Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
INTA NIL YA BAHAR
NIM: 102070025965
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
Miftahuddin, M. Si NIP. 150 378 726
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN ATASAN OTORITER DENGAN BURNOUT telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 15 September 2008. skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 15 September 2008
Sidang Munaqasyah
gkap Anggota
M. Si.
Penguji I
Yunita Faela Nisa, M. Psi., Psi NIP. 150 368 748
Abdul Rahman M.Si
NIP. 150 293 224
Pembantu Dekan/
Sekretaris MerangkapAnggota
M Si. NIP. 150 238 773
Anggota:
lll
Abdul Rahman Shaleh, M. Si NIP. 150 293 224
Pembimbing II
"SE'BAIK-'BAIK MANUSIA AVALAtl
MANUSIA YANG PALING 'BE'RMANfAAT
'BAGI MANUSIA LAINNYA"
(JfCJ?.)'tddaruqutlini e:{,Jltli <Jlla6rani)
,,.,We llave
t()
d()
()ur
vart
ALUti Will d() tiis vart"!I
(Jlmien
(j@is)
"SESUNQGUHNYA SESUMH t<E.SULITAN ITU
AM t<E.HUMHAN"
SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN
UNTUK ORANG-ORANG YANG KU SAYANG
ALMARHUM AYAHANDA Z.A BAHAR, SKM
!BUNDA NILYAWATI BAHAR
&
ADIKKU ADEY SUCUK ZAKARIA BAHAR
(C) lnta Nilya Bahar
(0) Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan Burnout (E) xix+87 halaman+21 lampiran
(F) Gaya kepemimpinan atasan otoriter adalah merupakan jenis pemimpin yang menentukan segala-galanya, semua aktivitas kelompok dijalankan atas instruksi pemimpin. Pemimpin yang mengatur dan mendikte
anggota, anggota hanya sebagai pelaksana perintah pemimpin.
Burnout adalah merupakan sindrom ketegangan psikologis dari dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat
pencapaian prestasi diri yang terjadi karena individu berada dalam kondisi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubu ngan antara gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan burnout?
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) Tbk. Sampel penelitian ini berjumlah 50 karyawan , 25 karyawa n laki-laki dan 25 karyawan wanita. Pengambilan sampel di
lakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling dan
metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive
sampling.
T eknik pengambilan data menggunakan skala model likert, skala yang digunakan adalah skala gaya kepemimpinan atasan otoriter dan skala burnout. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi.
Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi Product Moment Pearson dan diuji reliabilitas dengan Alpha Cronbach diperoleh hasil koefisien reliabilitas 0, 963 untuk skala gaya kepemimpinan atasan otoriter dan 0, 970 untuk skala burnout, kemudian data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 13.00 for windows dengan korelasi Product Moment Pearson.
dengan burnout. Artinya gaya kepemimpinan atasan yang otoriter dapat menyebabkan burnout pada karyawan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
(G) Daftar Pustaka: 40 (1986-2008)
(C) lnta Nilya Bahar
(0) The Relationship between Leadership Styles of Authoritative Boss with
Burnout
(E) xix+87 pages+21 enclosures
(F) The leadership style of Authoritative boss is type of leadership determining everything; all group activity is performed of leader instruction. The Leader arranges and dictates member, member only as executor of leader command.
Burnout is psychological stress syndrome of emotional exhaustion dimension, depersonalization and degradation of attainment ambition of self achievement that happened because of individual stay in the condition of claiming high emotional involvement and take place during long times.
This research aim to know is there the relationship between leadership style of autoritary authoritarian boss with burnout.
The population in this research is employees of PT. Indonesian People Bank (BRl/Persero) Tbk. This research sample amounts to 50 employees, 25 male employees and 25 female employees. Extraction of sample is conducted by using technique of non-probability sampling and the method of sample extraction use method of purposive sampling.
Technique of data extraction uses likert model scale; scale that is used is scale of leadership style of Authoritative boss and scale of burnout. Approach that is used is quantitative approach with method of co relational method with aim to know how far variation of a variable relates to variation of one or more other variable based on correlation coefficient.
After both scale is tested its validity with correlation of Product Moment Pearson and tested the reliability with Alpha Cronbach, obtained result of reliability coefficients 0, 963 for the scale of leadership style of Authoritative boss and 0, 970 for the scale of burnout, later; then data is analyzed by using program of SPSS version 13.00 for windows with correlation of Product Moment Pearson.
boss can cause burnout at employees of PT. Indonesian People Bank (B Rl/Persero) Tbk.
(G) Bibliography : 40 (1986-2008)
Alhamdulillahirabbil'alamin, puji dan syukur yang tak terkira penulis panjatkan
kehadirat ALLAH SWT yang telah menganugerahkan rahmat dan ridhonya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini walaupun
masih jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam senantiasa senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang
menjadi SU!i tauladan bagi kita semua serta para keluarga, para
sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Sebuah perjalanan panjang selama mengikuti perkuliahan dan melakukan
penelitian, tentu tidak lepas dari peran-peran semua pihak, baik dorongan
moril maupun materil. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak
yang telah memb_antu sehingga penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu
dengan penuh kesadaran, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. !bu Hj Ora. Netty Hartati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan dan
perhatian kepada seluruh mahasiswa.
2. !bu Dra. Zahrotun Nihayah, M. Si selaku Pembantu Dekan Bidang
Akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pengarahan dan perhatian kepada seluruh
mahasiswa.
3. Bapak Abdul Rahman Shaleh, M. Si selaku Dasen Penasehat
Akademik dan Pembimbing I yang sudah banyak meluangkan
waktunya untuk membimbing dan memberi arahan serta motivasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
5. Para Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan ilmu kepada
seluruh mahasiswa.
6. Para Staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan sarana dan prasarana kepada seluruh mahasiswa
dalam belajar.
7. Para Karyawan Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kanwil Jakarta
yang telah memberikan data-data penelitian yang di butuhkan penulis.
8. Kedua orangtuaku tercinta, Almarhum Ayahanda Z.A Bahar, SKM
yang menjadi salah satu motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini dan lbunda Nilya Wati Bahar yang sudah mengorbankan
waktu dan tenaganya untuk memberikan kasih sayang yang tulus dan
ikhlas serta yang terbaik bagi penulis dalam mengenyam pendidikan
sampai saat ini.
9. Adikku tersayang, Adey Sucuk Zakaria Bahar yang selalu memberikan
keceriaan dan semangat kepada penulis.
10. Omku Bapak Darius Zakaria, SH beserta keluarga yang selama ini
telah membantu penulis baik secara moril maupun materil sehingga
penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.
11. Uni Yulia Rossa, SE beserta keluarga yang selama ini telah membantu
penulis baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat
mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.
12.Teman-teman seperjuanganku, Raifana, Refi lrawan, S. Psi, Haris,
Rita Handayani, Dwi Rahmawati, Hayatun Nufus, Abdul Azis, Yusuf,
Ulil Albab dan teman-teman angkatan 2002 lainnya yang telah
bersama-sama berjuang menuju kesuksesan.
dukungan kepada penulis.
14. Mbah Hell (Mas Arif) Orion, K Agus, S. Psi dan Jamali, S. Psi yang
telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih atas semua bantuan yang telah di berikan baik moril maupun
materil, semoga ALLAH SWT membalasnya berlipat ganda dari yang telah
kalian berikan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap yang
membacanya, Amin.
Jakarta, 15 September 2008
lnta Nilya Bahar
HALAMAN JUDUL ... .
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAKSI ... vi
ABSTRACT . .. .. ... ... .... ... .... .... ... .. ... ... . ... ... ... . .. ... ... .. ... . ... .... .... ... viii
KAT A PEN GANT AR .. .... ... ... ... .... .... . ... . .. ... . .. . . ... ... . .. . . .. .. .. .. .. . .... ... ... . x
DAFT AR ISi ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFT AR BAGAN . .. . .. ... ... . .. ... . .. . ... ... .. . .. . .. . . . .. .. ... . .. . . .. .. .. .. . . . .. . . .. ... . .. . xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-12 1.1. Latar belakang masalah . .. ... ... .. .. .... ... ... . .. .. .. ... ... .... .. . 1
1.2. ldentifikasi masalah ... .. .... .. ... ... .. .. .. .. .. ... ... ... 9
1.3. Pembatasan dan perumusan masalah ... 9
1.3.1. Pembatasan masalah .. ... .. .. ... .... ... .. .. .. . .. ... ... .... .. . 9
1.3.2. Perumusan masalah ... 1 O 1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ... 1 O 1.4.1. Tujuan Penelitian ... 10
1.4.2. Manfaat Penelitian ... 10
1.5. Kaidah Penulisan dan Sistematika penulisan ... 11
1.5.1. Kaidah Penulisan ... 11
1.5.2. Sistematika Penulisan ... 11
2.1.2. Proses Terjadinya Burnout ... 17
2.1.3. Sumber Penyebab Burnout ... 19
2.1.4. Dimensi-Dimensi Burnout ... 22
2.1.5. Dampak Burnout ... 24
2.1.6. Alat Ukur Burnout ... 24
2.2. Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 26
2.2.1. Pengertian Kepemimpinan ... 26
2.2.2. Pengertian Gaya Kepemimpinan :... 31
2.2.3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 34
2.2.4 Teori-Teori Kepemimpinan Sebagai Latar Belakang Pemahaman Kepemimpinan Otoriter .. 38
2.2.5. Teori Kepemimpinan Otoriter ... 42
2.2.6. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter ... 44
2 .3. Kerangka Berpikir .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. . .. . .. .. .. . .. .. .. . .. .. . .. .. . 46
2 .4. Hipotesis Penelitian .. .. .. . . .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 49
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 50-70 3.1. Jenis penelitian ... 50
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 50
3.1.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional ... 51
3.2. Pengambilan sampel .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . .. .. . .. .. . . . .. .. .. .. .. .. . 52
3.2.1. Populasi dan Sampel ... 52
3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 54
3.3. Pengumpulan data ... 55
3.3.1. Metode dan lnstrumen penelitian ... 55
3.3.2. Teknik Uji lnstrumen Penelitian ... 59
3.3.3. Hasil Uji lnstrumen Penelitian ... 62 3.4. Teknik Analisis Data ... 68
3.5. Prosedur Penelitian ... 69 BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 71-84
4.1.
Gambaran Umum Responden ...71
4.2.
Presentase Data ...74
4.3. Hasil Tambahan ... 81 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 85-87
5.1. Kesimpulan .... .... ... ... .... ... ... ... .. .... . .. ... .. . .. .. . . . .. ... ... .. 85
5.2. Diskusi ... 86
5.3. Saran ... ,... 87
DAFT AR PUST AKA LAMPI RAN
Tabel 3.1. Blue Print Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter . . . ... . . 56
Tabel 3.2. Bobot nilai ... 57
Tabel 3.3. Blue Print Skala Burnout ... 58
Tabel 3.4. Bobot nilai ... 59
Tabel 3.5. Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha ... 62
Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter ... .. .. ... .. .... .. . .... ... ... .. ... . .. . ... ... .. . .. . .. . . .. . ... .. . . .. .. . .. . 63
Tabel 3.7. Blue Print Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter .. . ... .. . . . .. .. . .. . .. ... . ... .... ... ... ... ... . .. . .. . .. .. . ... .. .. . .. .. ... ... ... ... . 64
Tabel 3.8. Hasil Uji Validitas Skala Burnout... 65
Tabel 3.9. Blue Print Penelitian Skala Burnout ... 65
Tabel 3.10. Hasil Uji Reliabilitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter . . . . .. . . .. . . .. . . .. . 67
Tabel 3.11. Hasil Uji Reliabilitas Skala Burnout ... 67
Tabel 4.1. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.. 71
Tabel 4.2. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ... 72
Tabel 4.3. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan .. .. .. ... .. ... . .. . . .. . ... .. . . .. ... .. . . ... ... .. . ... ... .. .. . .... ... ... ... .... 73
Tabel 4.4. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Lama Bekerja.. 73
[image:15.521.26.442.72.552.2]Tabel 4.6. Kategorisasi Skor Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter 75
Tabel 4.7. Interval Penyebaran Skor Skala Burnout ... 76
Tabel 4.8. Kategorisasi Skor Skala Gaya Burnout ... 77
Tabel 4.9. Hasil Uji Normalitas Skala Gaya Kepemimpinana Atasan
Otoriter . ... ... .... ... ... ... ... .. . . ... .. ... ... . .. . . . .. .. .. . .. .. ... .... ... 78
Tabel 4.10. Hasil Uji Normalitas Skala Burnout... 79
Tabel 4.11. Hasil Uji Homogenitas ... 79
Tabel 4.12. Korelasi Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan
Burnout ... 80
Tabel 4.13. Perbedaan Burnout Berdasarkan Jenis Kelamin ... 82
Tabel 4.14. Perbedaan Burnout Berdasarkan Usia ... 82
Tabel 4.15. Perbedaan Burnout Berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan ... .... .... ... ... ... .... ... ... 83
Tabel 4.16. Perbedaan Burnout Berdasarkan Lama Bekerja .. ... ... ... 84
[image:16.521.29.440.55.490.2]Bagan 2.1. Kerangka Berpikir ... 49
Otoriter
Lampiran 2. Data Mentah Hasil Try Out Skala Burnout
Lampiran 3. Validitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter
Lampiran 4. Reliabilitas Try Out Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter
Lampiran 5. Validitas Skala Burnout
Lampiran 6. Reliabilitas Try Out Skala Burnout
Lampiran 7. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan
Atasan Otoriter
Lampiran 8. Data Mentah Hasil Penelitian Skala Burnout
Lampiran 9. Reliabilitas Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan
Otoriter
Lampiran 10. Reliabilitas Penelitian Skala Burnout
Lampiran 11. Uji Normalitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter
Lampiran 12. Uji Normalitas Skala Burnout
Lampiran 13. Uji Homogenitas Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter
dan Skala Burnout
Lampiran 14. Uji Korelasi Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dan
Skala Burnout
Lampiran 15. Uji t dan Uji F
Lampiran 16. Surat lzin Penelitian
Lampiran 17. Permohonan Kesediaan Sebagai Responden
Lampiran 18. Kuesioner Try Out Skala Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter
Lampiran 19. Kuesioner Try Out Skala Burnout
Lampiran 20. Kuesioner Penelitian Skala Gaya Kepemimpinan Atasan
Otoriter
Lampiran 21. Kuesioner Penelitian Skala Burnout
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa, baik
sekarang maupun yang akan datang tidak bisa lepas dari proses
industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri tidak hanya dari faktor
teknologi tetapi juga melibatkan faktor manusia sebagai tenaga kerja yang
ikut dalam proses industri.
Faktor manusia ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena bagaimanapun
modernnya suatu industri, keberhasilan yang memuaskan hanya akan dapat
dicapai bilamana tenaga kerja mempunyai kemampuan yang benar-benar
sesuai dengan pekerjaannya.
Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, individu tersebut
memiliki harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Harapan dan tujuan yang
timbul dapat berupa kenaikan jenjang karier, kenaikan gaji, tunjangan,
penambahan fasilitas dan lain-lain. Untuk mencapai harapan dan tujuan
tersebut, individu akan bekerja keras guna mencapai hasil kerja yang
maksimal.
Tidak adanya suatu kesesuaian antara kemampuan, keterampilan dan
tuntutan karyawan dengan sifat-sifat yang ada pada pekerjaan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi terjadinya stres yang berkepanjangan
yang akhirnya menimbulkan burnout.
Beban kerja yang berlebihan, jam kerja yang terlalu panjang, tidak sesuainya
jenis pekerjaan dengan tipe kepribadian karyawan, lingkungan tempat kerja
yang kurang mendukung, minimnya upah (gaji) yang diterima dan gaya
kepemimpinan atasan yang otoriter merupakan penyebab timbulnya burnout
(Zul Azhar, 2002).
Jalannya suatu perusahaan sangat dipengaruhi kesehatan jiwa karyawannya.
Sebaliknya, perusahaan sangat mempengaruhi positif maupun negatif
kesehatan jiwa kal'};'awannya. Hasil penelitian yang diumumkan Organisasi
Buruh lnternasional (ILO) pada Oktober 2000 mengenai program dan
kebijakan kesehatan jiwa pada tenaga kerja di Finlandia, Jerman, lnggris,
Polandia dan AS menunjukkan bahwa kasus gangguan jiwa makin
meningkat. Dilaporkan bahwa satu dari sepuluh tenaga kerja mengalami
depresi, stres, kecemasan dan burnout (Nurhayati Restiyaningrum, 2006) .
Konsep burnout menunjuk pada kondisi penarikan diri oleh seseorang dari
pekerjaannya sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat
ketidakpuasan dalam bekerja (Cherniss, dalam Cicilia Yeti, 1991). Cherniss
juga mengatakan bahwa gejala tersebut merupakan suatu bentuk coping
yang dipilih individu untuk mengatasi stres pekerjaan yang dihadapinya.
Penarikan diri secara psikologis tersebut ditandai dengan munculnya
perilaku-perilaku antara lain mudah tersinggung, menurunnya sikap positif
terhadap pekerjaan yang dihadapinya, keengganan yang condong menjurus
pada kemalasan terhadap pekerjaan yang diberikan dan sebagainya. Gejala
burnout ini bahkan dapat muncul pada individu yang sebelumnya
menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam pekerjaannya (Cherniss, dalam
Cicilia Yeti, 1991 ).
Batasan burnout yang diutarakan oleh Freudenberger (dalam Farber, 1991),
mengemukakan bahwa burnout merupakan suatu keadaan di mana
seseorang mengalami kelelahan atau frustasi karena merasa apa yang
diharapkannya tidak tercapai. lndividu yang memulai kariernya melalui
idealisme tertentu, misalnya ingin membantu dan meningkatkan
kesejahteraan orang lain, ketika realita yang ada tidak mendukung idealisme
akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mengalami kelelahan dan
frustasi.
Menurut Pines dan Aronson (dalam Sutjipto, 2001 ), timbulnya kelelahan ini
karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak berdaya,
merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, kesedihan yang mendalam,
merasa malu yang secara terus menerus membentuk lingkaran dan
menghasilkan perasaan lelah serta tidak nyaman yang pada gilirannya
meningkatkan rasa kesal dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat
menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional.
Kartini Kartono (dalam Cicilia Yeti, 1991), membagi kelelahan itu menjadi dua
bagian yaitu: pertama, kelelahan jasmani (fisik) yang mutlak memerlukan
istirahat dan tidur guna memulihkan produktivitas. Kedua, kelelahan rohani
(psikis) yang dirasakan sebagai penghayatan "habis terkuras" dan rasa
sangat lemah yang menjadi predisposisi bagi timbulnya gangguan
fungsi-fungsi psikis.
Gejala pertama yang mengawali kelelahan ditandai dengan berkurangnya
minat pada pekerjaan. Gejala kedua ditandai dengan substraksi atau
berkurangnya energi tubuh. Gejala ketiga ditandai dengan bertambahnya
tidak melakukan apapun. Lalu gabungan dari ketiga gejala tersebut timbullah
kejemuan atau kebosanan dan kelelahan (Kartini Kartono dalam Cicilia Yeti,
1991 ).
Maslach (dalam Sutjipto, 2001 ), mengemukakan bahwa burnout merupakan
sindrom yang terdiri dari kelelahan emosional, depersonalisasi dan
penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Kelelahan emosional ditandai
dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan lelah
sehingga secara psikologis individu tidak mampu memberikan pelayanan.
Depersonalisasi mempunyai ciri-ciri: berkembangnya sikap negatif atau
respon yang sinis dan pemberian jarak dengan resipien dari suatu pelayanan
yang diberikan seseorang. Penurunan hasrat pencapaian prestasi diri
merupakan suatu evaluasi diri, yang mengatakan bahwa seseorang tidak lagi
efektif dalam bekerja dan dalam pemenuhan tanggung jawab yang berkaitan
dengan pekerjaannya.
Fenomena burnout dapat muncul pada berbagai jenis pekerjaan, terdapat
bukti empiris yang menyatakan bahwa terdapat sumber burnout yang sama
baik pada ー・ォ・セ。。ョ@ pelayanan maupun non pelayanan, salah satu
sumbernya adalah kepemimpinan organisasi. Di dalam memimpin suatu
Seorang atasan harus mampu mengarahkan dan mengendalikan
bawahannya ke arah tujuan perusahaan. Untuk itu seorang atasan harus
mampu melaksanakan fungsi pengendalian manajemen sebagai kewajiban
setiap atasan untuk melaksanakan pengawasan terhadap bawahannya,
walaupun terkadang pengawasan yang dilakukan oleh atasan dapat
merupakan beban yang dirasakan para bawahannya. Gaya kepemimpinan
atasan mempunyai potensi untuk mempengaruhi karyawan sehingga lama
kelamaan karyawan akan dapat menyesuaikan diri sesuai dengan harapan
atasannya, walaupun sebenarnya bertentangan dengan diri karyawan itu
sendiri. Hal ini bisa menyebabkan stres pada karyawan (Robbins, 2001 ).
Seperti hasil penelitian Anon (2000), dalam tulisannya "Dinosaurus Orde
Baru di Luar Negeri", yaitu di mana gaya kepemimpinan otoriter "One Man
Show'' yang jelas tidak profesional seperti di KBRI London sudah dapat
dipastikan akan membuat pegawai-pegawainya jadi apatis, depresi, dan
menurun kinerjanya. Yang menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan atasan
Sama halnya juga dengan fenomena yang terjadi di PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) Tbk Kanwil Jakarta, walaupun banyak prestasi yang
telah diraih ternyata di dalam lingkungan kerja mereka tidak sedikit karyawan
yang mengalami burnout dikarenakan gaya kepemimpinan atasan mereka
yang otoriter. Seperti informasi yang diperoleh dari salah satu karyawan yang
dirahasiakan namanya, mengatakan bahwa sebenarnya sudah jenuh dengan
rutinitas pekerjaan yang selalu didominasi oleh atasan, ingin keluar tapi tidak
bisa karena biaya hidup dan susahnya mendapatkan pekerjaan. Alhasil
disiplin dan kepatuhan bersifat palsu karena didasari rasa tertekan, takut dan
ketegangan bahwa apabila terjadi kekeliruan akan mendapat sanksi atau
hukuman yang merugikan. Bayangan ancaman sanksi atau hukuman
menghantui suasana kerja sehingga sering menimbulkan sikap nervous,
stres dan burnout.
Literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan
bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan
situasi kepemirnpinan serta syarat-syarat yang baik. Suatu organisasi akan
berhasil atau bahkan gaga! sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan.
Suatu ungkapan yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang
bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan karyawan,
merupakan ungkapan yang mendudukan posisi pemimpin dalam suatu
Menurut Kartini Kartono (2003), pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,
temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga
tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya
atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe
kepemimpinannya salah satunya yaitu otokratis.
Pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan otokratis atau otoriter
dapat disebut "tukang cerita". Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa
mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan itu sebagai perintah-perintah
langsung kepada para bawahannya. Pemimpin-pemimpin otokratis biasanya
menyimpan keputusan dan pengendalian bagi dirinya sendiri, karena mereka
menganggap bertanggung jawab penuh untuk pengambilan keputusan.
Pemimpin-pemimpin otokratis biasanya menyusun seluruh situasi kerja untuk
pekerja-pekerja mereka, yang hanya melakukan apa yang disampaikan
kepada mereka yaitu mengikuti perintah (Wirawan, 2002).
Gaya kepemimpinan otokratis atau otoriter bisa diartikan pemimpinnya
sangat memaksakan, sangat mendesakkan kekuasaannya kepada bawahan.
Bawahan dikendalikan dan diperintah seolah-olah tidak mempunyai pikiran
atas, mendikte semuanya supaya dikerjakan sesuai kehendaknya (Riberu,
2003).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti "Hubungan Antara
Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter Dengan Burnout".
1.2. ldentifikasi Masalah
Dari latar belakang permasalahan di alas, maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gaya kepemimpinan atasan otoriter yang dipersepsikan
karyawan?
2. Bagaimana tingkat burnout yang dialami karyawan?
3. Bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan
burnout?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Pembatasan Masalah
a. Burnout yang merupakan sindrom ketegangan psikologis dari dimensi
kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian
b. Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter yang merupakan jenis pemimpin
yang menentukan segala-galanya, semua aktivitas kelompok dijalankan
atas instruksi pemimpin.
1.3.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka penulis
membuat rumusan masalah yaitu "Apakah Ada Hubungan yang signifikan
antara Gaya Kepemimpinan Atasan Otoriter dengan Burnout?".
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara gaya kepemimpinan atasan yang otoriter dengan burnout.
1.4.2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis dapat memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai
gaya kepemimpinan atasan otoriter dengan burnout pada karyawan
sehingga dapat memberikan sumbangan untuk mengembangkan ilmu
Oleh:
INT A NIL YA BAHAR
NIM : 102070025965
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSIT AS ISLAM NE GERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
b. Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan
dalam usaha memperhatikan peran dari gaya kepemimpinan atasan yang
otoriter dengan burnout yang dapat dialami pada karyawan.
1.5. Kaidah Penulisan dan Sistematika Penulisan
1.5.1. Kaidah Penulisan
Pada penulisan laporan penelitian ini, penulis menggunakan kaidah American
Psychology Association (APA Style).
1.5.2. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulis dalam laporan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB1.PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini membahas mengenai pengertian burnout, proses terjadinya
burnout, sumber penyebab burnout, dimensi-dimensi burnout, dampak
kepemimpinan,pengertian gaya kepemimpinan atasan otoriter, teori-teori
kepemimpinan sebagai latar belakang pemahaman kepemimpinan otoriter,
teori kepemimpinan otoriter, pengaruh kepemimpinan otoriter, kerangka
berpikir dan hipotesis.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini membahas mengenai jenis penelitian, pengambilan sampel,
pengumpulan data, teknik analisis data dan prosedur penelitian.
BAB 4. HASIL PENELITIAN
Pada bab ini membahas mengenai gambaran umum responden, data
presentase yang meliputi penyebaran skor, uji persyaratan, uji hipotesis dan
hasil tambahan.
BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
2.1. BURNOUT
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian Burnout
Burnout sebagai suatu sindrom merupakan kumpulan beberapa gejala yang
digunakan untuk merujuk pada situasi hilangnya antusias, kegembiraan dan
suatu perasaan yang mempunyai misi dalam pekerjaan.
lstilah burnout diperkenalkan pertama kali kepada masyarakat pada 1973
oleh Herbert Freudenberger seorang psikolog klinis dari lembaga pelayanan
sosial yang menangani remaja bermasalah (Sutjipto, 2001 ).
Dalam penelitiannya ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan
yang telah bertahun-tahun bekerja. Mereka mengalami kelelahan mental,
kehilangan komitmen dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya
waktu yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber dalam Sutjipto, 2001 ).
Maslach dan Jackson kembali melakukan penelitian yang sama pada bidang
pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang pelayanan
kesehatan, pelayanan sosial, kesehatan mental, penegakan hukum maupun
pendidikan (Sutjipto, 2001 ).
Maslach dan Jackson (dalam Sutjipto, 2001 :690), mengemukakan bahwa
burnout merupakan terminologi yang bersifat multidimensional.
" ... burnout as a psychologycal syndrome of emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishment that can occur among individuals who work with other people in some capacity".
Pandangan multidimensional tersebut menjelaskan bahwa burnout sebagai
suatu sindrom psikologis terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,
depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri.
Ketika memandang burnout sebagai suatu model multidimensional, tidak
cukup hanya memperhatikan komponen stres saja, melainkan harus
memperhatikan dua komponen berikutnya yaitu evaluasi diri (self evaluation),
direfleksikan dalam dimensi penurunan hasrat pencapaian prestasi diri dan
hubungan dengan orang lain (relation to others) dalam dimensi
depersonalisasi.
Kedua komponen tersebut menambah dan melengkapi pemahaman
multidimensional seperti yang diungkapkan oleh Freudenberger (dalam
caused by excessive demands on one's energy and resources". Dapat dilihat, Freudenberger memusatkan perhatiannya hanya pada aspek kelelahan
akibat tuntutan yang berlebihan terhadap energi dan sumber daya
seseorang.
Kamus psikologi menjelaskan burnout sebagai suatu kelelahan emosi yang
berlebihan, namun para ahli yang meneliti masalah ini kurang puas dengan
definisi tersebut. Kemudian munculah definisi-definisi baru, dimana
didalamnya terdapat beberapa aspek perubahan tingkah laku (Chaplin,
2002).
Cherniss (dalam Sutjipto, 2001 ), menyatakan bahwa burnout merupakan
perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara
psikologis dari pekerjaan seperti menjaga jarak maupun bersikap sinis
dengan orang lain, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja
yang kuat.
Pandangan Cherniss ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh
Freudenberger, bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang
hendak dicapai pada awal bekerja, sehingga idealisme menjadi tinggi. Stres
motivasi dan menimbulkan gejala burnout (Greenberg dan Baron dalam
Sutjipto, 2001 ).
Pines dan Aronson (1988:135), mendefinisikan burnout sebagai berikut: "a
state of physical, emotional and mental exhaustion caused by long term involvement in situations that are emotionally demanding".
Dari definisi tersebut, burnout dipandang sebagai keadaan lelah, yang
meliputi kelelahan secara fisik, emosional dan mental karena adanya
keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosi.
Sesuai pernyataan yang diutarakan oleh Baron dan Greenberger (dalam
Haryanto F. Rosyid, 1996), menyatakan sindrom burnout sebagai kelelahan
emosional, fisik dan mental yang juga ditunjang oleh perasaan rendahnya
penghargaan terhadap diri, serta penderitaan stres yang intens dan
berkepanjangan. Burnout dapat timbul sebagai akibat dari suatu kondisi
internal seseorang yang ditunjang oleh faktor lingkungan berupa stres yang
berlarut-larut.
Sedangkan Fery dan Haryanto (1996), menjelaskan burnout sebagai suatu
bentuk ketegangan psikis yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan
memperlakukan seseorang dengan tidak memandang sisi kemanusiaannya,
melainkan hanya melihatnya sebagai sekumpulan masalah.
Berdasarkan paparan para tokoh di atas, tampak bahwa batasan yang jelas
dan lengkap adalah batasan yang dikemukakan oleh Maslach, yang
menggunakan definisi burnout bersifat multidimensional agar dapat menggali
dan menangkap ketiga dimensi yang melibatkan faktor personal dan konteks
hubungan individu dengan orang lain dalam lingkungan kerjanya, serta aspek
penilaian terhadap diri sebagai respon dari pengalaman sires individual.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa burnout merupakan sindrom
ketegangan psikologis dari dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi dan
penurunan hasrat pencapaian prestasi diri yang terjadi karena individu
berada dalam kondisi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi dan
berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
2.1.2. Proses Terjadinya Burnout
Secara bertahap, Farber (1991) mengemukakan konsep dasar mengenai
terjadinya burnout sebagai berikut:
a. Tahap Antusias dan Berdedikasi
lndividu yang mengawali pekerjaannya dengan semangat tinggi, memiliki
b. Tahap Frustasi dan Marah
Pada tahap ini, individu mulai merasakan perasaan frustasi, sering marah
tanpa alasan yang jelas ketika menghadapi pekerjaannya atau didalam
menghadapi stres sosial.
c. Tahap Ketidakseimbangan
lndividu pada tahap ini merasakan adanya ketidakseimbangan antara
sumber daya (tenaga, ide dan harapan) dengan tuntutan (dari atasan,
organisasi dan diri sendiri).
d. Tahap Penarikan Diri
lndividu mulai menarik diri dan semakin sulit untuk bekerja sama dengan
sesama rekan kerjanya.
e. Tahap Sensitivitas
Pada fase ini, individu mulai sensitif terhadap sesuatu hal, mudah
tersinggung, peka terhadap gejala-gejala fisik (sakit kepala dan tekanan
darah naik), perubahan pola pikir (sering menyalahkan orang lain, berpikir
negatif terhadap diri dan pekerjaan), serta perubahan emosional (putus
asa, terperangkap dan tidak berdaya).
f. Tahap Kehilangan Energi
Pada akhir tahap ini, individu menjadi apatis, menghindari berbagai
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa proses terjadinya burnout adalah ketika seorang individu yang tidak
memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, disebabkan
karena memiliki harapan yang tidak realistik serta pengaruh dari lingkungan
pekerjaan yang penuh dengan stres dan tidak mampu memberikan suasana
yang kondusif bagi pemenuhan diri dengan tidak memberikan penghargaan
yang sesuai dengan apa yang diharapkan.
2.1.3. Sumber Penyebab Burnout
Caputo (dalam Dewi Agustina, 2003), mengemukakan bahwa secara umum
ada tiga sumber yang menjadi penyebab timbulnya sindrom burnout yaitu
karakteristik individu, lingkungan pekerjaan dan keterlibatan emosional
dengan penerima layanan yang akan dijelaskan secara terperinci dibawah ini:
a. Karakteristik Individual
Sumber dari dalam individu yang turut memberi sumbangan terhadap
munculnya burnout dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor
demografik dan faktor kepribadian.
1. Faktor Demografik
Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin
antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan
berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria.
Namun yang membedakan adalah faktor burnout yang terserang. Pria yang
terserang burnout cenderung menunjukkan sikap depersonalisasi, sedangkan
wanita yang terserang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.
Dari sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa individu dibawah usia empat
puluh tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan
burnout. Didukung penelitian (Maslach dalam Sutjipto, 2001) yang
menyatakan bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu yang
berusia muda.
Dilihat dari segi pendidikan (Maslach dalam Sutjipto, 2001) mengemukakan
bahwa individu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung
rentan terhadap burnout.
2. Faktor Kepribadian
lndividu yang idealis dan realistik adalah karakteristik kepribadian yang
rentan terhadap burnout (Farber dalam Sutjipto, 2001 ). Menurut Maslach
(dalam Sutjipto, 2001 ), individu dengan konsep diri dan kemampuan diri yang
rendah dalam mengendalikan emosi serta individu dengan kepribadian
introvert juga cenderung rentan terhadap burnout. Umumnya memiliki
sehingga menyebabkan sumber diri menjadi terkuras dan cenderung menarik
diri ketika tidak mampu menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi.
Penilaian diri yang negatif dan selalu berpikir akan kegagalan menyebabkan
perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss dalam Sutjipto, 2001 ).
Karakteristik kepribadian selanjutnya adalah prefeksionis. lndividu dengan
tipe kepribadian tersebut selalu berusaha melakukan dan menyelesaikan
suatu pekerjaan dengan sangat sempurna sehingga sangat mudah merasa
frustasi apabila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai dan tidak
sesuai dengan keinginannya. Menurut Caputo (dalam Dewi Agustina, 2003),
individu dengan karakteristik prefeksionis sangat rentan terhadap burnout.
b. Lingkungan Pekerjaan
Penyebab burnout dalam lingkungan pekerjaan meliputi masalah beban kerja
yang berupa jam kerja, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin
dan yang bukan rutin dan pekerjaan lain yang di luar kemampuan individu
dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Disamping itu, beban kerja yang
berlebihan dapat mencakup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan
c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Layanan
Bekerja melayani orang membutuhkan banyak tenaga, karenanya dituntut
untuk bersikap sabar dan memahami orang lain. Hal inilah yang dapat
melibatkan aspek emosional dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan
stres emosional. Dalam setting pekerjaan seringkali seseorang menghadapi
situasi yang dapat membuat seseorang merasa kesal, marah, tertekan dan
perasaan tidak enak lainnya yang pada akhirnya dapat menimbulkan sindrom
burnout.
2.1.4. Dimensi·Dimensi Burnout
Maslach dan Jackson (dalam Greenberger dan Baron, 1995),
mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri dari
kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian
prestasi diri. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai
dimensi-dimensi dari burnout tersebut.
a. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
Menurut Maslach dan Jackson (dalam Schaufelli dan Buunk, 1996),
kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional,
misalnya perasaan lelah sehingga secara psikologis individu tidak mampu
memberikan pelayanan. Menu rut Maslach (dalam Demerouti dkk, 2001 ), jika
terlalu berat (overextend) dan kemudian merasa kewalahan (overwhelmed}
dengan tuntutan emosional dari orang lain, respon terhadap situasi ini adalah
suatu kelelahan emosional.
Pines (dalam Schaufelli dan Buunk, 1996), menambahkan bahwa tuntutan
emosional dapat menjadi burnout hanya jika tuntutan tersebut melebihi
kemampuan seseorang untuk dapat meresponnya secara memadai.
Menurutnya kelelahan emosinal tersebut dapat menjadi penyebab utama
terjadinya burnout.
b. Depersonalisasi (Depersonalization)
Menu rut Maslach (dalam Sutjipto, 2001 ), depersonalisasi merupakan cara
individu melakukan coping kelelahan emosional yang dialaminya. lndividu
akan berusaha mengeluarkan dirinya dari beban emosional dengan cara
memutuskan keterlibatan emosionalnya dengan orang lain.
c. Penurunan Hasrat Pencapaian Prestasi Diri (Reduced Personal
Accomplishment)
Penurunan hasrat pencapaian prestasi diri merupakan suatu evaluasi diri,
yang mengatakan bahwa seseorang tidak lagi efektif dalam bekerja dengan
resipien dan dalam pemenuhan tanggung jawab yang berkaitan dengan
diri sendiri dalam kaitannya dengan pekerjaan (Maslach dalam Demerouti
dkk, 2001 ).
2.1.5. Dampak Burnout
Greenberg dan Baron (1995), mengatakan bahwa burnout dapat berakibat
negatif tidak hanya pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada
organisasi tempat individu bekerja. Hal ini dapat mengarahkan individu untuk
mencari pekerjaan atau karier baru.
Greenberg dan Baron (1995), mengungkapkan bahwa burnout dapat
menyebabkan menurunnya performa kerja, diantaranya yaitu menurunnya
efisiensi kerja (semakin banyak waktu yang digunakan dalam bekerja namun
produktivitas rendah), berkurangnya ketertarikan dalam bekerja dan
meningkatnya kekakuan dalam berpikir (tidak fleksibel).
2.1.6. Alat Ukur Burnout
a. Maslach Burnout Inventory (MBI)
Alat ini disusun oleh Maslach dan Jackson pada tahun 1981 berdasarkan
konsep bahwa burnout merupakan sindrom yang terdiri dari tiga dimensi,
yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi
Sampai sekarang terdapat tiga versi MBI (Maslach, Jackson dan Leiter dalam
Schaufelli dan Buunk, 1996), yaitu:
1. MBl_Human Service Survey (MBl_HSS)
Merupakan MBI bentuk asli sebagaimana publikasinya yang pertama pada
tahun 1981 yang dirancang untuk mengukur burnout pada pekerja bidang
pelayanan sosial.
2. MBl_Educators (MBl_ES)
Merupakan adaptasi dari bentuk awal MBI yang digunakan untuk kalangan
pendidik.
3. MBl_General Survey (MBl_GS)
Merupakan versi baru MBI yang digunakan untuk pekerja di bidang-bidang
lain selain pelayanan sosial.
b. Burnout Measure (BM)
Merupakan kuesioner burnout yang juga banyak digunakan dalam penelitian
setelah MBI. Alat ini dibuat oleh Aronson dan Pines pada tahun 1988 yang
mendefinisikan burnout sebagai suatu keadaan kelelahan fisik, emosional
dan mental. BM terdiri dari 21 item yang menggambarkan kelelahan.
Kekurangan dari BM adalah alat ini tidak mengukur keseluruhan aspek yang
ingin diukur, seperti yang dinyatakan dalam definisi burnout (Schaufelli dan
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis memakai alat ukur Maslach Burnout
Inventory (MBI) karena berdasarkan konsep bahwa burnout merupakan
sindrom yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional (emotional
exhaustion), depersonalisasi (depersonalization) dan penurunan hasrat
pencapaian prestasi diri (reduced personal accomplishment).
2.2. Gaya Kepemimpinan Otoriter
2.2.1. Pengertian Kepemimpinan
Sebelum membahas mengenai gaya kepemimpinan otoriter, terlebih dahulu
kita mengetahui apa itu kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam setiap organisasi
karena kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya
sebuah organisasi. Setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan
memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) yang harus
menjalankan kegiatan kepemimpinan (leadership) bagi keseluruhan
organisasi sebagai satu kesatuan (Hadari Nawawi, 2003).
Pemimpin tersebut merupakan orang pertama, ibarat nakhoda kapal yang
harus mengarahkan jalannya kapal, dalam sebuah wadah yang disebut
sumber daya penggerak kapal ke arah yang diinginkan nakhoda tersebut.
Dengan kata lain ke arah mana kapal berlayar tergantung sang nakhoda.
Untuk menggerakkan kapal nakhoda tidak dapat bekerja sendiri diperlukan
bantuan dan kerjasama dengan sejumlah anak buah kapalnya agar
perjalanan lancar mencapai tujuan (Massofa, 2008).
Sejalan dengan kiasan tersebut James
A.
F Stoner dan Charles Wankel(dalam Makmuri Muchlas, 2005), mengutip pendapat Churchil yang
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan
mengarahkan, merupakan faktor penting dalam efektivitas pemimpin
(Nevertheless, leadership abilities and skill in directing are important factors in managers effectivinees).
Kepemimpinan dalam sebuah organisasi di artikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok terhadap pencapaian tujuan. Kepemimpinan
sangat erat kaitannya dengan kemampuan memotivasi. Pemimpin
mempengaruhi orang lain melalui visi dan tantangan, memotivasi dengan
memberikan imbalan atau hukuman serta memotivasi dengan nilai dan tujuan
bersama. Nilai utama yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah
integritas. Pemimpin dengan integritas adalah pemimpin yang memiliki visi,
terhadap tuntutan saat ini dan mampu menginternalisasi diri (Wexley dan
Yuki dalam Moh. As'ad, 1986).
Sedangkan menurut Gibson dkk (dalam Wirawan, 2002), mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang
bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi agar mencapai tujuan
tertentu.
Berikutnya Harold Koontz, Cyril O'Donnel dan Heinz Weihrich (dalam
Wirawan, 2002), mengatakan bahwa kepemimpinan adalah seni atau proses
mempengaruhi orang (anggota organisasi) sehingga akan berusaha
mencapai tujuan organisasi dengan kemauan dan antusiasme yang tinggi.
Selanjutnya George R. Terry (dalam Hadari Nawawi, 2003), mengatakan
bahwa kepemimpinan adalah hubungan dimana seseorang yakni pemimpin
mempengaruhi pihak lain untuk bekerja sama secara suka rela dalam
mengerjakan (ugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai hal yang
diinginkan pemimpin tersebut.
Mengacu pada Robert Tannenbaum, Irving R, Weschler dan Fred Massarik
pengaruh perseorangan dalam situasi tertentu secara langsung melalui
proses komunikasi untuk mencapai tujuan-tujuan umum dan khusus.
Hal yang sama dikemukakan oleh Stogdill sebagaimana (dalam Makmuri
Muchlas, 2005), mengatakan bahwa kepemimpinan (leadership) adalah
proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang terorganisir dalam
usaha-usaha menentukan tujuan dan mencapainya.
Selain itu, definisi yang dikemukakan oleh Bennis sebagaimana (dalam
Wustari Mangundjaya, 2000), tentang kepemimpinan (leadership) adalah " ...
the process by which an agent induces
a
subordinate to behave ina
desired manner". Kepemimpinan adalah proses dimana seorang agen menyebabkan seorang bawahan bertingkah laku menurut satu cara tertentu.Pemimpin memiliki berbagai peran, seperti apa yang diungkapkan oleh
Bennis (dalam Wustari Mangundjaya, 2000), menyatakan ada empat peran
pemimpin, yaitu:
1. Pembuat Arah (Direction Setter)
Menentukan arah perusahaan melalui kebijakan-kebijakan dan peraturan
2. Agen Perubah (Change Agent)
Bennis (dalam Wustari Mangundjaya, 2000), menggambarkan agen perubah
sebagai seseorang yang bertindak sebagai katalisator dan bertanggung
jawab untuk mengatur seluruh aktivitas perubahan. Lebih lanjut, Bennis
menyatakan bahwa agen perubah dapat melakukan empat hal, yaitu:
a. Merubah Struktur (Changing Structure)
b. Merubah Teknologi (Changing Technology)
c. Merubah Lingkungan Fisik (Changing Physical Setting)
d. Merubah Manusia (Changing People)
3. Pembicara (Spokes Person)
Di sini pemimpin berperan sebagai penghubung untuk menyampaikan apa
yang menjadi kebijakan dan peraturan perusahaan.
4. Pelatih (Coach)
Pemimpin bertindak sebagai seorang ahli yang memiliki pengalaman tentang
perusahaan yang lebih banyak dibandingkan bawahannya.
Dari keempat peran yang telah diuraikan di atas, seorang pemimpin bisa
memiliki salah satu peran tersebut atau keempatnya sekaligus.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi bawahan melalui kemampuan
Sehubungan dengan itu Agus Dharma (dalam Moh. As'ad, 1986),
mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang
ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain.
Definisi yang sama diutarakan juga oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard
(dalam Moh. As'ad, 1986), mengatakan gaya kepemimpinan adalah pola
perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan
mereka menerimanya.
Selanjutnya Paul Hersey dan Kenneth Blanchard mengutip pendapat
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Moh. As'ad, 1986), mengatakan ada
empat faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yakni sistem nilai,
rasa yakin terhadap bawahan, inklinasi kepemimpinan dan perasaan aman
dalam situasi tertentu.
Menurut Davis dan Newstrom (dalam Makmuri Muchlas, 2005), gaya
kepemimpinan adalah segala bentuk tindakan pemimpin yang diamati dan
dirasakan oleh para bawahan.
Effendi (dalam NN, 2005), mengartikan bahwa gaya kepemimpinan adalah
mengarahkan dan mempengaruhi para bawahannya kepada suatu tujuan
tertentu.
Sedangkan Blake dan Mouton (dalam NN, 2005), mengatakan bahwa nilai
yang dianut dalam kehidupan seseorang akan cenderung berpengaruh
terhadap terbentuknya gaya kepemimpinan yang dominan dan tampil melalui
perilaku karena pengalaman pribadi merupakan faktor yang dapat
memperkuat atau memperlemah akan terbentuknya gaya kepemimpinan
tersebut, sedangkan faktor lain juga memberi peran kesempatan
menampilkan gaya kepemimpinan dominan pada situasi sehari-hari.
Gaya kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin mempunyai pengaruh
dan terasa bagi orang lain. Hal tersebut akan terlihat dalam cara
berhubungan, bertindak dan di dalam mengambil keputusan gaya
kepemimpinan tertentu mempunyai corak dan pengaruh yang berbeda
dengan gaya kepemimpinan yang lain. Pengaruh ini akan cepat terasa bila
telah mengandalkan kontak langsung secara pribadi sehingga dalam proses
komunikasi terjadi usaha mempengaruhi orang lain. Dalam usahanya
Menurut Davis dan Newstrom (dalam Makmuri Muchlas, 2005), gaya
kepemimpinan terbagi menjadi tiga gaya kepemimpinan yang pada umumnya dikenal yaitu:
1. Gaya Kepemimpinan Otoriter/Otokratis (Autocratic)
Kepemimpinan ini diterapkan atas dasar kekuasaan yang bersifat mutlak. Pemimpin menjalankan seluruh fungsi dan tanggung jawab.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis (Supportive or Participative)
Kepemimpinan ini memberikan kebebasan kepada setiap anggota kelompok untuk berpikir, menyatakan pendapat dan menyampaikan
gagasan-gagasannya. Pemimpin lebih sportif dan aktif berpartisipasi dalam kelompok. 3. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez Faire)
Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin melimpahkan sepenuhnya kepada bawahan dan sedikit sekali menggunakan kekuasaannya. Untuk itu para bawahan harus benar-benar berkualitas dan cakap apabila ingin memperoleh hasil akhir yang bagus.
2.2.3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Otoriter
(1996), mengatakan otoriter adalah kewenangan dalam bentuk kekuasaan
tertentu yang tercipta dari posisi yang ditempati oleh seorang pemimpin.
Gaya kepemimpinan otoriter menghimpun sejumlah perilaku atau gaya
kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin sentralisasi sebagai
satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota organisasi dan
kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi (Hadari Nawawi,
2003).
Kepemimpinan ini dilaksanakan dengan kekuasaan berada ditangan satu
orang atau sekelompok kecil orang, yang mana pada suatu kelompok ada
seseorang yang menempatkan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa.
Kepemimpinan otoriter didasarkan atas perintah-perintah, pemimpin
melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung
secara efisien. Wirawan (2002), mengemukakan ciri dari gaya kepemimpinan
atasan otoriter sebagai berikut:
a. Kebebasan pemimpin untuk menggunakan kekuasaannya dalam
kepemimpinan tinggi.
b. Kebebasan pengikut untuk menggunakan kekuasaannya tidak ada.
c. Semua keputusan kebijakan dan operasional diambil oleh pemimpin
d. Pemimpin mempunyai hak prerogatif dan hak untuk memberi perintah dan
wajib dihormati para pengikutnya.
e. Tidak ada pendelegasian wewenang dari pemimpin ke pengikut.
f. Komunikasi dilakukan secara formal melalui jalur hirarki organisasi satu
arah dari atas ke bawah.
g. Komunikasi dari bawah ke atas hanya merupakan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas bawahan atas permintaan
pemimpin atau secara periodik pada waktu yang telah ditetapkan.
h. Pemimpin mempunyai hak dan kewajiban untuk menghukum pengikut jika
tidak mematuhi pemimpin.
i. Pemimpin "can do no wrong" atau selalu benar.
Abu Ahmadi (1990), mengklasifikasikan kepemimpinan otoriter berdasarkan
cara atau pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin:
a. Pemimpin ini menentukan segala-galanya, pusat wewenang ada ditangan
pemimpin dan semua aktivitas kelompok dijalankan atas instruksi
pemimpin.
b. Pemimpin mengatur dan mendikte anggota, anggota hanya sebagai
pelaksana perintah pemimpin dan anggota tidak pernah diberi tahu
c. Kedudukan pemimpin terpisah dari yang dipimpin, keterpisahan pemimpin
dengan bawahan pimpinan berhubungan dengan anggota hanya pada
saat memberikan instruksi atau perintah.
d. Pemimpin membuat sebagian besar perencanaan, pemimpin secara
penuh menentukan kegialan kelompok dan mendikle kegialan kelompok.
e. Membual kepulusan alas hadiah, hukuman dan penenlu imbalan alas
kerja karyawan. Oleh karena ilu nasib seliap individu didalam kelompok
berada dilangan pemimpin.
Kedua lokoh yang lelah disebulkan di alas sebenarnya sama-sama
menjelaskan mengenai gaya kepemimpinan alasan otoriler yang pada inlinya
kekuasaan lerpusal pada salu orang yailu sang pemimpin.
Dari uraian di alas dapal dilarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan
alasan oloriler akan dirasakan oleh keseluruhan slruklur kelompok di mana
komunikasi antara anggola kelompok kecil sekali dan ini memiliki akibal yang
kurang mengunlungkan, seperti kurang berkembangnya hubungan limbal
balik anggola dalam kelompok. Gaya kepemimpinan alasan oloriler
2.2.4. Teori-Teori Kepemimpinan Sebagai Latar Belakang Pemahaman Kepemimpinan Otoriter
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan
kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi mencapai suatu kesuksesan
dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia
yang jutaan banyaknya ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis
untuk melatih dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru.
Timbulnya perusahaan adalah karena adanya orang-orang yang mempunyai
maksud sama, kemudian bergabung untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati bersama. Bila seorang pemimpin ingin agar setiap bawahan mau
bekerja dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada, maka pemimpin
harus mengetahui apa yang melatarbelakangi seseorang masuk dalam
perusahaan.
Para pemimpin juga memainkan peranan yang cukup penting dalam
membantu perusahaan untuk .mencapai tujuan. Peran pemimpin dalam
perusahaan adalah peran yang sentral, oleh karena itu keberadaan pemimpin
merupakan faktor penting di dalam suatu perusahaan. Maju mundurnya suatu
perusahaan sangat tergantung atas kemampuan seorang pemimpin di dalam
Kartini Kartono (2003), mengemukakan teori kepemimpinan adalah
penggeneralisasian satu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep
kepemimpinannya dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab
musabab timbulnya kepemimpinan, persyaratan menjadi pemimpin, sifat-sifat
utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi
kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah suatu upaya untuk penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang melalui komunikasi guna mencapai
tujuan tertentu. Suwarto (1999), membagi teori kepemimpinan menjadi tiga
yaitu:
a. Teori Sifat
Kepemimpinan menitikberatkan pengidentifikasian ciri-ciri yang efektif.
Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa dapat ditemukan sejumlah
individu terbatas dari pemimpin yang efektif. Teori sifat juga dapat disebut
teori ciri kepemimpinan. Teori ciri kepemimpinan adalah teori ciri yang
mencari kepribadial"], sosial fisik atau kemampuan dan intelektual atau
intelegensi yang membedakan pimpinan dan bukan pimpinan.
b. Teori Perilaku Personal atau Pribadi
Teori perilaku kepemimpinan adalah teori yang mengemukakan bahwa
c. Teori Situasional
Teori kepemimpinan situasional adalah suatu teori kepemimpinan yang
memusatkan perhatian pada kesiapan para pengikut. Paul Hersey dan
Blanchard (dalam Suwarto, 1999), mengembangkan dimensi tinggi atau
rendah menjadi empat perilaku pemimpin yang spesifik yaitu mengatakan
(Telling), men ju al (Selling), berperan serta (Participation) dan
mendelegasikan (Delegation).
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan
kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat
suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam
membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan
mereka.
Sarlito Wirawan Sarwono (2001 ), menggolongkan teori kepemimpinan dalam
empat kategori besar yaitu yang menggunakan pendekatan:
a. Teori dengan Pengaruh Kekuasaan
Teori yang dikemukakan oleh French dan Raven (dalam Sarlito Wirawan,
2001 ), menyatakan bahwa kepemimpinan bersumber pad a kekuasaan dalam
kelompok atau organisasi. Dengan kata lain, individu-individu yang memiliki
akses terhadap sumber kekuasaan dalam suatu kelompok atau organisasi
b. Teori Bakat
Teori bakat juga disamakan dengan teori sifat (trait), teori karismatik atau
teori transformasi. Inti dari teori ini adalah bahwa kepemimpinan terjadi
karena sifat-sifat atau bakat yang khas yang terdapat dalam diri seorang
pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan. Sifat atau
bakat itu dinamakan kharisma atau wibawa.
c. Teori Perilaku
Teori perilaku memusatkan perhatiannya pada perilaku pemimpin dalam
kaitannya dengan struktur dan organisasi kelompok. Oleh karena itu, teori
perilaku ini lebih sesuai untuk kepemimpinan dalam lingkungan organisasi
atau perusahaan karena peran pemimpin digariskan dengan jelas.
d. Teori Situasional
T eori situasional berintikan hubungan antara perilaku pemimpin dan situasi di
lingkungan pemimpin itu. Dalam hal ini ada dua macam hubungan yaitu
pertama, perilaku pemimpin merupakan hasil atau akibat dari situasi dan
yang kedua, perilaku pemimpin merupakan penentu atau penyebab situasi.
Dari teori-teori di atas dapat ditarik kesimpulan, teori kepemimpinan pada
umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai
pemimpin dan kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki beberapa kelebihan
dibanding dengan anggota-anggota biasa lainnya, karena
2.2.5. Teori Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah-perintah atau
paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Pemimpin
melakukan pengawasan yang ketat agar semua pekerjaan berlangsung
secara efisien. Kepemimpinannya berorientasi pada struktur organisasi dan
tugas-tugas (Kartini Kartono, 2003 ).
Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai "pemain
orkes tunggal" dan berambisi untuk "merajai situasi". Karena itu pemimpin ini
disebut otokrat keras. Pada intinya otokrat keras itu memiliki sifat-sifat antara
lain, yaitu tepat, seksama, sesuai dengan prinsip, namun keras dan kaku.
Lembaga atau organisasi yang dipimpinnya merupakan "One Man Show".
Sikap dan prinsipnya sangat konservatif. Pemimpin hanya bersikap baik
terhadap orang-orang yang patuh pada dirinya, sebaliknya pemimpin ini
hanya akan bertindak keras serta kejam terhadap orang-orang yang tidak
mau mengikuti perintahnya (Kartini Kartono, 2003).
Otokrat lembut atau baik banyak memiliki kemiripan dengan otokrat keras
namun pemimpin ini selalu didera oleh perasaan-perasaan non konformistis.
Pemimpin hanya mentolerir kepatuhan yang sesuai dengan perintah dan
prinsip-prinsip yang diciptakannya sendiri. Pemimpin mau bersikap loyal
serta biaya asal saja bawahan bersedia patuh, tidak boleh meminta atau
menuntut, tidak boleh memilih, harus menyukai semua pemberian dan
ketentuannya (Kartini Kartono, 2003).
Semua pihak dipaksa menerima dan menyukai pendirian, kemauan dan
kebijaksanaannya. Sebagian individu atau karyawan ada yang dapat
mengikuti kepemimpinan otoriter ini, tingkatan stres yang dialami oleh
karyawan cukup kecil karena karyawan masih bisa mentolerir
kebijakan-kebijakan oleh pimpinan ini dengan kesadaran akan kesalahan dan untuk
kemajuan organisasi. Pemimpin ini juga menggunakan keotoriterannya pada
saat-saat dimana lingkungan pekerjaan harus menuntutnya (Kartini Kartono,
2003).
Otokrat inkompeten, pemimpin ini ingin mendominir orang lain, selalu mau
berkuasa mutlak. Semua tingkah laku, perbuatan, sikap, pujian dan caci
makinya bergantung pada emosi sesaat. Perintah-perintahnya tidak
disesuaikan dengan keterbatasan saranayang ada. Sebagai akibatnya
pemimpin ini "menyiksa" semua bawahannya dengan tugas-tugas yang berat
diluar kemampuan mereka dan memaksa semua bawahannya agar
Berbeda dengan kedua tipe otokrat diatas yang memiliki prinsip-prinsip
konservatif dan kuat, otokrat inkompeten ini justru tidak punya prinsip dan
tidak mau mengindahkan moral. Sifatnya jahat, suka berbohong, suka
menyogok, menyuap dan munafik. Tidak segan-segan dia menggunakan
cara-cara yang curang untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Kartini
Kartono, 2003).
Dari uraian di alas dapat ditarik kesimpulan, kepemimpinan otoriter
mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi.
Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal pada "One Man
Show". Semua pujian dan kritik terhadap bawahan diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri. Pemimpin otokratis senantiasa
berkuasa absolut, tunggal dan merajai keadaan.
2.2.6. Pengaruh Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan dengan tipe otoriter berlangsung dalam bentuk "working on
his group"karena pemimpin menempatkan dirinya diluar anggota
kelompoknya. Pemimpin merasa dirinya mempunyai hak istimewa dan harus
diistimewakan oleh bawahannya. Pemimpin merupakan pihak yang memiliki
wewenang, sedangkan bawahan merupakan pihak yang memiliki tugas,
Pengaruh yang dapat ditimbulkan adalah anggota kelompok atau organisasi
menjadi penurut, tidak berani mengambil keputusan sehingga sangat
tergantung pada pimpinan. Anggota kelompok atau organisasi tidak mau dan
tidak mampu berinisiatif dan bersifat menunggu perintah, tidak aktif dan tidak
mampu menciptakan kerja sendiri (Riberu, 2003).
Kepemimpinan otoriter mematikan kreativitas sehingga kehidupan organisasi
menjadi statis dan rutin atau tidak berkembang secara dinamis.
Kepemimpinan otoriter tidak menumbuhkan dan tidak membina sifat
kepemimpinan para anggotanya, sehingga menjadi manusia yang lebih
senang bergantung pada orang lain (Hadari Nawawi, 2004).
Kesediaan anggota bekerja keras bersifat terpaksa dan pura-pura karena
hanya dilakukan bila diawasi. Mengapa ini terjadi? Sebab karyawan takut
kepada otoritas pemimpin. Disiplin dan kepatuhan bersifat palsu karena
didasari rasa tertekan, takut dan ketegangan bahwa apabila terjadi kekeliruan
aka[! mendapat sanksi atau hukuman yang merugikan. Bayangan ancaman
sanksi atau hukuman menghantui suasana kerja sehingga sering
menimbulkan sikap nervous, stres dan burnout yang mengakibatkan semakin
Organisasi menjadi bersifat statis karena pemimpin sering kehabisan
kreativitas dan inisiatif, sedangkan bawahan tidak diberi kesempatan untuk
itu. Rapat dan musyawarah untuk memperoleh berbagai masukan dipandang
tidak perlu dan membuang-buang waktu. Segala sesuatu dipikirkan dan
diputuskan sendiri oleh pemimpin. Jika rapat diselenggarakan juga sifatnya
tidak lebih daripada pertemuan untuk menyampaikan perintah atau instruksi
atau kehendak pimpinan sebagai atasan. Pemimpin lebih menyenangi situasi
yang bersifat rutin dan tidak berubah-ubah, cenderung lebih senang
menghindari perubahan, perbaikan dan pengembangan. Dalam keadan
seperti itu organisasi berlangsung lamban (Hadari Nawawi, 2004