• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara gaya kepemimpinan Atasan otoriter dengan burnout

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara gaya kepemimpinan Atasan otoriter dengan burnout"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

INTA NIL YA BAHAR

NIM: 102070025965

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II

Miftahuddin, M. Si NIP. 150 378 726

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN ATASAN OTORITER DENGAN BURNOUT telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 15 September 2008. skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 15 September 2008

Sidang Munaqasyah

gkap Anggota

M. Si.

Penguji I

Yunita Faela Nisa, M. Psi., Psi NIP. 150 368 748

Abdul Rahman M.Si

NIP. 150 293 224

Pembantu Dekan/

Sekretaris MerangkapAnggota

M Si. NIP. 150 238 773

Anggota:

lll

Abdul Rahman Shaleh, M. Si NIP. 150 293 224

Pembimbing II

(3)

"SE'BAIK-'BAIK MANUSIA AVALAtl

MANUSIA YANG PALING 'BE'RMANfAAT

'BAGI MANUSIA LAINNYA"

(JfCJ?.)'tddaruqutlini e:{,Jltli <Jlla6rani)

,,.,We llave

t()

d()

()ur

vart

ALUti Will d() tiis vart"!I

(Jlmien

(j@is)

"SESUNQGUHNYA SESUMH t<E.SULITAN ITU

AM t<E.HUMHAN"

(4)

SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN

UNTUK ORANG-ORANG YANG KU SAYANG

ALMARHUM AYAHANDA Z.A BAHAR, SKM

!BUNDA NILYAWATI BAHAR

&

ADIKKU ADEY SUCUK ZAKARIA BAHAR

(5)

(C) lnta Nilya Bahar

(0) Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan Burnout (E) xix+87 halaman+21 lampiran

(F) Gaya kepemimpinan atasan otoriter adalah merupakan jenis pemimpin yang menentukan segala-galanya, semua aktivitas kelompok dijalankan atas instruksi pemimpin. Pemimpin yang mengatur dan mendikte

anggota, anggota hanya sebagai pelaksana perintah pemimpin.

Burnout adalah merupakan sindrom ketegangan psikologis dari dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat

pencapaian prestasi diri yang terjadi karena individu berada dalam kondisi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubu ngan antara gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan burnout?

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Bank Rakyat

Indonesia (Persero) Tbk. Sampel penelitian ini berjumlah 50 karyawan , 25 karyawa n laki-laki dan 25 karyawan wanita. Pengambilan sampel di

lakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling dan

metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive

sampling.

T eknik pengambilan data menggunakan skala model likert, skala yang digunakan adalah skala gaya kepemimpinan atasan otoriter dan skala burnout. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional yang bertujuan untuk

mengetahui sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi.

Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi Product Moment Pearson dan diuji reliabilitas dengan Alpha Cronbach diperoleh hasil koefisien reliabilitas 0, 963 untuk skala gaya kepemimpinan atasan otoriter dan 0, 970 untuk skala burnout, kemudian data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 13.00 for windows dengan korelasi Product Moment Pearson.

(6)

dengan burnout. Artinya gaya kepemimpinan atasan yang otoriter dapat menyebabkan burnout pada karyawan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

(G) Daftar Pustaka: 40 (1986-2008)

(7)

(C) lnta Nilya Bahar

(0) The Relationship between Leadership Styles of Authoritative Boss with

Burnout

(E) xix+87 pages+21 enclosures

(F) The leadership style of Authoritative boss is type of leadership determining everything; all group activity is performed of leader instruction. The Leader arranges and dictates member, member only as executor of leader command.

Burnout is psychological stress syndrome of emotional exhaustion dimension, depersonalization and degradation of attainment ambition of self achievement that happened because of individual stay in the condition of claiming high emotional involvement and take place during long times.

This research aim to know is there the relationship between leadership style of autoritary authoritarian boss with burnout.

The population in this research is employees of PT. Indonesian People Bank (BRl/Persero) Tbk. This research sample amounts to 50 employees, 25 male employees and 25 female employees. Extraction of sample is conducted by using technique of non-probability sampling and the method of sample extraction use method of purposive sampling.

Technique of data extraction uses likert model scale; scale that is used is scale of leadership style of Authoritative boss and scale of burnout. Approach that is used is quantitative approach with method of co relational method with aim to know how far variation of a variable relates to variation of one or more other variable based on correlation coefficient.

After both scale is tested its validity with correlation of Product Moment Pearson and tested the reliability with Alpha Cronbach, obtained result of reliability coefficients 0, 963 for the scale of leadership style of Authoritative boss and 0, 970 for the scale of burnout, later; then data is analyzed by using program of SPSS version 13.00 for windows with correlation of Product Moment Pearson.

(8)

boss can cause burnout at employees of PT. Indonesian People Bank (B Rl/Persero) Tbk.

(G) Bibliography : 40 (1986-2008)

(9)

Alhamdulillahirabbil'alamin, puji dan syukur yang tak terkira penulis panjatkan

kehadirat ALLAH SWT yang telah menganugerahkan rahmat dan ridhonya

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini walaupun

masih jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam senantiasa senantiasa

tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang

menjadi SU!i tauladan bagi kita semua serta para keluarga, para

sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Sebuah perjalanan panjang selama mengikuti perkuliahan dan melakukan

penelitian, tentu tidak lepas dari peran-peran semua pihak, baik dorongan

moril maupun materil. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak

yang telah memb_antu sehingga penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu

dengan penuh kesadaran, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. !bu Hj Ora. Netty Hartati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan dan

perhatian kepada seluruh mahasiswa.

2. !bu Dra. Zahrotun Nihayah, M. Si selaku Pembantu Dekan Bidang

Akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan pengarahan dan perhatian kepada seluruh

mahasiswa.

3. Bapak Abdul Rahman Shaleh, M. Si selaku Dasen Penasehat

Akademik dan Pembimbing I yang sudah banyak meluangkan

waktunya untuk membimbing dan memberi arahan serta motivasi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

(10)

5. Para Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan ilmu kepada

seluruh mahasiswa.

6. Para Staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan sarana dan prasarana kepada seluruh mahasiswa

dalam belajar.

7. Para Karyawan Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kanwil Jakarta

yang telah memberikan data-data penelitian yang di butuhkan penulis.

8. Kedua orangtuaku tercinta, Almarhum Ayahanda Z.A Bahar, SKM

yang menjadi salah satu motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini dan lbunda Nilya Wati Bahar yang sudah mengorbankan

waktu dan tenaganya untuk memberikan kasih sayang yang tulus dan

ikhlas serta yang terbaik bagi penulis dalam mengenyam pendidikan

sampai saat ini.

9. Adikku tersayang, Adey Sucuk Zakaria Bahar yang selalu memberikan

keceriaan dan semangat kepada penulis.

10. Omku Bapak Darius Zakaria, SH beserta keluarga yang selama ini

telah membantu penulis baik secara moril maupun materil sehingga

penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

11. Uni Yulia Rossa, SE beserta keluarga yang selama ini telah membantu

penulis baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat

mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman-teman seperjuanganku, Raifana, Refi lrawan, S. Psi, Haris,

Rita Handayani, Dwi Rahmawati, Hayatun Nufus, Abdul Azis, Yusuf,

Ulil Albab dan teman-teman angkatan 2002 lainnya yang telah

bersama-sama berjuang menuju kesuksesan.

(11)

dukungan kepada penulis.

14. Mbah Hell (Mas Arif) Orion, K Agus, S. Psi dan Jamali, S. Psi yang

telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih atas semua bantuan yang telah di berikan baik moril maupun

materil, semoga ALLAH SWT membalasnya berlipat ganda dari yang telah

kalian berikan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap yang

membacanya, Amin.

Jakarta, 15 September 2008

lnta Nilya Bahar

(12)

HALAMAN JUDUL ... .

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAKSI ... vi

ABSTRACT . .. .. ... ... .... ... .... .... ... .. ... ... . ... ... ... . .. ... ... .. ... . ... .... .... ... viii

KAT A PEN GANT AR .. .... ... ... ... .... .... . ... . .. ... . .. . . ... ... . .. . . .. .. .. .. .. . .... ... ... . x

DAFT AR ISi ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFT AR BAGAN . .. . .. ... ... . .. ... . .. . ... ... .. . .. . .. . . . .. .. ... . .. . . .. .. .. .. . . . .. . . .. ... . .. . xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-12 1.1. Latar belakang masalah . .. ... ... .. .. .... ... ... . .. .. .. ... ... .... .. . 1

1.2. ldentifikasi masalah ... .. .... .. ... ... .. .. .. .. .. ... ... ... 9

1.3. Pembatasan dan perumusan masalah ... 9

1.3.1. Pembatasan masalah .. ... .. .. ... .... ... .. .. .. . .. ... ... .... .. . 9

1.3.2. Perumusan masalah ... 1 O 1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ... 1 O 1.4.1. Tujuan Penelitian ... 10

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Kaidah Penulisan dan Sistematika penulisan ... 11

1.5.1. Kaidah Penulisan ... 11

1.5.2. Sistematika Penulisan ... 11

(13)

2.1.2. Proses Terjadinya Burnout ... 17

2.1.3. Sumber Penyebab Burnout ... 19

2.1.4. Dimensi-Dimensi Burnout ... 22

2.1.5. Dampak Burnout ... 24

2.1.6. Alat Ukur Burnout ... 24

2.2. Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 26

2.2.1. Pengertian Kepemimpinan ... 26

2.2.2. Pengertian Gaya Kepemimpinan :... 31

2.2.3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 34

2.2.4 Teori-Teori Kepemimpinan Sebagai Latar Belakang Pemahaman Kepemimpinan Otoriter .. 38

2.2.5. Teori Kepemimpinan Otoriter ... 42

2.2.6. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter ... 44

2 .3. Kerangka Berpikir .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. . .. . .. .. .. . .. .. .. . .. .. . .. .. . 46

2 .4. Hipotesis Penelitian .. .. .. . . .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 49

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 50-70 3.1. Jenis penelitian ... 50

3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 50

3.1.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional ... 51

3.2. Pengambilan sampel .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. . .. .. . . . .. .. .. .. .. .. . 52

3.2.1. Populasi dan Sampel ... 52

3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 54

3.3. Pengumpulan data ... 55

3.3.1. Metode dan lnstrumen penelitian ... 55

3.3.2. Teknik Uji lnstrumen Penelitian ... 59

(14)

3.3.3. Hasil Uji lnstrumen Penelitian ... 62 3.4. Teknik Analisis Data ... 68

3.5. Prosedur Penelitian ... 69 BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 71-84

4.1.

Gambaran Umum Responden ...

71

4.2.

Presentase Data ...

74

4.3. Hasil Tambahan ... 81 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 85-87

5.1. Kesimpulan .... .... ... ... .... ... ... ... .. .... . .. ... .. . .. .. . . . .. ... ... .. 85

5.2. Diskusi ... 86

5.3. Saran ... ,... 87

DAFT AR PUST AKA LAMPI RAN

(15)

Tabel 3.1. Blue Print Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter . . . ... . . 56

Tabel 3.2. Bobot nilai ... 57

Tabel 3.3. Blue Print Skala Burnout ... 58

Tabel 3.4. Bobot nilai ... 59

Tabel 3.5. Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha ... 62

Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter ... .. .. ... .. .... .. . .... ... ... .. ... . .. . ... ... .. . .. . .. . . .. . ... .. . . .. .. . .. . 63

Tabel 3.7. Blue Print Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter .. . ... .. . . . .. .. . .. . .. ... . ... .... ... ... ... ... . .. . .. . .. .. . ... .. .. . .. .. ... ... ... ... . 64

Tabel 3.8. Hasil Uji Validitas Skala Burnout... 65

Tabel 3.9. Blue Print Penelitian Skala Burnout ... 65

Tabel 3.10. Hasil Uji Reliabilitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter . . . . .. . . .. . . .. . . .. . 67

Tabel 3.11. Hasil Uji Reliabilitas Skala Burnout ... 67

Tabel 4.1. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.. 71

Tabel 4.2. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ... 72

Tabel 4.3. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan .. .. .. ... .. ... . .. . . .. . ... .. . . .. ... .. . . ... ... .. . ... ... .. .. . .... ... ... ... .... 73

Tabel 4.4. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Lama Bekerja.. 73

[image:15.521.26.442.72.552.2]
(16)

Tabel 4.6. Kategorisasi Skor Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter 75

Tabel 4.7. Interval Penyebaran Skor Skala Burnout ... 76

Tabel 4.8. Kategorisasi Skor Skala Gaya Burnout ... 77

Tabel 4.9. Hasil Uji Normalitas Skala Gaya Kepemimpinana Atasan

Otoriter . ... ... .... ... ... ... ... .. . . ... .. ... ... . .. . . . .. .. .. . .. .. ... .... ... 78

Tabel 4.10. Hasil Uji Normalitas Skala Burnout... 79

Tabel 4.11. Hasil Uji Homogenitas ... 79

Tabel 4.12. Korelasi Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan

Burnout ... 80

Tabel 4.13. Perbedaan Burnout Berdasarkan Jenis Kelamin ... 82

Tabel 4.14. Perbedaan Burnout Berdasarkan Usia ... 82

Tabel 4.15. Perbedaan Burnout Berdasarkan Latar Belakang

Pendidikan ... .... .... ... ... ... .... ... ... 83

Tabel 4.16. Perbedaan Burnout Berdasarkan Lama Bekerja .. ... ... ... 84

[image:16.521.29.440.55.490.2]
(17)

Bagan 2.1. Kerangka Berpikir ... 49

(18)

Otoriter

Lampiran 2. Data Mentah Hasil Try Out Skala Burnout

Lampiran 3. Validitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter

Lampiran 4. Reliabilitas Try Out Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter

Lampiran 5. Validitas Skala Burnout

Lampiran 6. Reliabilitas Try Out Skala Burnout

Lampiran 7. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan

Atasan Otoriter

Lampiran 8. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Burnout

Lampiran 9. Reliabilitas Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan

Otoriter

Lampiran 10. Reliabilitas Penelitian Skala Burnout

Lampiran 11. Uji Normalitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter

Lampiran 12. Uji Normalitas Skala Burnout

Lampiran 13. Uji Homogenitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter

dan Skala Burnout

Lampiran 14. Uji Korelasi Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dan

Skala Burnout

Lampiran 15. Uji t dan Uji F

Lampiran 16. Surat lzin Penelitian

Lampiran 17. Permohonan Kesediaan Sebagai Responden

Lampiran 18. Kuesioner Try Out Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter

Lampiran 19. Kuesioner Try Out Skala Burnout

Lampiran 20. Kuesioner Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan

Otoriter

Lampiran 21. Kuesioner Penelitian Skala Burnout

(19)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa, baik

sekarang maupun yang akan datang tidak bisa lepas dari proses

industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri tidak hanya dari faktor

teknologi tetapi juga melibatkan faktor manusia sebagai tenaga kerja yang

ikut dalam proses industri.

Faktor manusia ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena bagaimanapun

modernnya suatu industri, keberhasilan yang memuaskan hanya akan dapat

dicapai bilamana tenaga kerja mempunyai kemampuan yang benar-benar

sesuai dengan pekerjaannya.

Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, individu tersebut

memiliki harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Harapan dan tujuan yang

timbul dapat berupa kenaikan jenjang karier, kenaikan gaji, tunjangan,

penambahan fasilitas dan lain-lain. Untuk mencapai harapan dan tujuan

(20)

tersebut, individu akan bekerja keras guna mencapai hasil kerja yang

maksimal.

Tidak adanya suatu kesesuaian antara kemampuan, keterampilan dan

tuntutan karyawan dengan sifat-sifat yang ada pada pekerjaan merupakan

faktor penting yang mempengaruhi terjadinya stres yang berkepanjangan

yang akhirnya menimbulkan burnout.

Beban kerja yang berlebihan, jam kerja yang terlalu panjang, tidak sesuainya

jenis pekerjaan dengan tipe kepribadian karyawan, lingkungan tempat kerja

yang kurang mendukung, minimnya upah (gaji) yang diterima dan gaya

kepemimpinan atasan yang otoriter merupakan penyebab timbulnya burnout

(Zul Azhar, 2002).

Jalannya suatu perusahaan sangat dipengaruhi kesehatan jiwa karyawannya.

Sebaliknya, perusahaan sangat mempengaruhi positif maupun negatif

kesehatan jiwa kal'};'awannya. Hasil penelitian yang diumumkan Organisasi

Buruh lnternasional (ILO) pada Oktober 2000 mengenai program dan

kebijakan kesehatan jiwa pada tenaga kerja di Finlandia, Jerman, lnggris,

Polandia dan AS menunjukkan bahwa kasus gangguan jiwa makin

meningkat. Dilaporkan bahwa satu dari sepuluh tenaga kerja mengalami

depresi, stres, kecemasan dan burnout (Nurhayati Restiyaningrum, 2006) .

(21)

Konsep burnout menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seseorang dari

pekerjaannya sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat

ketidakpuasan dalam bekerja (Cherniss, dalam Cicilia Yeti, 1991). Cherniss

juga mengatakan bahwa gejala tersebut merupakan suatu bentuk coping

yang dipilih individu untuk mengatasi stres pekerjaan yang dihadapinya.

Penarikan diri secara psikologis tersebut ditandai dengan munculnya

perilaku-perilaku antara lain mudah tersinggung, menurunnya sikap positif

terhadap pekerjaan yang dihadapinya, keengganan yang condong menjurus

pada kemalasan terhadap pekerjaan yang diberikan dan sebagainya. Gejala

burnout ini bahkan dapat muncul pada individu yang sebelumnya

menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam pekerjaannya (Cherniss, dalam

Cicilia Yeti, 1991 ).

Batasan burnout yang diutarakan oleh Freudenberger (dalam Farber, 1991),

mengemukakan bahwa burnout merupakan suatu keadaan di mana

seseorang mengalami kelelahan atau frustasi karena merasa apa yang

diharapkannya tidak tercapai. lndividu yang memulai kariernya melalui

idealisme tertentu, misalnya ingin membantu dan meningkatkan

kesejahteraan orang lain, ketika realita yang ada tidak mendukung idealisme

(22)

akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mengalami kelelahan dan

frustasi.

Menurut Pines dan Aronson (dalam Sutjipto, 2001 ), timbulnya kelelahan ini

karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak berdaya,

merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, kesedihan yang mendalam,

merasa malu yang secara terus menerus membentuk lingkaran dan

menghasilkan perasaan lelah serta tidak nyaman yang pada gilirannya

meningkatkan rasa kesal dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat

menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional.

Kartini Kartono (dalam Cicilia Yeti, 1991), membagi kelelahan itu menjadi dua

bagian yaitu: pertama, kelelahan jasmani (fisik) yang mutlak memerlukan

istirahat dan tidur guna memulihkan produktivitas. Kedua, kelelahan rohani

(psikis) yang dirasakan sebagai penghayatan "habis terkuras" dan rasa

sangat lemah yang menjadi predisposisi bagi timbulnya gangguan

fungsi-fungsi psikis.

Gejala pertama yang mengawali kelelahan ditandai dengan berkurangnya

minat pada pekerjaan. Gejala kedua ditandai dengan substraksi atau

berkurangnya energi tubuh. Gejala ketiga ditandai dengan bertambahnya

(23)

tidak melakukan apapun. Lalu gabungan dari ketiga gejala tersebut timbullah

kejemuan atau kebosanan dan kelelahan (Kartini Kartono dalam Cicilia Yeti,

1991 ).

Maslach (dalam Sutjipto, 2001 ), mengemukakan bahwa burnout merupakan

sindrom yang terdiri dari kelelahan emosional, depersonalisasi dan

penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Kelelahan emosional ditandai

dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan lelah

sehingga secara psikologis individu tidak mampu memberikan pelayanan.

Depersonalisasi mempunyai ciri-ciri: berkembangnya sikap negatif atau

respon yang sinis dan pemberian jarak dengan resipien dari suatu pelayanan

yang diberikan seseorang. Penurunan hasrat pencapaian prestasi diri

merupakan suatu evaluasi diri, yang mengatakan bahwa seseorang tidak lagi

efektif dalam bekerja dan dalam pemenuhan tanggung jawab yang berkaitan

dengan pekerjaannya.

Fenomena burnout dapat muncul pada berbagai jenis pekerjaan, terdapat

bukti empiris yang menyatakan bahwa terdapat sumber burnout yang sama

baik pada ー・ォ・セ。。ョ@ pelayanan maupun non pelayanan, salah satu

sumbernya adalah kepemimpinan organisasi. Di dalam memimpin suatu

(24)

Seorang atasan harus mampu mengarahkan dan mengendalikan

bawahannya ke arah tujuan perusahaan. Untuk itu seorang atasan harus

mampu melaksanakan fungsi pengendalian manajemen sebagai kewajiban

setiap atasan untuk melaksanakan pengawasan terhadap bawahannya,

walaupun terkadang pengawasan yang dilakukan oleh atasan dapat

merupakan beban yang dirasakan para bawahannya. Gaya kepemimpinan

atasan mempunyai potensi untuk mempengaruhi karyawan sehingga lama

kelamaan karyawan akan dapat menyesuaikan diri sesuai dengan harapan

atasannya, walaupun sebenarnya bertentangan dengan diri karyawan itu

sendiri. Hal ini bisa menyebabkan stres pada karyawan (Robbins, 2001 ).

Seperti hasil penelitian Anon (2000), dalam tulisannya "Dinosaurus Orde

Baru di Luar Negeri", yaitu di mana gaya kepemimpinan otoriter "One Man

Show'' yang jelas tidak profesional seperti di KBRI London sudah dapat

dipastikan akan membuat pegawai-pegawainya jadi apatis, depresi, dan

menurun kinerjanya. Yang menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan atasan

(25)

Sama halnya juga dengan fenomena yang terjadi di PT. Bank Rakyat

Indonesia (Persero) Tbk Kanwil Jakarta, walaupun banyak prestasi yang

telah diraih ternyata di dalam lingkungan kerja mereka tidak sedikit karyawan

yang mengalami burnout dikarenakan gaya kepemimpinan atasan mereka

yang otoriter. Seperti informasi yang diperoleh dari salah satu karyawan yang

dirahasiakan namanya, mengatakan bahwa sebenarnya sudah jenuh dengan

rutinitas pekerjaan yang selalu didominasi oleh atasan, ingin keluar tapi tidak

bisa karena biaya hidup dan susahnya mendapatkan pekerjaan. Alhasil

disiplin dan kepatuhan bersifat palsu karena didasari rasa tertekan, takut dan

ketegangan bahwa apabila terjadi kekeliruan akan mendapat sanksi atau

hukuman yang merugikan. Bayangan ancaman sanksi atau hukuman

menghantui suasana kerja sehingga sering menimbulkan sikap nervous,

stres dan burnout.

Literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan

bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan

situasi kepemirnpinan serta syarat-syarat yang baik. Suatu organisasi akan

berhasil atau bahkan gaga! sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan.

Suatu ungkapan yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang

bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan karyawan,

merupakan ungkapan yang mendudukan posisi pemimpin dalam suatu

(26)

Menurut Kartini Kartono (2003), pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,

temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga

tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya

atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe

kepemimpinannya salah satunya yaitu otokratis.

Pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan otokratis atau otoriter

dapat disebut "tukang cerita". Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa

mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung

mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan itu sebagai perintah-perintah

langsung kepada para bawahannya. Pemimpin-pemimpin otokratis biasanya

menyimpan keputusan dan pengendalian bagi dirinya sendiri, karena mereka

menganggap bertanggung jawab penuh untuk pengambilan keputusan.

Pemimpin-pemimpin otokratis biasanya menyusun seluruh situasi kerja untuk

pekerja-pekerja mereka, yang hanya melakukan apa yang disampaikan

kepada mereka yaitu mengikuti perintah (Wirawan, 2002).

Gaya kepemimpinan otokratis atau otoriter bisa diartikan pemimpinnya

sangat memaksakan, sangat mendesakkan kekuasaannya kepada bawahan.

Bawahan dikendalikan dan diperintah seolah-olah tidak mempunyai pikiran

(27)

atas, mendikte semuanya supaya dikerjakan sesuai kehendaknya (Riberu,

2003).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti "Hubungan Antara

Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter Dengan Burnout".

1.2. ldentifikasi Masalah

Dari latar belakang permasalahan di alas, maka identifikasi masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gaya kepemimpinan atasan otoriter yang dipersepsikan

karyawan?

2. Bagaimana tingkat burnout yang dialami karyawan?

3. Bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan

burnout?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan Masalah

a. Burnout yang merupakan sindrom ketegangan psikologis dari dimensi

kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian

(28)

b. Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter yang merupakan jenis pemimpin

yang menentukan segala-galanya, semua aktivitas kelompok dijalankan

atas instruksi pemimpin.

1.3.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka penulis

membuat rumusan masalah yaitu "Apakah Ada Hubungan yang signifikan

antara Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan Burnout?".

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara gaya kepemimpinan atasan yang otoriter dengan burnout.

1.4.2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis dapat memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai

gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan burnout pada karyawan

sehingga dapat memberikan sumbangan untuk mengembangkan ilmu

(29)

Oleh:

INT A NIL YA BAHAR

NIM : 102070025965

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSIT AS ISLAM NE GERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(30)

b. Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan

dalam usaha memperhatikan peran dari gaya kepemimpinan atasan yang

otoriter dengan burnout yang dapat dialami pada karyawan.

1.5. Kaidah Penulisan dan Sistematika Penulisan

1.5.1. Kaidah Penulisan

Pada penulisan laporan penelitian ini, penulis menggunakan kaidah American

Psychology Association (APA Style).

1.5.2. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulis dalam laporan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB1.PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika

penulisan.

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini membahas mengenai pengertian burnout, proses terjadinya

burnout, sumber penyebab burnout, dimensi-dimensi burnout, dampak

(31)

kepemimpinan,pengertian gaya kepemimpinan atasan otoriter, teori-teori

kepemimpinan sebagai latar belakang pemahaman kepemimpinan otoriter,

teori kepemimpinan otoriter, pengaruh kepemimpinan otoriter, kerangka

berpikir dan hipotesis.

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai jenis penelitian, pengambilan sampel,

pengumpulan data, teknik analisis data dan prosedur penelitian.

BAB 4. HASIL PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai gambaran umum responden, data

presentase yang meliputi penyebaran skor, uji persyaratan, uji hipotesis dan

hasil tambahan.

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

(32)

2.1. BURNOUT

KAJIAN PUSTAKA

2.1.1. Pengertian Burnout

Burnout sebagai suatu sindrom merupakan kumpulan beberapa gejala yang

digunakan untuk merujuk pada situasi hilangnya antusias, kegembiraan dan

suatu perasaan yang mempunyai misi dalam pekerjaan.

lstilah burnout diperkenalkan pertama kali kepada masyarakat pada 1973

oleh Herbert Freudenberger seorang psikolog klinis dari lembaga pelayanan

sosial yang menangani remaja bermasalah (Sutjipto, 2001 ).

Dalam penelitiannya ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan

yang telah bertahun-tahun bekerja. Mereka mengalami kelelahan mental,

kehilangan komitmen dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya

waktu yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber dalam Sutjipto, 2001 ).

Maslach dan Jackson kembali melakukan penelitian yang sama pada bidang

pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang pelayanan

(33)

kesehatan, pelayanan sosial, kesehatan mental, penegakan hukum maupun

pendidikan (Sutjipto, 2001 ).

Maslach dan Jackson (dalam Sutjipto, 2001 :690), mengemukakan bahwa

burnout merupakan terminologi yang bersifat multidimensional.

" ... burnout as a psychologycal syndrome of emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishment that can occur among individuals who work with other people in some capacity".

Pandangan multidimensional tersebut menjelaskan bahwa burnout sebagai

suatu sindrom psikologis terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri.

Ketika memandang burnout sebagai suatu model multidimensional, tidak

cukup hanya memperhatikan komponen stres saja, melainkan harus

memperhatikan dua komponen berikutnya yaitu evaluasi diri (self evaluation),

direfleksikan dalam dimensi penurunan hasrat pencapaian prestasi diri dan

hubungan dengan orang lain (relation to others) dalam dimensi

depersonalisasi.

Kedua komponen tersebut menambah dan melengkapi pemahaman

multidimensional seperti yang diungkapkan oleh Freudenberger (dalam

(34)

caused by excessive demands on one's energy and resources". Dapat dilihat, Freudenberger memusatkan perhatiannya hanya pada aspek kelelahan

akibat tuntutan yang berlebihan terhadap energi dan sumber daya

seseorang.

Kamus psikologi menjelaskan burnout sebagai suatu kelelahan emosi yang

berlebihan, namun para ahli yang meneliti masalah ini kurang puas dengan

definisi tersebut. Kemudian munculah definisi-definisi baru, dimana

didalamnya terdapat beberapa aspek perubahan tingkah laku (Chaplin,

2002).

Cherniss (dalam Sutjipto, 2001 ), menyatakan bahwa burnout merupakan

perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara

psikologis dari pekerjaan seperti menjaga jarak maupun bersikap sinis

dengan orang lain, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja

yang kuat.

Pandangan Cherniss ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh

Freudenberger, bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang

hendak dicapai pada awal bekerja, sehingga idealisme menjadi tinggi. Stres

(35)

motivasi dan menimbulkan gejala burnout (Greenberg dan Baron dalam

Sutjipto, 2001 ).

Pines dan Aronson (1988:135), mendefinisikan burnout sebagai berikut: "a

state of physical, emotional and mental exhaustion caused by long term involvement in situations that are emotionally demanding".

Dari definisi tersebut, burnout dipandang sebagai keadaan lelah, yang

meliputi kelelahan secara fisik, emosional dan mental karena adanya

keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosi.

Sesuai pernyataan yang diutarakan oleh Baron dan Greenberger (dalam

Haryanto F. Rosyid, 1996), menyatakan sindrom burnout sebagai kelelahan

emosional, fisik dan mental yang juga ditunjang oleh perasaan rendahnya

penghargaan terhadap diri, serta penderitaan stres yang intens dan

berkepanjangan. Burnout dapat timbul sebagai akibat dari suatu kondisi

internal seseorang yang ditunjang oleh faktor lingkungan berupa stres yang

berlarut-larut.

Sedangkan Fery dan Haryanto (1996), menjelaskan burnout sebagai suatu

bentuk ketegangan psikis yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan

(36)

memperlakukan seseorang dengan tidak memandang sisi kemanusiaannya,

melainkan hanya melihatnya sebagai sekumpulan masalah.

Berdasarkan paparan para tokoh di atas, tampak bahwa batasan yang jelas

dan lengkap adalah batasan yang dikemukakan oleh Maslach, yang

menggunakan definisi burnout bersifat multidimensional agar dapat menggali

dan menangkap ketiga dimensi yang melibatkan faktor personal dan konteks

hubungan individu dengan orang lain dalam lingkungan kerjanya, serta aspek

penilaian terhadap diri sebagai respon dari pengalaman sires individual.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa burnout merupakan sindrom

ketegangan psikologis dari dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi dan

penurunan hasrat pencapaian prestasi diri yang terjadi karena individu

berada dalam kondisi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi dan

berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

2.1.2. Proses Terjadinya Burnout

Secara bertahap, Farber (1991) mengemukakan konsep dasar mengenai

terjadinya burnout sebagai berikut:

a. Tahap Antusias dan Berdedikasi

lndividu yang mengawali pekerjaannya dengan semangat tinggi, memiliki

(37)

b. Tahap Frustasi dan Marah

Pada tahap ini, individu mulai merasakan perasaan frustasi, sering marah

tanpa alasan yang jelas ketika menghadapi pekerjaannya atau didalam

menghadapi stres sosial.

c. Tahap Ketidakseimbangan

lndividu pada tahap ini merasakan adanya ketidakseimbangan antara

sumber daya (tenaga, ide dan harapan) dengan tuntutan (dari atasan,

organisasi dan diri sendiri).

d. Tahap Penarikan Diri

lndividu mulai menarik diri dan semakin sulit untuk bekerja sama dengan

sesama rekan kerjanya.

e. Tahap Sensitivitas

Pada fase ini, individu mulai sensitif terhadap sesuatu hal, mudah

tersinggung, peka terhadap gejala-gejala fisik (sakit kepala dan tekanan

darah naik), perubahan pola pikir (sering menyalahkan orang lain, berpikir

negatif terhadap diri dan pekerjaan), serta perubahan emosional (putus

asa, terperangkap dan tidak berdaya).

f. Tahap Kehilangan Energi

Pada akhir tahap ini, individu menjadi apatis, menghindari berbagai

(38)

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa proses terjadinya burnout adalah ketika seorang individu yang tidak

memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, disebabkan

karena memiliki harapan yang tidak realistik serta pengaruh dari lingkungan

pekerjaan yang penuh dengan stres dan tidak mampu memberikan suasana

yang kondusif bagi pemenuhan diri dengan tidak memberikan penghargaan

yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

2.1.3. Sumber Penyebab Burnout

Caputo (dalam Dewi Agustina, 2003), mengemukakan bahwa secara umum

ada tiga sumber yang menjadi penyebab timbulnya sindrom burnout yaitu

karakteristik individu, lingkungan pekerjaan dan keterlibatan emosional

dengan penerima layanan yang akan dijelaskan secara terperinci dibawah ini:

a. Karakteristik Individual

Sumber dari dalam individu yang turut memberi sumbangan terhadap

munculnya burnout dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor

demografik dan faktor kepribadian.

1. Faktor Demografik

Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin

antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan

(39)

berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria.

Namun yang membedakan adalah faktor burnout yang terserang. Pria yang

terserang burnout cenderung menunjukkan sikap depersonalisasi, sedangkan

wanita yang terserang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

Dari sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa individu dibawah usia empat

puluh tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan

burnout. Didukung penelitian (Maslach dalam Sutjipto, 2001) yang

menyatakan bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu yang

berusia muda.

Dilihat dari segi pendidikan (Maslach dalam Sutjipto, 2001) mengemukakan

bahwa individu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung

rentan terhadap burnout.

2. Faktor Kepribadian

lndividu yang idealis dan realistik adalah karakteristik kepribadian yang

rentan terhadap burnout (Farber dalam Sutjipto, 2001 ). Menurut Maslach

(dalam Sutjipto, 2001 ), individu dengan konsep diri dan kemampuan diri yang

rendah dalam mengendalikan emosi serta individu dengan kepribadian

introvert juga cenderung rentan terhadap burnout. Umumnya memiliki

(40)

sehingga menyebabkan sumber diri menjadi terkuras dan cenderung menarik

diri ketika tidak mampu menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi.

Penilaian diri yang negatif dan selalu berpikir akan kegagalan menyebabkan

perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss dalam Sutjipto, 2001 ).

Karakteristik kepribadian selanjutnya adalah prefeksionis. lndividu dengan

tipe kepribadian tersebut selalu berusaha melakukan dan menyelesaikan

suatu pekerjaan dengan sangat sempurna sehingga sangat mudah merasa

frustasi apabila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai dan tidak

sesuai dengan keinginannya. Menurut Caputo (dalam Dewi Agustina, 2003),

individu dengan karakteristik prefeksionis sangat rentan terhadap burnout.

b. Lingkungan Pekerjaan

Penyebab burnout dalam lingkungan pekerjaan meliputi masalah beban kerja

yang berupa jam kerja, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin

dan yang bukan rutin dan pekerjaan lain yang di luar kemampuan individu

dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Disamping itu, beban kerja yang

berlebihan dapat mencakup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan

(41)

c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Layanan

Bekerja melayani orang membutuhkan banyak tenaga, karenanya dituntut

untuk bersikap sabar dan memahami orang lain. Hal inilah yang dapat

melibatkan aspek emosional dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan

stres emosional. Dalam setting pekerjaan seringkali seseorang menghadapi

situasi yang dapat membuat seseorang merasa kesal, marah, tertekan dan

perasaan tidak enak lainnya yang pada akhirnya dapat menimbulkan sindrom

burnout.

2.1.4. Dimensi·Dimensi Burnout

Maslach dan Jackson (dalam Greenberger dan Baron, 1995),

mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri dari

kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian

prestasi diri. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai

dimensi-dimensi dari burnout tersebut.

a. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Menurut Maslach dan Jackson (dalam Schaufelli dan Buunk, 1996),

kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional,

misalnya perasaan lelah sehingga secara psikologis individu tidak mampu

memberikan pelayanan. Menu rut Maslach (dalam Demerouti dkk, 2001 ), jika

(42)

terlalu berat (overextend) dan kemudian merasa kewalahan (overwhelmed}

dengan tuntutan emosional dari orang lain, respon terhadap situasi ini adalah

suatu kelelahan emosional.

Pines (dalam Schaufelli dan Buunk, 1996), menambahkan bahwa tuntutan

emosional dapat menjadi burnout hanya jika tuntutan tersebut melebihi

kemampuan seseorang untuk dapat meresponnya secara memadai.

Menurutnya kelelahan emosinal tersebut dapat menjadi penyebab utama

terjadinya burnout.

b. Depersonalisasi (Depersonalization)

Menu rut Maslach (dalam Sutjipto, 2001 ), depersonalisasi merupakan cara

individu melakukan coping kelelahan emosional yang dialaminya. lndividu

akan berusaha mengeluarkan dirinya dari beban emosional dengan cara

memutuskan keterlibatan emosionalnya dengan orang lain.

c. Penurunan Hasrat Pencapaian Prestasi Diri (Reduced Personal

Accomplishment)

Penurunan hasrat pencapaian prestasi diri merupakan suatu evaluasi diri,

yang mengatakan bahwa seseorang tidak lagi efektif dalam bekerja dengan

resipien dan dalam pemenuhan tanggung jawab yang berkaitan dengan

(43)

diri sendiri dalam kaitannya dengan pekerjaan (Maslach dalam Demerouti

dkk, 2001 ).

2.1.5. Dampak Burnout

Greenberg dan Baron (1995), mengatakan bahwa burnout dapat berakibat

negatif tidak hanya pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada

organisasi tempat individu bekerja. Hal ini dapat mengarahkan individu untuk

mencari pekerjaan atau karier baru.

Greenberg dan Baron (1995), mengungkapkan bahwa burnout dapat

menyebabkan menurunnya performa kerja, diantaranya yaitu menurunnya

efisiensi kerja (semakin banyak waktu yang digunakan dalam bekerja namun

produktivitas rendah), berkurangnya ketertarikan dalam bekerja dan

meningkatnya kekakuan dalam berpikir (tidak fleksibel).

2.1.6. Alat Ukur Burnout

a. Maslach Burnout Inventory (MBI)

Alat ini disusun oleh Maslach dan Jackson pada tahun 1981 berdasarkan

konsep bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri dari tiga dimensi,

yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi

(44)

Sampai sekarang terdapat tiga versi MBI (Maslach, Jackson dan Leiter dalam

Schaufelli dan Buunk, 1996), yaitu:

1. MBl_Human Service Survey (MBl_HSS)

Merupakan MBI bentuk asli sebagaimana publikasinya yang pertama pada

tahun 1981 yang dirancang untuk mengukur burnout pada pekerja bidang

pelayanan sosial.

2. MBl_Educators (MBl_ES)

Merupakan adaptasi dari bentuk awal MBI yang digunakan untuk kalangan

pendidik.

3. MBl_General Survey (MBl_GS)

Merupakan versi baru MBI yang digunakan untuk pekerja di bidang-bidang

lain selain pelayanan sosial.

b. Burnout Measure (BM)

Merupakan kuesioner burnout yang juga banyak digunakan dalam penelitian

setelah MBI. Alat ini dibuat oleh Aronson dan Pines pada tahun 1988 yang

mendefinisikan burnout sebagai suatu keadaan kelelahan fisik, emosional

dan mental. BM terdiri dari 21 item yang menggambarkan kelelahan.

Kekurangan dari BM adalah alat ini tidak mengukur keseluruhan aspek yang

ingin diukur, seperti yang dinyatakan dalam definisi burnout (Schaufelli dan

(45)

Sedangkan dalam penelitian ini, penulis memakai alat ukur Maslach Burnout

Inventory (MBI) karena berdasarkan konsep bahwa burnout merupakan

sindrom yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional (emotional

exhaustion), depersonalisasi (depersonalization) dan penurunan hasrat

pencapaian prestasi diri (reduced personal accomplishment).

2.2. Gaya Kepemimpinan Otoriter

2.2.1. Pengertian Kepemimpinan

Sebelum membahas mengenai gaya kepemimpinan otoriter, terlebih dahulu

kita mengetahui apa itu kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam setiap organisasi

karena kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya

sebuah organisasi. Setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan

memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) yang harus

menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) bagi keseluruhan

organisasi sebagai satu kesatuan (Hadari Nawawi, 2003).

Pemimpin tersebut merupakan orang pertama, ibarat nakhoda kapal yang

harus mengarahkan jalannya kapal, dalam sebuah wadah yang disebut

(46)

sumber daya penggerak kapal ke arah yang diinginkan nakhoda tersebut.

Dengan kata lain ke arah mana kapal berlayar tergantung sang nakhoda.

Untuk menggerakkan kapal nakhoda tidak dapat bekerja sendiri diperlukan

bantuan dan kerjasama dengan sejumlah anak buah kapalnya agar

perjalanan lancar mencapai tujuan (Massofa, 2008).

Sejalan dengan kiasan tersebut James

A.

F Stoner dan Charles Wankel

(dalam Makmuri Muchlas, 2005), mengutip pendapat Churchil yang

mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan

mengarahkan, merupakan faktor penting dalam efektivitas pemimpin

(Nevertheless, leadership abilities and skill in directing are important factors in managers effectivinees).

Kepemimpinan dalam sebuah organisasi di artikan sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi kelompok terhadap pencapaian tujuan. Kepemimpinan

sangat erat kaitannya dengan kemampuan memotivasi. Pemimpin

mempengaruhi orang lain melalui visi dan tantangan, memotivasi dengan

memberikan imbalan atau hukuman serta memotivasi dengan nilai dan tujuan

bersama. Nilai utama yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah

integritas. Pemimpin dengan integritas adalah pemimpin yang memiliki visi,

(47)

terhadap tuntutan saat ini dan mampu menginternalisasi diri (Wexley dan

Yuki dalam Moh. As'ad, 1986).

Sedangkan menurut Gibson dkk (dalam Wirawan, 2002), mengatakan bahwa

kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang

bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi agar mencapai tujuan

tertentu.

Berikutnya Harold Koontz, Cyril O'Donnel dan Heinz Weihrich (dalam

Wirawan, 2002), mengatakan bahwa kepemimpinan adalah seni atau proses

mempengaruhi orang (anggota organisasi) sehingga akan berusaha

mencapai tujuan organisasi dengan kemauan dan antusiasme yang tinggi.

Selanjutnya George R. Terry (dalam Hadari Nawawi, 2003), mengatakan

bahwa kepemimpinan adalah hubungan dimana seseorang yakni pemimpin

mempengaruhi pihak lain untuk bekerja sama secara suka rela dalam

mengerjakan (ugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang

diinginkan pemimpin tersebut.

Mengacu pada Robert Tannenbaum, Irving R, Weschler dan Fred Massarik

(48)

pengaruh perseorangan dalam situasi tertentu secara langsung melalui

proses komunikasi untuk mencapai tujuan-tujuan umum dan khusus.

Hal yang sama dikemukakan oleh Stogdill sebagaimana (dalam Makmuri

Muchlas, 2005), mengatakan bahwa kepemimpinan (leadership) adalah

proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang terorganisir dalam

usaha-usaha menentukan tujuan dan mencapainya.

Selain itu, definisi yang dikemukakan oleh Bennis sebagaimana (dalam

Wustari Mangundjaya, 2000), tentang kepemimpinan (leadership) adalah " ...

the process by which an agent induces

a

subordinate to behave in

a

desired manner". Kepemimpinan adalah proses dimana seorang agen menyebabkan seorang bawahan bertingkah laku menurut satu cara tertentu.

Pemimpin memiliki berbagai peran, seperti apa yang diungkapkan oleh

Bennis (dalam Wustari Mangundjaya, 2000), menyatakan ada empat peran

pemimpin, yaitu:

1. Pembuat Arah (Direction Setter)

Menentukan arah perusahaan melalui kebijakan-kebijakan dan peraturan

(49)

2. Agen Perubah (Change Agent)

Bennis (dalam Wustari Mangundjaya, 2000), menggambarkan agen perubah

sebagai seseorang yang bertindak sebagai katalisator dan bertanggung

jawab untuk mengatur seluruh aktivitas perubahan. Lebih lanjut, Bennis

menyatakan bahwa agen perubah dapat melakukan empat hal, yaitu:

a. Merubah Struktur (Changing Structure)

b. Merubah Teknologi (Changing Technology)

c. Merubah Lingkungan Fisik (Changing Physical Setting)

d. Merubah Manusia (Changing People)

3. Pembicara (Spokes Person)

Di sini pemimpin berperan sebagai penghubung untuk menyampaikan apa

yang menjadi kebijakan dan peraturan perusahaan.

4. Pelatih (Coach)

Pemimpin bertindak sebagai seorang ahli yang memiliki pengalaman tentang

perusahaan yang lebih banyak dibandingkan bawahannya.

Dari keempat peran yang telah diuraikan di atas, seorang pemimpin bisa

memiliki salah satu peran tersebut atau keempatnya sekaligus.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi bawahan melalui kemampuan

(50)

Sehubungan dengan itu Agus Dharma (dalam Moh. As'ad, 1986),

mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang

ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain.

Definisi yang sama diutarakan juga oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard

(dalam Moh. As'ad, 1986), mengatakan gaya kepemimpinan adalah pola

perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan

mereka menerimanya.

Selanjutnya Paul Hersey dan Kenneth Blanchard mengutip pendapat

Tannenbaum dan Schmidt (dalam Moh. As'ad, 1986), mengatakan ada

empat faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yakni sistem nilai,

rasa yakin terhadap bawahan, inklinasi kepemimpinan dan perasaan aman

dalam situasi tertentu.

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Makmuri Muchlas, 2005), gaya

kepemimpinan adalah segala bentuk tindakan pemimpin yang diamati dan

dirasakan oleh para bawahan.

Effendi (dalam NN, 2005), mengartikan bahwa gaya kepemimpinan adalah

(51)

mengarahkan dan mempengaruhi para bawahannya kepada suatu tujuan

tertentu.

Sedangkan Blake dan Mouton (dalam NN, 2005), mengatakan bahwa nilai

yang dianut dalam kehidupan seseorang akan cenderung berpengaruh

terhadap terbentuknya gaya kepemimpinan yang dominan dan tampil melalui

perilaku karena pengalaman pribadi merupakan faktor yang dapat

memperkuat atau memperlemah akan terbentuknya gaya kepemimpinan

tersebut, sedangkan faktor lain juga memberi peran kesempatan

menampilkan gaya kepemimpinan dominan pada situasi sehari-hari.

Gaya kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin mempunyai pengaruh

dan terasa bagi orang lain. Hal tersebut akan terlihat dalam cara

berhubungan, bertindak dan di dalam mengambil keputusan gaya

kepemimpinan tertentu mempunyai corak dan pengaruh yang berbeda

dengan gaya kepemimpinan yang lain. Pengaruh ini akan cepat terasa bila

telah mengandalkan kontak langsung secara pribadi sehingga dalam proses

komunikasi terjadi usaha mempengaruhi orang lain. Dalam usahanya

(52)

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Makmuri Muchlas, 2005), gaya

kepemimpinan terbagi menjadi tiga gaya kepemimpinan yang pada umumnya dikenal yaitu:

1. Gaya Kepemimpinan Otoriter/Otokratis (Autocratic)

Kepemimpinan ini diterapkan atas dasar kekuasaan yang bersifat mutlak. Pemimpin menjalankan seluruh fungsi dan tanggung jawab.

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis (Supportive or Participative)

Kepemimpinan ini memberikan kebebasan kepada setiap anggota kelompok untuk berpikir, menyatakan pendapat dan menyampaikan

gagasan-gagasannya. Pemimpin lebih sportif dan aktif berpartisipasi dalam kelompok. 3. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez Faire)

Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin melimpahkan sepenuhnya kepada bawahan dan sedikit sekali menggunakan kekuasaannya. Untuk itu para bawahan harus benar-benar berkualitas dan cakap apabila ingin memperoleh hasil akhir yang bagus.

2.2.3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Otoriter

(53)

(1996), mengatakan otoriter adalah kewenangan dalam bentuk kekuasaan

tertentu yang tercipta dari posisi yang ditempati oleh seorang pemimpin.

Gaya kepemimpinan otoriter menghimpun sejumlah perilaku atau gaya

kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin sentralisasi sebagai

satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota organisasi dan

kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi (Hadari Nawawi,

2003).

Kepemimpinan ini dilaksanakan dengan kekuasaan berada ditangan satu

orang atau sekelompok kecil orang, yang mana pada suatu kelompok ada

seseorang yang menempatkan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa.

Kepemimpinan otoriter didasarkan atas perintah-perintah, pemimpin

melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung

secara efisien. Wirawan (2002), mengemukakan ciri dari gaya kepemimpinan

atasan otoriter sebagai berikut:

a. Kebebasan pemimpin untuk menggunakan kekuasaannya dalam

kepemimpinan tinggi.

b. Kebebasan pengikut untuk menggunakan kekuasaannya tidak ada.

c. Semua keputusan kebijakan dan operasional diambil oleh pemimpin

(54)

d. Pemimpin mempunyai hak prerogatif dan hak untuk memberi perintah dan

wajib dihormati para pengikutnya.

e. Tidak ada pendelegasian wewenang dari pemimpin ke pengikut.

f. Komunikasi dilakukan secara formal melalui jalur hirarki organisasi satu

arah dari atas ke bawah.

g. Komunikasi dari bawah ke atas hanya merupakan laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan tugas bawahan atas permintaan

pemimpin atau secara periodik pada waktu yang telah ditetapkan.

h. Pemimpin mempunyai hak dan kewajiban untuk menghukum pengikut jika

tidak mematuhi pemimpin.

i. Pemimpin "can do no wrong" atau selalu benar.

Abu Ahmadi (1990), mengklasifikasikan kepemimpinan otoriter berdasarkan

cara atau pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin:

a. Pemimpin ini menentukan segala-galanya, pusat wewenang ada ditangan

pemimpin dan semua aktivitas kelompok dijalankan atas instruksi

pemimpin.

b. Pemimpin mengatur dan mendikte anggota, anggota hanya sebagai

pelaksana perintah pemimpin dan anggota tidak pernah diberi tahu

(55)

c. Kedudukan pemimpin terpisah dari yang dipimpin, keterpisahan pemimpin

dengan bawahan pimpinan berhubungan dengan anggota hanya pada

saat memberikan instruksi atau perintah.

d. Pemimpin membuat sebagian besar perencanaan, pemimpin secara

penuh menentukan kegialan kelompok dan mendikle kegialan kelompok.

e. Membual kepulusan alas hadiah, hukuman dan penenlu imbalan alas

kerja karyawan. Oleh karena ilu nasib seliap individu didalam kelompok

berada dilangan pemimpin.

Kedua lokoh yang lelah disebulkan di alas sebenarnya sama-sama

menjelaskan mengenai gaya kepemimpinan alasan otoriler yang pada inlinya

kekuasaan lerpusal pada salu orang yailu sang pemimpin.

Dari uraian di alas dapal dilarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan

alasan oloriler akan dirasakan oleh keseluruhan slruklur kelompok di mana

komunikasi antara anggola kelompok kecil sekali dan ini memiliki akibal yang

kurang mengunlungkan, seperti kurang berkembangnya hubungan limbal

balik anggola dalam kelompok. Gaya kepemimpinan alasan oloriler

(56)

2.2.4. Teori-Teori Kepemimpinan Sebagai Latar Belakang Pemahaman Kepemimpinan Otoriter

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan

kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi mencapai suatu kesuksesan

dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia

yang jutaan banyaknya ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis

untuk melatih dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru.

Timbulnya perusahaan adalah karena adanya orang-orang yang mempunyai

maksud sama, kemudian bergabung untuk mencapai tujuan yang telah

disepakati bersama. Bila seorang pemimpin ingin agar setiap bawahan mau

bekerja dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada, maka pemimpin

harus mengetahui apa yang melatarbelakangi seseorang masuk dalam

perusahaan.

Para pemimpin juga memainkan peranan yang cukup penting dalam

membantu perusahaan untuk .mencapai tujuan. Peran pemimpin dalam

perusahaan adalah peran yang sentral, oleh karena itu keberadaan pemimpin

merupakan faktor penting di dalam suatu perusahaan. Maju mundurnya suatu

perusahaan sangat tergantung atas kemampuan seorang pemimpin di dalam

(57)

Kartini Kartono (2003), mengemukakan teori kepemimpinan adalah

penggeneralisasian satu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep

kepemimpinannya dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab

musabab timbulnya kepemimpinan, persyaratan menjadi pemimpin, sifat-sifat

utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi

kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah suatu upaya untuk penggunaan jenis pengaruh bukan

paksaan untuk memotivasi orang-orang melalui komunikasi guna mencapai

tujuan tertentu. Suwarto (1999), membagi teori kepemimpinan menjadi tiga

yaitu:

a. Teori Sifat

Kepemimpinan menitikberatkan pengidentifikasian ciri-ciri yang efektif.

Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa dapat ditemukan sejumlah

individu terbatas dari pemimpin yang efektif. Teori sifat juga dapat disebut

teori ciri kepemimpinan. Teori ciri kepemimpinan adalah teori ciri yang

mencari kepribadial"], sosial fisik atau kemampuan dan intelektual atau

intelegensi yang membedakan pimpinan dan bukan pimpinan.

b. Teori Perilaku Personal atau Pribadi

Teori perilaku kepemimpinan adalah teori yang mengemukakan bahwa

(58)

c. Teori Situasional

Teori kepemimpinan situasional adalah suatu teori kepemimpinan yang

memusatkan perhatian pada kesiapan para pengikut. Paul Hersey dan

Blanchard (dalam Suwarto, 1999), mengembangkan dimensi tinggi atau

rendah menjadi empat perilaku pemimpin yang spesifik yaitu mengatakan

(Telling), men ju al (Selling), berperan serta (Participation) dan

mendelegasikan (Delegation).

Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan

kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat

suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam

membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan

mereka.

Sarlito Wirawan Sarwono (2001 ), menggolongkan teori kepemimpinan dalam

empat kategori besar yaitu yang menggunakan pendekatan:

a. Teori dengan Pengaruh Kekuasaan

Teori yang dikemukakan oleh French dan Raven (dalam Sarlito Wirawan,

2001 ), menyatakan bahwa kepemimpinan bersumber pad a kekuasaan dalam

kelompok atau organisasi. Dengan kata lain, individu-individu yang memiliki

akses terhadap sumber kekuasaan dalam suatu kelompok atau organisasi

(59)

b. Teori Bakat

Teori bakat juga disamakan dengan teori sifat (trait), teori karismatik atau

teori transformasi. Inti dari teori ini adalah bahwa kepemimpinan terjadi

karena sifat-sifat atau bakat yang khas yang terdapat dalam diri seorang

pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan. Sifat atau

bakat itu dinamakan kharisma atau wibawa.

c. Teori Perilaku

Teori perilaku memusatkan perhatiannya pada perilaku pemimpin dalam

kaitannya dengan struktur dan organisasi kelompok. Oleh karena itu, teori

perilaku ini lebih sesuai untuk kepemimpinan dalam lingkungan organisasi

atau perusahaan karena peran pemimpin digariskan dengan jelas.

d. Teori Situasional

T eori situasional berintikan hubungan antara perilaku pemimpin dan situasi di

lingkungan pemimpin itu. Dalam hal ini ada dua macam hubungan yaitu

pertama, perilaku pemimpin merupakan hasil atau akibat dari situasi dan

yang kedua, perilaku pemimpin merupakan penentu atau penyebab situasi.

Dari teori-teori di atas dapat ditarik kesimpulan, teori kepemimpinan pada

umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai

pemimpin dan kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki beberapa kelebihan

dibanding dengan anggota-anggota biasa lainnya, karena

(60)

2.2.5. Teori Kepemimpinan Otoriter

Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah-perintah atau

paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Pemimpin

melakukan pengawasan yang ketat agar semua pekerjaan berlangsung

secara efisien. Kepemimpinannya berorientasi pada struktur organisasi dan

tugas-tugas (Kartini Kartono, 2003 ).

Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai "pemain

orkes tunggal" dan berambisi untuk "merajai situasi". Karena itu pemimpin ini

disebut otokrat keras. Pada intinya otokrat keras itu memiliki sifat-sifat antara

lain, yaitu tepat, seksama, sesuai dengan prinsip, namun keras dan kaku.

Lembaga atau organisasi yang dipimpinnya merupakan "One Man Show".

Sikap dan prinsipnya sangat konservatif. Pemimpin hanya bersikap baik

terhadap orang-orang yang patuh pada dirinya, sebaliknya pemimpin ini

hanya akan bertindak keras serta kejam terhadap orang-orang yang tidak

mau mengikuti perintahnya (Kartini Kartono, 2003).

Otokrat lembut atau baik banyak memiliki kemiripan dengan otokrat keras

namun pemimpin ini selalu didera oleh perasaan-perasaan non konformistis.

Pemimpin hanya mentolerir kepatuhan yang sesuai dengan perintah dan

prinsip-prinsip yang diciptakannya sendiri. Pemimpin mau bersikap loyal

(61)

serta biaya asal saja bawahan bersedia patuh, tidak boleh meminta atau

menuntut, tidak boleh memilih, harus menyukai semua pemberian dan

ketentuannya (Kartini Kartono, 2003).

Semua pihak dipaksa menerima dan menyukai pendirian, kemauan dan

kebijaksanaannya. Sebagian individu atau karyawan ada yang dapat

mengikuti kepemimpinan otoriter ini, tingkatan stres yang dialami oleh

karyawan cukup kecil karena karyawan masih bisa mentolerir

kebijakan-kebijakan oleh pimpinan ini dengan kesadaran akan kesalahan dan untuk

kemajuan organisasi. Pemimpin ini juga menggunakan keotoriterannya pada

saat-saat dimana lingkungan pekerjaan harus menuntutnya (Kartini Kartono,

2003).

Otokrat inkompeten, pemimpin ini ingin mendominir orang lain, selalu mau

berkuasa mutlak. Semua tingkah laku, perbuatan, sikap, pujian dan caci

makinya bergantung pada emosi sesaat. Perintah-perintahnya tidak

disesuaikan dengan keterbatasan saranayang ada. Sebagai akibatnya

pemimpin ini "menyiksa" semua bawahannya dengan tugas-tugas yang berat

diluar kemampuan mereka dan memaksa semua bawahannya agar

(62)

Berbeda dengan kedua tipe otokrat diatas yang memiliki prinsip-prinsip

konservatif dan kuat, otokrat inkompeten ini justru tidak punya prinsip dan

tidak mau mengindahkan moral. Sifatnya jahat, suka berbohong, suka

menyogok, menyuap dan munafik. Tidak segan-segan dia menggunakan

cara-cara yang curang untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Kartini

Kartono, 2003).

Dari uraian di alas dapat ditarik kesimpulan, kepemimpinan otoriter

mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi.

Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal pada "One Man

Show". Semua pujian dan kritik terhadap bawahan diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri. Pemimpin otokratis senantiasa

berkuasa absolut, tunggal dan merajai keadaan.

2.2.6. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter

Kepemimpinan dengan tipe otoriter berlangsung dalam bentuk "working on

his group"karena pemimpin menempatkan dirinya diluar anggota

kelompoknya. Pemimpin merasa dirinya mempunyai hak istimewa dan harus

diistimewakan oleh bawahannya. Pemimpin merupakan pihak yang memiliki

wewenang, sedangkan bawahan merupakan pihak yang memiliki tugas,

(63)

Pengaruh yang dapat ditimbulkan adalah anggota kelompok atau organisasi

menjadi penurut, tidak berani mengambil keputusan sehingga sangat

tergantung pada pimpinan. Anggota kelompok atau organisasi tidak mau dan

tidak mampu berinisiatif dan bersifat menunggu perintah, tidak aktif dan tidak

mampu menciptakan kerja sendiri (Riberu, 2003).

Kepemimpinan otoriter mematikan kreativitas sehingga kehidupan organisasi

menjadi statis dan rutin atau tidak berkembang secara dinamis.

Kepemimpinan otoriter tidak menumbuhkan dan tidak membina sifat

kepemimpinan para anggotanya, sehingga menjadi manusia yang lebih

senang bergantung pada orang lain (Hadari Nawawi, 2004).

Kesediaan anggota bekerja keras bersifat terpaksa dan pura-pura karena

hanya dilakukan bila diawasi. Mengapa ini terjadi? Sebab karyawan takut

kepada otoritas pemimpin. Disiplin dan kepatuhan bersifat palsu karena

didasari rasa tertekan, takut dan ketegangan bahwa apabila terjadi kekeliruan

aka[! mendapat sanksi atau hukuman yang merugikan. Bayangan ancaman

sanksi atau hukuman menghantui suasana kerja sehingga sering

menimbulkan sikap nervous, stres dan burnout yang mengakibatkan semakin

(64)

Organisasi menjadi bersifat statis karena pemimpin sering kehabisan

kreativitas dan inisiatif, sedangkan bawahan tidak diberi kesempatan untuk

itu. Rapat dan musyawarah untuk memperoleh berbagai masukan dipandang

tidak perlu dan membuang-buang waktu. Segala sesuatu dipikirkan dan

diputuskan sendiri oleh pemimpin. Jika rapat diselenggarakan juga sifatnya

tidak lebih daripada pertemuan untuk menyampaikan perintah atau instruksi

atau kehendak pimpinan sebagai atasan. Pemimpin lebih menyenangi situasi

yang bersifat rutin dan tidak berubah-ubah, cenderung lebih senang

menghindari perubahan, perbaikan dan pengembangan. Dalam keadan

seperti itu organisasi berlangsung lamban (Hadari Nawawi, 2004

Gambar

Tabel 3.1.
Tabel 4.6.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian pada kualitas fisik daging menunjukkan perbedaan genotipe berdasarkan SNP Arg25Cys pada gen leptin, tidak berpengaruh nyata (P ≥ 0.05) terhadap

Email, Telpon,Alama t,, Password tidak diisi kemudian klik tombol daftar Nama:(kos ong) Email : (kosong) Telpon: (kosong) Alamat: (kosong) Password : (kosong) Sistem akan

2 Bagi subyek penelitian, dalam hal ini Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Gresik dapat memperoleh pengetahuan mengenai standar laporan keuangan yang berlaku

Laporan skripsi dengan judul “ Sistem Sertifikasi Laik Sehat pada Depot Air Minum di Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Berbasis Web ” telah dilaksanakan dengan

Pasal 1: Pr ogr am penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemer intah, pemer intah daer ah dunia usaha, ser ta masyar akat untuk meningkatkan

Output yang dapatkan kan adalah meningkatnya kandungan antioksidan dalam karkas ayam, sehingga memperlama proses oksidasi yang terjadi pada daging dan dapat memperlama daya

Perubahan pendapatan usahatani akibat adanya TMC sebesar 265,58% dalam satu tahun.Maka dari ituTMC lebih baik tetap dilaksanakan agar tetap tersedianya air di

Subjek memahami masalah, dengan menulis apa yang diketahui, apa yang ditanya, syarat yang diperlukan, merencanakan penyelesaian yaitu dengan membuat pola atau