PERBANDINGAN KUALITAS SOSIS DAGING ANGSA DENGAN PENAMBAHAN LEVEL LEMAK SAPI
DARI DUA JENIS SELONGSONG SOSIS
SKRIPSI
ANWAR RIFKI 050306018
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERBANDINGAN KUALITAS SOSIS DAGING ANGSA DENGAN PENAMBAHAN LEVEL LEMAK SAPI
DARI DUA JENIS SELONGSONG SOSIS
SKRIPSI
Oleh:
ANWAR RIFKI 050306018/IPT
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Proposal : Perbandingan Kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dan Dua Jenis Selongsong Sosis
Nama : Anwar Rifki
NIM : 050306018
Departemen : Peternakan
Program Studi : Ilmu Produksi Ternak
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Ir. Soehady Aris
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
ANWAR RIFKI : Perbandingan kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis. Dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan SOEHADY ARIS
Daging angsa merupakan salah satu produk peternakan yang memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu 22,35%. Proses pengolahan daging merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat akan daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada November-Desember 2009. Penelitian ini menggunakan metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap untuk parameter organoleptik, dan metode rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu lemak (0%, 5% dan 10%) dan selongsong sosis (selongsong usus domba dan selongsosng plastik). Parameter yang dianalisis adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, tekstur dan organoleptik rasa, warna dan aroma.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong pada sosis daging angsa memberikan hasil yang berbeda tidak nyata untuk kadar protein, organoleptik rasa, warna dan aroma serta hasil yang berbeda nyata untuk kadar air, kadar lemak dan tekstur.
Kata kunci : Daging Angsa, Lemak, Selongsong Usus Domba, Selongsong Plastik, Kualitas dan Organoleptik Sosis
ABSTRACT
ANWAR RIFKI : The comparation of quality of swan sausage with
supplementation cow fat of using two sausage casing. Supervised by NEVY
DIANA HANAFI and SOEHADY ARIS.
The swan meat is the one veteriner product’s have hihest protein, that is 22,35%. The processing of meat is the one factor can influence meat consumtion proportion. The aim of the studyis to find out the comparation of quality of swan sausage with supplementation cow fat of using two sausage casing. This research was conducted in Breeding Veterinary Laboratory and Food technology Laboratory of Agricultur Faculty of University of North Sumatera on beginning from November to December 2009. This research using non parametric method for completely randomized design to organoleptic parametric, and completely randomized design factorial with two factor i.e. fat (0%, 5% and 10% of sausage) and sausage casing (sheep intestinum casing and platic casing). Parameters aanalyzed were water, protein, fat, texture and organoleptic value of taste, color, and aroma.
The result of this research indicated that supplementation of cow fat and using two sausage casing has given the different not significant on protein and organoleptic value of taste, color, and aroma but it has given the significant different for water, fat and texture propoertion of analysis side.
RIWAYAT HIDUP
Anwar Rifki, lahir di Binjai, 10 Januari 1988. Merupakan anak kedua dari
empat bersaudara, anak kandung dari Bapak Marwadi Saifuddin dan Ibu Endang
Lutfiyati.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis hingga saat ini :
Tahun 1999 menamatkan SD di SD Inpres 050979 Kecamatan Kuala-Langkat,
tahun 2002 menamatkan SLTP di MTs Aisyiyah Muahammadiyah Binjai, tahun
2005 menamatkan SLTA di MAS Aisyiyah Muhammadiyah Binjai dan pada
tahun 2005 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP.
Selama menjadi mahasiswa USU, penulis aktif di berbagai kegiatan
organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal kampus. Diantaranya
adalah menjadi Pengurus Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan tahun
2007-2008, Pengurus BKM Al-Mukhlisin tahun 2007-2008 dan 2008-2009, juga pernah
menjadi Deputi Mentri Partisipasi Masyarakat Pema USU tahun 2008-2009 untuk
organisasi internal. Selain itu penulis juga aktif sebagai Pengurus Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat USU tahun 2006-2007 dan
2007-2009, Kabid Ekonomi IMM Cabang Kota Medan tahun 2010-2011 dan Pengurus
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) USU tahun 2008-2009.
Kegiatan yang pernah diikuti penulis : Melaksanakan PKL di Kecamatan
Bandar Huluan Kabupaten Simalungun tahun 2008, melaksanakan penelitian
Skripsi pada November-Desember 2009 di Laboratorium Pemuliaan Ternak
Departemen Peternakan dan Laboratorium Teknologi Pangan Departemen
KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah
dilimpahkanNya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Perbandingan Kualitas Sosis
Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
terutama kepada kedua orang tua yang telah membesarkan penulis dengan penuh
kasih sayang. Juga kepada Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si sebagai dosen
ketua pembimbing dan Ir. Soehady Aris sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya skripsi ini, dan semoga
dapat berguna terutama bagi penulis pribadi dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Medan, Oktober 2010
DAFTAR ISI
METODOLOGI PENELITIAN ... 21
Waktu dan Tempat Penelitian ... 21
Bahan dan Alat Penelitian ... 21
Bahan ... 21
Alat.... ... 21
Metode Penelitian ... 21
Parameter Penelitian ... 23
Prosedur Penelitian ... 23
KESIMPULAN DAN SARAN ... 46 Kesimpulan ... 46 Saran ... ... 46 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Komposisi Daging Angsa dan Daging Ternak Lainnya ... 6
2. Komposisi Tepung Tapioka per 100 g bahan ... 13
3. Skala Hedonik dalam Uji Kesukaan ... 21
4. Persentase Kadar Air ... 27
5. Dwikasta Kadar Air... 27
6. Analisis Keragaman Kadar Air ... 28
7. Uji Duncan ... 28
8. Data Persentase Kadar Protein ... 30
9. Dwikasta Kadar Protein ... 31
10. Analisis Keragaman Kadar Protein ... 30
11. Data Persentase Kadar Lemak ... 32
12. Dwikasta Kadar lemak ... 33
13. Analisis Ragam Kadar Lemak ... 33
14. Uji Duncan ... 34
15. Data Nilai Tekstur ... 35
16. Dwikasta Nilai Tekstur ... 36
17. Analisis Ragam Nilai Tekstur ... 36
18. Uji Duncan ... 37
19. Data Nilai Organoleptik Rasa ... 38
20. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 38
21. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Rasa ... 39
23. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 41
24. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Aroma ... 41
25. Data Nilai Organoleptik Warna ... 43
26. Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 43
27. Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Warna ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Data Persentase Kadar Air ... 51
2. Data Rataan Kadar Air ... 52
3. Data Dwikasta Kadar Air ... 52
4. Data Analisis Ragam Kadar Air ... 52
5. Grafik Perbandingan Kadar Air ... 53
6. Data Uji Duncan Kadar Air ... 53
7. Data Persentase Kadar Protein ... 54
8. Data Rataan Kadar Protein ... 55
9. Data Dwikasta Kadar Protein ... 55
10. Data Analisis Ragam Kadar Protein ... 55
11. Grafik Perbandingan Kadar Protein ... 56
12. Data Persentase Kadar Lemak ... 57
13. Data Rataan Kadar Lemak ... 58
14. Data Dwikasta Kadar lemak ... 58
15. Data Analisis Ragam Kadar Lemak ... 58
16. Grafik Perbandingan Kadar Protein ... 59
17. Uji Duncan Kadar Air ... 59
18. Data Nilai Tekstur ... 60
19. Data Rataan Tekstur Sosis ... 61
20. Data Dwikasta Nilai Tekstur ... 61
21. Data Analisis Ragam Nilai Tekstur ... 61
23. Data Uji Duncan Nilai Tekstur ... 62
24. Data Nilai Organoleptik Rasa ... 62
25. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 63
26. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 63
27. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Rasa ... 64
28. Data Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Rasa ... 64
29. Data Nilai Organoleptik Aroma ... 64
30. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 65
31. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma ... 65
32. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Aroma... 66
33. Data Uji Kruskal-Wallis Nilai Organoleptik Aroma ... 66
34. Data Nilai Organoleptik Warna ... 66
35. Data Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 67
36. Data Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 67
37. Grafik Hasil Pemberian Pangkat (rank) Nilai Organoleptik Warna ... 68
ABSTRAK
ANWAR RIFKI : Perbandingan kualitas Sosis Daging Angsa dengan Penambahan Level Lemak Sapi dari Dua Jenis Selongsong Sosis. Dibimbing oleh NEVY DIANA HANAFI dan SOEHADY ARIS
Daging angsa merupakan salah satu produk peternakan yang memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu 22,35%. Proses pengolahan daging merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat akan daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada November-Desember 2009. Penelitian ini menggunakan metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap untuk parameter organoleptik, dan metode rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor yaitu lemak (0%, 5% dan 10%) dan selongsong sosis (selongsong usus domba dan selongsosng plastik). Parameter yang dianalisis adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, tekstur dan organoleptik rasa, warna dan aroma.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong pada sosis daging angsa memberikan hasil yang berbeda tidak nyata untuk kadar protein, organoleptik rasa, warna dan aroma serta hasil yang berbeda nyata untuk kadar air, kadar lemak dan tekstur.
Kata kunci : Daging Angsa, Lemak, Selongsong Usus Domba, Selongsong Plastik, Kualitas dan Organoleptik Sosis
ABSTRACT
ANWAR RIFKI : The comparation of quality of swan sausage with
supplementation cow fat of using two sausage casing. Supervised by NEVY
DIANA HANAFI and SOEHADY ARIS.
The swan meat is the one veteriner product’s have hihest protein, that is 22,35%. The processing of meat is the one factor can influence meat consumtion proportion. The aim of the studyis to find out the comparation of quality of swan sausage with supplementation cow fat of using two sausage casing. This research was conducted in Breeding Veterinary Laboratory and Food technology Laboratory of Agricultur Faculty of University of North Sumatera on beginning from November to December 2009. This research using non parametric method for completely randomized design to organoleptic parametric, and completely randomized design factorial with two factor i.e. fat (0%, 5% and 10% of sausage) and sausage casing (sheep intestinum casing and platic casing). Parameters aanalyzed were water, protein, fat, texture and organoleptic value of taste, color, and aroma.
The result of this research indicated that supplementation of cow fat and using two sausage casing has given the different not significant on protein and organoleptic value of taste, color, and aroma but it has given the significant different for water, fat and texture propoertion of analysis side.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu komoditi peternakan yang utama di samping telur dan susu
adalah daging. Daging juga merupakan produk yang sangat penting dan digemari
oleh masyarakat umum. Namun sama seperti produk-produk peternakan yang
lainnya, daging juga mudah rusak dan tidak tahan lama bila tidak diawetkan, baik
dengan bahan pengawet maupun dengan perlakuan-perlakuan tertentu.
Bahan pangan yang berasal dari daging sangat disukai oleh masyarakat
umum. Selain karena rasanya yang nikmat, daging disukai juga karena kandungan
nilai gizinya. Menurut Lawrie (2003), nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan
karena daging mengandung asam-asam amino yang lengkap dan seimbang.
Namun demikian kandungan nilai gizi daging dari setiap jenis ternak relatif
berbeda, tetapi menurut Soeparno (1994) setiap 100 gr daging dapat memenuhi
kebutuhan gizi orang dewasa sekitar 10 persen kalori, 50 persen protein dan 35
persen zat besi (Fe) setiap harinya.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa
simpan daging, seperti pengolahan dan pengawetan daging. Hal ini bertujuan
selain untuk memperpanjang masa simpan, juga untuk meningkatkan cita rasa
yang sesuai dengan selera konsumen, serta dapat mempertahankan nilai gizinya.
Beberapa bentuk hasil pengolahan daging diantaranya ialah sosis, kornet,
dendeng, pindang, abon, bakso, nuget dll, sedangkan beberapa cara pengawetan
yang sering dilakukan ialah dengan cara pembekuan, pelayuan, pengeringan,
Sosis merupakan salah satu jenis hasil olahan daging yang cukup populer
di kalangan masyarakat. Ada berbagai jenis sosis yang beredar di pasaran saat ini,
mulai dari yang sudah siap santap maupun yang harus dimasak terlebih dahulu.
Daging yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan sosis adalah
daging sapi dan daging babi, lalu daging ayam broiler, sedangkan daging angsa
masih belum atau jarang digunakan. Hal ini disebabkan selain karena masalah
produksi ternak itu sendiri juga karena sifat dan tekstur daging yang berbeda-beda
dari setiap ternak, sebagaimana diketahui bahwa ternak yang memiliki produksi
daging cukup tinggi adalah sapi dan babi, sedangkan dari jenis unggas adalah
ayam broiler, oleh karena itu kedua jenis daging tersebut lebih banyak dipilih
sebagai bahan pembatan sosis, selain itu karena teksturnya yang lebih kompak.
Namun demikian berdasarkan kandungan proteinnya, daging angsa memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi yaitu 22,3% dibandingkan kandungan protein
daging ayam yang sebesar 20,8%, daging sapi 18,7%, daging domba 17,1% atau
daging kambing yang hanya 16,6% (Srigandono, 1992).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penggunaan daging angsa pada
penelitian pembuatan sosis kali ini lebih diutamakan karena pemanfaatannya yang
masih jarang dibandingkan daging sapi dalam pembuatan sosis, selain kandungan
proteinnya yang lebih tinggi dibandingkan jenis daging lainnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan kualitas sosis
daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong
Hipotesis Penelitian
Penambahan lemak 5% dan 10% serta penggunaan dua jenis selongsong
sosis yang berbeda (usus dan plastik) pada pembuatan sosis daging angsa
memberikan pengaruh positif yang berbeda terhadap kualitas dan organoleptik
sosis.
Kegunaan Penelitian
Memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan peneliti tentang
pengolahan daging (terutama sosis), dan menambah pengetahuan tentang kualitas
sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dan jenis selongsong
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil,
masing-masing berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat,
membentuk berkas ikatan yang pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak
pembuluh darah dan urat syaraf (Gamman dan Sherrington, 1992). Bila potongan
daging diamati secara teliti maka tampak dengan jelas bahwa daging terdiri atas
tenunan yang terdiri atas air, protein, tenunan lemak dan potongan tulang
(Winarno, 1993).
Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging merupakan bahan dasar
pembuatan sosis. Bahan terpenting dalam bahan ini adalah protein (aktin dan
miosin), bertindak sebagai emulsifier. Dalam pembuatan sosis fase protein-air
dalam campuran daging akan membentuk matriks yang menyelubungi butiran
lemak sehingga terbentuk butiran-butiran stabil.
Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan,
jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metoda pengepakan
serta kandungan lemak daging tersebut. Daging tanpa lemak mengandung 70%
air, 9% lemak serta 1% abu (Winarno dan Rahayu, 1994).
Angsa
Angsa adalah burung air berukuran besar yang terdapat di dalam suku
Anatidae. Populasi angsa tersebar di daerah subtropis bagian Utara dan Selatan.
Spesies angsa yang ditemukan di bagian Utara bumi mempunyai bulu menyeluruh
memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Hampir semua angsa adalah monogami
spesies. Induk betina biasanya memiliki tiga sampai delapan telur
(Wikipedia, 2009).
Taksonomi angsa secara lengkap adalah sebagai berikut : Kingdom :
Animalia; Filum : Chordata; Kelas : Aves; Super Ordo : Gallonserae; Ordo :
Anseriformes; Famili : Anatidae; Sub Famili : Anserinae; Marga : Cygnus;
Spesies : Cygnus Cygnus. (Goose-Wikipedia, 2009).
Angsa dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu berat, sedang dan ringan. Serta
ornamental atau tipe hias. Tipe berat terdiri atas African, Embden dan Toulouse;
sedangkan tipe sedang terdiri atas American Buff, Beecon Buff, Pilgrim dan
Pomeranian; dan tipe ringan terdiri atas Chinese dan Roman. Adapun yang
terakhir, yaitu tipe ornamen terdiri atas Canada, Egyptian dan Sebastopol.
(Srigandono, 1991).
Angsa mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat di antara semua
unggas dan paling efisien dalam konversi bahan makanan, teristimewa pada umur
8-10 minggu pertama. Tanpa makanan yang khusus, angsa dapat berkembang biak
dengan lebih baik dibandingkan kebanyakan unggas lainnya. Angsa tergolong
sangat bandel dan relatif mudah tumbuh menjadi besar. Mereka lebih tahan
terhadap penyakit dan hampir tidak memerlukan obat-obatan
(Peternakan.com, 2009). Meskipun demikian menurut Djulardi et al.(2006)
kedudukan angsa masih rendah dipandang dari sudut ekonomi, diperlihatkan
masih sedikitnya data penelitian terhadap kebutuhan makanan dan zat-zat nutrisi
Komposisi daging angsa dan daging ternak lainnya dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Komposisi daging angsa dan daging ternak lainnya.
Jenis Kadar (%) Nilai
Ternak Air Protein Lemak Abu Energi/100g(Kkal)
Angsa 68,3 22,3 7,1 1,1 153
Ayam 73,4 20,8 4,8 1,1 126
Itik 68,8 21,4 8,2 2,1 159
Sapi (gemuk) 63,0 18,7 17,0 0.9 228
Domba (gemuk) 59,8 16,7 22,4 0,8 264
Babi (gemuk) 52,0 14,8 32,0 0,8 347
Sumber : Srigandono (1992)
Sosis
Sosis didefinisikan sebagai daging atau campuran beberapa jenis daging
yang dicincang atau dihaluskan serta dicampur dengan bumbu atau
rempah-rempah lalu dimasukkan ke dalam selongsong atau wadah sosis. Pada umumnya
sosis dibuat dari daging sapi, daging babi, daging kelinci dan daging ikan
(Soeparno, 1992). Selanjutnya Soeparno (1994) juga menyatakan bahwa sosis
segar dapat dibuat dari daging segar, tidak diperam (tanpa curing), dicacah,
dilumatkan atau digiling diberi garam dan bumbu-bumbu dan dimasukkan serta
dipadatkan ke dalam selongsong. Sosis ini harus dimasak sebelum dimakan.
Sosis masak berasal dari daging segar, bisa diperam atau tidak, dimasukkan dan
dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap dan setelah preparasi harus segera
dimasak dan siap untuk dimakan. Sosis spesialitas daging masak khusus
dipersiapkan sebagai produk daging yang diperam atau tidak diperam, dimasak
dan dikeringkan udara. Sosis ini bisa diasap sebelum pengeringan dan dapat
dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah dimasak.
Pada proses pembuatan sosis, dilakukan pemasakan bahan, antara lain
bertujuan untuk 1) Menyatukan komponen-komponen adonan sosis yang berupa
emulsi kandungan minyak, air, dengan protein sosis sebagai penstabil, 2)
Memantapkan warna daging, 3) Menginaktifkan mikroba. Pemasakan sosis dapat
dilakukan dengan cara direbus, dikukus dan diasap, atau kombinasi dari ketiga
cara tersebut (Rukmana, 2001).
Pemasakan dengan perebusan dapat dilakukan dengan dua tahapan.
Perebusan pertama menggunakan suhu 60oC selama 15-20 menit. Perebusan
kedua dengan suhu 80oC-90oC sampai matang (+ 15 menit). Sedangkan untuk
proses pengasapan, dimulai dari suhu rendah (32-38oC dengan kelembaban 90%)
selama 10-20 menit, kemudian suhu dinaikkan menjadi 74oC dengan kelembaban
75% - 80% sampai matang (Waridi, 2004).
Makanan ini dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian
dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selongsong berbentuk bulat
panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan
(casing). Sosis juga dikenal berdasarkan nama kota atau daerah yang
memproduksi, seperti berliner (Berlin), braunscheiger (Braunshweig), genoa
salami (Genoa), dan lain-lain (Astawan, 2009).
Emulsi adalah campuran dua cairan atau lebih yang saling melarutkan.
Salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butiran-butiran
kecil dan cairan lainnya (Lawrie, 1983). Keberhasilan produksi yang
mempertahankan lemak dan air. Oleh karena itu faktor-faktor yang menentukan
kestabilan emulsi daging sosis penting (Lawrie, 2003).
Temperatur pencincangan di atas 16oC akan menyebabkan ketidakstabilan
emulsi yang terbentuk, sehingga tidak diperbolehkan jika emulsi tersebut akan
disimpan dalam waktu yang agak lama sebelum diproses di bawah kondisi yang
memungkinkan pertumbuhan bakteri. Selain itu dalam penggilingan daging, panas
akan muncul akibat adanya gaya gesek yang terjadi. Jika suhu tidak diusahakan
turun, maka protein akan terdenaturasi sehingga kemampuan bertindak sebagai zat
pengemulsi akan turun (Elviera, 1988).
Pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen
adonan sosis, memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba. Pemasakan ini
akan meningkatkan atau menurunkan keempukan sosis tergantung pada
temperatur, lama pemasakan dan jenis daging. Pemasakan dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan, pemasakan
secara kering dengan menggunakan oven dan kombinasi dari cara-cara tersebut
(Sumirin, 2006).
Selongsong Sosis
Selongsong atau casing sosis ada dua tipe, yaitu selongsong alami dan
selongsong buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan
ternak. Menurut Soeparno (1992) selongsong sapi dapat berasal oesophagus, usus
kecil, usus besar bagian tengah, caecum dan kandung kencing, sedangkan
selongsong domba dan kambing normalnya berasal dari usus kecil.
Menurut Kramlich (1973), selongsong buatan terdiri atas empat kelompok
dan plastik. Pada dasarnya selongsong alami adalah kolagen, selama pengolahan
sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus olah asap dan
cairan. Selongsong alami menjadi kurang permeabel karena pengeringan dan
pengasapan (Bacus, 1984).
Terdapat tiga jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis,
yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami
hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan
melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet.
Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari
penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada
produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing
selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat
keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid
casing, yaitu casing yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan,
dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap
panas, dan dapat dicetak (Astawan, 2009).
Bahan Pengikat
Bahan pengikat adalah material bukan daging yang mengandung protein
tinggi. Terutama berasal dari produk susu misalnya susu kering dan produk
kedelai misalnya tepung kedelai. Kegunaan penambahan bahan pengikat
diantaranya adalah meningkatkan daya ikat air produk daging, mengurangi
pengerutan selama pemasakan, meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan
Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang meningkatkan daya ikat
air dari emulsi lemak. Bahan pengisi mempunyai kemampuan untuk mengikat air,
tetapi tidak berperan dalam pembentukan emulsi. Perbedaan bahan pengikat dan
bahan pengisi bahwa bahan pengikat mengandung protein lebih tinggi, sedangkan
bahan pengisi mengandung banyak karbohidrat. Bahan yang digunakan sebagai
bahan pengikat berupa susu skim, Na-kaseinat, konsentrat tepung kedelai dan
protrein isolate atau tepung kedelai (Bianchi et all., 1989).
Menurut Kramlich (1973), bahan pengikat dan pengisi dibedakan
berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih
tinggi dibanding bahan pengisi, dan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari
karbohidrat saja. Pemilihan dan penggunaan bahan pengikat dilakukan
berdasarkan beberapa syarat yaitu mempunyai daya serap yang baik terhadap air,
mempunyai rasa yang enak, memberikan warna yang baik dan harganya relatif
murah (Lawrie, 1983)
Bahan yang tepat untuk dijadikan sebagai bahan pengikat salah satunya
adalah susu skim. Susu skim merupakan air susu segar yang telah dikurangi
kandungan lemaknya menjadi 0,1% atau kurang, dengan bahan kering tanpa
lemak paling rendah 89,25%, oleh karena itu rasanya pun tidak segurih susu segar
(Ginting dan Sitepu, 1989). Meskipun begitu, susu skim bubuk sebanyak tiga
sendok teh penuh dalam satu cangkir air, nilainya sama dengan secangkir susu
segar (Sumoprastowo, 2000).
Menurut Helfrich dan Westhoff (1980) pemisahan krim dan susu skim
dapat dilakukan dengan cara mekanik yang berdasarkan gravitasi. Susu skim
Zat gizi dalam susu skim masih lengkap kecuali lemak (Moehyi, 1992). Susu skim
mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak (Buckle dkk., 1987). Susu skim dapat digunakan oleh
orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu
skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu.
Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah material bukan daging yang ditambahkan ke dalam
produk olahan daging. Bahan pengisi antara lain bermacam tepung yang
umumnya mempunyai lemak dalam jumlah yang relatif tinggi dan protein dalam
jumlah relatif rendah (Soeparno,1992).
Menurut Soenaryo (1985) tepung merupakan bahan makanan yang
berbentuk bubuk yang diolah dari biji-bijian dan umbi-umbian dari berbagai
tanaman. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tepung di sini adalah tepung
jagung, tepung beras, tepung terigu, tepung tapioka, tepung maizena, tepung sagu
dan tepung ketan.
Maksud penambahan bahan pengisi (filler), pengikat (binder), dan
pengompak pada produk daging proses seperti sosis adalah untuk:
1) meningkatkan stabilitas emulsi; 2) meningkatkan daya ikat air produk daging;
3) meningkatkan flavour; 4) meningkatkan karakteristik irisan produk;
5) mengurangi pengerutan selama pemasakan dan 6) mengurangi biaya formulasi
(Forest, dkk., 1975).
Salah satu contoh dari bahan pengisi adalah tepung tapioka ataupun
tepung kanji. Tepung ini dibuat dari pati singkong, nyaris tidak mengandung
Coeliac (smacam gluten-intolerance). Sering dipakai untuk pengental pada
tumisan karena efeknya bening dan kental saat dipanaskan. Tidak cocok untuk
gorengan karena menyerap minyak dan mengeras setelah dingin beberapa lama.
Selain pengental, juga dipakai untuk pengenyal pada bakso, pengganti sagu pada
pempek, juga sebagai bahan baku krupuk, ada juga yang membuat cendol
berbahan tapioka (Lia, 2006).
Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun bahan
campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering
lainnya. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental
(thickener), bahan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan
(Astawan, 2003).
Bila tepung dilihat di bawah mikroskop, akan terlihat zat tepung yang
terdiri atas butir-butir granula yang mempunyai bentuk berbeda-beda dari setiap
jenisnya. Tepung dibuat berasal dari jenis padi-padian dan umbi-umbian yang
melalui proses beberapa tahap sampai menjadi tepung yang kering. Salah satu
contohya adalah tepung terigu yang dibuat berasal dari biji gandum
(Tarwotjo, 1998).
Berikut ini adalah komposisi kimia tepung tapioka :
Tabel 2. Komposisi tepung tapioka per 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 362
Protein (g) 0,5
Lemak (g) 0,3
Karbohidrat (g) 86,9
Air (g) 12,0
Air dan Es
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa
komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat
ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat mudah hilang akibat
penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan
cara tersebut (Purnomo, 1995).
Tujuan pemberian air es atau es dalam pembuatan sosis adalah untuk
membentuk adonan yang baik serta menurunkan suhu selama proses pencampuran
dan penggilingan (Koswara, 1992). Air es sangat penting sekali dalam pembuatan
adonan karena untuk mempertahankan suhu adonan agar tetap dingin. Adonan
panas cenderung akan merusak protein sehingga tekstur rusak (Alamsyah, 2005).
Wibowo (1995) juga menyatakan bahwa es dapat berfungsi untuk
mempertahankan stabilitas emulsi dan kelembaban adonan sehingga adonan tidak
kering selama pencetakan maupun perebusan
Meskipun air bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan makanan
lain, namun air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan dan
sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme hidup
(Sudarmadji dkk., 1989). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1991) air merupakan
media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri pembusuk maupun
mikroorganisme lainnya. Jasad renik yang dapat membusukkan dan memecahkan
pangan tidak akan dapat tumbuh jika tiada air. Kebanyakan enzim yang dapat
menyebabkan perubahan kimia yang tidak dikehendaki juga tidak dapat berfungsi
Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) kadar air sosis tidak boleh
melewati 67% (Chatroom.informe.com, 2010). Sedangkan menurut ”Meat
Inspection Devision” dari USDA, sosis masak tidak boleh mengandung air
melebihi empat kali kandungan protein ditambah 3% pada sosis masak.
Penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan sosis lunak, sedangkan
penambahan sosis yang terlalu sedikit akan menyebabkan tekstur sosis menjadi
keras (Koswara,1992).
Selanjutnya Soeparno (1994) menyatakan faktor yang mempengaruhi
daya ikat air daging adalah perbedaan daya ikat air di antara otot, misalnya
spesies, umur, dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban,
penyimpanan, dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan selama
pemotongan dan lemak intramuskular. Tillman dkk (1991) juga menyatakan
pengaruh umur dan jenis ternak akan mempengaruhi terhadap komposisi tubuh
tenak. Terdapat hubungan terbalik antara kadar air dan lemak dalam tubuh hewan.
Bila hewan bertambah tua, maka terjadi penurunan kadar air dalam pertambahan
berat badan, dan sebaliknya terjadi penambahan lemak.
Kadar Protein
Daya ikat air oleh protein atau water holding capacity adalah kemampuan
daging untuk mengikat airnya atau air yang selama ada pengaruh kekuatan dari
luar, misalnya pemanasan. Daya ikat air daging juga dipengaruhi oleh spesies,
umur, perlakuan sebelum ternak dipotong dan lemak intramuskuler
(Soeparno 1994).
Semua faktor yang mempengaruhi daya ikat air otot, juga mempunyai
sel-sel otot sel-selama proses pembekuan dan muncul kembali sebagai drip pada saat
penyegaran kembali, berhubungan dengan daya ikat air. Pada prinsipnya, jika
daya ikat air meningkat, maka drip menurun (Soeparno, 1994).
Reaksi nonenzimatis yang sering terjadi selama penyimpanan bahan
pangan adalah reaksi pencoklatan nonenzimatis yang juga dikenal dengan reaksi
Millard. Reaksi ini merupakan suatu hasil dari reaksi yang cukup kompleks yang
biasanya terjadi akibat pereaksi gugus gula reduksi dan gugus amino atau protein.
Akibat reaksi tersebut perubahan baik sifat-sifat kimiawi dan fisiologi protein,
sehinga mempengaruhi nilai gizi bahan pangan, baik pada warna dan
teksturnya (Lawrie, 2003).
Protein dalam bahan makanan sangat penting dalam proses kehidupan
organisme yang heterotroph seperti hewan dan manusia. Organisme heterotroph
hanya dapat menggunakan protein jadi yang sudah dirakit oleh organisme
autotroph seperti tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu protein yang ada di dalam
makanan sangat penting, bahkan vital bagi organisme heterotroph seperti manusia.
Protein-protein tersebut berguna untuk penyusunan senyawa-senyawa biomolekul
yang berperan penting dalam proses biokimiawi untuk mengganti sel-sel jaringan
yang rusak (Sudarmadji dkk., 1989).
Sosis merupakan produk olahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi.
Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan
dan proses pengolahannya. Menurut SNI, sosis yang baik minimal mengandung
Kadar Lemak
Lemak merupakan bahan padat pada suhu kamar, diantaranya disebabkan
kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak
memiliki ikatan rangkap, sehingga memiliki titik lebur yang tinggi. Contoh lemak
jenuh yang banyak terdapat di alam adalah asam palmitat dan asam stearat
(Winarno, 1991).
Dalam pembentukan adonan sosis yang stabil biasanya ditambahkan
lemak, baik lemak nabati maupun lemak hewani, karena disamping untuk
kestabilan sosis, penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga untuk
memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, dan rasa serta aroma
yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak untuk pembuatan sosis berkisar antara
5-25%. Penambahan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang
keras dan kering, sedangkan jika terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang
lunak dan keriput. Menurut Meat Inspection Division dan USDA, kandungan
lemak pada sosis masak tidak melebihi 30% (Purwaningsih, 2006). Sedangkan
menurut SNI kandungan maksimal kadar lemak sosis adalah sebesar 25%
(Chatroom.informe.com, 2010)
Dalam teknologi makanan, lemak dan minyak memegang peranan yang
penting. Lemak dan minyak memberikan rasa gurih yang spesifik yang berbeda
dari gurihnya protein, selain juga memberi aroma yang spesifik. Di dalam dunia
teknologi pangan seperti roti, lemak dan minyak penting dalam memberikan
konsistensi empuk, halus dan berlapis-lapis (Sudarmadji dkk., 1989).
Jika lemak digunakan dalam jumlah sedang, maka rasa panganan menjadi
lemak dalam pangan. Selain itu, selama proses pencernaan lemak meninggalkan
perut lebih lambat dari karbohidrat dan protein, sehingga membantu
menangguhkan serangan rasa lapar dan menyebabkan rasa puas pada seseorang.
Lemak juga membawa vitamin A, D, E dan K, dan membantu proses pencernaan
serta membantu absorbsi vitamin-vitamin tersebut dan mengangkutnya ke
seluruh tubuh (Suhardjo dkk., 1985).
Lemak merupakan "bahan bakar" yang memberi manusia tenaga dua kali
lebih banyak daripada jenis makanan lain. Lemak yang disimpan dalam tubuh
juga berfungsi sebagai bank penyimpan tenaga. Lemak adalah bahan penyekat
yang melindungi tubuh dari rasa dingin yang merusak. Lemak juga menutupi
saraf-saraf tubuh. Jenis lemak yang baik yang disebut HDL itu dapat membantu
menghilangkan kolesterol yang merusak dan tidak diinginkan itu dari
pembuluh-pembuluh darah. Vitamin A, D, E dan K merupakan jenis vitamin yang larut
dalam lemak dan tersimpan di dalam jaringan-jaringan lemak. Jadi sejumlah
lemak tubuh tertentu mempunyai manfaatnya (Siswono, 2009).
Tekstur
Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu
yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi kualitas
keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem, seperti genetik,
termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin dan
stress, dan faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigasi,
pelayuan dan pembekuan (Soeparno, 1994).
Lawrie (2003) menyatakan pergerakan otot yang aktif mengakibatkan
pada saat pemotongan. Purnomo (1995) juga menyebutkan ada beberapa hal yang
mempengaruhi tekstur bahan pangan antara lain rasio kandungan lemak, protein,
jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air. Dan menurut
Soehardjoprasetojo (1993), lemak diantara kelompok-kelompok daging akan
memutuskan serat-serat daging.
Organoleptik
Indera kita dapat mengatakan banyak tentang kualitas makanan kita. Hal
ini dapat dipakai sebagai metode untuk menentukan tanda-tanda kualitas yang
telah dititahkan oleh alam makanan kita. Kita dapat mempercayakan kepada
indera kita tersebut, asalkan kita menggunakannya dan melatih menggunakannya
(Ammermen, 1987).
Cita rasa makanan yang ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap
indera di dalam tubuh manusia, terutama indera pengecap. Makanan yang
memiliki cita rasa tinggi adalah makan yang disajikan dengan menarik,
menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Komponen yang
berperan dalam penentuan kelezatan makanan adalah aroma makanan, bumbu
masakan, keempukan dan kerenyahan makan serta tingkat pematangan dan
temperatur makanan (Moehyi, 1992).
Flavour dan aroma adalah sensasi kompleks yang saling berkaitan.
Flavour melibatkan rasa, bau, tekstur, temperatur dan pH. Evaluasi bau dan rasa
sangat tergantung pada panel cita rasa dan flavour daging selama pemasakan.
Keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus
tertentu (karena beberapa faktor luar) menyebabkan pemilihan anggota panel
Winarno (1994) menjelaskan bahwa warna dapat ditimbulkan karena
reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein dan gula pereduksi,
disamping disebabkan pula oleh warna gula yang digunakan.
Warna pada umumnya dianggap sebagai suatu sifat benda. Akan tetapi ini
benar hanya dalam suatu pengertian terbatas. Suatu benda yang dilihat dalam
gelap tidak mempunyai warna. Untuk mempunyai warna benda harus
memantulkan, menyebarkan dan atau meneruskan energi radiasi yang dapat
dilihat. Maka dari itu warna dari suatu makanan merupakan sifat cahaya dari sifat
makanan tersebut. Makanan yang telah berubah karena pemanasan, pembekuan,
pengeringan atau penggaraman diharapkan akan mempunyai kemampuan untuk
memantulkan, menyebarkan atau meneruskan cahaya. Sehingga warna yang
terlihat oleh mata adalah berkaitan dengan kualitas cahaya yang kita lihat
(Desrosier, 1988). Menurut Soekarta (1990) warna merupakan sifat produk yang
dapat dipandang sebagai sifat fisik (objektif) dan organoleptik (subjektif).
Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi trismulus.
Mioglobin mengalami perubahan pada daging, mungkin karena penurunan pH
postmortem yang cepat. Sitokorm mempunyai pengaruh tak langsung terhadap
warna daging (Soeparno, 1994).
Untuk mengetahui tingkat kesukaan seseorang ataupun panelis dalam
menilai kualitas organoleptik suatu produk masakan, diperlukan sebuah metode
yang bernama uji kesukaan atau disebut juga uji hedonik. Dalam uji hedonik ini,
panelis selain diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
ketidaksukaannya, mereka juga diminta untuk mengemukakan tingkat
disebut dengan skala hedonik. Misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak
suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka
serta netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like no dislike).
Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang
dikehendaki. Ada banyak contoh bentuk skala hedonik dalam uji kesukaan,
contohnya adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Skala hedonik dalam uji kesukaan
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 5
Suka 4
Biasa/netral 3
Tidak suka 2
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2009 di
Laboratorium Pemuliaan Ternak Departemen Peternakan dan Laboratorium
Teknologi Pangan Departemen THP Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan ialah daging angsa, lemak sapi, selongsong sosis
(usus domba/kambing dan plastik), bahan pengikat (susu skim), bahan pengisi
(tepung tapioka), bumbu (garam, gula pasir, bawang merah, bawang putih,
merica, penyedap rasa), minyak makan dan es batu.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah mesin penggiling daging, pisau,
timbangan, blender, baskom, mangkok, sendok, kompor, kuali, sutil, panci atau
dandang, talenan, termometer, refrigerator dan alat tulis
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial (3x2) dengan dua faktor dan empat ulangan.
1. Faktor lemak
L0 = tanpa penambahan lemak
L1 = dengan penambahan lemak 5%
2. Faktor jenis selongsong
S1 = plastik
S2 = usus domba
Adapun model matematik yang digunakan adalah:
Yijk =
μ
+α
i +β
j + (αβ)
ij + ∑ijkDimana:
ijk = data pengamatan dari faktor I pada taraf ke-i dan faktor II
pada taraf ke-j dan ulangan ke-k
μ
= nilai tengah
α
i = efek perlakuan lemak taraf ke-iβ
j = efek perlakuan jenis daging taraf ke-j(
αβ
)
ij = efek interaksi lemak taraf ke-i dan jenis daging taraf ke-j∑ijk = efek galat perlakuan lemak taraf ke-i dan jenis daging taraf
ke-j pada ulangan ke-k
Metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap (RAL)
Metode non parametrik untuk rancangan acak lengkap digunakan pada
parameter organoleptik rasa, aroma dan warna. Dalam metode ini digunakan Uji
Kruskal-Wallis untuk menguji hipotesis sebagai berikut :
H0 : Pengaruh perlakuan semuanya sama besar atau nilai tengah (median)
perlakuan semuanya sama (u1 = u2 = ... = ut).
H1 : Minimal ada satu nilai tengah perlakuan yang tidak sama dengan lainnya.
Adapun model matematik dari metode non parametrik untuk rancangan
H = 1 [ ∑i R2ij - N (N + 1)2
S2 ri 4
]
Dimana :
H = Hipotesis penelitian dari paremeter yang diuji
ri = Banyaknya ulangan pada perlakuan ke-i
N = Banyaknya pengamatan
R2ij = Pangkat (rank) dari pengamatan pada satuan percobaan (ulangan)
ke-j
Ri = Jumlah pangkat dari perlakuan ke-i
S2 = Ragam
(Gaspersz, 1995).
Parameter Penelitian
Parameter penelitian ini terdiri dari kadar air (%), kadar protein (%), kadar
lemak (%), tekstur (mm/g) dan organoleptik (rasa, aroma dan warna).
Prosedur Penelitian
- Daging dicuci bersih, dipisahkan dari tulang dan kulitnya dan dipotong
kecil-kecil
- Ditambahkan es batu secukupnya ke dalam masing-masing jenis daging
dan kemudian digiling dengan penggiling daging
- Ditambahkan lemak sapi ke dalam masing-masing bagian daging giling
sesuai perlakuan
- Garam dan semua bumbu yang telah digiling halus, tepung tapioka,
tepung terigu dan penyedap dicampurkan ke dalam daging giling sampai
- Setelah terbentuk emulsi ditambahkan 50 gr susu skim cair ke dalam
masing-masing jenis daging dan diaduk sampai benar-benar homogen
- Adonan dimasukkan ke dalam selongsong, lalu kemudian dipadatkan
hingga tidak ada gelembung udara, lalu dikukus selama + 15 menit pada
suhu + 65oC. Lalu sosis kembali dikukus pada suhu + 90oC selama + 15
menit.
- Sosis kemudian didinginkan di dalam refrigerator selama 18 jam
- Setelah dikeluarkan dari refrigerator sosis digoreng sampai masak
- Dilakukan analisis kadar air, kadar protein, kadar lemak dan pengujian
tekstur dan organoleptik rasa dan aroma
Analisis Data
Penentuan Kadar Air
Prinsipnya dengan menguapkan air yang ada di dalam bahan dengan jalan
pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti
semua air sudah diuapkan (Sudarmadji dkk., 1989). Penentuan kadar air bahan
dilakukan dengan mencari selisih berat bahan sebelum dioven dengan berat bahan
sesudah dioven dibagi berat bahan awal dikali seratus persen. Dengan rumus:
a – b
Kadar air = x 100%
a
Keterangan:
a = berat awal sampel
Penentuan Kadar Protein
Kadar protein sampel dihitung dengan menentukan jumlah nitrogen dan
dikalikan dengan faktor konversi 6,25. Kadar protein ditetapkan secara mikro
kejdhal dengan rumus:
(b – c) x N x 0,14 x 6,25
Kadar protein = x 100%
a
Keterangan:
a = bobot sampel (g)
b = titrasi blanko NaOH (ml)
c = titrasi sampel NaOH (ml)
N = normalitas NaOH yang digunakan
(Sudarmadji dkk., 1989)
Penentuan Kadar Lemak
Kadar lemak ditentukan dengan menentukan selisih antara berat sampel
kering sebelum diekstraksi dengan berat sampel setelah diekstraksi dibagi berat
sampel awal dikali seratus persen. Dengan rumus:
a – b
Kadar lemak = x 100%
a Keterangan:
a = berat sampel sebelum diekstraksi (g)
b = berat sampel sesudah diekstraksi (g)
Pengujian Tekstur
Tekstur dari setiap sampel ditentukan dengan menusukkan jarum hard
teksturometer pada bagian tengah dan kedua ujungnya, lalu dicari nilai tekstur
rata-ratanya (Slamet dkk., 1984). Nilai tekstur sebenarnya dicari dengan rumus:
150 1 Tekstur = x
x 10
Keterangan:
150 = beban pada alat
x = rataan nilai tekstur
(Sudarmadji, dkk., 1989)
Uji Organoleptik
Pengujian nilai organoleptik rasa dan aroma dilakukan dengan bantuan 15
orang panelis yang terdiri atas orang tua, dewasa dan anak-anak, lalu diambil data
berdasarkan skala hedonik:
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 5
Suka 4
Biasa 3
Kurang suka 2
Tidak suka 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar air pemberian lemak
sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging
angsa. Rataan nilai kadar airnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data rataan persentase kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Dari data yang tercantum pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa rataan
tertinggi kadar air sosis ada pada perlakuan L2S2 (penambahan 10% lemak sapi
dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 57,96% dan rataan terendah ada
pada perlakuan L0S1 (tanpa penambahan lemak sapi dengan selongsong plastik)
yaitu sebesar 52,47%.
Berdasarkan dari Tabel 4 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap
total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Dwikasta kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
S1 S2 Total Rataan
L0 209,87 221,75 431,62 215,81
L1 212,32 226,79 439,11 219,56
Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua
jenis selongsong sosis terhadap kadar air pada pembuatan sosis angsa, dapat
diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis ragam kadar air sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
SK DB JK KT Fhitung
Dari Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh
yang nyata dan selongsong memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata
terhadap kadar air sosis, sedangkan lemak dan interaksi antara lemak dan
selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dapat
dilakukan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf 1% terhadap kualitas tekstur sosis
daging sapi seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Uji BNJ Duncan taraf 1% terhadap kadar air sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
Perlakuan Rataan Notasi
L0S1 52,47 A
Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Jujur pada Taraf 1% (Tabel 7) diperoleh
hasil penelitian terhadap kadar air sosis daging angsa, sehingga diketahui bahwa
kadar air perlakuan L2S2 yaitu sebesar 57,97% berbeda nyata dengan perlakuan
L0S1 yaitu sebesar 52,47 %.
Selongsong atau casing sosis ada dua tipe, yaitu selongsong alami dan
buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran pencernaan hewan ternak.
Menurut Soeparno (1992) selongsong sapi dapat berasal dari oesophagus, usus
kecil, usus besar bagian tengah, caecum, dan kandung kencing, sedangkan
selongsong domba dan kambing normalnya berasal dari usus kecil. Dan menurut
Kramlich (1973) selongsong buatan terdiri atas empat kelompok yaitu sellulosa,
kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan dan plastik.
Dari data tersebut di atas penulis berasumsi bahwa penggunaan
selongsong alami tidak akan menjaga kandungan kadar air sosis. Hal ini dapat
dilihat dari data tersebut bahwa semua perlakuan yang menggunakan selongsong
usus domba mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang
menggunakan selongsong plastik. Sebagaimana Bacus (1984) menyatakan bahwa
selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus
oleh asap dan cairan. Hal ini mengakibatkan ketika tekanan osmotik di dalam
sosis lebih rendah daripada kondisi lingkungan, maka cairan dapat mudah masuk
ke dalam bahan. Dan sebaliknya, bila tekanan osmotik sosis lebih tinggi
dibandingkan lingkungannya, maka kandungan air di dalam bahan akan meresap
keluar. Data juga menunjukkan bahwa kadar air sosis tersebut masih memenuhi
standar, karena menurut SNI kadar air sosis tidak boleh melewati 67%
Kadar Protein
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar protein pemberian
lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis
daging angsa. Rataan nilai kadar proteinnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data rataan persentase kadar protein sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Dari data yang tercantum pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa rataan
tertinggi kadar protein sosis ada pada perlakuan L2S2 (penambahan 10% lemak
sapi dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 31,78% dan rataan terendah
ada pada perlakuan L0S1 (tanpa penambahan Lemak sapi dengan selongsong
plastik) yaitu sebesar 28,94%.
Berdasarkan dari Tabel 8 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap
total ulangan yang dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Dwikasta kadar protein sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
S1 S2 Total Rataan
L0 115,76 119,24 235,00 117,50
L1 118,27 119,60 237,87 118,94
L2 124,24 127,18 251,42 125,71
Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua
jenis selongsong sosis terhadap kadar protein pada pembuatan sosis angsa, dapat
Tabel 10. Hasil analisis ragam kadar protein sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
Dari Tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa perhitungan yang dilakukan
mengahasilkan data F hitung yang lebih kecil dibandingkan F tabel, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa perlakuan, lemak, jenis selongsong dan interaksi antar
perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata atau memberikan pengaruh
yang sama terhadap kadar protein sosis. Selain itu juga dapat dilihat bahwa
seluruh perlakuan menghasilkan sosis yang memiliki kadar protein cukup tinggi,
jauh di atas SNI yang menetapkan bahwa kadar protein sosis tidak boleh kurang
dari 13% (Chatroom.informe.com, 2010).
Menurut asumsi penulis, hal ini dapat terjadi karena tidak adanya
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kandungan protein bahan baik itu menambah
maupun mengurangi. Sebab selongsong sosis baik yang alami yaitu usus dan yang
buatan yaitu plastik tidak mempengaruhi kandungan protein bahan. Sebagaimana
pernyataan Bacus (1984) menyatakan bahwa selama pengolahan sosis, selongsong
alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan cairan, bukan oleh
senyawa-senyawa kompleks seperti protein. Begitu juga dengan penambahan
level lemak, tidak ada perbedaan yang nyata antara kandungan protein sosis yang
ditambahkan lemak maupun yang tidak, hal ini disebabkan karena lemak tidak
citarasa makanan. Hal ini jelas dinyatakan oleh Purwaningsih (2006) yang
menyatakan bahwa disamping untuk kestabilan sosis, penambahan lemak dalam
pembuatan sosis juga untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang
empuk, dan rasa serta aroma yang lebih baik. Oleh karena itulah seberapa
besarpun penambahan lemak yang dilakukan pada suatu bahan makanan, tidak
akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan proteinnya.
Kadar Lemak
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar lemak dari pemberian
lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis
daging angsa seperti terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Data rataan persentase kadar lemak sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis.
Dari data yang tercantum pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa rataan
tertinggi kadar lemak sosis ada pada perlakuan L2S1 (penambahan 10% lemak sapi
dengan selongsong plastik) yaitu sebesar 30,56% dan rataan terendah ada pada
perlakuan L0S2 (tanpa penambahan Lemak sapi dengan selongsong usus domba)
yaitu sebesar 20,44%.
Berdasarkan dari Tabel 11 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap
Tabel 12. Dwikasta kadar lemak sosis daging angsa
S1 S2 Total Rataan
L0 95,74 81,74 177,48 88,74
L1 102,91 93,67 196,58 98,29
L2 122,25 108,39 230,64 115,32
Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua
jenis selongsong sosis terhadap kadar lemak pada pembuatan sosis angsa, dapat
diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis ragam kadar lemak sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
Dari Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa penambahan lemak memberikan
pengaruh yang berbeda sangat nyata sedangkan penggunaan selongsong sosis
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak sosis. Namun
interaksi antara lemak dan selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan maka dapat
dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 1% terhadap kadar lemak sosis
Tabel 14. Uji BNT pada taraf 1% terhadap kadar lemak sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
Perlakuan Rataan Notasi
L0S1 23,93 AB
Ket : Notasi yang sama pada perlakuan yang brebeda menunjukkan hasil yang tidak nyata
Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil pada Taraf 1% (Tabel 14)
diperoleh hasil penelitian terhadap kadar lemak sosis daging angsa, sehingga
diketahui bahwa rataan kadar lemak tertinggi yang terdapat pada perlakuan L2S1
yaitu sebesar 30,56% berbeda nyata dengan rataan kadar lemak terendah yang
terdapat pada perlakuan L0S2 yaitu sebesar 20,43 %.
Dari data tersebut, penulis berasumsi bahwa perlakuan penambahan level
lemak ke dalam sosis sangat berpengaruh nyata terhadap kandungan lemak sosis
itu sendiri. Hal ini dapat dengan mudah kita pahami bahwa semakin banyak lemak
yang kita tambahkan ke dalam suatu bahan makanan, maka kandungan lemak
bahan makanan tersebut juga akan bertambah. Penambahan lemak ke dalam sosis
bertujuan untuk menghasilkan sosis yang memiliki kualitas yang baik.
Sebagaimana pernyataan Purwaningsih (2006) yang menyatakan bahwa
disamping untuk kestabilan sosis, penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga
untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, dan rasa serta
aroma yang lebih baik.
Meskipun demikian, penambahan lemak tidak dapat dilakukan secara
berlebihan, sebab menurut Purwaningsih (2006) penambahan lemak ke dalam
sosis hanya berkisar antara 5-25% saja. Sedangkan menurut Meat Inspection
30%. Dan bila kita lihat hasil penelitian di atas, hanya perlakuan L2S2 saja yang
memiliki kadar lemak sedikit di atas batas persyaratan sosis masak yang baik,
yaitu sebesar 30,56%. Namun bila kita menggunakan SNI, maka penambahan
lemak sebesar 10% pada sosis angsa sangat tidak dianjurkan, karena akan
menghasilkan kadar lemak lebih dari standar maksimum yaitu 25% .
Tekstur
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai tekstur pemberian lemak sapi
dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis daging angsa.
Rataan nilai teksturnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Data nilai tekstur sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis (g/mm3).
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4
L0S1 45,33 39,00 39,00 38,67 162,00 40,50
L0S2 88,67 43,33 37,33 45,33 214,66 53,66
L1S1 45,00 31,67 23,67 19,00 119,34 29,84
L1S2 85,00 74,33 87,33 90,79 337,45 84,36
L2S1 31,67 26,67 23,33 30,33 112,00 28,00
L2S2 69,67 68,67 53,67 86,67 278,68 69,67
Dari data yang tercantum pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa rataan
tertingi tekstur sosis tertinggi ada pada perlakuan L1S2 (penambahan 5% lemak
sapi dengan selongsong usus domba) yaitu sebesar 84,36 g/mm3 dan rataan
terendah ada pada perlakuan L2S1 (penambahan 10% lemak sapi dengan
selongsong plastik) yaitu sebesar 28,00 g/mm3.
Berdasarkan dari Tabel 15 maka dapat dibuat tabulasi dwikasta dari setiap
Tabel 16. Dwikasta nilai tekstur sosis daging angsa dengan penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
S1 S2 Total Rataan
L0 162.00 214.66 376.66 188.33
L1 119.34 336.66 456.00 228.00
L2 112.00 278.68 390.68 195.34
Untuk mengetahui pengaruh penambahan lemak sapi dan penggunaan dua
jenis selongsong sosis terhadap nilai tekstur pada pembuatan sosis angsa, dapat
diketahui dengan melakukan analisis ragam yang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil analisis ragam nilai tekstur sosis daging angsa taraf penambahan lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat bahwa perlakuan dan selongsong
memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata. Sedangkan lemak dan interaksi
antara lemak dan selongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Untuk melihat perbedaan dari masing – masing perlakuan maka dapat
dilakukan Uji Duncan pada taraf 1% terhadap kualitas tekstur sosis daging sapi
Tabel 18. Uji Duncan pada taraf 1% terhadap nilai tekstur sosis daging angsa
Perlakuan Rataan Notasi
L0S1 28,000 A
Ket : Notasi yang sama pada perlakuan yang brebeda menunjukkan hasil yang tidak nyata
Berdasarkan hasil Uji Duncan pada Taraf 1% (Tabel 18) diperoleh hasil
penelitian terhadap nilai tekstur sosis daging angsa, sehingga diketahui bahwa
rataan nilai tekstur tertinggi yang terdapat pada perlakuan L2S2 yaitu
84,165 g/mm3 berbeda nyata dengan perlakuan L0S2, L2S1, L1S1 dan rataan tekstur
terendah yang terdapat pada perlakuan L0S1 yaitu 28,0 g/mm3.
Bila kita melihat data pada tabel di atas, kita akan mengetahui dengan jelas
bahwa semua perlakuan yang manggunakan selongsong usus memiliki nilai
tekstur yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan
selongsong plastik. Sedangkan bila kita melihat nilai tekstur berdasarkan
perlakuan lemak, maka hasil yang ditunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan selongsong lebih berperan dalam menentukan
nilai tekstur sosis.
Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh kadar air. Sebagaimana kita
ketahui bahwa penggunaan selongsong alami seperti usus domba dapat
menyebabkan perembesan air keluar dari sosis, sebagaimana Bacus (1984)
menyatakan bahwa selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan
basah mudah ditembus oleh asap dan cairan. Sehingga dengan berkurangnya
kadar air di dalam sosis akan mengakibatkan tekstur sosis menjadi lebih keras.
hal yang mempengaruhi tekstur bahan pangan seperti rasio kandungan lemak,
protein, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air.
Organoleptik
a. Rasa
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai organoleptik rasa pemberian
lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis
daging angsa. Rataan nilainya dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Data nilai organoleptik rasa sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis
Perlakuan
Ulangan
1 2 3 4
L0S1 1 4 3 3
L0S2 3 4 4 3
L1S1 3 5 3 4
L1S2 5 3 4 4
L2S1 2 5 3 3
L2S2 3 4 3 4
Ket : Nilai 1 = Tidak Suka
Ket : Nilai 2 = Kurang Suka
Ket : Nilai 3 = Biasa
Nilai 4 = Suka
Ket : Nilai 5 = Sangat Suka
Melalui cara pemberian pangkat (rank) pada nilai rasa sosis pada Tabel 19
(Lampiran 25), maka data penelitian rasa sosis daging angsa setelah diberi
pangkat dapat dilihat pada Tabel 20.
Perlakuan Median Total
Dari data organoleptik rasa setelah diberi pangkat pada Tabel 20 diperoleh
median tertinggi pada perlakuan L1S2 sebesar 66,00 dan nilai tengah terendah
terdapat pada perlakuan L0S1 sebesar34,50.
Untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan terhadap rasa sosis
daging angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong
maka dapat dilakukan Uji Kruskal – Wallis seperti pada Tabel 21.
Tabel 21. Uji Kruskal – Wallis data organoleptik rasa sosis daging sapi
SK DB ∑Median ∑Median/Ulangan S2 H X2α, t – 1
Perlakuan 5 4893,84 4122,34 49,73 7,49tn 15,10
Ket : tn = Tidak Berbeda Nyata
Berdasarkan Uji Kruskal – Wallis dari data organoleptik rasa sosis daging
angsa dengan penambahan lemak dan penggunaan dua jenis selongsong sosis
diperoleh hipotesis sebesar 7,49. Karena hipotesis lebih kecil daripada nilai
khi-kuadrat dengan derajat 11 pada Taraf 1% yaitu 15,10 (H ≤ X2α, t – 1) maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa penambahan lemak dan penggunaan jenis selongsong
sosis memberikan pengaruh yang sama terhadap rasa sosis daging angsa.
Data dan perhitungan tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa sosis, walaupun nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan L1S2 yaitu sebesar 66,80 dan terendah pada perlakuan
memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Hal ini dapat terjadi karena
semua panelis pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda tidak
nyata. Moehyi (1992) menyatakan bahwa komponen yang berperan di dalam
penentuan kelezatan makanan adalah aroma, bumbu masak, keempukan,
kerenyahan, serta tingkat pemasakan dan suhu makanan. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa semua perlakuan menghasilkan aroma, kelezatan dan
keempukan yang relatif sama.
b. Aroma
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai organoleptik aroma pemberian
lemak sapi dan penggunaan dua jenis selongsong sosis terhadap kualitas sosis
daging angsa. Rataan nilainya dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Data nilai organoleptik aroma sosis daging angsa dengan penambahan level lemak sapi dari dua jenis selongsong sosis
Perlakuan
Melalui cara pemberian pangkat (rank) pada nilai aroma sosis dari Tabel
22 (Lampiran 30), maka data penelitian aroma sosis daging angsa dapat dilihat