuat maksiat, maka isteri harus menolaknya. Di antara ketaatan isteri kepada

suami adalah tidak keluar rumah kecuali dengan seizinnya.33

Dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa isteri harus bisa

menjaga dirinya. Baik ketika berada dihadapan suami maupun dibelakangnya. Hal

tersebut merupakan salah satu ciri isteri shalihah.

2) Kewajiban suami terhadap isteri

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan

dalam pasal 80 yang pada intinya adalah suami sebagai kepala keluarga yang wajib

melindungi keluarganya dan memberikan nafkah serta mendidik isteri agar menjadi

32

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mafasil Firraddi al- Assyubhati I’idail Islaa (bab al- khamis)), (Bairut: Daar el- Kutub)h.365.

33

(49)

isteri yang shalihah.

Kedudukan suami dalam rumah tangga adalah pemimpin, pelindung dan

pembimbing anggota keluarga baik secara lahir maupun batin dan

suami harus mempertanggungjawabkan keadaan keluarganya itu dunia dan akhirat.

Firman Allah surat An-Nisa ayat 34:

Artinya: “Adapun kaum pria (suami) itu adalah pemimpin bagi wanita (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka kepada sebagian lagi dan karena kaum pria itu telah memberi nafkah dari sebagian hartanya (kepada isterinya)." (QS. An-Nisa:34).

Perlu diketahui juga bahwa besar kecilnya pemberian nafkah itu tergantung

pada kemampun suaminya dan disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di

daerahnya. Adapun nafkah yang wajib suami penuhi meliputi sandang, pangan dan

papan. Kewajiban suami tersebut sudah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

81 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal

yang layak serta nafkah bagi keluarga sesuai dengan kemampuan.

d. Hak dan kewajibaan isteri terhadap suami

1) Hak isteri atas suami

Penjelasan hak isteri terhadap suaminya pada dasarnya tidak banyak yang

(50)

memiliki hubungan erat antara hak-hak isteri terhadap suami. Di antaranya adalah:

a. Hak kebendaan, yaitu seperti mas kawin dan uang belanja,

b. Hak bukan benda, yaitu perlakuan yang adil di samping isteri-isteri lainnya

apabila suami memiliki isteri lebih dari satu.34

2) Kewajiban isteri atas suami

Diantara kewajiban seorang isteri terhadap suami adalah sebagai berikut:

a. Taat dan patuh kepada suami;

b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman;

c. Menata rumah dengan baik;

d. Menghormati keluarga suami;

e. Bersikap sopan, penuh senyum pada suami;

f. Tidak mempersulit suami,dan selalu mendorong suami untuk maju;

g. Menerima dengan lapang atas apa yang diberikan suami;

h. Selalu berhemat dan suka menabung;

i. Selalu berhias, bersolek untuk atau di depan suami;

j. Jangan selalu cemburu buta.35

Akan tetapi dalam keterangan lain dijelaskan bahwa kewajiban isteri terhadap

suami adalah:

a. Membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga dapat

menimbulkan ketenangan pada suami.

34

al- Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pusataka Amani 2002) h.129

35

(51)

b. Mentaati segala perintah suaminya, kecuali dalam hal-hal yang

melanggar hukum.

c. Memelihara dan mendidik anaknya dengan baik.

d. Memelihara nama baik suami dan keluarga.

e. Pandai menghibur suami apabila sedang mendapat kesulitan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga telah dijelaskan tentang kewajiban isteri

terhadap suaminya pada pasal 83 yang pada intinya adalah kewajiban isteri untuk

berbakti terhadap suaminya dan mampu untuk mengatur keperluan rumah tangga

sehari-hari dengan baik. Sedangkan pasal 84 menjelaskan tentang isteri yang tidak

patuh terhadap suaminya dianggap nusyuz sehingga suami tidak wajib memberikan

nafkah kecuali pada anaknya.

C. Zina dan Status Anak Dalam Keluarga

Sebagai seorang muslim yang taat akan ajarannya tentu akan memposisikan

al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan bergaul dengan orang lain sehingga tidak

tergelincir pada prilaku yang tercela dan dapat merugikan orang lain. Memilih

pasangan hidup yang sudah menjadi sunnah rasul dan diperintahkan dalam al-quran

tentunya harus melalui pemikiran yang matang agar rumah tangga yang dibangun

bisa memberikan ketenangan dan kebahagiaan.

Ada beberapa motifasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang

perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya dalam perkawinan begitupula

(52)

seorang perempuan atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan daari kediuanya

untuk mengharap keturunan; karena kekayaannay; karena kebangsawanannya dan

karena keberagamaannay. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang utama

dijadikan motifasi adalah keberagamaannya.36

Dalam rangka pencarian tersebut tentunya kita berharap agar mendapatkan

isteri yang shalihah. Isteri yang dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam

rumah tangga. Bukan isteri yang memiliki citra negatif atau memiliki akhlak yang

buruk. Mencari isteri yang baik demi kebahagiaan berumah tangga tersebut sesuai

dengan firman Allah:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang...." (QS. al- Ruum: 21)

Beberapa ulama fiqh berpendapat bahwa penetapan hukuman zina itu

bertahap sebagaimana penetapan pengharaman khamar dan penetapan kewajiban

berpuasa. Untuk pertama kalinya larangan zina itu berkaitan dengan teguran resmi

yang bernadakan ancaman. Hal ini terungkap dalam firman Allah surat an-Nisa ayat

16 sebagai berikut:

36

(53)

Artinya: “Dan terhadap dua orang di antara kamu yang melakukan perbuatan keji, maka sakitilah mereka. Kemudian jika mereka bertaubat dan memperbaiki dirinya, maka berpalinglah kalian dari keduanya." (QS. An-Nisa:16)

Pada tahap kedua, hukuman ini ditingkatkan dalam bentuk hukuman

kurungan rumah (tahanan rumah).37 hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam

firman Allah surat an-Nisa ayat 15 sebagai berikut:

Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksiannya. maka kurunglah mereka (wanita) di rumah, sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya." (QS. An-Nisa:15).

Apabila kita bandingkan antara KUHP dengan Hukum Pidana Islam

mengenai kasus zina, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara

lain sebagai berikut:

1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana.

Misalnya pasal 284 ayat (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara

paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah

seorang atau keduanya sudah menikah dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini

37

(54)

berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum/ tidak menikah,

tidak dapat diberi sanksi hukuman tersebut di atas, asal kedua-duanya sudah

dewasa dan dilakukan atas dasar suka sama suka (tidak ada unsur perkosaan).

Apabila ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan

sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana

Islam, semua pelaku zina baik pria atau wanita dapat diancam hukuman had dan

pukulan tongkat, tangan atau sepatu. Sedangkan bagi pelaku yang telah menikah

diancam dengan hukuman rajam (stoning to death) hal tersebut didasarkan pada

sunah Nabi.

2. Menurut KHUP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/isteri

yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang

zina hanya sebagai klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang

bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus

ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan.

Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi

masyarakat, antara lain sebagai berikut:

a. Bisa menimbulkan penyakit kelamin dan ketidakjelasan nasab bagi anak yang

dilahirkannya, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin

dan kemurnian nasab. Oleh karena itu Islam membolehkan seorang suami

(55)

dan tebukti anak tersebut merupakan hasil hubungan gelap isteri dengan pria

lain.

b. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan

kesehatan suami isteri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir.

Penularan penyakit HIV/AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa

disebabkan oleh prilaku zina atau free sex;

c. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau isteri

yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah

tangganya;

d. Teraniayanya anak-anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang-orang

yang tidak bertanggung jawab;

e. Pembebanan pada masyarakat dan negara untuk mengasuh dan mendidik

anak-anak terlantar yang tidak berdosa itu, sebab apabila masyarakat dan

negara tidak mau menyantuni mereka, maka mereka bisa menggangu

stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.38

3. Menurut KUHP, pelaku zina dincam dengan hukuman penjara yang lamanya

berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286 dan 287 (1), sedangkan

menurut hukum pidana Islam pelaku zina diancam dengan hukuman dera, jika ia

belum menikah; dan diancam hukuman rajam jika ia telah menikah.

38

(56)

Islam mensyariatkan bentuk hukuman di dunia dalam dua jenis, yaitu

an-nashiyah atau hudud yaitu bentuk hukuman yang sudah ada nash-Nya. Sedangkan

yang kedua adalah at-Tafwidiyah atau ta’zir yaitu bentuk hukuman yang ditetapkan

menurut keputusan hakim.

Adapun tujuan dari hukuman bagi orang yang melakukan zina adalah:

Pertama, mempersiapkan manusia untuk menjadi warga yang baik dan produktif bagi

pembinaan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Memberikan kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat. Kebahagiaan tersebut akan terwujud apabila ada jaminan atas

hak-hak individu dan masyarakat secara adil dan saling berwasiat tentang kebaikan dan

mencegah kejahatan.39

Adapun anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah,

sedangkan pernikahan yang diakui di Indonesia ialah pernikahan yang dilakukan

menurut masing-masing agama dan kepercayaanya dan dicatat menurut peraturan

undang-undang yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974). Pencatatan

pernikahan dilakukan oleh pejabat KUA untuk mereka yang melangsungkan

pernikahanya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan

pernikahannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka

pencatat pernikahannya dilakukan oleh pegawai pencatat pernikahan pada Kantor

Catatan Sipil (vide pasal 2(1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No.

1/1974 tentang pernikahan).

39

Fauzan Al-Anshari dan Abdurrahman Madjrie, Hukum Bagi Pezina dan Penuduhnya

Gambar

Tabel I7No Tahun Jumlah TKW  Negara tujuan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan sistem informasi mencakup sejumlah komponen yaitu manusia, komputer, teknologi informasi, dan prosedur kerja dan ada yang diproses yaitu data menjadi

Dari hasil uji coba terhadap user dapat disimpulkan bahwa sistem dapat membantu pemilik toko dalam menangani penjualan furniture dan bagi calon pembeli sistem

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian dari Hardanti dan Saraswati (2013) yang menunjukkan bahwa sikap seseorang tidak berpengaruh terhadap minat

Dari hasil uji coba terhadap user dapat disimpulkan bahwa sistem dapat membantu pemilik toko dalam menangani penjualan furniture dan bagi calon pembeli sistem

Untuk menggambarkan prosedur dari sistem yang sedang berjalan saat ini pada perusahaan tersebut, dalam hal ini menggunakan pendekatan berbasis objek, berikut

Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk menggantikan sistem Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang masih dilakukan secara konvensional dengan sistem e – voting

Salah satu yang dilakukan dalam penerapan sistem informasi untuk jaminan kesehatan dapat membantu pihak rumah sakit dan puskesmas dalam melakukan pendataan terhadap

Hasil penelitian ini berupa sistem informasi geografis yang menampilkan peta sebaran aset daerah Kota Tegal dan hasil evaluasi aset daerah milik Pemerintah Kota Tegal.