• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BATAS WAKTU DI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH

(STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA PERDATA NO.577/Pdt.G/2013/ PN-Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NURUL AINA TAMBUNAN 110200021

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

(2)

(STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA PERDATA NO.577/Pdt.G/2013/ PN-Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NURUL AINA TAMBUNAN 110200021

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH

NIP. 195008081980021002 NIP. 195902051986012001

Rabiatul Syahriah, SH,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa

karena berkat, rahmat dan kebaikan-Nya penulis mampu menjalani masa

perkuliahan sampai dengan tahap penyelesaian skripsi yang penuh tantangan dan

rintangan.

Penulisan skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP

BATAS WAKTU DI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH

(STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA PERDATA

NO.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn)” adalah guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik

untuk penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, tidak lupa dengan segala hormat penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Wakil

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin

Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara serta Bapak Dr. O.K Saidin, SH, M.Hum selaku

Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

(4)

1. Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. sekaligus

Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang

telah Ibu berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

2. Bapak Muhammad Hayat. SH. selaku Dosen Pembimbing I. Penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta

dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

3. Bapak Ramli Siregar, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik,

Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingan yang telah Bapak

berikan selama ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, yang secara langsung maupun tidak langsung telah sangat

membantu dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Sumatera

Utara.

5. Seluruh Staf Administrasi dan Pendidikan di Fakultas Hukum. Terima

kasih atas segala bantuannya kepada Penulis hingga Penulis

menyelesaikan Pendidikan Strata Satu (S1).

6. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan

kasihi, yaitu Drs. Abdul Syukur Tambunan dan Ibu Poppy Yusfira, yang

luar biasa mendukung dalam doa dan perhatian.

7. Kepada M. Harry Angga Pratama Sinaga yang selalu memberikan

semangat dan motivasi kepada penulis, dan teman-teman seperjuangan

(5)

8. Kepada sahabatku Risa Saskia Sari yang selalu memberikan semangat

kepada penulis.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan harapan penulis, semoga

skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi

perkembangan ilmu hukum.

Medan, 13 Mei 2015 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv ABSTRAK ... vi BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 16

A. Hukum Perikatan Pada Umumnya ... 16

1. Pengertian Perikatan ... 16

2. Sumber-Sumber Perikatan ... 16

3. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan ... 19

B. Pengaturan Mengenai Perjanjian ... 21

1. Syarat Sahnya Perjanjian ... 21

2. Asas-Asas Perjanjian ... 26

(7)

BAB III : KETENTUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

MENYEWA ... 41

A. Pengertian Perjanjan Sewa-Menyewa ... 41

B.Para Pihak Yang Terkait Di dalam Perjanjian Sewa - Menyewa ... 44

C.Unsur-Unsur Perjanjian Sewa-Menyewa ... 45

BAB IV : ANALISISPUTUSANPERKARAPERDATA NO.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn ... 52

A. Kasus Posisi Perkara Perdata ... 52

1. Gugatan Jo Loe Chaw,Kho Sui Tjui,Jo Lit Teng,Jo Lu Cheng, Jo Lu Tin Sebagai Penggugat ... 54

2. Jawaban Nio Tjai Sang Alias Ferr Sebagai Tergugat ... 57

B. Analisis Kasus ... 61

1. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn ... 61

2. Akibat Hukum Jika Di dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Tidak Disebutkan Batas Waktunya yang Terdapat Pada Putusan PerkaraPerdata No.577/Pdt.G/2013/ PN-Mdn... 63

3. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn dan Amar Putusan ... 67

4. Tanggapan ... 72

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... ... 77

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(8)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BATAS WAKTU DI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN

PERKARA PERDATA NO.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn)

Nurul Aina Tambunan* M. Hayat** Rabiatul Syahriah***

ABSTRAK

Sewa-menyewa adalah suatu perbuatan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak terakhir tersebut. Orang yang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Meskipun di dalam suatu perjanjian sewa-menyewa telah diatur mengenai hal-hal yang diperjanjikan akan tetapi seringkali terjadi kesalahan di dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, seperti perjanjian sewa-menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan di antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah, bagaimana akibat hukum jika di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah tidak disebutkan batas waktunya yang terdapat dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn, dan bagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn.

Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini, dengan mengumpulkan data-data dari buku karya ilmiah dan data-data dari internet maupun kamus hukum.

Kesimpulan dari penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang perjanjian sewa-menyewa rumah yang tidak menyebutkan batas waktu sewa akan menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut, perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan yaitu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992, pihak yang dirugikan dapat menghentikan masa sewanya. Akibat hukum yang terjadi dari perbuatan yang dilakukan tergugat atau pihak penyewa yaitu perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang menyewakan. Pertimbangan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam perkara ini menyatakan bahwa perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh pihak penggugat atau pihak yang menyewakan.

(9)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BATAS WAKTU DI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN

PERKARA PERDATA NO.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn)

Nurul Aina Tambunan* M. Hayat** Rabiatul Syahriah***

ABSTRAK

Sewa-menyewa adalah suatu perbuatan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak terakhir tersebut. Orang yang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Meskipun di dalam suatu perjanjian sewa-menyewa telah diatur mengenai hal-hal yang diperjanjikan akan tetapi seringkali terjadi kesalahan di dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, seperti perjanjian sewa-menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan di antara pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah, bagaimana akibat hukum jika di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah tidak disebutkan batas waktunya yang terdapat dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn, dan bagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn.

Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini, dengan mengumpulkan data-data dari buku karya ilmiah dan data-data dari internet maupun kamus hukum.

Kesimpulan dari penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang perjanjian sewa-menyewa rumah yang tidak menyebutkan batas waktu sewa akan menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut, perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan yaitu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992, pihak yang dirugikan dapat menghentikan masa sewanya. Akibat hukum yang terjadi dari perbuatan yang dilakukan tergugat atau pihak penyewa yaitu perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang menyewakan. Pertimbangan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam perkara ini menyatakan bahwa perbuatan tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh pihak penggugat atau pihak yang menyewakan.

(10)

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia mempunyai banyak sekali kebutuhan. Bahkan jika dibandingkan

dengan makhluk lain, manusia adalah merupakan makhluk yang memiliki

kebutuhan yang sangat kompleks. Tidak saja kebutuhan lahiriah, tetapi juga

kebutuhan bathiniah. Mulai dari soal pernafasan sampai kepada cara-cara

menyelenggarakan kematian. Bagi mereka yang merasa haus, merasa butuh

minum. Bagi mereka yang ingin bepergian mereka membutuhkan transportasi.

Mereka yang ingin mengetahui tentang sesuatu,membutuhkan ilmu.1

Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan, semula

masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin kompleks. Adanya

perkembangan kehidupan masyarakat diikuti dengan perkembangan hukum yang

berlaku. Keduanya dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Perkembangan

masyarakat tersebut dapat menimbulkan perubahan di bidang hukum sesuai

dengan pergaulan hidup setiap orang yang memiliki kebutuhan dan kepentingan

yang berbeda-beda. Kebutuhan dan kepentingan masyarakat dapat

diklasifikasikan menjadi kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman,

1 OK Khairuddin,

(11)

pakaian, perumahan, kebutuhan keamanan, ketertiban, dan ketentraman,

kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan.2

2

(12)

Berbagai hubungan antara individu di dalam masyarakat sebagai akibat

dari kenakeragaman kepentingan yang ada di dalam kehidupan sosial. Agar tidak

timbul kekacauan di dalam masyarakat, diperlukan peraturan-peraturan yang

mampu menjamin stabilitas para anggota masyarakat. Maksudnya, diperlukan

aturan-aturan hukum yang timbul atas dasar dan kesadaran tiap-tiap individu di

dalam masyarakat.3

Setiap manusia untuk melangsungkan hidupnya harus bekerja sama

dengan manusia lain di sekitarnya. Apabila manusia menjalin kerja sama dengan

orang lain maka kemungkinan kebutuhan hidupnya secara minimal akan dapat

terpenuhi sehingga dapat hidup layak. Hubungan kerja sama yang dilakukan oleh

masyarakat tersebut menimbulkan perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan oleh

hukum, seperti, jual beli, sewa-menyewa, hibah, wasiat, dan beberapa

perbuatan-perbuatan lainnya yang diperbolehkan.

Hidup bermasyarakat memiliki konsekuensi tersendiri bagi

individu-individu yang menjadi anggota kelompok. Salah satu konsekuensi yakni rasa

tanggung jawab masing-masing individu akan keutuhan dan kelancaran hidup

sosial. Perasaan demikian tidak timbul dengan sendirinya, melainkan harus

ditanamkan sedini mungkin, terutama bagi masyarakat yang heterogen.

4

Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang

dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas

apabila dilanggar.5

(13)

Tujuan hukum memberikan peraturan-peraturan (petunjuk, pedoman)

dalam pergaulan hidup, untuk melindungi individu dalam hubungannya dengan

masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujud suatu keadaan

aman, tertib, dan adil.6

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan

masyarakat.

Hukum sangat terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks

hubungan sosial masyarakat, dimensi hukum dapat dipahami sebagai kaidah atau

norma yang merupakan petunjuk hidup dan pedoman perilaku yang pantas atau

diharapkan. Hukum bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Oleh karena itu,

ketika petunjuk hidup tersebut yang berisi perintah atau larangan ini dilanggar,

maka dapat menimbulkan tindakan dalam bentuk pemberian sanksi dari

pemerintah atau penguasa masyarakat.

Hukum tersebut memiliki 4 (empat) unsur :

2. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwenang.

3. Peraturan bersifat memaksa, artinya bahwa setiap orang harus patuh

atau taat kepada hukum.

4. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas.7

Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh

hukum, karena akibat tersebut dianggap menjadi kehendak dari yang melakukan

perbuatan itu. Perbuatan hukum dapat bersifat sederhana dan perbuatan hukum

yang bersifat tidak sederhana. Perbuatan hukum yang bersifat sederhana

merupakan perbuatan hukum yang bersegi satu, ialah apabila hanya merupakan

6

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 133.

7Lukman Santoso,

(14)

satu kejadian saja atau apabila akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak

seorang saja yaitu orang yang yang melakukan perbuatan itu, seperti pembuatan

surat wasiat. Perbuatan hukum yang bersifat tidak sederhana merupakan

perbuatan hukum yang bersegi dua atau lebih, perbuatan hukum ini akibat

hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua atau lebih subyek hukum, seperti

sewa-menyewa, jual-beli, perjanjian kredit,semua perjanjian dan perikatan, seperti

yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata.8

Salah satu kebutuhan manusia yang terpenting adalah tempat tinggal.

Adanya pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi mengakibatkan banyak

penduduk yang kekurangan tempat tinggal rumah maupun tempat usaha. Salah

satu cara untuk mengatasi kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal adalah

dengan cara menambah jumlah rumah. Sebagian masyarakat tersebut tidak semua

bisa membangun rumah. Hal ini dikarenakan taraf ekonomi dari lapisan

masyarakat yang berbeda-beda. Bagi masyarakat yang taraf perekonomiannya

mampu untuk membangun rumah tersebut, mereka dapat menyewakan

rumah-rumah mereka kepada orang-orang yang membutuhkan dan tidak mampu untuk

membangun rumah. Masyarakat yang perekonomiannya golongan kebawah tidak Para pihak yang terkait didalam perbuatan hukum tersebut dapat secara

tertulis yang disebut sebagai perjanjian atau kontrak. Pihak yang terkait di dalam

suatu perjanjian tertulis memiliki kebebasan dalam hal membuat perjanjian.

Sehingga para pihak dapat leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak

melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian yang dibuat oleh kedua

pihak memiliki unsur mengikat diantara keduanya.

8Abdulkadir Muhammad I,

(15)

mampu untuk membeli rumah ataupun membangun rumah mereka sendiri.

Sehingga mereka memilih untuk menyewa rumah dengan harga yang dapat

dijangkau mereka.

Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus

yang sering dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian sewa-menyewa

yang dilakukan oleh para pihak tersebut merupakan salah satu dari bentuk

hubungan-hubungan hukum yang sekarang ini sering dilakukan oleh seseorang

demi memenuhi kebutuhannya. Sewa-menyewa,seperti halnya dengan jual-beli

dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya,adalah suatu perjanjian konsensual.

Artinya, perjanjian itu sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai

unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.9

Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian yang konsensual, namun

oleh undang-undang diadakan perbedaan antara sewa-menyewa tertulis dan lisan.

Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa-menyewa itu berakhir

demi hukum(otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa

diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian itu. Sebaliknya, kalau

sewa-menyewa tidak dibuat secara tertulis,maka sewa itu tidak berakhir pada waktu

yang ditentukan,melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada

si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus

dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut

kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah

bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis itu

9R.Subekti I

(16)

diatur dalam Pasal 1570 KUH Perdata dan perihal sewa yang tidak tertulis diatur

dalam Pasal 1571 KUH Perdata.10

Perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak menimbulkan hak dan

kewajiban diantara keduanya. Kewajiban yang timbul diantara keduanya harus

dilaksanakan demi berlangsungnya perjanjian yang baik. Kewajiban pihak yang

satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lain, sedangkan

kewajiban pihak yang kedua ini adalah membayar harga sewa. Jadi, barang

diserahkan tidakuntuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk

dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya

bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Selain

melaksanakan kewajiban, para pihak juga harus memenuhi hak yang seharusnya

didapatkan oleh masing-masing pihak, seperti pihak yang menyewakan harus

menyewakan rumahnya dalam keadaan yang layak untuk disewa, dan pihak

penyewa harus membayar uang sewa sesuai seperti yang disepakati dengan pihak

yang menyewakan rumah tersebut.

Peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam bab ketujuh dari

Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai

semua jenis barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai

waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena “waktu

tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa-menyewa.

11

Hak dan kewajiban merupakan akibat hubungan hukum yaitu hubungan

yang diatur oleh hukum. Hubungan antara dua orang, misalnya janji untuk

(17)

menimbulkan hak dan kewajiban, bukanlah perikatan dalam pengertian hukum,

sebab hak dan kewajiban tersebut bukan lahir dari hubungan hukum. Namun,

tidak berarti semua hubungan yang diatur oleh hukum dianggap sebagai perikatan

dalam pengertian hukum. Untuk menentukan apakah suatu hubungan hukum

merupakan perikatan dalam pengertian hukum atau tidak, pada mulanya para

sarjana mempergunakan ukuran dapat tidaknya dinilai dengan uang. Bilamana

suatu hubungan hukum, hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dapat dinilai

dengan uang, hubungan tersebut adalah perikatan.12

Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perikatan

tersebut adalah antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi (pihak yang

aktif) adalah kreditur atau orang yang berpiutang. Sedangkan pihak yang

berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur atau orang

yang berutang. Kreditur dan debitur inilah yang disebut subyek perikatan.13

Persoalan kapan lahirnya perjanjian adalah sangat penting untuk diketahui

dan ditetapkan,adakalanya terjadi perubahan dalam peraturan

perundang-undangan yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian, beralihnya

risiko dalam perjanjian, tempat lahirnya dan ditutupnya perjanjian dan

sebagainya.14

12

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, cetakan ketiga, Bandung,2004, hal 196.

13

Ibid., hal 197

14

Ibid., hal 207

Perjanjian sewa-menyewa rumah, si penyewa diwajibkan melakukan

pembetulan-pembetulan kecil dalam sehari-hari. Pasal 1583 KUH Perdata

memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan

(18)

“Jika tidak ada perjanjian, maka dianggap sebagai demikian

pembetulan-pembetulan pada lemari toko, tutupan jendela, kunci-kunci dalam,

kaca-kaca jendela, baik di dalam maupun di luar rumah dan segala sesuatu yang

dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan setempat”.

Berhubung dengan semakin banyaknya kasus mengenai perjanjian

sewa-menyewa yang melanggar isi dari perjanjian tersebut. Salah satu contoh kasus

menegenai perjanjian sewa-menyewa terdapat di dalam kasus Putusan perkara

Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn. Kasus tersebut mengenai perjanjian

menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya. Perjanjian

sewa-menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya tersebut membuat masalah

diantara pihak yang membuat perjanjian. Sehingga tidak ada batasan waktu kapan

penyewa harus mengakhiri masa sewanya. Berdasarkan kasus yang terdapat di

dalam Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn tersebut, penulis

mencoba meninjau lebih lanjut mengenai kasus tersebut dengan menganalisis

batas waktu di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka terdapat

beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

Pokok permasalahan yang dimaksud adalah :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi para pihak dalam Putusan

(19)

2. Bagaimanakah akibat hukumnya jika di dalam perjanjian sewa-menyewa

rumah tidak disebutkan batas waktunya ?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn ?

C. Tujuan Penulisan

Setiap penulisan skripsi tentu mempunyai tujuan pembahasan penulisan.

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak yang

terkait di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah pada Putusan Perkara

Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn.

2. Untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi di dalam perjanjian

sewa-memyewa rumah apabila tidak disebutkan batas waktunya.

3. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang terdapat pada

Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn di dalam

menyelesaikan perkara perdata di antara pihak yang terkait di dalam

perjanjian sewa-menyewa rumah.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain :

1. Secara teoretis, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa

(20)

perjanjian sewa-menyewa rumah. Penulisan ini dapat dijadikan bahan

kajian untuk menambah pengetahuan bagi perkembangan hukum dalam

masalah perjanjian sewa-menyewa rumah, serta diharapkan mampu

membuka cakrawala berpikir dalam menilai tentang masalah yang timbul

terhadap perjanjian sewa-menyewa rumah.

2. Secara praktis, adalah untuk memberikan masukan sekaligus pengetahuan

kepada para pihak baik penyewa maupun yang menyewakan dalam

melakukan kegiatan sewa-menyewa rumah mengenai hak dan kewajiban

masing-masing pihak, dapat menjadi bahan pertimbangan masyarakat pada

umumnya untuk menghindari permasalahan yang mungkin dapat terjadi di

dalam melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah, khususnya di antara

para pihak yang membuat perjanjian

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode,sistematika,dan pemikiran tertentu , yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang

bersangkutan.15

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini sebagai

berikut :

15

(21)

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk

menganalisa Batas Waktu Di dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi

Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn), maka metode

penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif

yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum

yang ada pada masyarakat.

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara menelaah kasus (studi

kasus/case study) yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.16

2. Sumber data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data

sekunder dan didukung data primer. Data primer yaitu data yang secara langsung

diperoleh, data primer yang diperoleh yaitu dari Pengadilan Negeri Medan. Data

sekunder yaitu data yang diperoleh melalui hasil studi pustaka, tulisan ilmiah dan

berbagai sumber tulisan tangan lainnya.Data sekunder didapatkan melalui :

a. Bahan Hukum Primer yaitu Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn, bahan hukum yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan di bidang hukum perdata yang mengikat, antara lain

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun

literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.

16Peter Mahmud Marzuki,

(22)

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku,

pendapat-pendapat pakar hukum, rancangan undang-undang, dan

hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum

yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus, ensiklopedia,

makalah dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu

memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek

yang diteliti yang bersumber dari data sekunder yang didukung oleh data primer

yaitu putusan pengadilan dan selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif

sehingga memperoleh suatu kesimpulan.17

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,

putusan Pengadilan Negeri Medan, dan hasil penelitian ini menggunakan analisa

kualitatif, dan beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan

skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Masalah sewa-menyewa diatur dalam Buku III Bab VII Pasal 1547-1600

KUH Perdata. Ketentuan tersebut berlaku untuk segala macam sewa-menyewa,

17 Soejono, Abdurrahman,

(23)

mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik barang

yang memakai jangka waktu tertentu maupun tidak memakai jangka waktu

tertentu.

Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi ini, sebelum melakukan

penulisan “Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di dalam Perjanjian

Sewa-Menyewa Rumah” (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn)”, terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi

yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, serta hasil penelitian baik itu

dari media elektronik yang ditelusuri tidak ada kesamaan dalam penulisan judul

skripsi ini. Selain itu, Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan

Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 23 Desember

2014 menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama.Sekalipun ada, hal tersebut di

luar sepengetahuan penulis dan tetntu saja substansinya berbeda dengan substansi

yang ada pada skripsi ini. Permasalahan dan pembahasan yang diangkat dalam

penulisan skripsi ini merupakan hasil olah pikir sendiri. Maka dengan demikian

keaslian penulisan ini dapat terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan suatu skripsi harus terdapat keteraturan agar terciptanya

karya ilmiah yang baik. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka akan

dibuat sistematika secara teratur daoam bagian-bagian yang berhubungan satu

(24)

Sistematika tersebut dibagi dalam beberapa bab yang saling

berkesinambungan antara bab yang satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika

tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I :PENDAHULUAN.

Pada bab ini diuraikan latar belakang yaitu apa yang melatarbelakangi penulis

mengangkat judul tersebut, perumusan masalah yaitu hal yang menjadi

permasalaham skripsi ini, tujuan dan manfaat penulisan yaitu maksud dari penulis

dalam menulis skripsi ini, metode penelitian yaitu metode yang digunakan penulis

dalam mengkaji permasalahan yang ada pada skripsi ini, dan keaslian penulisan

yaitu bahwa skripsi tentang Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di dalam

Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn) belum pernah dibahas sebelumnya di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

BAB II :TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN.

Bab ini berisikan hukum perikatan pada umumnya, yang terdiri dari pengertian

perikatan, sumber-sumber perikatan, sistem terbuka dalam hukum perikatan.

Selain itu, pada bab ini juga dibahas pengaturan mengenai perjanjian yang terdiri

dari syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam perjanjian, berakhirnya suatu

perjanjian.

BAB III :TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

SEWA-MENYEWA.

Bab ini berisikan tentang pengertian perjanjian sewa-menyewa yaitu membahas

pengertian perjanjian sewa-menyewa dengan lebih luas, para pihak yang terkait di

(25)

terkait di dalam membuat suatu perjanjian dan bagaimana kewajiban yang harus

dilakukan oleh para pihak, dan usnur-unsur perjanjian sewa-menyewa merupakan

pembahasan mengenai hal-hal apa saja yang terkait di dalam membuat suatu

perjanjian.

BAB IV :ANALISIS TERHADAP BATAS WAKTU DI DALAM

PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH.

Pada bab ini dilakukan studi kasus terhadap Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn. Penulis juga membuat suatu kasus posisi di dalam

bab ini agar lebih mudah dalam menganalisis kasus tersebut. Sebagai kelanjutan

bab sebelumnya, bab ini akan membahas perlindungan hukum bagi para pihak,

akibat hukum jika di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah tidak disebutkan

batas waktunya, pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara Perdata

No.577/Pdt.G/2013/PN-Mdn. Pada bab ini juga disertai amar putusan serta

tanggapan terhadap Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/PN-Mdn.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.

Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari

ketiga pembahasan yang telah ada sebelumnya. Setelah mendapatkan kesimpulan

dari pembahasan sebelumnya, maka penulis dapat menciptakan saran dalam

(26)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Hukum Perikatan Pada Umumnya

1. Pengertian Perikatan

Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan

tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

dalam ilmu pengetahuan hukum. Pengertian perikatan itu sendiri oleh para ahli

hukum diartikan bermacam-macam. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua

pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur)

berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi

prestasi itu. Perikatan itu sifatnya abstrak.

Berdasarkan pengertian perikatan di atas, dalam satu perikatan terdapat

hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Hak dan kewajiban tersebut

merupakan akibat hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum.18

2. Sumber-Sumber Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari

perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang

menurut Pasal 1352 KUH Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari

undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena

perbuatan manusia. Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena

18 Riduan Syahrani,

(27)

perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUH Perdata dibedakan lagi atas

perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang melawan hukum.19

Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan

melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala

macam perikatan.

Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum

Perikatan mengatakan bahwa :

“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang-undang.”

Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang

menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang

bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang.

Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun

yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada

keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUH Perdata.

Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber

perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 KUH Perdata yaitu perjanjian dan

undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu

Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.

20

Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya

memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan

perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian. Perjanjian lebih konkret

19

Ibid.,hal 201

20

(28)

daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar, sedangkan

perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam pikiran).

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan yang

lahir dari :

a. Undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya

peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum

(perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari

kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat

bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin

mendapatkan haknya atas sesuatu.

b. Undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya

serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan

akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.

Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan yang

sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUH Perdata tentang zaak warneming

atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam keadaan

darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan hukum

adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak berhati-hati

sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu

harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan itu harus

menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.21

Pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa suatu perikatan bersumber

dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena

21

(29)

undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak

para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si

pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun

perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang

muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan

bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum

seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini

lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada

akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya

perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian

yang mereka tutup.22

3. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan

Buku III KUH Perdata mengenai hukum perikatan dibagi dalam dua

bagian yaitu bagian umum dan bagian khusus. Ketentuan khusus mengatur

mengenai perjanjian-perjanjian khusus yaitu perjanjian yang dikenal secara luas

dalam masyarakat sperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian

tukar-menukar dan sebagainya, sedangkan ketentuan umum tersebut berlaku

untuk semua perikatan pada umumnya, baik yang bernama maupun yang tidak

bernama.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa hukum

perjanjian memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian

yang berisi apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan

22

(30)

hukum pelengkap, berarti bahwa pasal-pasal itu boleh tidak dipakai apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Pihak yang

membuat perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang

menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Para pihak diperbolehkan

mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat tersebut.

Apabila para pihak tidak mengatur sendiri mengenai sesuatu hal terkait dengan

perjanjian tersebut, maka mereka tunduk kepada undang-undang.23

Adanya kebebasan berkontrak itu atau sistem terbuka,

perjanjian-perjanjian dengan sebutan perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai Sistem terbuka mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan :

“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III KUH Perdata ini

merupakan sistem terbuka sebagai lawan sistem tertutup yang dianut Buku II

KUH Perdata yaitu hukum benda. Adanya kebebasan membuat perjanjian tersebut

berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam

Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, seperti yang

dijelaskan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata diatas. Namun, kebebasan

berkontrak bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, tetapi perjanjian

harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian, baik

syarat umum sebagimana disebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata maupun syarat

khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

23R. Subekti II

(31)

contoh belaka. Karena itu, masyarakat boleh membuat perjanjian lain daripada

contoh tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya

sesuai dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.24

B. Pengaturan Mengenai Perjanjian

1. Syarat Sahnya Perjanjian

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui

perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan. Perjanjian yang

sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Berikut ini akan diuraikan secara garis besar dari keempat syarat sahnya

perjanjian itu.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa

para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan

atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak

dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.25

24

Ibid., hal 204

25

(32)

Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya

perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam

teori/ajaran, yaitu :

a. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak

yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

Kelemahannya adalah karena dianggap terjadinya kesepakatan secara

otomatis.

b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak

yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja

walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang

menawarkan.

c. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya sudah menegetahui bahwa tawarannya sudah diterima

(walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara

langsung). Kelemahannya adalah bagaimana bisa mengetahui isi

penerimaan itu apabila pihak tersebut belum menerimanya.

d. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Permasalahan lain tentang kesepakatan, yaitu apabila terjadi pernyataan

yang keluar tidak sama dengan kemauan yang sebenarnya. Untuk menjawab

permasalahan ini ada beberapa teori yaitu :

a. Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

(33)

b. Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara

kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

c. Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang secara objektif dan

dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai.

Selanjutnya, menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat harus

diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.

Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat

kehendak. Tiga unsur cacat kehendak yaitu :

Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan (Pasal 1321 KUH Perdata). Sesat

dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi kemauan itu

didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya.

Cirinya, yakni tidak ada pengaruh dari pihak lain.

Paksaan (Pasal 1323-1327 KUH Perdata). Paksaan bukan karena

kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh pihak lain. Paksaan telah terjadi

apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang

berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada

orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian

yang terang dan nyata. Berdasarkan hal itu, maka pengertian paksaan adalah

kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang

diperbolehkan oleh hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang

(34)

Penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata). Pihak yang menipu dengan daya

akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya

sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.26

2. Cakap untuk membuat perjanjian

Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum

secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh

suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.27

Sebelum adanya SEMA No.3 Tahun 1963, perempuan termasuk orang

yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini sudah dicabut dengan adanya SEMA No.3

Tahun 1963. Dengan demikian maka orang yang tidak cakap atau tidak

berwenang melakukan perbuatan hukum dapat dibagi menjadi mereka yang belum

cukup umur, menurut Pasal 1330 KUH Perdata adalah mereka yang belum genap

berusia 21 tahun dan belum menikah, serta mereka yang diletakkan dibawah

pengampuan. Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang

pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang yang disebut

curandus karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala

hal tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang

tersebut oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak

cakap bertindak dan lantas diberi seseorang wakil menurut undang-undang yang

disebut curator. Sedangkan pengampuannya disebut curatele.28

Dilihat dari sudut rasa keadilan, memang perlu bahwa orang yang

membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus

(35)

akan dipikulnya karena perbuatannya itu. Sedangkan dilihat dari ketertiban

umum, karena orang yang membuat perjanjian itu mempertaruhkan kekayaannya,

sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas

terhadap harta kekayaannya.

Jadi, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung

kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam

hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan dan

diperhitungkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) yang menyebutkan :

“Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok

suatu perjanjian.”

Kemudian, dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa

barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat

diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan

umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa

dijadikan obyek perjanjian.29

29Riduan Syahrani,

(36)

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya

perjanjian. Sebab yang dimaksud adalah isi suatu perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang

yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat

membahayakan kepentingan umum.30

Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas disebut syarat subjektif,

yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian ini dapat

dibatalkan, untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari

salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya. Syarat suatu hal

tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai

objeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, yakni

sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu

pembatalan.31

2. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas, namun menurut Handri

Raharjo terdapat 5 (lima) asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas

konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik,

dan asas kepribadian.

Penjelasan mengenai kelima asas tersebut dapat diuraikan sebagi berikut :

a. Asas Kebebasan Berkontrak

30

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal 99.

31Handri Raharjo

(37)

Asas ini mengandung pengerian bahwa setiap orang dapat mengadakan

perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun

yang belum diatur oleh undang-undang. Tetapi kebebasan ini ada batasnya,

selama kebebasan itu tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata, yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian,pelaksanaannya,dan

persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.32

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berarti kesepakatan, perjanjian lahir atau terjadi

dengan kata sepakat. Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para

pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal

yang diperjanjikan. Perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu

suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah

dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu

perjanjian, seperti jual-beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat

secara tertulis dengan akta otentik notaris.33

c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

32

Ibid., hal 44.

33

(38)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) yang

menegaskan:

“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 34

d. Asas Itikad baik

Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan

keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak

dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan hakim dapat memerintahkan

pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan

bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum,

secara pasti memiliki perlindungan hukum.

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang terkandung

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan :

“ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan

melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin

para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu

daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Itikad baik dalam perjanjian

34Handri Raharjo

(39)

mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian

disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.35

e. Asas Kepribadian

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.

Asas tersebut dinamakan asas kepribadian. Berdasarkan asas ini suatu perjanjian

hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang

membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian

tersebut tidak terikat.

Terhadap asas kepribadian ini terdapat suatu pengecualian yaitu dalam

bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Dalam janji untuk pihak ketiga

ini, seorang membuat suatu perjanjian, dimana perjanjian ini memperjanjikan

hak-hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang

menyebutkan sebagai berikut:

“Lagi pun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.”36

3. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Menurut R. Setiawan, hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan

hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat terhapus sedangkan perjanjian

yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Contoh, pada perjanjian jual beli,

dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi terhapus,

35

Ibid. 36

(40)

sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang

belum dilaksanakan. Selain itu, dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri

telah berakhir, tetapi perikatannya masih ada, misalnya dalam sewa-menyewa,

dimana perjanjian sewa-menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk

membayar uang sewa belum berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada

umumnya jika perjanjian terhapus maka perikatannya pun terhapus, begitu juga

sebaliknya.

Terdapat sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 1381 KUH Perdata sebagai berikut :

1. Pembayaran

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

3. Pembaharuan utang (novasi)

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

5. Percampuran utang (konfisio)

6. Pembebasan utang

7. Musnahnya barang yang terutang

8. Kebatalan dan pembatalan

9. Berlakunya syarat batal

10.Lewatnya waktu

Berikut ini akan dijelaskan mengenai berakhirnya suatu perikatan tersebut:

1. Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela, artinya

(41)

dimana dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan

perikatan/perjanjian yang diadakan.

Siapa saja boleh melakukan pembayaran kepada kreditur dan si kreditur

harus menerimanya, hal ini sesuai dengan Pasal 1382 KUH Perdata yang

menjelaskan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga

yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga tersebut bertindak atas

nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau dapat juga pihak ketiga

bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.

Pada dasarnya suatu perikatan dapat berakhir hanya jika hal tersebut

dilaksanakan atau dipenuhi sendiri oleh debitur dalam perikatan, walau demikian

tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal-hal tertentu, suatu kewajiban dalam

perikatan dapat dipenuhi oleh seorang pihak ketiga, apabila hal tersebut

dimungkinkan dan dikehendaki oleh kreditur, berdasarkan pada sifat dan jenis

perikatannya.37

Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang telah

diberikan kuasa olehnya, atau orang yang telah diberikan kuasa oleh hakim atau

undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut. Pembayaran yang

dilakukan kepada orang yang tidak berkuasa menerima pembayaran bagi kreditur Pengecualian pembayaran oleh pihak ketiga disebutkan di dalam Pasal

1383 KUH Perdata yang menentukan bahwa pada perikatan untuk berbuat

sesuatu, tidak dapat dipenuhi oleh pihak ketiga berlawanan dengan kemauan

kreditur, jika kreditur berkehendak supaya perbuatan tersebut dilakukan sendiri

oleh debitur.

37

(42)

adalah sah apabila kreditur menyetujuinya atau telah mendapat manfaat karenanya

seperti yang disebutkan dalam Pasal 1385 KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1385

KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran yaitu kreditur

sendiri, seorang yang diberi kuasa oleh kreditur, seorang yang diberi kuasa oleh

hakim atau undang-undang.38

Suatu masalah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah

subrogasi. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga,

berdasarkan pasal 1400 KUH Perdata penggantian ini terjadi dengan pembayaran

yang diperjanjikan atau ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan

menjadi dua, yaitu subrogasi karena perjanjian yang diatur dalam pasal 1401

KUH Perdata, dan subrogasi karena undang-undang yang diatur dalam pasal 1402

KUH Perdata.39

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Jika kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka

debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan

penitipan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan hanya berlaku

bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak.

Caranya adalah barang atau uang yang dibayarkan itu ditawarkan secara resmi

oleh seorang notaris atau seorang jurusita pengadilan. Notaris atau jusita ini

membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan tersebut

dan pergi ke tempat dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan

jika tidak ada perjanjian khusus mengenai hal ini, kepada kreditur pribadi atau

tempat tinggalnya. Notaris atau jurusita kemudian memberitahukan bahwa ia atas

38

Riduan Syahrani, op. cit, hal 268.

39 Handri Raharjo

(43)

permintaan debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran

mana dilakukan dengan menyerahkan barang atau uang yang dirinci itu.

Notaris atau jurusita telah menyediakan proses verbal. Apabila kreditur

menerima barang atau uang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran

itu. Apabila kreditur menolak maka notaris atau jurusita akan mempersilahkan

kreditur untuk menandatangani proses verbal tersebut, dan jika kreditur tidak

maumemberikan tandatangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris atau jurusita di

atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapat surat bukti yang

resmi si berpiutang telah menolak pembayaran.

Selanjutnya debitur di muka pengadilan negeri mengajukan permohonan

kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang

telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang

atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada panitera

pengadilan negeri dan dengan demikian perikatan antara debitur dan kreditur

berakhir.40

3. Pembaharuan utang (novasi)

Pembaharuan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya

perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pembaharuan

utang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari

kewajiban membayar utang sehingga perikatan antara kreditur dan debitur

terhapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kreditur dan debitur untuk

menggantikan perikatan yang dihapuskan.

40

(44)

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, ada tiga macam jalan untuk

melaksanakan suatu pembaharuan utang yaitu :

a. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang

yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama,

yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur yang

lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa debitur

dibebaskan dari perikatannya.41

Novasi yang dijelaskan dalam ayat (1) di atas dinamakan novasi obyektif,

karena disitu yang diperbaharui adalah obyek perjanjian, sedangkan yang

disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3) dinamakan novasi subyektif, karena yang

diperbaharui adalah subyek-subyeknya atau orang-orang yang terdapat di dalam

perjanjian. Jika yang diganti adalah debiturnya sebagaimana yang terdapat dalam

ayat (2) maka novasi itu dinamakan novasi subyektif pasif, sedangkan apabila

yang diganti adalah krediturnya sebagaimana dalam ayat (3) maka novasi itu

dinamakan novasi subyektif aktif.42

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

Perjumpaan utang atau kompensasi adalah penghapusan masing-masing

utang dengan jalan saling memperhitungkan utang secara timbal-balik antara

debitur dengan kreditur.43

41

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 80

42

H. Riduan Syahrani, op. cit, hal 276.

43Handri Raharjo

(45)

Menurut Pasal 1425 KUH Pedata yang menetapkan bahwa bagi kedua

belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadi penghapusan

utang-utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara memperjumpakan

utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain.44

Selanjutnya, menurut pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1426 KUH

Perdata bahwa perjumpaan utang terjadi demi hukum, bahkan tanpa

sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu

menghapuskan yang lain pada saat utang-utang itu bersama-sama ada , bertimbal

balik untuk jumlah yang sama.45

5. Percampuran utang (konfisio)

Percampuran utang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur

berkumpul pada satu orang. Pasal 1436 KUH Perdata mengatakan bahwa :

“Apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang

berutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu

percampuran utang, dengan mana piutang dihapuskan.”

Misalnya,kreditur meninggal sedangkan debitur merupakan satu-satunya

ahli waris, atau debitur kawin dengan krediturnya dalam persatuan harta

perkawinan. Berakhirnya perikatan karena percampuran utang ini adalah demi

hukum artinya secara otomatis.46

6. Pembebasan utang

44

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 103

45

Riduan Syahrani, op. cit , hal 278.

46

(46)

Pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditur

yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau

utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditur tersebut.47

Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada

debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap

orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.

Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidak

cukup dijadikan persangkaan tentang dibebaskan utang karena perjanjian gadai

adalah suatu perjanjian accessoir, artinya suatu perjanjian yang terjadi akibat dari

perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.48

7. Musnahnya barang yang terutang

Pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 KUH Perdata bahwa apabila

barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi

diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu

masih ada, maka terhapuslah perikatannya, asalkan musnahnya atau hilangnya

barang tersebut bukan karena kesalahan debitur dan sebelum ia lalai

menyerahkannya. Bahkan, seandainya debitur lalai menyerahkan barang tersebut,

misalnya terlambat, perikatan juga terhapus apabila debitur dapat membuktikan

bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian yang merupakan

keadaan memaksa dan barang tersebut akan mengalami nasib yang sama

meskipun sudah berada di tangan kreditur.49

47

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 171.

48

Riduan Syahrani, op. cit , hal 280.

49

(47)

8. Kebatalan dan pembatalan

Meskipun disini disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang benar

adalah pembatalan saja. Perkataan batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH

Perdata yang dimaksudkan sebenarnya adalah dapat dibatalkan. Suatu

perjanjianbatal demi hukum, maka dianggap perikatan hukum belum lahir, oleh

karena itu tidak ada perikatan hukum yang dihapus.

Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua/wali dari pihak yang

tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena paksaan,

kekhilafan, dan penipuan. Permintaan pembatalan perjanjian yang tidak

memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian itu di muka hakim

2. Secara pasif yaitu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi

perjanjian itu dan disitu baru mengajukan kekurangan persyaratan

perjanjian itu.

Mengajukan penuntutan pembatalan secara aktif diadakan batas waktu

selama 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUH Perdata, sedangkan

untuk penuntutan pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya.50

9. Berlakunya syarat batal

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya

digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan masih belum terjadi.

Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa itu

dinamakan perikatan dengan syarat tangguh, sedangkan apabila suatu perikatan

50

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya

Penulis mengangkat permasalahan tersebut dengan tujuan untuk membahas bagaimanakah perlindungan hukum kepada Fourspeed Parlor sebagai pihak penyewa dengan adanya klaim

Perjanjian sewa menyewa mobil pasti ada kalanya terjadi sesuatu hal yang menyebabkan kerugian baik dari pihak penyewa atau pihak yang menyewakan biasanya terjadi permasalahan atau

Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/

Dengan semakin berkembangnya usaha sewa menyewa (Rent A Car), maka sering pula terjadi suatu permasalahan terutama antara pihak yang menyewakan kendaraan dengan pihak

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pihak dari penyewa telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), hal ini dikarenakan pihak dari penyewa telah

Prosedur atau tahapan itu sebaiknya sebelum perjanjian dibuat, maka harus diketahui dan dipahami oleh para pihak, baik yang menyewakan ruko atau pihak penyewa

Perjanjian sewa menyewa rumah yang sudah disepakati menjadi undang- undang bagi pihak yang membuatnya sering menimbulkan permasalahan, yaitu pihak penyewa ingkar janji atau terlambat