Sikap Terhadap Penerapan Hukuman
Cambuk Pada Masyarakat Aceh
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan sarjana Psikologi
Oleh:
AHMAD AFANDI
031301085
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah menjadikan
Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
mereka. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan
ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian
melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut
hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian
diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom
bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang
artinya, Hukum Adat di tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam.
Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat islam dalam
kehidupan sehari-hari (Perda No 5, 2000).
Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Aceh adalah termasuk ke dalam
lima kerajaan yang terbesar di dunia Islam pada abad ke 16-17. Dari Aceh, Islam
berkembang ke seluruh nusantara, bahkan kehebatan Islamnya tersebar sampai ke
pelosok dunia lain. Dulu, kerajaan Aceh telah menerapkan syariat Islam baik di
dalam sistem pemerintahannya maupun di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat biasa. Tidak ada seorang pun yang menggugat pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Juga tidak ada pertentangan-pertentagan antara yang pro dan yang
kontra. Seakan-akan seluruh masyarakat Aceh dilahirkan dalam keadaan
membantah. Jangankan untuk rakyat jelata, untuk raja saja tetap berlaku syariat
Islam. Hal ini dapat dilihat manakala raja Iskandar Muda mengeluarkan keputusan
untuk merajam mati anak lelaki tunggalnya karena telah didapati berzina. Padahal
setelah anak lelakinya itu meninggal, tidak ada keturunan dari sang raja untuk
meneruskan tahtanya di kemudian hari kelak. Namun, demi menjalankan syariat
Islam, anak sendiripun wajib dihukum. Dari sini jelas nampak bahwa syariat
Islam telah terpatri sampai di lubuk hati masyarakat Aceh, mulai dari raja sampai
rakyat jelata tanpa kecuali. Dan dengan syariat Islam pula Aceh dulu telah
terkenal serta disegani oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia (Zulhelmi, 2007).
Menurut Ismail, (2002) Adat aceh sebagai aspek budaya, tidak identik
dalam pemahaman “budaya” pada umumnya, karena bersumber dari agama atau
syariat yang menjiwai kreasi budayanya. “adat ngon agama lagei zat ngon sifeut”
yang artinya adat dan agama bagaikan zat dan sifat. Roh islami ini telah menjiwai
dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang
pada akhirnya menjadi patron landasan budaya Aceh yang ideal.
Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang
penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001, salah satu
undang-undang yang telah diterapkan dalam masyarakat adalah pelaksanaan
Syariat Islam yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001. Bertujuan
melaksanaan dan mengembangkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
(Djalil, 2003).
Penerapan Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah merupakan fenomena
berkaitan dengan kesiapan pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
masyarakatnya secara keseluruhan dalam menerima dan melaksanakan Syariat
Islam secara menyeluruh (kaffah) (Djalil, 2003).
Secara umum, penerapan syariat Islam di Aceh menimbulkan perdebatan
di berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga permasalahan yang dipandang paling
mencolok. Pertama, masalah yang menyangkut kehendak politik (political will)
pemerintah daerah mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua,
implementasi syariat Islam masih terkesan kurang maksimal, diskriminatif, tidak
adil, dan bias. Terakhir, adanya dualisme dasar hukum antara hukum positif dan
hukum syariat (Keumala, 2006).
Pemerintah melalui undang undang nomor 13 tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 13 menjelaskan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang untuk Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
ditetapkan dengan peraturan daerah (Qanun) (Fasya, 2006)
Pelaksanaan peraturan daerah (qanun) itu tidak lepas dari kontroversi.
Masyarakat dan kalangan praktisi hukum menanggapi pro kontra. Beberapa alasan
yang mendasarinya antara lain; pelaksanaan peraturan daerah (qanun) tersebut
dinilai diskriminatif, hanya membidik masyarakat kecil. Selain itu, ada yang
menganggap seharusnya peraturan daerah (qanun) tentang korupsi diberlakukan
lebih dulu karena paling merugikan rakyat banyak dibandingkan dengan qanun
tentang perjudian (maisir) (Elsam, 2005).
Pada tanggal 9 Juni 2005 pelaksanaan hukuman cambuk (hukuman badan :
Aqubat) terhadap kejahatan syariah Islam berdasarkan Qanun No 13 tahun 2003
cambuk bagi pelanggaran syariat Islam (Peraturan Gubernur Aceh No 10 tahun
2005) oleh pelaksana tugas Gubernur NAD, Azwar Abubakar (Elsam, 2005)
Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah (qanun), tetapi dalam
implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai rujukan.
Kabupaten Bireuen tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun
Nomor 13/2003 tentang perjudian (maisir). Belasan warga yang didakwa
melanggar syariat Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen
dengan disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan
dari barbagai media (Keumala, 2006).
Masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan dramatis hukuman cambuk atas 15
orang yang terbukti berjudi. Para penjudi tersebut dicambuk 6-10 kali oleh
Mahkamah Syariah di halaman Masjid Jamik Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Mereka tertangkap basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus
ribu rupiah. Tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun
Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang perjudian (maisir). Dalam qanun
disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian (maisir), dan yang
melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali. Kini, ada
tiga qanun khusus syariat Islam di Aceh, yakni tentang perjudian, minuman keras,
dan zina (Rumadi, 2005)
Penerapan hukuman cambuk ini merupakan yang pertama kali
dilaksanakan di Indonesia ini merupakan impelementasi dari pemberlakuan
Undang-undang Syariat Islam di NAD. Ini sesuai dengan Peraturan Gubernur
(Pergub) Aceh No 10/2005 tentang Petunjuk Teknis Hukum Cambuk bagi
sebagai pengganti perda (qanun) untuk melaksanakan Syariat Islam sesuai dengan
UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 18/2001 tentang Otonomi
Khusus (Hanafiah, 2006).
Hukum cambuk yang dilaksanakan di Bireuen itu merupakan sejarah baru
bagi Provinsi Aceh dalam melaksanakan Syariat Islam. Cambuk dianggap jenis
hukum produk Tuhan yang bernilai sakral ketika diterapkan. Cambuk dipandang
sebagai hukum Islam yang otentik, dan diyakini akan efektif menyelesaikan
berbagai problem sosial. Jenis hukuman lain seperti penjara, bukan saja dianggap
kreasi manusia, tapi juga dipandang sebagai produk sistem hukum sekuler yang
mengandung ideologi Barat (Rumadi, 2005).
Meski cambuk sering diidentifikasi sebagai hukum primitif karena
menyakiti secara fisik, namun sanksi ini masih dipraktikkan di beberapa negara
seperti Malaysia, Pakistan, dan Iran. Di Malaysia, ketentuan cambuk setidaknya
terdapat dalam empat undang-undang jinayat, yaitu Undang-undang Pidana
(F.M.S. Cap. 45), Undang-undang Persenjataan 1960 (Akta 206), Senjata Api
(hukuman tambahan Akta 1971), dan Ordonansi Obat-obat Berbahaya 1952.
Dalam hukum pidana, soal cambuk terdapat dalam 35 seksi, yang sebagian besar
merupakan hukuman tambahan untuk penahanan dan alternatif untuk sebuah
denda (Rumadi, 2005).
Pelaksanaan hukum cambuk ini mendapatkan berbagai respon. Sebagian
besar umat Islam, khususnya masyarakat Aceh, menyambut hangat pelaksanaan
hukuman ini. Harapannya hukuman tersebut dapat menekan tindak kriminal yang
hanya bagi orang-orang kecil, supaya ketenteraman sosial bisa terjamin
(Kurniawan,2005).
Para pejabat Aceh menganggap pelaksanaan cambuk tersebut sebagai
prestasi hukum luar biasa dalam penerapan syariat Islam. Sambutan Pelaksana
Tugas Gubernur NAD, Azwar Abu Bakar, sebelum eksekusi cambuk
menunjukkan hal itu.
“Hari ini kami mengukir sejarah baru di bidang hukum dengan melaksanakan hukum cambuk yang pertama di NAD dan Indonesia. Kami berharap daerah lain di NAD bisa mengikuti prosesi yang monumental ini agar kemaksiatan bisa hilang dari Serambi Mekah,”(Rumadi, 2005).
Alfaruqi (2000) mengatakan diberlakukannya syariat Islam atau hukum
Islam, termasuk di dalamnya cambuk, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
melindungi kepentingan umum (maslahat al ammah). Kalau hukum Islam dalam
beberapa bentuk dinilai tidak manusiawi dan kejam, hal itu tidak lebih karena
untuk melindungi yang manusiawi dan anti kekejaman. Berdasarkan hal ini,
beratnya hukuman, baik secara meteriil maupun sosial dalam Islam pada dasarnya
bukan semata-mata untuk menanamkan ketakutan, tetapi lebih dari itu, untuk
menanamkan sikap jera pada pelaku. Sebab dalam Islam, mencegah terjadinya
suatu keburukan itu lebih didahulukan dan diutamakan agar tidak terjadi
kerusakan yang lebih besar.
Charita (2005) mengatakan Sebenarnya hukuman cambuk ini tidak perlu
dipertanyakan kemanusiawiannya asalkan dilakukan dengan tata cara yang benar.
Enam hingga delapan kali cambukan memang menyakitkan, tapi tetaplah
merupakan luka fisik yang mudah disembuhkan. Apalagi sebelum dicambuk si
mempertontonkan hukuman, maka perlakuan hormat terhadap si terhukum akan
mengurangi ketidakmanusiawian itu. kalau kita masih memandang hukuman itu
sekedar sebagai punishment ( balasan setimpal bagi kesalahannya), maka
mempertontonkan hukuman itu akan kita lihat sebagai sekedar mempermalukan si
terhukum, menambahi hukuman fisiknya dengan hukuman psikis berupa rasa
malu. Namun jika kita mau memandang dari sisi yang lain, bahwa hukuman itu
juga reinforcer negatif bagi orang yang tidak melakukan (konsekuensi tidak enak
yang membuatnya menghindar dari melakukan sesuatu), maka sebenarnya acara
hukuman ini memiliki tempat terhormat sebagai lahan kita belajar.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Dr Muslih Ibrahim,
MA. Mengatakan hukuman cambuk yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada
ketentuan yang tertuang dalam qanun (Peraturan Daerah),
"Saya sudah berkonsultasi dengan seorang wanita Jerman yang membuat UU HAM PBB. Ia menyatakan bahwa hukuman cambuk tidak melanggar HAM, karena memang sudah diatur dalam qanun," Ketika penerapan syariat Islam diberlakukan di Provinsi Aceh, banyak kalangan terutama negara-negara barat, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mempertanyakan masalah hukuman cambuk yang dinilai melanggar HAM. Tapi, setelah dijelaskan permasalahnnya, akhirnya mereka menerima, karena hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh ada peraturannya, yaitu qanun, yang sudah disepakati oleh eksekutif dan legislatif yang merupakan lembaga negara. "Hukuman cambuk yang diberlakukan di Aceh bukan sembarangan, tapi berdasarkan peraturan yang sah. Jadi, setelah kita jelaskan persoalannya, maka orang-orang barat itu memahami, bahkan mereka menyatakan hukuman cambuk itu tidak melanggar HAM," (Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi NAD, 2007).
Sebaliknya, beberapa kalangan lainnya memberikan respon negatif.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), misalnya, menolak eksekusi
tersebut akan menimbulkan penderitaan besar, bukan saja luka fisik melainkan
juga trauma psikologis bagi terpidana dan keluarganya. ELSAM juga menuntut
agar Komnas HAM segera memantau usaha penegakan hak asasi manusia pada
kasus ini dan segera mengeluarkan rekomendasi untuk menolak praktik hukuman
cambuk (Kurniawan, 2006).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) juga menyatakan
menolak dilakukannya eksekusi cambuk terhadap para pelaku yang didasarkan
kepada Undang-undang No 18 tahun 2001, Undang-undang No 44 tahun 1999 dan
Qanun No 13 tahun 2003. Rencana ekekusi hukuman tersebut menurut ELSAM
merupakan langkah mundur dari penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Hukuman cambuk ini merupakan hukuman yang masuk kategori perlakuan atau
hukuman lain yang kejam tidak masnusiawi dan perbuatan yang merendahkan
martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi
nasional maupun konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi
Manusia (Ahmada, 2005).
Aldin (2005) mengatakan penerapan hukum cambuk belum tepat
diberlakukan sekarang. Dia beralasan sosialiasasi hukum cambuk terhadap pemain
judi masih kurang dilakukan karena itu belum saatnya dilakukan sekarang.
“Sebenarnya terjadi penolakan terhadap hukum cambuk pada masyarakat yang dapat dilihat dari setengah hati warga menjalankan syariat Islam,”.
Semestinya, sosialisasi harus lebih gencar dilakukan sehingga warga
mengetahui. Dengan demikian, jangankan hukum cambuk, hukum gantung pun
Selanjutnya Aldin (2005) juga mengatakan apakah hukum cambuk ini
hanya berlaku kepada warga sipil saja yang lemah. Bagaimana aparat yang main
judi, apakah mereka menggunakan peradilan militer atau peradilan syariah ?.
Penerapan sanksi cambuk pada rakyat kecil dinilai hanya sekadar cara mencari
sensasi karena problem Aceh bukan terletak pada masyarakat, tapi pada aparat
pemerintah. Masyarakat kecil yang dicambuk merasa dirinya sekadar kelinci
percobaan para pejabat yang ingin mendapat keuntungan tertentu dari sanksi itu.
Pejabat Pemerintah NAD tentu ingin menanam investasi politik agar tercatat
sebagai pejuang hukum Islam. Para penjudi dengan barang bukti lima puluh ribu
rupiah dihukum cambuk, sementara para koruptor bebas berkeliaran tanpa
hukuman. Demi keadilan, para koruptor inilah yang lebih patut dicambuk pertama
kali.
Permasalahan-permasalahan mengenai kontroversi pelaksanaan hukuman
cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatas tergambar dari hasil
wawancara terhadap beberapa warga Aceh sebagaimana dikutip dibawah ini.
Wawancara pertama peneliti lakukan terhadap seorang warga Aceh yang
berprofesi sebagai aktifis LSM Save the Children.
"Kalau ketentuan sebuah hukum sudah diterima oleh masyarakat, tokoh dan semua elemen di tempat setempat, maka tak ada masalah pelaksanaan hukuman itu ditegakkan. Namun selama ini yang sering menolak itu kan orang luar. " (Komunikasi personal, Mei 2008)
Subjek berikutnya yang diwawancara oleh peneliti adalah salah seorang
tokoh masyarakat Aceh yang berdomisili di kota Banda Aceh :
hari ini harus ditunjukkan sebenarnya bagaimana sih Islam yang penuh damai, yang penuh cinta, dan penuh kasih dan seperti itu. Tapi kalau memang terus menerus yang dimunculkan adalah berbagai bentuk hukuman atau simbol-simbol yang menggambarkan kekerasan, akhirnya kan orang menilai dari segi negatif. Ketika kita mengatakan tidak setuju, ya ada konsekuensinya bahwa ini kan ada soal anda dianggap sebagai muslim yang baik atau tidak baik.” (komunikasi personal, mei 2008).
Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, pada penelitian ini.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan
hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.
I.B. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini :
1. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap penerapan hukuman cambuk
pada masyarakat Aceh.
2. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada
masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan.
3. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada
masyarakat Aceh dilihat dari pengalaman pribadi menyaksikan
4. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada
masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.
5. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada
masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sikap
I.D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil,
diantaranya, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dalam penelitian ini dapat membantu mengembangkan ilmu
psikologi khususnya psikologi sosial dan bidang lainnya dalam aplikasinya dan
memberikan sumbangsih karya ilmiah yang berhubungan dengan gambaran sikap
terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh
2. Manfaat Praktis
Penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai :
1. Sebagai masukan bagi pihak pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dalam hal ini Dinas syariat Islam tentang bagaimana
gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat
Aceh. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan dalam
penerapan Syariat Islam.
2. Sebagai masukan bagi pihak majelis adat Aceh, pengamat sosial, dan
Wilayatul Hisbah tentang bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan
hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.
3. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat aceh sehingga dapat
mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap
penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.
I. D. Sistematika Penulisan.
Penelitian ini dibagi atas tiga bab dan masing-masing bab dibagi atas
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang
mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini menceritakan tentang metode kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian yang meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional,
populasi, dan metode pengambilan sampel, instrumen/ alat ukur yang digunakan,
BAB II
LANDASAN TEORI II. A. SIKAP
II.A.1. Definisi Sikap
Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah
kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial.
Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta
bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu
terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004)
Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu
tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi,
membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan
kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi,
bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh
ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa
yang sedang kita hadapi saat ini (Azwar, 2005).
Morgan (dalam Sukadji, 1993) menyatakan sikap adalah suatu evaluasi,
yang merupakan predisposisi perolehan belajar. Predisposisi mengarahkan prilaku
yang evaluatif yang konsisten terhadap orang, sekelompok orang, suatu objek,
atau sekelompok objek. Pernyataan evaluatif dapat bermacam-macam, seperti
senang-tidak senang, pro-anti, setuju-tidak setuju, positif-negatif, dan sebagainya.
Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka
pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan
untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga skema
triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Berdasarkan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap
adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk
bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan
konatif yang saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku
terhadap suatu objek.
II.A.2. Komponen Sikap
Sikap dibagi menjadi tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif.
Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Komponen
afektif, adalah komponen yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak
senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen sikap
yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan
objek sikap (dalam Azwar, 2005).
Mann (dalam Azwar, 2005) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi
persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini),
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan
paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.
Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau
bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
II.A.3 Ciri- Ciri Sikap
Walgito (1989) mengatakan sikap mempunyai ciri-ciri yang berbeda
dengan faktor pendorong yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memiliki objek.
Objek sikap dapat berupa konsep abstrak seperti situasi, merk, maupun
konsep abstrak seperti produk,kelompok atau individu. Sikap itu selain bertujuan
pada suatu objek juga dapat pada sekumpulan objek.
2. Memiliki arah tertentu.
Sikap seseorang menunjukkan bagaimana seseorang menangani suatu
objek sikap yang dinyatakan dengan menyetujui atau tidak, suka atau tidak suka,
sejauh mana tingkat ketidaksukaan dan sejauh mana tingkat keyakinannya.
3. Memiliki struktur.
Sikap tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan bentuk-bentuk
mekanisme psikologis yang lain, sehingga berbentuk suatu kesatuan psikologis
yang kompleks, akibatnya sikap memiliki sifat stabil, konstan dan membentuk
generalisasi.
4. Sikap merupakan hasil belajar.
Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi individu memperolaehnya melalui
pengalaman nyata seperti informasi dari teman, media massa, dan penjual. Sikap
II.A.4. Karakteristik Sikap.
Sax (1980) menjelaskan beberapa karakteristik sikap yaitu:
1. Arah.
Sikap terpilah pada dua arah kesetujuan, yaitu setuju atau tidak setuju,
apakah mendukung atau tidak mendukung terhadap sesuatu atau seseorang
sebagai objek.
2. Intensitas.
Kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu. Sua orang yang sama
tidak sukanya terhadap sesuatu, yaitu sama-sama memiliki sikap yang berarah
negatif belum tentu memiliki sikap negatif yang sama intensitasnya.
3. Keleluasan.
Kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap suatu objek sikap dapat
mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula
mencakup banyak sekali aspek yang sama pada objek sikap.
4. Konsistensi.
Kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya
terhadap objek sikap termaksud.
5. Spontanitas
Menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya
secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat
dinyatakan secara trebuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan
terlebih dahulu agar individu dapat mengemukakannya.
Azwar (2005) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap
yaitu :
1. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang dialami kita alami akan membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimullus sosial.
2. Kebudayaan
Kebudayaan Dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita.
3. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhib sikap kita.
4. Media massa.
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama.
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
6. Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk Mekanisme
pertahanan ego.
II.A.6. Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap
dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap tertentu.
Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu
yang satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya
(Azwar, 2005).
II.A.7. Perubahan Sikap
Proses perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau
pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap ke arah
yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman
mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
proses perubahan sikap.
Kelman (dalam Azwar, 2005) menunjukkan bagaimana sikap dapat
berubah melaui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi.
Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau
dari kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperoleh reaksi atau
tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi terjadi saat individu meniru
perilaku atau sikap seseorang atau sikap sekelompok lain dikarenakan sikap
tersebut sesuai dengan apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan yang
saat individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu
dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai
dengan sisterm nilai yang dianutnya.
Kelman (dalam Azwar, 2005) selanjutnya mengatakan bahwa proses mana
yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut banyak bergantung pada sumber
kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan
masing-masing proses terjadinya pegaruh, dan implikasinya terhadap permanensi
perubahan sikap.
II.A.8. Fungsi Sikap
Baron (2004) mengatakan; Pertama, sikap berfungsi sebagai skema
kerangka kerja mental yang membantu individu untuk menginterpretasi dan
memproses berbagai jenis informasi. Kedua, sikap memiliki fungsi harga diri
(self-esteem function) yang membantu individu mempertahankan atau
meningkatkan perasaan harga diri. Ketiga, sikap berfungsi sebagai motivasi untuk
menimbulkan kekaguman atau motivasi impresi (impression motivation function).
Menurut Kartz (dalam walgito, 2002), sikap mempunyai empat fungsi:
1. Fungsi instrumental, fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana-tujuan-sikap merupakan sarana untuk
mencapai tujuan.individu memandang sejauh mana objek sikap dapat digunakan
sebagai sarana atau sebagai alat dalam rangka pencapaian tujuan. Bila objek sikap
dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersifat
positif terhadap objek tersebut, sebaliknya bila objek sikap dalam pencapaian
tujuan,maka individu akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Karena
sikap bermanfaat dalam rangka pencapaian tujuan. Fungsi ini disebut juga fungsi
penyesuaian, karena dengan sikap yang diambil,seseorang dapat menyesuaikan
diri dengan cara yang baik terhadap sekitarnya.
2. Fungsi pertahanan Ego.
Merupakan sikap yang diambil seseorang demi memppertahankan ego
atau akunya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada saat orang tersebut terancam
keadaan dirinya atau egonya. Demi mempertahankan egonya, orang yang
bersangkutan mengambil sikap tertentu.
3. Fungsi ekspresi nilai.
Sikap yang ada pada seseorang merupakan jalan bagi individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri
seseorang akan mendapat kepuasan, dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan
individu mengambil sikap tertentu terhadap nilai tertentu. Ini menggambarkan
keadaan sistem nilai yang ada pada diri individu dapat dilihat dari sikap yang
diambil oleh individu yang bersangkutan terhadap nilai tersebut.
4. Fungsi pengetahuan.
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan
pengalama-pengalaman memperoleh pengetahuan. Elemen-elemen dari pengalamnnya yang
tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali
atau dirubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila
seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang
pengetahuan orang tersebut terhadap sikap yang bersangkutan.
Hukuman cambuk merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk atau
pemukul terbuat dari rotan berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, dengan panjang 1
meter. Pemukul tidak mempunyai ujung ganda dan pada pangkalnya ada tempat
pegangan. Untuk terpidana pria akan dicambuk dalam posisi berdiri, sementara
terpidana wanita dicambuk dalam posisi duduk. Pelaksanaan hukuman cambuk ini
merupakan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebagaimana yang diatur dalam
undang undang nomor 13 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional pasal 13. Di jelaskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dengan Qanun
(Mahkamah syari’ah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003).
Pada masa awal Islam, cambuk menjadi bentuk hukum pidana ta’zîr
(ketentuan hukum yang ditetapkan penguasa), namun para ulama berbeda
pendapat soal jumlah cambukan. Menurut Abu Hanifah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, hukum cambuk untuk pidana ta’zir tidak boleh melebihi sanksi paling
rendah dalam hudûd (tindak pidana yang batasan hukumannya sudah ditentukan
Alquran atau hadis), yaitu 40 kali bagi peminum khamr. Menurut Abu Yusuf,
sanksi cambuk pidana ta’zir tidak boleh melewati 75 kali. Menurut Malikiyah,
tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir dan sepenuhnya terserah imam
(pemerintah/pembuat qanun/pengadilan), sehingga imam bisa menetapkan ta’zir
di bawah, setara, atau melebihi sanksi hudûd (Rumadi, 2005).
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam batasan penetapan jumlah
hukuman cambuk diatur dalam peraturan Daerah (Qanun) Propinsi NAD Nomor
13 Tahun 2004 tentang perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan zina
(maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat) Bagi yang melanggar
diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali (Rumadi, 2005).
II.C. Masyarakat Aceh
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain) yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau
semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu
yang berada dalam kelompok tersebut (Bintarto, 2008).
Masyarakat Aceh adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang
Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu yang sangat berbeda
dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang pluralistis dan “terbuka memiliki hubungan kekerabatan yang
telah terbina sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Aceh tunduk dan taat
kepada Islam serta memperhatikan fatwa ulama.
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suatu wilayah
Pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, saat ini terdiri atas 16
(enam belas) Pemerintahan Kabupaten yaitu kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun,
AcehUtara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat
Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil Aceh Tenggara Dan Gayo Lues. Dan 4 (empat)
Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh, Sabang, Lhoksumawe
dan Langsa.
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam didiami secara turun temurun oleh
suku Aceh, Suku Gayao, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku
Kluet,Suku Seumelu dan Suku Singkil serta Suku Lainnya. Suku Aceh dan suku
meliputi bahasa, adat istiadat dan corak kesenian tersendiri yang tidak terlepas
dari nilai-nilai ajaran agama Islam yang dianut (Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
karena penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap terhadap
pemberlakuan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Menurut Azwar (1998)
penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan
akurat, fakta dan karakteristik mengenai sample atau mengenai bidang tertentu.
Penelitian ini berusaha menggambarkan gambaran sikap terhadap
pemberlakuan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Data yang dikumpulkan
hanya bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji
hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.
III. A. Identifikasi variabel penelitian
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sikap terhadap
penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.
III.B. Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan suatu defenisi mengenai variabel yang
dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati
(Azwar, 2000).
III.B.1. Denisi Operasional Sikap
Definisi operasional dari sikap adalah sebuah kecendrungan untuk
bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada
evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi
tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang
yang disusun berdasarkan komponen-komponen sikap yang dikemukakan oleh
azwar (2005).
Aitem pernyataan skala sikap dibuat dalam bentuk skala Likert. Item
terdiri dari pernyataan dengan 4 (empat) pilihan jawaban yaitu : sangat sesuai
(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skala digunakan
dalam bentuk pernyataan fovourable (mendukung) dan pernyataan unfavourable
(tidak mendukung).
III.B. 2. Definisi operasional Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk atau
pemukul terbuat dari rotan berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, dengan panjang 1
meter. Pelaksanaan hukuman cambuk ini merupakan pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh sebagaimana yang diatur dalam peraturan Daerah (Qanun) Propinsi NAD
Nomor 13 Tahun 2004 tentang perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan
zina (khalwat). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan
perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat). Bagi yang
melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali.
III. B. 3. Definisi operasional Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang
Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu yang sangat berbeda
dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang pluralistis dan terbuka memiliki hubungan kekerabatan yang
telah terbina sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Aceh tunduk dan taat
kepada Islam serta memperhatikan fatwa ulama dan melaksanakan penerapan
Skor total yang diperoleh merupakan gambaran sikap terhadap penerapan
hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.
III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel
Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan
salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah objek, gejala
atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu untuk siapa
kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu hendak digeneralisasikan.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Aceh Sedangkan sampel
merupakan sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya
kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang
sama (Hadi, 2000).
III.C.1.Karakteristik Populasi
Menurut Azwar (2000) subjek penelitian adalah sumber utama data
penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti.
Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik :
1. Masyarakat Aceh
Pemilihan masyarakat Aceh adalah karena masyarakat Aceh, dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undang- undang Nomor 22 Tahun
1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh
dan UU Nomor 18 Tahun 2001, menerapkan pelaksanaan Syariat Islam yang
diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001 Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(Djalil, 2003).
Pertimbangan ini dilakukan karena lembaga pendidikan sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu (Azwar, 2005).
3. Pengalaman pribadi
Penentuan karakteristik menurut pengalaman pribadi dilakukan karena
menurut Azwar (2005) pengalaman pribadi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi sikap. Apa yang telah dan sedang dialami individu akan
membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus
sosial.
III. C. 2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (dalam Hasan,
2002) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta itu. Teknik
Sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi
dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan
memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar benar-benar mewakili
populasi (Hasan, 2002).
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Teknik
probability, dalam teknik probability setiap unsur (anggota) populasi diberikan
peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik probability
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Random Berkelompok
(Cluster Sampling), dimana pemilihan sekelompok sampel dilakukan terhadap
sampling unit, dimana sampling unitnya terdiri dari satu kelompok (cluster).
Dalam cluster sample satuan sampel tidak terdiri dari individu-individu,
sampling merupakan pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang
bulu, dimana dalam cluster random sampling semua kelas dalam populasi baik
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel (Hadi, 2000).
III.C.3. Jumlah Sampel Penelitian
Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus
digunakan dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2000), secara tradisional
statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah
cukup banyak. Hadi (2000) menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang
banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Penelitian ini
menggunakan sampel sebanyak 200 orang.
III. D. Alat Ukur Yang Digunakan
Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian
yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti
(Hadi, 2000). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala psikologi. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang
merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk/konsep
psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 1995).
Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu :
1. Stimulasinya tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur
melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.
2. skala psikologi selalu berisi banyak item dan respon subjek tidak
Menurut Azwar (1999) metode skala mempunyai kebaikan dan alasan
penggunaan yaitu :
1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi
dari keadaan diri sendiri subjek yang tidak disadari.
2. Skala yang digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal
3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari
pernyataan skala.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
skala sikap dengan blue print yang disajikan sebagai berikut :
Tabel 1
Blue print Skala Sikap sebelum uji coba
Komponen Sikap Favourable Unfavourable Jumlah Kognitif 2, 8, 15, 18, 19, 28,
Skala sikap yang digunakan ini menggunakan model skala likert yang
berjumlah 70 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan
menggunakan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini
bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem favorable, sedangkan untuk aitem
Tabel 2
Bobot Nilai Pernyataan Skala Sikap
Bobot nilai STS TS S SS
Favorable 1 2 3 4
Unfavorable 4 3 2 1
Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya sikap terhadap penerapan
hukuman cambuk, semakin tinggi skor yang dicapai maka semakin positif sikap
terhadap penerapan hukuman cambuk.
III. E. Uji Coba Alat Ukur III. E.1. Validitas Alat Ukur
Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data
yang akurat yang sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian
validitas. Suatu alat tes atau istrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki
validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran
tersebut (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini ádalah
content validity (validitas isi) dimana peneliti meminta pendapat profesional
(profesional judgement) dari dosen pembimbing dalam proses telaah soal baik
dari isinya maupun validitas muka (face validity).
III. E. 2. Reliabilitas Alat Ukur
Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan
atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada
kesempatan berbeda. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor
lebih ditentukan oleh kesalahan daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya
(Azwar, 2000). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan
menggunakan Alpha Cronbach melalui bantuan SPSS for Windows 15.0 version.
III. E. 3. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Dalam penelitian ini dilakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui
kualitas item-item sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya.
Item-item yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan Item-item-Item-item yang kualitasnya
baik akan digunakan sebagai alat ukur pada penelitian yang sesungguhnya.
Item-item yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi, yaitu
korelasi antara masing-masing item dengan item total.
Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan SPSS
for Windows 15.0 version diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,943
Tabel 3
Blue print Skala sikap Setelah Uji Coba
Komponen Sikap Favourable Unfavourable Jumlah Kognitif 2, 8, 15, 18, 19, 28,
Blue print Skala sikap yang Akan digunakan Dalam Penelitian
31, 40. 12 Konatif 4, 7, 8, 17, 18, 23,
33, 36
9, 10, 24, 34, 43,
44 14
Jumlah 28 17 45
III. F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut
adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.
III. F. 1. Tahap Persiapan
Pada tahapan ini maka peneliti mempersiapkan alat ukur berupa skala
sikap sebanyak 70 item yang berupa skala likert. Pada tahap ini, alat ukur yang
berupa skala orientasi nilai yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori
yang telah diuraikan. Skala yang dibuat dalam bentuk buku yang terdiri dari 4
alternatif jawaban, di mana di samping pernyataan telah disediakan tempat untuk
menjawab sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.
III. F. 2. Tahap Pelaksanaan
Setelah diujicobakan, maka selanjutnya peneliti melakukan pengambilan
data dengan memberikan alat ukur berupa skala sikap masyarakat Aceh yang
berada di Kelurahan punge jurong kotamadya Banda Aceh dan kepada masyarakat
Aceh yang berada di Kelurahan Hagu barat laut kotamadya lhokseumawe Aceh
Utara.
III. F. 3. Tahap Pengolahan Data.
Setelah diperoleh hasil skor orientasi nilai pada masing-masing subjek,
maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan aplikasi
III. G. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisa
statistik. Pertimbangan penggunaan analisa statistik dalam penelitian ini adalah
karena analisa statistik bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif, bersifat
universal, dalam arti dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi,
2000).
Azwar (1999) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah
diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian
rupa sehingga dapat dibaca (readable) dan dapat ditafsirkan (interpretable).
Pengolahan data hasil skala dilakukan dengan menggunakan program
BAB IV
ANALISA DATA DAN INTERPRETASI
Bab ini akan menguraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil
penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian yang sesuai dengan
permasalahan yang ingin dilihat dari penelitian ini maupun analisa tambahan
terhadap data yang ada.
IV.A Gambaran Subjek Penelitian
Subjek penelitian berjumlah 200 orang yang keseluruhannya adalah
masyarakat Aceh yang berada dikota banda Aceh kelurahan Punge jurong dan
Masyarakat Aceh yang berada Dikota Lhokseumawe Kelurahan Hagu Barat Laut.
Dari skala yang dibagikan kepada subjek, diperoleh gambaran mengenai Sikap
terhadap penerapan hukuman cambuk yang meliputi lembaga pendidikan,
pengalaman pribadi, jenis kelamin, dan pendidikan.
IV.A.1 Lembaga pendidikan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan lembaga pendidikan
yang pernah diikuti, dalam hal ini pernah mengikuti pendidikan di Dayah atau
tidak, pembagian kategori Lembaga pendidikan didasarkan atas pertimbangan
bahwa Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap dikarenakan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu (Azwar, 2005).
Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan N % of total N
Pernah di Dayah 101 50,5%
Tidak pernah diDayah 99 49,5%
Total 200 100 %
Tabel 4 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang pernah mengikuti
pendidikan di Dayah dengan persentase sebanyak 50,5 % (101 orang) dan tidak
pernah mengikuti pendidikan di Dayah dengan persentase sebanyak 49,5 % (99
orang).
IV.A.2 Pengalaman pribadi Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan pengalaman pribadi
dalam hal ini pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk atau tidak
pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk. Pembagian kategori
pengalaman pribadi didasarkan atas pertimbangan bahwa pengalaman pribadi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Apa yang telah dan
sedang dialami individu akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan
individu tersebut terhadap stimulus social (Azwar, 2005).
Tabel 6
Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi N % of total N
Pernah melihat
pelaksanaan hukuman cambuk
82 41 %
Tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk.
118 59 %
Total
Tabel menunjukkan bahwa subjek penelitian yang pernah melihat
pelaksanaan hukuman cambuk dengan persentase sebanyak 39,5 % (79 orang) dan
tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dengan persentase sebanyak
57,5 % (115 orang) dan terdapat 3 % (6 orang) subjek yang tidak terdefinisi.
IV.A.3 Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dibedakan jenis kelaminnya yaitu pria dan
wanita, dengan penyebaran sebagai berikut:
Tabel 7
Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin N % of total N
Pria 82 41%
Wanita 118 59%
Total 100 100%
Berdasarkan data pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa jumlah subjek pria dan
wanita adalah tidak seimbang dimana jumlah subjek wanita lebih banyak
berjumlah sebanyak 118 orang dan pria 82 orang.
IV.A.4 Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dibedakan tingkat pendidikannya yaitu SMA,
Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana dengan penyebaran sebagai berikut:
Tabel 8
Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan N % of total N
SMA 86 43,0 Diploma 36 18,0
Sarjana 59 29,5
Pasca sarjana 19 9,5
Tabel 8 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang paling banyak
menjadi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan adalah subjek dengan
tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 43 % (86 orang), kemudian subjek
dengan tingkat pendidikan Sarjana sebanyak 29,5 % (59 orang), kemudian subjek
dengan tingkat pendidikan Diploma sebanyak 18 % (36 orang) dan yang paling
sedikit subjek dengan tingkat pendidikan Pasca Sarjana sebanyak 9,5 % (19
orang).
IV.B Hasil Utama Penelitian
Dari penelitian ini diperoleh gambaran umum tentang gambaran sikap
terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh secara umum untuk
setiap komponen sikap terhadap hukuman cambuk yang terdiri dari skor
minimum, skor maksimum, mean skor dan standar deviasi.
IV.B.1. Gambaran Umum Skor sikap terhadap hukuman cambuk
Gambaran umum skor sikap terhadap penerapan hukuman cambuk dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9
Gambaran Umum Sikap Terhadap Penerapan Hukuman Cambuk
Variabel N Min Maks Mean Std
Deviasi Sikap 200
200
66 179 137.08 18.977
Berdasarkan tabel 9 untuk gambaran umum skor sikap terhadap hukuman
cambuk dengan mean = 137.08 yang dibulatkan menjadi 137, standar deviasi =
18.977 yang dibulatkan menjadi 19, maka diperoleh pengkategorisasian sikap
Tabel 10
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk
Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persenatase
Sikap X > 156 Positif 35 17,5 %
118 ≤ X ≤156 Sedang 139 69,5 %
X < 118 Negatif 26 13 %
Berdasarkan data pada tabel 9 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum
cambuk pada masyarakat Aceh yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak
35 orang (17,5 %), tergolong kedalam kategori sedang sebanyak 139 orang (69,5
%), dan tergolong kedalam kategori rendah sebanyak 26 orang (13 %).
Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat
dilihat pada Grafik 1 berikut ini :
Grafik 1
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk
kategoriumum
negatif sedang
positif
Frequency
125
100
7
5
2
0
IV.B.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap
IV.B.2.1. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap kognitif
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen
sikap kognitif dapat dilihat pada tabel 11 berikut ini:
Tabel 11
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif
Kognitif
Valid N (listwise)
N Min Maks Mean Std
Deviasi 200
200
30 76 56.99 8.543
Berdasarkan tabel 11 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman
cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif dengan mean = 56.99 yang
dibulatkan menjadi 57, standar deviasi = 8.543 yang dibulatkan menjadi 8, maka
diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan
Komponen Sikap Kognitif dengan perhitungan sebagai berikut
Tabel 12
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif
Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah persentase
Sikap X > 65 Positif 24 12 %
49≤ X ≤ 65 Sedang 140 70 %
Berdasarkan data pada tabel 12 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum
cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif yang
tergolong kedalam kategori positif sebanyak 24 orang (12 %), tergolong kedalam
kategori sedang sebanyak 140 orang (70 %), dan tergolong kedalam kategori
rendah sebanyak 36 orang (18 %).
Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat
dilihat pada Grafik 2 berikut ini :
Grafik 2
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif
IV.B.2.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen
sikap Afektif dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini:
kategoriaspek1
negatif sedang
positif
Frequency
125
100
75
50
25
0
Tabel 13
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif
Afektif
Valid N (listwise)
N Min Maks Mean Std
Deviasi 200
200
17 48 36.20 5.491
Berdasarkan tabel 13 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman
cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif dengan mean = 36.20 yang
dibulatkan menjadi 36, standar deviasi = 5.491 yang dibulatkan menjadi 5, maka
diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan
Komponen Sikap afektif dengan perhitungan sebagai berikut:
Tabel 14
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap afektif
Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persentase
Sikap X > 41 Positif 29 14,5 %
36 ≤ X ≤ 41 Sedang 129 64,5 %
X < 31 Negatif 42 21 %
Berdasarkan data pada tabel 14 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum
cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap afektif yang
tergolong kedalam kategori positif sebanyak 29 orang (14,5 %), tergolong
kedalam kategori sedang sebanyak 129 orang (64,5 %), dan tergolong kedalam
kategori rendah sebanyak 42 orang (21 %).
Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat
Grafik 3
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif
IV.B.2.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen
sikap konatif dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini:
Tabel 15
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap konatif
Konatif
Valid N (listwise)
N Min Maks Mean StdDeviasi 200
200
19 56 43.89 6.067
Berdasarkan tabel 15 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman
cambuk Berdasarkan Komponen Sikap konatif dengan mean = 43.89 yang
dibulatkan menjadi 44, standar deviasi = 6.067 yang dibulatkan menjadi 6, maka
diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan
Komponen Sikap konatif dengan perhitungan sebagai berikut:
Tabel 16
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif
Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persentase
Sikap X > 50 Positif 31 15,5 %
38 ≤ X ≤ 50 Sedang 137 68,5 %
X < 38 Negatif 32 16 %
Berdasarkan data pada tabel 16 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum
cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap konatif yang
tergolong kedalam kategori positif sebanyak 31 orang (15,5 %), tergolong
kedalam kategori sedang sebanyak 137 orang (68,5 %), dan tergolong kedalam
kategori rendah sebanyak 32 orang (16 %).
Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat
Grafik 4
Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif
IV. C. Hasil Tambahan Penelitian
Selanjutnya akan diuraikan ulasan interpretasi hasil tambahan penelitian
berupa gambaran sikap terhadap hukum cambuk berdasarkan ditinjau dari
lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, daan tingkat pendidikan.
IV.C.1 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari
Lembaga Pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 17
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan
kategoriaspek3
negatif sedang
positif
Frequency
125
100
75
50
25
0
Lembaga pendidikan
N Mean Std Max
.
Min. Sikap terhadap hukuman cambuk
Berdasarkan data pada tabel 17, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan (pernah
mengikuti pendidikan di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah)
maka Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah memiliki
Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15 orang (14,9%), yang
memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 67 orang
(66.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif
sebanyak 19 orang (18.8%), sedangkan Masyarakat Aceh yang tidak pernah
mengikuti pendidikan di Dayah yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang negatif sebanyak 11 orang (11,1%), yang memiliki Sikap Terhadap
Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 72 orang (72.7%), dan yang memiliki
Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 16 orang (16.2%),
Mean Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah
lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di
Dayah. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di
Dayah lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti
pendidikan di Dayah lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah
mengikuti pendidikan di Dayah. Skor minimum Masyarakat Aceh yang pernah
mengikuti pendidikan di Dayah lebih rendah daripada Masyarakat Aceh yang
pernah mengikuti pendidikan di Dayah.
Berdasarkan nilai mean sikap terhadap penerapan hukuman cambuk
Masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan (pernah mengikuti pendidikan
di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah dapat disimpulkan,
bahwa sikap Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di dayah lebih
baik atau positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang tidak pernah
mengikuti pendidikan di dayah.
Gambaran sikap masyarakat Aceh di tinjau dari lembaga pendidikan dapat
dilihat pada Grafik berikut :
Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Lembaga
IV.C.2 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Pengalaman Pribadi
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari
pengalaman pribadi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 18
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Pengalaman Pribadi
Pengalaman Pribadi
N Mean Std Max .
Berdasarkan data pada tabel 18, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman pribadi (Pernah melihat
pelaksanaan hukuman cambuk dan tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman
cambuk) maka Masyarakat Aceh yang Pernah melihat pelaksanaan hukuman
cambuk memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15
orang (18,3%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang
sebanyak 56 orang (68.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang positif sebanyak 11 orang (13.4%), sedangkan Masyarakat Aceh
yang tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk yang memiliki Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 11 orang (9,3%), yang
memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 83 orang
(70.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif
sebanyak 20 orang (20.3%),
Mean Masyarakat Aceh yang Pernah melihat pelaksanaan hukuman
cambuk lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak Pernah melihat
pelaksanaan hukuman cambuk. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang pernah
melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh
yang tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk. Skor maksimum
Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih
rendah daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah melihat pelaksanaan
hukuman cambuk. Skor minimum Masyarakat Aceh yang pernah melihat
pelaksanaan hukuman cambuk lebih rendah daripada Masyarakat Aceh yang tidak
Berdasarkan nilai mean Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari
pengalaman pribadi (Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dan tidak
pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk) dapat disimpulkan, bahwa sikap
Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih positif
dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang tidak melihat pelaksanaan hukuman
cambuk
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman
pribadi dapat dilihat pada Grafik berikut :
Grafik 6
Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Pengalaman Pribadi
IV.C.2 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis Kelamin
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 19
Jenis Kelamin N Mean Std Max .
Min. Sikap terhadap hukuman cambuk
Berdasarkan data pada tabel 19, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari jenis kelamin maka Masyarakat Aceh
yang berjenis kelamin Pria memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang
negatif sebanyak 11 orang (13,4%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang sedang sebanyak 55 orang (67.4%), dan yang memiliki Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 16 orang (19.5%), sedangkan
Masyarakat Aceh yang yang berjenis kelamin Wanita yang memiliki Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15 orang (12,7%), yang
memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 84 orang
(71.2%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif
sebanyak 19 orang (16.1%). Mean Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria
lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin wanita. Standart
deviasi Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih tinggi daripada
Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin wanita. Skor maksimum Masyarakat
Aceh berjenis kelamin Pria lebih rendah daripada Masyarakat Aceh berjenis
kelamin Wanita. Skor minimum Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria
Berdasarkan nilai mean Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari
Jenis Kelamin (Pria dan Wanita) dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat
Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih positif dibandingkan dengan masyarakat
Aceh yang berjenis kelamin Wanita
Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis
Kelamin dapat dilihat pada Grafik berikut :
Grafik 7
Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Lembaga pendidikan
IV.C.3 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Tingkat Pendidikan
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat
pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 20
Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
N Mean Std Max .
Min. Sikap terhadap hukuman cambuk
SMA
Berdasarkan data pada tabel 20, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap
Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat pendidikan maka Masyarakat
Aceh yang memiliki tingkat pendidikan SMA memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang negatif sebanyak 13 orang (15,1%), yang memiliki Sikap Terhadap
Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 62 orang (72.1%), dan yang memiliki
Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 11 orang (12.8%),
Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Diploma yang memiliki
Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 10 orang (27,8%), yang
memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 20 orang
(55.6%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang positif sebanyak 6 orang (16.7%). Masyarakat Aceh yang
memiliki tingkat pendidikan Sarjana yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman
Cambuk yang negatif sebanyak 6 orang (10,2%), yang memiliki Sikap Terhadap
Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 44 orang (74.6%), dan yang memiliki
Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 9 orang (15.3%).
Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Pasca Sarjana yang memiliki