• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Suriah pada saat Arab spring 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik Suriah pada saat Arab spring 2010"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK SURIAH PADA SAAT ARAB SPRING 2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Raisa Rachmania

1110033200004

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

I ABSTRAK

Raisa Rachmania

1110033200004

Konflik Suriah Pada Saat Arab Spring 2010

Skripsi ini menganalisa konflik yang terjadi di Suriah dalam kurun waktu terjadinya Arab Spring 2010 hingga pemilihan presiden Suriah pada tahun 2014 yang kembali dimenangkan oleh Bashar Al-Asad. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan terjadinya konflik di negara yang sempat diprediksi sebagai salah satu negara dengan imunitas yang tinggi di Timur Tengah dan alasan dibalik bertahannya kekuasaan Bashar Al-Asad dalam konflik internal di Suriah.

Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Peneliti menemukan, bahwa Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Al-Asad yang sudah memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk mendapat kedaulatan dari rakyatnyadanpengaruh Arab Spring yang berawal di Tunisia dan Mesir membuat semangat para aktivis untuk menumbangkan rezim pemerintahan Al-Asad semakin besar. Argument ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat kebijakan awal masa pemerintahan Bashar Al-Asad, kemudian melihat dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor pemicu terjadinya Suriah Spring dan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teori.Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori antagonisme politik dan teori elit politik.

(6)

II

KATA PENGANTAR

Penelitian ini bermula dari rentetan peristiwa dalam Arab Spring yang terjadi

sejak tahun 2010 yang hingga saat ini masih belum terselesaikan di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Salah satu dampak dari peristiwa tersebut hingga

saat ini adalah bergolaknya pemberontakan melawan rezim pemerintahan di negara Suriah, negara yang dianggap memiliki tingkat keamanan dan stabilitas politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara

lainnya. Tidak seperti Mesir, Tunisia, Libya, yang dapat menumpas pemberontakan hanya dalam hitungan bulan, Suriah hingga saat ini masih berkutat dengan perlawanan untuk menumbangkan rezim Al-Asad. Pemberontakan yang meningkat

menjadi perang sipil yang telah memakan waktu hampir 5 tahun ini, telah memberikan perhatian lebih kepada penulis untuk melihat fenomena tersebut secara

komprehensif. Suriah menjadi pilihan karena kekuatan rezim Al-Asad yang mampu mempertahankan status quo saat konflik berkepanjangan melanda negara Suriah, tanpa sedikitpun berpikir untuk menarik diri dari pemerintahan. Konflik Suriah

merupakan buah dari berbagai masalah tak terselesaikan sejak munculnya negara Suriah. Penelitian ini membuktikan hal tersebut.

Selama menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini, dengan izin Allah SWT, banyak orang serta lembaga yang turut membantu penulis dalam mengerjakan tugas

(7)

III

dapat menyebutkan satu-persatu di bagian ini. Akan tetapi, penulis harus

mengucapkan terima kasih kepada beberapa diantara mereka.

Pertama dan utama, Ali Munhanif, Ph.D selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik dan pembimbing penelitian skripsi ini sejak masih berada dalam konsep

hingga penelitian ini selesai. Melalui diskusi intelektual dan berbagai referensi yang beliau berikan, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis merasa sangat beruntung memiliki pengalaman dibimbing oleh dosen seperti beliau. Di

tengah kesibukannya, beliau dengan rendah hati melakukan pengeditan keseluruhan draft penelitian penulis dan juga memotivasi penulis sehingga mendorong penulis

untuk menyelesaikan penelitian ini. Tanpa bantuan beliau, mungkin hasil penelitian ini kurang memiliki nilai ilmiah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zaki

Mubarak M.Si dan A. Alfajri MA yang telah bersedia menguji penelitian ini.

Terima kasih pula penulis berikan kepada Dewan Penguji Proposal Skripsi, yaitu Iding Rosyidin, MA dan Suryani Sua’eb, M.Si yang bersedia menguji proposal penelitian penulis. Selain itu, penulis haturkan terima kasih atas dorongan dari Sekertaris Program Studi Ilmu Politik, Zaki Mubarak, M.Si dan dosen-dosen yang turut memberikan masukan dan referensi, yaitu Armen Daulay M.Si dan Dr. Bakir

Ihsan, yang telah membantu penulis mengembangkan ide-ide dan teori untuk penelitian ini. Di samping itu, terima kasih pula penulis berikan kepada Prof. Bachtiar

(8)

IV

memberikan semangat intelektual kepada penulis. Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan Yoselin, M.Psi yang telah memberikan kemudahan akses jurnal

untuk menambah referensi penelitian ini.

Kepada Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UI,

Perpustakaan Paramadina, Perpustakaan Al-Hidayah Kebayoran Lama, dan Lembaga Pusat Kajian DPR RI senantiasa memberikan kebutuhan penulis akan buku-buku dan artikel terkait dengan penelitian ini. Tanpa bantuan dari instansi tersebut, penulis

tidak akan mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

Terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman Program Studi Ilmu

Politik UIN angkatan 2010; Imam Utomo, Ahmad Hidayah, Herman Afrianto, Umar, Aliya, Abudan, Abdau, dan semua yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, yang telah saling mendukung dan melakukan perjuangan bersama-sama untuk menggapai

cita-cita dan harapan masing-masing. Terima kasih khusus penulis berikan kepada. Halil sahabat yang ada di kala susah maupun senang, yang telah bersedia memberi

masukan dan arahan untuk penelitian ini, Eri, S.Sos dan Siswo Mulayartono, S.Sos, atas motivasi dan bantuannya dalam memberikan berbagai referensi terkait penelitian

ini.

Terakhir, terima kasih penulis berikan kepada seluruh keluarga besar yang selalu menerima penulis di setiap keadaan. Orangtua penulis, Pupu Abdul Gofur dan

(9)

V

menyelesaikan tanggung jawab dan jalan yang telah dipilih penulis. Terima kasih kepada kakek tercinta, Sis Suseno Tjakradisurya, dan semua paman-bibi penulis,

Endang Abdurrahman Manan, Aminah, Dra. Iis Rosyidah, Asti Taslimah, S.Hum, dan Iman Santosa, S.E atas doa dan dukungan baik moril maupun materil. Terima

kasih kepada saudara penulis Nadhira Gofur dan (Alm) Ibrahim Ahmad, yang telah bersedia mendengarkan luapan ide-ide penulis dan juga bersedia mengajarkan penulis arti berbagi dan menyayangi. Samluck Mueeza dan Makki, kucing-kucing yang kini

menjadi bagian dari keluarga dan hidup penulis, pun telah memberikan hiburan tersendiri di tengah kejenuhan yang melanda selama penelitian ini berlangsung.

Terima kasih dan sanjungan juga penulis berikan kepada partner of life, Doni Romdoni, atas kesabaran, ketabahan, kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini. Semoga semua yang telah membantu penulis mendapatkan balasan yang sesuai dari Allah SWT. Aamiin.

Ciputat, Tangerang Selatan

(10)

VI

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... I

KATA PENGANTAR ... II

DAFTAR ISI... VI

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… ..7

D. Tinjauan Pustaka ……….………. 7

E. Metodologi Penelitian ………..………….8

F. Sistematika Penulisan ……….…………10

BAB II KERANGKA TEORETIS A. Teori Antagonisme Politik ………..………...12

 Tingkat Individual ……….……….13

 Tingkat Kolektif…….……….24

B. Teori Elit Politik.……….33

BAB III SURIAH SPRING A. Lahirnya Negara Suriah ……….………39

B. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad………….………...…43

C. Pemerintahan Bashar Al-Asad………46

D. Suriah Spring ……….61

(11)

VII

B. Faktor-faktor Pemicu Suriah Spring 2011 ………...……..74

1. Kebijakan Militer Suriah ……….74

2. Kesenjangan Ekonomi ……….75

3. Damaskus Spring 2001 ………78

4. Konflik Sunni –Alawie di Suriah ………...81

 Turning Point Kelompok Alawie ………....………….….85

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………..………..92

B. Saran ………..95

(12)

1

BABI PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring, secara harafiah berarti pemberontakan Arab) merupakan gelombang revolusi unjuk

rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Meski demikian, tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.

Rangkaian ini terjadi di sebagian besar negara-negara Timur Tengah juga Afrika Utara. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia kemudian diikuti Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di

Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi,

Sudan, dan Sahara Barat.

Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab tersebut. Protes dilakukan dengan cara pemberontakan

sipil, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype. Upaya tersebut dilakukan dengan mengorganisir,

berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.

Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan

(13)

2 menumbangkan rezim ini).1

Rangkaian protes ini berawal dari peristiwa yang terjadi di Tunisia pada

17 Desember 2010. Yakni peristiwa pembakaran diri Mohamed Bouazizi2 sebagai protes atas korupsi dan kesewenangan sikap pemerintah Tunisia.3

Protes di Tunisia menuai kemudian menginspirasi gelombang kerusuhan yang menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negara-negara lain. Umumnya, unjuk rasa terbesar dan terorganisir terjadi pada "hari

kemarahan". Yakni, hari Jumat setelah shalat Jumat. Protes itu juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.

Pada Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir,

Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal yang mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun.

1“Arab Spring”

artikel diakses pada 6 November 2013 dari

http://www.wikipedia.com/ArabSpring. html 2

Mohammed Bouazizi adalah seorang pemuda berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai pedagang sayur dan buah-buahan di kota Sidi Bou Zid, 300 meter kilometer dari selatan Tunis, Tunisia. Jum‟at, 17 Desember 2010, ia melakukan pembakaran diri di depan gedung pemerintahan setempat, sebagai protes atas penguasa yang korup. Kejadian tersebut bermula ketika dirinya yang akan berjualan, dihentikan oleh seorang polisi wanita bernama Fetya Hamdi, karena Bouazizi dituduh tidak memiliki izin untuk berjualan. Kemudian polisi tersebut menampar dan mengobrak-abrik dagangannya. Tidak terima akan perlakuan tersebut, Bouazizi bermaksud untuk melaporkan hal tersebut kepada wali kota setempat. Namun, seorang resepsionis di kantor wali kota mengatakan bahwa wali kota sedang rapat sehingga Bouazizi tidak dapat menemuinya. Kemudian, Bouazizi pergi ke sebuah toko dan membeli bensin. Tanpa piker panjang lagi ia menuangkan bensin tersebut pada seluruh tubuhnya dan menyulut tubuhnya dengan korek api. Keesokan harinya, Menobia, ibu Bouazizi melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh polisi wanita tersebut terhadap anaknya ke kantor wali kota. Namun, keluhannya tidak mendapat respon, sehingga ia melakukan protes sendirian di luar gedung. Sepupu Boazizi, Ali Bouazizi, merekam protes yang dilakukan oleh Menobia dan mengunggahnya ke Internet, dan pada hari yang sama awak jaringan televise Al Jazeera mengambil dan menayangkannya dalam televisi, sehingga seluruh dunia mengetahuinya dan membuat rakyat berani untuk melawan rezim yang sedang berkuasa, Presiden Zine Al-Abidine Ben Ali.

3

(14)

3

Selama periode kerusuhan regional tersebut, beberapa kepala pemerintahan mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi

setelah masa jabatannya berakhir. Misalnya, Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015. Begitu pula

Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya akan berakhir tahun 2014, meski pengunjuk rasa menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Di sisi lain, pemimpin Libya Muammar al-Khadafi menolak

mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi.4

Di Suriah juga terjadi hal yang serupa hingga saat ini masih berjalan. Pada awalnya, Suriah merupakan negara yang relative lebih stabil dibanding negara-negara Arab lainnya saat terjadi Arab Spring, namun pada 6 Maret 2011

muncul sebuah perlawanan di kota Deraa yang dilakukan oleh para orang tua yang anak-anaknya ditahan oleh polisi setempat karena membuat grafiti di

dinding sebuah bangunan dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam

(Rakyat ingin menumbangkan razim).5 Lima belas orang anak sekolah yang dianggap melakukan pembuatan grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian

setempat.

Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara.

Hal tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur

4

M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013)., hal. 107.

5

(15)

4 setempat.

Perilaku membuat grafiti di dinding tersebutoleh anak-anak sekolah usia

sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di

Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut. Mereka menganggap,

bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan termasuk ke dalam tindakan subversif. Tindakan kekerasan yang dilakukan

aparat keamanan tersebut, mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga kota Deraa melakukan aksi protes yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa, Faisal Khaltoum. Namun, protes yang dilancarkan oleh para demostran malah

disambut dengan pemukulan dan pembubaran paksa aksi yang dilakukan di depan kediaman gubernur tersebut. Aparat keamanan kemudian melanjutkan

aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para demonstran hingga menelan korban.6

Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya

merambah ke kota-kota lainnya di Suriah. Tuntutan yang diajukan para demonstran pun akhirnya beragam, yang pada awalnya hanya sebatas

pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga menjadi penurunan rezim yang berkuasa.

Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah

6

(16)

5

pusat tidak bisa tinggal diam. Pemerintah, melancarkan serangan kepada para demonstran secara masif. Gerakan para demonstran kemudian dijadikan

kesempatan bagi para oposisi untuk membantu berjuang bersama menumbangkan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring

berjalannya konflik, banyak free rider7 yang turut memperkeruh suasana di Suriah baik itu di pihak oposisi maupun loyalis pemerintah.

Sudah hampir dua tahun konflik di Suriah dalam Arab Spring

berlangsung, namun belum terlihat tanda-tanda akan berakhirnya konflik tersebut. Dalam periode Arab Spring kali ini, konflik yang terjadi di Suriah

merupakan konflik terlama dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan sebagainya. Kedua belah pihak baik oposisi maupun loyalis sama-sama memiliki kekuatan yang seimbang,

sehingga terjadi deadlock yang menyebabkan konflik ini sulit diatasi. Konflik tersebut telah menelan banyak korban. Meskipun demikian tetap saja tidak

menyulutkan semangat kedua belah pihak untuk menurunkan ego dan tuntutannya.

Konflik tersebut tidak hanya menelan korban jiwa tapi juga materil yang

tidak sedikit jumlahnya. Hal itu dapat dilihat dari lamanya konflik ini berlangsung mengingat Suriah bukan termasuk negara yang makmur malah

cenderung sebagai negara yang memiliki tingkat inflasi dan pengangguran yang cukup tinggi, namun dapat menggelontorkan biaya yang besar untuk perang.

7

(17)

6

Kekuatan Bashar al-Asad sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah juga cukup mencengangkan karena tetap konsisten

melawan oposisi, yang telah menelan banyak korban dari pihak sipil.

Selain itu, banyaknya pihak asing yang ikut bermain dalam konflik ini

membuat konflik ini semakin sulit diatasi. Ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki Suriah, tidak seperti negara Arab lainnya, tentu hal ini pun melahirkan pertanyaan perihal kepentingan apa yang akan dituai dari para pihak asing yang

ikut bermain dalam konflik tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengkaji konflik yang terjadi di Suriah pada pemerintahan

Presiden Bashar al-Asad. Berdasarkan masalah tersebut, maka skripsi ini berjudul

“Konflik Suriah pada saat Arab Spring 2010”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tidak

melebar ke topik yang lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas di skripsi ini yaitu dimulai tahun 2011 saat Suriah ikut terkena gejolak Arab Spring hingga Bashar Al-Asad kembali menjabat

sebagai presiden Suriah untuk ketiga kalinya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana konflik di Suriah dapat terjadi?

(18)

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian :

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konflik di Suriah terjadi dan apa saja faktor yang mempengaruhi konflik di

negara tersebut.

2. Manfaat Penelitian :

a. Manfaat Akademis :

1. Untuk memberikan kontribusi literatur keilmuan dan menjadikan skripsi

ini sebagai literatur di bidang ilmu politik.

2. Penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi peneliti skripsi yang menulis masalah yang sama di masa yang

akan datang.

b. Manfaat Praktis :

 Mengembangkan ilmu politik khususnya analisa terhadap

konflik yang terjadi di suatu negara, sehingga dapat dilihat tidak hanya dari satu sudut pandang saja.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang peneliti gunakan diantaranya buku dengan judul

(19)

8

Kuncahyono. Buku tersebut membahas keadaan Suriah sebelum terjadi revolusi hingga saat revolusi sedang berlangsung.

Buku selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah “Prahara Suriah :

Membongkar Persekongkolan Multinasional” oleh Dina Y Sulaeman. Buku

tersebut membahas propaganda yang dilakukan beberapa media massa maupun elektronik pro oposisi dan barat guna mendapatkan dukungan intervensi politik dan keamanan dari masyarakat dunia.

Kemudian, kesamaan penelitian yang penulis lakukan dengan dua penelitian sebelumnya adalah terletak pada periode yang digunakan, yaitu

pada saat Arab Spring berlangsung. Perbedaannya adalah penulis berusaha memaparkan faktor apa saja yang menjadi penyebab Suriah ikut terkena gelombang Arab Spring.

E. Metodologi Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah melakukan pengamatan terhadap individu-individu dengan cara berdialog langsung, serta mengetahui bahasa dan

pandangan mereka, yang berkaitan dengan lingkungannya.8

Peneliti mengggunakan pendekatan penelitian tersebut berdasarkan

pertimbangan bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan data yang akan menghasilkan pemahaman yang

8

(20)

9

lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini.

b. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Utama Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Pasca Sarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan kedutaan besar Suriah yang mempunyai sumber terpercaya dari informasi atas kasus ini hingga

skripsi selesai.

c. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data saat penelitian, maka penulis

menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Maka, penelitian ini menggunakan buku,

jurnal, serta artikel pada media massa dan internet sebagai data pokok, dan wawancara dengan pengamat Timur Tengah, para diplomat, dan Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia sebagai data penunjang.

d. Teknik Analisa Data

(21)

10

diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan.9 Proses tersebut diharapkan dapat memberikan ketepatan dalam mengelola data penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian lengkap, maka penulis memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis

besar penulisan melalui beberapa bab, disertai dengan sub-bab dalam menjelaskan berbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian yang

lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan sebagai berikut:

 Bab I : Pendahuluan, meliputi : pernyataan masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

 Bab II : Kerangka Teori

 Bab III : Pembahasan konflik di Suriah, mulai dari awal pembentukan

Suriah, peristiwa Arab Spring hingga Suriah Spring, dan keadaannya hingga saat skripsi ini ditulis.

 Bab IV : Pembahasan mengenai analisa komparatif konflik dan faktor

terjadinya konflik Suriah.

9

(22)

11

 Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran atas penelitian

ini.

 Daftar Pustaka.

(23)

12 BABII

Kerangka Teoretis

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan teori10 Antagonisme Politik dan teori Elit Politik. Kedua teori tersebut menggambarkan dan membahas

fenomena-fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai dan dinamakan non-valutional (value-free).11 Dengan menggambarkan

kerangka teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan jawaban awal dalam berbagai permasalahan terhadap konfik yang terjadi di Suriah pada masa pemerintahan Bashar Al-Assad.

A. Teori Antagonisme Politik

Antagonisme adalah sebuah realitas yang menempatkan sesuatu menjadi lawan dari sesuatu, apakah hal tersebut untuk mempertahankan kedudukan, merebut kekuasaan, atau mempertahankan diri dari ancaman politik.12 Dalam

teori sosiologi politik, Maurice Duverger melihat bahwa antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama,

sebab individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis. Kedua,

10

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran manusia, dan karena hal tersebut, onsep bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Bahasan dalam fenomena yang bersifat politik seperti; tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan tersebut, kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Sumber : Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 43.

11

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 44.

12

(24)

13

sebab kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial dan faktor sosiokultural.

1. Tingkat Individual

Ada dua jenis sebab individual di dalam pergolakan politik. Pertama

adalah, perbedaan bakat alami di kalangan manusia. Ada manusia yang lebih berbakat daripada yang lain dalam konteks untuk menjamin kekuasaannya. Di pihak lain, tergantung pada kecenderungan psikologis, individu-individu

tertentu lebih cenderung daripada yang lain kepada dominasi atau kepatuhan: yang pertama berusaha untuk memerintah yang terakhir, dan yang terakhir

lebih atau kurang menerima keadaan taklukannya.13

1.1Bakat-bakat Individual

Teori-teori yang menjelaskan tentang pergolakan-pergolakan politik dalam hubungannya dengan perbedaan di dalam bakat-bakat

pribadi berasal dari konsep-konsep biologis Charles Darwin tentang

Struggle of life. Menurutnya, setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu

yang berhasil. Proses seperti ini (seleksi alam) menjamin terpeliharanya spesies maupun perbaikannya. Kemudian proses seperti

ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Di dalam arena politik, hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama dan hal ini berlaku sebagai landasan teori elite (dari

13

(25)

14

persaingan merebut kekuasaan, munculah yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah).

Di dalam doktrin-doktrin liberal tentang elite, persaingan seleksi alam didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan

diri sendiri. Sejak permulaan munculnya manusia hingga saat ini, kecenderungan untuk saling menguasai antara satu manusia dengan yang lain adalah alasan dari faktor kelangkaan ekonomi.14 Dengan

setiap orang mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan pribadinya, maka persaingan permanen muncul sebagai akibat dari

konsumen yang terlalu banyak dan barang-barang konsumsi yang jumlahnya terbatas. Dalam kompetisi ini, mereka yang memegang kekuasaan memperoleh keuntungan yang penting. Dalam sejarahnya,

baik individu, kelompok, maupun kelas sosial yang melaksanakan kekuasaan politik, semakin banyak kekuasaan politik dimiliki

seseorang semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi; dan juga sebaliknya, semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi, maka semakin besar bagiannya dalam kekuasaan politik.

Dalam perjuangan politik sebagaimana terdapat persaingan ekonomi, peserta yang terbaik yang menang, yaitu mereka yang paling

bermutu dalam intelegensinya, keberaniannya, kekuatannya, kelicikannya, dan kemampuannya bekerja. Sebagaimana dalam motif politik, kepentingan pribadi juga merupakan motif utama dalam

14

(26)

15

persaingan ekonomi. Kekuasaan dicari bagi keuntungan dirinya dan bukan karena dedikasinya bagi pelayanan umum. Persaingan ekonomi

menempatkan wiraswasta yang terbaik menjadi kepala produksi sedang mereka yang kurang berbakat disingkirkan. Maka, dalam

pandangan liberal, integrasi politik dihasilkan oleh perjuangan politik itu sendiri.

Selanjutnya, di dalam teori konservatif tentang elite menganggap

perbedaan dalam bakat sebagai faktor utama di dalam pergolakan politik. Kaum konservatif lebih percaya bahwa orang yang lebih

mampu lebih dimotivasi oleh pertimbangan altruistic15 daripada pertimbangan ekonomi.16 Orang yang lebih mampu bukanlah orang yang paling kuat, inteligen, licik, atau pun berani, tapi mereka yang

paling baik. Orang yang paling baik memiliki kualitas moral dan keputusan nilai yang lebih dari yang lain.

Teori ini didasarkan kepada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasikan oleh naluri dan impuls yang rendah, dan

15

Altruisme atau altruistic adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Altruisme

16

(27)

16

senantiasa siap untuk kembali kepada keadaan kebuasan primitive. Hanya beberapa individu yang dikaruniai kekuatan moral yang besar,

berhasil mengatasi kecenderungan instingtif tersebut. Peradaban dipertahankan terutama melalui penggunaan kekuatan, yang

dilaksanakan oleh kekuasaan politik yang dipegang oleh elite. Tanpa kekerasan semacam ini, masyarakat akan jatuh ke dalam anarki dan berbalik kepada keadaan buas.

Perjuangan politik kaum elite tidak tergerak terutama oleh kepentingan diri sendiri, akan tetapi lebih dimotivasi oleh rasa

mengabdi (sense of service). Mereka percaya bahwa kepentingan diri sendiri adalah kasar dan tidak patut. Dalam doktrin ini bukan saja bakat yang dibawa sejak lahir yang menjadi dasar perbedaan antara

kaum elite dan massa tapi juga latihan sosial yang mengembangkan naluri-naluri baik dan menekan naluri buruk. Namun pada prinsipnya,

pergolakan antara kaum elite dan massa, atau antara orang yang sangat berbakat dengan orang yang kurang berbakat, adalah pergolakan individual.

Teori konservatif cenderung mencampurbaurkan elite yang terdiri dari individu-individu yang superior dengan aristokrasi kasta

turun-temurun. Secara normal, aristokrasi dan elite berada dalam satu jalur. Peradaban berpijak kepada pembentukan elite di dalam masyarakat dengan rasa kepentingan masyarakat, kehormatan, dan pelayanan,

(28)

17

dimotivasi oleh keinginan dan naluri kepentingan diri sendiri.

Dalam doktrin konservatif, seorang sosiolog Italia, Vilfredo Pareto,

mengungkapkan tentang gerakan elite yang mengungkapkan konflik permanen antara permainan silang bakat individual dan kecenderungan

untuk membentuk kelas-kelas sosial atau kasta turun-temurun. Menurutnya, elite adalah

Individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Mereka berjuang melawan kaum-kaum yang kurang berbakat, kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan. Namun dalam usaha ini, mereka diblokir oleh kecenderungan kaum elite yang berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri dan turun-temurun sehingga membatasi gerakan kaum elite untuk maju ke tangga atas sosial dari mereka yang terbaik dan yang paling berbakat.17

Dalam teori Pareto, bila kelas-kelas sosial atau kasta sangat kaku

dan tertutup rapat, maka individu-individu yang berbakat dari kasta atau kelas yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk bangkit ke posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Maka konsekuensinya, mereka

bergabung untuk melawam tatanan sosial yang ada, dengan tingkat kekerasan yang lebih besar untuk menjatuhkan tatanan sosial tersebut.

Sebaliknya, jika kelas-kelas yang memerintah lebih terbuka dan mudah untuk didekati, maka individu-individu yang sangat berbakat dari

kelas-kelas yang lebih rendah dapat diterima dan akan mengurangi ketegangan sosial.18 Kekakuan yang ada pada setiap kelas lebih mungkin merupakan reaksi dari sikap kelas yang memerintah (the ruling class).

1.2Sebab-sebab Psikologis

17

Duverger, Sosiologi Politik, hal.165. 18

(29)

18

Dalam menganalisa faktor terjadinya antagonisme politik, kemampuan individual (bakat individu) dan tempramen psikologis merupakan dua

alasan dari terjadinya antagonisme tersebut. Kemampuan individual (bakat individu) merupakan aspek eksternalnya, sedangkan analisa psikologis

merumuskan hakikat dalamnya.19

Bagi psikoanalis, antagonisme politik merupakan akibat dari frustasi psikologis yang kurang atau lebih berhubungan dengan konflik dari masa

kecilnya yang terkubur di dalam alam bawah sadar. Pengalaman dari masa kecil memiliki pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan

psikologis berikutnya di masa yang akan datang seorang individu. Dalam tahap pertama eksistensinya, seorang anak hidup di dalam suatu keadaan yang dikuasai oleh kesenangan atau kebebasan. Hidup seorang anak

didominasikan oleh prinsip kesenangan. Selanjutnya, unuk dapat bergabung dengan masyarakat, dia harus mengganti prinsip kesenangan

dengan prinsip kenyataan, yang berarti dia harus menekan kesenangan dan membatasi kesenangan tersebut. Dia diwajibkan untuk mengikuti dan mematuhi segala aturan yang berlaku di masyarakat. Namun, naluri

kesenangan tersebut terlalu kuat untuk dihilangkan. Perdebatan batin dalam diri seseorang menyangkut naluri kesenangannya dengan aturan di

masyarakat menghasilkan frustasi yang menjadi pondasi lahirnya antagonisme sosial.

Peradaban industri, yang menjadikan alam semesta menjadi rasional,

19

(30)

19

mekanis, modal, dan antiseptik, bertentangan secara diametris terhadap kecenderungan instingtif dan keinginan yang mendalam dari manusia.

Kemajuan teknologi yang membangun suatu dunia dimana naluri manusiawi tidak mendapat tempat, cenderung menyebabkan

meningkatnya sifat agresif, dalam keinginan untuk menguasai, dalam kekerasan, dan konsekuensinya di dalam intensifikasi antagonisme dan konflik.20

Faktor-faktor yang jelas di dalam antagonisme politik bisa juga menjadi produk dari fenomena kompensasi. Keinginan untuk menguasai

dan sikap otoritarian bisa juga menjadi akibat dari keinginan untuk berkuasa dari seorang individu yang kuat dan penuh energi, atau dari kelemahan psikologis, kekacauan dari dalam bati, ketidakmampuan untuk

memperoleh respek orang lain, yang tersembunyi di balik sikap yang persis sebaliknya.

Seorang ilmuan asal Amerika, Theodora Adorno, pada tahun 1950 pernah melakukan penelitian tentang kepribadian otoritarian. Kepribadian tersebut didefinisikan oleh konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta

oleh penglihatan yang disederhanakan tentang alam sosial dan moral yang dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih).21 Di

dalam otoritarian muncul paham di mana yang berkuasa harus memerintah karena mereka yang terbaik, yang lemah harus mendapatkan tempat di bawah karena dari segala segi mereka lebih rendah, dan nilai orang

20

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 178. 21

(31)

20

ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada kondisi sosial.

Umumnya, kepribadian otoritarian adalah khas milik individu-individu

yang tidak pasti akan dirinya sendiri, yang tidak pernah berhasil di dalam membangun kepribadiannya sendiri dan menstabilkannya, yang tidak

percaya kepada dirinya sendiri dan meragukan identitasnya. Mereka berpegang teguh pada bentuk-bentuk luar karena mereka mempunyai sesuatu di dalam dirinya sendiri untuk berpegang. Stabilitas ketertiban

sosial dengan demikian menjadi dasar stabilitas kepribadiannya sendiri, yang bisa menjadi disintegrasi tanpanya. Lalu, sejalan dengan semua itu,

bilamana mereka mempertahankan ketertiban sosial, adalah diri mereka sendiri, dasar dari keberadaannya sendiri dan equilibrium psikologisnya sendiri yang mereka bela. Hal ini yang menjadi dasar bentuk

keagresifannya dan kebenciannya terhadap mereka yang tidak setuju dengannya, terutama terhadap “orang lain”, orang-orang “yang berbeda”,

yang jalan hidupnya dan sistem nilai-nilainya menantang ketertiban sosial yang ada, mereka yang mempertanyakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umumnya. Kepribadian otoritarian mendukung partai-partai konservatif

dalam masa tenang ketika ketertiban sosial tidak terancam. Bila timbul ancaman, sikap keagresifannya dengan sendirinya timbul dan

mendorongnya kearah gerakan-gerakan fasistis. Maka, orang-orang yang paling tidak stabil ke dalam mempengaruhi secara luar bisaa wajah stabilitas dari luar: partai-partai politik yang dibangun atas kekerasan

(32)

21

Seringkali, otoritarianisme, dominasi, dan kekerasan merupakan kompensasi bagi kekecewaan dan kemunduran pribadi. Seorang

psikoanalis pemberontak, Alred Adler, mencatat bahwa brutalitas dan despotisme seringkali menjadi overkompensasi bagi kesakitan yang

dialami orang-orang kecil atau dengan cacat fisik. Ia menganggap kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa manusia. Baginya, naluri untuk menguasai adalah sumber perilaku

manusia, yang menggantikan libido, naluri kesenangan.

Dalam psikoanalisa mengenai antagonisme politik, ada penjelasan

bahwa terjadi ambivalensi yaitu adanya konflik dan integrasi di dalam fenomena kekuasaan politik. Hal ini juga terkait akan perasaan seorang anak terhadap orang tuanya. Banyak ahli yang mengemukakan bahwa

keluarga merupakan sel atau unit dasar dari semua masyarakat manusia, dan yakin bahwa yang terakhir dibentuk menurut pola keluarga. Simon

Freud berpendapat bahwa otoritas orang tua berlaku sebagai model sampai tingkat tertentu, sebagai suatu proto tipe bagi bentuk-bentuk lain dari otoritas. Di dalam pengalaman pertama peralihan manusia dari prinsip

kesenangan kepada prinsip kenyataan, orang tua memainkan peranan yang menentukan. Mereka merumuskan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban,

dan larangan-larangan yang harus diikuti oleh seorang anak. Peranan orang tua seperti ini menciptakan konflik di dalam hati seorang anak. Sampai dengan saat itu, anak dapat menerima apa adanya, semata-mata

(33)

22

kesenangannya, sedangkan pada saat yang sama, anak tersebut membutuhkan orang tuanya dan tetap bergantung kepada mereka karena

kelemahannya. Situasi ini secara kuat melahirkan emosi ambivalen di dalam diri seorang anak terhadap orang tuanya, secara bersamaan ada rasa

cinta dan benci, juga rasa syukur dan kesebalan. Ambivalensi terhadap semua otoritas yang serentak dirasa sebagai protektif dan tak dapat ditahan, datang bukan saja dari pengalaman, yang mengungkapkan bahwa

kekuasaan adalah juga berguna dan mengganggu, perlu dan memaksa, tapi dia juga mempunyai alasan-alasan yang lebih dalam, yang lebih sulit

untuk dilihat.

1.2.1 Tempramen Politik

Tempramen politik adalah kategori-kategori yang berlaku

untuk mengklasifikasikan individu-individu menurut perilaku dan sikap-sikapnya secara keseluruhan. Bagi sebagian orang, tempramen

muncul sebagai pembawaan dari lahir yang bersifat biologis. Sedangkan bagi yang lain, tempramen didapat akibat dari hubungan-hubungan psikososial. Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini

bercampur begitu tak terpisahkan dalam proporsinya masing-masing.

Konsep tempramen politik meliputi menyoloknya faktor-faktor

yang berhubungan dengan individu-individu, dan bukan terhadap struktur sosial. Paham tentang tempramen mencoba menjelaskan antagonisme sosial dalam hubungan dengan disposisi, yang kurang

(34)

23

didorong oleh kecenderungan-kecenderungan pribadinya kearah sikap-sikap politik tertentu, yang membawanya kepada konflik-konflik

dengan tipe manusia lain yang kecenderungan pribadinya membawanya kepada sikap politik yang berlawanan. Konsep tersebut

berada di dalam kerangka sebab-sebab individu bagi antagonisme politik.

a. Klasifikasi Umum Tempramen dan Sikap Politik

Klasifikasi ini dipopulerkan di Perancis oleh Rene Le Senne dan Gaston Berger. Hal ini tergantung dari 3 kriteria dasar : emotivity,

activity, dan reverberation, yaitu panjangnya jangka waktu suatu ide atau citra bertahan di dalam pikiran seseorang.

Dalam hubungan dengan reverberation di wilayah politik, orang

dengan tipe amorph (unemotive, inactive, primary) dan yang phlegmatics (unemotive, inactive, secondary) bisaanya indiferen

terhadap perjuangan atau konflik, tidak berminat untuk memperoleh kekuasaan, menghormati kebebasan orang lain, dan dari sini moderat dan bersifat mendamaikan dalam antagonisme politik. Sebaliknya,

individu yang passionate (emotive, active, secondary) dan yang choleric (emotive, active, primary) tertarik kepada pergolakan politik

dan perjuangan untuk merebut kekuasaan; tipe yang pertama bisaanya para pemimpin yang otoritarian, dan tipe yang kedua bisaanya orang yang membentuk opini public, orator, dan wartawan yang pada

(35)

24

diktatoral. Orang dengan tipe lainnya yaitu nervous (emotive, inactive, primary) dan sentimental (emotive, inactive, secondary) bisaanya

orang dengan tipe revolusioner, yang pertama agak anarkis, sedang yang kedua tidak selalu enggan untuk mempergunakan metode-metode

otoritarian. Orang dengan tipe apathetic (unemotive, inactive, secondary) bisaanya konservatif, dan sanguine (unemotive, active, primary) cenderung menjadi oportunis.22

b. Teori Eysenck tentang Tempramen Politik

Seorang ahli psiko-sosiologi Inggris H.J. Eysenck membangun

sebuah klasifikasi tempramen politik. Klasifikasinya didasarkan pada analisa secara matematis dari jawaban-jawaban kuesioner tentang sikap-sikap politik. Sumbangannya pada ilmu sosiologi politik adalah

pada penggantian klasifikasi berdimensi satu dengan berdimensi banyak, yang memakai dua sumbu : sumbu pertama adalah

radikal-konservatif, dan yang kedua adalah sumbu keras-lembut.23

2. Tingkat Kolektif.

Antagonisme yang bergerak pada Tingkat kolektif adalah konflik-konflik

politik yang mencerminkan perjuangan-perjuangan antar ras, persaingan-persaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas territorial lainnya,

kompetisi antara kelompok-kelompok yang diorganisir, dan pertempuran

22

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 200-203. 23

(36)

25 antara kelompok ideologi atau agama.24

a. Perjuangan Kelas

Banyak orang percaya bahwa antagonisme politik disebabkan oleh ketidaksamaan antara kelompok-kelompok sosial atau pun kelas-kelas sosial.

Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut paham bahwa perbedaan kelas didasarkan pada perbedaan kontras antara yang kaya dengan yang miskin, yang berpunya dengan yang tidak, dan kelompok yang berprivilese

dengan kelompok yang dihisap, kedalam teori tentang strata sosial. Namun, Marxisme menempatkan perbedaan kelas sosial kepada peranan yang lebih

rendah dan menolak hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa apakah yang menyebabkan kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang-orang yang lain. Karena, bilamana kekayaan dan kemiskinan hanya tergantung dari

kemampuan individual dari seseorang, pada inelegensi, kekuatan, dan kemampuan bekerja, maka seharusnya tidak ada kelas. Kemiskinan dan

penghisapan adalah akibat dari kelahiran dan dengan demikian mempunyai sifat turun temurun. Konsep kelas didasarkan pada ide bahwa perbedaan dalam status sosial tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi

dipaksakan kepada mereka atas cara yang khusus.

Dalam kaitannya dengan Antagonisme, hanya beberapa orang yang

menyangkal bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik politik. Bagi kaum Marxis, antagonism kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas, yang pada gilirannya ditentukan oleh system produksi dan system milik, yang

24

(37)

26

keduanya merupakan efek dari perkembangan teknologi.

b. Konflik-Konflik Rasial

Anagonisme politik tertentu disebabkan juga oleh konflik antar ras. Dari segi zoologis, manusia merupakan species homo sapiens, tetapi dibagi lagi

menjadi beberapa varietas yang memiliki sifat turun temurun tertentu.25

Teori rasis mengatakan bahwa ras manusia yang berbeda-beda mempunyai bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka

menganggap beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain, misalnya tidak mampu mengorganisir dan mempertahankan masyarakat

modern pada tingkat yang maju. Namun, ras-ras tersebut yang dianggap lebih rendah, tidak mau mengakui ketidakmampuannya. Maka, terjadilah pertentangan antar ras-ras yang dianggap lebih rendah dengan ras-ras yang

dianggap lebih tinggi, untuk memperoleh dan melaksanakn kekuasaan politik. Karena itu, terjadilah perlawanan melawan ras-ras superior demi menghindari

penguasaan ras tersebut.

Teori-teori rasis sebenarnya tidak mempunyai nilai ilmiah. Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan

pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima.

Kenyataan bahwa teori-teori ras adalah palsu tidaklah menghindari terjadinya konflik-konflik rasial. Namun, bukan konflik antara ras yang

25

(38)

27

rendah atau yang lebih tinggi, namun lebih kepada konflik antara ras-ras yang berbeda-beda. Secara mendasar, ada perbedaan konflik rasial, yaitu konflik

rasial vertikal dan konflik rasial horizontal.

Konflik rasial vertikal terjadi antara kelompok rasial yang dominan, yang

bertempat tinggi di atas tangga sosial, dan kelompok rasial yang diperintah, yang bertempat di bawahnya. Contohnya konflik rasial antara orang-orang kulit putih dan orang-orang deng kulit hitam di tanah-tanah jajahan. Dalam

konflik rasial horizontal, kedua ras yang bertentangan satu sama lain yang tidak berada dalam hubungan dominan bawahan. Contohnya adalah konflik

antara suku-suku di beberapa negara Afrika saat ini.

Jika dilihat dari para pelaku konflikya, sebenarnya konflik antar ras yang terjadi saat ini bukanlah soal tentang ras-ras yang benar dalam pengertian

biologis, akan tetapi tentang pseudoras, yang adalah entitas kultural daripada kelompok-kelompok biologis yang berbeda.

c. Konflik Antara Kelompok-kelompok Horizontal

Dalam konflik kelompok horizontal, setiap kelompok mencoba saling menguasai yang lain sebagai mana halnya di dalam konflik antara kelompok

vertikal. Klasifikasi dari kelompok horizontal meliputi : kelompok-kelompok territorial (bangsa, propinsi, daerah-daerah, dan komuni), corporate group

(profesi, asosiasi, serikat buruh),dan kelompok ideologis (partai politik, agama).26 Dalam kelompok-kelompok ini, antagonisme berkembang dengan berbagai corak, dan menjadi tameng bagi antagonisme dari jenis lain.

26

(39)

28 d. Konflik Antara Kelompok Teritorial

Kelompok-kelompok territorial didasarkan pada eksistensinya daripada

melalui persamaan. Pada paruh abad kedua puluh, bangsa-bangsa masih merupakan entitas territorial yang mendasar. Di dalam masa-masa purba,

kelompok-kelompok kesukuan dan kemudian di kota-kota meliputi pengelompokan-pengelompokan utama secara horizontal. Kadang, komunitas-komunitas yang besar berkembng, kemudian kita sebut sebagai imperium,

seperti Mesir, Assiria, Persia, dan Roma.27

Konflik antara bangsa-bangsa cenderung diselesaikan baik dengan

kekerasan (perang) atau semata-mata dengan prosedur kontraktual (perjanjian atau pun persetujuan diplomatic), bilamana tidak ada arbitrase kekuasaan politik. Kebanyakan kelompok-kelompok territorial berada di dalam

bangsa-bangsa. Ada “masyarakat universal” yang lebih kecil meliputi subdivisi,

seperti komune, daerah, dan provinsi. Lainnya adalah berupa

subdivisi-subdivisi dari masyarakat khusus yang juga dibentuk di dalam bangsa, seperti cabang-cabang lokal dari asosiasi tertentu, perserikatan, dan masyarakat-masyarakat dari titik tilik yang terakhir, pembagian kelompok-kelompok

territorial dan kelompok-kelompok korporatif gabungan satu dengan yang lain. Antagonisme dalam ranah ini berkembang tergantung dari tingkat

integrasi nasional.

Ada pula kelompok-kelompok territorial di luar pengelompokan nasional, beberapa diantaranya adalah subdivisi dari masyarakat internasional. Beberapa

27

(40)

29

bangsa bisa berorganisasi menjadi blok-blok yang kurang lebih koheren, seperti NATO, blok timur, masyarakat Eropa, dan Organisasi negara-negara

Amerika. Politik internasional dengan demikian didasarkan bukan saja pada antagonisme antar bangsa akan tetapi juga antagonisme antar blok

bangsa-bangsa. Beberapa kelompok teritorial tertentu berada pada titik yang sama dengan bantuan nasional, misalnya di dalam gereja Katolik Roma, kita mendapatkan gereja Katolik Perancis, gereja Katolik Spanyol, dan gereja

Katolik Amerika Serikat.28

Berkembangnya antagonisme antar kelompok teritorial adalah akibat dari

ketidaksamaan kepemilikan, seperti pemilikan alat produksi. Aspek material dari konflik antara kelompok-kelompok teritorial kadang-kadang tersembunyi di balik ideologi dan mitos-mitos, yang membuat kontroversi tersebut

kelihatannya lebih idealistis, kurang materialistis, namun tetap ada unsur dari faktor material.

Sejalan dengan unsur-unsur riil tersebut, antagonisme antara kelompok-kelompok teritorial seringkali menjadi tameng bagi konflik-konflik dari jenis lain, seperti antagonisme kelas. Nasionalisme adalah alat untuk menutupi

permusuhan antara orang yang mempunyai privilege dan yang tertekan di dalam suatu negara dengan rasa solidaritas yang berasal dari menjadi anggota

suatu komunitas teritorial yang sama.

Dalam hubungan tertentu, solidaritas teritorial bersifak arkaik, yang didasarkan pada masa lalu yang ingin dipeliharanya, di mana solidaritas kelas

28

(41)

30 adalah fenomena yang lebih baru.29

e. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif

Seperti kelompok teritorial, kelompok korporatif juga tergantung pada berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan. Kelompok professional adalah

kelas dari kelompok korporatif yang paling penting.

Dalam arti yang sempit, kelompok korporatif mempersatukan orang yang terlibat di dalam kegiatan professional tertentu. Di dalam arti yang luas,

kelompo ini dapat berarti mereka yang dididik atau dilatih di dalam sekolah yang sama, mereka yang menjadi anggota agen pemerintahan yang sama atau

klasifikasi professional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang dengan kepentingan rekreasi yang sama (olahraga, atletik, dan asosiasi kultural).30

f. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif

Kelompok-kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif

yang paling penting. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi mempertahankan kemajuan korporat melawan anggota-anggota dari profesi atau organisasi yang lain. Maka, ada antagonisme alami antara berbagai

profesi, dan pada saat yang sama, sebuah komunitas kepentingan di kalangan anggota dalam profesi yang sama.

Secara umum, kepentingan kelas lebih kuat dari kepentingan korporat. Karena itu, antagonisme kelas lebih penting secara politik daripada

29

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 256. 30

(42)

31

antagonisme korporat. Namun dalam beberapa wilayah tertentu, kepentingan korporat mengatasi kepentingan-kepentingan lain. Hal ini menjadi agak sering

di dalam pertanian, terutama konflik antara sector pertanian dalam ekonomi dan sector industri dan sector komersial.31

Kaum Marxis beranggapan bahwa konflik korporat ini di dalam kelas sosial yang sama menjadi kontradiksi daripada antagonisme. Ini berarti bahwa konflik tersebut tidak terlalu fundamental.32

Salah satu contoh tentang kelompok-kelompok korporat yang berperan sebagai kamuflase bagi antagonisme lain adalah doktrin korporati yang

berkembang pada tahun 1930-an. Ide fundamentalnya adalah untuk mengorganisir bangsa-bangsa menurut profesi, di dalam kategori horizontal, pekerja dan manager diwakili bersama dan bekerjasama di dalam di setiap

korporasi. Atas doktrin ini, negara-negara fasis membinasakan serikat pekerja dan tidak memungkinkan para pekerja menyampaikan tuntutannya.

g. Konflik di Antara Kelompok-kelompok Ideologis

Kelompok-kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan ideologis yang sama. Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, masyarakat

intelektual, dan dari partai-partai politik merupakan kelompok-kelompok ideologis. Sebuah doktin menjadi ideologi ketika suatu kelompok sosial

menganutnya. Ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan intelektual dari seorang pemiki dan menjadi suatu ekspressi dari aspirasi, keinginan dan

31

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 264. 32

(43)

32

keyakinan suatu kelompok orang (kelas, bangsa, dll). Sampai ke tingkat bahwa kelompok ini berbeda dari kelompok lain, dan mempunyai organisasi

dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.33

Pada masa sekarang, partai-partai merupakan kelompok ideologis utama

dari jenis politik. Kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang berhubungan dengan politik tanpa secara langsung berurusan dengan mengejr kekuasaan, berada dalam kategori yang sama. Pada waktu lain, kelompok

ideologis menerima bentuk-bentuk yang berbeda, seperti liga, asosiasi rahasia, dan organisasi-organisasi paramiliter.

Ideologi-ideologi non-politik adalah yang tidak mempunyai hubunga-hubungan langsung dengan kekuasaan, seperti ideologi agama, filosofis, dan artistic.

Setiap ideologi cenderung menjadi suatu system yang komplit untuk menjelaskan manusia dan dunia, di mana politik secara alami mendapatkan

tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak terlalu gampang dipisahkan satu dengan lainnya.

Seperti ideologi-ideologi politik, ideologi non-politik cenderung berfungsi

sebagai basis bagi kelompok-kelompok yang kurang lebih terorganisir. Dengan demikian, agama mengambil bentuk gereja-gereja, filosofi menjadi

dasar dari berbagai sekte, dan kesenian melahirkan aliran-aliran dan gerakan-gerakan dari berbagai jenis.

33

(44)

33

Hakekat ideologi membuat antagonisme kelompok-kelompok ideologi non-politik lebih militant, dan semakin fundamental ideologinya. Inilah sebab

mengapa keterlibatan organisasi-organisasi gereja dan agama di dalam konflik politik pada umumnya lebih kuat dan lebih menyerap daripada

kelompok-kelompok lain.34

B. Teori Elit Politik

Teori elit politik merupakan sebuah teori yang lahir dari hasil diskusi para ilmuan sosial Amerika tahun 1950-an, yaitu Schumpeter (ekonom), Lasswell

(ilmuan politik) dan sosiolog C. Wright Mills. Mereka tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya fasisme, diantaranya Vilfredo Pareto dan

Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol).35

Teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the ruling class) terdapat dua unsur; elit yang berkuasa (the ruling elite) dan elit tandingan (opposition) yang mampu meraih kekuasaan jika elit yang

berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Elit tidak selamanya selalu digambarkan hanya terdiri dari satu kelompok, namun

bisa juga berupa gabungan dari berbagai kelompok sosial. Kekuasaan merupakan alasan bagi elit atau kelompok elit untuk mengambil peranan aktif dalam politik.

Seiring berkembangnya zaman, banyak ahli politik yang

34

Duverger, Sosiologi Politik, hal. 268. 35

(45)

34

mengembangkan penafsirkan teori elit tersebut. Namun, mereka semua sepakat akan dasar dari teori tersebut bahwa ada sekelompok kecil di

masyarakat yang memerintah masyarakat lainnya.

Pareto berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas. Pertama,

kelas atas. Kelas atas adalah kelompok elit yang memerintah dan tidak memerintah. Kedua, kelas bawah atau sering disebut non-elit. Ia memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah saja yang

menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan. Kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas. Pertama, kelas

yang memerintah, terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang

berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum dan paksaan.36

Dari penjelasan diatas, kelas pertama disebut kelompok elit politik.

Lipset dan Solari berpendapat bahwa elit ialah posisi puncak dalam masyarakat pada struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu ekonomi,

pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan bebas.37

36

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan polarisasi ummat islam 1965-1987 dalam perspektif Sosiologis, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), h.56.

37Saymour Martin Lipset dan A. Solari, “Elites in Latin America”

(46)

35

Soejono Soekanto, pakar Sosiologi Indonesia, menerangkan bahwa elit adalah :

“Kelompok orang-orang yang dalam situasi sosial tertentu menduduki posisi tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar dan hak-hak istimewa, kadang-kadang diartikan sebagai golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Sering kali juga diartikan sebagai posisi-posisi dalam struktur sosial yang relatif tinggi, sehingga mereka yang menduduki posisi-posisi tersebut juga mempunyai kedudukan yang tinggi.”38

Istilah elit kemudian diartikan sebagai suatu minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas atau kelompok dengan cara yang bernilai sosial.39

Teori elit menjelaskan setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu:40

1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya

menduduki posisi untuk memerintah.

2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

Kelompok elit sebenarnya bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai

lapisan maupun kepentingan. Kelompok elit politik tersebut terbagi kedalam tiga tipe, yaitu:

a. Elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan. Tipe ini cenderung bersifat tertutup atau

menolak kehadiran golongan dan kelompok lain. Dalam hubungannya dengan sesama elit, tipe ini bekerjasama untuk mempertahankan keadaan yang ada. Mereka bersikap dan berperilaku yang cenderung

38

Soerjono Soekanto, Kumpulan istilah-istilah Sosiologi, (Jakarta: UI Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, 1977), h. 51 dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan (Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988), h.63.

39

Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal.3.

40

(47)

36

memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat secara jelas dapat menguntungkannya.

b. Elit politik liberal. Kelompok ini bersikap dan berperilaku yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakat

untuk meningkatkan status sosial mereka. Tipe ini cenderung terbuka terhadap golongan masyarakat yang bersangkutan agar mampu bersaing secara sehat untuk menjadi elit, dan menyesuaikan diri

dengan lingkungan elit. Elit politik ini cenderung berorientasi pada kepentingan masyarakat umum sehingga mereka juga akan bersikap

tanggap atas tuntutan masyarakat.

c. Pelawan elit. Pada tipe ini, para pemimpin berorientasi pada khalayak dengan cara menentang segala bentuk kemapanan maupun dengan cara

menentang segala bentuk perubahan. Umumnya kelompok ini bersifat ekstrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas

rasial tertentu, dan menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.41

Perubahan pada proses politik terjadi oleh karena kaum elit politik

mengubah sikap mereka terhadap proses tersebut. Perubahan tersebut juga bisa karena kelompok elit tersebut digantikan atau ditentang oleh satu elit yang lain karena mempunyai sikap yang berbeda terhadap proses politik.

41

(48)

37

Kaum elit yang tidak memegang kekuasaan akan lebih cenderung merasa berkepentingan dengan perluasan partisipasi politik untuk meraih kekuatan

dan juga untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik.42

42

(49)

38

BAB III

SURIAH SPRING

Suriah spring adalah gelombang demonstrasi di Suriah dengan tujuan

menumbangkan rezim pemerintahan. Suriah spring merupakan efek domino dari peristiwa Arab spring. Arab spring mengacu kepada sebuah keadaaan

saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi, kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan

sosial, sehingga mendorong rakyat untuk berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan yang baru.

Revolusi tersebut memanfaatkan pemberontakan sipil dalam kampanye

dengan melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype. Tujuannya ialah

mengorganisir dan meningkatkan kesadaran khalayak terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.43

Motor penggerak revolusi tersebut adalah para pemuda berpendidikan di masing-masing negara Timur Tengah yang dilanda revolusi. Revolusi tersebut menekankan bahwa kekuasaan otoriter sudah tidak tepat diterapkan

di negara Timur Tengah dan ingin mengubahnya menjadi demokrasi.

Arab Spring yang dimulai pada tanggal 18 Desember 2010 di negara Tunisia kemudian menjalar ke negara-negara Arab lain diantaranya; Mesir,

43

(50)

39

Libya, Bahrain, Oman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Kuwait, Lebanon, Sudan, dan perbatasan Israel.

Dalam kekusutan revolusi di Timur Tengah, tidak sedikit campur tangan pihak asing yang turut memanfaatkan momentum tersebut seperti Cina,

Rusia, Amerika Serikat.

1. Lahirnya Negara Suriah

Suriah pada awalnya merupakan bagian dari negara Republik Arab.44

Nama Suriah atau Syria berasal dari bahasa Arab, al-Sham atau Levant dalam bahasa Inggris. Daerah yang ditunjuk oleh kata ini telah berubah dari waktu ke

waktu. Suriah terletak di ujung timur Mediterania, antara Mesir dan Saudi Arabia di selatan dan Kilikia di utara, Peregangan pedalaman untuk memasukkan Mesopotamia, dan memiliki batas pasti ke timur laut yang

menggambarkan dari barat ke timur, Commagene, Sophene , dan Adiabene. Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah

Suriah.45 Suriah memiliki bahasa resmi bahasa Arab dengan satuan mata uang Pound Syria.

Suriah terletak di pantai Timur Laut Tengah; di utara berbatasan dengan Turki, di timur berbatasan dengan Irak, di barat berbatasan dengan Lebanon dan Laut Tengah, di selatan berbatasan Yordania dan Israel, beribu kotakan Damaskus Luasnya 185.180 km2, penduduknya 12.254.000, kepadatan penduduk 66/km2. Sumber : Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999, hal 321, tetapi dalam Ensiklopedi Geografi, Intermassa, cetakan tahun 1990, hal 217, bahwa penduduk Syiria berjumlah 12.210.000, dan kepadatan penduduk 65/km2.

46

(51)

40

terdiri atas mayoritas komunitas Muslim Sunni 75%, yang secara historis tetap dominan, dan beberapa komunitas minoritas lainnya; Kristen 19%, dan

beberapa sekte Islam heterodoks, Alawiy 11,5%, Druze 3%, dan Ismailiy 1,5%, yang sebagian besar di pedesaan, khususnya kaum Alawiy.47

Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah Suriah, negeri yang sudah dihuni manusia sejak zaman batu. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa Suriah pernah menjadi salah satu pusat

peradaban tertua di dunia. Karena terletak di persilangan jalur perdagangan dan militer antara Laut Tengah, Mesopotamia, dan Mesir, maka Suriah menjadi sasaran penyerbuan dari negara-negara tetangganya.

Suriah juga merupakan tempat sejarah Kekristenan yang paling berpengaruh; Saulus dari Tarsus telah melewati Jalan ke Damaskus, kemudian

dikenal sebagai Rasul Paulus, dan muncul sebagai tokoh penting dalam Gereja Kristen terorganisir pertama di Antiokhia di Suriah kuno, yang mana ia

meninggalkan jejak perjalanan misionaris.

Pada 1920, Kerajaan Suriah didirikan oleh Faisal I dari keluarga Hashimiah, yang kemudian menjadi Raja Irak . Namun, pemerintahannya di

Suriah berakhir setelah hanya beberapa bulan, setelah bentrokan antara pasukan Arab Suriah dan pasukan Perancis pada Pertempuran Maysalun.

Pasukan Perancis menduduki Suriah setelah konferensi San Remo dan

tidak harus dalam bentuk fisik.

47

Referensi

Dokumen terkait

Preparasi katalis Zeolit-ZnO salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi larutan pada saat proses impregnasi, sehingga tujuan dari penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Persepsi Kualitas Pelayanan E-commerce Terhadap Kepuasan Pelanggan,

pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan, pertama, permasalahan yang dikaji

Apabila tidak terdapat data debit banjir sama sekali, dapat ditempuh dengan menentukan dahulu curah hujan rancangan, kemudian diteruskan dengan hitungan debit

Dalam naskah tersebut mengungkapkan kisah cinta Pakubuwana X dengan Kanjeng Ratu Mas dan 5 pokok bahasan yaitu: karakter seorang pemimpin yang baik, gambaran

Berdasarkan seluruh pengertian di atas diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud disiplin belajar adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses usaha yang

● Misal kita membuat Toko Sepatu Online, maka ada beberapa cara untuk membuat kategori tergantung konteks toko yang dibuat. ● Hirarki contoh berikut menunjukkan sebuah organisasi

Kapasitas tukar kation terhadap unsur logam di dalam tanah berhubungan dengan kandungan asam humat dan fulvat yang merupakan polimer dari asam- asam lemah dimana satu